Rabu, 19 Februari 2014

Petualang Asmara 27

Petualang Asmara Jilid 027

<--kembali

“Hemm, lihat berapa ikan yang mampus oleh samuraiku!” Bu Leng Ci berkata bangga dan sebelum kakinya menginjak tanah, samurainya telah bersarung kembali.

“Satu-dua-tiga... aihh, ada sepuluh ekor yang mati terbelah. Kepandaianmu hebat, Moi-moi. Aku akan berpikir panjang dulu sebelum melawan samuraimu dalam pertempuran!” Kata Ang Hwi Nio setelah menghitung bangkai-bangkai ikan yang telah mengambang di permukaan air dengan tubuh terpotong menjadi dua!

“Apa? Kau menyebutku moi-moi (adik perempuan)!” Bu Leng Ci menegur penasaran.

Ang Hwi Nio tertawa halus dan memperlihatkan kedua tangannya yang tadi dia sembunyikan di belakang tubuhnya. Bu Leng Ci memandang terbelalak melihat betapa kesepuluh buah kuku jari itu masing-masing telah menusuk seekor ikan, dan ikan-ikan itu telah berubah mengering seperti dibakar!

“Bukan main! Engkau hebat! Akan tetapi, engkau pun hanya dapat membunuh sepuluh ekor, tidak lebih banyak dan aku!” Bu Leng Ci menegur.

Ang Hwi Nio menggerakkan kedua tangannya dan kesepuluh ekor ikan itu terlempar kembali ke atas air telaga, mengambang dekat ikan-ikan yang menjadi korban samurai Bu Leng Ci.

“Benar, kita masing-masing membunuh sepuluh ekor. Akan tetapi aku dapat membawa ikan-ikan itu ke darat. Apakah kau tadi sanggup untuk membawa korban-korbanmu ke darat? Bukankah hal itu berarti bahwa aku masih menang cepat sedikit dibandingkan denganmu, Moi-moi?”

Bu Leng Ci tak dapat membantah kebenaran ucapan itu, maka dia lalu menjura dan berkata, “Engkau benar, Ang-cici (Kakak Perempuan Ang). Aku mengaku kalah dan aku senang sekali menjadi adik angkatmu. Bi Kiok, ayo kau memberi hormat kepada bibi gurumu!”

Yo Bi Kiok yang semenjak tadi menyaksikan itu semua, lalu melangkah maju menghadapi Ketua Kwi-eng-pang itu, memberi hormat dengan berlutut dan berkata, “Su?i!”

Ang Hwi Nio tertawa girang. “Berdirilah, Nak. Muridmu ini manis sekali, Bi-moi. Siapa namamu?”

“Nama teecu (murid) Yo Bi Kiok, Su-i”

“Bagus, engkau akan menjadi teman baik puteraku. Kauterimalah hadiahku ini, Bi Kiok.” Wanita itu meloloskan hiasan rambutnya yang terbuat dari batu kemala berbentuk burung Hong dan memberikannya kepada Bi Kiok.

Tentu saja Bi Kiok girang sekali, menerima benda berharga itu dengan kedua tangan dan menghaturkan terima kasih. Melihat betapa Bi Kiok hanya memegangi benda itu dan memandang dengan mata bersinar-sinar, Ang Hwi Nio tertawa. “Giok-hong-cu (Burung Hong Kemala) itu bukan untuk dipegang, melainkan untuk hiasan rambut atau baju di dada. Sini, kupakaikan di rambutmu!”

Bi Kiok maju berlutut dan Ang Hwi Nio memasangkan benda itu di atas kepala Bi Kiok. Kemudian dara itu disuruhnya berdiri.

“Lihat, muridmu menjadi makin cantik saja, Bu-moi!”

Bu Leng Ci tersenyum bangga dan kedua orang wanita sakti itu merasa girang karena kini mereka berdua dapat menjagoi di dunia kaum sesat, tidak takut lagi menghadapi seorang di antara datuk, yang manapun juga!

Sebuah rumah yang cukup indah dibangun di pulau kecil di sebelah timur untuk tempat tinggal Bu Leng Ci dan muridnya, dan Bu Leng Ci yang merasa berterima kasih lalu menceritakan semua pengalamannya kepada kakak angkatnya, juga menceritakan tentang bokor emas dan tentang suami isteri lihai yang dijumpainya di tepi sungai Huang-ho di lereng pegunungan Lu-liang-san.

Ketika Liong Bu Kong yang pergi memburu binatang bersama beberapa orang anggauta Kwi-eng-pang pulang dan bertemu dengan Bu Leng Ci dan Bi Kiok, dia terheran dan menjadi girang mendengar bahwa Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci yang namanya sudah dikenalnya sebagai seorang di antara lima datuk itu kini telah menjadi adik angkat ibunya! Lebih girang lagi hatinya melihat Yo Bi Kiok yang cantik manis. Dara remaja ltu telah menjadi saudara misannya, biarpun hanya saudara angkat! Akan tetapi sikap Bi Kiok yang selalu berwajah dingin dan pendiam itu mengecewakan hati Bu Kong sehingga pemuda ini pun membuang niatnya untuk mengajak dara remaja itu main-main dengannya.

Beberapa hari kemudian, Kian Ti dan empat temannya yang mentaati permintaan Bu Leng Ci pergi mencari suami isteri yang bernama Yap Cong San dan Gui Yan Cu, kembali ke pulau dengan tangan hampa. Mereka tidak berhasil menemukan suami isteri yang dicarinya itu. Mereka juga girang sekali ketika mendengar bahwa Siang-tok Mo-li yang terkenal itu kini menjadi adik angkat ketua mereka. Hal ini berarti bahwa kedudukan mereka lebih kuat lagi biarpun adik angkat ketua mereka itu tidak menjadi anggauta Kwi-eng-pang.

Namun, beberapa bulan kemudian, pulau kecil yang dijadikan tempat tinggal Bu Leng Ci itu menjadi tempat yang menyeramkan dan menakutkan bagi para anggauta Kwi-eng-pai karena wanita itu terkenal sebagai pembenci pria sehingga tidak ada yang berani mendekati pulau! Bahkan Liong Bu Kong sendiri pun tidak berani mendekat. Hanya Kwi-eng-pangcu saja yang berani mengunjungi adik angkatnya. Dan kalau ada keperluan mengantarkan sesuatu, Kwi-eng-pangcu selalu mengutus pelayan atau anggauta Kwi-eng-pang wanita. Dia sendiri pun tidak suka kepada pria, akan tetapi tidaklah membenci mati-matian seperti Bu Leng Ci. Dia sudah merasa puas melihat para pria menjadi muridnya, menjadi anak buahnya, dan menjadi kaki tangannya yang setia dan taat kepadanya. Yang tidak disukainya adalah kalau pria itu menguasainya atau lebih tinggi tingkatnya daripada dia. Karena ini pula maka dia sengaja menarik Bu Leng Ci sebagai adik angkat sehingga merasa kuat untuk menghadapi tiga orang di antara kelima datuk.

Kurang lebih dua tahun lamanya Bu Leng Ci bersama muridnya menjadi penghuni pulau kecil itu. Bi Kiok telah menjadi seorang dara yang cantik manis, berusia enam belas tahun, akan tetapi makin tampak sikapnya yang dingin dan wataknya yang pendiam. Hadiah dari Kwi-eng Niocu berupa hiasan rambut burung hong kemala menjadi benda kesayangannya yang tak pernah terpisah dari rambutnya atau bajunya. Bu Leng Ci yang menyayang dara itu bukan hanya sebagai murid tunggal, bahkan seperti anak sendiri, menurunkan semua ilmunya kepada Yo Bi Kiok sehingga dara itu setelah selama tujuh tahun lebih menjadi muridnya, kini telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi.

PADA suatu pagi, seorang pelayan wanita dari Kwi-eng Niocu menyampaikan undangan ketua ini kepada Bu Leng Ci. Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci segera datang menumpang perahu kecil pelayan itu bersama Bi Kiok, menghadap kakak angkatnya.

“Seorang anggauta kita telah menemukan suami isteri yang pernah kausebut dahulu itu!” Ang Hwi Nio menyambut kedatangan adik angkatnya dengan pemberitahuan ini, suaranya penuh ketegangan. “Dan isterinya yang menurut katamu dahulu terkena Siang-tok-soa, ternyata tidak mati”

“Ah, kalau begitu kita harus dapat menawan mereka. Mereka adalah ayah bunda dari Yap Kun Liong yang tahu di mana adanya bokor emas!”

“Perlukah itu? Menurut ceritamu, yang tahu mungkin sekali hanyalah bocah itu, dan perlu apa menawan orang tuanya?”

“Kalau kita tawan orang tuanya, tentu kelak anak itu muncul. Sukar sekali mencari bocah setan itu. Sudah bertahun-tahun aku mencari tanpa hasil, Ang-ci.”

“Mungkin karena kau belum pernah bertemu dengan anak itu, bagaimana bisa mencarinya?”

“Memang aku belum pernah bertemu dengannya, akan tetapi Bi Kiok tentu akan mengenal mukanya.”

Diam?diam jantung Bi Kiok berdebar tegang. Tentu saja dia akan mengenal Kun Liong si gundul itu, dan gurunya pun pernah bertemu dengan Kun Liong, akan tetapi gurunya tidak tahu bahwa anak itulah yang mereka kini cari?cari. Entah bagaimana, dia tidak tega untuk mencelakakan anak itu, bahkan kini mendengar bahwa ayah bunda Kun Liong hendak ditawan, dia merasa tidak enak sekali. Akan tetapi dia diam saja, hanya menjawab karena kedua orang wanita sakti itu memandangnya penuh pertanyaan. “Tentu saja teecu akan mengenalnya kalau bertemu dengan Kun Liong.”

“Biarlah aku mengutus enam orang murid kepala untuk menangkap mereka. Kita harus menjaga nama. Tidak perlu aku turun tangan sendiri menghadapi orang?orang yang tidak terkenal seperti mereka. Aku akan mengundang mereka, kalau mereka tidak mau, barulah orang?orangku akan menawan mereka. Menurut keterangan penyelidik mereka kini tinggal di Puncak Cemara di Lu?liang?san.”

Bu Leng Ci hendak mencegah, mengingat bahwa suami isteri itu lihai sekali. Akan tetapi dia tidak membuka mulutnya karena tentu saja dia tidak mau menceritakan betapa dia sendiri tidak dapat mengalahkan mereka. Biarlah kakak angkatnya ini membuktikan sendiri setelah mengirim murid-muridnya.

Demikianlah, enam orang laki-laki setengah tua yang merupakan murid-murid kepala dari Kwi-eng Niocu dan tokoh-tokoh Kwi-eng-pang, berangkat ke Lu-liang-san yang tidak jauh dari Kwiouw, hanya makan waktu satu hari perjalanan.

Seperti kita ketahui, Yap Cong San dan isterinya berada di Puncak Cemara di Pegunungan Lu-liang-san. Gui Yan Cu telah sembuh sama sekali dari luka akibat pasir beracun, dan tak lama kemudian telah sembuh sama sekali, dia mengandung sehingga terpaksa mereka memperpanjang waktu untuk tinggal dulu di tempat yang indah menyenangkan itu.

Pada waktu itu, kandungan Yan Cu berusia dua bulan. Suami isteri yang berbahagia itu sedang duduk berdua di atas rumput, tak jauh dari pondok mereka, memandang ke bawah di mana tampak pemandangan yang mempesonakan.

“Ah, betapa rinduku kepada dunia di bawah sana,” Yan Cu menarik napas panjang. “Betapa rinduku kepada Kun Liong, kepada Cia Keng Hong-suheng dan Enci Biauw Eng. Betapa rinduku kepada masakan-masakan kota yang lezat... aaihh...”

Cong San meraih pundak isterinya dan memeluknya, hatinya terharu dan dia merasa kasihan sekali kepada isterinya. “Jangan khawatir, isteriku. Kita tinggal di sini sampai engkau melahirkan. Keadaan seperti sekarang ini tentu saja amat tidak baik kalau melakukan perjalanan jauh, apalagi dengan adanya banyak bahaya di tengah jalan. Setelah nanti anak kita cukup kuat, kira-kira setahun, kita berangkat meninggalkan tempat sunyi ini, langsung ke Cin-ling-san.”

“Ke tempat Suheng?”

“Ya. Engkau dan anak kita yang masih kecil biar tinggal bersama isterinya, sedangkan aku akan minta bantuan Keng Hong untuk bersamaku mencari Kun Liong. Dengan bantuannya, mustahil kalau aku tidak akan dapat menemukan anak itu.”

Yan Cu menarik napas lega. “Aahhh, anak nakal itu! Tentu akan dapat ditemukan kalau Suheng membantumu. Ingin aku mendengar apa yang akan dikatakan Kun Liong kalau berada di depanku setelah dia pergi selama tujuh tahun ini...”

Tiba?tiba tangan Cong San yang merangkul pundak isterinya itu menegang. Yan Cu merasakan ini dan keduanya menoleh. “Ada orang...” bisik Cong San. Mereka telah berdiri ketika enam orang laki-laki setengah tua itu tiba di situ.

“Apakah kalian yang bernama Yap Cong San dan Gui Yan Cu?” Seorang di antara mereka bertanya, suaranya kasar dan nyaring. Cong San dan Yan Cu bersikap tenang, mengira bahwa tentu orang-orang ini petugas pemerintah yang hendak menangkap mereka berhubung dengan urusan Ma-taijin di Leng-kok tujuh tahun yang lalu.

“Saya bernama Yap Cong San dan ini isteri saya Gui Yan Cu. Siapakah Cuwi (Tuan Sekalian) dan ada perlu apakah mencari kami?” jawab Cong San dengan sikap masih tenang sekali karena dia tidak menyangka akan terjadi hal yang tidak baik. Kalau benar mereka itu orang-orang pemerintah, urusannya dengan Ma-taijin bukanlah urusan besar. Dan mustahil kalau untuk urusan begitu saja setelah lewat tujuh tahun masih akan dibesar-besarkan.

“Kami melaksanakan tugas yang diperintahkan pangcu kami untuk mengundang Ji-wi menghadap pangcu.”

Berkerut alis Cong San dan Yan Cu. Kalau bukan orang pemerintah, tentu akan terjadi hal yang gawat.

“Siapa pangcu (ketua) kalian?” Cong San bertanya, hatinya mulai tegang dan dia bersikap waspada menghadapi segala kemungkinan buruk.

“Kami dari Kwi-eng-pang di Telaga Kwi-ouw. Harap Ji-wi ikut bersama kami menghadap Pangcu sekarang juga!”

“Kami berdua tidak pernah mengenal pangcu dari Kwi-eng-pang. Ada keperluan apakah ketua kalian dengan kami?”

“Hal ini bukan urusan kami! Tentu ada urusan penting maka Pangcu memanggil kalian,” jawab pemimpin rombongan itu dengan suara tak sabar.

Cong San dapat menduga bahwa tentu keselamatan mereka berdua takkan terjamin kalau dia bersama isterinya pergi mengunjungi ketua kaum sesat yang sudah amat terkenal di dunia kang-ouw itu.

Pula, dia tidaklah demikian bodoh untuk datang memasuki guha harimau.

“Maaf, Cuwi. Karena kami tidak mengenal Kwi-eng-pangcu dan tidak mempunyai urusan dengannya, kalau memang pangcu kalian ada urusan dengan kami, harap dia datang saja ke sini untuk bicara.”

Tiba-tiba enam orang itu merobah sikap, tidak seramah tadi. Pandangan mata mereka mengandung kemarahan dan seorang di antara mereka berseru, “Manusia sombong! Berani membantah perintah Pangcu?”

“Kawan-kawan, maju!”

“Kalian mau apa?” Yan Cu membentak marah dan tangannya meraba gagang pedang.

“Perintah Pangcu, kalau kalian mau menghadap, baik. Kalau tidak mau, terpaksa kami pergunakan kekerasan menawan kalian!”

“Singggg! Keparat, kalian mengira begitu mudah?” Yan Cu sudah mencabut senjata pedangnya dan hendak menerjang maju, akan tetapi tiba-tiba suaminya menyentuh lengannya.

“Tidak perlu menyerang. Biarkan mereka bergerak, kita lihat saja sampai di mana kepandaian manusia-manusia sesat ini.”

Suami isteri itu berdiri beradu punggung, sikap mereka tetap tenang walaupun mereka marah sekali. Yan Cu berdiri dengan siap dengan pedang di tangan sedangkan Cong San sudah mengeluarkan sepasang Im-yang-pit dan memegangnya dengan kedua tangan. Dia tadi melarang isterinya bergerak, karena amat tidak baik bagi kandungan isterinya kalau banyak mengerahkan sin-kang.

Enam orang anggauta Kwi-eng-pang itu sudah mulai mengurung. Terdengar suara menyeramkan ketika mereka itu menggerak-gerakkan senjata mereka yang beraneka macam itu. Melihat betapa kedua orang suami isteri itu mengeluarkan senjata dan hendak melawan, mereka gembira sekali dan juga tidak menyangka-nyangka. Ketua mereka hanya memberi perintah untuk menangkap, tidak memberi tahu bahwa suami isteri itu akan melawan. Kalau mereka tidak melawan, tentu mereka hanya akan menawan mereka dan tidak akan mengganggu mereka. Sekarang mereka mendapat kesempatan untuk memperlihatkan kepandaian dan menawan suami isteri yang melawan itu setelah melukai mereka. Betapapun juga, enam orang itu bukanlah orang sembarangan, melainkan murid-murid pilihan dari Kwi-eng Niocu dan mereka sudah berpengalaman dalam banyak pertandingan. Melihat sikap dan cara suami isteri itu menghadapi mereka, mereka dapat menduga bahwa suami isteri itu “berisi”, maka tanpa sungkan-sungkan lagi karena di tempat sunyi itu tidak ada orang lain, mereka serentak maju berenam, mengeroyok!

Terdengar suara nyaring hiruk-pikuk ketika mereka menerjang maju, suara beradunya senjata mereka yang terpental ke sana-sini, ditambah suara teriakan mereka penuh kekagetan karena dalam beberapa gebrakan saja, selain senjata mereka terlempar ke sana-sini, juga mereka roboh malang-melintang, empat orang roboh terluka oleh sepasang pit di tangan Cong-Sai, sedangkan dua orang lagi roboh dan terluka paha dan pundak mereka oleh kilatan pedang di tangan Yan Cu! Semua ini terjadi tanpa suami isteri itu pindah dari tempat mereka!

Dapat dibayangkan betapa kaget hati enam orang itu. Muka mereka pucat dan mereka memandang dengan mata terbelalak, maklum bahwa kalau kedua orang suami isteri itu menghendaki, di lain saat mereka semua tentu akan dapat terbunuh dengan mudah. Mengertilah sekarang mereka, bahwa jangankan menghadapi suami isteri itu, biar menghadapi seorang di antara mereka saja, mereka berenam takkan mampu menang!

“Pergilah kalian dari sini!” Cong San membentak dengan sikap keren. “Dan katakan kepada pangcu kalian bahwa karena kami tidak mempunyai urusan dengan dia, maka kami tidak membunuh kalian dan kami tidak dapat pergi menemuinya. Nah, pergilah cepat!”

Enam orang itu merangkak bangun dan dengan penuh rasa sukur karena tidak dibunuh, mereka itu saling membantu dan pergi secepat mungkin meninggalkan tempat itu.

Cong San dan Yan Cu saling pandang masih merasa penasaran dan juga terheran-heran mengapa secara tiba-tiba mereka itu dimusuhi oleh Kwi-eng-pang. Padahal belum pernah mereka berurusan dengan Kwi-eng-pang, bahkan bertemu pun belum dengan ketua Kwi-eng-pang yang tersohor itu. Mereka tahu bahwa Ketua Kwi-eng-pang adalah Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio yang kabarnya adalah seorang di antara lima datuk kaum sesat yang terkenal sebagai manusia-manusia iblis.

“Kita harus pergi dari sini sekarang juga,” kata Cong San. “Mereka itu berbahaya. Kalau tadi mereka tidak memandang rendah kepada kita, agaknya belum tentu kita dapat mengusir mereka dalam waktu singkat. Kepandaian mereka rata-rata cukup tangguh.”

“Aku tidak takut!” kata Yan Cu. “Masa kita harus melarikan diri dari mereka? Biarpun Kwi-eng Niocu si iblis betina sendiri yang datang, akan kuhadapi dia!”

Cong San merangkul isterinya. “Aku percaya, isteriku. Memang kita tidak usah takut menghadapi kaum sesat. Akan tetapi, kau harus ingat bahwa selagi kau mengandung, tidak semestinya kita melibatkan diri dalam pertandingan-pertandingan berat. Hal itu berbahaya bagi kandunganmu. Ingat, ketika dahulu kita bertemu dengan Siang-tok Mo-li seorang di antara lima datuk itu, kau terluka. Apalagi kebarnya Kwi-eng Niocu lebih jahat den lihai. Bukan aku takut, akan tetapi karena mengingat akan kandunganmu dan keadaanmu, sebaiknya kita mengalah kali ini. Mudah saja kalau kelak kita mencari Kwi-eng Niocu dan menghajarnya atas kelakuannya hari ini! Marilah, sayang.”

Untuk kesekian kalinya, Yan Cu tidak dapat membantah. Biarpun hatinya penuh dengan rasa penasaran dan kemarahan, terpaksa dia menurut, pergi meninggalkan tempat itu, menuju ke utara. Setelah melakukan perjalanan hampir sebulan dengan lambat dan hati-hati mengingat kandungan Yan Cu, akhirnya mereka tiba di kota Tai-goan dan di sini Cong San mengajak Yan Cu singgah di rumah seorang kenalannya.

Seorang laki-laki tua berusia enam puluh tahun lebih menyambut kedatangan mereka dengan ramah. Kakek yang usianya hampir tujuh puluh tahun ini tinggi kurus den rambutnya sudah putih semua, namun masih kelihatan gesit den kuat. Dia ditemani oleh seorang nyonya berusia empat puluhan tahun, dan seorang laki-laki suami nyonya itu yang usianya hampir lima puluh tahun. Tiga orang ini menyambut mereka dan Si Kakek Rambut Putih segera berseru girang, “Ah, kiranya Yap-enghiong yang datang! Biarpun hampir dua puluh tahun tidak jumpa, saya tidak akan pangling (lupa) kepadamu!”

Yap Cong San cepat memberi hormat dan berkata, “Terima kasih atas kebaikan Theng-ciangkun (Perwira Theng) dan maaf atas kedatangan kami yang tiba-tiba tanpa memberi tahu lebih dahulu ini. Ini adalah isteri saya.”

Kakek itu cepat membalas penghormatan Yan Cu dan berkata, “Ahh, Nyonya Muda, kau kelihatan lelah sekali. Silakan masuk saja beristirahat! Ceng-ji (Anak Ceng), kauajaklah Nyonya Yap beristirahat di dalam.” Kakek itu memperkenalkan nyonya itu sebagai puterinya, dan laki-laki itu sebagai mantunya yang bernama Tan Hoat.

Dengan ramah-tamah nyonya yang bernama Ceng itu menggandeng tangan Yan Cu dan diajak masuk ke dalam. Kemudian Kakek Theng bersama mantunya mempersilakan Cong San duduk di ruangan dalam menyuruh pelayan menghidangkan minuman. Setelah hidangan disuguhkan dan mereka sudah minum teh, Cong San menghela napas panjang lalu berkata,

“Saya harap Theng-ciangkun suka maafkan. Sekali ini terpaksa saya hendak minta bantuan Ciangkun, yaitu agar memperbolehkan saya bersama isteri saya tinggal di sini sampai isteri saya melahirkan. Tentu saja kalau Ciangkun tidak keberatan.”

Kakek itu kelihatan terkejut dan heran. Dia maklum bahwa tentu terjadi sesuatu yang hebat menimpa keluarga pendekar bekas murid Siauw-lim-pai yang hanya dikenalnya sepintas lalu akan tetapi yang telah diketahui kegagahannya itu. Dia tahu pula bahwa pendekar ini adalah sahabat baik sekali dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong yang dikaguminya. Maka tanpa ragu-ragu dia menjawab, “Tentu saja boleh dan sama sekali tidak keberatan! Kami hanya tinggal berempat di rumah besar ini, yaitu saya sendiri, anak perempuan dan mantu saya ini, dan seorang cucu perempuan. Selain itu, hanya ada dua orang pelayan. Masih ada kamar untuk engkau dan isterimu, Yap-enghiong dan kami menyambut kedatanganmu dengan gembira. Saya bukan seorang perwira pengawal lagi, sudah beberapa tahun mengundurkan diri karena sudah tua. Akan tetapi... kalau boleh saya bertanya, bagaimanakah engkau dan isterimu sampai tiba di sini dan... dan... selama ini tinggal di mana? Sudah lama saya tidak pernah bertemu pula dengan Cia Keng Hong-taihiap yang kabarnya berada di Cin-ling-san sehingga tidak dapat bertanya pula tentang keadaanmu.”

Cong San menarik napas panjang, kemudian dengan singkat dan menceritakan riwayatnya yang malu. Betapa dia terkena urusan dengan Ma-taijin dan puteranya hilang, dan betapa dalam mencari puteranya mereka mengalami banyak hal berbahaya, sedangkan puteranya masih belum dapat ditemukan.

“Tadinya kami akan tinggal terus di puncak Pegunungan Lu-liang-san, akan tetapi siapa kira, muncul malapetaka lain, yaitu orang-orang Kwi-eng-pang.” Dia menceritakan tentang kedatangan enam orang Kwi-eng-pang, kemudian menambahkan, “Kalau tidak pergi cepat-cepat, tentu mereka itu akan datang lagi bersama lebih banyak teman dan ketua mereka. Bukannya kami takut, akan tetapi... isteri saya sedang mengandung, maka lebih baik kami mengalah dan pergi. Ketika kami tiba di kota ini, saya teringat kepada Theng-ciangkun dan timbul pikiran saya untuk minta pertolongan Ciangkun.”

Kakek itu bengong mendengarkan penuturan itu, kadang-kadang mengangguk-angguk adakalanya menggeleng-gelengkan kepalanya, kemudian berkata, “Harap engkau menenangkan hatimu, Yap-enghiong. Biarlah isterimu beristirahat di sini sampai melahirkan. Dan kalau kawanan penjahat Kwi-eng-pang berani mengganggu ke sini, hemmm... ruyungku belum berkarat dan aku ingin sekali merasai kelihaian Kwi-eng Niocu yang kabarnya seperti iblis betina itu!”

Cong San menghaturkan terima kasih dan tersenyum kagum mendengar ucapan bersemangat itu. Kakek she Theng itu bernama Theng Kiu, bekas pengawal yang setia sekali dari Kaisar Yung Lo semenjak kaisar itu belum menjadi kaisar seperti sekarang dan masih menjadi raja muda di utara. Dahulu, Theng Kiu ini terkenal dengan senjata ruyungnya sehingga dia dijuluki Kim-pian (Si Ruyung Emas), dan ilmu kepandaiannya, biarpun tidak terlampau tinggi, namun sudah menempatkan dia di golongan orang-orang gagah. Menurut penafsiran Cong San kalau dia tidak salah ingat, Kakek Theng ini mungkin tidak akan kalah oleh seorang di antara enam orang Kwi-eng-pang yang menyerangnya di Lu-liang-san.

Demikianlah, mulai hari itu, Cong San dan isterinya tinggal menumpang di rumah bekas perwira pengawal Theng Kiu. Suami isteri itu merasa bersukur dan berterima kasih sekali. Kakek Theng amat ramah, akan tetapi juga puterinya dan mantunya, suami isteri Tan Hoat, amat baik terhadap mereka. Bahkan puteri suami isteri ini yang bernama Tan Cui Lin, seorang dara berusia lima belas tahun yang manis, juga bersikap menyenangkan. Untuk membalas kebaikan tuan rumah, Cong San berkenan melatih ilmu silat kepada Tan Cui Lin yang tentu saja sebagai cucu tunggal kakek Theng, sudah mempelajari dasar-dasarnya sejak kecil. Karena ini, Tan Cui Lin menyebut “suhu” kepada Cong San, dan “subo” kepada Yan Cu.

Sambil menanti isterinya melahirkan, selain melatih ilmu silat kepada muridnya, juga Cong San mulai “membuka praktek” pengobatan di Tai-goan, yang mula-mula diperkenalkan kepada sahabat-sahabat Kakek Theng sehingga dalam waktu beberapa bulan saja namanya telah terkenal dan setiap hari ada saja yang datang minta resep obat kepadanya. Dengan adanya sedikit penghasilan ini, agak lega hati Cong San karena dia menyerahkan semua hasil ini kepada keluarga Kakek Theng yang telah menampung mereka.

Waktu berjalan dengan cepatnya dan beberapa bulan kemudian Yan Cu telah melahirkan seorang anak perempuan dengan selamat di rumah keluarga Theng Kiu. Mereka memberi nama Yap In Hong kepada anak itu. Atas bujukan dan nasihat Kakek Theng, karena pekerjaan Cong San mulai maju dan banyak sudah penduduk yang menjadi langganannya, dengan menjual semua perhiasan yang masih dimiliki Yan Cu, ditambah simpanan sedikit-sedikit selama ini, dan dibantu pula oleh Kakek Theng, Cong San membeli sebidang tanah di Tai-goan. Di atas tanah itu telah ada bangunannya, akan tetapi bangunan kuno yang sudah hampir ambruk. Oleh karena itu, mulailah dia membangun kembali rumah itu dan tiap hari dia pergi memimpin para tukang untuk memperbaiki rumah yang dibelinya. Dia dan isterinya sudah mengambil keputusan untuk tinggal di Tai-goan!

Yang membantunya adalah Tan Hoat, dan kadang-kadang muridnya, Cui Lin, datang pula membantu, mengatur ini itu, membersihkan dan mengatur kebun di belakang rumah, menanami bunga-bunga.

Membangun kembali rumah yang rusak itu memakan waktu berbulan-bulan, dan In Hong telah menjadi seorang anak yang mungil dan hebat berusia setengah tahun lebih ketika akhirnya rumah itu siap untuk ditempati. Pada hari terakhir itu, Cui Lin membantu suhunya membersihkan rumah baru dan mengatur perabot rumah sederhana dengan penuh kegembiraan. Dara ini sayang sekali kepada suhu dan subonya, dan merasa beruntung menjadi murid seorang yang berilmu tinggi seperti mereka. Baru belajar setahun lebih saja, dia telah memperoleh kemajuan hebat, dan hal ini dikatakan secara jujur oleh kakeknya sendiri.

“Ketahuilah, cucuku. Gurumu adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai yeg berilmu tinggi, murid dari manusia sakti Tiang Pek Hosiang. Dan subomu juga bukan orang sembarangan karena dia itu masih sumoi dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong yang kini menjadi Ketua Cin-ling-pai di Cin-ling-san. Kau belajarlah baik-baik dan dalam beberapa tahun lagi, kakekmu ini sudah tidak akan kuat melawanmu.”

Maka gembira sekali hati Cui Lin setelah suhu dan subonya mengambil keputusan untuk tinggal di Tai-goan. Dengan demikian berarti dia akan dapat belajar terus. Dia membantu suhunya memberes-bereskan rumah baru itu dari pagi sampai lewat tengah hari. Besok pagi keluarga suhunya sudah aku pindah ke rumah baru ini.

“Cui Lin, kaulanjutkanlah membereskan kamar ini bersama Phoa-ma (nama pelayan wanita), aku akan kembali dulu ke rumah kakekmu.”

“Baiklah, Suhu. Serahkan saja kepada teecu dan Phoa-ma, tentu sore nanti sudah selesai,” jawab dara itu gembira.

Akan tetapi hati Cong San tidak segembira biasanya ketika dia meninggalkan rumah baru itu. Entah mengapa, hatinya terasa tidak enak, padahal dia tidak terganggu sesuatu. Ada dorongan di hatinya agar dia cepat pulang ke rumah Kakek Theng. Menurutkan dorongan hatinya ini, tergesa-gesa Cong San kembali ke rumah keluarga Theng yang berada di sebelah selatan kota, agak jauh dari rumah baru itu.

Tidaklah mengherankan kalau hati Yap Cong San merasa tidak enak sekali karena pada saat dia membersihkan rumah baru bersama muridnya dan seorang pelayan dan pengasuh anaknya, di rumah keluarga Kakek Theng terjadi malapetaka yang hebat sekali!

lanjut ke Jilid 028-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar