Rabu, 19 Februari 2014

Petualang Asmara 87

Petualang Asmara Jilid 087

<--kembali

Lega dan girang juga hati Liong Bu Kong melihat betapa lawan yang amat tangguh itu kini dikepung ketat. Dia hampir saja celaka tadi, seperti lolos dari lubang jarum. Dengan tulang-tulang tubuhnya terasa nyeri, dia berjalan terincang-pincang mencari senjatanya yang tadi terlepas. Akhirnya dia melihat senjata pedangnya itu dan dengan cepat dia berlari menghampiri untuk mengambilnya. Selagi tangan Bu Kong meraih pedang, tiba-tiba ada sebuah kaki kecil yang menginjak pedang itu! Bu Kong terkejut akan tetapi dia sudah memegang gagang pedangnya, maka sekuat tenaga dia membetot gagang pedang itu dan... pedang yang terinjak kaki kecil itu tidak berkutik sedikit pun! Betapa pun Bu Kong mencabut sambil mengerahkan tenaga, sia-sia saja karena pedang itu seakan-akan telah menjadi satu dengan kaki yang menginjaknya. Bu Kong cepat mengangkat mukanya dan kaki itu ternyata milik seorang gadis cantik dan gagah, seorang dara cantik yang matanya begitu tajam dan bening, indah seperti mata burung Hong, seorang gadis berpakaian ringkas dan tampak dua batang pedang di tubuhnya, satu di punggungnya dan sebatang lagi di ikat pinggangnya yang merupakan pedang pendek.

Liong Bu Kong terbelalak ketika dia mengenal wajah gadis yang cantik namun dingin dan angkuh itu. “Kau...? Kau... Giok-hong-cu Yo Bi Kiok?” katanya memandang kepada hiasan burung Hong dari kumala yang menghias baju di dada gadis itu. Rasa terkejut dan heran bercampur dengan harapan dan kegirangan. Dia terkejut dan heran melihat kelihaian gadis ini yang mampu menginjak pedangnya sedemikian kuatnya sehingga dia sendiri tidak dapat menariknya kembali, dan dia girang dan penuh harapan akan mendapat bantuan gadis ini. Bukankah Yo Bi Kiok ini dapat dikatakan segolongan dengan dia, bahkan guru gadis ini, Bu Leng Ci yang berjuluk Siang-tok Mo-li pernah bersekutu dengan ibunya, dan hiasan burung Hong kumala di dada gadis itu pun adalah pemberian ibunya? Maka dia cepat melepaskan gagang pedangnya, bangkit berdiri dan berkata sambil tersenyum, girang, “Aihh, kiranya Kiok-moi yang datang...! Dan kau hebat sekali! Kiok-moi, kebetulan kau datang, marilah membantu kami menaklukkan iblis itu!” Dia menuding ke arah Kun Liong yang masih mengamuk dan dikepung ketat seperti seekor jengkerik dikeroyok segerombolan semut.

“Huh, siapa adikmu? Liong Bu Kong, aku datang untuk mengambil nyawamu!”

Tentu saja Liong Bu Kong merasa kaget bukan main sampai matanya terbelalak dan dia tidak dapat menjawab.

“Ambil pedangmu dan bersiaplah!” kata pula Yo Bi Kiok dengan suara dan pandang mata dingin.

Terpaksa Bu Kong mengambil pedangya yang sudah dilepaskan oleh kaki Bi Kiok dan dia membantah, “Yo Bi Kiok, lupakah kau bahwa kita segolongan? Lihat, Giok-hong-cu itu masih berada di dadamu. Bukankah itu pemberian ibuku?”

Yo Bi Kiok menjebikan bibirnya yang merah. “Hemm, memang kubawa dan tadinya akan kukembalikan kepada Kwi-eng Niocu, sayang dia telah mampus, karena itu biarlah kukembalikan kepada puteranya. Nih, terimalah kembali!” Tiba-tiba sekali, dengan kecepatan yang tidak terduga-duga oleh Bu Kong, tangan kiri gadis itu merenggut hiasan itu dan secepat kilat pula perhiasan dari kumala itu telah melayang menyambar antara kedua mata Bu Kong! Pemuda ini berseru kaget, cepat dia mengelak dengan merendahkan tubuh dan menundukkan kepala.

“Sswwtttt...!” Perhiasan itu melayang lewat di atas kepalanya dan menancap di dinding karang. Dan pada saat itu, Bi Kiok telah menerjangnya dengan pedang pendek di tangan kiri. Demikian cepatnya gerakan Bi Kiok, begitu melontarkan perhiasan tadi terus langsung mencabut pedang di pinggang dan langsung pula menyerang, sehingga Bu Kong terkejut setengah mati, cepat menangkis.

“Cring-trangggg...!”

“Ehhhh...?” Liong Bu Kong kembali terkejut. Tangannya sampai tergetar hebat ketika pedangnya bertemu dengan pedang di tangan kiri gadis itu. Akan tetapi dia tidak sempat terheran lebih lama lagi karena kembali pedang gadis itu telah menyambar dengan kecepatan dan kekuatan yang amat luar biasa! Bu Kong menangkis dan berusaha untuk balas menyerang, namun dalam waktu dua puluh jurus lebih saja dia telah terdesak hebat sekali. Tiba-tiba, selagi Bu Kong membalas dengan bacokan dahayat, Bi Kiok menangkis dengan pedang kirinya sambil mengerahkan sin-kang dan pedang itu bergetar sedemikian hebat lalu diputar-putar sehingga pedang Bu Kong ikut pula terputar tanpa dapat ditahannya lagi. Dan secepat kilat, tangan kanan Bi Kiok bergerak dan hanya tampak sinar berkelebat ketika pedang panjang telah tercabut dari punggungnya dan di lain saat pedang itu telah menembus dada Liong Bu Kong.

“Auhhhhgggg...!” Tubuh pemuda itu terjengkang ketika Bi Kiok mencabut pedangnya. Sambil melihat tubuh pemuda yang berkelojotan di atas tanah itu, Bi Kiok menggunakan kakinya mencokel pedang Lui-kong-kiam, menyambar gagang pedang dengan tangannya dan menyelipkan pedang itu di pinggangnya pula, sementara itu kedua pedangnya tadi sudah dengan cepat memasuki sarung pedang. Kemudian, dengan tenang dia menghampiri dinding karang, mencabut Giok-hong-cu dan sekali lempar perhiasan itu menancap di dahi Bu Kong, tepat di tengah-tengah dan tubub yang berkelojotan itu diam, tak bergerak lagi.

Kini Yo Bi Kiok memandang ke arah pertempuran, mendengus perlahan dan tubuhnya mencelat ke medan pertempuran, pedang rampasan tadi digerakkan dengan tangan kirinya dan robohlah empat orang pengeroyok! Selanjutnya, gadis ini mengamuk dengan pedang Lui-kong-kiam sehingga dalam waktu singkat, terjungkal tidak kurang dari delapan orang anak buah Pek-lian-kauw! Tentu saja semua pengeroyok terkejut sekali dan mereka menjadi gentar, cepat mereka meninggalkan Kun Liong dan Bi Kiok, mundur ke dalam guha di mana sudah dipasangi alat-alat rahasia jebakan. Akan tetapi kedua orang muda itu tidak mengejar, melainkan berdiri saling berpandangan, Bi Kiok dengan pandang mata dingin, Kun Liong dengan mata terbelalak keheranan.

“Engkau... Bi Kiok...!”

“Kun Liong, engkau masih belum lupa kepadaku?” suara Bi Kiok dingin dan matanya menatap tajam ke arah gadis yang pingsan di panggulan pemuda itu.

“Melupakan engkau? Mungkin yang lain-lain aku dapat melupakan, akan tetapi betapa mungkin aku melupakan matamu yang bersinar indah seperti bintang pagi itu?”

Yo Bi Kjok menjebikan bibirnya, dan mendengus, “Huh, perayu yang... mata keranjang!” Dia memutar tubuhnya dan sekali meloncat dia telah melayang jauh ke depan lalu lari cepat sekali.

“Bi Kiok...!” Kun Liong memanggil akan tetapi gadis itu berlari terus. Terpaksa dia pun berlari membawa tubuh Giok Keng yang masih pingsan. Yang terutama sekali adalah keselamatan Giok Keng. Biarpun dia merasa terheran-heran melihat Yo Bi Kiok yang sekarang memiliki ilmu kepandaian sedemikian tingginya, bahkan Liong Bu Kong dapat dibunuhnya dalam waktu singkat dan dia ingin sekali bicara dengan dara itu, namun melihat keadaan Giok Keng, dia harus lebih dulu menyelamatkan gadis ini. Dia tahu betapa jahatnya jarum merah Ouwyang Bouw itu.

Setelah berlarl-lari menuruni bukit dan jauh sekali meninggalkan sarang Pek-lian-kauw, akhirnya Kun Liong tiba di sebuah dusun dan cepat dia mencari rumah penginapan. Seorang pelayan menyambutnya dengan mata terbelalak heran memandang kepada wanita muda yang pingsan dalam pondongan pemuda itu.

“Adikku ini sakit parah, harap kau cepat menyediakan kamar untuk kami agar dia dapat kuobati,” kata Kun Liong, tanpa banyak cakap lagi.

Pelayan itu seorang tua yang baik hati. Melihat keadaan Giok Keng yang pucat dan pingsan, dia cepat membawa mereka ke sebuah kamar yang cukup besar, kemudian memenuhi permintaan Kun Liong menyediakan sebaskom air mendidih yang dia taruh di dalam kamar dan cepat dia meninggalkan mereka pergi.

Kun Liong mulai bekerja, tanpa ragu-ragu lagi dia menanggalkan pakaian Giok Keng berikut sepatunya dan menyelimuti tubuh yang telanjang itu dengan sehelai selimut. Dia membalikkan tubuh dara itu menelungkup dan memeriksa tubuh belakangnya. Terdapat lima batang jarum merah menancap di tubub belakang dari punggung sampai ke pinggul! Dan jarum-jarum itu menancap dalam sekali sampai yang tampak hanya sedikit ujungnya membayang di bawah kulit yang telah mulai membiru kemerahan!

Setelah memeriksa sejenak, Kun Liong cepat menggunakan air mendidih untuk membasahi bagian luka itu sehingga kulit dagingnya di bagian itu yang terkena air panas menjadi lemas dan lunak. Kemudian, sambil duduk bersila di pinggir pembaringan, Kun Liong menggunakan kedua telapak tangannya ditempelkan kepada luka jarum itu sambil mengerahkan sin-kangnya. Hawa yang amat kuat tergetar melalui lengannya dan setibanya di telapak tangannya, hawa yang merupakan tenaga sakti itu menyedot! Inilah tenaga Thi-khi-i-beng yang sudah dikendalikan sehingga tenaga menyedotnya yang hebat itu dapat dicurahkan dan dipusatkan pada lubang kecil bekas jarum. Setelah kedua lengan itu menggigil beberapa lamanya, Kun Liong menarik kembali kedua tangannya dan... dua batang jarum menempel di telapak tangannya. Dengan alis berkerut dia menyimpan dua batang jarum itu, kemudian berturut-turut dia berhasil menyedot lima batang jarum itu dari tubuh Giok Keng.

Setelah lima batang jarum itu terambil semua, pekerjaan Kun Liong masih jauh daripada selesai. Biarpun jarum-jarum itu telah dikeluarkan, namun racunnya sudah mengeram di tubuh dan dia tadi sebelum mengambil jarum telah menotok beberapa bagian jalan darah untuk mencegah racun itu menjalar ke jantung. Kini, kembali dia menggunakan sin-kang dari kedua telapak tangannya untuk menyedot dan melebarkan luka-luka itu, kemudian, tanpa ragu-ragu, dia mendekatkan mukanya dan dengan mulutnya, dia menyedot luka-luka itu satu demi satu. Darah menghitam yang tersedot keluar dari luka itu, diludahkannya ke lantai, kemudian menyedot lagi sampai berkali-kali.

Ketika melakukan ini, dia bukannya tidak sadar akan keindahan tubuh belakang dara itu yang polos, dengan kulit putih kuning dan bersih halus, namun dengan penuh keyakinan bahwa dia melakukan semua ini untuk menyelamatkan nyawa Giok Keng, maka segala bentuk khayal yang mendatangkan nafsu berahi sama sekali tidak menampakkan bayangannya.

Setelah di setiap luka dia menyedot tidak kurang dari lima kali, barulah yang tersedot keluar dari luka kecil itu darah merah. Ketika melakukan penyedotan dengan mulutnya untuk yang terakhir kali, di luka yang berada paling bawah, yaitu di belahan bukit pinggul, tiba-tiba dia mendengar suara halus di luar jendela dan melihat berkelebatnya bayangan orang, Kun Liong tidak berani memecah perhatian karena pengobatan dengan sin-kang itu membutuhkan pengerahan tenaga dan perhatiannya. Disangkanya bahwa tentulah pelayan tadi yang mengintai untuk melihat bagaimana keadaan wanita sakit itu.

Setelah melihat bahwa lima luka itu sudah bersih dan menjadi merah darah, dengan hati-hati Kun Liong mencucinya dengan air panas, menutupnya dengan kain bersih lalu membalikkan tubuh Giok Keng yang masih pingsan. Wajah dara itu masih pucat akan tetapi sinar kebiruan telah lenyap dari wajahnya. Kun Liong membetulkan letak selimut yang menutupi seluruh tubuh gadis itu, kemudian dia memasukkan kedua tangannya ke dalam selimut, meletakkan kedua telapak tangannya ke bawah dada, memusatkan seluruh batinnya agar tidak sampai tergoda oleh bayangan yang bukan-bukan mengenai tubuh dara yang terlentang di depannya, kemudian dia menyalurkan sin-kang. Hawa yang hangat memasuki tubuh dara itu dan membant kelancaran jalan darahnya, juga mengusir hawa beracun yang memenuhi dada rongga perutnya.

“Ouhhh...!” Akhirnya terdengar dara itu merintih, pernapasannya menjadi normal kembali, jalan darahnya juga pulih, dia masih setengah sadar setengah pingsan. Cepat Kun Liong mengeluarkan kedua tangannya dari selimut karena dia tidak ingin gadis itu sadar mendapatkan kedua tangannya masih terletak di atas dada dan perutnya! Wajahnya agak pucat dan napasnya agak memburu karena dia telah mengeluarkan banyak tenaga saktinya.

Pada saat itulah, setelah perhatiannya terhadap Giok Keng terlepas, dia baru mendengar bahwa benar-benar ada orang di luar kamar itu, mengintai di depan pintu. Dia menjadi curiga sekali dan sambil meloncat ke dekat pintu dia membentak, “Siapa di luar...?”

Tiba-tiba dari luar terdengar suara orang mendengus marah, daun pintu di tendang terbuka dan seorang gadis cantik yang langsung menyerang dengan tusukan pedang pendeknya yang dipegang dengan tangan kiri ke dada Kun Liong dengan kecepatan kilat!

“Bi Kiok...!” Kun Liong berscru kaget, miringkan tubuhnya ke kiri dan ketika pedang meluncur di sebelah kanannya, dia cepat menggerakkan tangan kanan menangkap pergelangan tangan gadis itu sambil mengerahkan sin-kangnya karena begitu menyentuh lengan dia merasa ada tenaga dahsyat dari lengan itu kcluar menentang.

“Tranggg...! Plokkk...!”

Pedang itu terlepas dari pegangan tangan kiri Bi Kiok yang seperti lumpuh oleh pegangan tangan kanan Kun Liong akan tetapi dengan kemarahan meluap-luap gadis itu menggunakan telapak tangan kanannya menampar pipi kiri pemuda itu.

Kun Liong meringis, pipinya terasa panas dan pedih, tentu giginya sudah rontok semua kalau dia tadi tidak menerima tamparan itu dengan pengerahan tenaga.

“Laki-laki cabul! Laki-laki mata keranjang!” Yo Bi Kiok memaki ketika melihat Giok Keng yang sudah sadar dan memandang dengan mata terbelalak itu berada dalam keadaan telanjang bulat dan hanya menutupi tubuhnya dengan sehelai seilmut. Kedua kaki yang telanjang itu mencuat keluar dari dalam selimut!

“Eh... ohhh... Bi Kiok... jangan...!” Kun Liong cepat menggunakan tangan kirinya untuk menangkap lengan kanan gadis itu, melihat betapa Bi Kiok sudah menggerakkan tangan kanan hendak mencabut pedang panjang di punggungnya. Dengan demikian, dia telah menangkap kedua lengan gadis itu yang meronta-ronta hendak melepaskan kedua tangannya.

“Eh-eh... Bi Kiok... wah, sabarlah, mari kita bicara baik-baik...” Kun Liong membujuk ketika gadis itu meronta-ronta, bahkan mengirim tendangan yang dapat dielakkannya, akan tetapi terpaksa dia tangkis dengan kakinya pula.

“Laki-laki buaya!” Bi Kiok memaki lirih. “Dan aku selalu mengingat-ingat engkau... mengharap-harap...” Dan gadis itu terisak, lalu meronta-ronta makin kuat. “Kiranya engkau laki-laki cabul yang mempermainkan setiap wanita yang kautolong!”

Giok Keng yang sudah sadar dan sudah bangkit duduk sambil menyelimuti tubuh dengan selimut itu sudah mendengar cukup banyak dan jelas. Cepat dia melangkah turun dan sambil menyarungkan selimut itu rapat-rapat, dia berseru, “Tahan dulu...! Adik yang baik, engkau salah duga...! Kun Liong telah menolongku dan karena aku terkena senjata rahasia yang amat berbahaya, dia tadi telah mengobatiku... jangan menyangka yang bukan-bukan! Aku adalah Cia Giok Keng, puteri Ketua Cin-ling-pai, apa kaukira aku akan mudah saja dipermainkan orang seperti itu? Aku...” Tiba-tiba Giok Keng menghentikan kata-katanya karena teringat betapa pemyataannya tadi berlawanan dengan sekali dengan kenyataan. Dia berkata tidak mudah dipermainkan orang, akan tetapi buktinya, dia dipermainkan oleh Liong Bu Kong sampai hampir saja menjadi korban!

Akan tetapi kata-katanya tadi sudah cukup bagi Bi Kiok. Ketika tadi dia mengintai dari balik jendela dan melihat betapa Kun Liong “menciumi” punggung dan pinggul telanjang gadis itu hatinya panas dan marah bukan main. Selama ini dia selalu terkenang kepada Kun Liong yang dianggapnya sebagai pria yang paling baik dan hebat yang pernah dijumpainya, dan yang perjumpaannya ketika melihat Kun Liong dikeroyok orang-orang Pek-lian-kauw tadi membuat dia girang sekali. Akan tetapi godaan Kun Liong yang memuji matanya membuat dia malu dan lari pergi, namun dia lalu membayangi Kun Liong yang membawa pergi dara yang ditolongnya itu ke sebuah kamar di rumah penginapan. Dapat dibayangkan betapa kecewa dan marah hatinya melihat Kun Liong “menciumi” tubuh itu. Kini, mendengar keterangan Giok Keng yang ternyata adalah puteri pendekar sakti Ketua Cin-ling-pai yang tentu saja sudah dikenal baik namanya itu, dia maklum bahwa dia telah salah sangka!

Kiranya Kun Liong tadi bukanlah sedang menciumi punggung dan pinggul telanjang, melainkan sedang menyedot racun dari luka-luka di punggung dan pinggul!

“Ahhhh...!” Dia terkejut dan merasa malu sekali, dan ketika Kun Liong melepaskan kedua tangannya, dia melangkah mundur, mukanya merah dan matanya terkejap-kejap malu.

Kun Liong tersenyum lebar. “Bagaimana, Bi Kiok? Apakah kau masih hendak menampar lagi mukaku? Aihhh, lama tak jumpa, engkau sekarang menjadi lihai luar biasa, ilmu kepandaianmu maju dengan amat pesatnya dan... dan engkau makin cantik saja, apalagi kalau engkau memandang seperti itu...”

Mata yang berkejap-kejap malu itu seketika mengeluarkan sinar berapi, akan tetapi ketika bertemu pandang dengan Kun Liong dan melihat betapa mulut dan mata Kun Liong mentertawakannya, dia menjadi malu sekali. “Ihhh!” dengusnya, tubuhnya membalik dan dia berkelebat lenyap dari situ setelah menyambar pedang pendeknya yang tadi terjatuh.

“Bi Kiok...! Heiii, tunggu dulu!”

Akan tetapi Yo Bi Kiok tidak peduli dan lari terus dengan amat cepatnya, dan Kun Liong pun tidak mengejar, hanya berdiri di pintu dengan wajah berseri kemudian menarik napas panjang. “Hemm, hebat sekali ilmunya berlari cepat, juga sin-kang dan kepandaiannya. Lebih hebat dari tingkat gurunya sendiri, hemm...”

“Kun Liong, engkau tidak pernah dapat menghilangkan watakmu yang nakal dan suka menggoda wanita,” terdengar suara Giok Keng, dan ketika Kun Liong hendak membalik, Giok Keng cepat melanjutkan, “Jangan menengok ke sini! Aku sedang berpakaian!”

Otomatis Kun Liong menarik kembali kepalanya yang hendak menengok tadi, kini berdiri menghadap keluar, bahkan menutupkan daun pintu agar tidak ada orang yang dapat melihat ke dalam kamar.

“Aku sudah selesai, Kun Liong.”

Barulah pemuda itu membuka daun pintu lalu memasuki kamar. Giok Keng sudah berpakaian lagi dengan rapi, dan duduk di atas ranjang. Kun Liong lalu duduk di atas bangku.

“Kun Liong, apakah kau mencinta gadis tadi?”

“Bi Kiok? Ah, tidak, mengapa?”

“Yang jelas, dia mencintamu, Kun Liong.”

“Ehhhh...?” Kun Liong memandang heran tidak percaya.

“Percayalah kepadaku, seorang wanita lebih awas dalam hal itu. Dia mencintamu sungguh-sungguh, Kun Liong, karena itu dapat dibayangkan betapa menyakitkan godaan-godaanmu tadi.”

“Hemm, aku memang seorang yang serba canggung, selalu mendatangkan rasa tidak enak dalam hati dara-dara muda. Bahkan orang yang benar-benar kucinta pun merasa tidak senang dan marah...”

Giok Keng memandang tajam. “Kun Liong, siapakah wanita yang kaucinta itu dan di mana dia?”

Kun Liong mengangkat muka memandang, lalu menunduk dan menarik napas panjang lagi. “Hemmm... adalah...”

“Kun Liong, mengapa kau tidak mau bercerita kepadaku? Aku telah berhutang nyawa kepadamu, padahal aku telah menyakiti hatimu ketika memutuskan tali perjodohan. Engkau seorang yang amat baik bagiku, akan tetapi sayang aku tidak cinta kepadamu dan anggaplah aku ini adikmu sendiri, Kun Liong, atau setidaknya, engkau masih terhitung suhengku, bukan? Nah, ceritakanlah semuanya kepada sumoimu ini, siapa tahu aku akan dapat membantumu sebagai pembalasan budimu.”

Terharu juga hati Kun Liong mendengar ini. Memang, dia pernah merasa terhina ketika Giok Keng menyatakan tidak setuju akan perjodohan yang diikat ayahnya, apalagi ketika ternyata bahwa gadis ini malah memilih seorang pemuda iblis Liong Bu Kong. Kini, mendengar ucapan yang tulus dan terus terang dari gadis itu, dia merasa terharu.

“Giok Keng, bukan sama sekali bahwa aku tidak percaya kepadamu, hanya... hal yang tidak menyenangkan perlukah diceritakan? Betapapun juga, mengingat bahwa nasibmu dalam percintaan juga amat buruk, baiklah aku akan bercerita kepadamu tentang gadis yang kucinta itu, yang bernama Pek Hong ing...”

Maka berceritalah Kun liong secara singkat namun lengkap tentang pengalamannya bersama Pek Hong Ing, tentu saja tanpa menyinggung-nyinggung tentang sikap Hong Ing terhadap dirinya ketika dara itu hendak dibawa pergi oleh tiga orang Lama yang amat sakti itu.

“Nah, sebenarnya aku sedang dalam perjalanan mengejar para pendeta Lama yang telah membawa pergi Hong Ing itu, kalau perlu sampai ke sarang mereka di Tibet.” Kun Liong mengakhiri ceritanya.

Giok Keng mendengarkan dengan terharu, lalu berkata dengan penuh kekhawatiran. “Agaknya tiga orang pendeta Lama itu lihai bukan main, Kun Liong. Bagaimana engkau akan dapat berhasil pergi seorang diri ke sana? Apakah tidak sebaiknya kau minta bantuan Ayah?”

Kun Liong menggelengkan kepalanya. “Aku akan pergi sendiri, dan aku yakin akan dapat mengatasi mereka. Dan bagaimana dengan engkau sendiri, Giok Keng? Setelah peristiwa menggemparkan di Pek-lian-kauw itu...” Kun Liong menghentikan kata-katanya karena melihat dara itu menangis. Maklumlah dia bahwa dia telah menyentuh bagian yang menyakitkan hati, mengingatkan gadis itu akan aib yang telah menimpa dirinya, maka dia merasa menyesal sekali bertanya tadi.

“Maafkan, Giok Keng. Aku bukan bermaksud...”

“Tidak apa, Kun Liong. Bukan salahmu.... melainkan aku sendirilah yang seakan-akan buta hati, mudah saja terbujuk dan tertipu oleh pemuda yang kelibatan tampan dan baik itu. Siapa mengira bahwa hatinya busuk seperti iblis? Ahh, aku menyesal sekali, Kun Liong... eh, Suheng! Aku harus menyebutmu suheng sekarang! Aku menyesal sekali dan untung bahwa semua malapetaka itu belum terlambat, berkat kedatangan Ayah dan kedatanganmu.”

“Biarlah kesalahan kita yang lalu menjadi pengalaman, Sumoi, menjadi pelajaran bagi kita sehingga kesalahan macam itu tidak akan terulang lagi.”

“Tidak mungkin terulang! Aku tidak akan mencinta siapa pun, dan cintaku yang keliru terhadap iblis itu telah mati. Aku tidak mau sembarangan mencinta pria lagi sungguhpun banyak yang mencintaku. Sebenarnya, dahulu pun aku tidak mudah jatuh cinta. Sejak dahulu, banyak pria yang jatuh cinta kepadaku, Suheng, dari para murid ayah di Cin-ling-pai sampai banyak laki-laki yang kutemui selama dalam perjalananku. Mereka semua bermuka-muka dan berusaha untuk menguasai hatiku, dan sikap mereka yang palsu dan memikat itu memuakkan hatiku. Cinta mereka itu semua palsu, sepalsu cinta iblis Liong Bu Kong. Aku muak dengan cinta kaum pria yang berhati palsu. Aku tidak maksudkan engkau, Suheng. Engkau adalah orang jujur dan terus terang mengatakan bahwa engkau tidak mencinta aku. Betapapun juga, nasib kaum wanita memang amat buruk, tidak seperti pria. Dalam soal perjodohan sekalipun, kaum wanita selalu harus tunduk, dalam soal cinta pun, kaum wanita harus menerinia dan menyesuaikan diri, tidak berhak memilih seperti pria. Betapa pun besar cinta seorang wanita terhadap seorang pria, kalau si pria tidak mencintanya akan percuma saja dan tidak mungkin wanita berani mendesak yang berarti tidak tahu malu! Karena itu, aku merasa kasihan sekali kepada Bi Kiok dan kepada Hwi Sian. Mereka berdua benar-benar mencintamu, Suheng, akan tetapi engkau tidak membalas cinta mereka. Betapa sengsara hati mereka.”

Kun Liong menarik napas panjang, apalagi teringat akan Hwi Siang gadis yang telah menyerahkan kehormatannya kepadanya dan yahg membuatnya menyesal bukan main kalau teringat akan peristiwa itu. “Cinta memang hanya mendatangkan duka nestapa belaka ataukah...sebenarnya bukan cinta sejati yang mendatangkan duka itu? Bagaimanapun juga, kalau benar kata-katamu tadi bahwa Bi Kiok mencintaku...”

“Aku berani bertaruh apapun juga, Suheng. Dia pasti mencintamu, dari pandang matanya, kata-katanya, sikapnya, jelas sekali tampak bahwa dia mencintamu. Sayang, akan patah harapannya kalau dia tahu bahwa pria yang dicintanya itu tidak akan membalasnya.”

“Hemm, kalau begitu aku harus mencarinya, akan kuberitahukan secara terus terang agar dia dapat menghapus cinta yang salah alamat itu.”

“Memang sebaiknya begitu, Suheng. Biarpun pahit, namun keterusterangan itu mungkin akan dapat menjadi obat mujarab, seperti kenyataan yang amat pahit membuat mataku terbuka. Akan tetapi, ke manakah kau hendak mencarinya?”

“Melihat kemunculannya tadi, kurasa tempat tinggalnya tidak jauh dari dusun ini, atau mungkin juga, di dusun ini. Betapa pun, aku akan mencarinya, sekarang juga.”

“Baiklah, kalau begitu kita berpisah di sini, Suheng. Aku juga akan melakukan perjalananku.”

“Kau harus beristirahat dulu...”

“Aku telah sembuh, berkat pertolonganmu.”

“Akan tetapi, kau hendak ke mana?”

“Entahlah, yang jelas aku tidak akan pulang dulu ke Cin-ling-san sebelum aku berhasil membunuh iblis Liong Bu Kong itu!”

“Ahh, dia sudah tewas, Sumoi!” Baru teringat oleh Kun Liong bahwa dia belum menceritakan akan hal ini dan tentu saja gadis ini tidak tahu akan kematian Liong Bu Kong, karena ketika itu dia masih pingsan.

Giok Keng terloncat dan memandang terbelalak, mukanya agak pucat. Betapapun juga, laki-laki yang pernah dicintanya itu dikabarkan tewas, dan tanpa disadarinva dia terkejut buken main. “Tewas...?”

Kon Liong mengangguk.

“Tewas di tanganmu, Suheng?”

“Untung sekali tidak! Aku merasa ngeri kalau sampai membunuh orang. Dia tewas dalam tangan Yo Bi Kiok, dalam waktu hanya dalam belasan jurus sehingga aku merasa terheran bukan main menyaksikan kepandaian Bi Kiok. Padahal dahulu, dia tidak akan mampu mengalahkan Bu Kong.”

Giok Keng termenung. “Mengapa...? Mengapa Bi Kiok membunuhnya?”

“Mungkin dendam antara guru. Bi Kiok adalah murid mendiang Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci yang tewas di tangan ibu Bu Kong, yaitu Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio. Mungkin untuk membalas kematian gurunya, Bi Kiok yang sekarang lihai sekali itu membunuh Bu Kong, dan hal ini menguntungkan kita karena aku sudah payah juga menghadapi pengeroyokan sambil memondongmu.”

Kembali Giok Keng termenung, kemudian menarik napas panjang. “Begitulah nasib manusia yang tersesat, akhirnya mampus di ujung senjata pula. Kalau begitu, tinggal orang-orang Pek-lian-kauw! Merekalah yang membantu iblis itu sehingga aku hampir saja tertimpa malapetaka hebat, aku harus menghancurkan Pek-lian-kauw, Suheng.”

“Hemm, berhati-hatilah, Giok Keng. Mereka itu lihai sekali, terutama ketuanya.”

“Aku tidak akan gegabah, Suheng. Aku akan pergi ke kota raja, minta bantuan, kalau perlu akan menghadap The-locianpwe.”

“Panglima The Hoo?”

Giok Keng mengangguk. “Syukur kalau dapat bertemu dengan Ayah, kalau tidak tentu Locianpwe itu akan tertarik dan suka mengirim pasukan, karena Pek-lian-kauw adalah perkumpulan pemberontak.”

“Terserah kepadamu, akan tetapi hati-hatilah, Sumoi. Aku sendiri akan menemui Bi Kiok, kemudian aku akan menyusul dan mencari Hong Ing ke Tibet.”

“Aku hanya mendoakan semoga kau berhasil bertemu kembali dengan dia, Suheng. Semoga kau tidak akan mengalami kegagalan dalam cinta kasih seperti aku.”

lanjut ke Jilid 088-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar