Rabu, 19 Februari 2014

Petualang Asmara 89

Petualang Asmara Jilid 089

<--kembali

Kun Liong cepat bangkit berdiri, menjura dan membungkuk. “Untuk budimu itu, sampai mati pun aku tidak akan melupakannya, Bi Kiok. Akan tetapi cinta...? Kurasa...” Dia tidak tega untuk berterus terang dengan kata-kata, hanya menggelengkan kepalanya.

“Kun Liong...” Suara Bi Kiok gemetar.

“Ya...”

“Lupakah kau...?”

“Ya...”

“Ketika kita bersembunyi di dalam guha gelap itu...”

“Hemmm... lalu...”

“Kau telah menciumku! Engkau telah menciumi mataku! Semenjak saat itulah aku jatuh cinta padamu sampai sekarang dan sampai selamanya!”

Kun Liong ingin menampar kepalanya sendiri kalau dia teringat akan semua sifat ugal-ugalannya dahulu. Karena sifatnya itu, main-main dan menggoda dara cantik, dia melibatkan diri dalam pertalian cinta-mencinta yang amat ruwet dan berekor panjang. Andaikata dia dahulu tidak mencium mata Bi Kiok, tentu tidak akan begini jadinya. Belum tentu gadis yang pada dasarnya berwatak dingin ini jatuh cinta padanya.

Dia mengangkat muka memandang. Memang cantik luar biasa dara ini, dan terutama matanya! Bukan salahnya kalau dia dahulu mencium mata itu. Sekarang pun... hemm..., jarang ada sepasang mata seindah itu!

“Bi Kiok, dahulu pun sudah kukatakan bahwa aku tidak mencinta padamu. Pada waktu itu, aku tidak mencinta siapa-siapa. Cinta tidak mungkin bisa dipaksakan dan aku tidak sudi menjadi seorang perayu yang mempergunakan senjata cinta palsu untuk menjatuhkan hati seorang wanita. Aku telah berterus terang kepadamu waktu itu, dan sekarang aku pun hendak berterus terang babwa lebih-lebih sekarang ini, tidak mungkin bagiku untuk mencintamu atau wanita lain karena aku telah mencinta seorang gadis lain.”

“Ouhhhh...” Wajah itu berubah pucat dan sinar mata yang indah itu seolah-olah lampu yang menjadi hampir padam, sayu tanpa cahaya lagi.

“Maafkan aku, Bi Kiok...” bisik Kun Liong sambil menunduk karena menyaksikan sinar mata itu dia merasa jantungnya seperti ditikam, tidak sampai hatinya untuk memandang.

“...puteri Cin-ling-san...?” Akhirnya, setelah hening beberapa lamanya yang merupakan keheningan yang mencekam hati Kun Liong, terdengar suara Bi Kiok, suaranya lirih dan tergetar.

Kun Liong menggeleng kepala. “Bukan dia, Bi Kiok dan kuceritakan pun engkau tidak akan mengenalnya. Kami pun dipisahkan secara keji dan sekarang aku sedang hendak mencarinya, mungkin ke Tibet, entah akan berjumpa lagi dengan dia atau tidak aku belum dapat memastikannya. Memang sudah nasibku harus berpisah selalu dari orang-orang yang kucinta. Mula-mula dengan ayah bundaku, lalu dengan adik kandungku, kemudian dengan gadis yang kucinta...”

“Dan sekarang dengan adik kandungmu lagi!”

Kun Liong mengangkat mukanya memandang. Wajah dara itu tetap cantik, tetapi pucat dan bertambah dingin, namun suaranya tidak tergetar lagi, bahkan terdengar nyaring dan penuh tantangan!

“Apa maksudmu?”

“Maksudku sudah jelas, Kun Liong! Engkau tidak mau hidup bersama kami berdua di tempatku. Baik, nah, pergilah sekarang juga.”

“Tapi adikku, In Hong...?”

“Dia itu aku yang menemukannya, dan dia adalah muridku. Kalau engkau hendak berkumpul dengan dia, nah, ikutlah dengan kami. Kalau tidak, pergilah! Akan tetapi kauingat selalu, aku tetap cinta padamu, sampai mati pun aku akan tetap cinta padamu, maka setiap orang wanita yang merebutmu dari tanganku, dia akan mati di tanganku pula!”

“Bi Kiok...!”

“Aku sudah bicara! Pergilah!”

“Aku harus membawa adikku bersamaku!”

“Tidak boleh!”

“Bi Kiok, harap kau suka berpikir panjang, suka berlaku adil dan bersikap bijaksana. Dia adalah adikku, adik kandungku!”

“Kakak kandung macam apa kau ini? Aku yang menemukannya, kalau tidak entah apa jadinya dengan dia. Dia muridku, tidak boleh kaubawa seenakmu begitu saja!”

“Akan tetapi, dia adik kandungku. Dia adalah satu-satunya manusia yang kucinta di dunia ini...”

“Dan kaulah satu-satunya manusia yang kucinta, akan tetapi engkau tega menghancurkan pengharapan dan kebahagiaanku. Tidak, aku tidak akan membiarkan engkau membawa pergi In Hong!”

“Bi Kiok, aku amat tidak suka kalau terpaksa harus bertengkar denganmu. Engkau sahabat yang paling baik! Harap jangan memaksa aku menggunakan kekerasan terhadapmu...”

“Huh, sombongnya! Kaukira aku takut kau menggunakan kekerasan? Jangan harap akan dapat membawa pergi In Hong tanpa melalui mayatku!”

Keduanya berdiri saling pandang, Kun Liong penuh permohonan, Bi Kiok penuh kedukaan dan kemarahan. Sampai lama keduanya hanya saling pandang, kemudian terdengar kata-kata Kun Liong, membujuk dan halus, “Bi Kiok, kumohon padamu, ikhlaskanlah seorang kakak berkumpul kembali dengan adik kandungnya.”

“Hemmm, Kun Liong, aku pun mengharapkan agar kau suka memenuhi hasrat seorang wanita yang mencinta pria idaman hatinya, namun hasilnya sia-sia. Pendeknya, engkau hanya mempunyai dua pilihan. Pertama, engkau tinggal bersama dengan kami, hidup bertiga dan kita bersama membesarkan dan mendidik In Hong, suka menerima pelayananku sebagai seorang kekasih, sebagai seorang... isteri yang mencintamu dengan seluruh jiwa raganya, atau... kau pergi dari sini dan kita tidak akan saling bertemu lagi. Kecuali kalau kau membela calon isterimu yang tentu akan kucari dan kubunuh.”

“Bi Kiok! Kau kejam...!” Kun Liong mulai marah.

“Kau lebih kejam lagi!” bentak Bi Kiok.

“Kalau begitu, aku akan menggunakan kekerasan!”

“Silakan!”

Kun Liong menerjang ke depan, maksudnya untuk merobohkan Bi Kiok dengan totokan dan membuat dara itu tidak berdaya lagi agar dia dapat membawa pergi In Hong dari tempat itu. Betapa pun kagumnya terhadap pribadi dara ini, baik kecantikan lahirnya maupun budi pertolongannya, namun dia tidak merelakan adiknya berpisah lagi darinya dan dididik oleh Bi Kiok yang betapa pun adalah murid dari datuk kaum sesat yang terkenal sebagai seorang iblis betina yang amat kejam dan mengerikan. Dia harus membawa pergi adiknya, mendidiknya menjadi seorang wanita yang penuh kelembutan, halus lembut lahir batinnya, wanita seratus prosen, tidak seperti Bi Kiok yang menyembunyikan kekerasan dan keganasan di balik kelembutan dan kecantikan.

“Plak-plak-plak!!”

Kun Liong terkejut sekali. Lengannya bertemu dengan lengan gadis itu yang menangkis dan balas memukul lalu ditangkisnya. Pertemuan kedua lengan itu membuat dia dapat merasakan kehebatan tenaga sin-kang yang keluar melalui lengan itu, sin-kang yang mengandung hawa panas seperti api membara!

“Hebat...!” Serunya karena harus diakuinya bahwa tingkat sin-kang dari gadis ini tidak kalah oleh tingkat para datuk kaum sesat yang pernah dilawannya!

Kun Liong mendesak dengan gerakan cepat, mainkan Im-yang Sin-kun dan mengerahkan tenaga Pek-in-ciang (Tangan Awan Putih) sehingga dari kedua telapak tangannya mengepul uap putih. Tentu saja dia hanya mengerahkan tenaga dan mengarahkan pukulan untuk membuat gadis itu tidak berdaya, sama sekali tidak ingin melukainya dengan hebat, apalagi membunuhnya.

“Wuuutt! Syuuuuuuttt!!” Dua telapak tangan yang mengeluarkan uap putih itu menyambar, yang kiri menotok ke arah lambung, yang kanan mencengkeram ke arah pundak.

“Heiiiiitttt...!” Bi Kiok memekik, tubuhnya mencelat ke belakang, berjungkir balik dan ketika Kun Liong melanjutkan serangannya dengan mengejar terus, dia menggerakkan kedua tangannya menyambut dengan sampokan dari samping yang keras sekali.

“Plak! Dukk!”

Kembali Kun Liong merasa betapa kedua lengannya terpental, akan tetapi dia melihat gadis itu terhuyung sedikit. Kalau Kun Liong menggunakan seluruh sin-kangnya, tentu akibatnya lebih hebat lagi. Akan tetapi hanya sebentar Bi Kiok terhuyung karena dia sudah cepat membalik dan tiba-tiba dia meloncat ke atas, seperti seekor burung garuda menyambar turun, tubuhnya menerjang dari atas, kedua tangannya mencengkeram ke arah ubun-ubun dan leher, dibarengi dengan lengking tajam menggetarkan jantung!

“Hyaaaaatttt...!”

“Uhhhh!” Kun Liong mendengus dan cepat menangkis dengan kedua lengannya karena dia melihat betapa aneh dan ganasnya serangan dari atas ini. Kini dia mengerahkan lebih banyak tenaga karena maksudnya agar dara itu terpelanting sehingga dapat ditotoknya.

Namun betapa kagetnya ketika baru saja lengannya menyentuh lengan gadis itu dalam tangkisan, lengan gadis itu meleset seperti seekor belut licinnya dan pada saat tubuh gadis itu turun, kedua tangannya yang berhasil menyelinap licin itu menotok ke arah jalan darah di dada dan leher Kun Liong.

“Hemmm...!” Kun Liong mendengus penasaran. Dia yang ingin menotok, malah diserang totokan. Betapa cepat dan hebatnya gerakan gadis ini! Dia dapat juga menangkis dan kini, sambil menangkis dia menggunakan sin-kang yang dilatihnya dari Bun Hwat Tosu, yaitu yang mengandung tenaga membetot! Dengan sin-kang ini, begitu kedua lengannya menangkis, dia dapat melakukan gerakan yang sama dengan yang dilakukan Bi Kiok tadi, yaitu kedua lengannya menyelinap dan kedua lengan gadis itu seperti tersentak kaget dan gadis itu tidak berdaya ketika dengan cepatnya kedua tangan Kun Liong melakukan totokan pada kedua pundak Bi Kiok sambil berkata, “Maafkan aku, Bi Kiok!”

“Cuss! Cusssi!”

“Plak! Plak!”

Betapa kagetnya hati Kun Liong! Kedua totokannya itu tepat mengenai sasaran, yaitu pada jalan darah di bawah pundak depan, agak di sebelah atas kedua buah dada gadis itu, akan tetapi jari-jari tangannya bertemu dengan kulit dan daging lunak halus seolah-olah tidak ada jalan darahnya dan gadis itu tidak apa-apa, malah sebagai “hadiahnya” dua kali telapak tangan gadis itu menampar pipinya. Tamparan ini mengenai sasaran dengan tepat karena Kun Liong sedang melongo keheranan ketika totokan-totokannya tidak membawa hasil sama sekali. Setelah ditampar, barulah dia sadar bahwa ternyata Bi Kiok telah memiliki ilmu memindahkan jalan darah dan melindungi bagian yang tertotok sehingga totokannya tadi mengenai tempat hampa!

Bi Kiok yang sudah marah itu menyerang kalang kabut dan harus diakui oleh Kun Liong bahwa gadis ini mempunyai dasar ilmu silat yang amat aneh dan ampuh, hanya belum terlatih baik. Diam-diam dia bergidik. Katanya tadi baru mempelajari sebagian saja, kalau sudah mempelajari seluruh kitab pusaka milik Panglima The Hoo yang berada di tempat rahasia, kitab pusaka yang tentu belum ditemukan oleh panglima itu sendiri, entah bagaimana hebatnya gadis ini! Dia terus mengelak dan menangkis, kadang-kadang membalas dengan totokan yang selalu gagal, sambil berpikir-pikir bagaimana sebaiknya menjatuhkan gadis yang amat lihai ini.

Biar kuhabiskan saja napasnya, pikir Kun Liong. Dia kini main mundur, bahkan membuat langkah-langkah yang diambil inti sarinya dari kitab Keng-lun Tai-pun dari Bun Ong. Langkah ini pendek-pendek saja, amat ringan baginya, namun membuat Bi Kiok yang mengejarnya terus itu harus berputaran dan menggunakan banyak tenaga gin-kang! Sampai seratus jurus lebih Kun Liong “mempermainkan” Bi Kiok, berputaran dan membuat gadis itu seolah-olah seorang anak-anak yang bermain-main mengejar bayangannya sendiri! Namun hebatnya, Bi Kiok terus menyerang dan tidak pernah kelihatan mengendor serangannya!

Dua ratus jurus telah lewat! Dan Kun Liong mulai berkeringat, akan tetapi Bi Kiok masih terus menerjangnya dan tidak terdengar napas gadis itu memburu. Celaka, pikir Kun Liong. Dia gagal lagi. Agaknya ada suatu cara latihan napas dalam kitab di tempat rahasia yang ditunjukkan oleh bokor itu, yang membuat napas gadis itu menjadi amat kuatnya melebihi kuatnya napas seekor kuda!

“Wah, kalau begini tak mungkin aku dapat merobohkannya,” pikir Kun Liong sambil cepat menghindarkan diri dari terjangan kedua kaki yang bentuknya indah membayang di balik kain celana sutera tipis itu akan tetapi keindahan yang berbahaya karena mengandung tendangan maut! Memang tadi terpikir olehnya untuk mempergunakan satu-satunya ilmu yang menjadi simpanannya, yaitu Thi-khi-i-beng, akan tetapi dia tidak tega. Ilmu ini kalau digunakan akibatnya akan menyedot sin-kang lawan dan tentu saja dia tidak tega menggunakan ini dalam menghadapi Bi Kiok. Dia maklum betapa sukar dan lama menghimpun sin-kang, apalagi sin-kang seperti yang dimiliki Bi Kiok. Kalau dia menghendaki agar Bi Kiok roboh tanpa memperdulikan keselamatannya, kiranya tidak nanti gadis itu sampai dapat menyerangnya terus selama dua ratus jurus. Yang sulit adalah karena dia ingin merobohkan gadis ini tanpa melukai atau menyakiti. Setelah mereka bertanding dengan hebat dan cepatnya sehingga bagi orang lain yang tampak hanyalah dua bayangan berkelebatan saja itu selama hampir tiga ratus jurus dan tidak nampak gadis itu lelah atau mau mengalah sedikit pun, Kun Liong mengambil keputusan untuk mempergunakan Thi-khi-i-beng!

“Maafkan aku, Bi Kiok!”

“Plak! Plakk!”

“Oughhhhh...!” Bi Kiok mengeluh dan matanya yang amat indah itu, terbelalak memandang wajah Kun Liong ketika kedua tangannya yang bertemu dengan lengan Kun Liong itu melekat pada lengan dan tidak dapat ditariknya kembali, dan yang mengejutkannya adalah ketika dia merasa betapa tenaga sin-kangnya menerobos keluar seperti air hujan membanjir! Melihat sepasang mata yang amat indah dan amat dikaguminya itu terbelalak kaget dan ngeri, Kun Liong menjadi tidak tega dan memejamkan matanya agar tidak melihat mata itu!

“Berani kau menyerang Subo (Ibu Guru)...?” Tiba-tiba terdengar bentakan anak kecil dari belakang dan “buk! buk!” dua buah kepalan menghantami pinggulnya!

“Kau orang jahat! Kau bukan kakak kandungku! Kakak kandungku tidak akan jahat terhadap Subo! Lepaskan Subo! Lepaskan! Buk-buk-buk-buk!” Kedua kepalan kecil itu terus menghantam pinggul Kun Liong.

Kun Liong terkejut sekali mendengar suara In Hong ini. Cepat dia menyimpan kembali tenaga Thi-khi-i-beng sambil melompat mundur. Yo Bi Kiok berdiri dengan napas agak memburu, wajahnya agak pucat dan sejenak memejamkan mata dan membereskan napasnya. Kemudian dia membuka matanya memandang Kun Liong dengan terbelalak penuh rasa penasaran akan tetapi juga kagum.

“Kau... kau...!” Dia tidak mampu melanjutkan kata-katanya karena dia tidak tahu harus berkata apa.

“Kau orang jahat, aku tidak mau dekat denganmu!” In Hong berteriak lagi sambil lari mendekati Bi Kiok dan merangkul pinggang dara ini seperti hendak melindungi gurunya.

Kun Liong menarik napas panjang. “Maafkan aku, Bi Kiok...”

“Sudahlah, pergilah... akan tetapi ingat akan semua kata-kataku!” Bi Kiok berkata.

Kun Liong memandang kepada adiknya. Tanpa banyak cakap, mengertilah dia bahwa tak mungkin dia dapat memaksa adiknya pergi bersamanya. Perbuatan itu sama dengan menghancurkan hati Bi Kiok dan adiknya sendiri. Dia akan menjadi seorang yang amat kejam kalau dia lakukan hal itu. Betapapun juga, dia ingin kepastian dan dengan muka manis dia berkata kepada adiknya, “In Hong aku adalah kakak kandungmu. Aku hendak mengajak engkau pergi karena sudah semestinya engkau ikut aku yang menjadi kakakmu.”

“Tidak! Tidak sudi...!”

“In Hong, dengarlah baik-baik. Aku sama sekali tidak berbuat jahat terhadap gurumu. Kami memperebutkan engkau. Sekarang engkau boleh pilih. Aku sebagai kakak kandungmu dan dia sebagai gurumu, kau hendak memilih yang mana dan hendak ikut yang mana?”

“Dia benar, In Hong. Kaupilihlah. Dia bukan orang jahat, akan tetapi kau boleh memilih antara kami berdua.”

“Aku memilih Subo! Aku ikut Subo!” In Hong berteriak penuh semangat dan memandang kepada Kun Liong dengan mata bernyala marah.

Kun Liong dan Bi Kiok saling pandang, lalu pemuda itu menghela napas panjang.

“Apa boleh buat, terpaksa aku harus meninggalkannya kepadamu, Bi Kiok. Akan tetapi, setiap waktu aku akan mengunjunginya dan melihat keadaannya. Harap saja engkau tetap baik kepadanya dan mendidiknya menjadi seorang manusia yang baik..., tidak... tidak seperti kakaknya.” Tambahnya “Selamat tinggal!”

“Kun Liong...!” Suara mengandung isak itu menahan kakinya. Dia membalik. Tidak nampak Bi Kiok menangis, akan tetapi wajahnya pucat, matanya sayu ketika memandangnya. “Kun Liong, aku mohon sekali lagi padamu, tidak dapatkah engkau merubah pendirianmu? Kita bertiga akan hidup bahagia...” Ucapan itu tidak dilanjutkan karena Kun Liong sudah menggeleng kepalanya, kemudian sekali berkelebat, Kun Liong sudah lenyap dari tempat itu.

“In Hong... dia terlalu...! Kakakmu terlalu...!” Bi Kiok menjatuhkan diri berlutut, memeluk muridnya dan baru sekarang air matanya tertumpah.

“Aku tidak mau...! Aku tidak mau pergi sebelum merawatnya! Harap Sam-wi (Anda Bertiga) jangan memaksaku!” Hong Ing meronta-ronta, akan tetapi tangisnya itu tidak dipedulikan, bahkan Hun Beng Lama, pendeta Lama yang selalu memegang tasbih itu menggerakkan tangan kirinya menyentuh belakang telinganya dan Hong Ing seketika menjadi lemas. Dia sama sekali tidak dapat mengeluh lagi, apa pula berontak, hanya memandang ke arah Kun Liong yang rebah seperti mati itu ketika tubuhnya yang lumpuh dikempit oleh Hun Beng Lama bersama dua orang Lama lainnya menuju ke perahu mereka.

Mulailah Hong Ing melakukan perjalanan yang sama sekali tidak menyenangkan hatinya, bukan karena sikap para paman gurunya itu. Sama sekali tidak. Sikap mereka itu cukup baik, bahkan lemah lembut terhadap dirinya, dan kalau saja tidak teringat kepada Kun Liong yang ditinggalkan dalam keadaan terluka seperti mati, tentu dia senang melakukan perjalanan dengan tiga orang paman gurunya yang memiliki kesaktian-kesaktian seperti dewa itu. Selain mereka bersikap ramah dan baik, bahkan jarang mengeluarkan kata-kata dan semua keperluan dan kebutuhannya di sepanjang perjalanan dicukupi, juga hati siapa takkan senang mendengar bahwa dia akan bertemu dengan ayah kandungnya yang selama hidupnya belum pernah dijumpainya itu? Ayahnya adalah suheng (kakak seperguruan) mereka, dan ayahnya adalah ketua mereka, dapat dibayangkan betapa tinggi ilmu kepandaian ayahnya! Dia tentu akan girang sekali pergi menjumpai ayahnya. Akan tetapi, kalau dia teringat kepada Kun Liong yang rebah seperti mati, hatinya seperti disayat-sayat. Pemuda itu dalam keadaan terluka parah, seorang diri saja di pulau kosong itu. Membayangkan betapa pemuda itu akan mati dengan menyedihkan dan tersiksa, hatinya menjadi ngeri, berduka dan terutama sekali dia merasa menyesal karena dia meninggalkan Kun Liong yang sedang berduka.

Dia meninggalkan Kun Liong selagi pemuda itu hancur, setelah dia menampar pipi pemuda itu! Tentu Kun Liong akan menganggap dia membencinya! Aihh, padahal dia amat mencinta Kun Liong! Tidak ada seorang pun manusla lain yang akan dicintanya melebihi cintanya kepada Kun Liong. Akan tetapi, pada saat terakhir sebelum mereka berpisah, sebelum Kun Liong roboh ketika melawan tiga orang Lama itu, dia terpaksa menampar pipi Kun Liong saking tidak kuat menahan kemarahan dan kepanasan hatinya! Siapa yang kuat menahan! Dia amat dikecewakan, disakitkan hatinya. Kun Liong yang mengaku mencintanya dengan sepenuh jiwa raganya itu, terialu memandang rendah dirinya. Dia dikalahkan dalam perbandingan dengan seorang wanita bayangan, seorang gadis khayal. Hanya seorang gadis khayal! Kalau dia bukan gadis impian Kun Liong itu, mengapa Kun Liong menyatakan cinta kepadanya? Kalau dia tidak seperti gadis khayal itu yang menurut Kun Liong tanpa cacad, mengapa Kun Liong berani menyatakan cintanya? Dia tidak sudi menjadi seorang yang dijadikan tempat pelarian setelah Kun Liong merasa bahwa di dunia ini tidak ada gadis yang diimpi-impikan itu. Dia tidak sudi menjadi pengganti belaka, menjadi penghibur lara belaka. Padahal cinta kasihnya terhadap Kun Liong mutlak dan lengkap, tanpa perbandingan karena memang tidak ada bandingan dalam cinta kasihnya.


PERJALANAN yang amat jauh, melelahkan dan juga membuatnya kurus karena tertekan batinnya teringat kepada kekasihnya itu, memakan waktu berbulan-bulan dan akhirnya sampailah mereka di tempat yang dituju. Sebuah dusun besar di pegunungan dan di luar dusun itu, di dekat puncak, terdapat sekelompok bangunan besar yang dikurung pagar tembok seperti benteng. Itulah pusat dari perkumpulan agama para Lama Jubah Merah yang terkenal di seluruh Tibet sebagai perkumpulan yang menyendiri dan dipimpin oleh orang-orang yang sakti. Kuil mereka terdapat di tengah-tengah kelompok bangunan itu dan setiap hari, dari pagi sampai sore, pintu gerbang tembok benteng itu terbuka dan semua orang, dari dusun-dusun di daerah tempat itu, diperkenankan memasuki dan mengunjungi kuil besar untuk bersembahyang dan mohon berkah. Konon dikabarkan bahwa kuil Lama Jubah Merah ini amat sakti dan manjur sehingga amat terkenal, banyak dikunjungi orang dan banyak pula menerima dana bantuan dari rakyat di daerah itu yang terkenal pula berpenghasilan besar sebagai peternak-peternak. Memang bukan hanya tempat tinggalnya saja yang kuat, dengan pagar tembok menyerupai benteng, akan tetapi juga anggautanya cukup banyak, tidak kurang dari seratus orang! Karena rata-rata mereka itu memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka tentu saja seratus orang Pendeta Jubah Merah ini merupakan sebuah pasukan yang hebat! Perkembangan mereka ini sudah lama diikuti dengan diam-diam oleh Pemerintah Tibet yang dipegang oleh Dalai Lama, akan tetapi karena tidak ada bukti nyata bahwa Lama Jubah Merah menentang Pemerintah Tibet yang sah, maka tidak pernah ada tindakan.

Kedatangan tiga orang Lama, yaitu Sin Beng Lama yang ditemani dua orang sutenya, Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama, disambut dengan penuh penghormatan oleh para anggauta perkumpulan agama itu, bahkan diadakan pesta sebagai penyambutan mereka yang telah meninggalkan Tibet selama berbulan-bulan itu. Apalagi karena tiga orang tokoh utama itu telah berhasil membawa pulang Pek Hong Ing! Gadis ini begitu tiba di situ lalu menanyakan tentang ayahnya. “Mana ayahku? Aku ingin sekali bertemu dengan ayahku!” Memang di waktu melakukan perjalanan yang amat jauh itu, setelah dapat mengatasi kedukaan hatinya karena meninggalkan Kun Liong, hanya satu tujuan hati Hong Ing, yaitu dapat berjumpa secepatnya dengan ayahnya, kemudian hendak minta bantuan kepada ayahnya untuk mengirim orang menjenguk dan menolong Kun Liong!

Sin Beng Lama sendiri lalu membawa Hong Ing ke sebuah kamar yang besar dan cukup lengkap. Setelah mereka memasuki kamar itu yang ternyata kosong tidak ada siapa pun di dalamnya, kakek ini berkata, “Engkau tinggallah di sini dan ayahmu pasti akan segera datang asal engkau suka bekerja sama dengan kami.”

Hong Ing memandang penuh selidik kepada pendeta tua berjubah merah itu, dan mulailah dia merasa curiga.

“Apa artinya ini? Susiok... di mana Ayah?”

Sin Beng Lama mengerutkan alisnya. “Kalau kami tahu dia berada di mana, agaknya kami tidak akan membawamu jauh-jauh ke sini, Pek Hong Ing. Kami membawamu ke sini hanya untuk memancing agar ayahmu mencarimu ke sini.”

Pucatlah wajah Hong Ing mendengar Ini. “Apa...? Bukankah kalian katakan bahwa Ayah adalah Suheng kalian?”

“Benar demikian. Ayahmu adalah Kok Beng Lama, Suheng kami.”

“Dan katanya Ayah adalah ketua di sini...”

“Sayang tidak demikian sesungguhnya. Sebaliknya malah, ayahmu adalah seorang yang berdosa besar, seorang pelarian yang harus menerima hukuman karena telah melakukan dosa-dosa yang amat banyak.”

Terbelalak mata Hong Ing memandang kakek itu. “Apa... apa yang terjadi? Mengapa para Susiok menipuku, membiarkan aku pergi meninggalkan Kun Liong yang terluka di pulau itu...? Ahhh, apa yang telah kulakukan ini...?”

“Tenanglah, dan duduklah. Dengarkan cerita pinceng (aku).”

Karena kedua kakinya memang menggigil saking tegang hatinya yang diliputi bermacam perasaan itu, Hong Ing lalu menjatuhkan dirinya di atas pembaringan, sedangkan kakek itu lalu duduk di atas bangku menghadapi pembaringan.

“Ibumu bernama Pek Cu Sian, seorang pendekar wanita dari Tiong-goan yang berani lancang tangan mencampuri urusan dalam perkumpulan agama kami sehingga terpaksa kami tangkap dan kami tawan. Karena dia masih perawan dan cantik, maka para pimpinan perkumpulan kami mengambil keputusan untuk menjadikan dia sebagai korban tahun itu, korban kepada Dewa Syiwa. Akan tetapi, pada malam sebelum upacara pengorbanan dilakukan, Pek Cu Sian lenyap dari kamar tahanan. Kami semua mengira bahwa dia telah dapat meloloskan diri, maka hal ini terlupalah sudah sampai lima tahun kemudian ketika engkau, ketika itu seorang anak perempuan kecil berusia empat tahun, kelihatan oleh scorang anggauta kami. Barulah kami tahu bahwa Pek Cu Sian, ibumu itu, telah diselamatkan oleh Suheng Kok Beng Lama sendiri yang menyembunyikannya dan mengambilnya sebagai isteri! Betapa besar dosa Kok Beng Lama dapat kaubayangkan sendiri!”

“Tidak! Dia tidak berdosa!” Hong Ing membantah setelah mendengar penuturan itu. “Dia adalah seorang manusia, tidak seperti kalian yang bagaikan segerombolan binatang buas hendak membunuh mendiang ibuku! Ayah adalah seorang laki-laki sejati yang berani mempertanggungjawabkan perbuatannya!”

Namun kakek itu tidak mempedulikan bantahan ini dan melanjutkan ceritanya.

“Karena dosanya itu, Kong Beng Lama dihukum sepuluh tahun dan ibumu yang melarikan diri bersamamu itu kami kejar atau lebih tepat dikejar oleh anak buah kami karena kalau kami sendiri yang mengejar dia tentu telah dapat kami tawan kembali bersamamu. Dia dapat melarikan engkau dan lolos.”

“Ibu adalah seorang pendekar wanita yang amat gagah perkasa!” Hong Ing berkata penuh semangat. “Biarpun dikeroyok oleh para pendeta palsu, masih dapat menyelamatkan aku sampai tiba di Go-bi-san dan ditemukan oleh Subo dalam keadaan hampir mati oleh luka-lukanya akibat pengeroyokan pua pendeta yang curang!”

lanjut ke Jilid 090-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar