Jumat, 21 Februari 2014

Dewi Maut Jilid 44

Dewi Maut Jilid 44

<--kembali

Sementara itu, Tio Hok Gwan, komandan pasukan, dibantu oleh Souw Kwi Beng dan semua anggauta pasukan, bahkan nampak pula Lie Seng mengamuk bahu membahu dengan Yap Mei Lan, menghadapi para anggauta Lembah Naga yang berkelahi dengan nekat dan mati-matian sungguhpun mereka terdesak hebat dan satu demi satu mereka roboh oleh fihak lawan yang lebih banyak dan lebih kuat itu.

Di antara para tokoh Lembah Naga, yang lebih dulu roboh adalah Bouw Thaisu. Kedua ujung lengan bajunya dapat ditangkap oleh cengkeraman tangan Kok Beng Lama yang tertawa bergelak dan ketika Bouw Thaisu mengerahkan tenaganya sehingga ujung lengan bajunya terobek dan kedua telapak tangannya menghantam dada Kok Beng Lama, pendeta raksasa ini sambil tertawa juga mendorongkan kedua telapak tangannya. Dua pasang telapak tangan yang penuh dengan tenaga sin-kang itu bertemu di udara. Hebat bukan main getaran hawa yang terasa oleh semua orang yang sedang bertempur. Bumi seolah-olah guncang dibuatnya. Tubuh Bouw Thaisu tergetar hebat seperti orang sakit demam, kemudian dia terhuyung ke belakang, kedua tangan memegang dadanya, dari mulutnya keluar darah segar dan dia terpelanting dan robob miring di atas tanah dengan nyawa putus! Kok Beng Lama tertawa bergelak lalu berkata, “Omitohud, kedua tanganku kembali berlepotan darah...!”

Tidak lama setelah Bouw Thaisu roboh, menyusul Hek I Siankouw yang roboh dengan pedang hitam menembus dadanya sendiri! Ketika dia menyerang dengan jurus nekat, yaitu seluruh tubuh mendoyong dan pedangnya menusuk ke arah dada Cia Keng Hong, pendekar sakti ini terkejut. Serangan itu hebat bukan main dan penuh dengan tenaga sakti karena nenek itu sudah nekat, mengerahkan seluruh tenaganya dan didorong oleh loncatan tubuhnya. Cia Keng Hong maklum bahwa kalau mengelak, dia menghadapi bahaya, maka dia lalu mengerahkan tenaga sakti di kedua tangannya lalu dia menangkis dari samping sambil mengeluarkan lengkingan keras. Itulah sebuah jurus dari Thai-kek-sin-kun. Tangkisan ini mengandung kekuatan yang demikian dahsyatnya sehingga ketika mengenai pedang maka pedang itu membalik dengan cepatnya dan menusuk dada Hek I Siankouw sendiri sampai tembus di punggung! Tentu saja nenek itu terjengkang roboh dan tewas seketika. Cia Keng Hong berdiri terbelalak memandang. Dia tidak sengaja membunuh nenek itu dan dia menarik napas panjang, merasa ngeri dan menyesal mengapa dalam usia tuanya dia masih harus membunuh orang sengeri itu keadaanya.

Ang-bin Ciu-kwi yang kasar itupun roboh tewas oleh tamparan tangan kiri Kun Liong, sedangkan isterinyapun roboh dan tewas oleh pedang di tangan Cia Giok Keng setelah hampir saja wanita perkasa ini menjadi korban jarum racun ular yang dilepas oleh Coa-tok Sian-li.

Sedangkan pasukan Lembah Naga tinggal sedikit lagi yang masih bertahan, namun mereka terdesak hebat dan tak lama kemudian, orang terakhir dari merekapun roboh. Memang hebat sekali pasukan yang diberikan oleh Raja Sabutai kepada gurunya itu, karena pasukan itu merupakan pasukan berani mati yang melawan musuh sampai orang terakhir roboh dan tidak ada seorangpun di antara mereka yang melarikan diri sungguhpun mereka sudah dari tadi tahu bahwa fihak mereka sudah pasti kalah.

Kini tinggal kakek dan nenek iblis itu saja yang ternyata masih sanggup bertahan melawan Bun Houw dan In Hong!

Bukan main hebatnya pertandingan antara mereka ini dan biarpun In Hong dan Bun Houw sudah berhasil menguasai Ilmu Thian-te Sin-ciang secara sempurna, namun ternyata tidak mudah bagi mereka untuk mengalahkan dua orang tua iblis itu. Kekebalan tubuh mereka memang menggiriskan sekali dan biarpun dua orang muda itu sudah memperoleh petunjuk melalui Mei Lan tentang kelemahan mereka dan sudah terus-menerus menujukan serangan mereka ke arah bawah lutut kaki, namun mereka belum juga berhasil. Selain kedua orang kakek dan nenek itu terus melindungi kaki mereka, juga dua orang muda itu tidak tahu dengan pasti di mana letak kelemahan itu dan biarpun mereka telah beberapa kali berhasil menghantam betis, tulang kering dan mata kaki, namun dua orang itu hanya terlempar dan bergulingan, namun ternyata bukan di situlah letak kelemahan itu karena mereka masih mampu melawan makin dahsyat dan nekat! Memang kakek dan nenek iblis itu telah nekat ketika mereka melihat bahwa semua teman mereka telah roboh!

Cia Giok Keng dan Tio Sun sudah bergerak maju hendak membantu, akan tetapi Kok Beng Lama dan Cia Keng Hong mengangkat tangan melarang mereka atau siapapun juga membantu! Mereka ini melihat betapa Bun Houw dan In Hong dapat menandingi kakek den nenek itu dan agaknya dua orang muda itu tahu akan kelemahan lawan yang jelas dapat diduga tentu berada di kaki mereka. Buktinya mereka selalu melindungi kaki mereka dan kelihatan terkejut dan gugup ketika kaki mereka terus-menerus diserang.

Cia Keng Hong tanpa disengaja berdiri di sebelah Kok Beng Lama. Mereka saling pandang dan melalui pandang mata mereka, kedua orang sakti ini mengerti akan keadaan yang sedang bertanding. Mereka tadipun sudah mengukur tenaga dengan kakek dan nenek iblis itu dan mendapatkan kenyataan bahwa mereka berdua itu memang memiliki kekebalan yang mujijat.

“Hemm, di kaki sebelah mana agaknya kelemahan mereka?” Kok Beng Lama mengomel seorang diri, suaranya lirih akan tetapi terdengar oleh Cia Keng Hong.

“Di mana kalau menurut dugaan locianpwe?” tanya Cia Keng Hong sambil menoleh. Keduanya saling pandang dan keduanya berpikir keras, menggali ingatan mereka tentang pengetahuan mengenai ilmu-ilmu yang mujijat dan aneh.

“Dan dugaan taihiap?” tanya pula Kok Beng Lama. Kedua orang sakti itu lalu menggunakan ujung sepatu mereka untuk menggores-gores di atas tanah dan keduanya lalu saling membaca tulisan kaki mereka. Ternyata keduanya berbunyi sama, yaitu, “telapak kaki”. Mereka tertawa dan mengangguk-angguk.

“Locianpwe harap suka memberi tahu kepada In Hong, saya akan memberi tahu kepada Bun Houw,” kata Cia Keng Hong. Kok Beng Lama mengangguk dan kedua orang sakti ini lalu mengerahkan ilmu mereka yang hebat, yaitu Ilmu Coan-im-jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh) dengan kekuatan khi-kang mereka. Bibir mereka bergerak-gerak dan tidak ada orang lain yang mendengar suara mereka kecuali orang yang ditujunya! Bun Houw mendengar bisikan suara ayahnya dan In Hong juga mendengar bisikan suara Kok Beng Lama yang parau, “Kelemahan mereka itu mungkin sekali terletak di telapak kaki mereka.”

Tentu saja kedua orang muda itu merasa girang mendengar ini. Sudah sejak tadi mereka menyerang ke arah kaki tanpa hasil dan mereka bahkan mulai meragukan kebenaran pemberitahuan yang ditulis di atas daun itu. Melihat kenyataan betapa kakek dan nenek itu mati-matian melindungi kedua kaki mereka, agaknya pemberitahuan itu memang benar, akan tetapi mengapa semua serangan mereka yang berhasil mengenai bagian kaki tidak merobohkan mereka?

Mengapa kedua orang sakti, Cia Keng Hong dan Kok Beng Lama dapat menduga bahwa mungkin sekali kelemahan kakek dan nenek itu berada di telapak kaki? Mereka teringat akan ilmu kekebalan mujijat kaum hitam atau golongan sesat, yang berbeda dengan latihan ilmu kekebalan kaum putih yang melatihnya dengan dasar sin-kang yang kuat. Golongan sesat melatih ilmu kekebalan dengan bermacam cara, dicampur dengan ilmu hitam, ilmu sihir dan dengan ramuan-ramuan racun yang berbahaya. Mereka teringat bahwa latihan ilmu kekebalan yang menghasilkan kekebalan seperti yang dimiliki kakek dan nenek itu mungkin kalau tubuh mereka itu sudah seperti mati sehingga pukulan-pukulan sakti tidak lagi mempengaruhi tubuh mereka, dan tubuh yang seperti mati itu hanya dapat dicapai dengan melumurinya dengan racun-racun yang luar biasa. Biasanya, bagian yang dilumuri racun itu tidak boleh tertutup dan harus dibiarkan terkena angin, sinar matahari bahkan sinar bulan sehingga ada kemungkinan mereka bertapa sampai berbulan-bulan dengan tubuh dilumuri racun-racun setiap saat. Akan tetapi, tidak mungkin orang dapat melumuri racun seluruh bagian tubuhnya, misalnya andaikata dia rebah terlentang, tentu punggungnya terlewat, kalau duduk tentu pantatnya, dan kalau sambil berdiri telapak kakinya. Kini, melihat betapa punggung, pantat dan seluruh bagian tubuh kakek dan nenek itu benar-benar kebal, agaknya satu-satunya tempat yang lemah tentu di telapak kaki dan sangat boleh jadi ketika bertapa sambil melumuri tubuh dengan racun, kakek dan nenek itu menyiksa diri dengan berdiri terus selama entah berapa hari atau berapa bulan! Jadi, kalau seluruh anggauta tubuh itu seolah-olah sudah mati, hanya kedua telapak kaki itu yang hidup! Tentu saja, selain bagian lemah ini, sepasang mata merekapun merupakan bagian lemah, akan tetapi mereka selalu melindungi kedua mata mereka, apalagi setelah mata kiri Hek-hiat Mo-li menjadi buta oleh jarum rahasia dari arca kaisar di istana dahulu itu ketika dia dan Pek-hiat Mo-ko menyerbu istana.

Biarpun Bun Houw dan In Hong menjadi girang sekali mendengur bisikan dua orang sakti itu, namun tidaklah mudah bagi mereka untuk menyerang bagian lemah itu. Bagaimana dapat menyerang telapak kaki lawan? Telapak kaki selalu tertutup atau terlindung karena dipakai untuk menginjak tanah! Mana mungkin bisa diserang? Kelihatanpun tidak! Dua orang muda perkasa itu menjadi bingung.

Dengan ilmunya yang tinggi, lebih tinggi dari kepandaian In Hong, Bun Houw tentu saja dapat mengatasi Pek-hiat Mo-ko dengan baik. Pemuda ini sudah mewarisi ilmu-ilmu yang amat hebat dari ayahnya dan dari Kok Beng Lama, ilmu silatnya bermacam-macam dan kesemuanya merupakan ilmu-ilmu silat pilihan yang bertingkat tinggi. Kalau saja Pek-hiat Mo-ko tidak mengandalkan limu kekebalannya yang mujijat, tentu sudah sejak tadi dia roboh oleh pemuda perkasa ini. Akan tetapi, kekebalan yang amat hebat itu melindunginya sehingga biarpun dia sudah belasan kali terpelanting oleh pukulan yang amat hebat, pukulan yang akan menewaskan lawan-lawan yang bahkan lebih lihai sekalipun, namun tidak membuat Pek-hiat Mo-ko terluka dan kakek ini dapat meloncat bangun kembali sambil tertawa mengejek dan menyerang dengan dahsyatnya yang juga dapat dielakkan atau ditangkis oleh Bun Houw dengan mudahnya. Baik dalam hal ilmu silat maupun dalam hal tenaga sin-kang, pemuda ini lebih tinggi tingkatnya daripada lawannya. Akan tetapi kekebalan itu membuat dia tidak berdaya.

In Hong juga bukan seorang gadis sembarangan. Dia telah mewarisi ilmu-ilmu silat yang amat hebat dari gurunya, pewaris pusaka milik mendiang Panglima Sakti The Hoo. Biarpun tingkatnya belum dapat dibandingkan dengan tingkat Bun Houw, namun ilmu-ilmu silat yang murni dan bernilai tinggi itu membuat dia cukup kuat untuk mengimbangi kepandaian nenek Hek-hiat Mo-li yang lihai. Dia dengan menguasai Thian-te Sin-ciang yang sudah menjadi sempurna karena dilatih secara bergabung dengan Bun Houw, maka boleh dibilang gadis ini memiliki tenaga yang lebih kuat daripada si nenek iblis. Namun, karena diapun tidak berdaya menghadapi kekebalan nenek itu, keadannya menjadi berimbang, bahkan kadang-kadang dia seperti terdesak oleh Hek-hiat Mo-li yang menyerang tanpa memperdulikan tubuhnya sendiri yang dilindungi oleh kekebalan sehingga kadang-kadang In Hong menjadi repot juga dan melindungi diri dengan bergerak mundur

Kini mereka telah mendengar bisikan dua orang sakti itu, akan tetapi tetap saja mereka tidak tahu bagaimana mereka akan dapat menyerang telapak kaki lawan! In Hong terus melindungi dirinya dari serangkaian serangan Hek-hiat Mo-li yang hanya bermata satu itu sambil memutar otak mencari akal. Untuk melindungi dirinya, ilmu silatnya cukup tinggi dan tenaganyapun cukup besar sehingga dia tidak usah khawatir akan celaka oleh serangan-serangan dahsyat itu yang dapat dielakkan atau ditangkisnya secara pasti dan tidak begitu sukar, sungguhpun tentu saja dia menjadi terdesak karenanya.

Sementara itu, Bun Houw sudah memikirkan akal untuk merobohkan lawan, atau setidaknya untuk dapat menyerang telapak kaki lawan yang diharapkannya akan merobohkannya. Dia tahu bahwa memaksa lawan memperlihatkan telapak kakinya tentu saja tidak mungkin, maka dia harus menggunakan akal dan dia pura-pura tidak menduga bahwa kelemahan itu berada di telapak kaki lawan itu. Dia harus dapat melakukan pertempuran jarak dekat, pikirnya. Tadi dia menganggap tongkat kakek bermuka putih itu tidak berbahaya, bahkan dia membiarkan kakek itu menghadapinya dengan senjata tongkat itu karena dia hendak membiarkan kakek itu lengah karena merasa lebih untung keadaannya yang bersenjata melawan dia yang bertangan kosong dan dia hendak menggunakan kelengahan itu untuk menyerang ke arah kaki. Akan tetapi setelah dia mendengar bisikan Cia Keng Hong tadi, dia percaya penuh akan kelihaian dan ketajaman mata ayahnya, maka untuk dapat menyerang telapak kaki dia harus lebih dulu menyingkirkan tongkat lawan agar mereka dapat bartempur dalam jarak yang lebih berdekatan.

Ketika tongkat itu menyambar dengan tusukan ganas ke arah tenggorokan, Bun Houw sengaja memperlambat gerakannya sehingga tongkat itu sudah dekat sekali dengan lehernya. Tiba-tiba dia miringkan tubuhnya membiarkan tongkat lewat dan anginnya sudah terasa oleh kulit lehernya lalu tiba-tiba saja dia menyerang kakek itu dengan jari-jari tangan terbuka ke arah matanya. Cepat bukan main serangannya itu. Tentu saja selain bagian tubuh yang dirahasiakannya, sepasang mata sama sekali tidak terlindung oleh kekebalan. Dia terkejut dan cepat menarik mundur tubuhnya begian atas sedangkan tangan kirinya menangkis dari samping. Akan tetapi betapa kagetnya ketika dia mendapat kenyataan bahwa serangan itu tidak dilanjutkan oleh lawan, dan kini tongkatnya yang kena ditangkap oleh tangan kanan pemuda yang lihai bukan main itu.

“Haiiiiitttt...!” Pek-hiat Mo-ko mengeluarkan teriakan keras dan tangan kirinya menyambar ke arah kepala Bun Houw dengan cengkeraman maut, sedangkan tangan kanannya tetap memegang ujung tongkat sambil menarik dengan sentakan kuat.

“Hemmm!” Bun Houw mengeluarkan suara gerengan dalam dada, tangan kirinya digerakkan menangkis dengan pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang dan juga menggunakan tangan kanan yang memegang ujung tongkat untuk menarik.

“Plakk! Krekkk...!” Tubuh Pek-hiat Mo-ko untuk ke sekian kalinya terlempar ke belakang dan tongkatnya patah menjadi dua potong, yang sepotong tertinggal di tangan Bun Houw. Tangkisan hebat tadi membuat tubuhnya terlempar dan karena dia mempertahankan tongkatnya, maka tongkat itulah yang tidak kuat menahan dan menjadi patah. Muka Pek-hiat Mo-ko yang putih pucat itu berubah sedikit merah, akan tetapi lalu menjadi putih kembali dan dia memandang tongkat di tangannya dengan mata terbelalak, seolah-olah masih belum mau percaya melihat tongkat pusakanya itu dapat patah. Padahal ada kepercayaan tahyul di dalam hatinya bahwa patahnya tongkat pusaka yang dianggap tidak mungkin dapat pulih itu berarti kematiannya! Maka dia menjadi nekat. Dia membuang tongkat yang sudah patah itu dan dengan teriakan ganas dia menubruk maju, menghantam dengan dahsyat ke arah lawannya. Bun Houw juga sudah membuang tongkat patah itu dan cepat menyambut serangan lawan dengan kedua tangan pula. Akan tetapi sekali ini dia tidak mengadu pukulan, melainkan menangkap kedua pergelangan tangan lawan.

“Ihhh!” Pek-hiat Mo-ko terkejut dan marah. Kedua pergelangan tangannya sudah ditangkap oleh tangan pemuda itu, tangkapan yang amat kuat dan biarpun dia telah mengerahkan seluruh kekuatan sin-kangnya untuk menarik kedua tangannya, tetap saja dia tidak mampu meloloskan diri. Dia menjadi marah. Ditangkap kedua pergelangan tangannya seperti itu tidak ada artinya dan dengan cara demikian pemuda itupun tidak akan mampu menangkap, maka dia tertawa mengejek.

“Ha-ha, engkau takut melanjutkan pertempuran?”

“Pek-hiat Mo-ko, hendak kulihat bagaimana kau dapat melepaskan peganganku!” Bun Houw juga mengejek dan memperkuat pegangannya sehingga agaknya kalau kakek itu mengerahkan seluruh tenaga untuk memaksa, cekalan itu tidak akan terlepas akan tetapi kedua lengan kakek itu yang akan copot atau patah seperti tongkat tadi!

Pek-hiat Mo-ko maklum akan hal ini, maka dia menjadi makin gelisah dan marah. Semua pengikutnya telah tewas, hanya tinggal Hek-hiat Mo-li yang masih bertanding mati-matian melawan gadis perkasa itu dan ternyata kawannya itupun tidak mampu mendesak gadis bertangan kosong itu yang kini memiliki tenaga Thian-te Sin-ciang yang luar biasa kuatnya pula. Dipengaruhi oleh patahnya tongkat pusakanya yang dianggap sebagai pertanda akhir hidupnya, kakek yang marah ini menjadi nekat.

“Lepaskan tanganku!” bentaknya dan dia menendang ke arah bawah pusar Bun Houw! Inilah yang dikehendaki oleh pemuda itu! Dia hendak memaksa lawannya untuk melakukan tendangan karena hanya di waktu menendang sajalah telapak kaki dari lawannya itu “terbuka” dan tidak terlindung atau tersembunyi. Akan tetapi Bun Houw memang cerdik. Dia tidak terlalu membiarkan kegirangan menguasainya dan dia maklum bahwa sekali dia tidak berhasil merobohkan kakek itu melalui serangan pada telapak kakinya, berarti dia gagal dan kakek itu tentu akan menjadi lebih berhati-hati menyembunyikan rahasianya. Maka dia masih berpura-pura tidak tahu bahwa rahasia kelemahan itu terletak di telapak kaki, maka ketika tendangan menyambar ke arah bawah pusar, dia cepat miringkan tubuhnya untuk mengelak, dan sengaja dia membiarkan pahanya tertendang dengan mengurangi gerakan elakannya.

“Desss...!” Bun Houw menyeringai tanda kesakitan dan kakek itu tertawa bergelak, merasa bahwa dia berada dalam keadaan unggul maka selagi pemuda itu menyeringai kesakitan, dia sudah menggerakkan kaki kirinya menendang lagi mengarah paha yang baru saja tertendang, yang dianggapnya merupakan tempat yang baik untuk dihantam terus selagi bagian itu terasa nyeri. Namun, pemuda perkasa itu telah memperhitungkan saat ini dengan tepat dan dia sudah mengumpulkan seluruh tenaga Thian-te Sin-ciang ke dalam lengan kanannya sampai ke ujung jari kanan. Melihat kaki kiri mulai menyambar, secara tiba-tiba dia melepaskan cekalan tangan kanannya dari pergelangan tangan lawan dan tangan itu menyambar ke bawah, mencengkeram ke arah telapak kaki kiri lawan dengan pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang yang dahsyat bukan main. Batu karang yang bagaimana kerasnyapun akan hancur lebur oleh cengkeraman yang mengandung tenaga mujijat Thian-te Sin-ciang sepenuhnya itu. Dan ternyata, tidak seperti anggauta badan di bagian lain yang telah membuktikan kekebalannya terhadap kedahsyatan Thian-te Sin-ciang, ketika telapak kaki kiri dari Pek-hiat Mo-ko itu kena dicengkeram, kaki itu menjadi remuk-remuk tulangnya dan hancur kulit dagingnya! Pek-hiat Mo-ko mengeluarkan pekik mengerikan, matanya terbelalak ketika mulutnya memekik dan pada saat itu, tangan kiri Bun Houw yang sudah melepaskan pegangan pada pergelangan tangan lawan sudah menyambar dengan kecepatan kilat ke arah dadanya.

“Krekkk...!” Tubuh Pek-hiat Mo-ko terpelanting, tulang iganya patah-patah dan seluruh isi dadanya terguncang hebat. Kekebalannya telah lenyap setelah telapak kakinya hancur. Namun, dalam keadaan yang sudah seperti itu, yang tentu merupakan sebab kematian bagi orang lain yang bagaimana kuatpun, kakek bermuka putih itu masih dapat meloncat bangun dan seperti sebuah mayat hidup dia menubruk ke arah Bun Houw! Namun, pemuda ini dengan gerakan lincah telah menggeser kaki miringkan tubuh dan kakinya menyambar.

“Desss...!” Tubuh yang seperti mayat hidup itu terjengkang, roboh terbanting dan tidak bergerak lagi karena memang Pek-hiat Mo-ko telah menghembuskan napas terakhir di waktu dia mengerahkan seluruh tenaga terakhir untuk menubruk tadi.

“Hong-moi, mundurlah, biarkan aku menghadapinya,” kata Bun Houw sambil mendekati In Hong yang masih bertempur dengan mati-matian melawan Hek-hiat Mo-li.

“Tidak, aku harus dapat merobohkan dia sendiri, Houw-ko. Mundurlah dan jangan khawatir!” In Hong menjawab. Gadis ini merasa penasaran sekali. Bun Houw telah berhasil merobohkan lawan, namun dia masih juga belum berhasil. Dia tahu bahwa memang Bun Houw memiliki tingkat kepandaian yang amat tinggi, akan tetapi dengan ilmu kepandainya, apalagi setelah dia berhasil menyempurnakan tenaga Thian-te Sin-ciang, dia merasa sanggup untuk mengalahkan nenek ini, lebih-lebih lagi karena dia sudah mendapat bisikan dari Kok Beng Lama. Akan tetapi, biarpun dia terus mengarahkan semua serangan pukulan mautnya ke arah kaki dan sudah beberapa kali mengenai kaki lawan, tetap saja nenek itu belum dapat dia robohkan. Dia tidak dapat melihat bagaimana Bun Houw tadi merobohkan Pek-hiat Mo-ko, maka diapun belum tahu di mana sesungguhnya letak kelemahan lawannya. Akan tetapi, biarpun demikian, dia merasa enggan dan malu kalau harus menyerahkan lawan ini kepada Bun Houw, apalagi karena pertempuran itu ditonton oleh banyak orang, di antaranya terdapat kakak kandungnya sendiri yaitu Yap Kun Liong, ada lagi Cia Giok Keng, Cia Keng Hong, Kok Beng Lama, Souw Kwi Beng, Tio Sun dan masih banyak lagi yang lain, bahkan semua perajurit pasukan kota raja juga menonton!

Dengan alis berkerut Bun Houw mundur lagi kemudian dia lari meninggalkan tempat itu menuju ke sebelah dalam dan tak lama kemudian muncullah pemuda ini membawa sebatang pedang yang bukan lain adalah pedangnya sendiri yang tadinya dirampas oleh musuh, yaitu pedang Hong-cu-kiam. Dia menanti kesempatan baik lalu melontarkan pedang itu ke arah In Hong sambil berseru, “Hong-moi, pakailah pedangmu ini!”

Sekali ini In Hong tidak menolak. Dia menyambut pedang itu dan diputarnya sehingga merupakan gulungan sinar emas yang menyilaukan mata. Dia mau menggunakan pedang karena bukankah lawannya juga menggunakan tongkat? Dan begitu Hong-cu-kiam berada di tangannya, semangat In Hong berkobar lagi. Dia harus dapat merobohkan lawannya. Harus!

“Cring-cring-tranggg...!” Bunga api berpijar ketika pedang bertemu bertubi-tubi dengan tongkat dan tangan Hek-hiat Mo-li dan nenek itu terhuyung ke belakang ketika tangan kiri In Hong menyusul dengan dorongan-dorongan yang mengandung tenaga mujijat Thian-te Sin-ciang.

Aku harus menyerang kakinya bawah lutut. Akan tetapi bagian yang mana? Demikian In Hong berpikir.

“Telapak kakinya... telepak kakinya...!” Tiba-tiba dia mendengar bisikan suara Bun Houw. In Hong mengerling dengan bibir tersenyum dan mata berkilat penuh kegirangan. Tahulah dia sekarang. Kiranya di telapak kaki! Pantas saja semua pukulannya yang mengenai kaki tadi tidak berhasil. Habis, siapa yang dapat memukul telapak kaki? Kiranya begitu baik rahasia kelemahan itu tersembunyi.

Akan tetapi, In Hong adalah scorang dara yang selain cantik jelita dan gagah perkasa, juga cerdik sekali. Begitu dia mendengar bisikan ini, tiba-tiba dia merobah caranya menyerang lawan dan kini dia melempar diri ke atas tanah, lalu bergulingan dan sinar emas menyambar-nyambar ke bawah kaki lawan!

“Ihhh...!” Hek-hiat Mo-li terkejut bukan main dan memutar tongkat melindungi kakinya.

“Tranggg...!” Bunga api berpijar dan seperti seekor burung terbang cepatnya, In Hong bergulingan ke arah kiri nenek itu dan tiba-tiba sinar emas pedangnya mencuat ke atas menusuk ke arah mata kanan lawan.

“Ihhhh...!” Nenek itu menjerit dan cepat melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik. Hampir saja matanya yang tinggal sebelah menjadi korban. Karena mata kirinya sudah buta, maka ketika lawannya tadi bergulingan ke sebelah kirinya, dia tidak dapat memandang dengan cukup jelas gerakan lawan dan tahu-tahu sinar emas menyambar ke arah mata kanannya, padahal sejak tadi dia mencurahkan perhatian untuk melindungi kakinya! Dan ketika dia berhasil menyelamatkan mata kanannya dan baru saja kakinya menginjak tanah, sinar emas itu menyambar ke bawah, membabat tanah di bawah kaki Hek-hiat Mo-li. Pada saat itu, Hek-hiat Mo-li sendiri yang menjadi marah sedang menghantamkan tongkatnya ke arah kepala In Hong! Melihat dara itu hanya miringkan kepalanya sehingga hantaman tongkat itu masih menyambar ke pundak, nenek itu menjadi girang sehingga dia kurang waspada. Baru setelah sinar emas membabat tanah dan terus mengenai telapak kaki kirinya, dia menjerit mengerikan.

“Dessss! Crottt...!” Tubuh In Hong terlempar dan bergulingan sedangkan nenek itu mengangkat kaki kirinya yang berdarah sambil berteriak-teriak kesakitan. Bagian belakang telapak kaki kirinya telah terbabat dan terluka oleh Hong-cu-kiam, sedangkan pundak In Hong juga terkena pukulan tongkat.

“Hong-moi...!” Bun Houw berseru kaget, akan tetapi hatinya lega ketika dia melihat In Hong dapat bangkit kembali dan dengan pedang Hong-cu-kiam di tangan dia siap untuk mengejar dan membunuh Hek-hiat Mo-li yang masih mengangkat kaki kiri yang berdarah sambil menjerit-jerit kesakitan.

Akan tetapi pada saat itu terdengar bunyi terompet dan tambur. Semua orang menengok dan terkejutlah mereka karena tempat itu telah dikurung oleh pasukan yang sedikitnya tentu ada seribu orang jumlahnya.

“Keparat!” Kok Beng Lama berseru dengan suaranya yang besar. “Mari kita amuk mereka!”

“Nanti dulu, locianpwe. Jumlah mereka terlalu banyak dan dalam keadaan seperti ini lebih baik bagi kita untuk menunggu dan membela diri, daripada menyerang,” kata Cia Giok Keng dan Kok Bang Lama tidak jadi bergerak. Kepala pasukan itu, Panglima Lee Cin, juga menyerukan aba-aba agar semua pasukan tidak bergerak, melainkan membentuk barisan pertahanan.

“Tahan semua senjata!” Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan dari dalam pasukan besar itu muncul seorang tinggi besar yang kemudian ternyata adalah Raja Sabutai sendiri!

Semua orang terkejut dan memandang raja liar itu, akan tetapi agaknya In Hong tidak mau perduli dan dia sudah melangkah maju menghampiri Hek-hiat Mo-li dengan pedang di tangan.

“In Hong jangan bergerak...!” Yap Kun Liong berseru kepada adiknya. Mendengar kesungguhan dalam suara kakaknya itu, In Hong meragu dan menoleh kepada kakaknya. Seperti juga Cia Keng Hong, Kun Liong melihat ancaman bahaya. Kalau Raja Sabutai memerintahkan pasukannya menyerbu, biarpun mereka memiliki kepandaian tinggi, tentu mereka semua akhirnya akan tewas dalam keroyokan ribuan orang perajurit musuh.

Bun Houw dengan cepat meloncat ke dekat In Hong dan memegang lengan dara itu dengan mesra. “Suheng berkata benar, Hong-moi. Bagaimana dengan pundakmu? Mari kuobati...”

Dengan sikap mesra Bun Houw lalu memeriksa pundak yang terpukul tongkat tadi, kemudian melihat betapa pundak itu tidak terluka, hanya berwarna merah kebiruan, dia merasa lega, karena tulang pundak dara itupun tidak patah. Dengan penyaluran sin-kang yang hangat, dia mengusir rasa nyeri di pundak itu. Tentu saja semua orang melihat kemesraan itu, juga Souw Kwi Beng melihat dengan muka berubah pucat sekali.

Sementara itu, melihat bahwa Raja Sabutai melangkah maju ke dalam kurungan ribuan perajurit itu, menghampiri mereka dan raja itu membawa sebatang pedang yang dikenalnya baik, ketua Cin-ling-pai, Pendekar Sakti Cia Keng Hong lalu melangkah maju menyambut dan menjura kepada raja itu.

“Apa maksud sri baginda datang bersama pasukan dan menghentikan pertandingan?” tanya Cia Keng Hong dengan sikap tenang.

Raja Sabutai tertawa dan memandang kepada mayat-mayat yang bergelimpangan di situ, mayat dari semua pengikut dua orang gurunya, bahkan suhunya, Pek-hiat Mo-ko, juga telah tewas. Dia berhenti tertawa dan menarik napas panjang. “Cia-taihiap, kami melihat betapa semua pengikut suhu dan subo telah tewas, bahkan suhu telah tewas dan subo terluka hebat. Suhu dan subo tidak mau mendengar bujukan kami bahwa memusuhi jagoan-jagoan dari kota raja merupakan hal yang bodoh sekali. Sekarang mereka telah merasakan sendiri akibatnya dan tentu suhu sudah kapok. Urusan ini dimulai dengan pedang Siang-bhok-kiam. Nah, sekarang kami datang untuk mengembalikan Siang-bhok-kiam yang oleh suhu dititipkan kepada kami kepada pemiliknya, akan tetapi sebagai gantinya, kami harap taihiap dan semua teman taihiap suka membebaskan subo.”

Cia Keng Hong maklum bahwa di balik ucapan itu terkandung ancaman hebat. Kalau dia dan teman-temannya tidak mau menerima penukaran itu, tentu raja ini akan mengerahkan ribuan pasukan mengeroyoknya dan tak mungkin melawan ribuan orang lawan! Maka dia menjura dan menjawab, “Kami semua datang bukan hanya karena ingin minta kembali Siang-bhok-kiam, melainkan juga untuk menyelamatkan nona Yap In Hong yang diculik oleh kedua guru sri baginda. Setelah sekarang nona Yap In Hong selamat, tentu saja kamipun tidak akan terlalu mendesak. Terima kasih atas kebaikan sri baginda yang suka mengembalikan pedang pusaka kepada yang berhak memiliki.”

“Ha-ha-ha, Cia-taihiap sebagai ketua Cin-ling-pai memang berpandangan bijaksana. Nah, terimalah Siang-bhok-kiam ini,” katanya sambil menyerahkan Pedang Kayu Harum itu kepada Cia Keng Hong yang menerimanya dengan sikap penuh hormat.

“Subo, marilah pergi bersama kami!” Sabutai berkata sambil menghampiri nenek itu, kemudian dia memondong nenek yang mata kirinya buta dan kaki kirinya terluka pula itu. Semua orang memandang dengan penuh kagum kepada Raja Sabutai. Kiranya orang yang gagah perkasa ini bukan hanya merupakan orang yang mampu menundukkan orang-orang liar di antara para Suku Nomad di utara, akan tetapi juga memiliki watak gagah dan berbakti terhadap gurunya. Semua orang diam saja ketika Raja Sabutai memerintahkan pasukannya untuk mengangkat semua mayat dari gurunya dan para pengikutnya, lalu pergilah pasukan itu setelah Raja Sabutai menjura kepada para orang gagah dan berkata sambil tersenyum kepada Tio Sun, “Jangan lupa untuk menyampaikan apa yang kaulihat di tempat kami kepada kaisar, Tio-sicu!”

Tio Sun maklum apa yang dimaksudkan oleh raja itu, maka dia mengangguk. Maka berangkatlah Raja Sabutai pergi dari Lembah Naga, diiringkan oleh ribuan orang pasukannya.

Setelah pasukan itu pergi, barulah semua orang dapat kembali kepada urusan pribadi masing-masing. Cia Giok Keng dan Lie Seng saling lari menghampiri dan ibu dan anaknya ini saling berpelukan dengan linangan air mata, demikian pula Mei Lan berlutut di depan kaki Yap Kun Liong dan ayah itu dengan air mata berlinang juga merangkul puterinya. Pertemuan yang mengharukan antara ibu dan anak, dan ayah dan anak ini terjadi tanpa banyak kata terucap, hanya pandang mata yang berlinang air mata dari mereka sudah bicara banyak sekali. Semua orang memandang dengan hati penuh keharuan, karena melihat Giok Keng berlutut dan mendekap puteranya sedangkan Kun Liong mengangkat bangun Mei Lan dan dipeluknya puterinya itu penuh kasih sayang dan dengan air mata membasahi pipi karena tentu saja pertemuannya dengan Mei Lan ini mengingatkan Kun Liong akan kematian isterinya.

“Ayah... maafkan aku...” Mei Lan berbisik lirih, dan Kun Liong menggunakan jari-jari tangannya untuk meraba dan menutup bibir mulut puterinya itu, seolah-olah hendak mencegah gadis cilik itu bicara lebih lanjut karena dia sudah dapat memahami semua persoalannya.

Pada saat itu, nampak seorang wanita berpakaian serba merah lari menghampiri Bun Houw dan menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda yang telah selesai mengobati luka di dalam pundak In Hong.

“Taihiap...harap taihiap suka mengasihani saya...harap taihiap sudi menerima saya menghambakan diri...setelah semua yang telah terjadi...” Wanita yang bukan lain adalah Liong Si Kwi itu menangis, tangan kanan mengusap air matanya yang bercucuran, juga tangan kirinya yang buntung itu ikut bergerak ke depan mukanya sehingga kelihatan amat mengerikan dan menyedihkan.

Wajah Bun Houw berubah pucat ketika dia memandang Si Kwi. Terbayanglah semua yang telah terjadi antara dia dan Si Kwi di dalam kamar wanita itu dan marahlah hatinya. Dia tahu bahwa Si Kwi mencintanya, akan tetapi dia marah sekali mengingat betapa wanita ini menggunakan kesempatan selagi dia tercengkeram oleh pengaruh hawa beracun yang membangkitkan berahinya, telah melakukan hubungan kelamin dengan dia dan dia merasa malu, menyesal dan marah sekali dengan terjadinya hal itu. Kalau saja di situ tidak terdapat banyak orang di antaranya malah ada ayahnya sendiri, tentu telah ditendangnya wanita itu. Akan tetapi dia menahan kemarahannya dan berkata dengan suara dingin. “Engkau bukan wanita baik-baik. Pergilah kau dari sini!”

“Taihiap...!” Wajah Si Kwi pucat sekali, matanya terbelalak memandang kepada pemuda yang dipuja dan dicintanya itu.

“Pergilah!”

Si Kwi bangkit berdiri, menangis sesenggukan dan lari meninggalkan tempat itu. Semua orang memandang sampai bayangan wanita itu lenyap di antara pohon dan kini Cia Keng Hong memandang puteranya dengan sinar mata penuh selidik. Dia tidak senang melihat sikap puteranya terhadap Si Kwi tadi, yang dianggapnya amat keras dan kejam, sungguhpun dia sendiri tidak tahu apa dan siapa wanita berpakaian merah yang tangan kirinya buntung itu.

“Bun Houw...!” Dia memanggil dan pemuda itu terkejut, menoleh kepada ayahnya, kemudian dia menggandeng tangan In Hong dan berbisik kepada dara itu untuk ikut bersamanya menghadap ayahnya. In Hong memandang wajah pemuda itu dengan senyum dan sinar mata penuh kemesraan, kemudian mengangguk dan keduanya lalu menghadap Cia Keng Hong dan mereka berdua menjatuhkan diri berlutut di depan pendekar sakti itu.

Melihat sikap pemuda dan gadis itu, Souw Kwi Beng menarik napas panjang dan ketika dia merasa betapa tangan Tio Sun memegang lengannya, dia menoleh dan tersenyum getir kepada pemuda itu. Mereka sudah sama maklum dan Tio Sun menatapnya dengan sinar mata mengandung iba.

“Houw-ji, bagaimana engkau bisa berada di sini dan tertawan bersama In Hong?” tanya ayah itu yang merasa tidak senang melihat puteranya yang bergandengan tangan demikian mesranya di depan orang banyak dengan In Hong. Jelas kelihatan oleh semua orang yang berada di situ bahwa ada pertalian cinta kasih mesra antara puteranya dan In Hong, sedikitpun mereka berdua tidak menyembunyikan perasaan saling mencinta itu.

“Ayah, aku mendengar di kota raja bahwa Hong-moi diculik, maka aku melupakan segalanya dan segera mengejar ke sini. Untuk menyelamatkan Hong-moi, terpaksa aku membiarkan diri ditawan dan... untung sekali bahwa ayah, suhu dan para sahabat yang gagah datang menolong...”

“Dan surat untuk ke Yen-tai itu...?”

“Maaf, ayah. Belum sempat kusampaikan... dan... sesungguhnya aku tidak dapat melaksanakan tali perjodohan itu, ayah...”

“Apa...?” Ayahnya membentak.

“Maaf, ayah. Aku... aku dan Hong-moi... kami... saling mencinta dan sudah berjanji untuk hidup berdua dan mati bersama...”

Jantung Cia Keng Hong terasa tergetar hebat yang tidak dia ketahui apa sebabnya, entah marah entah girang. Memang sejak dahulu dia ingin sekali mempunyai mantu keturunan Yap Cong San dan Gui Yan Cu. Mula-mula, niatnya untuk menjodohkan puterinya, Giok Keng dengan Kun Liong mengalami kegagalan karena puterinya tidak mencinta Kun Liong dan Kun Liongpun mencinta gadis lain. Kemudian, dia ingin sekali mengambil adik Kun Liong, yaitu Yap In Hong menjadi mantunya, dijodohkan dengan puteranya, Cia Bun Houw. Akan tetapi hal itupun mengalami kegagalan ketika In Hong mengantar Yalima ke Cin-ling-san dan secara kasar dan keras memutuskan hubungan atau ikatan perjodohan antara In Hong dan Bun Houw itu. Hal ini amat menyedihkan dan menyakitkan hatinya dan baru saja sakit hati itu sedikit terobati ketika dia dapat menjodohkan puteranya dengan keturunan Souw Li Hwa dan sekarang tiba-tiba dia melihat puteranya dan In Hong berlutut di depannya dan menyatakan bahwa mereka saling mencinta!

Cia Keng Hong mengelus jenggotnya. Dia seperti lupa bahwa banyak sekali orang melihat dan mendengar apa yang terjadi di situ, akan tetapi dia tidak merahasiakan urusan pribadi keluarganya dan langsung dia bertanya kepada In Hong, “Yap In Hong, benarkah bahwa engkau mencinta Bun Houw?”

Wajah In Hong seketika berubah merah sekali. Sungguh luar biasa sekali ketua Cin-ling-pai ini! Bertanya kepada seorang gadis tentang cinta di depan begitu banyak orang! Akan tetapi, In Hong sejak kecil hidup dalam keadaan penuh kekerasan, penuh keanehan dan penuh bahaya, maka hanya sebentar saja dia merasa canggung dan malu, kemudian dengan lantang dia menjawab, “Benar, supek, saya mencinta Houw-ko seperti juga dia mencinta saya.”

“Hemmm... benarkah itu? Lupakah engkau, In Hong, baru beberapa bulan yang lalu engkau pernah datang ke Cin-ling-san dan apakah yang kaukatakan kepada kami orang tua dari Bun Houw? Bukankah engkau telah memutuskan tali perjodohan yang tadinya telah diikat antara kau dan Bun Houw oleh kakakmu Yap Kun Liong dan kami?”

“Benar, supek, dan saya tidak lupa akan hal itu,” jawab In Hong dengan suara lantang dan tenang.

“Dan engkau sekarang...?”

“Supek, sudah tentu saja keadaannya jauh berbeda antara waktu itu dan sekarang ini. Ketika itu, saya dan Houw-koko tidak saling mengenal, bahkan belum pernah saling bertemu. Mana mungkin ada rasa cinta kasih di antara kami berdua? Pula, karena penuturan Yalima tentang dia dan Houw-koko, mana mungkin saya menerima ikatan jodoh dari seseorang yang telah mempunyai pacar? Sekarang lain lagi keadaannya. Yalima telah bersuami dan urusan dia telah jernih, tidak menghalangi hubungan antara Houw-ko dan saya, dan kami sudah saling mencinta.” Ketika mengeluarkan kata-kata ini, In Hong masih berlutut di samping Bun Houw, bahkan tangan kanannya masih saling bergandengan dengan tangan kiri pemuda itu, dan jari-jari tangan kiri Bun Houw tergetar dan pegangannya makin erat ketika dia mendengar ucapan kekasihnya dan melihat sikap yang demikian tabah dan tegas.

“Ayah, harap ayah sudi mengampuni semua kesalahanku dan kesalahan Hong-moi, dan sudi merestui cinta kasih antara kami...”

Namun Cia Keng Hong menggeleng kepalanya dengan tegas, wajahnya membayangkan kekerasan dan kedukaan, kedua tangannya dikepal dan dia menarik napas panjang setelah menggelengkan kepalanya. “Tidak bisa, Bun Houw. Tidak mungkin aku bisa memberi restu dan persetujuanku dan tidak boleh aku membiarkan engkau menjadi seorang yang melanggar peraturan dan kesusilaan. Engkau sudah kami tunangkan dengan puteri Yuan de Gama dan Souw Li Hwa, engkau sudah menjadi calon suami Souw Kwi Eng di Yen-tai.”

“Tidak, ayah! Tidak, aku tidak mau!” tiba-tiba Bun Houw berkata dengan keras, mukanya berubah merah.

“Hemmm, kehormatan lebih berharga daripada nyawa, anakku.”

“Maksud ayah...?”

“Engkau boleh memilih karena aku sebagai ayahmu hanya ingin melihat engkau antara dua pilihan itu, menjadi suami Souw Kwi Eng atau mati sebelum melanggar kehormatan yang akan menjatuhkan nama baik keluarga!”

“Ayah, aku memilih mati! Lebih baik aku mati daripada harus berpisah dari Hong-moi!” jawab pemuda itu sambil berlutut dan sikapnya menantang.

“Hemmm...!” Wajah pendekar sakti ketua Cin-ling-pai itu berubah agak pucat.

“Dan sebelum supek membunuh Houw-ko, lebih dulu supek harus membunuh saya!” In Hong juga berkata dan menggeser kedua lututnya, berlutut di depan kekasihnya untuk melindunginya!

“Hemmm, kalian mengira aku akan mengingkari kehormatan demi nyawa anak?” Sambil berkata demikian, tangan kanan Cia Keng Hong memegang gagang pedang Siang-bhok-kiam dan menghunusnya dari sarung pedang! Bun Houw dan In Hong masih berlutut dan dahi mereka hampir menempel tanah, mereka siap untuk menyerahkan nyawa mereka berdua, rela untuk mati bersama kalau tidak boleh hidup sebagai suami isteri.

“Ho-ho, nanti dulu, Cia Keng Hong!” Terdengar suara nyaring dan Kok Beng Lama sudah melompat maju ke depan ketua Cin-ling-pai itu dengan muka merah dan senyumnya mengandung ancaman, matanya mengeluarkan sinar mencorong. “Enak saja engkau hendak membunuh muridku! Jangan kau lupa, Bun Houw dan In Hong adalah murid-muridku dan seorang guru tidak nanti akan membiarkan murid-muridnya dibunuh orang begitu saja, biarpun orang itu adalah ayahnya! Selama hidupku, belum pernah aku melihat seorang ayah begitu kejam dan tega untuk membunuh puteranya. Seekor harimaupun tidak akan membunuh anaknya. Apakah harus kukatakan bahwa Cia Keng Hong adalah seorang manusia yang lebih buas daripada harimau?”

Cia Keng Hong, pendekar sakti yang terkenal gagah perkasa itu, yang namanya pernah menggegerkan dunia kang-ouw, kini menjadi makin berduka, akan tetapi dia menentang pandang mata pendeta Lama itu yang amat dia kagumi, lalu menarik napas panjang dan dengan pedang Siang-bhok-kiam tetap di tangannya, dia berkata dengan suara tenang tidak dikuasai perasaan.

“Kok Beng Lama locianpwe, hidup di dunia tidaklah lama, hanya beberapa puluh tahun yang kalau tidak dirasakan seperti hanya beberapa hari saja lamanya. Apakah artinya hidup sependek itu kalau tidak diisi dengan kehormatan? Apakah artinya hidup tanpa menjunjung tinggi nilai-nilai kesusilaan yang dicita-citakan oleh semua manusia? Manusia haruslah mempunyai cita-cita, menjunjung tinggi cita-cita, tidak hanya menuruti hati yang lemah. Dan cita-cita seorang pendekar hanyalah menjunjung tinggi kegagahan dan kehormatan, menjaga nama agar bersih sampai tujuh turunan!”

“Ha-ha-ha, betapa waspadanya kakek Bun Hwat Tosu! Ha-ha-ha, baru saja dia membuka mataku dan bicara tentang cita-cita, dan sekarang... ha-ha, ketua Cin-ling-pai juga bicara tentang cita-cita dan pandangannya persis seperti pandanganku ketika itu! Ha-ha, Cia-taihiap, bicaramu tentang cita-cita itu justeru merupakan kebodohan manusia pada umumnya yang terbuai oleh kehormatan palsu, oleh cita-cita yang merusak kewajaran hidup, yang menyelewengkan kemurnian hidup.”

Cia Keng Hong mengerutkan alisnya. Cita-cita dan kehormatan adalah “pegangan” semua orang gagah, mengapa dikatakan merusak dan menyelewengkan? “Hem, locianpwe, apa maksud locianpwe?”

“Bun Hwat Tosu,” Kok Beng Lama memandang ke angkasa, “mudah-mudahan saja kenyataan yang akan kubicarakan ini akan dapat membuka kesadaran orang-orang lain seperti telah membuka kesadaranku.” Kemudian dia melangkah maju mendekati Cia Keng Hong dan berkata lagi, suaranya tenang, “Cia-taihiap, apakah artinya cita-cita? Bukankah cita-cita hanya merupakan bayangan yang tidak ada, merupakan sesuatu yang dianggap lebih indah daripada kenyataan yang ada, merupakan bayangan khayal, yang dikejar-kejar oleh manusia yang ingin mencapainya? Bukankah cita-cita itu sesuatu yang telah digambarkan, merupakan bayang-bayang yang dipuja-puja sebagai teladan untuk dicapainya dengan cara bagaimana pun.”

“Agaknya benar demikian, locianpwe. Cita-cita adalah sesuatu yang amat baik, yang menjadi arah tujuan hidup. Tanpa cita-cita yang tinggi, hidup akan menyeleweng.”

“Benarkah demikian? Apakah tidak sebaliknya? Apakah bukan justeru karena mengejar cita-cita itu maka manusia saling gempur, saling jegal, saling hantam demi mencapai cita-citanya masing-masing? Apakah bukan cita-cita yang menimbulkan perbuatan-perbuatan kejam, keras, dan pengejarannya membuat kita menyeleweng daripada kebenaran? Cita-cita adalah suatu contoh yang sudah digambarkan lebih dulu, dan kalau kita memaksa diri menjangkaunya, mengekornya, bukankah kita menjadi manusia-manusia yang paling munafik dan palsu? Kita bercita-cita menjadi orang baik, akan tetapi kalau memang kita tidak baik, maka kita akhirnya menjadi orang baik yang palsu, baik pura-pura hanya untuk memenuhi gambaran contoh yang dicita-citakan itu belaka!”

“Tidak begitu, locianpwe. Cita-cita membawa orang yang bodoh menjadi pintar, yang tidak baik menjadi baik, membawa dan mendorong manusia untuk memperoleh kemajuan. Tanpa cita-cita kita akan mandeg!” bantah Keng Hong.

“Ha-ha-ha, persis seperti pandanganku tempo hari!” Kakek raksasa itu tertawa, kemudian menjawab dengan suara tenang kembali. “Andaikata orang bodoh itu mengenal diri sendiri dan melihat kebodohannya, dia sudah bukan orang bodoh lagi! Sebaliknya, orang bodoh yang tidak melihat kebodohannya dan merasa diri pintar, dialah sebodoh-bodohnya orang, taihiap! Demikian pula, andaikata orang tidak baik itu mengenal diri sendiri dan melihat ketidakbaikannya, maka pengertian ini menimbulkan kesadaran dan dia bukan orang tidak baik lagi dan dia tidak perlu mencari untuk menjadi orang baik lagi! Sebaliknya, dalam keadaan tidak baik lalu mengejar untuk menjadi orang baik, pengejarannya itu akan menimbulkan banyak ketidakbaikan, mungkin dia akan pura-pura berbuat baik, mungkin dia akan menggunakan kekerasan, kedudukan, harta benda, untuk dapat disebut orang baik dan di dalam semua kebaikan yang dilakukan oleh orang tidak baik terkandung ketidakbaikan yang paling jahat! Kita sudah terbiasa menganggap bahwa cita-cita mendatangkan kemajuan, anggapan kuno yang sudah mendarah daging dan kita terima begitu saja tanpa penyelidikan akan kebenarannya. Mendatangkan kemajuan? Kemajuan yang bagaimanakah? Kita bercita-cita menjadi seorang berkedudukan tinggi dan dalam mengejar cita-cita itu, sudah hampir dapat dipastikan terjadi perebutan, terjadi penyogokan, terjadi kekerasan, bahkan mungkin kita harus menginjak orang lain sebagai batu loncatan dan setelah kita berhasil mencapai cita-cita itu, memperoleh kedudukan tinggi, apakah itu kemajuan namanya?”

Semua orang yang mendengarkan memandang dengan mata terbelalak karena baru satu kali ini mereka mendengar perdebatan yang aneh itu. Pendekar Sakti Cia Keng Hong memandang pucat, lalu berkata, “Eh... nanti dulu, locianpwe... saya menjadi agak bingung. Jadi menurut locianpwe, kita tidak harus bercita-cita, harus puas dengan keadaan yang sekarang ini saja? Tidak boleh mencari kemajuan? Berarti menjadi orang biasa saja tidak ada artinya?”

“Ha-ha-ha, lucu...! Lucu...! Kenapa pandangan kita pada umumnya begitu sama dan persis? Justeru demikian pula yang kukatakan kepada Bun Hwat Tosu ketika aku membantahnya!” Dia tertawa bergelak, kemudian berkata lagi, sikapnya kembali tenang.

“Cia-taihiap, jangan mencari contoh anggapan atau pandangan orang lain! Mari kita selidiki bersama, jangan hanya menyandarkan kepada pandanganku atau pandangan siapapun juga. Tidak perlu kita berpegang kepada pelajaran mati, harus bercita-citakah, atau tidak haruskah, atau harus puas atau tidak puaskah? Apa sih artinya harus ini atau tidak harus itu? Kalau puas ya puas saja, kalau tidak puas ya tidak puas saja, jangan dipaksakan menjadi sebaliknya karena hal itu menimbulkan pertentangan batin dan kepalsuan belaka. Mengapa kita tidak puas dengan keadaan saat ini? Sekali tidak puas, sampai matipun kita selalu akan tidak puas, bukan? Keadaan setiap saat berubah, akan tetapi ketidakpuasan yang timbul karena mengejar keadaan yang lain itu tidak akan pernah berubah dan akan menekan kita selama hidup. Tidak ada yang tidak membolehkan orang mencari kemajuan, akan tetapi harus dimengerti lebih dulu, apa sih kemajuan yang kita cari-cari itu? Taihiap mengatakan bahwa hal itu berarti menjadi orang biasa saja. Apa salahnya menjadi orang biasa? Kenapa semua orang ingin menjadi orang yang LUAR BIASA? Ha-ha, justeru inilah yang menjadi sebab dan sumber timbulnya segala malapetaka di dunia, segala permusuhan dari perorangan sampai kepada kelompok dan bangsa. Ingin menjadi luar biasa, lain daripada yang lain, paling hebat, paling jempol, haus akan pujian. Padahal semua itu kosong belaka, hanya angin yang akan memenuhi kepala menjadi besar dan tolol! Kita semua takut untuk menjadi orang yang dianggap tidak ada artinya! Padahal kita baru dipandang kalau kita sudah dapat mengalahkan orang lain, memperlihatkan kekuatan dan kekuasaan kita. Tidak anehlah kalau pendidikan macam ini membentuk kita menjadi manusia-manusia yang kejam, yang hanya mementingkan kesenangan diri pribadi. Ya, itulah cita-cita dan pengejarannya! Cita-cita yang diagung-agungkan itu bukan lain hanyalah keinginan untuk menyenangkan diri pribadi. Kesenangan, cita-cita, kedudukan, kekayaan, kemulyaan, dan sebagainya tidaklah buruk, akan tetapi PENGEJARANNYA, itulah yang amat jahat! Kekayaan, misalnya, tidak buruk, akan tetapi pengejarannya, mengejar kekayaan itulah yang menciptakan pelbagai perbuatan jahat yang kejam. Karena pengejaran ini yang membutakan mata batin, dalam mengejar sesuatu yang kita inginkan untuk menyenangkan diri, yang diselimuti dengan nama indah cita-cita, kita menjadi buta dan melakukan apa saja demi tercapainya cita-cita itu. Bukankah demikian yang kita lihat di sekitar kita setiap hari?”

Cia Keng Hong menundukkan kepala dan memejamkan matanya. Mata lahirnya terpejam, namun mata batinnya mulai terbuka. Nampak jelas olehnya betapa cita-cita dan kehormatan yang dipertahankannya mati-matian itupun sesungguhnya memang mempunyai dasar untuk menyenangkan hatinya sendiri, agar dia dianggap orang gagah betul, dipuji-puji di seluruh dunia sebagai orang yang berani mengorbankan anak demi kehormatan! Terbukalah matanya bahwa demi menyenangkan diri sendiri agar dipuji, dia hampir saja membunuh anaknya! Demi kesenangan diri sendiri, dia tidak memperdulikan lagi keadaan anaknya! Terkejutlah dia melihat kenyataan ini dan dia kembali membuka matanya yang memandang agak sayu kepada Kok Beng Lama yang tersenyum dan matanya mencorong itu.

“Locianpwe, saya masih agak bingung. Tadinya saya anggap bahwa apa yang saya lakukan ini bukan hanya demi kehormatan saya, melainkan kehormatan dan nama baik Bun Houw! Saya ingin dia menjadi orang yang gagah dan baik, dan keinginan itu tentu timbul karena saya cinta kepada anak saya. Apakah ini tidak baik dan benar?”

“Cia-taihiap,” kata Kok Beng Lama dengan suara sungguh-sungguh. “Coba dengarkan kata-kata taihiap tadi. Saya ingin dia menjadi orang yang gagah dan baik! Nah, jawabannya telah terdapat di situ, bukan? Taihiaplah yang INGIN dia menjadi orang gagah dan baik, dan semua orang tua bilang cinta kepada anak-anaknya dan mereka ingin anak-anaknya menjadi orang begitu atau begini. Coba teliti yang benar. Bukankah keinginan itu didorong oleh hati yang ingin menyenangkan diri sendiri? Ingin senang MELALUI anaknya! Taihiap akan senang kalau anak taihiap menjadi begini atau begitu menurut yang taihiap inginkan. Bukankah begitu? Maka, kalau si anak tidak menaati, lalu dimaki, dibenci, bahkan hampir dibunuh! Bukan demi cita-cita, bukan demi kehormatan, bukan pula sama sekali demi cinta, melainkan demi menyenangkan diri taihiap sendiri. Karena si anak menolak, berarti tidak menyenangkan, dan berubahlah cinta itu menjadi benci dan kekejaman, sehingga rela hampir membunuh anak. Dapatkah taihiap melihatnya? Begitu jelas!”

“Ah, locianpwe...” Pedang Siang-bhok-kiam terlepas dari tangan Cia Keng Hong dan dia menjatuhkan diri berlutut di depan Kok Beng Lama! Sejenak kakek raksasa ini tertawa bergelak, suara ketawanya seperti menggoncang bumi dan menggetarkan udara, akan tetapi dia lalu memeluk Keng Hong dan mengangkat bangun pendekar sakti itu yang kedua matanya menjadi basah.

“Cia-taihiap, yang penting adalah kgsadaran dan pengenalan diri sendiri berikut semua kesalahan-kesalahan kita sendiri. Makin waspada kita memandang dan membuka mata, makin jelaslah nampak seluruh kenyataan hidup ini, taihiap. Pengekoran terhadap guru atau pelajaran yang lampau hanya akan membuat kita menutup mata saja, dan hal itu dapat menimbulkan penyelewengan.” Kakek itu menarik napas panjang. “Dan sesungguhnya, mata sayapun baru beberapa hari saja terbuka ketika saya bermain catur melawan mendiang Bun Hwat Tosu...”

“Mendiang...?” Tiba-tiba Mei Lan berseru keras den meloncat ke dekat Kok Beng Lama, memegang tangan kakek raksasa itu. “Apa yang kaumaksudkan, locianpwe? Di mana suhu?”

Kok Beng Lama menarik napas panjang, mengeluarkan sebuah bungkusan kain dari dalam saku bajunya yang lebar dan memberikannya kepada Mei Lan. “Kau menanyakan suhumu? Nah, inilah dia, maksudku, inilah abu dari jenazahnya yang telah kubakar sesuai dengan permintaannya sebelum dia meninggal dunia.”

“Aihhh... suhu...!” Mei Lan lalu menangis sambil memeluk bungkusan abu itu. Semua orang memandang dan mendengarkan dengan terharu, dan Kun Liong juga menjatuhkan diri berlutut di dekat puterinya. Bun Hwat Tosu telah menjadi guru puterinya! Dan dia sendiripun adalah murid Bun Hwat Tosu yang sekarang dikabarkan mati oleh Kok Beng Lama dan yang abu jenazahnya kini dipeluk oleh puterinya.

“Heh, diam engkau! Mulai sekarang, engkau harus mendengar kata-kataku karena akulah yang menjadi gurumu. Bun Hwat Tosu telah bermain catur dan bertaruh dengan aku telah berjanji untuk menurunkan tiga macam ilmu kepadamu, sedangkan diapun telah menyerahkan tiga macam ilmunya untuk kuajarkan kepada muridku, Lie Seng. Sudah, diam, jangan menangis. Kalau gurumu masih dapat melihat dan mendengar, dia tentu akan marah kalau kematiannya ditangisi. Hayo kaukatakan, kenapa engkau menangis mendengar gurumu mati?” tanya kakek yang wataknya memang aneh itu kepada Mei Lan.

Mei Lan yang masih sesenggukan itu memandang kepada kakek itu dengan mata merah dan air mata bercucuran, sukar untuk menjawab. Kun Liong yang berlutut di dekat puterinya menghela napas dan berkata, “Gak-hu ayah mertua bolehkah saya mewakili anak saya untuk menjawab pertanyaan itu?”

“Anakmu? Dia ini anakmu? Hemm... ya, teringat aku sekarang... engkau mempunyai seorang anak perempuan bernama Mei Lan! Jadi dia inikah anaknya?”

lanjut ke Jilid 45-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar