Rabu, 19 Februari 2014

Petualang Asmara 71

Petualang Asmara Jilid 071

<--kembali

“Orangnya aneh dan amat sakti, Ayah. Namanya Kok Beng Lama, seorang pendeta Lama berjubah merah. Dia datang dan menantang-nantang Bun Hwat Tosu, Tiang Pek Hosiang, Go-bi Thai-houw, dan juga menantang Sucouw (Kakek Guru) Sin-jiu Kiam-ong!” Dengan panjang lebar Giok Keng menceritakan tentang munculnya kakek itu yang telah membunuh banyak perajurit pemerintah hanya dengan suara ketawanya saja, dan betapa kakek Lama itu dengan jari tangan kosong telah menangkis pedangnya ketika dia ikut mengeroyok dan membuat cap jari tangan pada Gin-hwa-kiam.

“Kok Beng Lama...?” Cia Keng Hong dan isterinya saling pandang, mengerutkan alis dan mengingat-ingat. “Seingatku, belum pernah aku mendengar nama ini di dunia kang-kouw...! Mengapa dia menentang perajurit pemerintah?”

“Semua ini gara-gara Yap Kun Liong! Pemuda itu telah melakukan penyelewengan besar, Ayah. Dia telah menjadi seorang buronan dan kini dikejar-kejar oleh pasukan pemerintah. Pendeta Lama itu muncul menolong Kun Liong pada saat dia sudah dikepung dan hampir dapat tertawan.”

Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Keng Hong dan isterinya mendengar berita ini.

“Mengapa? Apa yang telah dilakukannya?” Biauw Eng bertanya dengan mata terbelalak penasaran.

“Dia telah menentang Pangeran Han Wi Ong, melarikan calon isteri pangeran itu.” Cepat-cepat Giok Keng menceritakan pula keadaan Yap Kun Liong bersama seorang gadis cantik jelita yang telah menjadi nikouw, calon isteri pangeran yang agaknya dilarikan oleh Kun Liong. Dalam penuturan ini, beberapa kali dia dibantu oleh Liong Bu Kong yang menuturkan betapa mereka berdua melihat pasukan pemerintah yang dipimpin oleh Pangeran Han Wi Ong dan dibantu oleh beberapa orang perwira dan orang-orang kang-ouw sedang mengeroyok Yap Kun Liong. Setelah mereka berdua mendengar bahwa Kun Liong melarikan calon isteri Pangeran Han Wi Ong, mereka segera membantu pasukan. Akan tetapi ketika Kun Liong sudah hampir tertangkap, muncullah kakek Lama yang amat sakti itu, yang membantu Kun Liong bersama dara yang dilarikannya itu sehingga mereka berdua dapat melarikan diri, dan kakek itu sendiri pun lalu pergi setelah membunuh banyak perajurit.

Mendengar penuturan mereka, Keng Hong dan Biauw Eng terkejut bukan main sampai mereka berdua tidak mampu berkata-kata. Hampir mereka tidak dapat percaya bahwa Yap Kun Liong telah melakukan perbuatan demikian rendahnya, melarikan calon isteri orang sehingga menjadi orang buruan pemerintah! Kalau bukan puteri mereka yang bercerita, tentu mereka tidak mau percaya. Namun, hati Keng Hong menjadi tak senang mengingat bahwa puterinya ikut pula mengeroyok Kun Liong. Bukankah pemuda itu menjadi calon suaminya?

“Giok Keng!” tiba-tiba pendekar ini membentak dan suaranya terdengar dingin menyeramkan. “Boleh jadi saja Kun Liong melakukan penyelewengan, akan tetapi mengapa engkau ikut pula mengeroyoknya? Hal itu menunjukkan kelancanganmu. Lebih mengherankan hati kami lagi, mau apa engkau mengajak dia ini ke Cin-ling-san? Bukankah dia ini anak Kwi-eng Niocu?”

Pertanyaan seperti ini, bahkan yang lebih lagi, sudah diduga oleh Giok Keng dan dia sudah siap menghadapinya. Maka begitu mendengar percakapan beralih mengenai diri Bu Kong, dia lalu menjawab, “Ayah, memang benar dia adalah Liong Bu Kong, akan tetapi dia hanyalah putera angkat dari mendiang Kwi-eng Niocu. Biarpun Kwi-eng Niocu terkenal sebagai seorang satuk sesat, akan tetapi dia ini tidak seperti ibu angkatnya, ayah. Diam-diam dia menentang ibu angkatnya, karena itu ketika sarang ibu angkatnya diserbu, dia cepat pergi menyelamatkan pusaka-pusaka...”

“Harap Ji-wi Locianpwe sudi mengampunkan teecu yang berani datang menghadap,” terdengar Bu Kong berkata dengan suara halus dan penuh penghormatan. “Memang tidak teecu sangkal bahwa ibu angkat teecu adalah Ketua Kwi-eng-pang yang selalu melakukan pelanggaran. Teecu sendiri sebagai anak angkat tentu saja terpaksa dan tidak berani membantah kehendak ibu angkat teecu. Akan tetapi setelah kini ibu angkat teecu tewas, teecu bersumpah ingin mulai hidup baru yang bersih, dan untuk membuktikannya, teecu sudah membawa dua buah pusaka Siauw-lim-pai yang akan teecu kembalikan.”

“Harap Ayah dan Ibu tidak ragu-ragu lagi. Aku sudah menyaksikan sendiri betapa dia melawan Thian-ong Lo-mo ketika hendak mengambil pusaka, bahkan dia telah menewaskan lima orang anggauta Kwi-eng-pang. Dia tidaklah jahat seperti ibu angkatnya.”

“Giok Keng...!” Cia Keng Hong membentak, suaranya berwibawa sekali sehingga Giok Keng dan Bu Kong terkejut setengah mati, wajah mereka berubah pucat. “Apa kehendakmu maka engkau menceritakan ini semua kepadaku? Mengapa kau bicara seperti seorang hendak menjual sebuah benda dan membujuk kami menyukai benda itu? Mengapa engkau membela bocah ini?”

Wajah Giok Keng pucat. Dia memang sudah memperhitungkan bahwa dia akan terpaksa untuk mengaku, akan tetapi tidak disangkanya bahwa ketika tiba saatnya, ia merasa begitu gugup. Dengan suara lirih dia lalu menjawab, “Ayah... aku sudah bicara dengan Kun Liong... tentang perjodohan... kami berdua sudah saling setuju untuk membatalkan ikatan jodoh itu karena antara dia dan aku tidak ada rasa cinta... dan... dan aku hanya mau dijodohkan dengan orang yang kucinta, Ayah. Harap Ayah dan Ibu ampunkan...”

Wajah pendekar Cia Keng Hong menjadi merah sekali. Seperti pandang mata seekor burung rajawali hendak menyambar korbannya, dia memandang puterinya itu dan hanya dengan pengerahan tenaga hatinya yang kuat saja maka dia masih mampu mengeluarkan suara bertanya, “Siapa itu orang yang kaucinta?”

Giok Keng yang memang sudah “nekat” ini tidak menjawab, hanya melirik kepada Liong Bu Kong. Isyarat ini diterima oleh Bu Kong dan sambil berlutut dan menyembah-nyembah dia berkata, “Mohon Locianpwe sudi mengampunkan kelancangan teecu. Sesungguhnya, di antara puteri Locianpwe, Cia Giok Keng dan teecu, kami berdua telah... salin mencinta...”

Teriakan yang melengking nyaring keluar dari kerongkongan Keng Hong dan tubuhnya sudah berkelebat ke depan. Dalam kemarahannya yang meluap-luap, ucapan pemuda itu dianggapnya merupakan penghinaan besar maka dia sudah menerjang ke depan dan memukul pemuda yang berlutut di depannya. Pukulan maut!

“Dess...!” Tubuh Giok Keng terpental dan terguling-guling, lengan tangannya terasa nyeri sampai menusuk jantung ketika dia tadi menangkis pukulan ayahnya yang ditujukan kepada kekasihnya. Akan tetapi dia lupa akan rasa nyeri dan kekerasan hatinya bangkit. Dengan mata bernyala-nyala dan wajah merah dia meloncat bangun, sekali meloncat berada di depan ayahnya dan dengan suara menentang dan nyaring dia berkata, “Ayah keterlaluan! Mengapa hendak membunuh Liong Bu Kong yang tidak berdosa? Dia cinta kepadaku, dan aku cinta kepadanya! Apakah salahnya dengan ini? Kalau Ayah hendak membunuh, bunuhlah aku!”

Mata Cia Keng Hong terbelalak. Hampir dia tidak percaya akan pendengarannya sendiri. Puterinya telah menantangnya untuk dibunuh! “Kau... kau...! Memang lebih baik melihat kau mati...!”

“Tahan...!” Biauw Eng sudah melompat seperti seekor singa betina ke depan suaminya, kepalanya dikedikkan, matanya seperti sepasang bintang, mukanya merah seperti mengeluarkan bara api, dadanya diangkat penuh tantangan. “Mungkinkah kau ini suamiku yang begitu kuat dan tahan segala derita? Kau hendak membunuh anak sendiri? Benarkah ini?” Suara ini bercampur dengan isak dan Biauw Eng sudah menangis sambil berdiri menantang suaminya.

Mendengar ucapan isterinya dan menyaksikan sikap Biauw Eng, Keng Hong merasa seolah-olah disiram air dingin kepalanya. Hampir dia tadi mata gelap. Dengan sedu sedan naik dari dadanya, dia memeluk isterinya, memejamkan mata sebentar, kemudian membuka matanya dan tangan kanannya dengan telunjuk menuding keluar digerakkan tiba-tiba, mulutnya berkata lantang, “Pergi...! Engkau bukan anakku lagi! Aku tidak peduli lagi apa yang akan kaulakukan. Pergi...!”

Dapat dibayangkan betapa hancur hati Giok Keng. Tadinya dia menentang dan menantang ayahnya. Akan tetapi menyaksikan kedukaan dan kehancuran hati ayah bundanya, kini melihat sikap ayahnya, mendapat kenyataan bahwa dia diusir, tidak diaku anak lagi, hal ini lebih menyakitkan hati daripada dibunuh!

“Ayah...!” Dia menjerit dan menjatuhkan diri berlutut di dekat Bu Kong yang hanya memandang dengan wajah pucat.

“Jangan menyebut aku ayah! Pergilah dan bawalah semua barangmu, bawa semua harta kami secukupmu. Pergi dan jangan kembali!” Keng Hong berkata lagi, kini suaranya dingin dan sikapnya tidak keras, namun hal ini malah makin menusuk perasaan karena selamanya Giok Keng belum pernah melihat sikap dan mendengar suara ayahnya sedingin itu.

“Ibu...!” Dia tersedu memanggil ibunya.

Biauw Eng masih menangis dalam pelukan suaminya. Dia maklum betapa hancur hati suaminya menghadapi peristiwa ini. Dia cinta kepada puterinya, tentu saja, akan tetapi dia lebih cinta kepada suaminya. Biarpun dia merasa kasihan kepada Giok Keng, akan tetapi dia lebih kasihan kepada suaminya. Giok Keng sudah ada yang punya, sedangkan suaminya hanya mempunyai dia!

“Giok Keng, pergilah dulu... pergilah... jangan bicara apa-apa lagi...” katanya terisak.

Bu Kong mengerti akan isyarat dari calon ibu mertuanya ini. Memang dalam keadaan seperti itu, selagi pendekar sakti itu dibakar kemarahan, tidak mungkin dapat bicara lagi. Dia lalu membimbing kekasihnya bangun, menjura sebagai tanda penghormatan lalu menuntun Giok Keng yang menangis tersedu-sedu itu keluar dari dalam taman, diikuti pandang mata Keng Hong yang terbelalak marah dan pandang mata sayu dari Biauw Eng.

Setelah bayangan kedua orang muda itu lenyap barulah Keng Hong merasa betapa lemas tubuhnya. Dia menjatuhkan diri terduduk di atas bangku, duduk diam seperti arca, matanya tak pernah berkedip akan tetapi dua butir air mata keluar dari pelupuk matanya, perlahan-lahan dua butir air mata ini mengalir turun melalui kedua pipinya.

Melihat suaminya seperti itu, Biauw Eng menubruknya dan menangis sesenggukan di atas dada suaminya. Tanpa diduga-duga, seperti datangnya hujan tanpa mendung, kedukaan hebat melanda suami isteri ini. Mereka dilanda duka dan kecewa hebat sekali sehingga hampir terjadi peristiwa hebat, hampir terjadi malapetaka ketika ayah ini hampir membunuh puterinya sendiri!

Memang demikianlah hidup! Manusia, hampir tidak disadarinya lagi karena telah menjadi tradisi dan kebiasaan, hidup dalam suasana kepalsuan. Mata manusia seolah-olah buta akan kenyataan, dibutakan oleh nafsu keinginan mementingkan diri pribadi. Kita hidup tanpa membuka mata, dituntun oleh nafsu keinginan kita yang membentuk si aku sehingga setiap gerak, setiap perbuatan, dan setiap sikap selalu mencerminkan kekuasaan si aku yang hendak menang sendiri. Bahkan dalam cinta, si aku berkuasa sehingga cinta menjadi sebutan hampa, menjadi kepalsuan yang diselubungi kata-kata mutiara yang serba indah! Seorang pendekar besar seperti Cia Keng Hong, kini merasa berduka. Karena apa? Kalau dia ditanya, tentu dia mengatakan bahwa dia berduka karena puterinya! Tentu dia akan menjawab bahwa karena puterinya memilih anak datuk sesat sebagai kekasih dan calon suami, maka dia berduka! Benarkah demikian? Benarkah dia berduka demi Giok Keng? Tidakkah sesungguhnya dia berduka demi dirinya sendiri? Berduka karena keinginan hatinya sendiri tidak terpenuhi. Karena puterinya memilih seorang pria yang tidak berkenan di hatinya? Benarkah dia sebagai seorang bapak mencinta anaknya kalau dia ingin memaksakan kehendak hatinya agar ditaati anaknya! Cintakah itu kalau tadi dia sampai hampir membunuh anaknya? Dan kini dia berduka, menangis, kecewa! Bukankah kecewa dan berduka karena nafsu keinginan di hatinya tidak tercapai? Sebenarnya bukan menangisi Giok Keng, melainkan menangisi dirinya sendiri?

Semua ini dapat kita lihat dengan mata dan hati terbuka sebagai suatu kenyataan. Akan tetapi, betapa kita hidup bergelimang kepalsuan sehingga kenyataan ini pun sukar diterima! Betapa pandainya si aku ini bersandiwara sehingga setiap perbuatan yang sesungguhnya demi si aku dapat disulap seolah-olah bukan demikian. Betapa kita telah dicengkeram sepenuhnya oleh si lapuk tua “aku” yang bukan lain adalah pikiran kita, pikiran gudang pengalaman masa lalu, sehingga mata kita tertutup oleh bayangan masa lalu, tidak dapat lagi menikmati kenyataan yang baru karena segala sesuatu diukur dengan perbandingan masa lalu, enak tidak enak, senang tidak senang bagi si aku! Demikian menebalnya pemupukan si aku ini sehingga setiap sesuatu yang nampak maupun yang tidak nampak, segala apa di dunia ini, dari debu sampai kepada sebutan Tuhan, ditujukan semata-mata demi si aku, demi kepentingan aku. Demikian pula cinta, juga demi aku!

“Kau sungguh terlalu, masa begitu tega terhadap Keng-ji...” Biauw Eng menangis. “Sekarang kau telah mengusirnya... ah, bagaimana akan jadinya dengan dia?”

“Hemmm, anak itu terlalu manja!” Keng Hong berkata dengan kemarahan yang masih membakar hati, mengatasi kedukaan dan kekecewaannya. “Terlalu memandang rendah orang tua. Mana boleh dia membatalkan ikatan jodoh begitu saja? Mana boleh dia membutakan mata memilih pemuda golongan sesat menjadi calon suaminya? Selain dia akan menghancurkan hidupnya sendiri, juga dia akan menyeret nama baik orang tua ke lubang pecomberan!”

Biauw Eng mengangkat muka, matanya bersinar-sinar. “Lupakah engkau? Ingatlah baik-baik, pergunakan pikiranmu dengan adil dan jujur! Siapakah aku ini? Bukankah aku pun puteri Lam-hai Sin-ni, seorang datuk kaum sesat. Apakah Lam-hai Sin-ni kalah tersohor dengan Kwi-eng Niocu? Ingat, aku pun seorang puteri datuk sesat, aku pun seorang dari golongan hitam! Dan engkau toh sudah memperisteri aku!”

“Aihhh... engkau lain lagi...”

“Apanya yang lain? Aku tidak hendak mengatakan bahwa aku suka mempunyai mantu seperti pemuda putera Kwi-eng Niocu itu!”

“Akan tetapi kalau penolakanmu itu engkau dasarkan bahwa kau merasa derajat puterimu terlalu tinggi dan kau merendahkan seorang dari golongan sesat, kau benar-benar tidak adil! Urusan semestinya ditangani dengan halus. Giok Keng masih hijau dan bodoh, semestinya diberi nasihat dan dibujuk dengan halus, tidak dengan kekerasan seperti itu! Sekarang kau telah mengusirnya, sama saja dengan kau makin melekatkan dia dengan pemuda itu!" Kembali Biauw Eng menangis terisak-isak.

Hati Keng Hong menjadi bingung sekali. Sekarang terbukalah matanya dan dia mau tidak mau harus membenarkan ucapan isterinya. Isterinya juga puteri seorang datuk kaum sesat yang lebih tersohor dan lebih tinggi tingkatnya daripada Kwi-eng Niocu, namun buktinya, puterinya tidaklah sesat seperti ibunya (baca ceritaPedang Kayu Harum ). Kalau sekarang dia membenci Liong Bu Kong hanya karena ibunya adalah datuk kaum sesat, sungguh tidak adil. Apalagi Kwi-eng Niocu bukanlah ibu kandung pemuda itu, melainkan ibu angkat. Siapa tahu kalau puterinya itu lebih benar daripada dia! Akan tetapi puterinya telah ditunangkan dengan Yap Kun Liongg bantah hatinya! Yap Kun Liong adalah putera sumoinya yang tewas secara mengenaskan. Masa sekarang tali ikatan jodoh yang djusulkan itu boleh diputuskan begitu saja?

“Aku mau pergi mencari Kun Liong!” Tiba-tiba dia berkata.

Biauw Eng mengangkat mukanya yang basah dan merah. “Mau apa mencari dia?”

“Dia harus mencari penjelasan! Kalau benar dia membatalkan ikatan jodoh, berarti dia tidak menghargai kita! Kalau benar dia melarikan calon isteri Pangeran Han Wi Ong, dia patut kuberi hajaran!”

“Akan tetapi kita tahu bahwa Han Wi Ong adalah seorang pangeran tua yang terkenal mata keranjang!”

“Mata keranjang atau tidak, sama sekali tidak ada hubungannya! Kalau Kun Liong melarikan calon isteri orang, berarti dia itu melakukan perbuatan sesat dan aku sebagai supeknya wajib menghajarnya! Pula, aku akan menyelidiki tentang Kok Beng Lama!”

Melihat sikap suaminya yang terbenam dalam kemarahan dan kedukaan, Biauw Eng tidak kuasa membantah. Pula, dia maklum bahwa biarpun suaminya itu tidak mengatakannya, tentu suaminya itu akan menyusul dan mencari Giok Keng. Dia tahu betapa suaminya mencinta puteri mereka itu dan suaminya yang telah mengusir puterinya itu hanya terdorong oleh kemarahan, akan tetapi sama sekali tidak akan membencinya.

Setelah Pendekar Sakti Cia Keng Hong pergi, Biauw Eng menanti di Cin-ling-san dengan hati gelisah sekali memikirkan puterinya dan suaminya. Juga para anggauta Cin-ling-pai yang tentu saja mendengar akan peristiwa hebat yang menimpa keluarga guru atau ketua mereka menjadi prihatin, membuat suasana di Cin-ling-san nampak sunyi.

“Go-bi Thai-houw...! Keluarlah dan mari tandingi pinceng! Mari bertanding sampai selaksa jurus! Hendak kulihat sampai di mana kepandaian Go-bi Thai-houw yang kabarnya sama dengan dewi, ha-ha-ha!”

Kakek raksasa gundul berjubah merah itu menantang-nantang sambil berdiri di atas batu gunung yang sebesar rumah. Suaranya bergelora dan bergema di empat penjuru, terdengar dari permukaan Pegunungan Go-bi-san. Beberapa kali dia mengulangi tantangannya itu dengan suara yang mengandung khi-kang kuat bukan main!

Karena tidak ada yang menjawab pertanyaannya, kakek ini sambil tertawa-tawa melayang turun dari atas batu besar, kemudian melangkah lebar menuju ke puncak Pegunungan Go-bi-san. Tak lama kemudian tibalah dia di depan sarang tempat tinggal Kim Seng Siocia dan para anak buahnya! Sambil bertolak pinggang dia berdiri memandangi bangunan megah itu dan tertawa,

“Ha-ha-ha-ha, tidak salah lagi! Di sinilah tentu tempat tinggal Go-bi Thai-houw yang disohorkan orang itu! Haii, Go-bi Thai-houw, mengapa engkau begitu pengecut dan tidak berani keluar melayani tantanganku?”

“Kakek berotak miring!” Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan keluarlah Kim Seng Siocia, wanita gendut yang lihai itu diiringi semua anak buahnya yang berjumlah lima puluh orang, dipimpin oleh Acui dan Amoi, dua orang pembantunya yang setia dan yang paling lihai, merupakan murid-murid kepala yang menjadi tangan kanannya.

Melihat munculnya barisan wanita ini, mengenal Kim Seng Siocia yang pernah mengeroyoknya ketika dia menyelamatkan Kun Liong dan Hong Ing, kakek itu tertawa bergelak, “Ha-ha-ha, tentu ini barisan dari Ratu Go-bi! Hayo, suruh keluar ratumu Go-bi Thai-houw!”

Kim Seng Siocia meloncat ke depan dan menudingkan senjata cambuk hitamnya sambil membentak, “Kakek gila, mau apa engkau mencari mendiang Thai-houw?”

“Hah...? Dia sudah mampus?”

“Thai-bouw sudah meninggal dunia belasan tahun yang lalu dan aku, Kim Seng Siocia adalah pewarisnya. Mengapa engkau menantang-nantang Thai-houw?”

Kakek itu menarik napas panjang, kelihatannya menyesal sekali. “Ahhhh, aku terlambat! Sialan benar kalau mereka semua sudah mampus! Lama sudah pinceng (aku) mendengar bahwa di dunia ini, orang-orang yang paling pandai hanyalah Sin-jiu Kiam-ong, Go-bi Thai-houw, Bun Hwat Tosu, dan Tiang Pek Hosiang! Jangan-jangan yang lain itu pun sudah mampus. Lalu siapa lawanku di dunia ini?”

Kim Seng Siocia sudah maklum akan kelihaian kakek pendeta Lama yang seperti gila ini, akan tetapi karena dia dibantu oleh semua anak buahnya, dan karena dia menganggap junjungannya, Go-bi Thai-houw dipandang rendah dan dihina maka dia menjadi marah sekali.

“Kok Beng Lama! Engkau terlalu sombong! Biarpun Thai-houw sudah meninggal dunia, akan tetapi aku, pewaris satu-satunya, tidak gentar melawanmu!” Setelah berkata demikian, Kim Seng Siocia menggerakkan cambuknya dan terdengar suara ledakan-ledakan kecil di udara.

“Jadi engkau murid satu-satunya? Ha-ha-ha, tidak ada gurunya, melihat tingkat muridnya pun sudah dapat menilai sampai di mana kepandaian gurunya!” Kok Beng Lama melangkah maju memapaki gulungan sinar hitam dari cambuk itu!

“Tar-tar-tar... wuuuutttt...!” Gulungan sinar hitam itu meledak-ledak dan menyambar-nyambar. Bukan main lihainya senjata ini, karena selain panjang dan terbuat dari bahan yang aneh dan kuat sekali, juga ujung cambuk ini mengikat sebatang piauw yang runcing tajam dan beracun.

“Ha-ha-ha, bagus, bagus! Keluarkan semua kepandaianmu, Gendut!” Pendeta Lama itu berkata dengan gembira.

Pertandingan ini segera membuktikan betapa keadaan mereka berat sebelah. Kim Seng Siocia mengeluarkan semua kepandaiannya yang dia dapatkan dari kitab-kitab peninggalan Go-bi Thai-houw, tidak hanya cambuknya yang menyambar-nyambar juga tangan kirinya yang mengandung tenaga sin-kang amat kuat itu menyelingi serangan cambuknya. Namun, pendeta Lama itu hanya tertawa-tawa saja, menggerakkan kedua lengannya dan ujung lengan bajunya melayang-layang menangkis semua serangan lawan. Hebatnya, setiap kali cambuk bertemu ujung lengan baju, ujung cambuk itu terpental keras, dan setiap kali tangan kiri wanita gendut itu dicium ujung lengan baju, Kim Seng Siocia meringis kesakitan dan seluruh lengan kirinya tergetar hebat!

Tiba-tiba dengan gerakan yang tidak terduga-duga, Kim Seng Siocia menggerakkan cambuknya berputaran dan ujung cambuk yang ada piauwnya itu menyambar ke arah perutnya sendiri! Berbareng dengan itu, tangan kirinya juga mencengkeram ke arah kepalanya sendiri.

“Heiii..., gilakah...?”

Baru saja Kok Beng Lama berseru dan tubuhnya melayang ke depan untuk mencegah wanita gendut itu “membunuh diri” secara aneh tiba-tiba cambuk membalik dan ujung cambuk itu melepaskan piauw yang terikat. Piauw beracun meluncur secepat kilat menyambar ke arah leher Kok Beng Lama, sedangkan tangan kiri wanita lihai itu sudah membalik pula, mengirim pukulan yang ganas ke arah pusar lawan yang kaget setengah mati itu!

“Plakkk... desss...!” Piauw bertemu dengan telapak tangan Kok Beng Lama dan pukulan tangan kiri Kim Seng Siocia tepat mengenal pusar pendeta Lama itu. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya wanita gendut itu melihat bahwa selain piauwnya tidak melukai tangan lawan, juga pukulannya mengenai bagian tubuh lunak dan yang sekaligus membuat sin-kang yang terkandung di tangan kirinya itu “tenggelam” dan tak berbekas. Selagi dia terheran dan terkejut, terdengar kakek itu berseru, “Ilmu siluman...!” dan wanita gendut itu tidak keburu mengelak lagi ketika ada sinar hitam menyambar dan terdengarlah jeritan melengking mengerikan ketika piauwnya sendiri itu menghunjam dan menembus pelipis kepalanya. Kim Seng Siocia masih berusaha untuk menendangkan kaki kanannya, akan tetapi dengan mudah Kok Beng Lama menangkis tendangan ini, bahkan sekaligus dia menangkap kaki itu dan mendorong tubuh lawannya sampai terlempar beberapa meter jauhnya! Kim Seng Siocia tewas seketika! Anak buahnya memandang dengan mata terbelalak kaget. Tak mereka sangka sama sekali bahwa ketua mereka, juga majikan atau guru mereka, yang mereka anggap memiliki ilmu kepandaian luar biasa dan tiada bandingannya itu, kini tewas sedemikian mudahnya di tangan kakek pendeta Lama itu!

Acui dan Amoi yang amat mencinta majikan mereka, melihat Kim Seng Siocia tewas, menjadi marah dan berduka sekali. Mereka sudah mencabut pedang masing-masing dan dengan teriakan marah kedua orang wanita muda yang cantik ini sudah menerjang maju mengeroyok Kok Beng Lama, dibantu oleh empat orang teman mereka yang terdekat.

Melihat dia dikeroyok enam orang wanita muda, pendeta Lama itu kelihatan jemu dan dengan marah dia menggerakkan kedua lengannya ke kanan kiri sambil membentak, “Pergilah kalian!” Terdengar suara “plak-plak!” susul-menyusul dan dengan jerit tertahan enam orang itu, termasuk Acui dan Amoi yang lihai, roboh dan tak mungkin dapat bangun kembali karena kepala mereka retak-retak disambar ujung lengan baju kakek yang luar biasa lihainya itu!

“Mundur kalian! Apakah kalian sudah bosan hidup?” Tiba-tiba terdengar suara bentakan halus dan muncullah seorang nenek bertongkat butut hitam, berpakaian hitam pula dan berwajah bengis. Dia ini bukan lain Go-bi Sin-kouw! Seperti diketahui nenek ini adalah guru Pek Hong Ing dan Lauw Kim In, dan tinggal di atas sebuah di antara puncak-puncak Go-bi-san. Seperti juga Kim Seng Siocia, dia mendengar teriakan yang merupakan tantangan dari Kok Beng Lama, akan tetapi dia tidak melayani karena bukan dia yang ditantang, pula dia maklum betapa lihainya kakek itu. Betapapun juga, dia ingin tahu dan karena merasa bahwa dia dapat menanggulangi kakek sakti itu, mengikuti dan menyaksikan kakek itu membunuh Kim Seng Siocia, Acui, Amoi dan empat orang murid lainnya. Melihat bahwa masih ada puluhan orang bekas anak buah Kim Seng Siocia hendak maju mengeroyok, dia cepat mencegat mereka karena dia mempunyai niat yang dianggapnya baik sekali melihat kematian Kim Seng Siocia dan para pembantu utamanya. Dua orang muridnya telah pergi. Pek Hong Ing telah murtad, melawan kehendaknya, tidak mau menjadi isteri Pangeran Han Wi Ong, bahkan telah menjadi nikouw dan melarikan diri dengan pemuda gundul itu. Sedangkan murid pertamanya, Lauw Kim In, juga minggat entah ke mana. Cita-citanya untuk menjadi mertua seorang pangeran gagal, maka kini dia melihat kesempatan yang baik sekali. Dia akan memperoleh kedudukan tinggi dan mewarisi harta benda yang banyak jika dia menggantikan Kim Seng Siocia yang sudah mati! Karena inilah dia mencegah sisa anak buah Kim Seng Siocia yang diharapkan kelak menjadi anak buahnya, untuk tidak nekat melawan pendeta Lama yang lihai itu.

Kok Beng Lama memutar tubuhnya menghadapi Go-bi Sin-kouw. Dia mengenal pula nenek ini yang pernah mengeroyoknya di tepi Pantai Pohai.

“Ha-ha-ha, apakah engkau hendak mewakili Go-bi Thai-houw pula melawan pinceng?”

Go-bi Sin-kouw menggerakkan tangan kirinya menyangkal. “Aku Go-bi Sin-kouw tidak pernah bermusuhan dengan Kok Beng Lama. Kita adalah dua orang tua yang sudah kenyang mengalami pertandingan, mengapa seperti anak kecil saja hendak mengadu kepandaian?”

“Ha-ha-ha-ha! Omitohud... wanita memang pandai menyelimuti perasaannya sendiri...!” Dengan ucapan ini Kok Beng Lama hendak menyindir bahwa nenek itu pandai menyembunyikan rasa jerihnya untuk bertanding dengannya. “Habis, mau apa engkau datang menemuiku?”

“Kok Beng Lama, aku tadi mendengar suaramu, dan aku mengenal namamu ketika untuk pertama kali kau muncul di tepi Pohai. Aku hanya hendak memperlihatkan sebuah benda. Lihat ini baik-baik, apakah engkau mengenal benda ini?” Sambil berkata demikian, Go-bi Sin-kouw menggunakan tangan kanan mengambil sebuah benda yang mengkilap dari dalam saku bajunya, dan mengangkat benda itu tinggi-tinggi agar dapat terlihat oleh Kok Beng Lama.

Benda itu adalah sehelai kalung emas terukir indah dan mainannya mcrupakan sebuah ukir-ukiran arca Buddha kecil bermata indah terbuat dari mutiara biru!

Ketika Kok Beng Lama melihat benda ini, dia mengeluarkan seruan tertahan, mukanya berubah pucat dan tiba-tiba dia menerjang ke depan dengan kedua lengan terpentang dan kedua tangannya membentuk cakar setan!

Go-bi Sin-kouw terkejut sekali, cepat nenek ini menggerakkan tongkat bututnya menyambut dengan tusukan dahsyat ke arah dada kakek pendeta berjubah merah itu.

“Plak! Plak!” Tangan kanan Kok Beng Lama sudah menangkap ujung tongkat, sedangkan tangan kirinya telah mencengkeram tangan kanan nenek yang menggenggam kalung itu.

“Katakan, dari mana kau mendapatkan benda ini?” Bentak Kok Beng Lama.

Namun dengan senyum menyelimuti rasa nyeri yang membuat seluruh lengan kanannya seperti lumpuh oleh cengkeraman kakek pendeta itu, Go-bi Sin-kouw berkata lirih, “Kaubunuhlah, akan tetapi akulah satu-satunya orang yang akan dapat bercerita tentang Pek Cu Sian...!”

Ucapan ini membuat Kok Beng Lama mencelat mundur seolah-olah ditampar oleh benda keras.

“Pek... Cu... Sian... ? Di... di mana dia...?” Dia terbelalak memandang nenek itu dengan sinar mata penuh permohonan, tubuhnya gemetar karena hatinya tegang bukan main.

“Dia kudapati terluka parah, tubuhnya penuh luka-luka dan sebelum meninggal dunia, dia meninggalkan benda ini dan puterinya...”

lanjut ke Jilid 072-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar