Jumat, 21 Februari 2014

Dewi Maut Jilid 37

Dewi Maut Jilid 37

<--kembali

“Aku hendak pergi ke Lembah Naga.”

“Ohhhh...!”

Melihat gadis yang manis itu berseru kaget dan mukanya berubah, pemuda itu cepat bertanya, “Nona Liong, apakah engkau mengenal tempat itu?”

“Mengenal Lembah Naga? Tentu saja, akan tetapi sebelumnya, siapakah taihiap ini dan apa perlunya mencari Lembah Naga?” Sinar mata gadis itu menatap wajah yang tampan itu dengan penuh kekhawatiran.

Pemuda itu juga memandang si gadis penuh perhatian dan dia mengharap bahwa gadis yang telah diselamatkannya dari ancaman bahaya mengerikan tadi, yang agaknya mengenal daerah itu, akan dapat membantunya dengan petunjuk-petunjuk, maka dia lalu menjawab sejujurnya, “Aku bernama Cia Bun Houw...”

“Aihhh...!” Kembali Si Kwi berseru kaget, mulutnya agak terbuka, matanya terbelalak menatap wajah pemuda itu seperti orang melihat sesuatu yang luar biasa! Tentu saja dia telah mendengar nama ini dari gurunya, nama putera ketua Cin-ling-pai yang kabarnya memiliki kepandaian amat hebat! Tak disangkanya kini dia berhadapan dengan orangnya, seorang pemuda yang luar biasa, tampan dan gagah, dan telah menyelamatkannya dari perkosaan Ang-bin Ciu-kwi!

Bagaimana Cia Bun Houw dapat muncul di tempat itu dan secara kebetulan dapat menyelamatkan Liong Si Kwi dari bahaya perkosaan? Seperti telah kita ketahui, pemuda ini meninggalkan Cin-ling-pai, diutus oleh ayahnya untuk menyerahkan surat kepada keluarga Yuan de Gama di Yen-tai calon besan Cin-ling-pai, dan menghaturkan surat untuk kaisar di kota raja. Setelah mendengar bahwa dia telah dipertunangkan dengan Souw Kwi Eng atau Maria de Gama, hati Bun Houw merasa tidak tenang, karena sesungguhnya pemuda ini telah jatuh cinta kepada In Hong. Maka, menerima tugas ayahnya untuk menyerahkan surat kepada keluarga Souw itu, dia merasa enggan, karena dia merasa malu bertemu mereka, apalagi bertemu dengan Kwi Eng yang tentu telah tahu bahwa mereka telah bertunangan! Ah, menyesallah rasa hati Bun Houw kalau teringat betapa dahulu dia telah mencium gadis itu! Karena keengganan ini, maka dia tidak lebih dulu ke Yen-tai, melainkan lebih dulu ke kota raja untuk menyerahkan surat ayahnya kepada kaisar. Dan begitu tiba di kota raja, dia mendengar bahwa baru beberapa hari yang lalu, In Hong yang kini menjadi seorang puteri itu telah diculik oleh Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li! Tentu saja dia menjadi terkejut sekali dan marah. Dia menyerahkan surat ayahnya kepada kaisar dengan menghadap sendiri.

Kebetulan sekali pada waktu itu, kaisar telah menerima balasan dari Raja Sabutai bahwa urusan kakek dan nenek guru Sabutai itu adalah di luar tanggung jawab Sabutai, bahwa Sabutai tidak tahu-menahu dengan semua perbuatan kedua orang gurunya itu yang kini telah meninggalkan dia dan berada di Lembah Naga.

Maka begitu membaca surat ketua Cin-ling-pai yang mohon bantuan kaisar karena puteranya hendak merampas kembali Siang-bhok-kiam pusaka Cin-ling-pai dan dikhawatirkan bahwa kakek dan nenek iblis itu mengandalkan pasukan liar di utara, kaisar lalu memanggil panglima pengawal untuk mengerahkan pasukan pengawal dan membantu putera ketua Cin-ling-pai itu menuju ke Lembah Naga, bukan hanya untuk merampas kembali Siang-bhok-kiam, akan tetapi terutama sekali untuk menyelamatkan Yap In Hong.

Akan tetapi Bun Houw yang tidak sabar menanti, berpamit dan berangkat lebih dulu seorang diri dengan cepat sehingga pada hari itu, dia tiba di luar dusun Padang Bangkai dan secara kebetulan dapat menolong Si Kwi.

Ketika dia melihat Si Kwi terkejut mendengar namanya, bahkan wajah gadis yang manis itu menjadi pucat, dia lalu bertanya, “Nona, apakah engkau sudah mengenal namaku?”

Si Kwi mengangguk, “Taihiap adalah putera ketua Cin-ling-pai, bukan?”

“Benar. Bagaimana engkau bisa tahu, nona?”

“Dan taihiap hendak pergi ke Lembah Naga untuk menuntut kembalinya Siang-bhok-kiam dan menolong nona Yap In Hong?”

“Benar...! Bagaimana dengan nona itu?” Bun Houw girang sekali.

Si Kwi menghela napas panjang. “Taihiap, mereka telah menanti-nanti datangnya orang-orang yang hendak menolong nona Yap In Hong, dan mereka telah bersiap-siap! Taihiap, kalau taihiap percaya kepada saya... harap taihiap jangan pergi ke sana. Berbahaya sekali...!” Si Kwi menatap wajah itu dan dia merasa makin khawatir. Entah bagaimana, dia tidak dapat membayangkan pemuda ini menemui bencana di Lembah Naga

Hemm, mengapa begitu, nona?”

“Cia-taihiap, percayalah kepadaku. Di sana, selain ada Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, juga ada Bouw Thaisu dan ada pula guruku, Hek I Siankouw di samping masih ada seratus orang anak buah kedua orang kakek dan nenek itu...”

“Ah, kiranya engkau adalah murid Hek I Siankouw?”

Tiba-tiba Si Kwi berlutut kembali dan kini dia tidak dapat menahan air matanya. “Taihiap harap jangan samakan saya dengan mereka! Tidak...saya hanya terbawa oleh subo yang tentu saja ingin membalas dendam kematian supek Hwa Hwa Cinjin. Akan tetapi sekarang saya telah melihat dengan jelas betapa mereka itu adalah orang-orang jahat. Karena itu, tadinya saya hendak melarikan diri dari sini, taihiap, sampai saya terhadang oleh Ang-bin Ciu-kwi dan hampir celaka...sungguh, saya amat khawatir kalau taihiap melanjutkan perjelanan. Amat berbahaya menempuh bahaya itu scorang diri saja. Kembalilah, taihiap, atau setidaknya, kalau taihiap hendak menyerbu, bawalah teman sebanyaknya.”

Bun Houw dapat mempercayai keterangan gadis ini. Dia merasa beruntung bahwa secara kebetulan dia dapat menolong gadis ini sehingga dia akan mendengar keterangan yang amat jelas, boleh dipercaya dan berharga dari gadis ini. Maka dia lalu duduk di atas rumput.

“Liong-kouwnio, kaududuklah dan mari kita bicara baik-baik. Engkau tentu tahu, sebagai putera ketua Cin-ling-pai aku tidak mungkin kembali dan mundur.”

“Akan tetapi itu berarti bunuh diri, taihiap! Berbahaya sekali...”

Bun Houw menggeleng kepalanya. “Bahayanya akan berkurang banyak kalau saja engkau suka menceritakan kepadaku keadaan di sana.”

“Tentu! Tentu saja saya suka menceritakan. Taihiap, baru perjalanan menuju ke Lembah Naga saja sudah merupakan perjalanan penuh bahaya. Tidak ada jalan lain menuju ke Lembah Naga kecuali harus melalui Padang Bangkai yang dimulai dari sini. Banyak terdapat bagian-bagian yang amat berbahaya.” Gadis ini lalu menuturkan dengan jelas tentang rahasia tempat itu, mana jalan yang merupakan ancaman maut siapapun yang melanggarnya, dan mana pula jalan rahasia yang harus diambil.

“Melihat kelihaian taihiap, agaknya Padang Bangkai masih akan dapat taihiap lewati. Akan tetapi setelah taihiap berada di daerah Lembah Naga, haruslah berhati-hati sekali. Seratus orang anak buah kakek dan nenek itu adalah orang-orang pilihan dari pasukan Raja Sabutai, dan Pek-hiat Mo-ko serta Hek-hiat Mo-li memiliki kesaktian luar biasa, taihiap. Dan taihiap hanya sendirian saja...”

Mendengar penuturan yang panjang lebar itu Bun Houw menjadi girang sekali. Setidaknya dia kini tahu jalan mana yang harus diambil. Maka dia lalu bangkit berdiri, diikuti oleh Si Kwi, dan menjura sambil berkata, “Liong-kouwnio telah memberi bantuan yang amat berharga kepadaku, banyak terima kasih atas kebaikanmu, kouwnio.”

“Jangan berkata demikian, taihiap. Sayalah yang berhutang budi dan nyawa...”

“Selamat berpisah, kouwnio, aku hendak melanjutkan perjalanan.”

Si Kwi masih hendak mencegah, namun pemuda itu telah menggerakkan kakinya dan berkelebat lenyap di antara rumpun alang-alang yang tinggi. Dia terkejut dan kagum bukan main. Dia sendiri adalah seorang yang memiliki ilmu gin-kang yang tinggi, namun gerakan pemuda itu demikian cepatnya sehingga dia maklum bahwa dibandingkan dengan tingkat kepandaian putera ketua Cin-ling-pai itu, kepandaiannya seperti permainan kanak-kanak saja! Jantungnya berdebar ketika dia teringat bahwa pemuda itu adalah putera seorang ketua perkumpulan yang amat besar dan terkenal. Subonya selalu menolak pinangan pemuda-pemuda yang jatuh cinta kepadanya karena subonya hanya mau menjodohkan dia dengan pemuda pilihan, bangsawan atau putera ketua perkumpulan yang berilmu tinggi dan terkenal. Dan pemuda tadi... “Ah, aku melamun yang bukan-bukan!: dia mencela diri sendiri, akan tetapi dara itupun kini melangkah, bukan melanjutkan perjalanan ke selatan, melainkan kembali ke utara, karena dia ingin kembali ke Lembah Naga! Pertemuannya dengan Bun Houw, mendengar bahwa pemuda itu akan menyerbu Lembah Naga, membuat dia khawatir sekali dan berubah sama sekali niatnya. Dia harus kembali ke Lembah Naga, dia tidak mungkin bisa meninggalkan pemuda itu begitu saja tertimpa malapetaka di Lembah Naga!

Bun Houw berlari cepat akan tetapi juga dengan penuh kewaspadaan. Dia maklum akan bahaya yang terdapat di Padang Bangkai ini dan merasa bersyukur bahwa dia dapat menolong Si Kwi sehingga mendapatkan petunjuk-petunjuk yang amat berharga dari gadis itu. Dari Si Kwi dia mendengar tadi bahwa In Hong masih dalam keadaan baik-baik saja, karena memang gadis itu ditawan untuk dipergunakan sebagai umpan. Mendengar bahwa In Hong masih selamat, hatinya lega bukan main. Memang amat penting baginya untuk merampas kembali Siang-bhok-kiam, akan tetapi yang lebih penting lagi adalah menyelamatkan In Hong. Dirabanya perhiasan rambut burung hong kumala yang selalu berada di saku bajunya bagian dalam, kemudian dirabanya pedang Hong-cu-kiam yang melilit pinggangnya. Apapun yang terjadi, dia harus menyelamatkan In Hong!

Tiba-tiba dia berhenti dan menyelinap di balik rumpun alang-alang ketika dari jauh dia melihat serombongan orang berjalan sambil tertawa-tawa, akan tetapi di antara suara ketawa banyak orang laki-laki itu dia mendengar suara isak tangis seorang wanita! Ketika rombongan itu telah tiba dekat, dia memandang dengan mata berkilat saking marahnya. Rombongan itu terdiri dari belasan orang laki-laki tinggi besar dan di tengah-tengah mereka terdapat seorang wanita cantik yang telanjang bulat, kedua tangannya dipegangi banyak orang dan dia setengah diseret menuju ke sebuah padang rumput hijau tak jauh dari situ. Dia mendengar dari penuturan Si Kwi tadi bahwa padang rumput hijau itu amat berbahaya, karena di bawahnya menyembunyikan lumpur maut yang sekali diinjak akan menyedot tubuh manusia dan di dalamnya terdapat lintah dan binatang lain yang beracun.

Kini rombongan laki-laki itu mengangkat tubuh si wanita telanjang dan beramai-ramai mereka melemparkan tubuh wanita itu ke tengah padang rumput! Wanita itu menjerit, tubuhnya terbanting dan amblas ke bawah sampai ke pinggang. Matanya terbelalak dan dia meronta-ronta, akan tetapi terbenam makin dalam. Tiba-tiba wanita itu tertawa, lalu menangis lagi dan karena dia terus meronta, sebentar saja suara tawa atau tangisnya itu lenyap karena kepalanya telah terbenam, hanya tinggal kedua tangannya saja yang nampak, membentuk sepasang cakar yang kaku!

Bun Houw menahan napas saking ngeri dan marahnya melihat peristiwa ini. Dia tidak menyangka bahwa wanita itu akan dilempar ke tempat berbahaya itu dan ketika dia melihat hal ini terjadi, dia sudah terlambat dan dia maklum bahwa tak mungkin lagi menolong wanita itu, maka setelah wanita itu tidak nampak lagi dan orang-orang kasar itu masih tertawa-tawa dan mengeluarkan kata-kata cabul dan tidak senonoh, dia lalu keluar dan berdiri tegak, memandang mereka penuh kemarahan sambil membentak, “Iblis-iblis bermuka manusia!”

Tentu saja anak buah Padang Bangkai itu terkejut sekali. Cepat mereka menengok dan melihat seorang pemuda asing berdiri di situ, mereka segera mengepungnya. Mereka merasa heran sekali mengapa mereka tadi tidak melihat pemuda ini datang dan tahu-tahu pemuda itu telah berada di situ. Akan tetapi sebelum mereka bertanya, terdengar suara bentakan nyaring.

“Hayo kepung dan bunuh orang ini!” Itulah suara Ang-bin Ciu-kwi yang telah datang di situ bersama isterinya, Coa-tok Sian-li. Suami itu bercerita kepada isterinya bahwa dia telah gagal menggagahi Liong Si Kwi karena munculnya seorang pemuda yang amat lihai, pemuda yang amat tampan dan gagah. Mendengar ini, Coa-tok Sian-li sudah tertarik sekali, maka dia cepat bersama suaminya keluar dari sarang untuk menangkap pemuda yang tampan dan gagah itu. Kiranya pemuda itu telah dikepung oleh anak buah mereka.

“Jangan!” Coa-tok Sian-li berseru, lebih nyaring dari suaminya. “Tangkap dia hidup-hidup!” Nyonya yang cantik ini memang tertarik sekali melihat Bun Houw yang tampan dan ganteng dan merasa sayang kalau seorang pemuda seperti itu dibunuh begitu raja!

Mendengar perintah Coa-tok Sian-li, orang-orang kasar itu tersenyum dan saling pandang. Mereka ini tentu saja sudah mengenal baik akan kesenangan nyonya majikan itu, dan sambil tertawa-tawa, mereka lalu mengeluarkan sehelai jala, masing-masing mengeluarkan sehelai dan mengurung pemuda itu dengan jala siap di tangan. Bun Houw sejak tadi memperhatikan Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li, maklum bahwa suami isteri inilah majikan Padang Bangkai itu seperti yang diceritakan oleh Si Kwi tadi. Dia harus melalui Padang Bangkai untuk dapat pergi ke Lembah Naga dan untuk dapat melalui Padang Bangkai dia harus dapat mengalahkan suami isteri ini bersama belasan orang anak buah mereka. Kebetulan, pikirnya, mereka kini telah berkumpul semua di sini, di tepi padang rumput hijau yang menyeramkan itu. Teringat akan nasib wanita telanjang tadi, Bun Houw merasa perutnya muak dan kini sepasang matanya memandang ke sekeliling, ke arah belasan orang yang mengurungnya itu, dengan sinar berkilat-kilat.

“Haaaiiittt...!”

“Tangkaaappp...!”

Empat orang menubruk dari empat penjuru dengan jala mereka. Jala itu bentuknya seperti jala ikan biasa, ada talinya dan ketika dilontarkan, jala-jala itu mengembang seperti layar dan keempatnya dengan tepat menyelimuti tubuh Bun Houw. Pemuda ini sama sekali tidak mengelak, membiarkan jala-jala itu menyelimutinya, akan tetapi segera dia menggerakkan kedua tangannya.

“Breeeetttt...!” Empat helai jala itu pecah dan koyak-koyak hancur, dan si pemuda tampan itu masih berdiri di tengah-tengah pengepungan mereka dengan sikap tenang.

“Heiii...!”

“Ahhh...!”

Mereka terkejut bukan main. Jala mereka itu amat terkenal kuat dan dapat menahan bacokan golok. Musuh yang sudah terjala, baru sehelai jala saja, akan sukar meloloskan diri. Akan tetapi kini pemuda itu, dengan tangan kosong telah menghancurkan empat helai jala sekali gerak! Suami isteri itupun terkejut bukan main dan jantung Coa-tok Sian-li makin berdebar penuh gairah berahi terhadap pemuda yang demikian jantan dan lihainya.

“Serbu! Tangkap!” teriaknya dan kini lima belas orang anak buah Padang Bangkai itu bergerak seperti harimau-harimau kelaparan memperebutkan seekor domba. Sekaligus dua orang menubruk dari depan dan dua orang pula menyergap dari belakang. Karena mereka diperintah untuk menangkap, maka mereka tidak menghantam, hanya menubruk untuk meringkus pemuda ini yang mereka tahu amat diidamkan oleh nyonya majikan mereka.

Kembali Bun Houw membiarkan empat orang itu meringkus dan merangkulnya, kemudian dia mengeluarkan suara melengking dahsyat dan menggerakkan tubuhnya. Akibatnya hebat karena empat orang tinggi besar itu semua terlempar seperti dilontarkan ke arah... padang rumput hijau!

Mereka memekik ketakutan, akan tetapi karena tenaga yang melontarkan mereka itu amat kuat, akhirnya mereka terbanting ke atas padang rumput hijau dan celakanya, mereka jatuh dengan kepala lebih dulu dan langsung tubuh mereka menancap di lumpur dari kepala sampai ke pinggang, tinggal dua kaki mereka saja bergoyang-goyang lucu dan aneh! Teman-teman mereka terkejut dan hendak menolong kawan-kawan mereka itu dengan tali, akan tetapi kini Bun Houw mengamuk, tidak memberi kesempatan kepada mereka, kaki tangannya bergerak dan terdengar suara berkeretaknya tulang-tulang patah dan ada pula yang terlempar ke padang rumput hijau. Dengan gerakan kilat Bun Houw berloncatan dan ke manapun tubuhnya berkelebat, tentu ada anggauta Padang Bangkai yang roboh atau terlempar ke padang rumput berbahaya itu. Dalam waktu singkat, delapan orang terlempar ke padang rumput hijau dan “ditelan” lumpur, yang tujuh orang roboh tak dapat bangkit kembali, ada yang pingsan karena kena ditampar, ada yang patah tulang kaki atau tangannya dan mereka kini hanya merupakan sekumpulan orang cacad yang tidak mampu bangkit, hanya mengerang kesakitan!

Melihat ini, tentu saja Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li terkejut bukan main. Semua gairah nafsu berahi lenyap dari benak wanita itu ketika melihat betapa lima belas orang anak buahnya telah roboh semua. Kini mukanya yang dihias tebal itu menjadi buruk karena ditarik sedemikian rupa oleh perasaan marah, tangannya bergerak berkali-kali dan puluhan batang jarum Coa-tok-ciam (Jarum Racun Ular) menyambar ke tubuh Bun Houw dari kepala sampai ke kaki! Hebat bukan main serangan beruntun dan bertubi-tubi dari jarum-jarum yang dilontarkan oleh Coa-tok Sian-li yang sudah marah, akan tetapi anehnya, Bun Houw sama sekali tidak mengelak, hanya mengangkat tangan untuk melindungi mukanya dari serangan jarum-jarum itu. Dan semua jarum itu tepat mengenai tubuhnya, dari leher sampai kaki, akan tetapi pemuda itu seolah-olah tidak merasakan sesuatu dan jarum-jarum itu banyak yang menancap di pakaiannya!

Kini Bun Houw menggunakan tangannya mengusap pakaiannya dan jarum-jarum itu telah berada di tangannya, lalu tangannya bergerak dan belasan batang jarum menyambar ke arah suami isteri itu dan orang-orang mereka yang masih mengerang kesakitan.

“Celaka...!” Coa-tok Sian-li berseru.

Dia dan suaminya dapat meloncat jauh ke belakang menghindarkan diri dari sambaran jarum-jarum itu, akan tetapi empat orang anggauta atau anak buah mereka yang telah terluka tadi, kini menjerit dan terjengkang roboh berkelojotan termakan oleh jarum-jarum beracun! Hanya mereka yang tadi sudah pingsan dan rebah saja yang lolos dari maut.

Melihat ini, Coa-tok Sian-li dan Ang-bin Ciu-kwi menjadi pucat dan tanpa menanti komando lagi, keduanya telah membalikkan tubuh dan lari dari situ seperti dikejar hantu! Mereka melarikan diri ke utara untuk melapor ke Lembah Naga tentang kedatangan pemuda yang luar biasa lihainya ini. Sementara itu, dari jauh Si Kwi melihat semua peristiwa itu dan jantungnya berdebar tegang dan penuh kekaguman. Makin kagumlah dia kepada Bun Houw, dan makin tetaplah tekadnya bahwa apapun yang akan terjadi, dia harus menjaga agar Bun Houw jangan sampai tertimpa malapetaka, atau dia akan berusaha untuk menolongnya sedapat mungkin.

Ketika dia melihat pemuda itu dengan gerakan cepat sekali telah meninggalkan tempat itu dan agaknya seperti mengejar suami isteri yang melarikan diri, Si Kwi juga cepat melanjutkan perjalanannya. “Ohh, aku cinta padamu... betapa aku cinta padamu...” Bibirnya berkemak-kemik ketika dia memandang bayangan Bun Houw yang segera lenyap itu.

Si Kwi bukan seorang gadis yang mudah jatuh cinta. Biasanya, karena sikap gurunya, dia malah ada kecondongan memandang rendah kaum pria, biarpun di dalam lubuk hatinya dia merindukan seorang suami yang seperti yang diidam-idamkan gurunya dan diidamkannya sendiri pula. Seorang pemuda yang gagah perkasa dan lebih lihai daripada dia sendiri, dan tentu saja yang tampan dan ganteng. Maka kini, bertemu dengan Cia Bun Houw dan melihat betapa semua idaman hatinya itu terkumpul di dalam diri pemuda itu, tidaklah mengherankan apabila dia tertarik, kagum, dan jatuh cinta! Apalagi karena justeru pemuda hebat itulah yang telah menyelamatkannya dari bahaya yang lebih mengerikan daripada maut! Dan selain ini, juga pemuda itu telah melihat dia dalam keadaan setengah telanjang, hanya memakai pakaian dalam yang tipis dan pendek saja! Seluruh kerinduan yang timbul semenjak beberapa tahun ini, semenjak dia telah menjadi dewasa, kini ditumpahkan kepada diri Bun Houw seorang!

***

Berkat petunjuk dari Liong Si Kwi, Bun Houw tidak mengalami kesukaran melewati Padang Bangkai yang telah kosong ditinggalkan penghuninya itu dan akhirnya tibalah dia di luar tembok yang mengelilingi tempat tinggal Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li di Lembah Naga. Tembok itu seperti benteng saja, kokoh kuat dan tinggi. Akan tetapi sungguh aneh sekali, kalau benteng dijaga dengan ketat dan tentu tampak para perajurit penjaga hilir-mudik melakukan penjagaan dan perondaan, sebaliknya tempat ini sunyi saja tidak nampak seorangpun penjaga. Ketika Bun Houw tiba di depan pintu gerbang, pintu besar dari tembok benteng itu malah terbuka lebar-lebar dan tidak nampak ada yang menjaganya, seolah-olah pintu yang terbuka lebar itu mempersilakan dia memasukinya. Akan tetapi, Bun Houw bukan seorang pemuda sembrono atau bodoh. Baginya, pintu benteng yang terbuka lebar itu seperti mulut seekor naga yang terbuka, siap menelannya kalau dia tidak berhati-hati!

Bun Houw menduga bahwa tidaklah mungkin Lembah Naga begitu lengah setelah sengaja menawan In Hong dan menggunakan gadis itu sebagai umpan datangnya para tokoh Kerajaan Beng. Apalagi karena sekarang Siang-bhok-kiam juga telah mereka rampas dan setiap saat mereka menanti datangnya orang Cin-ling-pai untuk merampas kembali pedang pusaka itu. Ini pasti sebuah perangkap, pikirnya. Dia teringat akan suami isteri majikan Padang Bangkai yang melarikan diri. Pasti karena dua orang itu telah datang melapor, maka kini Lembah Naga sudah siap menyambutnya dan mengatur perangkap.

Namun Bun Houw sama sekali tidak merasa jerih. Dia sudah bertekad mempertaruhkan nyawanya, bukan hanya untuk merampas kembali Siang-bhok-kiam, melainkan terutama sekali untuk menyelamatkan In Hong gadis yang dicintanya itu. Dia lalu pergi mencari sebongkah batu yang beratnya kurang lebih seberat orang biasa, lalu dia melontarkan batu itu ke lantai di tengah pintu gerbang sedangkan tubuhnya sendiri mencelat ke atas seperti seekor burung terbang saja.

“Bukkkk...!” Baru saja batu itu tiba di lantai pintu, terdengar bunyi berderit nyaring dan lantai di bawah pintu gerbang itu terkuak lebar sekali merupakan sumur besar yang dapat menelan puluhan orang perajurit yang menyerbu pintu gerbang itu. Kemudian, dari atas kanan kiri pintu gerbang itu, belasan orang laki-laki yang sudah bersiap dengan gendewa mereka melepas anak panah seperti hujan saja ke dalam lubang.

Bun Houw bergidik. Jangankan baru dia seorang, andaikata ada pasukan yang lancang menyerbu masuk, tentu pasukan itu akan terjeblos ke dalam lubang sumur besar itu dan semua tewas di bawah hujan anak panah itu! Akan tetapi kini para anak buah Lembah Naga itu sudah melihat Bun Houw yang berdiri di atas tembok, maka mereka kini lalu membalikkan gendewa mereka dan menyerang pemuda itu dengan anak panah.

Bun Houw meloncat ke bawah, kaki tangannya menangkis dan menendang anak panah yang datang menyerangnya, ada pula yang mengenai tubuhnya akan tetapi semua anak panah itu runtuh ke bawah, tidak ada yang dapat melukai tubuhnya yang sudah dilindungi oleh sin-kang menjadi kebal. Begitu tiba di bawah, Bun Houw berseru nyaring, “Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li! Keluarlah kalian kalau memang kalian bukan pengecut-pengecut hina! Aku Cia Bun Houw dari Cin-ling-pai telah datang!”

Semua anak buah Lembah Naga terkejut mendengar ini. Di antara mereka memang ada yang sudah pernah melihat Cia Bun Houw ketika pemuda ini dahulu memasuki benteng Sabutai, akan tetapi ada pula yang belum melihatnya. Akan tetapi, mereka semua telah mendengar akan nama pemuda Cin-ling-pai yang kabarnya amat lihai itu dan tadi mereka sudah menyaksikan sendiri betapa selain tidak dapat terjebak di pintu gerbang, juga pemuda itu telah memperlihatkan kelihaiannya ketika dihujani anak panah.

“Ha-ha-ha, bocah sombong!” Terdengar suara keras dan nampaklah Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li muncul dari dalam sebuah rumah gedung, langsung menghampiri tempat yang telah dikurung oleh puluhan orang anak buah mereka itu. Juga, nampak muncul Bouw Thaisu dan Hek I Siankouw, kemudian paling akhir muncul pula Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li yang memandang ke arah pemuda itu dengan sikap gentar.

“Ha-ha-ha! Mana ketua Cin-ling-pai? Aku mengharapkan dia yang muncul di sini, bukan seorang bocah masih ingusan macam kau!” Pek-hiat Mo-ko berkata lagi, memandang rendah kepada Bun Houw.

Bun Houw sudah memandang penuh perhatian. Pek-hiat Mo-ko yang bermuka putih dan berpakaian hitam di samping Hek-hiat Mo-li yang bermuka hitam berpakaian putih itu benar-benar merupakan pasangan yang menyeramkan sekali. Akan tetapi, teringat bahwa In Hong berada di sebelah dalam dari satu di antara rumah-rumah di benteng ini, bangkit kembali semangat Bun Houw dan dengan tabah dia lalu berkata, “Ji-wi locianpwe adalah dua orang tua yang berilmu, mengapa menggunakan cara yang amat tercela? Kalau hendak menantang kami mengapa harus menggunakan akal pancingan?”

“Heh-heh-heh, bocah ini bermulut lancang!” Hek-hiat Mo-li mengejek. “Pedang Siang-bhok-kiam memang ada pada kami, suruhlah ketua Cin-ling-pai sendiri datang untuk mengambilnya kalau dia berani!”

“Cukup dengan aku saja sebagai putera ketua Cin-ling-pai mewakili ayah dan seluruh Cin-ling-pai!” kata Bun Houw tenang. “Dan bukan hanya untuk Siang-bhok-kiam, terutama sekali hendaknya ji-wi suka membebaskan nona Yap In Hong sekarang juga!”

Ucapan yang tenang dari Bun Houw ini mengherankan semua orang, heran akan keberanian pemuda ini yang datang seorang diri di tempat itu namun telah membuka suara lantang hendak merampas kembali Siang-bhok-kiam dan menuntut dibebaskannya Yap In Hong! Sejenak keadaan menjadi sunyi dan semua orang menanti jawaban dari dua urang kakek dan nenek itu dan tiba-tiba kesunyian itu dipecahkan oleh suara lemah, “Subo...”

Semua orang menengok dan Hek I Siankouw juga menoleh. Ketika dia melihat muridnya yang berpakaian merah itu telah tiba di situ dengan muka agak pucat, dia cepat memanggil dengan suara dingin, “Si Kwi, ke sinilah engkau!”

Mendengar suara gurunya, Liong Si Kwi terkejut dan melirik ke arah Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya yang keduanya menyeringai itu, dia lalu cepat menghampiri gurunya dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki Hek I Siankouw.

“Heh-heh, bagus sekali muridmu, Siankouw! Kiranya muridmu yang kaubilang amat boleh dipercaya itu hanya seorang pengkhianat tak tahu malu!” kata Hek-hiat Mo-li.

“Nanti dulu, Mo-li!” Hek I Siankouw membantah. “Kita tidak boleh hanya mendengarkan keterangan yang sepihak saja. Persoalan ini perlu diselidiki baik-baik sebelum menjatuhkan kesalahan kepada satu pihak. Eh, Si Kwi, bagaimana dengan perintah yang kuberikan kepadamu untuk menemui majikan-majikan Padang Bangkai dan menyampaikan pesan?”

“Sudah teecu lakukan dengan baik, subo. Akan tetapi...” Dara itu mellrik ke arah Ang-bin Ciu-kwi yang masih menyeringai.

“Akan tetapi engkau berkhianat kata orang, hendak melarikan diri dari sini, kemudian engkau bermain gila dengan pemuda Cin-ling-pai ini, berjina dengan dia dan ketahuan oleh Ang-bin Ciu-kwi dan...”

“Bohong...!” Si Kwi menjerit dan dia melompat bangun, menghadapi Ang-bin Ciu-kwi dan menudingkan telunjuknya kepada majikan Padang Bangkai itu. “Dia bohong, dia bukan manusia, subo! Dia inilah manusianya yang hampir saja memperkosa teecu! Ketika teecu tiba di sana, mereka ini dan anak buah mereka tidak melakukan penjagaan, melainkan mengganggu banyak wanita biarpun kemudian mereka bilang bahwa wanita-wanita itu adalah anak buah Giok-hong-pang. Kemudian... dengan curang iblis ini menyuguhkan arak beracun kepada teecu dan nyaris teecu diperkosa olehnya! Bedebah keparat dia ini!”

“Ha-ha-ha, kami lihat engkau dan pemuda Cin-ling-pai itu bergumul di antara rumpun alang-alang... ha-ha-ha, betapa asyiknya... dan sekarang masih memutar balikkan omongan!” kata Ang-bin Ciu-kwi.

“Nanti dulu, Ciu-kwi. Benarkah omonganmu dan isterimu bahwa kalian melihat muridku berjina dengan pemuda Cin-ling-pai ini?”

“Benar! Kami berdua melihatnya!” jawab Coa-tok Sian-li dengan tegas.

“Bohonggg...!” Si Kwi menjerit lagi.

“Diam kau, Si Kwi!” Hek I Siankouw membentak muridnya, lalu berkata kepada Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, “Kalian berdua tentu bukan anak kecil dan hal ini tentu saja dengan mudah dapat kita periksa. Sepanjang pengetahuanku, muridku adalah seorang perawan. Akan tetapi kini dua orang majikan Padang Bangkat ini mengatakan bahwa muridku berjina dengan seorang laki-laki. Harap Hek-hiat Mo-li suka memeriksa kebenaran keterangan itu. Kalau benar muridku sekarang sudah bukan perawan lagi, aku sendiri yang akan membunuhnya!”

“Heh-heh, itu benar sekali!” Hek-hiat Mo-li melangkah maju dan sebelum Si Kwi sempat mengelak, dia telah tertotok roboh. Dengan cekatan jari-jari tangan Hek-hiat Mo-li meraba-raba dan tak lama kemudian dia membebaskan totokannya, mencelat ke tempatnya kembali sambil berkata kecewa, “Dia benar masih perawan!”

“Hemm...” Hek I Siankouw kini menghadapi Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li. “Bagaimana sekarang, manusia-manusia palsu? Kalau muridku telah berjina dengan seorang pria, bagaimana mungkin dia masih perawan sekarang?”

Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li tentu saja menjadi bingung. Mereka memang sengaja memutarbalikkan fakta agar gadis itu tidak mengadukan keadaannya ketika berada di Padang Bangkai, siapa tahu kini terdapat bukti bahwa cerita mereka itu bohong belaka!

“Akan tetapi dia... dia hendak lari ke selatan dan... sekarang buktinya, pemuda Cin-ling-pai ini mana mungkin bias melewati Padang Bangkai dan tiba di sini kalau tidak atas petunjuk Si Kwi?” kata Ang-bin Ciu-kwi yang biarpun pemabok namun cukup cerdik itu.

Kembali Hek I Siankouw meragu. “Si Kwi, benarkah engkau memberi petunjuk kepada pemuda Cin-ling-pai ini?”

“Tidak, Hek I Slankouw, dia sama sekali tidak memberi petunjuk apa-apa kepadaku. Mengapa kalian ini begitu tolol untuk mempercayai omongan manusia-manusia macam suami isteri yang cabul dan kotor ini? Aku memaksa seorang anggauta Padang Bangkai untuk menunjukkan jalan ke sini!” Bun Houw cepat berkata untuk melindungi Si Kwi.

“Nah, jelas bahwa engkau sengaja hendak memburukkan nama muridku, hanya karena engkau tadinya hendak memperkosanya dan kini kau memutarbalikkan kenyataan! Ang-bin Ciu-kwi, kau menghina muridnya, berarti kau menantang gurunya!”

“Bagus, Hek I Siankouw, engkau sombong sekali!” Tiba-tiba Coa-tok Sian-li berteriak dan meloncat ke depan membela suaminya. “Muridmu bisa bercerita bohong dan tentu saja pemuda musuh ini membelanya, akan tetapi kami suami isteri juga mempunyai cerita tersendiri. Muridmu yang tak tahu malu...”

“Tutup mulutmu, perempuan cabul!” teriak Hek I Siankouw.

“Engkau yang harus tutup mulut!” teriak Coa-tok Sian-li. Dua orang wanita itu, tentu saja Coa-tok Sian-li dibantu suaminya, sudah akan saling serang ketika terdengar Hek-hiat Mo-li berseru keras.

“Sungguh bodoh kalian! Mudah saja diadu domba oleh musuh. Sedangkan musuh masih berdiri di antara kita, kalian sudah saling cekcok! Lebih baik kalian bertiga cepat maju menangkap pemuda Cin-ling-pai ini!”

“Benar, kalau memang kalian bertiga merupakan pembantu-pembantu kami yang setia, hayo kalian tangkapkan pemuda ini untuk kami!” kata pula Pek-hiat Mo-ko.

Tentu saja Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li yang sudah tahu akan kelihaian pemuda itu, merasa jerih. Coa-tok Sian-li masih ngeri kalau mengingat betapa jarum-jarumnya yang ampuh itupun sama sekali tidak dapat melukai pemuda ini. Juga Hek I Siankouw sudah maklum betapa lihainya pemuda ini, maka diapun meragu untuk turun tangan. Akan tetapi dalam saat yang membingungkan bagi mereka itu, tiba-tiba saja semua kemarahan di antara mereka lenyap dan dengan pandang mata mereka itu saling melirik, maklumlah mereka bahwa mereka bertiga harus bekerja sama untuk menandingi pemuda Cin-ling-pai itu.

“Singggg...!” Tangan kanan Hek I Siankouw sudah mencabut pedang hitamnya, sedangkan tangan kiri merogoh kantong senjata rahasianya, yaitu Hek-tok-ting (Paku Hitam Beracun).

“Singggg...!” Coa-tok Sian-li juga sudah mencabut pedangnya, sebatang pedang yang berlika-liku seperti ular dan berwarna kehijauan, tangan kirinya juga mengambil segenggam jarum racun ular.

“Wuuut-wuuuttt...!” Ang-bin Ciu-kwi menggerakkan guci araknya.

Tiga orang ini karena terpaksa kini bekerja sama dan dengan gerakan dahsyat ketiganya sudah menerjang maju dari tiga jurusan, dua batang pedang dan sebuah guci arak menyambar ganas ke arah bagian tubuh yang berbahaya dari pemuda itu. Namun Bun Houw yang sudah bersiap-siap, tidak menjadi gugup menghadapi serangan-serangan itu. Dia adalah murid Kok Beng Lama yang telah mewarisi Thian-te Sin-ciang secara sempurna, sehingga biarpun dia belum dapat menyamai kekuatan Kok Beng Lama yang amat luar biasa, namun kedua tangan dan lengan pemuda itu sudah memiliki kekebalan seperti gurunya, yaitu berani untuk menangkis senjata-senjata pusaka yang tajam! Kini, menghadapi serangan-serangan itu, dia mengelak dan menangkis dari samping dengan kedua tangannya sambil mengerahkan tenaga.

“Plak-plak-plakkk...!”

Tiga orang pengeroyoknya itu terdorong ke belakang! Mereka terkejut bukan main dan otomatis Hek I Slankouw menggerakkan tangannya. Sinar-sinar hitam menyambar dan itulah Hek-tok-ting yang meluncur dari tangannya. Coa-tok Sian-li juga menyambitkan jarum-jarumnya, sedangkan Ang-bin Ciu-kwi yang tadi sudah menenggak araknya, kini menyemburkan arak dari mulutnya dan semburan arak itu berupa uap yang amat kuat menyambar ke depan dan biarpun hanya arak, akan tetapi karena disemburkan dengan dorongan tenaga khi-kang yang hebat, tidak kalah berbahayanya dengan senjata rahasia lainnya!

Bun Houw meloncat ke atas dan kedua kakinya bergerak menendangi senjata-senjata rahasia yang masih menyambar ke arah tubuhnya bagian bawah, kemudian tubuhnya itu berjungkir-balik di udara dan bagaikan seekor naga sakti, kini tubuhnya meluncur ke depan, menyerang Ang-bin Ciu-kwi dengan cengkeraman tangan kanan, sedangkan tangan kiri dengan jari-jari terbuka menghantam ke arah Hek I Siankouw yang dia tahu merupakan lawan terlihai di antara mereka bertiga.

Melihat suaminya diserang secara demikian hebat, Coa-tok Sian-li cepat menubruk maju dengan pedangnya, membacok ke arah lengan tangan Bun Houw yang mencengkeram, sedangkan Hek I Siankouw cepat meloncat ke samping. Namun tetap saja hawa pukulan Thian-te Sin-ciang masih menyerempet pundaknya dan pendeta wanita tua ini terhuyung-huyung ke belakang dan mukanya berubah pucat.

Bun Houw menarik kembali tangan yang mencengkeram karena bacokan pedang dari samping itu cukup berbahaya, kemudian tubuhnya sudah tiba di atas tanah lagi. Kini pemuda itu kembali telah dikurung dan dengan isyarat bentakan nyaring, Hek I Siankouw mendahului menyerang, diikuti oleh dua orang temannya, dan terdengar suara Bouw Thaisu, “Siancai, bocah ini memang lihai. Biar aku membantu kalian!”

“Wuuut-wuuuuuttt...!”

Bun Houw cepat meloncat ke belakang, berjungkir-balik dan mengelak dari sambaran kedua ujung lengan baju Bouw Thaisu. Memang senjata kakek ini hanya ujung lengan baju, ujung kain biasa, akan tetapi Bun Houw maklum betapa ujung lengan baju ini lebih lihai daripada senjata-senjata tajam tiga orang pengeroyoknya yang lain.

“Bagus! Majulah kalian semua! Memang aku sudah mengenal siapa kalian, orang-orang tua pengecut ini!” Bun Houw berseru dan diapun balas menyerang. Terjadilah pertandingan yang hebat bukan main, seorang pemuda dikeroyok oleh empat orang tua yang kesemuanya merupakan tokoh-tokoh besar dalam dunia persilatan. Namun, pemuda itu sama sekali tidak terdesak, bahkan beberapa kali empat orang itu kelihatan terhuyung ke belakang setiap kali hawa pukulan Thian-te Sin-ciang yang dahsyat mendorong mereka biarpun tidak mengenai langsung.

Sementara itu, untuk kedua kalinya, Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li terkejut dan kagum melihat kehebatan pemuda itu. Mereka kini tidak begitu jerih lagi menghadapi pukulan-pukulan dahsyat yang mereka kenal sebagai pukulan yang pernah membuat mereka jatuh bangun dan dihajar habis-habisan ketika mereka pernah bentrok dengan pendeta Lama dari Tibet itu. Kini mereka telah menyempurnakan ilmu mereka, ilmu kekebalan yang membuat mereka tidak usah takut lagi menghadapi pukulan seperti Thian-te Sin-ciang dan lain-lain!

“Kalau kita tidak maju, kurasa pembantu-pembantu kita yang tiada gunanya itu tidak akan mampu merobohkannya,” kata Pek-hiat Mo-ko dengan suara tidak puas.

“Bukan salah mereka. Mereka merupakan pembantu-pembantu yang cakap, hanya pemuda inilah yang terlalu lihai. Dia merupakan seorang sandera yang amat baik untuk menjamin kedatangan ayahnya, ketua Cin-ling-pai ke sini,” kata Hek-hiat Mo-li.

“Engkau benar sekali. Sebaiknya kalau kita tangkap dia.”

“Jangan kira mudah menangkap seorang yang memiliki kepandaian seperti dia. Kita harus menggunakan akal. Ingatkah kau betapa tadi dia lebih mementingkan nona itu daripada pedang pusaka Siang-bhok-kiam? Hemm, ini tentu ada apa-apanya. Mo-ko, kaubantulah empat orang itu sebelum mereka terpukul mampus oleh musuh. Aku mempunyai akal untuk menundukkan pemuda itu sehingga dapat menjadi tawanan kita.”

Pek-hiat Mo-ko mengangguk dan sekali tubuhnya bergerak, dia sudah meloncat dan menerjang Bun Houw dengan pukulan dahsyat dari tangan kanannya. Pek-hiat Mo-ko terkenal dengan sin-kangnya yang mengandung hawa beracun dan yang mendatangkan hawa dingin sekali.

Ketika Bun Houw yang sedang berusaha merobohkan empat orang pengeroyoknya itu tiba-tiba merasa ada hawa dingin menyambar dari kiri, tahulah dia bahwa dia diserang oleh seorang yang memiliki sin-kang amat kuat. Cepat diapun mengerahkan tenaganya menangkis ke kiri, disusul oleh tamparan tangan kanannya dengan pukulan Thian-te Sin-ciang ke arah orang yang baru datang ini.

“Prattt... dessss...!” Tangkisannya membuat lengan Pek-hiat Mo-ko terpental dan pukulan Thian-te Sin-ciang itu membuat si kakek bermuka putih ini bergulingan, akan tetapi sambil tersenyum dia sudah bangkit kembali, tanda bahwa pukulan sakti itu sama sekali tidak melukainya!

“Ha-ha-ha, Thian-te Sin-ciang ternyata tidak seberapa! Boleh saja Lama busuk dari Tibet itu datang ke sini, kami tidak takut menghadapi pukulannya, ha-ha!” Pek-hiat Mo-ko tertawa girang. Tadi dia memang hendak menguji keampuhan ilmunya yang baru dan ternyata lulus dengan baik karena pukulan hebat itupun dapat diterimanya tanpa melukai bagian dalam tubuhnya! Dan kini dia menyerang lagi lebih hebat daripada tadi.

Bun Houw menjadi penasaran dan marah. Kakek ini hebat sekali dan kalau dia lebih dulu merobohkan yang empat orang, tentu dia tidak akan dapat mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menghadapinya. Dalam pertandingan satu lawan satu, dia yakin akan dapat mengalahkan kakek ini, biarpun kakek ini memiliki kekebalan yang begitu istimewa. Berpikir demikian, dia lalu mengelak dari semua serangan Pek-hiat Mo-ko, menjauhinya dan dengan sungguh-sungguh dia kini menerjang empat orang yang lain! Hebat bukan main sambaran hawa pukulan Thian-te Sin-ciang dari tangannya dan selagi empat orang lawan itu mundur, dia sudah mengeluarkan senjatanya, yaitu pedang Hong-cu-kiam yang mengeluarkan sinar keemasan menyilaukan mata.

“Trang-trang-trakk-breetttt...!”

Sinar emas itu bergulung-gulung dengan amat hebatnya dan itulah Siang-bhok Kiam-sut yang dimainkan oleh pemuda ini dan akibatnya, pedang di tangan Hek I Siankouw rusak ujungnya, guci arak di tangan Ang-bin Ciu-kwi menjadi bocor dan ujung lengan baju sebelah kiri dari Bouw Thaisu juga terbabat putus! Empat orang itu berseru kaget dan cepat mundur, akan tetapi sinar emas dari pedang Hong-cu-kiam kini bergulung-gulung makin luas dan mengancam mereka tanpa mendekati Pek-hiat Mo-ko. Memang Bun Houw hendak mengalahkan empat orang pengeroyok itu lebih dulu sebelum dia dapat memusatkan seluruh perhatian dan kepandaiannya untuk menandingi kakek yang amat lihai itu.

“Tahan...! Cia Bun How, lihat ini...!” Terdengar bentakan Hek-hiat Mo-li dengan suara nyaring.

Bun Houw meloncat ke belakang, menoleh dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia melihat In Hong dalam keadaan terbelenggu kedua kaki tangannya telah berdiri di situ, dijaga oleh Hek-hiat Mo-li yang berdiri di belakang gadis itu.

“Hong-moi...!” Tak disadarinya lagi Bun Houw berseru girang melihat gadis itu benar-benar masih dalam keadaan selamat, akan tetapi juga khawatir melihat gadis itu sama sekali tidak berdaya karena selain dibelenggu tangannya, juga tangan nenek yang membentuk cakar di dekat tengkuknya itu merupakan todongan maut!

“Cia Bun Houw, pilihlah. Engkau menyerah baik-baik atau nona ini akan kuhabiskan nyawanya di depan matamu!”

“Jangan dengarkan dia! Aku tidak takut mati!” Tiba-tiba In Hong berseru yaring dan Bun Houw menjadi terharu. Gadis itu masih sama dengan dulu, gadis lincah dan berani, tidak berkedip menghadapi ancaman maut! Masih sama dengan “nona Hong” yang dulu itu, dengan “Hong-moi” yang dulu itu!

“Hong-moi...!” Kembali dia mengeluh dan meragu.

“Cia Bun Houw, engkau adalah putera ketua Cin-ling-pai yang perkasa. Tunjukkanlah kejantananmu dan jangan perdulikan aku!” Kembali In Hong berkata. “Jangan kau merendahkan nama ayahmu.”

“Cia Bun Houw, bergeraklah sedikit saja, dan nona ini akan mampus!” Tangan berbentuk cakar itu kini menempel di tengkuk In Hong.

“Hek-hiat Mo-li!” Bun Houw berseru nyaring, mengerahkan khi-kangnya sehingga suaranya terdengar amat berwibawa dan menggetarkan jantung mereka yang mendengarnya. “Boleh jadi engkau dapat membunuh nona Yap In Hong akan tetapi akupun dapat membunuh kalian semua!”

“Ha-ha-ha, Cia Bun Houw bocah sombong! Kaukira akan mampu membunuh kami? Ha-ha, nona itu dapat kami bunuh dan kaupun juga! Lihat berapa besar kekuatan kami?”

Ucapan Pek-hiat Mo-ko ini membuat Bun Houw melihat ke sekeliling dan ternyata tempat itu telah terkurung oleh seratus orang anak buah yang kelihatannya kuat-kuat dan bersenjata lengkap. Dia memandang kepada Si Kwi sekejap dan diam-diam dia mengakui kebenaran keterangan gadis itu yang kini kelihatan amat berduka memandang ke arahnya.

“Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li. Biarpun demikian, tetap saja untuk kematian nona Yap In Hong aku akan dapat membunuh banyak sekali orang di sini! Maka tidak adillah kalau aku menyerah begitu saja tanpa imbalan. Kalian bebaskan nona Yap In Hong dan sebagai gantinya, biar aku yang menjadi tawananmu, mau kalian bunuh atau apa saja terserah. Akan tetapi nona itu harus bebas dulu!”

“Houw-ko, jangan gila...!” In Hong menjerit dan tanpa disadarinya dia kembali telah menyebut Houw-ko kepada Bun Houw.

Bun Houw tersenyum kepadanya. “Hong-moi, sudah sepatutnya kalau laki-laki yang menjadi tawanan, bukan wanita. Pula, mereka tidak mempunyai urusan denganmu, melainkan dengan Cin-ling-pai. Kalau engkau yang ditawan, hal itu kiranya belum tentu akan menarik perhatian ketua Cin-ling-pai, berbeda kalau aku yang ditawan!” Sengaja Bun Houw mengucapkan ini keras-keras agar terdengar oleh semua orang.

“Cia Bun Houw, engkau tetap tidak mau menyerah?” Hek-hiat Mo-li berteriak.

“Sesukamulah kalau kau hendak membunuhnya akan tetapi aku bersumpah akan membasmi kalian, akan melawan sampai titik darah terakhir! Hanya kalau dia sudah kalian bebaskan saja, aku mau menyerah tanpa syarat.”

“Houw-ko...!” In Hong menjerit lagi dan kini kedua matanya menjadi basah. Tak disangkanya pemuda itu kini begitu tabah dan rela mengorbankan dirinya, mengorbankan keselamatan nyawanya untuk menolong dia!

“Bagaimana ji-wi locianpwe?” Bun Houw mengejek. “Kalian memilih aku mengaku dan membunuhi semua orang di sini ataukah menukar aku dengan nona itu?”

Pek-hiat Mo-ko mendekati Hek-hiat Mo-li dan mereka bicara dalam Bahasa Sailan. “Memang dia lebih berharga daripada gadis ini,” kata Pek-hiat Mo-ko.

“Akan tetapi bagaimana dengan nenek pakaian hitam yang telah membantu kita? Dia hendak menuntut balas kepada gadis ini,” kata Hek-hiat Mo-li.

“Kita janjikan dia bahwa kelak kita akan membantu dia menangkap kembali gadis itu.”

Setelah berunding dalam Bahasa Sailan, lalu Pek-hiat Mo-ko berkata kepada Bun Houw yang masih berdiri dengan pedang Hong-cu-kiam di tangan, “Cia Bun Houw, kami menerima usulmu untuk menukar dirimu dengan diri gadis ini. Nah, kau menyerahlah dan lemparkan pedang itu.”

Bun Houw tersenyum, sejenak nampak deretan giginya yang putih dan kuat. “Siapa bisa percaya omongan kalian? Bebaskan dulu nona Yap In Hong, dan pedang di tanganku ini adalah pedangnya, akan kuberikan kepadanya. Kalau dia sudah keluar dari tempat ini, barulah aku akan menyerah.”

Kakek dan nenek itu marah sekali, merasa terhina. “Bocah lancang! Kami adalah guru-guru dari seorang raja, dan kau berani menganggap kami sebagai orang-orang yang akan melanggar janji? Kalau tidak percaya kepada kami, kamipun bisa tidak percaya kepadamu. Bagaimana kalau setelah gadis ini kami bebaskan, kau tidak mampu menyerah?”

“Aku adalah putera ketua Cin-ling-pai. Mana ada orang Cin-ling-pai melanggar janji? Kalian sudah jelas pernah melanggar ketika di antara Bayangan Dewa dan aku memperebutkan pedang Siang-bhok-kiam. Aku keluar sebagai pemenang, akan tetapi pedang tidak diberikan kepadaku, melainkan kalian tahan! Aku sudah berjani dan lebih baik mati daripada melanggar janji, itulah watak seorang pendekar!”

“Baiklah, memang kami akan lebih senang melihat putera ketua Cin-ling-pai melanggar janji daripada melihat kau mati, agar enak kami menceritakan ke seluruh dunia kang-ouw akan kerendahan watak putera ketua Cin-ling-pai!” kata Pek-hiat Mo-ko yang cerdik itu. “Mo-li, bebaskan nona ini!”

“Eh, eh, nanti dulu, Moli!” Tiba-tiba Hek I Siankouw mengangkat tangan mencegah. “Apakah kalian akan melanggar janji kalian kepadaku? Nona itu adalah milikku, kalian harus ingat ini!”

“Hek I Siankouw, kami tidak melanggar janji apa-apa!” Hek-hiat Mo-li menjawab. “Hanya karena terpaksa saja kami membebaskan nona ini. Kami menjanjikan kepadamu kalau urusan kita semua sudah selesai, dan sekarang urusan belum selesai, bantuanmupun belum kelihatan. Jangan khawatir, nona ini dibebaskan menurut perjanjian dengan Cia Bun Houw, hanya untuk hari ini saja sebagai penukaran dirinya. Kelak, apa sih sukarnya bagi kami untuk menangkapnya kembali? Kalau sudah selesai urusan kita, kami pasti akan membantumu menangkapnya kembali. Ingatlah, dari dalam istana kaisarpun kami dapat mengambilnya apalagi di tempat lain!”

Hek I Siankouw tidak dapat membantah pula dan juga membantahpun tidak akan ada gunanya. Lebih baik bersahabat dengan kakek dan nenek ini yang memang amat lihai dan yang kelak boleh diandalkan untuk membantunya menangkap gadis yang telah membunuh kekasihnya, Hwa Hwa Cinjin itu, daripada sekarang memusuhinya dan sama sekali tidak akan menguntungkannya.

Hek-hiat Mo-li lalu menggunakan kekuatan jari-jari tangannya untuk mematahkan semua belenggu kaki tangan In Hong dan membebaskan totokannya dengan jalan menotok kedua pundak gadis itu. Hampir saja In Hong roboh terguling kalau saja dia tidak cepat meloncat karena pembebasan totokan dan belenggu itu membuat seluruh tubuhnya terasa berdenyut nyeri.

Bun Houw sudah cepat mendekatinya dan menyerahkan pedangnya. “Hong-moi, kau pergilah cepat dan laporkan kepada ayah tentang keadaanku. Lekaslah pergi, Hong-moi dan ini kukembalikan pedangmu.” Bun Houw menyerahkan Hong-cu-kiam.

Seperti dalam mimpi atau seperti patung hidup In Hong menerima pedang itu, matanya masih basah ketika dia sejenak memandang Bun Houw. “Houw-ko... tidak boleh begini...” katanya dengan suara berbisik.

“Sudahlah, Moi-moi. Pergilah, hatiku berbahagia sekali dapat melihat engkau bebas dari neraka ini!”

“Tapi... tapi... kau...?”

“Sudahlah, jangan mengkhawatirkan aku. Mereka hanya akan menggunakan aku sebagai umpan. Pergilah, Hong-moi dan... kaumaafkan semua keselahanku yang sudah-sudah...”

“Houw-koko!” In Hong memejamkan mata dan menggunakan punggung tangan kiri untuk menghapus dua titik air mata. Lalu dia mengepal tinju tangan kirinya, memalangkan pedang Hong-cu-kiam di depan dada. “Houw-ko, biar kuhajar mereka ini!”

“Hssshhh, jangan sembrono, Hong-moi. Aku sudah berjanji kepada mereka.”

“Hayo lekas pergi, mengapa kami disuruh nonton sandiwara?” bentak Ang-bin Ciu-kwi dengan marah.

“Pergilah, Hong-moi, sampai mati aku tidak akan melupakanmu,” kata pula Bun Houw sambil mendorong pundak nona itu dengan gerakan halus.

Dengan isak tertahan In Hong membalikkan tubuhnya dan berlari keluar dari pintu gerbang tembok yang kini sudah tertutup kembali lubangnya itu. Setelah melihat In Hong pergi jauh barulah Bun Houw menundukkan muka, lalu mengangkatnya lagi memandang Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li. “Nah, sekarang aku menyerah.”

“Engkau memang sungguh seorang muda yang amat gagah!” Pek-hiat Mo-ko memuji sambil mendekati pemuda itu bersama Hek-hiat Mo-li.

“Akan tetapi demi keamanan, terpaksa kau harus ditundukkan!” kata Hek-hiat Mo-li dan secepat kilat, jari tangannya menotok.

Bun Houw mengangguk. “Maaf, anggauta tubuhku bergerak otomatis tanpa kusengaja.”

Pek-hiat Mo-ko mengeluarkan tali berwarna hitam dari saku bajunya, “Blar kuikat saja dengan ini.” Dan kakek inipun lalu mengikat kedua tangan pemuda itu di belakang tubuhnya. Tali ini bukan tali sembarangan, melainkan otot dari harimau hitam yang hanya terdapat di daerah Sailan dan otot-otot ini setelah direndam obat, merupakan benda yang ulet dan tidak dapat dibikin putus oleb apapun. Setelah dibelenggu kedua tangannya, Bun Houw lalu digiring hendak dimasukkan dalam kamar tahanan.

Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, “Bebaskan dia!”

“Hong-moi...!” Bun Houw membalikkan tubuh dan memandang dengan mata terbelalak lebar dan muka berubah saking kagetnya melihat bahwa yang datang itu bukan lain adalah In Hong! Gadis ini kelihatan jelas habis menangis, matanya merah den pipinya basah. Kini dia tidak menangis lagi, bahkan sikapnya gagah dan beringas, pedang Hong-cu-kiam di tangannya dan dia berdiri tegak, sikapnya mengancam seperti seekor harimau betina yang dirampas anaknya.

“Hong-moi, pergilah...! Ahhh...!” Bun Houw menjadi bingung sekali. Sementara itu, Hek I Siankouw dan muridnya, Liong Si Kwi, sudah menerjang In Hong dengan senjata mereka, yaitu Hek I Siankouw menggunakan pedang hitamnya yang ujungnya rusak oleh Bun Houw tadi sedangkan Si Kwi mempergunakan sepasang pedang. Melihat betapa gadis itu melawan dengan nekat dan gerakannya cepat bukan main, Bouw Thaisu juga sudah turun tangan membantu. Hanya Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li yang masih marah kepada Hek I Siankouw tidak mau membantu, hanya menonton.

“Ha-ha-ha, tidak usah dicari dia sudah kembali, ha-ha!” Pek-hiat Mo-ko tertawa bergelak den Hek-hiat Mo-li sudah meloncat dan ikut mengeroyok In Hong. Tentu saja In Hong segera terdesak mundur karena nenek ini memang lihai bukan main. Pernah dia dicoba oleh nenek ini dan tidak dapat menang karena nenek ini memiliki kekebalan yang luar biasa. Akan tetapi, dengan pedang Hong-cu-kiam di tangan, In Hong merupakan seorang yang sukar dikalahkan begitu saja dan dia mengamuk dengan hebat sehingga Si Kwi yang tingkat kepandaiannya paling rendah terpaksa mundur.

“Hek-hiat Mo-li! Apakah engkau demikian tak tahu malu untuk melanggar janji?” Bun Houw membentak dan berusaha untuk membebaskan diri, namun biar dia telah mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya, kedua lengannya tidak mampu membikin putus tali yang membelenggunya. Tali itu terlampau ulet dan juga agak mulur sehingga tidak mungkin dapat dibikin putus.

“Hemm, Cia Bun Houw! Siapa yang melanggar janji? Nona itu datang sendiri, dan kami tidak mengejarnya, dia yang datang mengamuk. Apakah itu berarti kami melanggar janji?” Pek-hiat Mo-ko berkata.

Tentu saja Bun Houw tidak membantah kata-kata itu dan kembali dia berseru. “Hong-moi, jangan...! Pergilah lekas!”

Sambil menangkis serangan yang dilakukan dengan penuh kebencian oleh Hek I Siankouw, In Hong menjawab, “Tidak! Kalau engkau tidak dibebaskan, aku akan mengamuk sampai titik darah terakhir!”

Hek I Siankouw menjerit dan meloncat mundur karena pundaknya tergores ujung pedang Hong-cu-kiam sehingga berdarah. Hek-hiat Mo-li menubruk dan ketika sinar keemasan pedang Hong-cu-kiam menyambar, nenek ini menangkis dengan lengannya dan sebuah tamparannya mengenai pundak In Hong sehingga dara ini terhuyung.

“Hong-moi, pergilah...!” kembali Bun Houw berteriak, akan tetapi In Hong sudah marah seperti seekor harimau terluka. Dia meloncat bangun dan dengan mata beringas memandang nenek bermuka hitam itu dan lima belas orang anak buahnya yang kini sudah mengurung In Hong dengan membawa tali-tali panjang yang digulung. Inilah pasukan tali yang sudah terlatih baik oleh dua orang kakek dan nenek itu. Begitu Hek-hiat Mo-li berseru keras, orang-orang itu menggerakkan tangan dan meluncurlah tali-tali yang panjang itu ke sekitar tubuh In Hong, dan ujung itu diterima oleh seorang teman di seberang. Dengan demikian, tahu-tahu In Hong telah dikurung oleh tali-tali yang ruwet dan aneh sehingga dia sukar untuk bergerak karena ke manapun dia maju, tentu terhalang oleh tali yang ruwet itu!

In Hong menjadi marah, akan tetapi dia tidak mampu menyerang lima belas orang yang mengurungnya itu. Mereka ikut bergerak kalau dia bergerak, dan kedudukannya tetap saja di tengah-tengah terhalang oleh tali-temali itu. Terdengar dara ini mengeluarkan suara melengking keras dan pedangnya kini tidak lagi mencari sasaran manusia melainkan mengamuk kepada tali-tali itu. Tali itu ternyata juga terbuat dari bahan yang kuat sekali, akan tetapi Hong-cu-kiam yang tajam digerakkan oleh tangan dara itu yang mengandung sin-kang kuat, merupakan sinar yang bukan main hebatnya sehingga tak lama kemudian tali-temali itu mulai putus! Lima belas orang yang memegang ujung tali-temali itupun mulai menjadi kacau dan In Hong sudah dapat minggir mendekati mereka yang makin panik dan jerih karena tali-temali yang membentuk semacam jaring itu kini telah robek-robek!

“Mundur!” teriak Pek-hiat Mo-ko setelah dia mengikat kedua kaki Bun Houw dengan tali otot hitam sehingga pemuda ini sekarang rebah di atas tanah tak dapat bergerak lagi. Kakek ini sekarang bersama nenek muka hitam lalu menyerbu ke depan.

Melihat dua orang musuhnya ini, In Hong membentak dan pedangnya berkelebat menyerang dengan ganas. Namun, kakek dan nenek yang kini telah memegang sebatang tongkat itu menangkis dan mendesak ke depan. In Hong dikurung rapat dan didesak sedemikrian rupa sehingga gadis itu menjadi repot juga. Menghadapi seorang di antara mereka dia sudah kewalahan karena kekebalan mereka yang luar biasa, apalagi kini dikeroyok dua dan mereka berdua itu memainkan sebatang tongkat secara istimewa pula. Belum sampai lima puluh jurus dia mempertahankan, dia telah roboh oleh totokan istimewa yang dilakukan dengan ujung tongkat oleh Pek-hiat Mo-ko. Tubuh In Hong terguling dan segera diapun diikat kaki tangannya seperti Bun Houw dan dilempar di dekat Bun Houw. Kebetulan sekali In Hong terjatuh dengan muka berhadapan dengan pemuda itu. Mereka saling pandang dan sejenak pandang mata mereka bertaut, kemudian terdengar Bun Houw mengeluh kekecewaan. Percuma saja dia mengorbankan dirinya untuk gadis ini!

lanjut ke Jilid 38-->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar