Rabu, 19 Februari 2014

Petualang Asmara 88

Petualang Asmara Jilid 088

<--kembali

Mereka berpisah, dan melihat gadis itu pergi dengan kepala menunduk, Kun Liong menarik napas panjang dan hatinya merasa iba sekali. Tak disangkanya bahwa puteri Ketua Cin-ling-pai akan mengalami nasib seburuk itu dalam hidupnya. Kalau saja di dalam hatinya ada perasaan cinta kepada Giok Keng seperti perasaannya kepada Hong Ing, tentu dia akan mengobati kepatahan hati gadis itu! Kembali dia menarik napas panjang lalu dia pun mulai dengan penyelidikannya, mencari Yo Bi Kiok di dusun itu.

Memang tidak mudah mencari seorang dara seperti Yo Bi Kiok yang gerak-geriknya penuh rahasia itu. Biarpun Kun Liong telah bertanya-tanya kepada semua penghuni dusun itu, tidak seorang pun mengenal Yo Bi Kiok. Akhirnya Kun Liong mengambil keputusan untuk mencari sendiri di dua buah dusun yang berada di daerah itu. Sehari penuh dia mencari-cari di dusun pertama, kemudian hari berikutnya dia putar-putar di dusun ke dua yang tak begitu besar, namun hasilnya sia-sia belaka. Dia sudah mulai putus ada dan malam itu dia membayangkan ke mana dia harus mencari Bi Kiok kalau besok, di dusun ke tiga, dia tidak dapat menemukan dara itu. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, dia pergi ke dusun ke tiga, dusun terakhir yang terdapat di daerah itu.

Dusun ini agak besar, seperti dusun pertama di mana dia mengobati Giok Keng. Hari masih pagi sekali, akan tetapi telah banyak penduduk yang hilir-mudik di jalan, mulai dengan pekerjaan sehari-hari mereka. Kun Liong memasang mata, melihat orang-orang yang lalu lalang, juga melihat rumah-rumah dusun itu sebelum dia mulai bertanya-tanya apakah ada seorang nona bernama Yo Bi Kiok tinggal di dusun ini.

“Huk! Huk! Hukkk...!”

Kun Liong tersenyum melihat seekor anjing yang keluar dari lorong dan menyalak-nyalak kepadanya. Akan tetapi tiba-tiba dia membelalakkan matanya.

“Pek-pek!” Serunya heran. Tak salah lagi, inilah anjing peliharaannya ketika dia masih kecil dahulu! Anjing berbulu putih yang menumpahkan obat di kamar ayahnya sehingga menjadi awal dari semua perubahan dalam hidupnya.

“Pek-pek...!” Kun Liong berlutut mengelus kepala anjing itu yang mulai menggoyang-goyangkan ekornya sambil mengeluarkan suara rintihan. Ternyata anjing itu pun mulai mengenal kembali Kun Liong!

“Aihhh... Pek-pek...! Bagaimana kau dapat berada di sini?” Kun Liong berkata dengan terheran-heran, masih ragu-ragu apakah benar ini anjing kesayangannya dahulu itu. Dia mendapat akal. Untuk mengetahui apakah benar ini anjing kesayangannya itu, dia harus tahu siapa kini yang memelihara anjing ini. Dengan gaya seperti ketika dia masih kecil memerintah anjing itu, dia bangkit berdiri, menuding dan berseru, “Pek-pek, hayo pulang!” Anjing itu mengeluarkan suara berkuik lalu membalikkan tubuhnya, terus lari. Ketika beberapa kali dia menoleh dan melihat Kun Liong mengikutinya setengah berlari, anjing itu kelihatannya girang sekali dan terus berlari keluar dari dusun itu melalui pintu gerbang dusun bagian selatan. Kun Liong terus mengikutinya dan terheran-heran. Kalau anjing ini ada yang memeliharanya, mengapa tinggalnya malah di luar dusun?

Kedaan mulai sunyi dan anjing itu memasuki sebuah hutan kecil! Tiba-tiba, dari balik pohon-pohon muncullah dua orang yang membuat Kun Liong terkejut sekali. Mereka itu adalah Thian Hwa Cinjin Ketua Pek-lian-kauw yang amat lihai bersama Bhong Khi Tosu, pembantunya! Kun Liong terkejut sekali. Tak disangkanya bahwa anjing yang mirip benar dengan Pek-pek itu adalah anjing peliharaan Ketua Pek-lian-kauw ini untuk memancingnya. Dengan marah dia lalu memandang kepada Ketua Pek-lian-kauw itu dan... terlambat dia ingat bahwa inilah kesalahan utamanya, yaitu memandang mata kakek itu. Begitu bertemu pandang, Kun Liong merasa seolah-olah pandang matanya melekat kepada sepasang mata yang bersinar aneh itu, kemudian dia mendengar suara Thian Hwa Cinjin yang amat berpengaruh, “Yap Kun Liong, berlututlah engkau! Tak pantas orang muda kurang ajar terhadap orang tua.”

Kun Liong tahu bahwa dia diserang dengan ilmu sihir, akan tetapi karena pandang matanya telah bertaut dan kepalanya pening, tak tahu harus berbuat apa, kedua kakinya seperti lumpuh dan dia lalu menjatuhkan diri berlutut, tetap memandang kepada wajah kakek itu tanpa berkedip seperti terkena pesona!

Melihat keadaan Kun Liong yang sudah tidak berdaya ini, Bong Khi Tosu yang memutar dan berada di belakang Kun Liong mengangkat tongkatnya dan siap untuk menghantamkan tongkatnya itu di kepala Kun Liong! Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara menyalak-nyalak marah dan anjing berbulu putih yang kecil itu meloncat dan menerkam Bong Khi Tosu, langsung menggigit ke arah leher tosu itu. Tentu saja Bong Khi Tosu terkejut akan tetapi dengan mudah dia menangkis dengan tangan kirinya, membuat anjing kecil itu terbanting dekat dengan Thian Hwa Cinjin. Karena marah diserang anjing kecil itu, Bong Khi Tosu meluncurkan tongkatnya ke arah anjing itu.

“Crapppp...!” Anjing itu menguik satu kali dan roboh tewas, darahnya muncrat-muncrat mengenal pinggir jubah Thian Hwa Cinjin yang berada di dekat tempat itu.

“Bodoh kau...!” Thian Hwa Cinjin berteriak kaget dan menegur pembantunya.

Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara melengking keras dan tampak sinar terang menyambar ke arah tubuh Bong Khi Tosu. Kakek ini terkejut, cepat berusaha mengelak dari serangan pedang yang bersinar kilat itu karena tongkatnya telah dipergunakan membunuh anjing tadi. Namun gerakannya kurang cepat sehingga terdengar teriakan keras dan tubuhnya terjungkal lalu bergulingan sampai jauh, baru dia meloncat dengan pundak berdarah. Kiranya yang menyerangnya adalah seorang dara muda yang memegang pedang berkilauan, dan dia ini bukan lain adalah Yo Bi Kiok sedangkan pedang yang dipergunakan menyerang Bong Khi Tosu adalah Lui-kong-kiam, pedang rampasan dari tangan Liong Bu Kong itu!

“Keparat, berani kau membunuh anjingku?” teriak Yo Bi Kiok marah.

Sementara itu, Kun Liong juga telah sadar dari keadaannya terkena sihir itu maka dia cepat meloncat dan menerjang Thian Hwa Cinjin. Kakek ini berusaha mengerahkan ilmu sihirnya, akan tetapi betapa kagetnya bahwa tenaga sihirnya telah menjadi lemah sekali dan bahkan hampir lenyap. Tahulah dia bahwa ini disebabkan oleh darah anjing tadi, maka dia cepat mengerahkan tenaga sin-kangnya menangkis.

“Dukkk! Dess!” Biarpun dia berhasil menangkis hantaman tangan kanan Kun Liong, namun dia tidak mampu menghindarkan tamparan tangan kiri Kun Liong yang mengenai dadanya. Dia terjengkang dan cepat meloncat lagi lalu melarikan diri diikuti pembatunya karena dia tahu bahwa melanjutkan pertandingan melawan pemuda itu amatlah berbahaya. Tamparannya tadi saja sudah membuat napasnya sesak dan muntah darah yang ditahannya di dalam mulutnya, tanda bahwa dia telah terkena hantaman sin-kang yang membuatnya terluka di sebelah dalam dadanya. Setelah mereka berlari jauh, barulah Ketua Pek-lian-kauw ini muntahkan darah dari mulutnya!

Kun Liong yang sama sekali tidak menyangka-nyangka akan kemunculan dara yang dicari-carinya itu di tempat ini, memandang wajah Yo Bi Kiok. Hatinya penuh keheranan mendengar teriakan Bi Kiok yang mengaku bahwa anjing putih itu adalah anjingnya. Juga Bi Kiok memandang kepadanya. Dua pasang mata bertemu, bertaut dan sejenak mereka lupa keadaan.

“Pek-pek... aduhh, Pek-pek... kenapa kau...? Uhu-hu-huk, Pek-pek mati... Subo (Ibu Guru)... Pek-pek mati...!”

Kun Liong merasa terkejut seperti disambar petir mendengar sebutan Pek-pek ini. Dia menengok dan melihat seorang anak perempuan berlutut di dekat bangkai anjing itu, memeluki bangkai itu sambil menangis. Anak perempuan itu berusia kurang lebih empat lima tahun dan mendengar betapa anak itu menyebut Yo Bi Kiok dengan sebutan subo, dia mengerti bahwa anak itu adalah murid dara cantik yang luar biasa ini.

“Pek-pek? Apakah nama anjing itu Pek-pek, Bi Kiok?” tanyanya, seperti dalam mimpi.

Yo Bi Kiok mengangguk.

“Anjingmukah itu?”

Yo Bi Kiok menggeleng kepalanya. “Bukan anjingku, melainkan anjing muridku itu.”

Kun Liong memandang anak perempuan itu, jantungnya berdebar tegang. Anjing itu, yang juga bernama Pek-pek, telah mengenalnya! Tidak salah lagi, anjing itu pasti anjing kesayangannya dahulu itu!

“Bi Kiok, siapakah nama muridmu ini?”

Yo Bi Kiok tersenyum, akan tetapi pandang matanya masih dingin. “Kautanyalah dia sendiri.”

Kun Liong menghampiri anak perempuan yang masih terisak-isak menangis itu, lalu dia berlutut dan menyentuh pundaknya. “Adik kecil, sudahlah jangan menangis. Biarpun sudah mati, Pek-pek mati dengan gagah perkasa melawan orang jahat.”

Anak perempuan itu menghapus air matanya dan mengangkat muka, memandang kepada Kun Liong dengan mata dan pipi basah. Wajah anak itu manis sekali dan satu kali pandang saja timbul rasa suka di hati Kun Liong. “Biarlah aku akan mencarikan seekor anjing lain untukmu,” kata Kun Liong karena merasa kasihan sekali, akan tetapi sebetulnya dia ingin tahu dari mana anak itu mendapatkan Pek-pek yang telah mati.

“Aku tidak suka anjing lain, yang kusuka hanya Pek-pek...” jawab anak itu, kembali air matanya mengucur ketika dia menengok dan memandang anjing yang ditembusi tongkat itu.

“Adik yang baik, siapakah namamu dan dari mana engkau dahulu mendapatkan anjing putih ini?”

“Dia... dia memang anjingku sejak dulu... Pek-pek adalah anjingku sejak dulu...”

“Dan namamu...?”

“Namaku Yap In Hong...”

“Ahhhh...!” Wajah Kun Liong menjadi pucat seketika. “Apa... apa artinya ini...?” Dia meloncat dan menghadapi Bi Kiok.

Dara itu tersenyum dan mengangguk. “Dia memang adikmu, Kun Liong,” jawab Bi Kiok tenang.

Kun Liong memandang kepada anak perempuan itu lagi, hatinya tidak karuan rasanya, dilanda keharuan, keheranan dan juga keraguan. Benarkah ini adiknya, adik kandung yang selamanya belum pernah dilihatnya? Anak inikah peninggalan ayah bundanya yang telah meninggal dunia? Benarkah? Anak itu pun memandang kepadanya dengan sepasang matanya yang lebar dan bersinar-sinar setelah tidak menangis lagi.

“In Hong, kau masih ingat akan nama Yap Kun Liong?” tanya Bi Kiok kepada muridnya yang masih kecil itu.

“Yap Kun Liong yang Subo ceritakan itu, yang kata Subo adalah kakak kandungku? Tentu saja teecu (murid) ingat...” jawab anak itu dengan suara yang lucu, namun jelas membayangkan kecerdikannya. “Apakah Subo hendak mengatakan bahwa orang ini adalah kakakku itu?”

Yo Bi Kiok mengangguk dan Kun Liong lalu menghampiri anak itu, berlutut dan memegang kedua lengannya. “Yap In Hong... adikku... kau adalah adikku... engkau adik kandungku...” Kun Liong merangkul dan teringatlah dia akan ayah bundanya yang tewas terbunuh orang, teringatlah dia akan perbuatannya yang melarikan diri dari orang tuanya sehingga mereka menderita kesengsaraan sampai akhirnya ditewaskan musuh. Kun Liong menggigit bibirnya menahan keharuan hatinya, memeluk dan mendekap muka anak perempuan itu ke dadanya.

Akan tetapi In Hong meronta halus dan terpaksa dilepaskan oleh Kun Liong yang kini menatap wajah itu. Tampak olehnya kini betapa anak perempuan itu amat cantiknya. Teringat dia akan wajah ibunya. Mata dan mulut anak ini presis mata dan mulut ibunya.

“In Hong...!” Dia mengeluh dan memondong anak itu penuh kasih sayang. “Mulai sekarang kita tidak akan saling berpisah lagi, Adikku!”

In Hong juga memandang wajah Kun Liong penuh perhatian. Dia masih terlalu kecil untuk mengenal rasa keharuan karena perjumpaan ini. Sejak kecil dia tidak mengenal lagi ayah bundanya, apalagi kakaknya ini. Pertemuannya dengan Kun Liong hanya berkesan sebagai pertemuan dengan seorang laki-laki yang aneh dan asing.

Biarpun dia dipondong, namun ketika dia membuka mulut bicara, dia menujukan kata-kata itu kepada Bi Kiok, “Subo, apakah benar dia ini kakak kandungku seperti yang seringkali Subo ceritakan itu?”

“Benar, In Hong. Dialah kakak kandungmu,” jawab Bi Kiok yang biarpun wajahnya tidak membayangkan sesuatu dan tetap dingin, namun di dalam hatinya dia merasa terharu juga menyaksikan pertemuan antara kakak dan adiknya yang selamanya belum pernah jumpa itu, pertemuan yang amat ganjil. Dia terharu karena teringat kepada dirinya sendiri yang sudah tidak mempunyai siapa-siapa lagi di dunia ini.

“Tapi... tapi dia...”

“Dia kenapa, In Hong? Dia kakakmu!” Bi Kiok agak kecewa menyaksikan sikap muridnya yang seperti tidak senang hatinya itu.

“Kalau dia kakakku, kenapa begini jelek?”

Kun Liong tertawa dan Bi Kiok mengerutkan alisnya. “Jelek? Mengapa kaubilang jelek?”

“Rambutnya begitu sih...”

Kun Liong makin keras tertawa dan mencium pipi anak perempuan itu. “Kau genit, ya?” Dia menggoda dan mau tidak mau Bi Kiok tersenyum juga menyaksikan adegan itu.

“Bi Kiok, aku makin berhutang budi kepadamu dengan perjumpaan dengan adikku ini. Bagaimana engkau bisa bertemu dengan In Hong?”

“Mari kita ke pondokku dan akan kuceritakan kepadamu, Kun Liong.”

Dengan memondong adiknya Kun Liong mengikuti Bi Kiok yang membawa pula bangkai anjing bulu putih yang terbunuh tadi. Mereka memasuki hutan kecil dan di tengah hutan itu terdapat sebuah pondok kecil dari kayu dan bambu. Amat sederhana akan tetapi cukup mungil dan menyenangkan karena dikelilingi oleh bermacam bunga yang sengaja ditanam oleh Bi Kiok sehingga pondoknya itu lebih menyerupai sebuah pondok taman yang sedap dipandang.

Setelah membantu In Hong mengubur bangkai anjing Pek-pek dan menghibur anak itu yang menangisi lagi kematian anjingnya, mereka masuk ke dalam pondok. In Hong yang masih kecil itu telah pandai menghidangkan minuman dan makanan, kemudian atas perintah gurunya dia disuruh ke kebun belakang untuk memetik sayur dan mempersiapkan masakan untuk siang nanti.

“Liong-ko, aku sudah pandai masak!” katanya sebelum pergi, memamerkan kepandaiannya kepada kakaknya yang kini sudah tidak begitu asing lagi baginya.

“Wah, ingin aku mencoba masakanmu, In Hong!” kata Kun Liong dengan sikap memuji.

“Tunggu saja! Akan kubuatkan masakan sayur yang amat lezat untukmu. Akan tetapi...”

“Hemm, mengapa? Teruskan!”

“Lain kali rambutmu jangan dipotong seperti itu lagi, ya? Biarkan panjang dan bagus!”

Kun Liong mengangguk-angguk dan memandang dengan gembira betapa adiknya itu berlompatan meninggalkan mereka berdua, menuju ke belakang pondok.

Dia termenung dan sambil tersenyum-senyum dia teringat akan semua pengalamannya. Tanpa disadarinya dia meraba kepala dan rambutnya yang masih pendek, rambut yang kusut dan kacau, tersembul ke sana-sini. Bi Kiok yang melihat semua itu tersenyum lagi, agaknya dapat mengikuti jalan pikiran Kun Liong. “Agaknya memang sudah nasib kepala dan rambutmu yang selalu menjadi sasaran celaan orang, Kun Liong.”

“He...? Ohhh, agaknya begitulah.”

“Dahulu engkau berkepala gundul kelimis, mengingatkan orang kepada seorang pendeta.”

“Memang ke mana-mana aku disangka pendeta. Bi Kiok, sekarang ceritakanlah bagaimana engkau dapat berjumpa dengan adikku dan dengan Pek-pek.”

“Perjumpaan itu secara kebetulan saja, Kun Liong. Pada suatu hari, tiga bulan yang lalu, aku melihat orang berkerumun di sebuah pasar kota tak jauh dari sini. Ketika aku mendekat, kiranya orang-orang itu mengerumuni seorang nenek tua yang sedang sakit payah. Yang menarik mereka adalah karena nenek ini menawarkan seorang anak perempuan dan seekor anjing putih, menawarkan kepada siapa yang merasa dirinya ahli silat untuk mengambil murid anak itu dan memelihara anjingnya. Tentu saja hal ini mengherankan semua orang. Mengapa nenek itu hendak memberikan anak kecil yang diaku sebagai cucunya itu kepada orang yang pandai ilmu silat? Nah, terjadilah keributan karena anak perempuan kecil, yaitu adikmu, menarik hati beberapa orang laki-laki yang kulihat sikapnya ceriwis dan agaknya mempunyai niat buruk terhadap adikmu yang biarpun masih kecil sudah kelihatan cantik itu. Terjadilah adu kepandaian karena nenek itu kukuh dengan tuntutannya bahwa siapa yang terpandai ilmu silatnya, dialah yang berhak memiliki anak dan anjing itu.”

“Siapakah nenek tua yang menawarkan In Hong dan Pek-pek itu?”

“Nanti dulu, kulanjutkan ceritaku. Karena aku tidak ingin melihat anak perempuan itu terjatuh ke tangan seorang di antara laki-laki yang kasar dan saling berebutan, yang mengeluarkan kata-kata kotor mengenai diri In Hong, aku lalu turun tangan merobohkan dan mengusir mereka semua. Kemudian aku membawa Nenek Phoa itu bersama In Hong dan Pek-pek ke pondokku. Sayang Nenek Phoa hanya dapat hidup sepekan lamanya, namun sebelum dia meninggal dunia, dia telah menceritakan semua riwayat In Hong sehingga tahulah aku bahwa Yap In Hong adalah adik kandungmu.”

“Aduh, untung ada engkau, Bi Kiok. Andaikata adikku terjatuh ke tangan orang jahat, betapa mungkin aku dapat bertemu dengannya?”

“Ah, belum tentu! Dari cerita Phoa Ma aku mendengar kematian ayah bundamu yang dikeroyok oleh para datuk...”

“Aku sudah tahu pula tentang hal itu, dan semua pembunuh ibuku telah tewas, sungguhpun bukan tewas oleh tanganku, terima kasih kepada Thian untuk itu! Akan tetapi harap kauceritakan riwayat In Hong setelah kedua orang tuaku itu tewas di Taigoan.”

“Menurut penuturan Phoa Ma, ketika ayah bundamu tewas bersama semua keluarga Theng yang budiman, adikmu berhasil dibawa lari oleh Phoa Ma dan Pek-pek yang oleh ayahmu diam-diam dibawa pula ke Taigoan secara sembunyi dari kota Lengkok, mengikuti pelarian ini. Dengan susah payah Phoa Ma menyembunyikan adikmu itu dan merantau sampai jauh. Namun karena dia sudah tua, maka tentu saja dia dan adikmu menjalani hidup yang serba kekurangan dan amat sukar, bahkan akhirnya, setelah adikmu berusia empat tahun lebih, Phoa Ma sering jatuh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaannya sebagai tukang cuci pakaian. Karena merasa bahwa tak mungkin dia dapat hidup lebih lama lagi, dia mencari akal dan menawarkan adikmu itu dan Pek-pek kepada orang-orang di pasar itu.”

“Aihh, budi Phoa Ma terhadap adikku sukar dapat dibalas, apalagi dia telah meninggal dunia. Akan tetapi, Bi Kiok. Mengapa dia menawarkannya kepada orang yang pandai ilmu silat?”

“Menurut pengakuan Phoa Ma ketika kutanya, dia berkata bahwa adikmu itu adalah keturunan ayah ibu pendekar, sudah sepantasnya kalau adikmu itu menjadi murid orang pandai pula agar kelak dapat membalaskan kematian orang tuanya. Pula kalau yang melindungi seorang ahli silat yang lihai, tentu keselamatannya terjamin.”

“Aduh, sungguh luhur budi Phoa Ma itu.” Kun Liong menarik napas panjang dan merasa terharu sekali.”

“Memang benar, padahal dia hanyalah seorang pelayan di rumah keluarga Theng di Taigoan.”

Kun Liong menarik napas panjang. “Kebajikan tidak memilih kedudukan maupun keadaan harta seseorang, bahkan biasanya, makin tinggi kedudukan seseorang dan makin banyak jumlah harta seseorang, makin jauhlah dia dari kebajikan. Orang yang tidak pernah merasakan kemiskinan, betapa mungkin menaruh rasa belas kasihan kepada orang miskin? Orang yang tidak pernah merasakan kelaparan, betapa mungkin merasa iba kepada orang kelaparan? Budi yang dilimpahkan Phoa Ma terhadap In Hong berdasarkan kasih tanpa mengingat lagi akan kepentingan dirinya sendiri. Sungguh budi yang sukar ditemukan di antara seribu orang!”

“Aku yakin bahwa ayah bundamu yang namanya terkenal di seluruh dunia kang-ouw tentulah merupakan orang-orang gagah yang sudah tak terhitung banyaknya menolong manusia lain, maka biarpun mereka sendiri mengalami nasib buruk, namun puterinya selalu dilindungi oleh bintang penolong.”

“Dan engkau adalah seorang di antara bintang-bintang penolongnya.”

“Hemm, aku tidak masuk hitungan.”

“Engkau terlalu merendahkan diri. Entah sudah berapa kali engkau menolongku. Seingatku, ketika aku hanyut di sungai, engkau pula menolongku dengan peringatan tentang bokor setelah engkau bersama gurumu menyelamatkan aku dari tangan Kwi-eng Niocu, betapa engkau menyembunyikan aku di guha dan...”

“Sudahlah, semua itu tidak ada gunanya dibicarakan kembali. Engkau pun telah menyelamatkan aku ketika aku hendak disiksa dan mukaku hendak dirusak oleh Toat Beng Hoatsu, kemudian engkau menyelamatkan aku dan malah mengorbankan diri menyerah ketika kita bersembunyi di dalam guha sehingga engkau menjadi tawanan pasukan pemerintah.”

Kun Liong tersenyum. “Memang di antara kita, siapa yang terancam babaya harus ditolong oleh yang lain. Kalau kita tidak saling tolong-menolong, betapa akan lebih sengsaranya hidup ini. Kalau seluruh manusia di dunia ini saling menolong dan saling membantu, tentu dunia ini sudah berubah menjadi sorga! Akan tetapi, satu hal membuat aku kagum bukan main dan terheran-heran, Bi Kiok. Bagaimana engkau sekarang bisa begitu lihai? Kulihat ilmu kepandaianmu meningkat sepuluh kali lipat! Bahkan aku berani bertaruh bahwa ilmumu telah mencapai tingkat lebih tinggi daripada tingkat yang dimiliki gurumu dahulu.”

Pada saat itu dengan suara nyaring gembira, In Hong memberitahukan bahwa masakannya telah matang. Mereka bertiga lalu makan dan dengan setulus hati Kun Liong memuji masakan sayur yang dibuat adiknya. Karena selama beberapa bulan hidup berdua dengan gurunya In Hong diajar masak, dan memang suka masak, maka anak kecil ini benar-benar sudah pandai membuat masakan sayur yang bumbunya sedap. Sehabis makan, Bi Kiok memberi kesempatan kepada In Hong untuk ikut bercakap-cakap, akan tetapi dia melihat bahwa muridnya itu masih belum dapat membiasakan diri menghadapi seorang kakak maka biarpun dia sudah ramah sekali, tetap saja masih kaku terhadap Kun Liong. Rasa kasih sayang antara saudara sekandung terjalin karena kebiasaan hubungan sehari-hari, sedangkan kedua orang kakak beradik ini selama hidup mereka baru sekarang saling bertemu. Kemesraan di hati Kun Liong hanya terdorong oleh keharuannya mendapat kenyataan bahwa anak itu adalah adiknya, adik kandung satu-satunya! Namun perasaan seperti ini belum terasa oleh In Hong, maka dia pun hanya menganggap Kun Liong sebagai seorang laki-laki yang manis budi, yang menganggapnya sebagai adiknya.

Setelah mereka duduk bercakap-cakap berdua lagi, Kun Liong mengulangi pertanyaannya tentang kelihaian Bi Kiok yang dalam waktu singkat memperoleh kemajuan yang amat luar biasa itu.

“Kun Liong, percayalah, kalau bukan engkau, sampai mati pun aku tidak akan membuka rahasia ini. Engkaulah satu-satunya orang yang akan mendengar rahasiaku ini.”

Mendengar ucapan yang dikeluarkan dengan suara dan sikap sungguh-sungguh itu, tak disadarinya lagi saking herannya Kun Liong bertanya, “Mengapa aku?”

“Yaaah... justeru karena engkaulah...”

Kun Liong tersenyum. “Terima kasih, Bi Kiok. Ini menunjukkan bahwa engkau amat percaya kepadaku. Nah, aku siap mendengar rahasia besar itu.”

“Kun Liong, aku memperoleh kemajuan pesat setelah aku mempelajari ilmu kesaktian yang terdapat di dalam... bokor pusaka yang diperebutkan itu.”

“Hehhh...?” Kun Liong mencelat bangun dari bangkunya mendengar ini, saking heran dan kagetnya.

“Engkau marah?” Bi Kiok bertanya, sikapnya seperti menantang.

“Mengapa marah?” Kun Liong menggeleng kepalanya, matanya menjadi bundar ketika memandang wajah dara itu. “Aku hanya kaget dan heran karena tidak menyangka-nyangka. Yang kuketahui adalah bahwa bokor pusaka yang diperebutkan itu setelah ditemukan, ternyata palsu.”

“Memang kami yang memalsukan, mendiang Subo dan aku.”

Kun Liong mengangguk-angguk. “Cerdik sekali! Pantas semua tidak berhasil, bahkan Cia-supek sendiri, dan bahkan Panglima The Hoo sendiri, sampai dapat dikelabui. Hebat sekali siasatmu itu, Bi Kiok.”

“Mana aku bisa? Semua ini adalah siasat mendiang Subo. Ketika bokor terjatuh ke tangan Subo, Subo cepat membuat tiruannya pada seorang tukang emas yang segera dibunuhnya pula setelah pembuatannya selesai dan persis betul. Tidak ada seorang pun mengetahui akan pembunuhan ini. Lalu Subo menyuruh aku menyimpan bokor yang tulen sedangkan dia membawa yang palsu, hal ini menurut Subo adalah karena orang-orang tentu akan mengejar Subo, bukan aku yang hanya seorang muridnya. Dugaan Subo benar, bokor palsu yang diperebutkan sedangkan yang aseli berada di tanganku, kusembunyikan baik-baik. Sayang sekali, siasat Subo yang berhasil baik itu tidak dapat dinikmati oleh Subo sendiri yang keburu tewas. Maka aku lalu menyelidiki isinya, menemukan rahasia tempat penyimpanan kitab-kitab dan harta pusaka. Bokor itu kumusnahkan kitabnya kubawa dan kupelajari, sedikit harta kubawa sebagai bekal. Nah, dari sebagian kitab itulah aku memperoleh kemajuan ilmu silatku.”

Kun Liong menjadi kagum bukan main. “Hebat! Baru sebagian saja sudah amat luar biasa, apalagi kalau kau mempelajarinya semua!”

“Memang hebat sekali, Kun Liong. Dan harta itu pun cukup banyak. Dan begitu berjumpa denganmu, tekadku sudah bulat bahwa semua harta pusaka dan kitab-kitab itu adalah untuk kita. Aku tidak dapat hidup sendiri, menguasai pusaka sedemikian banyaknya.”

“Kita...?”

“Ya, kau pun berhak. Bukankah engkau yang mula-mula menemukan bokor itu dari dalam sungai? Engkau yang menemukan, aku yang menyelamatkannya dari tangan orang-orang yang memperebutkannya, jadi kita berdua, bertiga dengan In Hong, yang berhak memilikinya. Karena itu, Kun Liong, marilah kita pergi ke tempat rahasia itu, bersama In Hong dan hidup bertiga penuh kebahagiaan di sana.”

Kun Liong mengerutkan alisnya, memandang tajam. Sejenak mereka berpandangan, dua pasang sinar mata bertemu, bertaut, saling menjajaki dan menyelidiki. Kemudian Bi Kiok menghela napas dan berkata, “Kun Liong, aku... aku masih mencintamu, sejak dulu sampai sekarang dan sampai mati. Selama ini, tidak ada seorang pun pria yang menarik hatiku.”

“Bi Kiok! Jangan kau berkata demikian!”

“Hemm, Kun Liong, apakah kau tidak cinta padaku, setelah segala yang kulakukan terhadap adik kandungmu?”

lanjut ke Jilid 089-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar