Jumat, 21 Februari 2014

Dewi Maut Jilid 42

Dewi Maut Jilid 42

<--kembali

Tentu saja Giok Keng merasa penasaran dan diapun meloncat ke atas wuwungan itu dan terus memasuki halaman kuil. Akan tetapi baru saja dia meloncat turun, terdengar teriakan. “Tangkap siluman!” dan muncullah beberapa orang hwesio yang memegang toya dan pedang mengepung dan mengeroyoknya!

“Aku bukan siluman, aku malah mengejar dan mencarinya!” Giok Keng membentak sambil memutar pedangnya menangkis hujan senjata yang menimpa ke arah dirinya.

“Omitohud, wanita pembohong!” tiba-tiba terdengar suara hwesio membentak dan hwesio ini masih memakai pakaian hitam-hitam, akan tetapi kedoknya sudah dilepas sehingga nampak kepalanya yang gundul. “Dia dan seorang kawannya laki-laki adalah siluman-siluman yang mengacau dan maling-maling yang selama ini mengeruhkan kota Heng-tung!”

Giok Keng tidak diberi kesempatan untuk membela diri kecuali dengan pedangnya. Tiba-tiba hwesio yang bertubuh tinggi besar, yang ilmu pedangnya amat kuat dan agaknya menjadi pimpinan dari para hwesio lainnya, membentak keras dan begitu tangan kirinya bergerak, dia mengebutkan saputangan merah dan nampaklah debu kemerahan mengepul dan menyerbu ke arah Giok Keng.

Pada saat itu, Giok Keng sedang sibuk menangkisi semua senjata dan tentu saja dia tidak mau melukai para hwesio yang agaknya salah mengira dialah sebetulnya maling yang dicari-cari. Dia melihat bubuk debu halus kemerahan itu dan terkejut bukan main. Akan tetapi melihat bahwa para pengepungnya juga tidak menghindar, maka dia menahan napas dan menangkis terus. Akan tetapi celakanya debu itu agaknya tebal dan amat halus, sampai lama tidak juga lenyap dan ketika satu kali saja dia menarik napas, dia mencium bau harum dan kepalanya menjadi pening. Dalam keadaan pening itu, gerakannya menjadi kacau dan tiba-tiba pundaknva kena ditotok maka robohlah pendekar wanita ini dalam keadaan setengah pingsan.

Ketika Giok Keng sadar, dia mendapatkan dirinya telah berada di dalam sebuah kamar yang besar, terbelenggu kaki tangannya dan terlentang di atas sebuah pembaringan. Di dalam kamar itu duduk tiga orang hwesio dan bau di kamar itupun harum dengan dupa wangi.

Giok Keng membuka matanya dan memandang ke arah hwesio yang duduk dekat pembaringan. Seorang hwesio tinggi besar yang usianya tentu hampir enam puluh tahun, tersenyum dengan pandang matanya yang tajam penuh selidik. Di belakang hwesio tinggi besar ini duduk dua orang hwesio lain, usianya juga rata-rata lima puluh tahun, yang seorang wajahnya penuh bekas penyakit cacar (bopeng) dan yang seorang lagi mukanya hitam seperti pantat kuali.

“Omitohud... seorang wanita yang masih muda dan cantik, pula berkepandaian tinggi, ternyata telah menjadi siluman keji...semoga Sang Buddha mengampuni dosa-dosamu...!” Hwesio tinggi besar itu berkata sambil merangkapkan kedua tangan di depan dadanya.

“Losuhu, kalian salah sangka. Aku bukanlah siluman itu, akan tetapi aku bersama temanku itu bahkan menyelidiki siluman yang mengacau kota Heng-tung.”

Giok Keng berkata. “Harap losuhu suka membebaskan aku.”

Hwesio tinggi besar itu tertawa, juga dua orang hwesio lainnya tertawa. “Sudah sejak manusia mengenal istilah mencuri, tidak ada pencuri yang mau mengakui perbuatannya. Daripada engkau dipaksa dengan siksaan oleh yang berwajib untuk mengakui perbuatanmu, lebih baik engkau mengaku kepada pinceng di mana kausembunyikan harta dari hartawan Ciong yang kaucuri malam kemarin.”

“Losuhu, memang benar temanku yang melakukan pencurian malam kemarin, akan tetapi dia melakukan hal itu hanya untuk memancing keluarnya siluman yang selama ini mengganggu kota ini. Aku sungguh bukan maling, losuhu.”

“Hemm, siapa dapat menjamin bahwa bukan engkau maling atau siluman itu?” Sepasang mata yang besar itu memandang tajam penuh selidik dan Giok Keng merasa ngeri. Sepasang mata itu besar dan amat berpengaruh, juga menakutkan.

“Losuhu, kalau kau tidak percaya kepadaku sebaiknya engkau tahu siapa aku sebenarnya. Nama keluargaku merupakan jaminan. Aku bernama Cia Giok Keng, puteri dari ketua Cin-ling-pai...”

“Ohhhhh...!” Hwesio tinggi besar itu, juga dua orang hwesio lainnya, serentak bangkit dan mengeluarkan seruan kaget. Mata mereka terbelalak memandang kepada Giok Keng, dan mulut mereka terbuka, sampai beberapa lama mereka tidak mampu mengeluarkan kata-kata. Akhirnya, hwesio tinggi besar itu duduk lagi, mukanya menjadi merah dan dia berdehem beberapa kali untuk menenangkan jantungnya yang tadi berdebar keras sepasang matanya masih melotot dan memandang tajam penuh selidik ke arah muka yang cantik dan gagah itu.

“Omitohud...!” Akhirnya dia menarik napas panjang. “Sungguh berani sekali engkau penjahat wanita mengaku sebagai puteri ketua Cin-ling-pai!”

“Aku tidak bohong, losuhu!” Giok Keng berkata marah.

“Siapa dapat menjamin kebenaran kata-katamu? Akan tetapi untuk menguji apakah benar engkau puteri ketua Cin-ling-pai, pinceng ingin mendengar apakah engkau kenal dengan nama Thian Hwa Cinjin?”

“Ah, pendeta terkutuk itu?” Giok Keng cepat menjawab untuk meyakinkan hati hwesio ini bahwa dia benar puteri ketua Cin-ling-pai. “Tentu saja aku tahu. Thian Hwa Cinjin adalah ketua Pek-lian-kauw di wilayah timur, dahulu bertempat di muara Sungai Huai, di pantai Laut Kuning, seorang kakek yang tinggi jangkung dengan jenggot panjang, orangnya pesolek!”

“Hemm, banyak orang tahu akan ketua Pek-lian-kauw itu, akan tetapi pengetahuanmu tentang dia belum meyakinan pinceng bahwa engkau benar puteri ketua Cin-ling-pai...”

“Losuhu, aku yang telah membunuh pendeta keparat itu! Tanganku yang mengantar nyawanya ke neraka!” Giok Keng berkata penuh semangat. Memang pengakuannya ini benar. Dalam cerita “Petualang Asmara” dituturkan betapa kakek yang lihai, Thian Hwa Cinjin ketua Pek-lian-kauw wilayah timur itu tewas di tangan pendekar wanita ini! Hal itu terjadi sudah belasan tahun yang lalu ketika Cia Giok Keng masih seorang gadis perkasa yang keras hati.

Mata hwesio tinggi besar itu terbelalak dan sejenak dia dan dua orang temannya itu diam saja, memandang kepada Giok Keng dengan sinar mata penuh perhatian. Giok Keng menanti, tidak tahu apa yang terpikir oleh tiga orang hwesio tua itu. Kalau saja dia tahu, tentu pendekar wanita ini akan terkejut setengah mati.

Siapakah hwesio tinggi besar ini? Dia ini bukan lain adalah Kim Hwa Cinjin, seorang tosu Pek-lian-kauw dan seorang tokoh karena dia ini adalah ketua Pek-lian-kauw wilayah selatan! Juga dua orang “hwesio” bermuka bopeng dan hitam di belakangnya itu adalah dua orang sutenya. Tokoh-tokoh Pek-lian-kauw pula! Bersama belasan orang anak buahnya, Kim Hwa Cinjin hendak meluaskan pengaruh Pek-lian-kauw ke pedalaman dan tibalah mereka di kota Heng-tung itu. Seperti biasa, anak buah Pek-lian-kauw yang tadinya adalah orang-orang dari golongan hitam ini melakukan pekerjaan mereka dengan diam-diam dan rahasia. Untuk itu, Kim Hwa Cinjin lalu menyergap para hwesio di Kuil Ban-hok-tong di sudut kota itu, dan menggantikan pekerjaan para hwesio dengan anak buahnya yang sudah terlatih. Tentu saja mereka semua menggunduli kepala dan kepada para tamu mereka memberitahukan bahwa mereka adalah hwesio-hwesto pengganti yang dikirim dari kuil pusat karena hwesio-hwesio lama sedang digembleng di kuil pusat! Dan bersama dengan datangnya rombongan Pek-lian-kauw ini di kota Heng-tung, mulailah kota itu diganggu “siluman”. Tentu saja siluman itu bukan lain adalah orang Pek-lian-kauw yang dipimpin oleh Kim Hwa Cinjin yang lihai. Dan gadis-gadis itu diculik untuk “makanan” mereka yang sudah biasa mengumbar nafsu rendah mereka dengan jalan kekerasan, sedangkan harta-harta curian mereka pergunakan untuk memperluas kekuatan Pek-lian-kauw. Dengan menyamar sebagai hwesio-hwesio Ban-hok-tong, tentu saja kawanan Pek-lian-kauw ini dapat beroperasi dengan aman, karena siapakah yang akan menduga bahwa hwesio-hwesio itu adalah orang-orang jahat? Pula, gadis-gadis yang diculik dan harta itu disimpan di dalam kamar-kamar kuil yang besar itu tanpa ada yang berani menggeledahnya, bahkan tidak ada yang menduganya sama sekali.

Ketika Kim Hwa Cinjin yang merobohkan Giok Keng dengan debu racun pembius merah itu melihat Giok Keng, berahinya sudah timbul dan berkobar. Dia sudah bosan dengan gadis-gadis culikan, wanita-wanita yang masih amat muda dan lemah, wanita-wanita yang baginya masih mentah dan hanya menangis dan minta ampun. Kini, melihat seorang wenita seperti Giok Keng, yang “matang” bentuk badannya, yang selain cantik jailta juga mengandung kegagahan, yang memiliki sin-kang kuat den ilmu silat tinggi, dia sudah mengilar dan tentu saja dia sengaja menangkap hidup-hidup wanita ini untuk menjadi kekasihnya yang tentu akan menyenangkan dan memuaskan hatinya yang selalu dilanda kehausan nafsu itu.

Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia mendengar bahwa wanita menggairahkan yang kini terbelenggu dan terlentang didepannya, yang tinggal menunggu dia turun tangan mempermainkannya, ternyata adalah Cia Giok Keng, pembunuh dari rekannya, Thian Hwa Cinjin. Wanita ini adalah puteri ketua Cin-ling-pai dan teringat akan nama Cin-ling-pai, bulu tengkuknya sudah meremang dan perasaan gentar mengusir jauh-jauh semua nafsu berahinya! Bergidik mengenangkan betapa dia tadi ingin memperkosa dan mempermainkan wanita ini. Untung dia lebih dulu menyelidikinya, karena kalau sudah terlanjur dia memperkosa puteri ketua Cin-ling-pai, ngeri dia membayangkan akibatnya! Akan tetapi dia tidak akan membebaskan wanita ini begitu saja! Tentu saja tidak! Dia harus membalaskan kematian rekannya, Thian Hwa Cinjin dan biarpun dia tidak akan memperkosa atau membunuh wanita ini, akan tetapi ada jalan lain yang lebih bagus, bahkan amat bagus, untuk menghancurkan nama wanita musuh Pek-lian-kauw ini dan sekaligus mencemarkan nama Cin-ling-pai. Dia akan menyerahkan wanita ini kepada yang berwajib sebagai “siluman” yang selama ini mengacau Heng-tung!

Akhirnya Kim Hwa Cinjin dapat menguasai hatinya yang terguncang dan dia berkata, “Omitohud... agaknya benar keteranganmu. Akan tetapi, sebelum ada bukti-bukti yang nyata, harap maafkan bahwa kami belum dapat membebaskanmu begitu saja, toanio. Kami harus dapat melihat bukti dan saksi, yaitu harta dari hartawan Ciong dan temanmu itu, untuk melihat apakah bukan dia siluman yang menculik wanita-wanita.”

“Dia adalah seorang maling tunggal yang terhormat. Dia adalah Jeng-ci Sin-touw Can Pouw dari Tai-goan yang juga datang untuk menyelidiki siluman yang mengacau Hek-tung. Dialah yang menggunakan akal mencuri harta itu untuk memancing munculnya siluman dan sekarang dia menanti di rumah penginapan, dan harta itu masih berada di sana karena memang akan kami kembalikan kalau siluman itu sudah tertangkap.”

“Baik, kami akan membuktikan keteranganmu itu. Sute, kalian pergilah ke rumah penginapan itu dan lihat apa benar harta itu disembunyikan di sana. Kalau benar, bawa harta itu ke sini, dan juga Jeng-ci Sin-touw!”

“Baik, suheng,” jawab hwesio muka bopeng dan mereka berdua lalu pergi mtninggalkan kamar itu.

“Toanio tentu maklum bahwa dalam keadaan seperti sekarang ini, pinceng belum berani membebaskan toanio. Tunggu kalau semua bukti dan saksi sudah lengkap, tentu kami akan membebaskan toanio atau minta kepada pejabat untuk memutuskan persoalan ini. Harap toanio maafkan pinceng.” kata Kim Hwa Cinjin dengan sikap sopan dan alim, kemudian dia melangkah keluar meninggalkan Giok Keng terbelenggu di atas pembaringan. Beberapa orang hwesio nampak menjaga di luar kamar itu dan Giok Keng terpaksa menggigit bibir dengan gemas. Akan tetapi, dia tidak dapat menyalahkan hwesio-hwesio ini yang tentu saja bersikap hati-hati. Dia makin marah dan penasaran kepada “siluman” itu yang seperti mempermainkan mereka semua dan diam-diam dia berjanji akan membasmi siluman itu dan tidak akan pergi meninggalkan Heng-tung sebelum berhasil menangkap atau membunuh siluman itu!

Baru satu kali itu selama hidupnya Jeng-ci Sin-touw Can Pouw kehabisan akal dan bingung tak tahu apa yang harus dilakukan! Biasanya dia adalah seorang yang cerdik dan tidak kekurangan akal. Akan tetapi sekarang, malam itu, dia kelihatan termenung di dalam kamarnya, berulang-ulang menggaruk kepalanya yang awut-awutan. Topi yang biasanya tak pernah meninggalkan kepala itu sekarang menggeletak di atas meja, di dekat bungkusan uang emas yang dicurinya dari gedung hartawan Ciong malam kemarin.

“Sialan!” gerutunya dan dia membuka kantung itu, melihat uang emas yang berkilauan. “Uang sialan!” Dia menonjok ke arah kantung itu. Dia telah mengatur akal, dan memang siluman itu telah keluar, akan tetapi sekarang siluman itu hilang lagi, bahkan pendekar wanita puteri ketua Cin-ling-pai juga hilang bersamanya! Celaka, pikirnya. Bagaimana kalau sampai pendekar wanita itu tertimpa malapetaka? Siluman belum tertangkap, malah pendekar wanita itu celaka. Dan ke mana dia harus mencari siluman itu dan pendekar wanita itu? Mencari siluman itu saja sudah susah payah sampai kini belum berhasil, kini ditambah lagi harus menyelidiki lenyapnya puteri ketua Cin-ling-pai.

“Uang sialan! Siluman sialan!” dia berkata agak keras dan kembali menonjok ke arah kartung uang.

“Hemm, kiranya di sini kau sembunyi!” Tiba-tiba jendela itu terbuka dari luar dan seorang laki-laki tampan berpakaian sederhana meloncat masuk dengan sikap tenang sekali.

Melihat seorang laki-laki yang tak dikenalnya masuk melalui jendela, tentu saja Can Pouw terkejut setengah mati dan dia segera menduga bahwa inilah silumannya! Maka, tanpa banyak cakap lagi dia lalu menerjang maju menggunakan gin-kangnya yang lumayan sehingga gerakannya cepat sekali dan dia sudah menerkam seperti seekor harimau kelaparan yang menubruk seekor kelinci. Akan tetapi sang kelinci ternyata bukan kelinci sembarangan, karena entah bagaimana si Jari Seribu tidak mengerti, tahu-tahu dia merasakan kaki dan tangannya lumpuh dan dia sudah terbanting jatuh ke atas lantai!

Laki-laki itu memandang ke arah uang emas yang nampak di dalam karung terbuka, lalu menoleh kepada Can Pouw. Can Pouw sudah bergerak meloncat, akan tetapi tiba-tiba tengkuknya dicengkeram oleh tangan yang amat kuat dan terdengar laki-laki itu menghardik, “Manusia busuk! Jadi engkaukah silumannya di kota ini? Hayo katakan di mana kausembunyikan gadis-gadis itu dan harta-harta yang lain!”

“Sialan...!” Can Pouw memaki gemas. “Siluman sial dangkalan!” Siapa tidak menjadi gemas? Dia malah disangka siluman itu!

“Eh, apa maksudmu?” Laki-laki itu menghardik. “Hayo lekas mengaku, siluman keji!”

“Bagaimana saya harus mengaku kalau bukan saya silumannya?” dia balas bertanya penuh kemendongkolan.

“Hemm, sudah tertangkap basah masih mencoba untuk menyangkal! Bukankah uang emas di meja itu hasil curianmu?”

“Memang, akan tetapi hal itu kulakukan untuk memancing keluarnya siluman yang aseli! Sudahlah, siapapun adanya engkau, yang tadinya kusangka adalah si siluman yang aseli, kalau tidak percaya kepada Jeng-ci Sin-touw Can Pouw, kau boleh bertanya kepada puteri ketua Cin-ling-pai! Nah, kalau kepada puteri ketua Cin-ling-pai kau masih juga tidak percaya, agaknya memang engkau inilah silumannya!”

Orang itu kelihatan terkejut bukan main. “Apa? Siapa? Puteri ketua Cin-ling-pai? Apa maksudmu? Di mana dia?”

Tubuh Can Pouw terguncang ke kanan kiri sehingga dia merasa seolah-olah semua tulangnya rontok. “Eh-eehhhh... bagaimana aku bisa menjawab hujan pertanyaan itu kalau aku kaugoncang-goncang seperti ini?”

“Brukk!” Tubuh Can Pouw dilempar ke atas kursi dan laki-laki itu berkata, “Cepat kauceritakan yang sebenarnya dan mengapa kau membawa-bawa nama puteri ketua Cin-ling-pai?”

Can Pouw meraba-raba tengkuknya yang masih terasa nyeri, lalu memandang kepada laki-laki itu dengan mata agak dipicingkan. Memang matanya sudah agak lamur selama beberapa bulan ini sehingga kalau hendak melihat sejelasnya, perlu agak dipicingkan. Dia melihat bahwa laki-laki itu berusia kurang dari empat puluh tahun, kelihatan masih muda, berwajah tampan, bersikap tenang dan berpakaian sederhana, akan tetapi ada sinar duka di kedua matanya yang luar biasa tajamnya itu. Can Pouw adalah seorang kang-ouw yang berpengalaman, maka melihat keadaan laki-laki ini, dia mengerti bahwa dia berhadapan dengan orang pandai, dengan seorang pendekar, karena tidak mungkin laki-laki seperti ini menjadi jai-hoa-cat. Akan tetapi dia mendongkol karena kembali dia disangka siluman.

“Hemm, kalau awak lagi sial!” dia menggerutu. “Dua kali berturut-turut aku disangka jai-hoa-cat, disangka siluman! Pertama oleh puteri ketua Cin-ling-pai, kedua oleh kau!”

“Lekas ceritakan apa yang terjadi, jangan banyak rewel!”

“Baik, dengarkanlah, orang gagah. Kemarin malam aku yang sudah sepekan menyelidiki adanya siluman itu tanpa hasil, mengambil keputusan untuk memancing keluarnya siluman itu dengan mencuri harta milik hartawan Ciong. Celakanya, perbuatanku itu ketahuan oleh Cia Giok Keng lihiap, puteri ketua Cin-ling-pai dan hampir saja aku mampus di tangannya. Untung aku sempat memberi tahu dan kemudian malam ini kami bardua menanti akan hasil rencanaku itu yang disetujui pula oleh Cia-lihiap. Dan siluman itu memang muncul. Aku dihajar sampai hampir celaka, untung ditolong oleh Cia-lihiap yang kemudian mengejar siluman itu. Akan tetapi mereka itu lenyap, entah ke mana dan selagi aku termenung bingung menanti di sini bersama harta curian yang digunakan sebagai pancingan ini, engkau datang-datang menyangka aku siluman lagi!”

“Ah, ke mana perginya Cia-lihiap...?”

Laki-laki itu bertanya dengan nada suara khawatir.

“Bagaimana saya tahu?” Can Pouw lalu menceritakan sejelasnya tentang pertemuannya dengan Giok Keng dan tentang peristiwa tadi.

“Sudah kuceritakan bahwa aku hampir tewas di tangan siluman itu, dan untung Cia-lihiap menolongku. Mereka bertanding ramai dan siluman itu lalu melarikan diri, dikejar oleh Cia-lihiap. Mereka lenyap ditelan kegelapan malam, dan karena aku tahu bahwa siluman itu lihai sekali dan aku tidak dapat mencari, terpaksa aku kembali ke sini dan menanti kembalinya Cia... ehhh, apa ini?” Can Pouw terkejut karena tiba-tiba laki-laki itu meniup padam lilin di atas meja, kemudian bagaikan seekor burung rajawali menerkam tikus, dia sudah menyambar tubuh Can Pouw dan dibawanya meloncat keluar dari jendela, lalu mendekam tak jauh dari situ.

“Ssstt, ada orang datang...!” bisik laki-laki itu kepada Can Pouw. Mereka menanti dan jantung Can Pouw bordebar tegang. Belum pernah dia mengalami hal seperti ini di mana dia menjadi orang yang sama sekali tidak berdaya dan lemah!

Tak lama kemudian, kelihatan berkelebat bayangan dua orang yang kepalanya gundul. Hwesio! Mereka itu memiliki gerakan lincah sekali, meloncat memasuki kamar dan tak lama kemudian, mereka terdengar berbisik-bisik di dalam kamar, lalu dua bayangan itu berkelebat keluar lagi terus melayang ke atas genteng. Can Pouw hanya merasa ada angin menyambar di belakangnya, dan ketika dia menoleh, ternyata laki-laki yang tadi menangkapnya telah lenyap pula.

Can Pouw membanting-banting kakinya. “Sialan! Tentu dia tadi siluman dan dua orang tadi teman-temannya! Celaka, harta itu mereka bawa pula! Akan tetapi dia segera berpikir bahwa tidak mungkin siluman itu si laki-laki sederhana tadi. Kalau benar demikian, dengan kepandaiannya yang tinggi, apa sukarnya untuk membawa pergi harta itu dan membunuhnya? Tidak, tentu tidak ada hubungannya antara laki-laki gagah tadi dengan dua orang hwesio yang membawa pergi harta. Hwesio? Hanya ada satu kuil di Heng-tung. Kuil Ban-hok-tong!

Can Pouw adalah seorang yang cerdik. Begitu melihat bahwa dua orang yang mengambil harta itu adalah hwesio-hwesio, maka segera timbul dugaan keras di hatinya bahwa tentu ada apa-apa di Kuil Ban-hok-tong, ada hubungan antara para hwesio di sana dengan siluman yang menghebohkan Heng-tung itu. Maka dia tidak ragu-ragu lagi cepat diapun meloncat ke atas genteng dan menggunakan kepandaiannya, cepat-cepat dia menuju ke Kuil Ban-hok-tong!

Siapakah laki-laki gagah perkasa berpakaian sederhana yang terkejut mendengar nama Cia Giok Keng tadi? Dia itu bukan lain adalah Yap Kun Liong! Seperti telah diceritakan di bagian depan cerita ini, setelah berpisah dari pertemuannya dengan Cia Giok Keng, Kun Liong juga pergi hendak mencari putera Giok Keng yang lenyap diculik penjahat, yaitu Lie Seng. Akan tetapi, dia lebih mementingkan penyelidikannya tentang Lima Bayangan Dewa sampai akhirnya dia dapat membongkar semua rahasia setelah dia bertemu dengan Yo Bi Kiok pembunuh isterinya, berhasil merobohkan Bi Kiok dan di tempat Raja Sabutai itupun dia telah bertemu dengan In Hong dan mendengar bahwa Lie Seng ternyata telah ditolong Oleh ayah mertuanya, yaitu Kok Beng Lama.

Setelah kembali dari utara, Kun Liong lalu pulang ke Leng-kok untuk menengok kuburan isterinya. Di Leng-kok inilah dia mendengar tentang siluman yang mengacau di Heng-tung, kota yang tidak jauh letaknya dari Leng-kok, maka dengan hati penasaran pendekar ini lalu menyelidikinya dan kebetulan dia melihat gerak-gerik Can Pouw yang mencurigakan malam itu ketika Can Pouw dengan jalan tidak semestinya memasuki kamar hotelnya dari atas genteng!

Kini Kun Liong dengan perasaan terheran-heran mengikuti dua orang hwesio yang mengambil karung berisi uang emas dari kamar Can Pouw itu. Dua orang hwesio itu memasuki Kuil Ban-hok-tong dan dengan menggunakan kepandaiannya yang tinggi, Kun Liong dapat terus membayangi mereka dan ketika mereka berdua memasuki kamar besar itu, Kun Liong sudah mengintai dari atas dengan menggantungkan kedua kakinya di tiang melintang. Alangkah kaget dan juga girangnya ketika dia melihat Cia Giok Keng rebah terbelenggu di atas pembaringan dan dua orang hwesio itu memasuki kamar sambil membawa karung berisi uang emas.

“Suheng, inilah karung uang emas yang dicuri itu, ditinggalkan di sebuah kamar kosong di penginapan itu. Kami tidak melihat adanya Jeng-ci Sin-touw, maka kami hanya dapat mombawa karung ini saja.”

“Nah, losuhu. Bukankah benar semua penjelasanku?” terdengar Giok Keng berkata.

“Nanti dulu, toanio. Benar ada karung emas ini, akan tetapi Jeng-ci Sin-touw belum ditangkap. Siapa tahu kalau-kalau dialah silumannya dan engkau hanya ditipu saja! Betapapun juga, sudah menjadi kewajiban kami untuk melaporkan semua ini kepada yang berwajib. Kami masih ragu-ragu karena bagaimana kami dapat tahu bahwa benar-benar toanio adalah puteri ketua Cin-ling-pai, bukan satu di antara siluman-siluman yang selama ini mengacau kota ini?”

“Losuhu keliru! Dia benar puteri ketua Cin-ling-pai!” Tiba-tiba terdengar suara orang dan tahu-tahu ada bayangan berkelebat dan seorang laki-laki berdiri di dalam kamar itu. Tentu saja Kim Hwa Cinjin dan dua orang sutenya terkejut setengah mati! Bagaimana mereka bertiga yang merupakan orang-orang berkepandaian tinggi, merupakan tokoh-tokoh ternama dari Pek-lian-kauw wilayah selatan, sampai tidak melihat ada orang memasuki kamar di mana mereka berada, dan orang itu bahkan agaknya sudah lama mengintai, buktinya dapat menyambung percakapan mereka!

“Yap-suheng...!”

“Cia-sumoi, tenanglah,” kata Kun Liong.

Mendengar sebutan itu, Kim Hwa Cinjin terkejut. Sutenya yang bermuka bopeng sudah mengeluarkan teriakan keras dan berbondong datanglah belasan orang hwesio mengepung kamar itu. Akan tetapi Kim Hwa Cinjin yang sudah mendengar akan nama seorang pendekar sakti she Yap, yaitu Yap Kun Liong, cepat mengangkat tangan ke atas sebagai isyarat agar anak buahnya jangan bertindak sembrono. Kemudian dengan tangan tetap terangkap di dada dia berkata, “Omitohud... banyak orang pandai kami temui malam ini! Agaknya persoalan siluman di Heng-tung menarik datangnya pendekar-pendekar sakti. Siapakah sicu dan apa maksud kedatangan sicu di sini?”

Kun Liong cepat menjura, lalu berkata dengan sikap hormat. “Saya bernama Yap Kun Liong, tinggal di Leng-kok. Mendengar akan adanya siluman mengganas, saya menyelidiki dan tadi saya melihat dua orang losuhu ini membawa karung emas ke sini, maka saya lancang membayangi mereka dan melihat bahwa sumoi Cia Giok Keng ditawan di sini, maka saya cepat menjelaskan. Losuhu salah tangkap dan harap suka membebaskan sumoi. Dia itu benar puteri ketua Cin-ling-pai dan tidaklah mungkin kalau dia yang menjadi silumannya!”

“Omitohud... pinceng benar-benar menjadi bingung,” Kim Hwa Cinjin berkata. “Sumoi dari sicu ini, Cia-toanio, juga mengaku sebagai penyelidik, akan tetapi kemarin malam hartawan Ciong kemalingan dan ternyata emas itu berada pada Cia-toanio yang katanya memang dicuri oleh temannya untuk memancing keluar siluman. Ah, Yap-sicu, tentu sicu mengerti kedudukan kami sehingga terpaksa kami menangkap Cia-toanio yang mencurigakan perbuatannya itu. Akan tetapi, setelah sicu muncul, ada saksi bahwa dia benar puteri ketua Cin-ling-pal, maka tidak ada perlunya lagi kami menahannya. Sute, lepaskan belenggu itu!”

“Biarkan saya yang melepaskannya!” kata Kun Liong sambil menghampiri pembaringan. Jari-jari tangannya meraba dan belenggu itu putus semua, kemudian dia membebaskan totokan pada tubuh Giok Keng. Giok Keng bangkit berdiri, mengurut kaki tangannya untuk melancarkan darah.

“Maaf, toanio,” Kim Hwa Cinjin menjura. “Kami hanya menjalankan kewajiban kami, dan betapapun juga, kami harap toanio suka pergi kepada pembesar setempat dengan Yap-sicu dan melaporkan semua peristiwa agar kami tidak terlibat dalam kesukaran. Dan untuk menyatakan maaf kami, harap ji-wi sudi menerima suguhan teh harum dari kami. Sute, lekas ambilkan teh untuk menghilangkan rasa tidak enak dan kekagetan Cia-toanio.”

Si muka bopeng mengangguk dan keluar dari kamar. Akan tetapi, segera terdengar suaranya dari kamar belakang, “Heiii! Siapa yang mencuri cawan-cawan teh? Tadi masih di sini, kenapa sekarang lenyap semua?”

Tiba-tiba banyak benda menyambar dari luar kamar memasuki kamar itu, menyambar ke arah Kim Hwa Cinjin dan teman-temannya. Tentu saja mereka sibuk menghindarkan diri, menangkis dan mengelak.

“Cia-lihiap, awas, mereka itu bukanlah hwesio-hwesio Ban-hok-tong! Mereka adalah tosu-tosu Pek-lian-kau!” Terdengar suara teriakan keras dan muncullah Can Pouw bersama seorang hwesio tua yang dikenal oleh Kun Liong sebagai Kai Sek Hwesio, ketua Ban-hok-tong!

Bagaimana Can Pouw bisa muncul dan membongkar rahasia kawanan Pek-lian-kauw itu? Seperti telah kita ketahui Can Pouw merasa curiga melibat bahwa yang mengambil karung uang emas itu adalah dua orang hwesio, maka dengan cepat dia pergi memasuki Kuil Ban-hok-tong. Kebetulan sekali, ketika dia tiba di situ, semua anak buah Pek-lian-kauw telah berkumpul mengurung kamar besar atas isyarat sute dari Kim Hwa Cinjin untuk menghadapi Kun Liong. Karena kuil itu sepi dan ditinggalkan, enak saja maling yang berpengalaman ini untuk menyelinap masuk. Dia terus pergi ke belakang dan mendengar isak tangis tertahan. Cepat dia mengintai dan di dalam beberapa buah kamar dia melihat beberapa orang gadis cantik yang tidak berpakaian sama sekali berada di atas pembaringan atau duduk di atas kursi sambil menangis, tangis yang ditahan-tahan karena mereka itu kelihatannya takut sekali!

Can Pouw tidak berani masuk melihat gadis-gadis cantik itu telanjang bulat, maka dia terus menyelidiki ke belakang dan akhirnya di dalam sebuah kamar gudang dia melihat hwesio-hwesio aseli dari Ban-hok-tong dibelenggu menjadi satu dan disumbat mulut mereka!

Can Pouw cepat membebaskan belenggu Kai Sek Hwesio, kemudian bersama dengan ketua itu yang telah menceritakan semua perbuatan tosu-tosu Pek-lian-kauw yang menyergap mereka dan menguasai kuil, dia cepat pergi ke kamar yang terkurung dan membikin ribut, dengan mencuri cawan-cawan dan menggunakannya sebagai senjata-senjata rahasia.

Tentu saja Kim Hwa Cinjin dan anak buahnya terkejut bukan main. Melihat bahwa rahasia mereka telah terbuka, Kim Hwa Cinjin memberi isyarat dan semua hwesio palsu itu mencabut senjata dan menyerbu, menyerang Kun Liong, Giok Keng, dan Can Pouw dengan ganas karena tiga orang ini harus cepat dibunuh!

Akan tetapi orang-orang Pek-lian-kauw itu menemui batunya sekarang! Kun Liong dan terutama sekali Giok Keng mengamuk dengan hebat karena mereka marah sekali melihat bahwa hwesio-hwesio itu ternyata adalah penjahat-penjahat Pek-lian-kauw yang menyamar, juga Can Pouw mengamuk dan dikeroyok oleh dua orang hwesio, sedangkan hwesio-hwesio penyamaran orang-orang Pek-lian-kauw yang lain membantu Kim Hwa Cinjin dan dua orang sutenya mengeroyok Kun Liong dan Giok Keng.

Pertempuran hebat di dalam dan di luar kamar itu hanya ramai suaranya saja, akan tetapi pertempuran itu sendiri sama sekali tidak seimbang. Belasan orang yang dipimpin oleh Kim Hwa Cinjin dan dua orang sutenya itu sama sekali bukanlah lawan yang seimbang dengan Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng.

Memang harus diakui bahwa kepandaian tiga orang pemimpin itu, terutama Kim Hwa Cinjin, cukup tinggi. Akan tetapi berhadapan dengan Yap Kun Liong, mereka itu mati kutu dan bukan apa-apa. Karena itu, pertempuran itu lebih tepat disebut penghancuran orang-orang Pek-lian-kauw yang dilakukan oleh dua orang pendekar itu yang menghajar mereka. Bahkan, Can Pouw yang dikeroyok oleh dua orang anak buah Pek-lian-kauw itu juga memperlihatkan keunggulannya!

Ketika Can Pouw sedang dikeroyok dan dia menggunakan kegesitannya untuk mengelak ke sana-sini, tangannya seperti dua ekor ular dengan jari-jarinya yang panjang bergerak-gerak, tiba-tiba dia membentak, “Lihat ini!” Dan dia sudah memainkan sehelai kalung emas bermata mutiara yang digantungkan di antara jari-jari tangannya.

“Hem, itu punyaku!” teriak seorang di antara dua orang pengereyoknya yang bermata juling. Kiranya kalung itu adalah satu di antara barang-barang berharga yang dia sembunyikan dari kumpulan barang-barang curian mereka dan entah bagaimana telah dicopet oleh si pencopet Jari Seribu dari saku sebelah dalam bajunya!

“Nah, ambillah!” kata Can Pouw, akan tetapi ketika si mata juling itu mengulurkan tangan hendak mengambil kalung itu, tiba-tiba kaki Can Pouw bergerak dari bawah menendang.

“Dessss...! Auwww...!” Si juling terkejut dan berteriak, lalu berloncatan dengan kaki kiri sambil memegang kaki kanan dengan kedua tangannya karena tulang kering kaki kanannya kena digajul (ditendang dengan ujung sepatu) oleh Can Pouw secara licik. Mata itu makin menjuling menahan rasa nyeri yang menyusup ke tulang sumsum.

“Heh-heh, dan ini punya siapa?” Kembali Can Pouw memperlihatkan sebuah hiasan rambut berupa burung terbuat dari emas dan mutiara, yang dicopetnya dari saku baju pengeroyok kedua yang hidungnya besar. Hidung itu kembang kempis ketika orangnya mengenal barangnya.

“Si copet busuk! Kembalikan barangku!” hardiknya.

“Boleh, mari ambillah!” Can Pouw mengulurkan benda itu di atas telapak tangannya. Akan tetapi orang ini tidak mau diakali, dia mengambil benda itu sambil memperhatikan kaki Can Pouw.

“Plokkk! Aduhhh...!” Kiranya Can Pouw bukannya menggunakan kakinya, melainkan menggunakan hiasan rambut yang terbuat dari emas dan runcing keras itu untuk menghantam hidung yang besar itu. Tentu saja hidung itu menjadi remuk dan darah mengucur deras.

Sambil tertawa, Can Pouw lalu menghujankan pukulan dan tendangan kepada dua orang pengeroyoknya sampai mereka jatuh bangun dan roboh pingsan. Akan tetapi ketika itu, pertempuran telah selesai. Semua anak buah Pek-lian-kauw roboh, ada yang tewas dan ada pula yang pingsan, akan tetapi Kim Hwa Cinjin dan dua orang sutenya berhasil meloloskan diri dengan menggunakan selampe merah yang mengeluarkan debu merah beracun.

Semua hwesio Ban-hok-tong lalu dibebaskan dari belenggu dan tujuh orang gadis cantik yang menjadi korban kebiadaban orang-orang Pek-lian-kauw itu diberi pakaian. Dengan girang Gjok Keng dapat menemukan kembali pedang dan setelah mewakilkan kepada Can Pouw untuk menyelesaikan urusan itu dengan pembesar setempat, Kun Liong dan Giok Keng cepat meninggalkan kuil itu di waktu itu juga, yaitu lewat tengah malam menjelang pagi!

Can Pouw dengan sikap dan lagak sebagai seorang pahlawan, mengumpulkan gadis-gadis dan semua harta curian, menerima kedatangan pembesar yang telah dilapori dan datang untuk mengadakan pemeriksaan. Can Pouw dihujani pujian, baik dari para hwesio dan dari para pembesar maupun dari semua penghuni kota Heng-tung. Berkat jasanya yang besar, di kemudian hari Can Pouw menjadi seorang tokoh di Heng-tung, hidup sebagai seorang warga terhormat, dihadiahi banyak harta oleh kaum hartawan yang mendapatkan kembali harta mereka, diberi kedudukan sebagai penasihat oleh kepala daerah, bahkan dijadikan pelindung oleh Kuil Ban-hok-tong. Dia memperoleh sebuah rumah dan hidup dengan makmur dan terhormat. Tentu saja dia membuang julukannya yang lama, tidak lagi Jeng-ci Sin-touw atau Maling Sakti Jari Seribu, melainkan Jeng-ci Ho-han (Orang Gagah Jari Seribu). Jari-jarinya yang seribu kini bukan digunakan untuk mencopet, melainkan untuk menolong orang! Demikianlah anggapan orang banyak, dan termasuk anggapannya sendiri.

Sementara itu, Kun Liong dan Giok Keng sudah berjalan cepat meninggalkan kota Heng-tung dan setelah tiba di luar kota yang sunyi, di waktu pagi yang berkabut, dengan warna-warni biru merah keemasan indah di langit timur, mereka berhenti dan berdiri berhadapan. Sampai lama keduanya hanya berdiri saling pandang, kemudian terdengar ucapan Giok Keng, “Terima kasih, suheng. Untuk kesekian kalinya, engkau menyelamatkan aku.”

“Ah, tidak perlu disebut lagi hal itu, sumoi. Aku mempunyai berita yang jauh lebih menyenangkan bagimu.”

“Lie Seng?” Giok Keng bertanya penuh gairah dan sinar matanya penuh harapan.

Kun Liong mengangguk.

“Bagaimana dengan dia, suheng? Dan di mana dia?”

“Dia selamat, diselamatkan oleh... ayah mertuaku...”

“Kok Beng Lama...?” Giok Keng bertanya dengan mata terbuka lebar.

Kun Liong mengangguk lalu menceritakan apa yang didengarnya dari In Hong tentang Lie Seng yang terluka oleh pasir beracun Siang-tok-swa dan diobati oleh In Hong sendiri dan diapun mengatakan bahwa racun yang jahat itu telah berhasil dikeluarkan dan bahwa Siang-tok-swa adalah senjata rahasia dari Yo Bi Kiok ketua dari Giok-hong-pang.

Giok Keng mendengarkan dengan jantung berdebar dan dengan perasaan bercampur aduk. Siapa mengira bahwa akhirnya, orang-orang yang tadinya dianggap memusuhinya itu malah yang menolong puteranya! Kok Beng Lama yang menyeretnya ke Cin-ling-pai dahulu karena menuduh dia membunuh puteri pendeta itu, dan Yap In Hong yang dianggap menghinanya, yang bahkan merupakan sebab yang menimbulkan keributan dan malapetaka, malah menjadi penyelamat puteranya. Teringatlah dia akan kata-kata ayahnya yang ternyata amat tepat sekarang, yaitu bahwa tidak benar kalau kita menilai orang dari perbuatan yang lalu, karena setiap saat bisa saja terjadi perubahan pada orang itu!

“Jadi... kalau begitu... yang menculik puteraku, yang membunuh Hong Khi Hoatsu guru mendiang suamiku, adalah Yo Bi Kiok?”

“Yang menculik puteramu memang jelas dia, akan tetapi yang membunuh Hong Khi Hoatsu tentu orang-orang Bayangan Dewa.”

“Hemm, Yo Bi Kiok perempuan laknat. Aku harus mencarinya!” Giok Keng berkata geram.

“Tidak perlu lagi, sumoi. Dia sudah tewas dan tahukah engkau siapa yang membunuh isteriku?”

Giok Keng terkejut sekali. “Siapa? Sudah tahukah engkau, suheng?”

Kun Liong mengangguk. “Yang membunuh dia juga, Yo Bi Kiok itulah.”

“Bukankah dia guru adikmu? Bagaimana ini? Aku menjadi bingung, suheng,” kata Giok Keng yang tentu saja sama sekali tidak menduga akan hal ini.

Kun Liong lalu menceritakan semuanya, menceritakan tentang Yo Bi Kiok yang ternyata berhasil mewarisi pusaka dari mendiang Panglima The Hoo dan menjadi seorang sakti setelah mempelajari ilmu dari pusaka itu. Betapa secara kebetulan saja adiknya, Yap In Hong, telah ditolongnya dan menjadi murid wanita sakti itu dan diapun mengaku terus terang bahwa semua perbuatan Yo Bi Kiok itu terjadi karena dorongan rasa cemburu dan cinta kepadanya.

“Apa? Karena cinta kepadamu, suheng?”

Kun Liong mengangguk lesu, diam-diam dia kembali menyesali semua pengalamannya di waktu muda dahulu, sikapnya yang selalu ramah, dan memikat terhadap gadis-gadis cantik, ternyata menimbulkan banyak hal yang hebat sekarang. “Karena aku tidak dapat membalas perasaannya itu, karena aku telah menikah dengan Hong Ing, dia menjadi kecewa, benci dan dendam. Semua itu diakuinya setelah dia hampir mati.” Dia lalu menceritakan pertempuran antara dia dan Yo Bi Kiok di benteng Raja Sabutai.

Mendengar cerita yang hebat itu, Giok Keng menarik napas panjang. “Ternyata bahwa cinta hanya mendatangkan kedukaan dan malapetaka belaka...”

“Memang, kalau cinta itu hanya didorong mencari kesenangan untuk diri pribadi seperti cinta Yo Bi Kiok dan... dan makin menyesal hatiku mengapa perbuatan sesat yang dilakukan Bi Kiok itu sampai akibatnya menimpa keluargamu, sumoi...”

“Sudahlah, sekarang sudah tidak ada ganjalan lagi. Lie Seng telah selamat, akan tetapi engkau... masih ada Mei Lan yang belum kauceritakan. Bagaimana dengan dia?”

Wajah Kun Liong menjadi muram. Dia menggeleng kepala dan menarik napas panjang. “Aku belum menemukan jejaknya, sumoi.”

“Aku justeru sedang menyelidikinya dari Leng-kok dari mana dia menghilang dan ketika aku mendengar tentang siluman yang menculik gadis-gadis itu, aku cepat menyelidikinya karena khawatir kalau-kalau puterimu menjadi korban. Karena menyelidiki Mei Lan maka aku berada di sini.”

“Aku sendiripun baru saja pulang dan menengok kuburan isteriku ketika aku mendengar tentang siluman itu dan kebetulan dapat bertemu denganmu di sini, sumoi.”

Tiba-tiba Giok Keng berkata, “Suheng, apakah engkau tidak hendak menolong adikmu?”

Kun Liong terkejut dan memandang wanita cantik itu. “Apa maksudmu, sumoi? Apa yang terjadi dengan In Hong? Bukankah dia telah menjadi seorang puteri istana kaisar?”

“Jadi kau belum tahu tentang penculikan itu?”

“Penculikan? Apa? Siapa...?”

“Akupun baru mendengar malam tadi, suheng. Dari Jeng-ci Sin-touw. Dia yang baru mendengar dari kota raja bahwa In Hong telah diculik oleh guru-guru Raja Sabutai dan dibawa keluar tembok besar...”

“Ehhh...?” Kun Liong terkejut bukan main mendengar berita ini. “Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li? Berbahaya sekali! Sumoi, benarkah berita itu?”

“Kurasa orang seperti Jeng-ci Sin-touw itu, biarpun maling, ternyata dapat dan boleh dipercaya, suheng.”

“Kalau begitu, aku akan cepat mengejar ke utara!”

“Aku akan membantumu, suheng.”

“Jangan, sumoi. Mereka itu lihai bukan main dan perjalanan ke sana amat sukar...”

“Suheng, apakah engkau masih meragukan perasaanku yang amat menyesal dan berdosa terhadap dirimu? Apakah engkau tega menolak kesempatan untuk memperbaiki kesalahanku ini? Andaikata engkau tidak sudi mengajak aku, tetap saja aku akan menyusul sendiri ke sana untuk menolong In Hong.”

Kun Liong menarik napas panjang. Sejenak mereka berdiri saling pandang dan kembali di dalam lubuk hatinya, Kun Liong merasa yakin bahwa hanya wanita inilah yang akan mampu mengisi bekas tempat Hong Ing di dalam hatinya. Dia menghela napas panjang dan mengangguk, berkata lirih, “Baiklah, sumoi. Mari kita pergi.”

Mereka berdua tidak bicara apa-apa lagi melainkan mengerahkan seluruh kekuatan mereka untuk berlari cepat dan melakukan perjalanan ke utara.

***

Biarpun pengalaman mereka bertemu dengan dua orang kakek tadi amat mengejutkan hati akan tetapi tidak membuat dua orang pemuda itu menjadi takut. Setelah berhasil melewati Padang Bangkai dengan selamat, Tio Sun dan Kwi Beng melanjutkan perjalanan mereka ke Lembah Naga menurut petunjuk yang mereka dapat dari Si Kwi. Mereka tentu saja maklum bahwa memasuki Lembah Naga sama artinya dengan memasuki guha naga siluman yang berbahaya dan dengan mengandalkan kepandaian mereka saja mereka tentu tidak akan mampu menandingi tokoh-tokoh tempat itu. Akan tetapi mereka bertekad untuk mencari In Hong sampai dapat, dan mereka mengharapkan dapat bertemu dengan In Hong dan Bun Houw agar mereka dapat menyampaikan rahasia kelemahan dua orang kakek dan nenek iblis seperti yang mereka ketahui dari Ratu Khamila.

Akan tetapi, dua orang pemuda ini sama sekali tidak tahu bahwa semenjak memasuki Lembah Naga, mereka telah diawasi dan semua gerak-gerik mereka telah ketahuan oleh fihak musuh!

Oleh karena itu terkejutlah mereka ketika mereka melewati dua buah batu besar yang seolah-olah merupakan pintu gerbang, tiba-tiba saja dari balik batu-batu besar itu muncul Bouw Thaisu, Hek I Siankouw, Ang-bin Ciu-kwi, Coa-tok Sian-li dan belasan orang tinggi besar anak buah Lembah Naga!

Melihat munculnya banyak tokoh ini, Kwi Beng yang berdarah panas dan tidak mengenal takut sudah meraba sisa pisau terbangnya, akan tetapi Tio Sun yang melihat gerakan itu cepat memegang lengannya. Tio Sun memang lebih berhati-hati dan waspada dalam setiap perbuatannya. Melihat bahwa orang-orang yang mengurung mereka, terutama empat orang tua yang berdiri menghadang itu jelas memperlihatkan bahwa mereka adalah tokoh-tokoh yang tentu memiliki kepandaian tinggi, Tio Sun lalu menjura dan pura-pura bertanya, “Kami mohon maaf kalau mengganggu cu-wi sekalian. Kami hendak bertanya di manakah letaknya Lembah Naga?”

“Huah-ha-ha!” Ang-bin Ciu-kwi tertawa dan menenggak araknya, matanya yang merah itu mengincar dua orang pemuda itu dari balik guci araknya. “Sudah berada di depan mulut naga masih bertanya-tanya. Ha-ha-ha! Thaisu, apakah aku boleh menangkap dua ekor kelinci ini untukmu?” setelah berkata demikian, tiba-tiba Ang-bin Ciu-kwi menyemburkan arak dari mulutnya ke arah Tio Sun dan Kwi Beng. Tio Sun cepat menyampok dengan lengan bajunya sehingga arak yang menyambarnya tertangkis dan membuyar, akan tetapi Kwi Beng yang menganggap ringan semburan arak itu menghindar dan masih kecipratan arak lehernya, terasa panas dan sakit seperti jarum. Hal ini membuat dia marah dan sekali, tangan kirinya bergerak, nampak sinar kilat berkelebat dan sebatang pisau terbang menyambar ke arah leher Ang-bin Ciu-kwi.

“Tranggg!” Pisau itu tertangkis guci dan menancap di atas tanah. Ang-bin Ciu-kwi menggereng, akan tetapi Bouw Thaisu cepat berkata, “Ciu-kwi, tahan dulu, jangan engkau menurutkan nafsumu, kita belum tahu siapa yang datang!”

Ang-bin Ciu-kwi mendengar dan kembali minum arak dari gucinya, sedangkan Coa-tok Sian-li sudah berdiri bengong memandang kepada Kwi Beng karena wanita cabul ini sudah terbangkit nafsu berahinya ketika dia melihat seorang pemuda yang bermata kebiruan dan berambut kuning keemasan itu!

“Orang muda, kalian siapakah dan apa maksud kalian datang ke Lembah Naga?” Bouw Thaisu bertanya dengan sikapnya yang memang halus.

Tio Sun melangkah maju dan menjawab. Dia maklum bahwa menghadapi orang-orang pandai ini, biarpun mereka itu agaknya merupakan sekutu fihak lawan, tidak ada gunanya lagi untuk membohong dan sebaiknya bersikap gagah dan terang-terangan. “Saya bernama Tio Sun, dan sahabatku ini adalah Souw Kwi Beng. Kami berdua sengaja datang ke Lembah Naga, untuk mencari keterangan tentang nona Yap In Hong yang kabarnya dibawa oleh Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li ke Lembah Naga.”

“Hemm, sungguh kalian ini orang-orang muda yang bernyali besar!” Bouw Thaisu berseru kagum juga. “Apakah kalian ini utusan kaisar?”

“Bukan, akan tetapi kami adalah sahabat nona Yap In Hong. Dan biarpun kami bukan langsung menjadi utusan kaisar, namun saya adalah putera dari Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan bekas pengawal kepercayaan mendiang Panglima Besar The Hoo, dan sahabat saya ini bahkan masih terhitung cucu murid dari mendiang Panglima The Hoo. Oleh karena itu...”

Tiba-tiba terdengar suara tertawa nyaring disusul suara seorang kakek, “Bagus sekali! Thaisu, Siankouw, tangkaplah mereka hidup-hidup! Mereka adalah keturunan musuh-musuh kami!”

Tio Sun dan Kwi Beng terkejut karena biarpun mereka mendengar jelas suara kakek itu, namun mereka tidak melihat orangnya. Tio Sun maklum bahwa tentu kakek itu seorang sakti yang mengirim suara dari jauh dan agaknya juga memiliki pendengaran sakti sehingga mampu mendengarkan percakapan itu dari jauh pula. Akan tetapi dia dan Kwi Beng tidak mempunyai kesempatan untuk banyak menduga lagi karena begitu mendengar suara itu, Bouw Thaisu telah menerjang Tio Sun sedangkan Hek I Siankouw telah menyerang Kwi Beng. Dua orang muda ini memang sudah siap menghadapi segala bahaya, maka begitu melihat kakek dan nenek itu bergerak menyerang, mereka cepat mengelak dan menandingi mereka.

“Dukkk!” Tio Sun terhuyung mundur sampai tiga langkah ketika lengannya beradu dengan lengan kakek tua itu yang terlindung lengan baju. Dia terkejut sekali. Tadi, karena sudah menduga bahwa penyerangnya itu tentu seorang kakek yang berilmu tinggi, pemuda ini telah mengerahkan tenaga Ban-kin-kang sekuatnya untuk menangkis. Akan tetapi ternyata ujung lengan baju kakek itu mengandung tenaga yang bukan main kuatnya sehingga dia tergetar dan terhuyung. Karena maklum bahwa lawannya ini seorang yang berilmu tinggi, Tio Sun tidak ragu-ragu lagi untuk mengeluarkan sepasang senjatanya yang ampuh, yaitu sebatang pedang di tangan kanan dan sebatang pecut yang sebenarnya adalah sabuknya sendiri di tangan kiri. Dengan sepasang senjata ini di tangan, dia menerjang maju, disambut oleh Bouw Thaisu dengan tenang dan kakek ini seperti biasa hanya mengandalkan kedua lengan bajunya sebagai senjata yang amat berbahaya.

Sementara itu, Kwi Beng yang dihadapi oleh Hek I Siankouw, dalam belasan jurus saja sudah terdesak hebat. Selisih tingkat kepandaian mereka jauh sekali sehingga biarpun Kwi Beng mengamuk, mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaiannya, namun belum sampai dua puluh jurus saja, pedangnya terampas dan dia roboh tertotok. Setelah merobohkan Kwi Beng yang segera diringkus oleh Ang-bin Ciu-kwi, Hek I Siankouw lalu membantu Bouw Thaisu mengeroyok Tio Sun.

Tentu saja pemuda ini menjadi makin repot. Melawan Bouw Thaisu seorang saja dia sudah kalah lihai dan kalau dilanjutkan akhirnya dia tentu akan roboh, dan kini maju lagi Hek I Siankouw yang juga lebih lihai daripada dia. Pemuda perkasa ini melawan mati-matian, namun akhirnya, pedang hitam di tangan Hek I Siankouw membuat pedang di tangan Tio Sun terlepas, cambuknya dapat ditangkap oleh Bouw Thaisu dan sebuah tendangan yang secepat kilat dari Hek I Siankouw mengenai lututnya dan membuat dia roboh. Seperti juga Kwi Beng, Tio Sun ditubruk oleh banyak anak buah Lembah Naga dan diringkus.

Tubuh dua orang pemuda yang sudah diringkus kaki tangannya itu diseret ke dalam sebuah rumah besar dan dihadapkan kepada Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li yang memandang dengan mulut menyeringai girang. Dengan kasar, para anak buah Lembah Naga memaksa Tio Sun dan Kwi Beng duduk di atas lantai menghadapi kakek dan nenek yang duduk di atas kursi itu.

“Benarkah engkau putera Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan pengawal kepercayaan The Hoo?” Pek-hiat Mo-ko bertanya kepada Tio Sun.

Pemuda ini mengangguk.

“Hemm, kenapa tidak ayahmu sendiri yang datang untuk menghadapi kami? Kenapa mengutus seorang pemuda yang masih hijau seperti engkau?” tanya pula Pek-hiat Mo-ko.

Tio Sun memandang dengan sikap tenang. “Pek-hiat Mo-ko, ayahku tidak tahu-menahu akan kedatanganku ke sini. Aku datang bersama sahabatku atas kehendak sendiri untuk menentangmu dan menuntut agar engkau membebaskan nona Yap In Hong.”

“Ha-ha-ha, nyalimu besar sekali. Engkau sudah tahu siapa aku?”

“Tentu saja aku tahu. Ketika engkau bersama Hek-hiat Mo-li bertempur dengan ketua Cin-ling-pai, aku melihat kalian.”

Tiba-tiba Hek-hiat Mo-li yang sejak tadi memandang kepada Kwi Beng, menghardik kepada pemuda itu. “Kau bukan orang Han! Engkau orang asing dari barat! Bagaimana engkau berani mengaku tadi bahwa engkau cucu murid The Hoo?”

Kwi Beng balas memandang dengan mata melotot, “Nenek gila! Dengarlah baik-baik. Ibuku adalah pendekar wanita Souw Li Hwa, murid dari mendiang Panglima The Hoo, sedangkan ayah adalah seorang Portugis. Aku datang untuk menuntut kepada kalian agar membebaskan nona Yap In Hong!”

“Heh-heh-heh-hi-hik!” Hek-hiat Mo-li tertawa terkekeh dan mata kananya bersinar-sinar aneh. “Bawa mereka ke lapangan dan ikat di kayu tonggak agar menjadi makanan burung nazar, heh-heh-heh!”

“Benar! Bawa mereka keluar. Terserah nasib mereka. Kalau nasib baik, tentu orang-orang yang lebih penting datang untuk menolong mereka dan menghadapi kita, kalau nasib buruk, biar mereka dicabik-cabik burung-burung nazar!” kata Pek-hiat Mo-ko dan para anak buah Lembah Naga lalu menyeret Tio Sun dan Kwi Beng keluar dari tempat itu, dibawa ke lapangan dan mereka segera sibuk membuat tonggak kayu salib dan mengikat mereka berdua di tonggak kayu itu. Kemudian mereka meninggalkan Tio Sun dan Kwi Beng berdua di tempat itu, tertimpa panas sinar matahari tanpa terlindung apapun.

Kedua orang pemuda itu berusaha untuk meronta dan melepaskan diri, akan tetapi Tio Sun segera mendapat kenyataan bahwa tidak mungkin mereka dapat lolos. Melihat betapa Kwi Beng meronta-ronta dengan beringas dan nampak darah di pergelangan tangan dan kaki pemuda itu karena kulitnya pecah-pecah ketika dia meronta-ronta dengan kuat, Tio Sun berkata, “Tenanglah, Beng-te. Tali untuk mengikat kaki tangan kita ini adalah tali kulit kerbau yang kuat sekali dan tidak mungkin dapat kita patahkan begitu saja. Tidak baik membuang-buang tenaga dan tidak baik kalau sampai darah kita keluar karena hal itu akan menarik perhatian burung-buruhg di sana-sini.”

Kwi Beng mengikuti pandang mata Tio Sun dan dia melihat beberapa ekor burung yang besar bertengger di atas sebatang pohon dan ada beberapa ekor lagi yang beterbangan di sekitar tempat itu. Itulah burung-burung nazar, burung-burung pemakan bangkai yang liar dan buas!

Wajah Kwi Beng menjadi pucat karena dia merasa ngeri. Melihat ini, Tio Sun bertanya, hatinya penuh iba. “Engkau takut, Beng-te?”

Kwi Beng memandang kepadanya, lalu mengangguk.

“Tidak aneh, akupun merasa ngeri melihat burung-burung itu. Akan tetapi jangan khawatir, burung-burung yang kelihatan menyeramkan itu sebetulnya adalah binatang-binatang yang penakut dan mereka tidak akan menyerang sesuatu yang hidup. Hanya kalau kita sudah mati saja mereka berani menyerang. Dan kurasa kita tidak akan mudah mati begitu saja. Pula, orang-orang seperti kita, mana takut mati? Hanya sayangnya, kita belum menyampaikan rahasia mereka itu kepada Cia-taihiap atau nona Yap.”

Kwi Beng kelihatan termenung, tidak lagi memperdulikan burung-burung itu. “Ah, bagaimana dengan dia? Jangan-jangan dia telah mereka bunuh...”

“Nona Yap? Kiranya tidak mungkin. Kalau mereka itu hendak membunuh nona Yap In Hong, perlu apa mereka susah payah menculik dan membawanya ke tempat sejauh ini. Tentu ada maksudnya, dan kurasa kakek dan nenek gila itu tentu menangkap dan menculiknya untuk dipakai sebagai umpan untuk memancing datangnya orang-orang yang dianggapnya sebagai musuh, seperti Cia-locianpwe ketua Cin-ling-pai dan lain-lain.”

Mereka kini tidak bercakap-cakap lagi dan terik matahari mulai menyengati kulit tubuh mereka. Peluh mulai mengalir keluar. Akan tetapi kini Kwi Beng bersikap tenang saja. Dia merasa malu untuk memperlihatkan kelemahannya. Tidak, dia tidak akan mengeluh dan akan menghadapi kematian dengan gagah kalau perlu. Memang sudah disengaja untuk datang ke tempat berbahaya ini, untuk berusaha menolong In Hong dengan taruhan nyawa. In Hong! Dara yang telah membetot semangatnya, merampas hatinya, dara yang dicintanya, akan tetapi... bagaimana kalau gadis itu tidak membalas cinta kasihnya? Membayangkan hal ini rasanya jauh lebih menyiksa daripada keadaan jasmaninya yang terbelenggu di atas tonggak kayu dan disengati panas matahari ini. Dia melirik ke arah Tio Sun. Pemuda tinggi kurus itu memejamkan mata, seperti orang dalam samadhi.

Kwi Beng merasa gelisah sekali. Membayangkan betapa gadis cantik jelita dan perkasa itu, yang dicintanya dan membuatnya tergila-gila, sama sekali tidak memperdulikan dia, apalagi membalas cintanya, membuat dia merasa tidak tenang. Akhirnya, kegelisahan hati itu tidak dapat ditahannya lebih lama lagi karena perasaan itu mendorong keluarnya keringat lebih banyak lagi. Keringat yang memenuhi dahinya dan tidak dapat dihapusnya sehingga kini keringatnya mulai mengalir turun dan ada yang memasuki matanya. Pedih rasanya.

“Tio-twako...!”

Tio Sun membuka matanya, menoleh dan dia mengerutkan alianya ketika melihat dua mata Kwi Beng basah.

“Eh, kau menangis, Beng-te?” tanyanya kaget dan kecewa karena tak disangkanya pemuda itu demikian lemah dan cengeng.

“Tidak, twako, jangan salah kira. Keringat memasuki mataku...”

Tio Sun menarik napas lega dan tersenyum. “Maafkan aku, Beng-te, hampir aku lupa bahwa engkau adalah seorang pemuda yang gagah perkasa dan bersemangat pendekar sejati.”

“Twako, aku menderita sekali...”

Tio Sun yang tadi sudah memejamkan mata kembali, kini membukanya dan untuk kedua kalinya dia menoleh, memandang sahabatnya itu dengan penuh perhatian dan keheranan. “Aku mengerti, Beng-te, akupun menderita. Siapa yang tidak menderita dalam keadaan seperti kita ini?”

“Bukan itu maksudku, twako. Belenggu dan panas ini tidak ada artinya dibandingkan dengan penderitaan yang timbul dari keraguan di hatiku.”

“Maksudmu?”

“Aku merasa ragu-ragu, twako, apakah nona Yap In Hong yang kurindukan dan kucinta itu dapat membalas cintaku dan keraguan inilah yang menimbulkan kegelisahanku, twako.”

lanjut ke Jilid 43-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar