Rabu, 19 Februari 2014

Petualang Asmara 63

Petualang Asmara Jilid 063

<--kembali

Akan tetapi wanita gemuk itu, yang bukan lain adalah Kim Seng Siocia, tidak menjawab, melainkan tetap tersenyum-senyum, matanya bersinar-sinar dan pandang matanya menjelajahi seluruh tubuh Kun Liong, dari sepatunya yang berdebu sampai kepalanya yang gundul kelimis dan berkeringat. Dipandang seperti itu, Kun Liong merasa malu dan hanya menunduk, akan tetapi matanya diangkat untuk melihat dan mengawasi setiap gerak-gerik orang ini.

“Engkau bukan hwesio?” tiba-tiba Kim Seng Siocia bertanya.

Pertanyaan macam ini sudah terbiasa oleh Kun Liong, maka dia tidak banyak rewel dan menggelengkan kepalanya yang gundul mengkilap terkena sinar obor yang banyak itu.

“Mengapa kepalamu gundul?” kembali Kim Seng Siocia bertanya.

“Terkena penyakit!” jawab Kun Liong tak acuh dan jelas dia mulai kelihatan mendongkol karena kembali kepalanya yang dijadikan persoalan dan bahan percakapan pada saat yang genting itu.

Kim Seng Siocia agaknya merasa bahwa pemuda itu marah, maka dia memperlebar senyumnya. “Aku suka kepala gundul, bersih dan lain daripada yang lain!” Biarpun ucapan ini dikeluarkan dangan kesungguhan hati, namun tetap saja menambah kemengkalan hati Kun Liong. Apakah tidak ada lain “acara” lagi selain bicara tentang kepalanya?

“Toanio siapakah?” dia bertanya untuk mengalihkan percakapan.

“Hishhh, jangan menyebutku Toanio (Nyonya Besar). Aku masih perawan..., eh, aku belum menikah, aku masih Siocia (Nona), hi-hik!”

Kun Liong mengkirik. Bulu tengkuknya meremang karena dia melihat sesuatu yang tidak wajar dan aneh dalam sikap dan kata-kata “nona” gemuk itu.

“Baiklah. Siapakah Siocia?”

“Aku? Aku disebut Kim Seng Siocia, dan kalau aku sudah kawin kelak, tentu saja sebutan nona harus diganti dangan nyonya besar.”

“Sekali lagi aku mengharap agar Siocia tidak salah menduga tentang kedatanganku ke sini, sama sekali bukan untuk berkelahi apalagi mencari musuh. Aku datang untuk bertemu dangan Nona Pek Hohg Ing.”

“Tidak ada Nona Pek Hong Ing di sini, yang ada hanya Pek Nikouw.”

Berseri wajah Kun Liong. Kalau begitu tidak salah lagi. Hong Ing berada di sini! “Benar, dialah yang kumaksudkan!” jawabnya penuh gairah dan penuh harapan.

Akan tetapi dia terkejut melihat betapa wajah gemuk yang tadinya berseri dan ramah itu kini cemberut, mata yang lebar itu melotot dan suaranya nyaring mengandung kemarahan, “Apamukah dia itu?”

“Bukan apa-apa, hanya sahabat biasa...”

“Apa dia kekasihmu?”

Kun Liong terkejut mendangar pertanyaan tiba-tiba yang seperti serangan mendadak ini, “Tidak... tidak, dia seorang nikouw, tidakkah Siocia sudah tahu?”

“Hemm, dia nikouw atau tidak, apa bedanya? Dia tetap wanita dan kau laki-laki!”

Alis Kun Liong berkerut tak senang. Nona gendut ini sama saja danga Lauw Kim In, suci dari Hong Ing, pikirannya kotor penuh prasangka buruk!

“Sekali lagi aku menyatakan bahwa Nona Pek Hong Ing atau Pek Nikouw adalah sahabat baikku dan aku ingin bertemu dangannya. Terserah prasangka Siocia, yang penting aku minta bertemu dengan dia.” Kun Liong lalu memandang ke arah dalam istana dan berteriak nyaring. “Hong Ing, keluarlah kau menemuiku! Aku Yap Kun Liong, sengaja datang mencarimu!”

Namun tidak ada jawaban dari dalam dan Kim Seng Siocia tertawa. “Dia tidak akan menjawab sebelum aku menghendakinya. Eh, Kun Liong, apakah kau tidak mempunyai kekasih atau tunangan?”

Kun Liong terkejut dan memandang dangan bengong, mukanya berubah merah. Pertanyaan apakah ini? Akan tetapi melihat betapa pertanyaan itu diajukan dengan sikap sungguh-sungguh, dia menjawab juga, “Tidak!” sambil menggelengkan kepalanya yang gundul.

“Jadi engkau belum kawin?”

Kun Liong makin bingung. Mengapa Siocia gendut ini demikian ugal-ugalan? Kembali dia menggelengkan kepala dan berkata, “Belum!” Setelah itu, dia melangkah maju dan berkata, “Kim Seng Siocia, kalau kau tidak membolehkan Nona Pek Hong Ing keluar menemuiku, biarlah aku mencari sendiri ke dalam!” Dia lalu meloncat ke depan.

“Bresss! Dukkk!”

Tubuh Kun Liong terguling karena kakinya dijegal (dikait) oleh kaki Kim Seng Siocia dan nona itu tertawa bergelak. “Hi-hik, heh-heh-heh, tidak boleh. Kau harus melayaniku lebih dulu, hendak kuuji sampai di mana tingkat kepandaianmu. Melihat kau dikeroyok tadi, agaknya kau memiliki kepandaian lumayan. Siapa tahu engkaulah orangnya yang kutunggu-tunggu dan kini datang atas kekuatan doa Pek Nikouw. Hi-hik! Sambutlah ini!” Kim Seng Siocia sudah menyerang Kun Liong dangan dahsyat sekali!

Kun Liong tadi terguling karena dia sama sekali tidak mengira bahwa nona gendut itu mau menjegalnya. Maka dengan penasaran dia sudah meloncat bangun dan kini menghadapi serangan nona itu, dia benar-benar merasa kaget. Nona gendut itu ternyata dapat bergerak cepat bukan main, dan dari kedua lengan bajunya yang lebar itu menyambar angin pukulan yang amat kuat!

“Plak?plak?plak!” Tiga kali Kun Liong menangkis dan terpaksa dia mengerahkan tenaga sin-kangnya agar tidak terluka oleh hawa pukulan yang dahsyat itu.

“Aihhh... hik-hik, benar saja, kau hebat!” Kim Sim Siocia tertawa ketika tangkisan itu berhasil menggempur kuda kudanya dan membuat tubuhnya condong ke belakang, tanda bahwa dia masih tidak mampu menandingi kekuatan sin-kang pemuda itu! Akan tetapi dia menyerang terus, kini menggunakan ujung kedua lengan bajunya mengirim totokan-totokan ke arah jalan darah di seluruh tubuh Kun Liong dan gerakannya cepat bukan main, ilmu silatnya aneh, kadang-kadang malah kelihatan lamban dan lambat sekali seperti seekor gajah mencoba untuk mencari-nari!

Namun Kun Liong kaget bukan main. Di luar persangkaannya, nona gemuk ini adalah seorang yang memiliki kepandaian luar biasa dan memiliki tenaga sin-kang amat kuat, serta gerakannya terlalu cepat dibanding dengan tubuhnya yang begitu gendut. Tentu saja Hong Ing bukanlah lawan wanita ini dan dia mulai khawatir karena mengira bahwa tentu Hong Ing menjadi seorang tawanan di tempat ini. Pula dia kini mulai mengerti bahwa dia telah tersesat, bukan berada di tempat tinggal Go-bi Sin-kouw melainkan di tempat tinggal golongan lain yang dipimpin oleh nona gendut yang lihai ini, sungguhpun kesalahannya ini malah kebetulan karena ternyata Hong Ing berada di tempat asing ini!

Dia tentu saja tidak ada niat untuk memukul atau melukai wanita gemuk ini, karena sama sekali tidak ada urusan dan tidak ada permusuhan dengannya, akan tetapi karena serangan-serangan wanita itu benar-benar luar biasa sekali dan amat berbahaya, terpaksa dia harus melindungi dirinya, maka dia lalu mainkan Im-yang Sin-kun dan menggunakan pukulan Pek-in-ciang untuk menghadapi serangan dahsyat lawannya. Melihat cara bersilat pemuda ini dan merasakan betapa lengannya beberapa kali tergetar hebat apabila bertemu dengan lengan lawan, Kim Seng Siocia berkali-kali mengeluarkan seruan kaget, heran, dan juga gembira sekali!

“Kau hebat... ah, kau hebat...!” Dia berseru memuji dangan pandang mata penuh kagum dan girang.

Agaknya nona gendut itu masih belum puas dan dia mengerahkan seluruh tenaganya, mengeluarkan semua ilmu sitatnya yang aneh-aneh. Hampir Kun Liong kena diakali seperti Hong Ing melawan Amoi dan roboh oleh ilmu silat Amoi yang aneh. Apalagi Kim Seng Siocia yang menjadi “guru” Amoi, bukan main aneh dan hebatnya ilmu silatnya. Ada kalanya Kim Seng Siocia mencekik leher sendiri sampai matanya mendelik dan lidahnya keluar, hal ini dilakukan di tengah pertandingan itu. Tentu saja Kun Liong terkejut dan cepat menubruk maju untuk mencegah nona yang kelihatannya seperti hendm membunuh diri itu! Akan tetapi betapa kagetnya ketika tiba-tiba dua tangan nona itu bergerak menotoknya, menotok dua jalan darahnya yang dapat membuat dia lumpuh! Namun, dangan hawa sakti yang timbul karena ilmunya Thi-khi-i-beng, totokan-totokan yang tepat mengenai jalan darah itu “hanyut” dan tidak membekas sehingga Kim Seng Siocia terkejut sekali.

“Hong Ing...!” Kun Liong memanggil lagi sambil meninggalkan lawan meloncat ke dalam.

“Aduh mati aku...!” Tiba-tiba nona gendut itu berteriak dan terguling!

Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Kun Liong melihat tubuh gendut itu terguling dan dari mulut nona itu menyembur darah segar. Dia tidak merasa memukul, akan tetapi jelas nona itu muntah darah.

“Eiihh, kenapa kau, Siocia?” Hatinya yang penuh kelembutan itu tidak tega dan dia meloncat kembali menghampiri Kim Seng Siocia. Tiba-tiba terdengar nona itu terkekeh dan tubuhnya sudah meloncat dangan sigapnya, mendahului Kun Liong memasuki istananya!

“Ihhh... penipu!” Kun Liong berseru marah dan mengejar dangan khawatir. Tahulah dia bahwa nona gendut itu tadi sengaja menipunya dan entah bagaimana dapat muntahkan darah seperti itu, untuk mencegahnya memasuki istana lebih dulu.

Kekhawatirannya terbukti ketika dia memasuki ruangan yang besar itu. Hong Ing dalam keadaan terikat kedua lengannya ke belakang, berdiri di dekat kursi besar sedangkan Kim Seng Siocia memegangi tali panjang sisa pengikatnya dan memegang tengkuk Hong Ing sambil tersenyum manis memandang Kun Liong yang melangkah masuk.

“Kun Liong...!” Hong Ing berkata lemah setelah melihat pemuda itu. Totokan yang membuatnya gagu telah dibebaskan akan tetapi dia hanya dapat mengeluarkan suara lemah setelah sekian lamanya gagu.

“Hong Ing...!” Kun Liong berseru penuh kemarahan. Akan tetapi hatinya lega melihat bahwa Hong Ing masih hidup. Dia berpaling kepada Kim Seng Siocia, dan berkata, “Kim Seng Siocia, mengaoa kau menawan Pek Hong Ing? Apakah kesalahannya maka engkau menawannya?”

“HI-hik, kesalahannya banyak, tapi tidak perlu dibicarakan. Yang penting sekarang adalah membicarakan urusan antara kita! Sahabatmu, Pek Nikouw ini telah berdoa agar aku lekas dapat jodoh dan ternyata doanya terkabul hari ini! Engkau datang dan engkau memenuhi semua syarat untuk menjadi suamiku.”

Kun Liong melongo, matanya terbelalak dan mulutnya ternganga. “A... apa...?”

“Hi-hik! Aku hanya mau menjadi isteri seorang pemuda tampan dan gagah yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dan kau ganteng, biar kepalamu gundul tapi kau tampan dan aku suka padamu, aku cinta padamu. Kau adalah calon suamiku!”

“Tidak!” Kun Liong berseru marah, mukanya menjadi merah sekali. “Aku tidak akan menjadi suami siapapun juga! Lebih baik kaulepaskan Hong Ing!” katanya pula mengancam.

“Eiiit-eiiittt... jangan bergerak! Kalau kau bergerak, aku akan lebih dulu membunuh Pek Nikouw!” Jari-jari tangan wanita itu mengancam tengkuk Hong Ing dan lemaslah tubuh Kun Liong karena dia maklum bahwa sekali jari tangan itu bergerak, tentu akan tewaslah Hong Ing!

“Kim Seng Siocia, apakah kehendakmu?”

“Engkau harus menyerah dan menjadi suamiku. Kalau kau menyerah, barulah aku akan membebaskan Pek Nikouw. Betapapun juga, kalau kau menjadi suamiku, dia telah berjasa. Aku tidak akan mengganggunya, hi-hik. Tapi kalau kau melawan, dia akan mati lebih dulu!”

Kun Liong memutar otaknya. Betapa pun cepat dia bergerak, tak mungkin bisa mendahului tangan yang sudah menempel di tengkuk Hong Ing itu, maka dia sama sekali tidak berdaya.

“Baiklah, aku menyerah. Akan tetapi kau berjanjilah dulu tidak akan mengganggu dia dan akan membebaskannya.”

“Tentu saja, aku berjanji. Acui dan Amoi, ikat dia dulu!”

Sambil tersenyum-senyum dua orang pelayan yang cantik dan lihai itu lalu menghampiri Kun Liong dan mengikat kedua lengan Kun Liong ke belakang tubuhnya.

“Kun Liong! Jangan mau tertipu...!” Tiba-tiba Hong Ing berteriak, akan tetapi karena Kun Liong sudah dibelenggu, pemuda itu tidak dapat berbuat sesuatu, apalagi karena dia memang tidak berani bergerak, takut kalau Hong Ing dibunuh oleh Kim Seng Siocia yang aneh itu.

“Hi-hi-hik, nikouw lancang. Siapa mau menipunya? Aku mau mengambilnya sebagai suami, dan engkau adalah pendetanya yang akan memberkati dan berdoa untuk kami suami isteri, sepasang pengantin baru. Hi-hi-hik!” Kim Seng Siocia tertawa-tawa dan sudah tidak “menodong” Hong Ing lagi karena melihat bahwa Kun Liong sudah terbelenggu erat-erat.

“Kun Liong...!” Hong Ing yang merasa tidak diancam lagi, melihat Kun Liong dibelenggu, lalu berlari menghampiri pemuda itu. “Kun Liong, selagi masih ada kesempatan, larilah. Jangan kauhiraukan aku. Kau terjebak, di sini ada Marcus...”
Tiba?tiba terdengar suara ketawa bergelak dan Marcus muncul dari pintu samping. Kim Seng Siocia sudah mencelat dari tempat duduknya, dengan cepatnya dia menggunakan sisa tali pengikat Hong Ing yang masih panjang untuk dilibat-libatkan pada tubuh Kun Liong dan Hong Ing sehingga kedua orang ini sekarang diikat menjadi satu, saling membelakangi. Keadaan ini membuat mereka tak dapat berkutik lagi!

Kun Liong terkejut ketika melihat Marcus, akan tetapi dia bersikap tenang saja karena betapapun juga, dia harus mengalah untuk menyelamatkan Hong Ing yang tadi sudah terancam. Sekarang, dia berusaha melepaskan diri dari belenggu secara diam-diam, namun terkejutlah dia ketika mendapat kenyataan bahwa tali yang mengikat mereka itu tak mungkin dapat dipatahkan karena mulur dan ulet seperti karet. Maka dia tenang kembali dan ingin melihat perkembangan keadaan sambil menanti terbukanya kesempatan untuk menolong Hong Ing. Maka dia lalu berkata lirih dan jari tangannya menyentuh dan memberi isyarat kepada lengan dara itu yang menempel dengan lengannya sendiri. “Tenanglah, Hong Ing. Aku yakin bahwa Kim Seng Siocia tidak berniat buruk terhadap kita berdua.”

“Tentu saja tidak, Kun Liong. Aku akan mengangkatmu menjadi suamiku, apakah itu niat buruk?” Nona gendut itu berteriak.

“Bagus sekali! Aku mengucapkan selamat, Siocia. Memang dia pantas menjadi suamimu, tampan, gagah dan... berharga sekali! Dan Pek Nikouw itu hanya scorang nikouw palsu, dia gadis cantik dan... biarlah dia untuk aku saja.” kata Marcus.

“Marcus, kubunuh kau kalau...” Kun Liong membentak, kemudian menoleh kepada Kim Seng Siocia yang sudah duduk lagi di atas kursi besar itu. “Siocia, kau sudah berjanji akan membebaskan Hong Ing! Kalau kau melanggar janji dan berani menyerahkan Nona Pek Hong Ing kepada babi putih itu, aku pun sampai mati tidak akan sudi menyerah kepadamu.”

“Bocah gundul, kau masih banyak lagak, ya?” Marcus melangkah maju, hendak memukul kepala Kun Liong.

“Marcus, apa kau sudah bosan hidup, berani hendak memukul calon suamiku? Hayo keluar kau dari sini!” Kim Seng Siocia membentak dan pemuda berkulit putih itu segera meninggalkan ruangan sambil bersungut-sungut tidak puas.

Setelah Marcus pergi, Kim Seng Siocia dengan muka ramah menuding kepada Kun Liong sambil berkata, “Yap Kun Liong, apakah engkau benar-benar telah menyerah kepadaku?”

“Kim Seng Siocia, buktinya aku tidak melakukan perlawanan.”

“Bagus, kalau begitu, akan kupersiapkan pesta untuk upacara pernikahan kita dan...”

“Apa?” Kun Liong bergerak-gerak sehingga Hong Ing ikut terbawa. Keduanya terhuyung karena diikat menjadi satu seperti itu membuat kaki mereka sukar bergerak dan sedikit gerakan saja membuat mereka kehilangan keseimbangan tubuh. “Kau bilang... pernikahan?”

“Hemm, Yap Kun Liong, seorang laki-laki sejati tidak akan menjilat kembali ludah yang sudah dikeluarkannya. Engkau bilang menyerah, tapi...”

“Siocia! Menyerah dan menikah tidaklah sama! Aku hanya menyerah dan tidak melawan seperti kukatakan tadi, dan aku berjanji akan membebaskan Hong Ing.”

“Kalau begitu, kau tidak mau menjadi suamiku?” Mulut lebar yang tadinya tersenyum ramah itu, kini mewek seperti mau menangis.

“Siocia, maafkan aku. Aku tidak ingin menikah, tidak ingin menjadi suami siapapun juga.”

Sepasang mata wanita itu menyinarkan api kemarahan. “Begitukah? Kalau begitu, Pek Nikouw akan kusiksa sampai mati di depan matamu!” Dia meloncat dekat, menggunakan tali lain lagi untuk membelenggu kedua kaki Kun Liong, bahkan juga leher pemuda itu dikalungi tali dan tubuhnya dibelenggu erat-erat seperti seekor kerbau hendak disembelih, kemudian dibantu oleh Acui dan Amoi mereka bertiga memisahkan Hong Ing dan Kun Liong. “Ambil cambukku!” bentaknya dengan marah dan Amoi segera berlari masuk, tak lama lagi keluar membawa sebatang cambuk hitam yang panjang. Cambuk itu kecil panjang mengerikan karena ujungnya dipasangi benda-benda kecil tajam meruncing!

“Tar-tar-tar!!” Cambuk itu meledak-ledak ketika diayun di atas kepala Kim Seng Siocia.

Hong Ing sudah memejamkan matanya, berdiri tegak dan siap menerima siksaan, siap pula menerima kematian. Dia tidak mau mendengar Kun Liong menerima menjadi suami wanita gendut itu. Lebih baik dia mati daripada Kun Liong berkorban seperti itu!

“Siocia, tahan dulu...!” Kun Liong berteriak dengan mata terbelalak penuh kengerian membayangkan betapa kulit Hong Ing yang halus akan cabik-cabik digigit ujung cambuk mengerikan itu.

Cambuk yang sudah diputar-putar itu turun dan Kim Seng Siocia memandang Kun Liong dengan senyum simpul. “Kun Liong, tadi ketika aku bertanding denganmu, aku sengaja mengalah. Kalau aku menggunakan cambukku ini, senjata maut yang kuandalkan, kau takkan mampu menang. Akan tetapi mana aku tega melukaimu, kau calon suamiku?”

“Kim Seng Siocia, kaubebaskan Hong Ing dan aku menerima permintaanmu.”

“Kun Liong, jangan!” Hong Ing menjerit dan mukanya merah sekali, terasa panas karena kemarahannya. “Biar aku dia bunuh, jangan kau penuhi permintaannya yang gila itu!” Setelah mengeluarkan ucapan keras ini, diam-diam Hong Ing menjadi terheran-heran sendiri. Mengapa dia peduli amat apakah Kun Liong akan menjadi suami wanita itu atau tidak? Mengapa dia tidak rela melihat Kun Liong menjadi suami Kim Seng Siocia, bahkan dia lebih suka mati?

“Hong Ing, diamlah!” Kun Liong berkata, hatinya gelisah sekali sehingga dia sendiri pun tidak ingat lagi akan keanehan sikap Hong Ing. Satu-satunya yang penting bagi Kun Liong hanya menyelamatkan Hong Ing, dengan tebusan apapun juga!

“Kau... kau mau menurut? Kau mau menjadi suamiku?”

Kun Liong menganggukkan kepalanya yang gundul ditambah kata-kata lirih, “Asal engkau membebaskan Hong Ing.”

“Horeee...! Kau mau menjadi suamiku? Ha-ha, yahuuu...!” Kim Seng Siocia meloncat turun, menari-nari mengelilingi Kun Liong, lalu berhenti di depan pemuda itu, memegangi kepala Kun Liong, menariknya ke depan lalu... “cuuuppp...!” Kepala pemuda itu diciumnya sedemikian rupa sehingga Kun Liong merasa seolah-olah kepalanya dicap dengan besi panas!

“Terima kasih, calon suamiku! Acui, Amoi, persiapkan perta untuk...”

“Siocia, aku menerima hanya dengan satu syarat, kalau tidak, biar kau membunuh kami berdua, aku tidak peduli lagi!”

“Wah-wah, laki-laki kalau muda dan tampan, ada juga rewelnya, minta syarat segala macam. Anak bagus, syaratmu apakah? Tentu akan kupenuhi, jangan khawatir, Kim Seng Siocia adalah ratu di sini. Kau mau selir? Tinggal pilih! Acui ini yang cantik tenang, atau Amoi yang manis panas, atau kalau kau kehendaki, kau boleh ambil nikouw ini sebagai selirmu, seperti juga aku akan mengambil selir-selir yang kusukai. Mau harta benda? Sebut saja apa yang kauinginkan, tentu akan kupenuhi! Atau kau punya musuh? Akan kubantu kau sampai musuhmu hancur binasa. Kita suami isteri harus saling membantu, bukan?”

Kun Liong menjadi muak mendengar ini, akan tetapi dia bersikap tenang dan berkata sungguh-sungguh, “Bukan itu semua. Syaratku yang terutama, nona Pek Hong Ing harus dibebaskan, dan ke dua, tidak perlu diadakan pesta dan pernikahan.”

Kim Seng Siocia membelalakkan matanya. “Waaah, lha ini... ini bagaimana?”

“Pendeknya, kau terima atau tidak, aku tidak mau tawar-menawar lagi.”

Kim Seng Siocia memutar biji matanya, kemudian menarik napas panjang dan menggerakkan kedua pundaknya yang besar dan lebar. “Apa boleh buat, asal engkau suka menjadi suamiku. Aku pun punya syarat dan kalau engkau adil, engkau harus menerima syarat ini.”

“Apa itu?” Kun Liong bertanya, hatinya tidak enak karena dia menduga bahwa di dalam sikapnya yang ketolol-tololan itu, wanita gendut ini agaknya cerdik sekali.

“Engkau harus membuktikan dulu kesanggupanmu menjadi suamiku, malam ini. Sementara itu, Pek Nikouw akan dijaga ketat oleh Acui dan Amoi. Kalau sedikit saja engkau bergerak melawan, sekali aku berteriak, mereka akan membunuh Pek Nikouw dan aku akan menempurmu mati-matian dengan cambukku. Akan tetapi kalau kau sudah benar-benar membuktikan kemauanmu menjadi suamiku yang baik dan yang tercinta, barulah pada besok pagi dia kubebaskan!”

Kun Liong mengerutkan alisnya. Benar saja dugaannya. Perempuan ini cerdik sekali dan agaknya sudah mencurigainya. Memang dia tadi mengandung niatan hati bahwa sekali Hong Ing sudah bebas, sampai mati pun dia tidak mau “diperkosa” atau dipaksa menjadi suami wanita ini diluar kehendak hatinya! Sekarang wanita itu telah menggunakan Hong Ing sebagai sandera!

Terpaksa dia mengangguk dan berbisik, “Baiklah, akan tetapi kau harus bersumpah tidak akan membohong besok pagi untuk membebaskan Hong Ing.”

Sepasang mata itu melotot. “Yap Kun Liong, kaukira aku orang macam apa? Aku adalah pewaris dari Go-bi Thai-houw sekali bicara tentu takkan kulanggar sendiri!”

“Kun Liong, jangan percaya kepadanya!” Kembali Hong Ing berseru, hatinya panas sekali. “Aku tidak takut mati, jangan kau korbankan diri untukku!”

“Cusss!” Tangan Acui bergerak dan Hong Ing sudah menjadi gagu karena tertotok jalan darahnya di leher.

“Hi-hik, bagus, Acui. Nah, Kun Liong, kalau kau banyak rewel, akan kusuruh Acui turun tangan membunuh Pek Nikouw. Aku berjanji akan membebaskannya besok pagi kalau malam ini kew benar-benar dengan sukarela suka menjadi suamiku!”

Pucat wajah Kun Liong. Di dalam hatinya, tentu saja dia tidak sudi menjadi suami orang dengan paksaan seperti itu. Dia tidak sudi diperkosa wanita! Akan tetapi dia melihat jelas bahwa kalau dia menolak, tentu wanita gemuk yang aneh dan lihai ini tidak segan-segan untuk melaksanakan ancamannya, yaitu membunuh Hong Ing. Maka dengan muka muram dan tubuh lesu dia mengangguk, “Baik, aku menyerah.”

“Bawalah dia pergi dan siaplah kalian membunuhnya kalau Kun Liong main gila hendak melawan.”

Acui dan Amoi mengangguk, kemudian membawa Hong Ing yang terikat kuat itu pergi meninggalkan ruangan, diikuti oleh suara ketawa Kim Sim Siocia yang kemudian turun dari kursinya, langsung dia melepaskan tali yang mengikat tubuh dan kedua lengan Kun Liong. Pemuda ini sudah tidak berdaya, tidak tahu harus bertindak bagaimana. Dia sudah dibebaskan dari belenggu, namun ada belenggu yang jauh lebih kuat daripada tali-tali itu, yaitu Hong Ing yang dijadikan sandera dan dia tidak tahu ke mana dara itu dibawa. Tentu saja dia dapat memberontak dan melawan setelah tali itu terlepas dari kedua lengannya, akan tetapi hal itu sama artinya dengan membunuh Hong Ing!

“Suamiku yang baik, marilah kita bicara di dalam kamarku, agar kita dapat saling mengenal lebih baik lagi.” Kim Seng Siocia tersenyum, menggandeng tangan Kun Liong dengan sikap mesra dan setengah menarik pemuda itu memasuki kamarnya yang megah dan mewah serta berbau harum. Kun Liong tidak berani membantah dan kedua kakinya menggigil karena dia merasa seolah-olah dia telah menjadi seekor domba yang digiring memasuki tempat jagal di mana dia akan disembelih!

“Duduklah, Koko...” Kim Seng Siocia mempersilakan dengan suara merdu dan mengandung kemanjaan yang membuat Kun Liong merasa bulu tengkuknya meremang. Begitu mesranya wanita ini menyebutnya koko (kakanda)! Dia tidak menjawab, hanya mengangguk dan duduk di atas sebuah bangku menghadapi meja yang terukir indah. Kim Seng Siocia lalu membalikkan tubuhnya menghadapi pintu kamarnya, bertepuk tangan tiga kali. Muncullah dua orang wanita muda yang cantik, dua orang pelayan yang menggantikan Acui dan Amoi karena kedua orang pelayan kepala itu sedang membawa pergi Hong Ing.

“Sediakan makan minum yang paling istimewa untuk kami berdua. Cepat!”

Dua orang pelayan itu memberi hormat, meninggalkan kamar dan menutupkan daun pintu kamar perlahan-lahan dari luar.

“He-he-he, hatiku riang gembira bukan main, Koko. Inilah saat yang kunanti-nanti selama hidupku. Aku benar-benar bahagia sekali.” Dia menjatuhkan dirinya duduk di atas sebuah bangku dekat Kun Liong dan pemuda ini dengan hati ngeri mendengar suara bangku itu menjerit saking beratnya beban yang menghimpitnya.

“Koko yang baik, engkau dari manakah dan siapa orang tuamu? Kelak aku tentu ingin sekali bertemu dan menyampaikan hormatku kepada ayah dan ibu mertua.”

Kun Liong bergidik. Aih, bagaimana akan sikap ayah bundanya andaikata mereka masih hidup dan melihat “anak mantunya” ini? Mukanya menjadi merah sekali dan dia berkata, “Aku tidak mempunyai tempat tinggal dan ayah bundaku sudah meninggal dunia, Siocia.”

“Emmm...!” Kim Seng Siocia membanting-banting kedua kaki di lantai dan menggoyang-goyang tubuhnya dengan sikap kemanjaan seorang anak kecil yang “ngambek”. “Tidak mau ah kalau begitu! Aku sudah menyebutmu Koko, mengapa kau masih menyebutku Siocia? Suami isteri harus lebih mesra sebutannya!”

lanjut ke Jilid 064-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar