Rabu, 19 Februari 2014

Petualang Asmara 67

Petualang Asmara Jilid 067

<--kembali

Hong Ing menarik napas panjang. “Sudahlah, Kun Liong. Mengapa kau repot-repot karena aku? Kaulanjutkanlah perjalananmu, biar aku sendiri yang akan mencari kuil...”

“Hemmm, ke mana kau hendak mencari? Di mana-mana tertempel gambarmu...”

“Dan juga gambarmu. Karena itu, sebaiknya kalau kau meninggalkan aku sehingga andaikata tertangkap, hanya aku yang tertangkap, akan tetapi engkau tidak.”

“Hong Ing, kaukira aku orang macam apa?”

“Engkau adalah seorang yang berilmu tinggi, Kun Liong. Maafkan aku, baru sekarang aku mengetahui. Sungguh aku bodoh sekali. Kiranya engkau amat lihai, bahkan memiliki Thi-khi-i-beng!”

“Bukan begitu maksudku. Kaukira aku orang yang begitu pengecut untuk meninggalkan engkau begitu saja? Tidak, sebelum engkau mendapatkan tempat yang baik, sebelum aku yakin benar bahwa engkau telah aman, aku tidak akan meninggalkan kau.”

Hong Ing menunduk. “Sudah terlalu banyak aku menyusahkanmu, Kun Liong. Engkau membikin aku tidak enak hati saja. Sudah cukup aku berhutang budi kepadamu, biarlah aku mencari sendiri kuil Kwan-im-bio.”

Kun Liong memandang dengan sinar mata tajam, akan tetapi gadis itu tetap menunduk. “Hong Ing, ingin benarkah kau kutinggalkan? Apakah aku sudah terlalu memuakkan hatimu?”

Hong Ing mengangkat mukanya, muka yang berubah pucat dan kepalanya digelengkan cepat-cepat. “Bukan begitu, Kun Liong...”

“Kalau tidak begitu, sudahlah. Hal itu tidak perlu kita persoalkan lagi. Mari kita melanjutkan perjalanan. Kita harus berhati-hati, tidak boleh melalui jalan besar, tidak boleh memasuki kota dan terutama sekali jangan mendekati kota raja.”

“Habis, ke mana kita harus pergi?”

“Ketika aku membantu Cia Keng Hong Supek...”

“Aihh, jadi pendekar sakti itu supekmu? Kau tidak pernah menceritakan riwayatmu kepadaku. Pantas saja engkau lihai bukan main. Aku seperti buta...”

“Hushhh, jangan terlalu memuji. Biar lain kali aku menceritakan riwayatku yang tidak lebih baik daripada riwayatmu, Hong Ing. Ketika aku membantu Supek menyelidiki tentang bokor pusaka yang diperebutKan, aku lewat pantai Teluk Pohai dan di tempat sunyi itu, dalam sebuah hutan, aku melihat sebuah kuil tua Kwan-im-bio. Marilah kita pergi ke sana, Hong Ing.”

Akan tetapi wajah nikouw muda itu tidak membayangkan kegembiraan hati mendengar ini, bahkan dia hanya berkata lesu. “Terserah kepadamu, Kun Liong. Marilah!”

Maka berangkatlah kedua orang itu melanjutkan perjalanan menuju ke pantai Teluk Pohai. Mereka memilih jalan yang sunyi, bahkan kadang-kadang terpaksa bersembunyi di siang hari kalau melalui jalan yang ramai dan melanjutkan perjalanan di waktu malam. Perjalanan itu menjadi lama dan sukar sekali namun anehnya bagi kedua orang muda itu, keanehan yang tidak terasa lagi oleh mereka bahwa perjalanan yang jauh, lama, sukar, dan berbahaya itu sama sekali tidak terasa berat oleh mereka! Ada pula keanehan pada sikap Kun Liong dan hal ini pun sama sekali tidak dirasakan dan diketahui oleh pemuda itu sendiri, yaitu bahwa terhadap Hong Ing dia tidak pernah memperlihatkan sikapnya seperti yang sudah-sudah kalau menghadapi wanita. Dia tidak pernah menggoda! Bahkan sebaliknya, dia bersikap sopan dan bersungguh-sungguh.

Dengan wajah berseri-seri Giok Keng berlari memasuki hutan itu. Hatinya riang gembira biarpun kadang-kadang alisnya berkerut kalau dia teringat akan ayahnya. Kun Liong telah dengan suka rela membatalkan ikatan jodoh itu! Betapa baiknya pemuda gundul itu! Dan betapa tampan dan gagahnya Liong Bu Kong! Dia harus cepat pulang dan harus berterus terang. Jantungnya berdebar penuh rasa takut kalau dia membayangkan bagaimana ayahnya tentu akan marah sekali. Tidak, dia tidak akan bicara dengan ayahnya. Dia akan memberi tahu kepada ibunya bahwa dia tidek mencinta Kun Liong dan bahwa dia hanya mau menikah dengan pemuda yang menjadi pilihan hatinya, yaitu Liong Bu Kong! Membayangkan wajah pemuda itu yang tampan dan gagah, pemuda yang tidak mentah seperti Kun Liong, melainkan seorang laki-laki yang bersikap jantan, yang jelas menunjukkan cintanya dengan membiarkan dirinya diserang, menghadapi kematian di tangannya dengan senyum di bibir, jantungnya berdebar penuh kemesraan. Tetapi, ayah dan ibunya tentu akan menolak pemuda itu. Putera Kwi-eng Niocu, datuk golongan hitam! Giok Keng menahan langkah kakinya dan mengerutkan alisnya. Tidak, biar ibunya jahat, belum tentu puteranya jahat. Buktinya, Liong Bu Kong amat baik!

“Nona Cia tunggu...”

Giok Keng cepat menoleh dan jantungnya berdenyut keras. Tentu saja dia segera dapat mengenal bentuk tubuh tinggi tegap itu. Orang yang selama ini dibayangkannya. Liong Bu Kong! Pemuda itu dengan berlari cepat seperti terbang menghampiri dan segera menjura di depan Giok Keng.

“Aihh, susah payah aku mencarimu, Nona, mengapa kau meninggalkan aku sebelum kita bicara?”

Giok Keng memandang wajah yang kusut itu, dan memandang pundak yang terluka. Saputangannya masih membalut pundak itu. “Kau... bagaimana lukamu...?” tanyanya dengan suara gemetar.

Bu Kong melirik ke arah pundaknya. “Ah, urusan kecil. Aku sudah lupa sama sekali akan pundakku sungguhpun saputangan itu selalu menjadi pelipur laraku. Aku lupa makan, lupa tidur dan lupa segala, Nona, bingung mengejar dan mencari-carimu. Sungguh aku berterima kasih kepada Thian bahwa aku dituntun memasuki hutan ini dan dapat berjumpa denganmu.”

Jantung Giok Keng makin berdebar kencang dan mukanya menjadi merah sekali. Sejenak dia menundukkan muka, lalu memaksa diri mengangkat muka memandang. Mereka saling berpandangan dan seolah-olah ada getaran luar biasa lewat mata itu memasuki dada Giok Keng, membuat dara itu menggigil dan memaksa mulutnya bertanya, “Mengapa kau mencari aku? Ada urusan apa?”

Tiba-tiba Liong Bu Kong menjatuhkan dirinya berlutut. Melihat ini, Giok Keng lalu membalikkan tubuh, membelakangi pemuda yang berlutut itu sambil berkata lagi. “Bicaralah! Tidak perlu berlutut!”

“Kau berjanjilah takkan marah kepadaku, Nona. Baru aku mau berdiri!” kata Bu Kong yang masih terus berlutut.

“Hemm, baiklah. Berdirilah, aku tidak mau bicara kalau kau berlutut seperti itu.”

Bu Kong bangkit berdiri dan meloncat ke depan dara itu sambil menjura, “Terima kasih. Aku tahu di dunia ini tidak ada seorang pun wanita yang sehebat dan semulia hatinya seperti engkau, Nona. Ketika kau pergi meninggalkan aku dan mengatakan bahwa engkau telah bertunangan dengan orang lain, hampir aku membunuh diri. Akan tetapi aku tidak puas sebelum bertemu denganmu. Aku minta kepadamu, Nona. Aku cinta padamu dengan seluruh jiwa ragaku, semenjak kita saling bertemu di Cin-ling-san dahulu itu. Dan aku yakin... maafkan aku, aku yakin bahwa nona pun setidaknya merasa kasihan kepadaku. Karena itu, sebelum aku mengambil keputusan membunuh diri... aku mohon kepadamu, Nona, jangan bersikap kepalang tanggung. Aku cinta kepadamu dan... kasihanilah aku, Nona. Melihat sikap Nona kemarin... aku percaya bahwa hati Nona masih bebas, sungguhpun nona telah ditunangkan dengan orang lain. Kasihanilah aku dan sudikah engkau membalas cintaku yang murni...?”

Muka Giok Keng menjadi makin merah. Dia adalah seorang dara yang selamanya belum pernah mengenal cinta seorang pria, apalagi mendengar bujuk rayu yang demikian indah. Dia merasa seolah-olah dirinya diangkat sampai ke angkasa!

“Tapi... tapi aku sudah bertunangan...” dia berusaha menjawab.

“Nona Cia Giok Keng... pertunangan bisa saja dibatalkan... ah, mengapa engkau akan menyiksa diri dengan berjodoh dengan seorang laki-laki yang tidak kaucinta? Engkau akan hidup merana dan aku akan membunuh diri sekarang juga di depan kakimu...” Bu Kong mencabut pedangnya.

“Jangan...!” Giok Keng berteriak kaget dan merampas pedang itu, melempar pedang itu dengan sikap jijik ke atas tanah.

Bu Kong kini memegang kedua tangan Giok Keng. Dara ini membuang muka dan menahan keluarnya air matanya, namun tetap saja ada dua butir air mata bertitik turun.

“Giok Keng... Moi-moi... engkau kasihanilah aku. Marilah kita hidup berdua, penuh bahagia... aku cinta padamu dan aku bersumpah bahwa sampai mati aku akan tetap cinta padamu...”

“Tapi... tapi...”

“Aku siap berkorban nyawa demi cintaku, Moi-moi...”

Giok Keng menarik kedua tangannya dan memandang tajam, “Benarkah?”

“Tentu saja! Bukankah aku telah suka mati daripada gagal menghadapi cintaku kepadamu.”

“Bukan itu maksudku, akan tetapi... ah, bagaimana aku berani menghadapi ayahku?” Giok Keng memandang wajah pemuda itu, memandang tajam seperti hendak menjenguk isi hatinya, kemudian berkata, “Liong Bu Kong, benarkah engkau cinta padaku?” Dara yang memiliki keberanian luar biasa itu kini sudah dapat menguasai ketegangan hatinya dan bertanya dengan sejujurnya.

“Tentu saja, aku bersumpah...!”

“Aku tidak membutuhkan sumpah. Aku membutuhkan bukti dan kenyataan. Kalau engkau benar mencinta, tentu kau akan berani membelaku sampai mati. Beranikah kau?” Giok Keng teringat akan cerita tentang Souw Li Hwa dan Yuan de Gama, yang dipuji-puji oleh ayahnya, teringat akan cinta kasih di antara mereka yang begitu mendalam sehingga keduanya rela menghadapi maut sambil saling berpelukan di atas kapal yang terbakar dan hampir tenggelam! Cerita ini berkesan dalam sekali di hatinya, membuatnya romantis dan dia ingin melihat bahwa cinta kasih di hati pemuda ini terhadapnya tidak kalah besarnya!

“Tentu saja aku berani, Moi-moi!” jawab Liong Bu Kong dengen wajah berseri karena merasa bahwa dara ini agaknya akan suka membalas cintanya.

“Nah, kalau begitu mari kau ikut bersamaku menghadap kepada ayah ibuku dan kau menceritakan kepada mereka terus terang tentang cintamu dan tentang pembatalan ikatan jodohku dengan tunanganku.”

Wajah yang berseri itu menjadi pucat. Bu Kong menjilat-jilat bibirnya yang mendadak menjadi kering itu. “Wah, ini... ini... mana aku berani?”

Giok Keng melompat mundur dan sikapnya menjadi marah sekali. “Huh! Dan kaubilang mencintaku, berani membelaku sampai mati? Baru sebegitu saja sudah takut dan mundur!”

Bu Kong meloncat mendekati. “Aku berani! Maafkan, Moi-moi, aku tadi meragu bukan karena takut mati, melainkan aku merasa ragu-ragu untuk bersikap seperti itu dan membikin marah serta duka hati ayah bundamu. Tentu saja, sebagai ayah bundamu, mereka itu kujunjung tinggi dan kuhormati seperti orang tua sendiri. Baiklah, aku menerima permintaanmu ini!”

Giok Keng tersenyum manis sekali, matanya mengerling tajam dan hatinya penuh kegembiraan. Biarpun dia dan Bu Kong akan dibunuh ayahnya, dia rela karena bukankah ini membuktikan bahwa cinta kasih mereka amat murni dan besar, tidak kalah besar oleh cinta kasih yang dibuktikan oleh Souw Li Hwa dan Yuan de Gama yang amat dikagumi ayah bundanya itu?

“Kalau begitu, aku baru percaya. Marilah kita berangkat sekarang juga ke Cin-ling-san... Koko...!”

Hampir saja Bu Kong bersorak girang mendengar dara yang membuatnya tergila-gila itu menyebutnya koko (kakanda), maka dia lalu merangkul dan mencium bibir dara itu dengan mulutnya.

Giok Keng terkejut, hampir menjerit sehingga mulutnya setengah terbuka, lalu dia memejamkan matanya dan sejenak dia menyerah sepenuh hatinya. Akan tetapi tidak lama dia tenggelam dalam nikmat berahi ini, dia sudah meronta dan melepaskan diri dari pagutan ketat pemuda itu, melepaskan diri dari peluk cium yang membuatnya hampir pingsan karena nikmat. Dengan dada turun naik, terengah-engah, wajah sebentar pucat sebentar merah, tubuh terasa panas dingin, dara itu yang sudah melompat mundur memandang kekasihnya.

“Moi-moi... maafkan aku... aku...” Bu Kong berkata dengan suara terputus-putus karena dia khawatir sekali bahwa perbuatannya yang terdorong kegembiraan hati itu akan membikin marah dara yang dicintanya.

Giok Keng menggelengkan kepalanya dan berkata halus, “Aku tidak marah, Koko, hanya... kuminta dengan sangat, janganlah engkau menyentuhku lagi... kita harus dapat menjaga diri, menekan hati, kelak kalau aku sudah menjadi milikmu secara resmi, sudah menikah...” Giok Keng menunduk dan tersenyum malu-malu.

Bu Kong hampir saja tidak kuat lagi untuk tidak memeluk tubuh itu sekuatnya dan menciumi bibir itu. Akan tetapi dia maklum bahwa perbuatannya itu tentu akan menimbulkan kemarahan kekasihnya, maka dia melangkah maju dan hanya memegang tangan Giok Keng. Sepuluh jari tangan yang semua mengeluarkan getaran dari lubuk hati masing-masing itu saling mencengkeram dan saling membelai. Tidak ada kata-kata keluar dari mulut mereka sampai beberapa lama, karena getaran jari-jari tangan itu sudah mengandung seribu satu kata-kata indah. Akhirnya Bu Kong berkata, “Aku mengerti, Moi-moi. Maafkan aku. Akan tetapi jangan kita langsung pergi ke Cin-ling-san. Mari kau ikut aku pergi mengambil pusaka Siauw-lim-pai.”

“Aku dulu mendengar bahwa... engkau mencuri pusaka-pusaka itu dari Siauw-lim-pai. Benarkah, Koko?”

Wajah pemuda itu menjadi merah sekali. Dia menghela napas dan berkata, “Tak perlu aku membohongimu, Moi-moi. Memang benar demikian. Aku dahulu mencuri pusaka-pusaka itu dari Siaw-lim-pai karena perintah mendiang ibuku. Aku masih amat muda dan berdarah panas. Aku ingin memperlihatkan kepandaian, karena kabarnya Siauw-lim-si dijaga keras sekali dan amat ketat sehingga kalau aku berhasil mengambil beberapa buah pusakanya, tentu akan menggemparkan dunia kang-ouw. Akan tetapi yang menghendaki pusaka itu adalah ibuku. Sekarang Ibu telah meninggal dunia, dan biarpun aku merupakan keturunan seorang datuk kaum sesat, namun aku ingin hidup baru, Moi-moi. Apalagi setelah bertemu denganmu, keputusanku sudah bulat bahwa aku tidak mau lagi berkecimpung di dalam golongan kaum sesat. Bahkan aku akan menentang mereka. Untuk membuktikan ini, pertama yang kukerjakan adalah mengembalikan pusaka-pusaka itu ke Siauw-lim-pai.”

Hati Giok Keng girang sekali. Dia menarik tangannya yang masih dipegang pemuda itu dan berkata, “Bagus sekali kalau begitu, Koko. Marilah kita mengambil pusaka-pusaka itu dan mengembalikannya ke Siauw-lim-si.” Hatinya lega karena perbuatan ini tentu akan menyenangkan hati ayah bundanya. Biarpun kekasihnya adalah putera Si Bayangan Hantu, Ketua Kwi-eng-pai, akan tetapi dengan perbuatannya itu Bu Kong sudah membuktikan bahwa dia hendak merobah hidupnya, melalui jalan benar dan menjadi pendekar budiman.

Mereka lalu pergi ke sebuah pegunungan dekat Telaga Kwi-ouw yang kini sudah menjadi tempat sunyi sekali semenjak Kwi-eng-pang diserbu oleh tentara pemerintah dan dibasmi habis. Banyak yang tewas, ada yang tertawan dan ada pula beberapa orang yang lolos dari penyerbuan itu. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio tewas membunuh diri karena tidak mau terbunuh lawan, sedangkan kakek tinggi besar brewok, Thian-ong Lo-mo yang memiliki kepandaian tinggi, dapat berhasil meloloskan diri. Akan tetapi Bu Kong tidak tahu akan lolosnya kakek lihai ini, karena dia hanya mendengar bahwa Kwi-eng-pang telah dibasmi habis dan ibunya telah tewas.

Maka dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati pemuda ini ketika dia bersama dengan Giok Keng, tiba di depan sebuah guha di mana dia menyimpan pusaka-pusaka itu, tiba-tiba muncul Thian-ong Lo-mo bersama lima orang anggauta Kwi-eng-pang yang berhasil meloloskan diri! Dia merasa terheran-heran. Tentu saja bukan hal mengherankan jika kakek itu berada di guha tempat penyimpanan pusaka karena memang yang mengetahui akan tempat itu hanya dia, ibunya, dan kakek sekutu ibunya ini. Yang mengherankan hatinya adalah melihat kakek ini dapat lolos dan masih hidup! Melihat sikap kakek brewok itu seperti orang marah, demikian pula lima orang bekas anak buah ibunya itu bersikap memusuhinya, Bu Kong segera berkata sambil tertawa, “Aihhh, kiranya Locianpwe masih dapat menyelamatkan diri.”

“Bocah durhaka! Pengkhianat pengecut!” Thian-ong Lo-mo yang sudah marah sekali itu menerjang maju, menyerang Liong Bu Kong dengan senjatanya yang dahsyat, yaitu sabuk rantai yang bergigi seperti gergaji.

“Cringgg! Trangggg...!” Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika senjata itu tertangkis oleh dua batang pedang di tangan Bu Kong dan Giok Keng. Kakek itu terkejut bukan main karena tangannya tergetar hebat. Maklumlah dia bahwa dara cantik jelita itu memiliki tenaga dan kepandaian yang hebat pula, maka dia lalu memutar senjatanya dengan ganas sambil mengeluarkan seluruh tenaga dan kepandaiannya. Memang tanpa disangka-sangkanya kakek ini bertemu dengan dua orang muda yang amat tangguh. Kalau hanya Bu Kong seorang diri yang melawannya, biarpun pemuda ini juga memiliki kepandaian tinggi dan tidaklah mudah untuk merobohkannya, namun agaknya pemuda ini tidak akan mampu menang melawan kakek yang lihai itu. Demikian pula, biarpun sebagai puteri Pendekar Sakti Cia Keng Hong, dan telah memiliki tingkat ilmu kepandaian tinggi, agaknya Giok Keng juga tidak akan mudah dapat mengalahkan Thian-ong Lo-mo. Akan tetapi kini kedua orang muda yang saling mencinta itu maju berdua! Selain kelihaian ilmu silat mereka, juga keduanya memegang pedang pusaka yang ampuh.

Giok Keng bersenjata Gin-hwa-kiam (Pedang Banga Perak) yang berubah menjadi sinar putih bergulung-gulung, sedangkan Liong Bu Kong memegang pedang Lui-kong-kiam yang mengeluarkan sinar berkilat-kilat.

Baiknya Thian-ong Lo-mo dibantu oleh lima orang anak buah Kwi-eng-pang maka pertandingan berlangsung dengan amat serunya. Sabuk rantai gergaji di tangan Thian-ong Lo-mo menyambar-nyambar dahsyat, bagaikan seekor ular hitam bermain-main di antara dua gulungan sinar pedang dan berkali-kali terdengar suara nyaring ketika tiga senjata bertemu dan tampak bunga api berpijar-pijar menyilaukan mata. Lima orang bekas anggauta Kwi-eng-pang hanya membantu dari luar dengan senjata mereka. Pertandingan antara tiga orang itu terlatu hebat dan berbahaya bagi mereka sehingga mereka itu hanya membantu untuk mengacaukan perhatian kedua orang muda itu.

“Cringg... trekkk!” Ujung senjata rantai itu membelit pedang Giok Keng yang menjadi kaget bukan main. Selagi dia bersitegang hendak membetot pedangnya, Bu Kong berteriak nyaring dan pedangnya menyerang kakek itu dengan tusukan ke arah lehernya. Namun Thian-ong Lo-mo benar-benar hebat. Tangan kirinya bergerak dan ujung lengan baju kirinya yang lebar panjang itu merupakan senjata istimewa menangkis tusukan pedang Bu Kong.

“Plakk! Bretttt... dess!” Bu Kong mengeluh dan terhuyung ke belakang. Pedangnya telah tertangkis ujung lengan baju dan biarpun pedangnya berhasil merobek ujung lengan baju lawan, namun tangan kakek itu masih dilanjutkan dengan tamparan keras yang mengenai pundaknya dan membuat tubuhnya terhuyung ke balakang dan tergetar hebat.

“Ha-ha-ha...” Kakek itu tertawa dan kini menggunakan tangan kirinya yang ampuh itu mencengkeram ke depan, ke arah kepala Giok Keng!

“Wuuuttt.. plak-plak-plak!”

“Aughhh...!” Thian-ong Lo-mo terhuyung ke belakang dan hampir roboh. Rantai gergaji yang tadi membelit pedang terlepas karena tubuhnya tergetar oleh tiga kali tamparan sabuk merah muda yang dipegang oleh tangan kiri Giok Keng. Dara ini ketika tadi melihat pedangnya terbelit dan Bu Kong tertampar, cepat melolos sabuk sutera merah muda yang merupakan senjata ke dua yang ampuh, dengan cepat dia menggunakan sabuk itu mendahului tangan lawan yang mencengkeram kepalanya. Tepat sekali ujung sabuknya menotok tiga jalan darah di tubuh lawan, jalan darah yang mematikan. Akan tetapi betapa kaget dan herannya ketika ia melihat bahwa lawan yang tertotok tepat itu hanya terhuyung saja dan tidak mati!

Kiranya kakek brewok itu selain lihai ilmu silatnya dan amat kuat tenaga sin-kangnya, juga merupakan ahli I-kiong-hoan-hiat (Ilmu Memindahkan Jalan Darah) sehingga biarpun kelihatan dia tertotok tepat, namun sesungguhnya totokan itu tidak mengenai jalan darah kematian dan hanya membuat dia menggigil dan terhuyung saja. Sama sekali dia tidak mati, bahkan sebaliknya, dengan kemarahan meluap-luap karena penasaran dan malu, dia sudah menubruk ke arah Giok Keng sambil mengeluarkan lengking dahsyat dari tenaga khi-kangnya. Matanya yang lebar itu terbelalak merah, lengking suaranya membuat lima orang bekas anggauta Kwi-eng-pang terhuyung ke belakang dengan muka pucat.

Melihat lawan yang menyerang dahsyat dengan rantai gergaji dan tangan kiri dibentuk seperti cakar garuda, Giok Keng cepat menggerakkan pedang dan sabuk suteranya.

“Cringgg... plakkk!” Pedang dan rantai bertemu di udara, sabuk sutera melibat lengan kiri kakek lihai itu, akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Giok Keng ketika lengan kiri lawan itu masih mampu bergerak terus ke depan melanjutkan serangannya, menyambar ke arah lehernya seolah-olah cakar setan yang hendak mencekiknya. Dia cepat miringkan tubuhnya dan mengangkat kakinya menendang.

“Brettt... plakkk!”

Baju di pundak Giok Keng terobek oleh cakar itu dan kulit pundaknya lecet berdarah. Akan tetapi tendangannya membuat lawan terpental ke belakang. Ketika dara ini bersiap kembali setelah mendapat kenyataan bahwa luka di pundaknya tidak berbahaya, ternyata kakek itu telah diserang hebat oleh Bu Kong. Maka dengan marah Giok Keng lalu menyerbu pula membantu pemuda itu dan kembali terjadi pertandingan dahsyat antara tiga orang itu. Tubuh mereka tidak kelihatan lagi, terbungkus oleh gulungan sinar senjata mereka. Karena cepatnya gerakan mereka bertiga, lima orang bekas anggauta Kwi-eng-pang tidak ada yang berani mendekat apalagi membantu. Suara khi-kang hebat dari kakek itu tadi masih membuat jantung mereka terguncang.

Setelah Giok Keng menambah pedangnya dengan sabuk sutera merah muda, dan kedua orang muda itu melakukan pengeroyokan dengan pengerahan seluruh limu kepandaian dan tenaga mereka, lambat laun kakek itu merasa terdesak juga. Seratus jurus telah lewat dan dia sama sekali tidak mampu menjatuhkan seorang pun di antara dua orang pengeroyoknya yang masih muda! Napasnya mulai memburu dan biarpun merasa amat penasaran, Thian-ong Lo-mo harus mengakui bahwa kalau dilanjutkannya juga pertempuran itu, akhirnya dia akan terancam bahaya maut.

Tiba-tiba kakek itu mengeluarkan pekik dahsyat sekali, senjata rantainya menyambar ke depan menjadi sinar memanjang. Dua orang muda itu terkejut dan cepat menangkis.

“Tranggg... cringgg...!”

Akan tetapi tangan kiri kakek itu mendorong ke depan dan angin dahsyat menyerang kedua orang lawannya. Ternyata dia telah menggunakan pukulan jarak jauh yang mengandung tenaga sin-kang sekuat-kuatnya. Inilah serangan terakhir kakek itu yang sudah menguras habis ilmu kepandaiannya.

“Wuuuutttt...!”

Giok Keng dan Bu Kong makin kaget, cepat mereka melempar ke belakang, dan bergulingan untuk menghindarkan diri dari serangan dahsyat itu. Ketika keduanya telah meloncat bangun, ternyata lawan mereka telah lenyap dari situ.

Kiranya Thian-ong Lo-mo yang melihat serangan terakhir tadi tidak berhasil, lalu melarikan diri dengan cepat sekali!

“Berhenti...!” Bu Kong menghardik dan lima orang bekas anggauta Kwi-eng-pang yang mencoba untuk melarikan diri itu tiba-tiba berhenti dan membalikkan tubuh dengan muka pucat.

“Ke sini kalian!” Bu Kong membentak lagi dan seperti lima ekor anjing yang ketakutan, lima orang itu menghampiri Bu Kong, kemudian menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda itu.

“Ampun... Kongcu...!” Mereka mengeluh ketakutan.

Bu Kong tersenyum mengejek, “Di mana pusaka-pusaka itu?” bentaknya.

“Di... di dalam, Kongcu...”

“Hayo kalian ambil dan keluarkan semua!”

Seperti dikomando lima orang itu tergesa-gesa lari memasuki guha dan tak lama kemudian mereka keluar membawa sebuah buntalan besar. Bu Kong menerima buntalan itu, memeriksa isinya. Ternyata masib lengkap. Dua buah pusaka, yaitu sebatang pedang dan sebuah hiolouw (tempat abu hio) dari Siauw-lim-pai, dan banyak barang perhiasan emas permata yang mahal, juga potongan emas dan perak!

Tiba-tiba pemuda itu menggerakkan tangan kanannya, tampak sinar berkilat menyambar lima kali dan... tubuh lima orang itu tergelimpang roboh dengan leher hampir putus. Tubuh mereka berkelojotan sebentar dan tewas seketika!

“Ahh, mengapa membunuh mereka?” Giok Keng bergidik ngeri. Dia adalah seorang pendekar wanita muda yang sudah biasa menyaksikan pembunuhan, akan tetapi hal itu terjadi dalam pertempuran. Belum pernah dia menyaksikan pembunuhan yang dilakukan dengan tangan dingin sehingga mengerikan hatinya.

“Mereka adalah orang-orang jahat, dan aku sudah bersumpah untuk menentang orang jahat, bukan? Moi-moi...” Bu Kong berkata melihat kekasihnya mengerutkan alisnya, “Kalau tidak dibunuh, tentu mereka itu akan mendatangkan keributan saja di kemudian hari, dan dengan membunuh mereka berarti kita telah membebaskan rakyat dari ancaman kejahatan mereka, bukan?”

Giok Keng mengangguk-angguk. Tak dapat dibantah ucapan pemuda itu, maka dengan menarik napas panjang dibenarkannya ucapan itu dengan anggukan kepala, mengambil kesimpulan bahwa hatinya sendirilah yang lemah.

Dari tempat itu, kedua orang muda ini lalu melanjutkan perjalanan menuju ke Siauw-lim-si untuk mengembalikan dua buah benda pusaka Siauw-lim-pai yang dicuri oleh Bu Kong kurang lebih enam tahun yang lalu. Di sepanjang perjalanan, kedua orang ini tampak rukun sekali, penuh kasih sayang, penuh kegembiraan dan seperti sepasang pengantin baru saja. Namun Giok Keng tetap bersikeras tidak membolehkan kekasihnya menjamahnya, dan dengan hati kecewa sekali Bu Kong terpaksa menahan nafsunya, tidak berani merayu kekasihnya sebelum mereka menikah karena dia maklum betapa kerasnya hati dara itu sehingga besar kemungkinannya cinta kasih dara itu akan berubah menjadi kebencian hebat, kalau dia melanggar janji dan larangan. Betapapun juga, hatinya sudah merasa puas dan lega menyaksikan sikap Giok Keng yang mencintanya, cinta yang juga bersifat keras seperti watak dara itu, cinta yang akan dibelanya dengan nyawa!

Kita tinggalkan dulu Giok Keng dan Bu Kong yang melakukan perjalanan menuju ke Siauw-lim-si itu, dan marilah kita kembali mengikuti perjalanan Yap Kun Liong dan Pek Hong Ing, nikouw muda itu. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Kun Liong dan Hong Ing yang terpaksa menentang kehendak Pangeran Han Wi Ong, dicap sebagai pemberontak dan orang-orang buruan. Gambar mereka ditempel di mana-mana sehingga mereka terpaksa melakukan perjalanan dengan sembunyi-sembunyi, melalui jalan-jalan sunyi, keluar masuk hutan dan naik turun gunung dalam perjalanan yang amat sukar. Karena dia bertekat menolong Hong Ing agar tidak sampai tertangkap oleh orang-orang yang menghendaki dara itu menjadi istri Pangeran Han Wi Ong, maka Kun Liong mengajak nikouw muda itu menuju ke timur, ke arah Teluk Pohai. Dahulu ketika dia membantu supeknya, Pendekar Sakti Cia Keng Hong, dan menyusul Cia Giok Keng ke Pulau Ular, dia lewat hutan di dekat Pantai Pohai yang sunyi dan melihat sebuah kuil di sana. Kuil Kwan-im-bio!

lanjut ke Jilid 068-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar