Rabu, 19 Februari 2014

Petualang Asmara 77

Petualang Asmara Jilid 077

<--kembali

Cia Giok Keng mengangkat mukanya yang basah air mata dan matanya yang agak merah karena tangis itu memandang wajah yang tampan dari Bu Kong. Malam itu bulan telah muncul dan di bawah sinar bulan wajah itu kelihatan tampan sekali.

“Apa... apa maksudmu...? Meninggalkanmu...?”

Bu Kong menundukkan mukanya dan berkata, suaranya halus menggetar, “Keng-moi, aku cinta kepadamu, aku cinta padamu dengan seluruh jiwa ragaku... dan demi cinta kasihku yang murni, aku tidak ingin melihat kau menderita. Tidak! Aku hanya ingin melihat engkau berbahagia, maka melihat engkau menangis dan bersengsara seperti ini... ah, biarlah aku yang menderita, Moi-moi, kau kembalilah kepada orang tuamu...”

“Koko...!” Giok Keng menangis lagi sambil merangkul leher pemuda itu. Hatinya merasa perih dan terharu, juga bahagia sekali karena ucapan pemuda itu meyakinkan hatinya akan cinta kasih yang murni dari pemuda itu kepada dirinya. “Aku rela berkorban apa pun, Koko... biarlah aku tidak diakui anak lagi oleh ayah bundaku asal engkau benar-benar mencintaku...”

“Moi-moi...!” Bu Kong mendekap tubuh itu dan mencium pipinya, “Aku bersumpah demi bumi dan langit bahwa aku mencintamu dengan seluruh jiwa ragaku. Biarlah aku bersumpah, kalau ternyata aku berhati palsu kepadamu, kelak Thian akan menghukumku dengan...?”

“Husshh, tidak perlu bersumpah, aku percaya kepadamu, Koko...” Giok Keng menutup mulut pemuda itu dengan telapak tangan kanannya.

“Moi-moi... ah, Moi-moi tersayang...”

Bu Kong memegang dan menciumi tangan itu, kemudian ciumannya berpindah-pindah, dari tangan ke leher dan akhirnya dia menciumi bibir Giok Keng dengan penuh nafsu. Mula-mula Giok Keng membalas ciuman pemuda itu dengan sepenuh hatinya karena cinta kasihnya, penub penyerahan dan kemesraan. Akan tetapi ketika ciuman-ciuman penuh nafsu yang membuat dia terengah-engah itu disusul dengan gerakan jari-jari tangan Bu Kong yang nakal, dia terkejut.

“Moi-moi... ahhh... Moi-moi tercinta...!” Bu Kong berkata dengan napas mendengus-dengus, kemudian dengan gerakan halus dia mendorong kedua pundak dara itu sehingga Giok Keng rebah terlentang di atas tanah berumput. Giok Keng merangkulnya, menciumnya, dan jari-jari tangannya meraba-raba dan hendak membuka pakaian Giok Keng.

“Koko... jangan...!” Glok Keng mendadak bangkit duduk dan menolak kedua tangan pemuda itu yang meraba dada dan pahanya. ”Jangan begitu, Koko...!” suaranya penuh permohonan dan nafasnya masih terengah-engah dibakar nafsu berahi.

“Mengapa Moi-moi? Bukankah kita saling nencinta?” Bu Kong mengecup pipi yang kemerahan dan halus serta panas karena terbakar darah muda yang menggelora tadi.

“Memang aku cinta padamu, Koko, dan aku yakin bahwa engkau pun mencintaku akan tetapi kita... kita... tidak boleh begini... sebelum kita menikah dengan sah!”

Bu Kong melepasken kedua tangannya dan usahanya membelai dan memegang kedua pundek dara itu, memandang wajah yang jelita itu dengan mata tajam dan suaranya terdengar mencela, “Aihh, mengapa pendirianmu begini kuno, Moi-moi? Di mana ada cinta, di situ tidak ada pelanggaran apa-apa lagi, apa pun boleh kita lakukan jika kita saling mencinta! Bahkan tidak selalu cinta harus dihubungkan dengan pernikahan! Cinta dan pernikahan itu adalah dua hal yang berlainan, Moi-moi!”

Giok Keng cemberut dan menggerakkan pundaknya sehingga pegangan Bu Kong itu terlepas. Dia menggeser duduknya agak menjauhi pemuda itu, lalu berkata, suaranya juga sungguh-sungguh, “Liong-koko, memang enak saja berkata demikian karena engkau adalah seorang laki-laki! Kau bilang bahwa cinta dan pernikahan adalah dua hal yang berlainan, dan biarpun anggapanmu ini ada benarnya, namun lebih benar lagi adalah bahwa cinta dan bermain cinta adalah dua hal yang lebih berlainan lagi! Bermain cinta hanyalah permainan nafsu berahi, dan seperti juga pernikahan, hanya merupakan pelengkap dari cinta kasih belaka.”

“Moi-moi, kita saling mencinta, kita berdua seakan-akan sudah tidak mempunyai lagi orang tua, perlu apa urusan pernikahan direpotkan lagi? Kita saling mencinta, sehidup semati, dan kalau aku ingin memiliki dirimu, demi cinta kita, apa salahnya itu?”

“Karena engkau seorang laki-laki, maka pendapatmu menjadi demikian mudah tentang hal ini, Koko. Bagi pria, memang tidak ada cacad celanya melakukan hubungan di luar nikah, akan tetapi demikiankah bagi wanita? Memang dunia ini kejam, terutama sekali kejam terhadap wanita! Kalau sepasang muda-mudi, karena cinta mereka, karena dorongan nafsu berahi mereka, melakukan hubungan dan bermain cinta di luar nikah, selalu si wanita yang menjadi korban. Diejek, diolok-olok, dianggap manusia rendah. Sebaliknya, si pria tidak apa-apa, bahkan perbuatannya itu akan dijadikan kebanggaan diantara kawannya, dipamerkan sebagai suatu bukti kejantanan! Sekali saja seorang wanita terpeleset dan bermain cinta di luar nikah, kehormatannya akan cemar, namanya akan buruk. Sebaliknya, biarpun seorang pria melakukan hubungan itu di luar nikah sampai seribu kali, tidak akan berbekas apa-apa! Apalagi kalau hubungan itu sampai menghasilkan kandungan. Maka celakalah si wanita!”

“Ahh, Moi-moi, kau berpikir terlampau jauh dan mengkhawatirkan hal yang bukan-bukan. Apakah kaukira aku yang mencintamu dengan seluruh jiwa ragaku akan meninggalkanmu begitu saja? Kita sudah sehidup semati, Moi-moi!”

“Bukan aku tidak percaya kepadamu, Koko. Hanya aku tidak ingin kehilangan harga diriku yang merupakan kehormatan bagi seorang wanita, biarpun hanya kita berdua saja yang mengetahui. Aku akan merasa rendah dan murah! Pula, kalau engkau memang mencintaku, mengapa kau tidak mau menaruh hormat akan pendirianku ini? Mengapa engkau tidak mau menjaga agar kehormatanku tetap terjunjung tinggi dan kita dapat benar-benar menikmati masa pengantin baru? Koko, aku hanya mau menyerahkan diriku kepadamu setelah kita menikah, sungguhpun hatiku sudah kuserahkan kepadamu.”

“Keng-moi... kau mengecewakan hatiku... akan tetapi demi cintaku yang mumi, biarlah aku akan menahan diri dan akan mentaati permintaanmu itu.”

“Koko, engkau memang baik sekali!” Giok Keng merangkul dan mereka saling berciuman dengan penuh kemesraan, akan tetapi api nafsu berahi yang tadinya hampir membakar mereka berdua itu kini dapat dipadamkan atau setidaknya diperkecil sehingga tidak akan timbul bahaya kebakaran.

Bu Kong duduk di atas tanah bersandar pohon, Giok Keng duduk dan menyandarkan tubuh di atas dada pemuda itu. Sampai lama keduanya tidak berkata-kata, hanya duduk seperti itu dengan hati tenang, masing-masing tenggelam dalam lamunan.

Tak lama kemudian terdengar Bu Kong berkata, “Moi-moi, aku heran sekali bagaimana seorang dara remaja seperti engkau ini dapat mempunyai pandangan sedemikian mendalam tentang hubungan antara pemuda dan pemudi seperti yang kita bicarakan tadi.”

“Ibu yang telah bicara kepadaku tentang semua itu, Koko. Dan Ibu adalah seorang wanita yang keras hati, seorang wanita yang telah mempunyai banyak pengalaman hidup, tahu akan pahit getirnya hidup sebagai seorang wanita. Semua yang dikatakannya memang tepat dan benar, menurut kenyataan. Betapa banyak kenyataannya bahwa wanita selalu terancam dalam hidupnya, banyak sekali bahaya menghadang, di depan langkah hidup kaki wanita. Telah menjadi kembang bibir sebutan-sebutan yang merendahkan kaum wanita. Ada gadis kehilangan keperawanannya akan tetapi tidak ada sebutan perjaka kehilangan keperjakaannya. Ada sebutan isteri tidak setia, akan tetapi suami yang tidak setia tak disebut-sebut. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang saja suami, namun seorang pria boleh saja mempunyai seratus orang isteri! Sebagai akibat hubungan, wanitalah yang harus mengandung, melahirkan dengan segala penderitaannya, sedangkan pria hanya tahu enaknya saja. Ada makian pelacur dan sampah masyarakat bagi wanita, akan tetapi laki-laki hidung belang tukang melacur tetap dianggap sebagai manusia terhormat.”

Liong Bu Kong mengangguk-angguk dan mengelus rambut kekasihnya dengan mesra.

“Engkau memang hebat dan pantas menjadi puteri suami isteri pendekar seperti ayah bundamu itu. Sayang sekali ayahmu keras dan tidak suka kepadaku, Moi-moi, sehingga aku menjadi bingung sekah memikirkan hubungan kita ini. Aku sendiri sudah tidak mempunyai orang tua, lalu bagaimanakah dengan perjodohan antara kita?”

“Kau sebagai seorang laki-laki harus dapat mencari jalan, Koko. Betapa pun besarnya cintaku kepadamu, hubungan kita ini harus dilanjutkan dengan pernikahan, barulah aku dengan syah menjadi isterimu dan aku takkan mengingkari lagi kewajibanku sebagai seorang isteri yang mencinta. Kita akan membentuk keluarga bersama, maka pertama-tama kita harus dapat menjaga kehormatan diri kita sendiri. Kita harus dapat menjaga nama baik keturunan kita kelak, karena engkau tentu mengerti sendiri apa namanya keturunan orang di luar nikah. Hanya penderitaan batin yang akan kita rasakan sebagai akibatnya.”

Karena Giok Keng duduk bersandar kepada Bu Kong, dia tidak tahu betapa ucapannya tadi, pertama tentang anak yang lahir di luar nikah, membuat wajah Bu Kong menjadi pucat dan pemuda ini memejamkan matanya. Dia teringat akan keadaan dirinya sendiri dan ucapan dara itu seolah-olah menyindir dan mengejeknya! Dia sendiri pun tidak pernah mengenal ayah kandungnya, dan biarpun dia diaku sebagai anak angkat oleh Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio, namun sesungguhnya dia adalah anak kandung Ketua Kwi-eng-pang itu, anak yang terlahir tanpa ayah yang syah! Seorang anak haram!

Pandang mata Bu Kong melirik ke arah jalan darah di tengkuk dan pundak kekasihnya. Betapa akan mudah kalau pada saat itu dia menotok jalan darah dan membuat Giok Keng lemas tak berdaya. Betapa mudahnya kalau dia hendak menikmati tubuh kekasihnya ini dengan kekerasan. Akan tetapi tidak, dia tidak ingin berbuat demikian. Dia tergila-gila kepada Giok Keng, dia harus memiliki tubuh dara ini, akan tetapi Giok Keng harus menyerahkan diri secara sukarela. Dia terlalu mencinta dara ini dan ingin memiliki selamanya, bukan hanya memenangkamya dengan kekerasan yang pasti berakibat dengan permusuhan.

“Engkau benar sekali, Moi-moi. Dan karena aku sudah tiada ayah bunda lagi, sedangkan orang tuamu tidak mau menikahkan kita, maka jalan satu-satunya kita harus minta pertolongan sebuah perkumpulan besar agar menikahkan kita secara syah.”

“Terserah kepadamu, Koko. Bagiku, soal ikatan jodoh antara kita disyahkan dalam pernikahan dan disaksikan umum, cukuplah. Akan tetapi perkumpulan manakah yang akan mau menikahkan kita, Koko?”

“Perkumpulan besar sekali yang tentu akan mengatur pernikahan kita dengan meriah dan mengundang seluruh tokoh dunia kang-ouw sehingga pemikahan kita akan menjadi syah benar-benar.”

“Bagus sekali, perkumpulan manakah itu, Koko?”

“Perkumpulan terbesar saat ini, yaitu Pek-lian-kauw.”

“Heh...?” Giok Keng meloncat bangun, membalikkan tubuhnya dan memandang kekasihnya dengan mata terbelalak kaget. “Pek-lian-kauw...? Perkumpulan pemberontak itu?”

“Keng-moi, tenanglah dan duduklah. Mari kita bicara dengan tenang dan berpikir secara wajar.”

Setelah Giok Keng duduk di depan kekasihnya, Bu Kong berkata. “Engkau jangan memandang dari satu pihak saja. Ketahuilah bahwa kalau pemerintah menganggap Pek-lian-kauw sebagai pemberontak, banyak rakyat menganggapnya sebagai pejuang melawan pemerintah yang lalim. Kita jangan menjerumuskan diri dalam pertikaian yang sebetulnya hanyalah perebutan kekuasaan antara orang-orang kalangan atas saja. Permusuhan antara Pek-lian-kauw dan pemerintah sama sekali tidak ada hubungannya dengan pernikahan kita bukan? Dan aku yakin hanya Pek-lian-kauw yang akan sanggup menikahkan kita, karena kalau kita memilih perkumpulan yang menjadi sahabat orang tuamu mereka tentu akan menolak tanpa ijin orang tuamu. Pek-lian-kauw adalah perkumpulan yang besar dan diakui, maka jika perkumpulan ini yang menikahkan kita, yang diundang tentulah orang-orang besar dan yang akan menyaksikan pernikahan kita adalah tokoh-tokoh kang-ouw, sehingga pernikahan itu akan menjadi syah sama sekali!”

“Tapi... tapi... apakah kita lalu menjadi anggauta Pek-lian-kauw?”

“Ha-ha, tentu saja tidak, Moi-moi!”

“Dan... aku tidak diharuskan membantu mereka menjadi pemberontak?”

”Ah, tentu saja tidak. Hal seperti itu timbul dari hati sendiri, mana bisa diharuskan dan dipaksa?”

“Kalau begitu... terserah kepadamu, Koko. Aku percaya kepadamu dan bagiku yang terpenting, asal pernikahan kita disyahkan dan disaksikan banyak orang, cukuplah.”

“Kalau begitu, marilah kita mengunjungi Pek-lian-kauw dan menghadap kepada Thian Hwa Cinjin.”

“Thian Hwa Cinjin? Siapa itu, Koko?”

“Ha-ha-ha, engkau belum mendengar namanya? Memang dia tidak pernah maju sendiri, akan tetapi dialah yang mengatur segalanya, dialah Ketua Pek-lian-kauw yang memiliki ilmu kepandaian yang amat luar biasa, sukar diukur betapa tingginya. Dia adalah Ketua Pek?lian-kauw wilayah timur dan bertempat tinggal di tepi pantai Laut Kuning, di muara Sungai Huang-ho. Besok pagi kita berangkat ke sana, Moi-moi.”

“Balklah, Liong-koko, akan tetapi hanya dengan syarat yaitu...”

“Kita tidak akan bermain cinta sebelum menikah!” Bu Kong memotong sambil tertawa.

“Bukan itu saja, Koko, melainkan bahwa pengesahan pernikahan oleh Pek-lian-kauw itu tidak mengharuskan kita bersekutu dengan Pek-lian-kauw. Aku tidak sudi terlibat dalam pemberontakan.”

“Baik, aku mengerti, Moi-moi. Sekarang tidurlah, biar aku membuat api unggun untuk mengusir nyamuk.”

Giok Keng merebahkan diri dan Bu Kong membuat api unggung lalu menyelimuti tubuh kekasihnya dengan mantelnya. Hatinya kecewa sekali karena hasrat hatinya, nafsu berahinya, tidak terlaksanakan, namun karena Giok Keng sudah setuju untuk bersamanya pergi menghadap Thian Hwa Cinjin, hatinya merasa lega. Memang lebih baik kalau dia memiliki Giok Keng sebagai isteri syah, sehingga tidak akan ada yang menggugatnya lagi kelak!

Pada waktu itu memang Pek-lian-kauw merupakan perkumpulan yang amat terkenal dan kuat, memiliki cabang dan banyak anggauta. Pek-lian-kauw dipimpin oleh orang-orang pandai dan mereka mengadakan pemberontakan dan menentang pemerintah dengan dalih membela rakyat dari pemerintah lalim. Karena pengaruhnya yang besar, boleh dibilang seluruh tokoh kaum sesat berlindung di bawah sayap Pek-lian-kauw dan para orang gagah juga segan untuk berurusan dengan perkumpulan yang berpengaruh dan amat kuat ini. Biarpun perkumpulan-perkumpulan bersih dan orang-orang gagah di dunia kang-ouw tidak sudi menggabung dan bersekutu dengan pemberontak, akan tetapi mereka pun tidak mau melibatkan diri dan tidak mau bermusuhan dengan Pek-lian-kauw yang amat kuat.

Hampir di setiap kota besar terdapat ranting Pek-lian-kauw. Pimpinan Pek-lian-kauw terbagi menjadi empat, yaitu di utara, barat, selatan, dan timur. Pek-lian-kauw wilayah timur ini dipimpin oleh Thian Hwa Cinjin, seorang tokoh baru yang belum lama muncul dan merupakan tokoh besar di wilayah timur. Setelah Pek-lian-kaw di timur ini berada di bawah pimpinan Thian Hwa Cinjin, maka terjadilah perubahan besar yang menyenangkan para anggautanya. Dahulu, sebelum dipegang oleh Thian Hwa Cinjin, Pek-lian-kauw di wilayah timur ini hanya mementingkan pemberontakan dan urusan agama saja. Akan tetapi, setelah Thian Hwa Cinjin menjadi ketua, kepentingan para anggauta diperhatikan dan terdapat banyak peraturan baru yang menyenangkan para anggautanya. Bahkan ada kecondongan bahwa Pek-lian-kauw yang tadinya khusus memusatkan kekuatan pada perjuangan menentang pemerintah yang dianggapnya lalim dan menindas rakyat, menjadi perkumpulan yang mementingkan kesejahteraan pribadi.

Thian Hwa Cinjin adalah seorang kakek berusia enam puluh tahun lebih, bertubuh kurus jangkung, berpakaian seperti tosu dan dia datang dari seberang lautan. Tidak ada yang tahu jelas dari mana dia datang, akan tetapi ada kabar bahwa dia datang dari Korea. Selain memiliki ilmu silat yang tinggi, juga dia memiliki kepandaian sihir yang membuat para anggautanya menjadi makin tunduk dan takut.

Tadinya sebelum munculnya ketua baru ini, di Pek-lian-kauw hanya ada pendeta-pendeta pria saja yang mempraktekkan ajaran agama campuran antara Buddha dan Tokauw. Setelah Thian Hwa Cinjin menjadi ketua, dia memperbolehkan masuknya pendeta wanita. Anehnya, pendeta-pendeta wanita Pek-lian-kauw semua muda dan cantik, dan hanya pakaian pendeta saja yang menunjukkan bahwa mereka adalah pendeta Pek-lian-kauw. Padahal sebetulnya pendeta-pendeta wanita ini adalah wanita-wanita yang bertugas menghibur para pimpinan Pek-lian-kauw dan sebutan pendeta itu hanya sebagai kedok belaka.

Juga Thian Hwa Cinjin menghapuskan pantangan menikah bagi pendeta Pek-lian-kauw, bahkan diperbolehkan memelihara selir sesuai dengan kekuatan tubuh dan isi kantung mereka. Thian Hwa Cinjin sendiri tidak beristeri, akan tetapi dia mempunyai dua orang selir yang cantik sekali di samping pelayan-pelayan wanita yang terdiri dari gadis-gadis muda cantik yang diaku sebagai pelayan, juga murid, juga penghibur di dalam kamarnya sebagai selingan kedua orang selirnya!

Dua orang selir itu pun bukan orang sembarangan dan mereka diambil sebagai bukti dari ketua itu bahwa dia adalah seorang yang anti pembesar pemerintah dan memusuhi para pembesar pemerintah. Belum lama setelah dia menjadi ketua, dia menculik dua orang wanita itu, yaitu puteri seorang pembesar di kota Sin-yang, seorang dara muda yang masih gadis, dan juga selir pembesar itu, selir termuda dan tercantik! Dia memperkosa kedua orang wanita muda dan cantik itu, kemudian dengan paksa membawa mereka ke markas Pek-lian-kauw dan mengangkat mereka menjadi selir-selirnya. Dua orang wanita itu hanya dapat menangisi nasib mereka, karena mereka sama sekali tidak berdaya untuk melawan, bahkan membunuh diri pun tidak mungkin karena selalu terjaga. Kemudian, di bawah kekuasaan sihir Thian Hwa Cinjin, kedua orang wanita itu malah menurut dan senang hati melayani Si Kakek sebagai suami mereka yang tercinta!

Dengan dalih berjuang demi kepentingan rakyat jelata dan demi pembebasan rakyat dari penindasan pemerintah lalim, Pek-lian-kauw dapat mengumpulkan banyak dana dari sumbangan rakyat. Terutama sekali rakyat yang kaya banyak menyumbangkan hartanya, bukan semata-mata karena demi perjuangan, melainkan karena mereka ini mengharapkan jaminan bahwa harta bendanya takkan diganggu oleh Pek-lian-kauw! Demikianlah, kata-kata “perjuangan” kehilangan kemurnian maknanya, dan dijadikan “modal” bagi mereka yang menghendaki cita-citanya tercapai, cita-cita demi kepentingan diri sendiri, baik berupa ambisi mencapai kedudukan tinggi maupun mencari kekayaan. Hal seperti ini terjadi semenjak sejarah berkembang di jaman dahulu sampai sekarang, dan di seluruh pelosok dunia.

Pada suatu hari, menjelang tengah hari, sepasang orang muda datang mengunjungi markas Pek-lian-kauw wilayah timur itu. Mereka berdua itu bukan lain adalah Liong Bu Kong dan Cia Giok Keng. Dara ini terheran-heran dan kagum melihat keadaan Pek-lian-kauw ketika dia tiba di pintu gerbang perkumpulan itu. Tempat itu merupakan sebuah perkampungan di tepi pantai laut, perkampungan yang terkurung oleh tembok yang kokoh kuat dan tinggi, dengan pintu-pintu gerbang yang terjaga kuat dalam bentuk benteng yang terjaga siang malam dengan kuatnya.

Ketika Liong Bu Kong memperkenalkan namanya pada pintu gerbang pertama, mereka berdua diharuskan menanti sampai seorang penjaga melapor ke dalam melalui pintu gerbang yang berlapis lima dan terjaga kuat menuju ke dalam. Mereka harus menanti agak lama karena untuk menentukan apakah seorang tamu diperbolehkan masuk, apalagi tamu yang ingin berjumpa dengan ketua, haruslah diputuskan oleh ketua sendiri dan pelaporan kepada ketua melalui beberapa orang komandan jaga!

Thian Hwa Cinjin sedang makan siang, ditemani oleh dua orang selirnya yang cantik dan dilayani oleh gadis-gadis muda yang cantik pula. Mendengar pelaporan bahwa seorang bernama Liong Bu Kong, putera Ketua Kwi-eng-pang di Telaga Kwi-ouw hendak berjumpa dengannya, ketua ini mengangguk-angguk. Dia belum pernah bertemu dengan pemuda itu, akan tetapi dia sudah mendengar akan nama Kwi-eng-pang, bahkan dia pernah mendengar betapa perkumpulan kaum sesat itu pernah bersekutu dengan Pek-lian-kauw, sungguhpun persekutuan itu belum menghasilkan sesuatu. Tadinya dia agak malas untuk bertemu dengan pemuda putera datuk kaum sesat itu, akan tetapi karena teringat akan cerita tentang perebutan bokor emas milik Panglima The Hoo dan kabarnya bokor emas itu pernah terjatuh ke tangan ibu pemuda yang datang ini, hatinya tertarik dan mengatakan kepada pengawal agar Liong Bu Kong dipersilakan menunggunya di ruangan tamu.

Dengan cara berantai, perintah ini akhirnya disampaikan juga kepada Liong Bu Kong yang bersama Cia Giok Keng masih menunggu di luar pintu gerbang pertama dengan hati tidak sabar. Mereka dikawal masuk pintu gerbang pertama sampai di pintu gerbang ke dua, di mana mereka dikawal oleh penjaga lain lagi menuju ke pintu gerbang ke tiga dan seterusnya sampai mereka melalui pintu gerbang ke lima. Di sini, mereka disambut oleh tiga orang pendeta laki-laki dan tiga orang pendeta wanita yang mengawal mereka ke ruangan tamu di bangunan khusus.

GIOK KENG terheran-heran. Tiga orang pendeta pria itu rata-rata berusia lima puluh tahun, sikap mereka halus dan jelas membayangkan bahwa mereka memiliki kepandaian silat tinggi. Akan tetapi tiga orang pendeta wanita muda, paling tua tiga puluh tahun usianya, dan wajah mereka cantik-cantik! Biarpun mereka juga kelihatan halus pendiam, namun Giok Keng dapat menangkap kerling mata yang menyambar tajam dan penuh arti ke arah wajah Bu Kong yang tampan!

Setibanya di ruang tamu dan dipersilakan duduk, Giok Keng makin kagum. Kalau tadi dia mengagumi kekuatan dan ketertiban penjagaan di benteng Pek-lian-kauw, kini dia mengagumi keindahan ruangan itu. Selain meja dan kursi-kursinya terbuat dari kayu berukir dan merupakan perabot rumah yang mahal, tiga ruangan itu terhias lukisan-lukisan dan tulisan indah-indah yang tentu tidak murah pula harganya, seperti ruang tamu gedung seorang hartawan atau bangsawan saja layaknya!

Lapat-lapat di sebelah kiri, dari sebuah bangunan di mana tampak asap hio mengepul, terdengar suara merdu orang membaca doa, suara yang menggetarkan kalbu dan seperti biasanya suara orang berdoa, selalu mendatangkan keharuan yang khas. Di sebelah kanan, agak jauh dari tempat yang amat luas itu, tampak beberapa orang sedang berlatih silat di sebuah lapangan rumput yang luas. Gerakan mereka sigap dan kuat, dan biarpun dari jauh, Giok Keng dapat mengenal ilmu silat yang baik. Diam-diam dia menjadi makin kagum. Tak disangkanya bahwa Pek-lian-kauw yang terkenal sebagai perkumpulan pemberontak, yang dibenci oleh ayah bundanya, ternyata merupakan perkumpulan yang teratur rapi dan agaknya memiliki keuangan yang kuat!

“Selamat datang, sepasang orang muda yang tampan dan cantik, yang keduanya gagah perkasa!”

Suara ini datang dari dalam dan agaknya orang yang bicara sudah berada di depan mereka, akan tetapi Giok Keng tidak melihat apa-apa! Bulu tengkuknya meremang. Setankah yang bicara itu? Akan tetapi, Bu Kong segera memegang tangannya dan mengajaknya berdiri. Pemuda ini sudah menjura ke depan, ke arah pintu sambil berkata “Mohon Locianpwe sudi memaafkan kedatangan kami yang lancang ini dan sudi memperlihatkan diri. Harap Locianpwe tidak mempermainkan kami berdua yang muda dan bodoh.”

“Ha-ha-ha, engkau boleh juga, orang muda. Merendahkan diri, menghormat, akan tetapi sekaligus juga menegur. Nah, kalian pandanglah Pinto (aku)!”

“Wussshhh...!” Tampak asap putih mengepul tebal dan dari dalam asap itu, seorang kakek berusia enam puluh tahun, jenggotnya panjang, pakaiannya model pakaian pendeta tosu berwarna kuning dengan gambar bunga teratai putih di depan dadanya. Biarpun jenggotnya sudah banyak ubannya, namun rambut, jenggot dan pakaian kakek ini terpelihara rapi dan bersih, bahkan sepatunya juga masih baru. Ada bau harum keluar dari kakek itu, tanda bahwa kakek ini masih pesolek, suka memakai wangi-wangian di tubuhnya. Namun, kakek kurus jangkung itu memiliki sepasang mata yang amat tajam, sepasang mata yang mengandung wibawa kuat sekali sehingga dalam pertemuan pandang pertama, Giok Keng merasa berdebar jantungnya dan meremang bulu tengkuknya sehingga dia cepat menundukkan mukanya.

“Tok! Tok! Tok!” Tongkat hitam mengkilap di tangan kanan kakek itu mengeluarkan bunyi ketika dia melangkah maju menghampiri Bu Kong dan Giok Keng.

“Saya Liong Bu Kong dan Nona Cia Giok Keng ini menyampaikan hormat kepada Tung-kauwcu (Ketua Agama Timur).” Kembali Bu Kong berkata sambil menjura dengan hormat, diturut oleh Giok Keng.

“Ha-ha, tidak perlu banyak sungkan, orang-orang muda. Kita adalah orang sendiri, bukan? Benarkah engkau putera Kwi-eng-pangcu?”

“Benar, Locianpwe. Mendiang ibu saya adalah Ketua Kwi-eng-pang.”

Ketua Pek-lian-kauw itu mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya dengan tangan kiri. “Hemmm, Pinto sudah mendengar akan kematian itu... kalau tidak salah, dalam perebutan bokor pusaka bukan? Hemmm, sayang sekali...! Mari silakan duduk agar enak kita mengobrol!”

Dua orang muda itu lalu duduk di atas kursi berhadapan dengan tuan rumah dan tak lama kemudian muncullah pelayan-pelayan wanita menghidangkan minuman. Giok Keng terheran melihat betapa pelayan-pelayan wanita ini masih muda-muda dan cantik-cantik, juga gerak-gerik mereka serta lirikan mata mereka yang dilontarkan kepada Bu Kong membayangkan sikap genit.

Setelah dipersilakan minum, Thian Hwa Cinjin, kakek itu, menanyakan maksud kedatangan kedua orang muda itu dan apa keperluan mereka minta bertemu dengan dia sendiri.

Bu Kong lalu bangkit berdiri, memegang tangan Giok Keng lalu mengajak dara itu untuk menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu sambil berkata, “Kami berdua sengaja menghadap Locianpwe dengan harapan agar Locianpwe sudi menolong kami, dan atas budi kebaikan Locianpwe, kami berdua takkan melupakannya.”

Kakek itu kelihatan tercengang, lalu tertawa, “Ha-ha-ha, bangkitlah, duduklah dan ceritakan apa kehendak kalian. Tentu saja mengingat akan hubungan antara Pek-lian-kauw dan Kwi-eng-pang, Pinto akan memperhatikan permintaanmu dan jika mungkin tentu saja kami akan suka sekali membantu Sicu.”

Bu Kong dan Giok Keng bangkit dan duduk kembali. “Permohonan kami tidak lain agar Locianpwe sudi menikahkan kami berdua di sini secara resmi.”

Kakek itu membelalakkan matanya kemudian tertawa bergelak, “Ha-ha-ha-ha, kiranya hanya untuk keperluan itu! Aihhh, mengapa kalian hendak menikah memilih tempat ini dan minta perantaraan Pek-lian-kauw? Bukankah urusan pernikahan adalah urusan orang tua dan keluarga kalian?”

“Locianpwe, saya sudah tidak mempunyai orang tua dan keluarga, saya sebatang kara di dunia ini...”

“Akan tetapi, setelah ibumu meninggal, bukankah engkau yang kini menggantikannya memimpin Kwi-eng-pang?”

“Seperti Locianpwe tentu telah mendengar, perkumpulan kami dihancurkan oleh pemerintah dan selain kini saya belum berkesempatan untuk menghimpunnya kembali, juga dalam pernikahan ini, kiranya kalau bukan Pek-lian-kauw yang mengadakan, tidak ada lagi yang akan berani...”

“Hemmm, mengapakah?” Kakek itu kini menoleh dan memandang kepada Giok Keng dengan penuh perhatian.

“Karena calon isteri saya, Nona Cia Giok Keng ini... dia... adalah puteri dari Locianpwe Cia Keng Hong...”

“Hahh...?” Thian Hwa Cinjin terkejut sekali dan memandang dengan mata terbelalak.

lanjut ke Jilid 078-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar