Jumat, 21 Februari 2014

Dewi Maut Jilid 34

Dewi Maut Jilid 34

<--kembali

Setiap hari mereka mengirim isyarat panah berapi itu dan sebelum mereka tiba di istana pasukan itu telah bertambah terus, didatangi oleh pasukan-pasukan Kim-i-wi lain yang tersebar ke mana-mana dan akhirnya ketika rombongan itu tiba di istana, yang mengiringkan In Hong tidak kurang dari seratus orang! Dara itu sendiri diberi seekor kuda yang pilihan dan di sepanjang perjalanan memperoleh pelayanan sebagai seorang puteri saja sehingga In Hong yang sudah biasa hidup bebas dan menghadapi kesukaran-kesukaran sampai merasa sungkan sendiri. Akan tetapi karena dia tahu bahwa perlakuan dan sikap mereka itu adalah untuk memenuhi perintah kaisar, maka diapun tidak menolak. Kalau mereka kemalaman di jalan, setiap pembesar-pembesar setempat menyambutnya dengan penuh penghormatan, menjamunya dan memberinya kamar yang terbaik dari gedung mereka.

Akhirnya In Hong dibawa oleh panglima pengawal menghadap kaisar. Begitu melihat dara perkasa ini muncul di ruangan, kaisar sudah tersenyum lebar dan melambaikan tangannya dengan girang, sehingga para menteri dan pembesar yang hadir di situ menjadi terheran-heran.

“Yap In Hong lihiap...! Alangkah girang hati kami mendengar akan kedatanganmu!”

In Hong adalah seorang gadis yang sejak kecil hidup di dunia kang-ouw dan tentu saja dia tidak mengenal tata tertib istana, tidak pula mengenal kesusilaan yang sudah menjadi tradisi di dalam istana kaisar. Akan tetapi dia seorang yang cerdas, maka biarpun dia tidak tahu akan kebiasaan di situ, dia segera menjatuhkan diri berlutut dan berkata. “Semoga paduka selamat, bahagia, dan berusia panjang!”

Tiba-tiba kaisar yang kini agak gemuk dan wajahnya segar berseri itu tertawa bergelak dan kembali semua menteri saling pandang dengan heran. “Ha-ha-ha, Hong-lihiap, dari manakah engkau memperoleh kepandaian memberi hormat seperti itu! Bangkitlah dan duduklah di atas bangku yang sudah tersedia itu. Kita bicara seperti dahulu ketika kita bersama lolos dari benteng Sabutai dan keluar masuk hutan!”

Wajah In Hong menjadi merah dan dia bangkit, menjura lalu duduk di atas bangku sambil tersenyum. “Hamba hanya ikut-ikut saja, sri baginda. Kalau keliru harap tidak ditertawakan dan diampunkan.”

“Tidak, engkau adalah tamuku, penolongku, bahkan kuanggap saudaraku sendiri, Hong-lihiap! Semenjak aku kembali ke sini, aku selalu teringat kepadamu dan kusuruh mencari ke mana-mana. Aku minta kepadamu, lihiap, agar engkau suka tinggal di istana ini, sebagai seorang saudaraku dan untuk jasa-jasamu kuangkat engkau menjadi Puteri Pelindung Kaisar yang juga kuanggap sebagai adikku sendiri. Engkau berhak keluar masuk di selurub istana ini dan berhak tinggal di sini selama yahg engkau sukai.”

Kembali semua menteri melongo mendengar ini, akan tetapi karena merekapun sudah mendengar bahwa pendekar wanita bernama Yap In Hong inilah yang telah membebaskan kaisar dari tawanan Raja Sabutai, maka mereka hanya dapat mengangguk. Di waktu kaisar menjadi tawanan dan terancam bahaya, orang sekerajaan tidak ada yang mau atau berani menolong kecuali dara ini! Sudah sepatutnya kalau kini kaisar membalas jasanya yang amat besar itu.

In Hong merasa terharu juga oleh limpahan perasaan seperti itu, akan tetapi dia masih bertanya, “Tentu hamba tidak terikat di sini, bukan?”

Kaisar tersenyum lebar. “Tidak, lihiap. Akan tetapi kuharap dengan sungguh agar engkau dapat selamanya tinggal di sini, bahkan kelak kalau engkau sudah bersuami, suamimu akan kami beri pangkat dan kedudukan tinggi agar engkau selalu dekat dengan kami.”

In Hong lalu menghaturkan terima kasih dan kaisar lalu memanggil kepala pengawal dalam istana dan memerintahkan panglima ini untuk mengantar In Hong ke dalam istana dan memberinya sebuah gedung yang serba indah dan lengkap di bagian keputren.

Mulai hari itu, kehidupan In Hong berobah sama sekali! Biarpun dia tidak suka bersolek, dan tidak ingin memakai pakaian yang indah-indah, akan tetapi setelah semua pakaian tersedia dan dia tidak ingin membikin malu kaisar karena dia dianggap sebagai seorang puteri, atau adik angkat kaisar sendiri, terpaksa In Hong mengganti pakaiannya yang sederhana dengan pakaian yang serba indah gemerlapan! Dan diapun menduga bahwa di balik semua ini, tentu ada suatu maksud dari kaisar dan dia menduga bahwa hal itu tentulah ada hubungannya dengan Khamila! Karena, bukankah hanya dia yang tahu bahwa kaisar ini dengan isteri Raja Sabutai itu terdapat jalinan hubungan yang amat mesra?

Dugaannya memang tepat karena beberapa hari kemudian, ketika terdapat kesempatan kaisar bertemu berdua saja dengan dia, kaisar berkata, “Hong-lihiap, aku lebih suka menyebutmu lihiap daripada adik atau puteri, karena sebutan ini mengingatkan aku akan pengalaman-pengalaman kita dahulu. Engkau tentu tahu, lihiap, bahwa hadirnya engkau di dalam istana ini, di dekatku membuat aku merasa seolah-olah diapun tidak jauh dariku.”

In Hong mengangkat muka memandang wajah kaisar yang kelihatan terharu dan berduka itu. Dia mengangguk akan tetapi tidak tahu harus berkata apa.

“Aku hanya mengharap, lihiap, engkau sebagai satu-satunya orang yang tahu akan rahasia kami itu, selain tidak akan membocorkan rahasia ini, juga kelak sekali waktu engkau dapat mewakili aku untuk menengok... anak itu di sana.”

In Hong mengangguk-angguk. Dia mengerti, dan mudahlah menduga siapa yang dimaksudkan dengan anak itu. Tentu anak yang dulu dikandung oleh Khamila.

“Harap paduka jangan khawatir. Sewaktu-waktu hamba akan memenuhi perintah paduka.”

Demikianlah In Hong kini menjadi seorang puteri yang bebas keluar masuk di seluruh bagian istana itu, dihormati oleh semua pengawal, pelayan dan ponggawa istana. Kalau tadinya ada yang menduga bahwa pendekar wanita yang cantik itu menjadi kekasih kaisar, kini mereka itu keliru dan ternyata bahwa benar-benar kaisar melakukan kebaikan itu untuk membalas jasa. Akan tetapi, karena sikap In Hong yang tidak sombong, bahkan kini dara itu mempelajari segala macam kebiasaan di istana, dan mulai dapat merobah sifatnya yang tadinya dingin, kaku dan ganas, di samping berita akan kelihaian dara itu, semua orang merasa suka kepadanya.

Tio-twako...!”

“Eh, Tio-twako datang...!”

Kwi Beng dan Kwi Eng yang sedang duduk di serambi depan rumah mereka di Yen-tai, meloncat dengan girang dan lari ke pekarangan menyambut kedatangan seorang pemuda yang tinggi kurus, bersikap gagah dan berpakaian sederhana, berwarna kuning dan yang memasuki pekarangan itu dengan sikap ragu-ragu. Pemuda itu bukan lain adalah Tio Sun. Begitu bertemu dan melihat wajah Maria de Gama atau Souw Kwi Eng, sepasang mata Tio Sun bersinar-sinar, kedua pipinya menjadi agak kemerahan dan jantungnya berdebar keras. Betapa hebat rasa rindu hatinya terhadap dara ini, baru sekarang benar-benar terasa olehnya setelah berhadapan muka! Akan tetapi, tentu saja dia menekan perasaannya ini dan cepat menjura. “Beng-te dan Eng-moi, apa kabar? Kuharap kalian baik-baik saja selama ini. Apakah aku tidak mengganggu kalian dengan kunjunganku ini?”

“Ahhhh, Tio-twako kenapa begini sungkan?” Kwi Eng yang memang berwatak bebas dan ramah itu menegur. “Bukankah kita sudah menjadi sahabat-sahabat baik?”

“Tio-twako, marilah masuk menemui ayah dan ibu kami, kemudian kami ingin banyak bicara, banyak bertanya kepadamu, twako.” Kwi Beng lalu menggandeng tangan tamunya itu.

“Aih, dia ingin banyak bertanya tentang enci Hong yang dirindukannya, hi-hik!” Souw Kwi Eng menggoda.

“Hushh, jangan main-main kau!” Kwi Beng membentak dan melototkan matanya. Tio Sun tersenyum menyaksikan dua orang yang wajahnya serupa hanya bedanya pria dan wanita itu berkelakar dan bergurau.

Yuan de Gama dan isterinya, Souw Li Hwa, segera keluar menyambut dengan ramah ketika mendengar akan kedatangan sahabat kedua orang anak mereka itu. Tentu saja mereka telah mendengar penuturan kedua orang anak mereka tentang Tio Sun yang dahulu telah membantu Kwi Eng ketika hendak menyelamatkan Kwi Beng yang diculik oleh Tokugawa. Tentu saja mereka berterima kasih sekali kepada Tio Sun, apalagi ketika mendengar bahwa Tio Sun adalah putera tunggal Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan, Souw Li Hwa makin suka dan ramah kepada pemuda sederhana itu.

“Aku mengenal baik ayahmu itu,” katanya. “Dia seorang pengawal yang amat setia dan berlimu tinggi.”

Tio Sun memandang dengan wajah berseri dan menjura. “Ayah banyak bercerita tentang toanio sebagai murid yang amat lihai dari mendiang Panglima The Hoo.”

“Aih, jangan menyebut aku toanio, Tio Sun. Sebut saja bibi, karena sesungguhnya kita adalah orang-orang sendiri bukan?” kata Souw Li Hwa dengan ramah sambil tersenyum dan biarpun usia nyonya ini sudah sekitar empat puluh tahun, namun dia masih nampak muda dan cantik.

“Terima kasih, bibi.”

“Dan kau boleh menyebut aku paman, Tio Sun.” kata pula Yuan de Gama yang sudah pandai sekali berbahasa daerah sehingga tidak seperti orang asing, sungguhpun kebiruan matanya dan kekuningan rambutnya tentu saja tidak dapat menyembunyikan keasingannya.

Suami isteri itu mengajak Tio Sun bercakap-cakap sejenak dan mereka berdua menyatakan terima kasih mereka kepada pemuda ini yang telah menolong anak-anak mereka ketika mereka dahulu sedang berlayar ke barat. Tio Sun merendahkan diri dan akhirnya menerima penawaran mereka untuk bermalam di rumah mereka selama beberapa hari dan untuk mempererat persahabatan. Kemudian, suami isteri itu meninggalkan tiga orang muda itu untuk bercakap-cakap sendiri.

Setelah ayah bundanya maninggalkan mereka, dan pelayan membawa buntalan pakaian Tio Sun ke sebuah kamar serta mengeluarkan makanan dan minuman, Kwi Eng lalu berkata, “Tio-twako, dia itu sudah tidak sabar menanti ceritamu.”

“Eh, cerita apa?” Tio Sun balas menanya.

“Jangan pura-pura, twako, lihat dia seperti ikan di darat. Lekas kauceritakan apakah kau pernah bertemu dengan enci Hong itu?” Kwi Eng berkata pula.

“Enci Hong...? Ah, tentu kaumaksudkan nona Yap In Hong itu? Hemmm, memang menarik sekali ceritanya.”

Kini Kwi Beng benar-benar tidak dapat menahan keinginan tahunya. “Kau berjumpa dengan dia, twako? Di mana? Bagaimana dengan dia? Bagaimana ceritanya?”

Tio Sun memegang tangan pemuda itu dan diam-diam dia menghela napas panjang. Jelas bahwa pemuda remaja ini yang usianya kurang lebih tujuh belas tahun, telah jatuh cinta kepada Yap In Hong!

“Bertemu sih tidak, akan tetapi nona Yap In Hong...”

“Begitukah namanya? Setahu kami hanya Hong saja...” kata pula Kwi Beng dengan girang. “Yap In Hong... sungguh tepat, namanya memang sesuai dengan orangnya yang...”

“Cantik manis!” Kwi Eng menggoda.

“Yang amat lihai,” Kwi Beng melanjutkan tanpa memperdulikan godaan saudaranya.

Kembali Tio Sun menarik napas panjang, tidak tahan dia melihat gerak-gerik Kwi Eng yang serba membetot semangat dan menarik hatinya. Pandang mata yang biru itu, kerlingnya, senyumnya, gerakan bibirnya, cara dara itu menggerakkan kepala untuk menyingkapkan rambut yang selalu turun menutupi mukanya, ahhhh... sungguh sukar baginya untuk bercerita, apalagi menceritakan orang lain. Kalau boleh, dia hanya akan duduk saja memandangi dara itu yang demikian lincah, demikian jelita, demikian...

“Eh, kenapa kau bengong saja, twako?” tiba-tiba Kwi Beng menegur.

“Dan kau memandang saja padaku, ada apa sih pada wajahku? Apa ada kotorannya?” Kwi Eng sibuk mengusap hidung dan pipinya.

“Tio-twako tentu jengkel karena kau menyela terus, sih!” Kwi Beng mengomel. Bagi Kwi Beng, tentu saja amat sukar membayangkan ada orang laki-laki bisa tergila-gila kepada saudara kembarnya ini!

“Tidak apa-apa, maafkan aku...” Tio Sun menunduk dan menelan ludah menenteramkan jantungnya yang berdebar tidak karuan. “Sebetulnya... eh, banyak sekali hal-hal aneh kudengar tentang nona Yap In Hong itu. Dia benar-benar amat luar biasa, di luar dugaan dan hebat!”

“Nah, apa kataku? Dia memang wanita paling hebat di dunia ini!” kata Kwi Beng sambil memandang kepada adiknya.

“Siapa yang menyangkal?” Kwi Eng menjawab. “Akan tetapi dia terlalu hebat untukmu. Tio-twako, ceritakanlah, kami ingin sekali mendengarnya,” kata Kwi Eng sambil menyentuh tangan pemuda tinggi kurus itu. Tersirap darah ke leher dan muka Tio Sun dan tangannya yang tersentuh itu menggigil. Dia merasa heran sendiri mengapa dia menjadi lemah seperti ini menghadapi gadis itu. Untuk menenangkan jantungnya yang bergelora, Tio Sun meneguk air teh di depannya, kemudian dia bercerita.

“Pertama-tama, dara perkasa yang kita kenal sebagai nona Hong itu bernama Yap In Hong, adik kandung dari paman Yap Kun Liong...”

“Ahhh...!” Seruan ini keluar dari dua mulut yang bentuknya sama, mulut Kwi Eng dan mulut Kwi Beng. “Tapi...tapi paman Yap Kun Liong sudah setengah tua dan nona Hong...”

“Tentu lebih tua daripada kita!” kata Kwi Eng.

“Paling banyak selisih dua tahun!” kata Kwi Beng membantah.

“Entahlah. Akan tetapi kenyataannya demikian, dia adalah adik kandung paman Yap Kun Liong dan dia memang memiliki ilmu tinggi sekali karena kabarnya dia itu adalah murid tunggal dari ketua Giok-hong-pang. Yang paling hebat adalah karena dialah yang berhasil menyelamatkan kaisar.”

“Hebat...!” seru Kwi Eng.

“Twako, bukankah kabarnya kaisar telah ditawan oleh raja liar dan kini telah kembali lagi ke kota raja?” tanya Kwi Beng.

“Benar, dan Yap In Hong itulah yang menyelamatkan kaisar, menolong kaisar lolos dari tawanan benteng Raja Sabutai.”

“Luar biasa! Dia seorang pahlawan kalau begitu!” Souw Kwi Beng berseru gembira.

“Memang hebat dia, bahkan ketua Cin-ling-pai sendiri, dengan bantuan banyak orang pandai, tidak mampu menyelamatkan kaisar yang ditawan. Akan tetapi nona Yap In Hong seorang diri menyelundup ke dalam benteng musuh, pura-pura menjadi kaki tangan Raja Sabutai, akan tetapi tahu-tahu dialah yang meloloskan kaisar dari tawanan.”

“Bukan main...! Di mana sekarang dia berada, twako?” Kwi Beng bertanya.

“Entah, saya belum mendengar lagi, akan tetapi ada berita bahwa nona Yap In Hong kini berada di kota raja.”

“Dan bagaimana kabarnya dengan... kanda Cia Bun Houw...?” tiba-tiba Kwi Eng bertanya.

“Ehm, ehm...!” Kwi Beng terbatuk-batuk, dehem buatan dan Kwi Eng melotot kepadanya.

Tio Sun merasa jantungnya tertusuk. Dahulupun dia sudah melihat bahwa dara ini tertarik kepada Bun Houw.

“Dia...? Dia bersama dengan aku membantu ayahnya ketika kami berusaha menyerbu benteng Sabutai untuk menolong kaisar, akan tetapi gagal. Kemudian, setelah kaisar dapat diselamatkan oleh nona Yap In Hong, agaknya terjadi perdamaian antara kaisar dan Raja Sabutai, dan Cia-taihiap lalu pergi menyusul nona Yap In Hong yang setelah berhasil menolong kaisar lalu kembali ke dalam banteng Raja Sabutai.”

“Aih, berbahaya sekali! Lalu apa yang terjadi?” Kwi Eng bertanya kaget mendengar betapa Bun Houw memasuki benteng Raja Sabutai.

“Kabarnya banyak yang terjadi di sana. Banyak terjadi pertempuran antara orang-orang pandai yang sengaja diadu oleh Raja Sabutai dan katanya tiga orang Bayangan Dewa telah tewas di tangan Cia-taihiap.”

“Hebat...!” Kwi Eng bersorak girang.

“Lalu bagaimana, twako? Pedang Siang-bhok-kiam tentu sudah kembali kepada Houw-koko, bukan?”

“Entahlah, aku sendiri belum sempat bertemu lagi dengan dia.”

Sayang, kami berduapun belum lama kembali dari Cin-ling-san, akan tetapi juga tidak berjumpa dengan dia,” kata Kwi Eng.

“Cin-ling-san?” Tio Sun bertanya heran.

“Ya, bersama ibu,” jawab Kwi Eng dan tiba-tiba dia menunduk dengan kedua pipi berobah merah sekali.

“Ha, dia sudah amat rindu kepada Houw-koko, Tio-twako, rindu kepada tunangannya! Ha-ha!”

“Ihhh, tak tahu malu kau!” Kwi Eng mencubit lengan saudaranya lalu lari ke dalam.

Seketika wajah Tio Sun berobah pucat. “Tunangan...?” Dia berbisik.

“Kami ke sana bersama ibu dan ibu membicarakan tentang pertunangan mereka, dan sudah disetujui. Adikku yang bengal itu beruntung sekali telah dijodohkan dengan kanda Cia Bun Houw... eh, kau kenapa, Tio-twako?” Kwi Beng bertanya kaget melihat wajah yang menjadi pucat dan mata yang dipejamkan itu.

“Ahh... ehh, tidak apa-apa...” Tio Sun membuka matanya dan meraba-raba cangkirnya, lalu diminumnya isi cangkir, akan tetapi jelas tangannya gemetar dan ketika dia mengembalikan cangkir ke atas cawan, terdengar bunyi berkeretakan karena tangan itu tidak dapat diam.

“Kau... kau pucat sekali dan gemetar... kau seperti orang sakit, twako,” Kwi Beng bertanya khawatir.

Tio Sun menggigit bibir. “Tidak apa-apa, mungkin karena lelah, Beng-te, aku permisi...” Tio Sun bangkit dari bangkunya.

“Ehhh? Ke mana?” Kwi Beng berseru kaget.

Tio Sun sadar kembali bahwa dia telah menerima undangan mereka untuk menginap di situ, maka dia menahan kakinya yang sudah hendak melangkah pergi. “Eh... mau beristirahat...”

“Kamarmu di sebelah sana, twako. Marilah kuantar, kau kelihatan pucat dan gemetar, agaknya kau sakit.”

“Agaknya begitulah, Beng-te... terima kasih...” Tanpa bicara apa-apa lagi Tio Sun lalu mengikuti Kwi Beng yang mengantarkan sampai ke kamarnya. Setelah pemuda itu meninggalkannya, Tio Sun menutup pintu kamarnya dan rebah terlentang, berkali-kali menarik napas panjang dan akhirnya dia bisa menenangkan batinnya yang terguncang hebat mendengar bahwa Kwi Eng telah bertunangan dan dijodohkan dengan Bun Houw itu.

“Ahh, engkau sungguh tak tahu diri!” Dia menghela napas dan menyesalkan diri sendiri. “Sejak dulupun sudah jelas bahwa dia tertarik kepada Cia Bun Houw, dan memang sudah sepantasnyalah demikian. Dia seorang gadis yang cantik jelita, pandai dan kaya raya, sudah sepatutnya berjodoh dengan Cia Bun Houw yang lihai, putera ketua Cin-ling-pai. Sedangkan aku ini apa? Sungguh tak tahu diri!”

Penyesalan kepada dirinya sendiri dan kesadaran bahwa sudah sepatutnya kalau Kwi Eng berjodoh dengan Cia Bun Houw yang dikaguminya dan bahwa sudah semestinya kalau dia ikut girang melihat gadis yang dicintanya itu berbahagia memperoleh jodoh seorang pilihan seperti putera ketua Cin-ling-pai itu dan mengesampingkan keinginannya untuk mementingkan diri sendiri, meringankan beban guncangan batinnya dan ketika Kwi Eng dan Kwi Beng datang menengoknya, Tio Sun telah tenang pula.

“Kata Beng-ko engkau sakit, twako?” Kwi Eng menegurnya ketika dia menyambut kedatangan dua orang kakak beradik itu ke kamarnya.

“Ah, mungkin hanya terlalu lelah dan masuk angin.” jawab Tio Sun sambil tersenyum. “Akan tetapi setelah mengaso sebentar di kamar yang nyaman ini sudah sembuh kembali. Terima kasih. Oh ya, aku... aku menghaturkan selamat atas pertunanganmu dengan Cia-taihiap, adik Kwi Eng!”

Tergopoh-gopoh Kwi Eng membalas pemberian selamat itu dengan kedua pipi berobah merah. “Terima kasih, Tio-twako. Kau baik sekali.”

Tio Sun yang bijaksana itu ternyata telah dapat memulihkan sikapnya dan dia bergaul seperti biasa dengan Kwi Eng dan Kwi Beng. Souw Li Hwa dan suaminya diam-diam juga merasa suka kepada pemuda yang sederhana dan rendah hati ini. Maka dia membujuk Tio Sun untuk memberi petunjuk dalam hal ilmu silat kepada anak-anaknya. Permintaan ini dipenuhi dengan suka hati oleh Tio Sun dan setiap hari nampak tiga orang muda itu berlatih silat di taman bunga. Dalam waktu beberapa hari saja mereka bergaul dengan akrab sekali. Dan karena maklum bahwa harapannya untuk dapat berjodoh dengan dara yang dicintanya itu lenyap sama sekali, sikap Tio Sun terhadap Kwi Eng dan Kwi Beng seperti sikap seorang kakak terhadap adik-adiknya sehingga dua orang saudara kembar itupun merasa seolah-olah Tio Sun adalah kakak mereka.

Keakraban inilah yang membuat Kwi Beng menaruh kepercayaan pada suatu hari, ketika memperoleh kesempatan berdua saja dengan Tio Sun, pemuda ini dengan muka sedih mengeluarkan isi hatinya. “Tio-twako, setelah beberapa hari bergaul denganmu, aku memperoleh keyakinan bahwa engkau seoranglah yang akan dapat menolongku, twako. Sebenarnya aku menderita sekali, menderita batin yang hebat dan selama ini hanya kusimpan dan kutahan-tahan agar jangan sampai ketahuan oleh adikku dan oleh orang tuaku. Akan tetapi kalau terus kusimpan, akhirnya aku tentu tidak tahan juga.”

Melihat wajah yang biasanya gembira itu kini kelihatan amat berduka, Tio Sun terkejut dan merasa heran. Dia memegang pundak pemuda tampan itu dan berkata sambil tersenyum, “Ah, Beng-te. Seorang pemuda dalam keadaan seperti engkau ini bagaimana bisa mengatakan menderita batin yang hebat? Engkau masih muda, mempunyai orang tua dan saudara yang amat baik, berkepandaian cukup tinggi, hartawan dan apapun yang kaukehendaki tentu terlaksana. Mengapa masih menderita, tekanan batin?”

“Justeru yang kukehendaki tidak terlaksana, twako.”

Tio Sun menarik napas panjang. Demikianlah hidup! Manusia, termasuk dia sendiri, selalu menghendaki yang tidak ada, menghendaki yang berada di luar jangkauan sehingga kehendaknya tidak dapat tercapai dan lahirlah duka!

“Beng-te, apakah kehendakmu yang tidak dapat terlaksana itu?”

“Tio-twako, jangan kau mentertawai aku, ya? Aku cinta kepada nona Yap In Hong.”

Tio Sun tidak terkejut mendengar ini. Dari sendau-gurau antara Kwi Beng dan Kwi Eng dia sudah dapat menduga akan hal ini. Maka dia tersenyum. “Mengapa orang jatuh cinta ditertawai? Dan mengapa pula engkau menderita batin karena itu, Beng-te? Kau mencinta siapapun, apa halangannya?”

Kwi Beng menarik napas panjang. “Akan tetapi, twako. Cintaku ini tidak akan dapat terlaksana karena ibuku tidak setuju.”

Tio Sun memandang heran. “Tidak setuju? Apa maksudmu, Beng-te?”

“Ketika aku dan adikku pulang dahulu itu, kami berdua langsung menyatakan isi hati kami kepada ayah dan ibu. Dalam hal pilihan hati, ayah sama sekali memberi kebebasan. Ibu segera menyatakan persetujuannya ketika Eng-moi menyatakan cintanya kepada Cia Bun Houw, bahkan ibu lalu mengajak kami pergi ke Cin-ling-pai untuk membicarakan soal jodoh Eng-moi dan Cia Bun Houw itu sehingga berhasil diterima baik. Akan tetapi ketika aku menyatakan cintaku kepada nona Yap In Hong, ibu menolaknya!”

Tio Sun menahan senyumnya melihat pemuda itu kelihatan berduka sekali. Pemuda itu masih demikian kekanak-kanakan! Kedukaannya itu lebih merupakan sikap merajuk dan “ngambek” kepada ibunya!

“Menolak bagaimana maksudmu, Beng-te?”

“Aku minta agar ibu juga mengurus perjodohanku dengan nona Yap In Hong, akan tetapi ibu keberatan.”

“Mengapa?”

“Pertama, karena tadinya kami belum tahu siapa sebenarnya nona itu, hanya tahu sebagai penolongku yang bernama nona Hong. Dan kedua, karena ibu mendengar dari Eng-moi bahwa nona itu lebih tua kira-kira dua tahun dari aku. Akan tetapi, dalam hal cinta, apa artinya perbedaan usia? Ayah sendiri mengatakan bahwa hal itu sebenarnya bukan merupakan soal yang besar, hanya ayah setuju dengan ibu bahwa kami harus mengenal dulu siapa sebenarnya nona itu. Ketika kemarin, setelah mendengar darimu bahwa Yap In Hong adalah adik dari Yap Kun Liong, ibu lebih-lebih merasa tidak setuju lagi.”

“Hemm... mengapa pula?”

“Kata ibu, Yap Kun Liong adalah sababatnya yang sebaya. Setelah kini nona Hong tidak mempunyai orang tua, jelas bahwa kami harus melamar kepada Yap Kun Liong sebagai wali gadis itu. Dan ibu merasa malu dan sungkan kalau harus melamar adik sahabatnya itu untuk menjadi calon mantunya. Akan tetapi aku tahu bahwa keberatan itu yang terutama adalah soal perbedaan usia. Menurut ibu, seorang calon suami haruslah lebih tua daripada calon isteri.”

“Siapa yang mengharuskan, Beng-te?”

“Entahlah, akan tetapi begitulah kata ibu. Pendeknya, ibu menolak dan hatiku hancur, twako.”

Tio Sun tersenyum, senyum yang pahit. Betapa banyaknya manusia yang dipermainkan oleh cinta! Betapa banyaknya kisah duka ditimbulkan oleh cinta yang sepihak. Dia sendiri jatuh cinta kepada Kwi Eng, namun dara itu sebaliknya mencinta Bun Houw, bahkan telah terikat sebagai calon jodoh pemuda Cin-ling-pai itu. Dia menderita karena cinta sepihak. Sedangkan Kwi Beng jatuh cinta kepada gadis yang lebih tua dari padanya dan biarpun belum diketahui apakah gadis yang dicintanya itu akan menerima atau membalas cintanya ataukah tidak, namun ibunya tidak menyetujuinya! Apakah Kwi Beng juga akan menderita cinta yang gagal?

“Aku merasa ikut berduka mendengar keadaanmu, Beng-te. Akan tetapi apa maksudmu ketika mengatakan tadi bahwa hanya aku yang dapat menolongmu?”

Pemuda yang usianya baru tujuh belas tahun itu memegang lengan Tio Sun dan memandang dengan matanya yang biru, penuh permohonan. “Twako, sudikah twako menolongku?”

Tio Sun merasa terharu. Mata itu sama benar dengan mata Kwi Eng dan ketika pemuda ini memegang lengannya dan mengajukan permohonan itu, seolah-olah dia menghadapi Kwi Eng sendiri yang memohon pertolongan kepadanya!

“Tentu saja, Beng-te. Jangan khawatir, aku selalu siap untuk menolongmu. Akan tetapi dalam hal ini, bagaimana mungkin aku dapat menolongmu?”

“Aku mohon engkau suka menjadi waliku twako! Ibu tidak mau melamarkan nona Yap In Hong, biarlah engkau yang menjadi waliku dan melamarkan untukku kepada kakak nona itu, yaitu kepada pendekar Yap Kun Liong.”

“Ahhh...?” Tio Sun terkejut sekali, tidak menyangka bahwa pemuda ini akan mengajukan permintaan seperti itu. “Mana mungkin, Beng-te? Ayah bundamu masih ada, bagaimana aku berani lancang...”

Dan tiba-tiba Kwi Beng menjatuhkan diri berlutut di depan Tio Sun! “Kalau twako tidak mau menolongku, habislah harapanku...” katanya dengan suara seperti orang hendak menangis.

Tio Sun cepat membangunkan pemuda itu. “Duduklah, Beng-te dan mari kita bicara dengan baik dan dengan tenang.”

“Akan tetapi twako tidak mau menolongku...”

Baiklah, aku mau menolongmu, akan tetapi hanya atas dasar desakan dan permintaanmu. Kalau kelak orang tuamu marah kepadaku dan menganggap aku lancang...”

“Aku yang bertanggung jawab dan akan kukatakan bahwa twako melakukan itu hanya karena desakanku dan permohonan tolong dariku.”

Tio Sun merasa terdesak. “Akan tetapi, apakah itu bijaksana kalau langsung mengajukan lamaran, Beng-te? Apakah tidak lebih baik kalau lebih dulu diadakan pendekatan dari fihakmu kepada gadis itu? Sebaiknya mengukur isi hatinya lebih dulu, apakah kiranya dia akan mau menerimanya, sehingga dengan demikian tidak sampai kelak hatimu patah karena penolakan dari fihaknya.”

“Tidak, tidak! Kalau terlambat, tentu ibu akan mendahului kita, mencarikan jodoh untukku, karena Eng-moi juga sudah terikat jodoh dengan calon suaminya. Dan kalau aku sudah diikat jodoh dengan orang lain, sampai bagaimanapun tentu ibu akan menghalangi aku berjodoh dengan nona Yap In Hong. Mengingat bahwa kakak nona itu adalah sahabat baik ayah dan ibu, yaitu menurut penuturan ibu, agaknya lamaran itu tidak akan ditolaknya. Dan tentang nona Yap In Hong sendiri, kurasa diapun... eh, cinta padaku. Buktinya dia telah menyelamatkan nyawaku dari tangan Hui-giakang Ciok Lee Kim dan sikapnya terhadapku baik sekali.”

“Hemm, Beng-te. Pertolongan adalah kewajiban setiap orang gagah dan sama sekali tidak boleh dimaksudkan sebagai tanda cinta, demikian pula sikap yang baik belum tentu membayangkan cinta.”

“Aku yakin bahwa kita tidak akan gagal, twako. Akan tetapi kalau kaupikir lebih dulu menemui nona itu, akupun setuju. Pendeknya, aku ingin pergi dari sini untuk mendahului ibu. Aku akan menemui nona Hong, akan tetapi untuk mengajukan lamaran kepada kakaknya, aku mengharapkan bantuanmu, twako. Dan aku minta agar twako suka menemaniku pergi besok pagi.”

“Ehh...? Tentu orang tuamu akan melarang.”

“Tidak! Aku tidak akan berterus terang. Twako bilang saja terus terang bahwa twako hendak pergi ke kota raja dan aku akan ikut untuk meluaskan pengalaman dan pengetahuan.”

Tio Sun menarik napas panjang. “Ahhh... engkau menarik aku dalam keadaan amat tidak enak terhadap orang tuamu, Beng-te.”

“Tidak, twako. Aku yang bertanggung jawab akan hal itu. Kalau twako berpamit dan berkata hendak pergi ke kota raja, berarti twako tidak membohongi mereka, karena bukankah nona Hong kabarnya berada di sana? Dan aku ikut pergi bersama twako, apa salahnya itu?”

Akhirnya Tio Sun tak dapat mengelak lagi karena diam-diam dia merasa kasihan juga kepada pemuda remaja ini. Pula, diapun tidak ingin terlalu lama tinggal di Yen-tai, karena makin lama dia berkumpul dengan Kwi Eng, makin beratlah penderitaan dan kekecewaan hatinya. Kalau sudah jelas bahwa nona itu bukan jodohnya, lebih baik secepat mungkin pergi dan sejauh mungkin agar tidak usah berjumpa lagi dengan dara yang dicintanya akan tetapi yang menjadi milik orang lain itu.

Ketika Tio Sun berpamit kepada Yuan de Gama dan isterinya, juga kepada Souw Kwi Eng, mereka menyatakan sayang bahwa pemuda itu tidak tinggal lebih lama lagi, akan tetapi mereka tidak berani menahan, dan mengucapkan selamat jalan. Namun, ketika Kwi Beng minta perkenan orang tuanya untuk ikut bersama Tio Sun ke kota raja untuk meluaskan pengetahuan dan orang tuanya tidak keberatan karena mereka percaya penuh atas bimbingan Tio Sun kepada putera mereka, Kwi Beng yang rewel!

“Aku juga ikut...!” katanya manja.

“Maria, engkau seorang gadis dewasa, kurang leluasa dan kurang baik untuk pergi jauh menempuh perjalanan sukar tanpa orang tuamu!” kata Yuan de Gama mencegah.

“Dan kau harus ingat bahwa engkau telah terikat sekarang, Kwi Eng. Bagaimana kalau ada utusan dari Cin-ling-pai datang dan engkau tidak berada di rumah? Alangkah akan mengecewakan dan membuat kami menjadi malu.”

Diingatkan akan hal ini, reda kekecewaan Kwi Eng dan akhirnya dua orang pemuda itu berangkat meninggalkan Yen-tai menuju ke kota raja. Tidak ada seorangpun di antara keluarga itu yang tahu betapa beratnya hati Tio Sun ketika dia melangkah pergi menjauhi dara yang dicintanya itu. Semangatnya seolah-olah tertinggal di rumah gedung itu, dan telinganya selalu mendengar suara ketawa Kwi Eng sehingga beberapa kali dia kadang-kadang tidak mendengar kata-kata Kwi Beng ketika pemuda ini bicara kepadanya.

Malam yang gelap. Langit hitam pekat, tidak nampak sebuahpun bintang. Padahal malam itu sebetulnya adalah giliran bintang-bintang menggantikan bulan yang tidak muncul di malam hari itu, akan tetapi awan hitam tebal memenuhi langit.

Biar di kota raja sekalipun, tempat tinggal orang-orang yang beruang dibandingkan dengan orang-orang dusun, lampu-lampu yang digantung di luar rumah tidak mampu menembus kegelapan yang tebal itu, bahkan penerangan yang dibandingkan dengan kekuatan malam gelap itu amat lemah mendatangkan bayang-bayang yang menyeramkan. Hanya di daerah bangunan istana sajalah, di sebelah dalam lingkungan tembok istana, keadaannya agak terang karena banyaknya lentera dan lampu besar yang dinyalakan para penjaga keamanan.

Di malam yang gelap itu, yang mengancam dengan hujan, orang-orang menjadi malas keluar, toko-toko dan restoran-restoran sepi sehingga mereka itu menutup dagangan mereka sebelum waktunya. Hanya mereka yang mempunyai keperluan penting sekali, dan laki-laki iseng yang tak betah di rumah dan keluar untuk mencari hiburan, kaum penjudi, kaum pemabok dan kaum hidung belang saja yang malam itu masih nampak berkeliaran d luar rumah-rumah yang sudah menutupkan daun pintu dan jendelanya

Seorang laki-laki setengah tua yang mabok jalan sempoyongan di atas jalan raya, digandeng oleh seorang laki-laki muda yang setengah mabok dengan susah payah karena si penggandeng itu sendiri pun tidak tetap langkahnya. Keduanya bernyanyi-nyanyi gembira dan memang orang yang mabok dapat merasakan kegembiraan yang luar biasa, karena dalam keadaan terbius oleh minuman keras itu segala macam keruwetan hidup lenyap atau terlupa oleh pikiran sehingga pikiran menjadi kosong, bebas dan karenanya dapat melihat segala sesuatu tanpa penolakan dan menimbulkan kegembiraan

“Heeeee, manusia-manusia terbang...! Ha-ha, manusia-manusia terbang...!” Tiba-tiba yang mabok sekali itu berkata sambil menuding ke atas genteng-genteng rumah di sepanjang jalan raya itu.

“Manusia terbang...heh-heh, ya benar...manusia terbang...” sambung yang setengah mabok.

Orang-orang di dekat mereka memandang sambil tersenyum. Kata-kata orang mabok, pikir mereka tak acuh. Akan tetapi ada sebagian di antara mereka yang mempercepat langkahnya agar dapat segera tiba di rumah yang aman. Mereka merasa ngeri karena bukankah orang mabok itu kadang-kadang dapat melihat lebih awas daripada orang yang sadar dan tidak mabok? Siapa tahu mereka benar-benar melihat manusia terbang yang berarti bahwa mereka itu melihat setan dan iblis berkeliaran di malam gelap itu?

Dan bukan tidak mungkin karena malam itu memang menyeramkan, bahkan setiap bayang-bayang yang dipantulkan oleh pohon-pohon dan rumah-rumah tersinar penerangan pucat membentuk iblis-iblis mengerikan.

Akan tetapi kalau kebetulan di atas genteng-genteng rumah itu terdapat seorang berkepandaian tinggi yang berpandangan tajam, tentu dia akan menyaksikan keanehan dan bahwa teriakan orang mabok tadi bukanlah penglihatan khayal belaka karena sesungguhnya memang terdapat dua bayangan manusia yang seolah-olah terbang saja di atas genteng-genteng rumah itu. Gerakan mereka demikian cepatnya sehingga seperti dua ekor kucing berlari-larian dia atas genteng-genteng itu, tanpa menimbulkan suara dan mereka menuju ke arah istana!

Ketika dua bayangan yang benar-benar memiliki kegesitan dan keringanan tubuh luar biasa itu tiba di luar tembok istana, mereka mendekam dan menanti dengan penuh kewaspadaan. Sudah tentu saja banyak terdapat penjaga dan peronda di luar tembok istana itu. Pintu gerbang istana sudah ditutup rapat-rapat dan dijaga oleh belasan orang pengawal luar. Di atas menara di ujung tembok juga terdapat pengawal yang mengawasi ke arah sekeliling tempat itu. Kemudian secara bergiliran masih diadakan perondaan, dan sekali meronda terdiri dari enam orang bersenjata tombak dan memegang lentera yang terang.

Bayangan yang berpakaian putih dan mukanya hitam, tubuhnya kecil dan agak pendek, memberi isyarat kepada kawannya yang berpakaian hitam dan bermuka putih, menudingkan telunjuk tangannya yang kecil ke arah menara. Si muka putih mengangguk, dan diapun menunjuk ke arah enam orang peronda yang datang dari depan. Keduanya mengangguk. Agaknya tanpa kata-kata mereka sudah saling mengerti dan kini si muka hitam merunduk ke depan, setengah merangkak seperti seekor harimau mengintai korban mendekati menara. Setelah dekat, dia memandang ke atas, ke arah dua orang penjaga yang berdiri di menara, hanya kelihatan tubuh bagian atas, dari dada sampai ke pundak dan tangan mereka memegang sebatang busur sedangkan segebung anak panah tersandang di pundak. Mereka berdua adalah ahli-ahli panah yang dapat menyerang setiap orang pengacau dari atas dengan anak panah mereka.

Sementara itu, si muka putih menggunakan kedua tangannya, mengangkat sebuah batu besar, sebesar perut kerbau hamil. Seperti dikomando saja, pada saat si muka hitam menggerakkan tangannya dan sinar mengkilat menyambar ke arah menara, si muka putih melontarkan batu besar itu jauh ke depan, ke arah yang berlawanan dengan menara. Terdengar suara pekik dua orang penjaga di menara yang roboh di tempat penjaga mereka dengan leher tertusuk pisau hitam! Akan tetapi pekik ini tertutup oleh suara berdebuk yang amat keras dibarengi suara berkerosakan ketika sebongkah batu besar itu menimpa pohon, menumbangkan batang pohon dan jatuh berdebuk ke atas tanah. Enam orang peronda itu terkejut sekali dan cepat memburu ke depan, sama sekali tidak mendengar pekik dua orang penjaga di menara, juga sama sekali tidak tahu bahwa begitu mereka lari ke arah pohon tumbang, ada dua bayangan melesat ke atas tembok istana dengan keringanan tubuh yang luar biasa dan sekejap mata saja bayangan dua orang itu lenyap ke sebelah dalam tembok istana!

Kalau orang melihat ke atas menara penjaga dan melihat betapa dua orang penjaga itu tewas dengan muka mereka menjadi hitam mengerikan, maka dia akan tahu bahwa dua orang luar biasa itu benar-benar memiliki kepandaian yang mengerikan dan bahwa pisau yang menghunjam ke leher dua orang penjaga itu adalah pisau-pisau beracun yang keji.

“Kenapa tidak diambil dulu dua hui-to (golok terbang) itu?” si muka pucat berbisik ketika kedua orang itu menyelinap ke dalam taman istana, bersembunyi di balik semak-semak.

“Nanti saja kembalinya, biar kenyang dulu menghirup darah segar, hi-hik!” bayangan kedua yang bermuka hitam terkekeh. “Pula, masih ada belasan batang lagi padaku, cukup untuk menghadapi pengawal-pengawal istana.”

“Jangan banyak main gila, Mo-li. Kedatangan kita hanya untuk membunuh Ceng Tung dan secepat mungkin kita harus pergi dari sini.”

“Baik, Mo-ko. Memang kaisar jahanam itu harus kita bunuh, hanya sayang kalau kita tidak dapat mengambil satu dua buah pusaka kerajaan yang hebat.”

Keduanya mendekam dan menahan napas ketika berkelebat bayangan orang yang cukup gesit gerakannya. Bayangan ini adalah bayangan seorang pengawal Kim-i-wi, yaitu Pengawal Baju Emas yang merupakan pengawal-pengawal bayangan, atau yang melakukan tugas penjagaan keemasam secara rahasia dan mereka ini memang terdiri dari orang-orang yang berilmu dan pandai ilmu silat.

Siapakah adanya dua orang yang begitu berani mati memasuki daerah istana dengan jalan membunuh penjaga menara dan meloncat ke tembok pagar istana secara demikian lihainya? Melihat orang yang bermuka putih seperti kapur itu berpakaian hitam, sebaliknya yang bermuka hitam seperti arang itu berpakaian putih, sungguh amat menyeramkan dan seperti bukan manusia saja!

Dan memang sesungguhnyalah. Mereka itu setengah manusia setengah iblis! Mereka ini bukan lain adalah Pek-hiat Mo-ko (Iblis Jantan Berdarah Putih) dan Hek-hiat Mo-li (Iblis Betina Berdarah Hitam). Seperti telah dituturkan di bagian depan, Pek-hiat Mo-ko yang bermuka putih dan Hek-hiat Mo-li yang bermuka hitam itu adalah dua orang tokoh lihai yang datang dari Negeri Sailan. Ketika dahulu Panglima Besar The Hoo memimpin bala tentara menjelajah ke pelbagai negeri tetangga, di Sailan Panglima The Hoo yang sakti pernah berhadapan dan bertanding melawan dua orang jagoan Sailan ini. Pukulan-pukulan beracun dari mereka berdua, ketika bertemu dengan The Hoo, tidak ada gunanya bahkan membalik dan meracuni diri mereka sendiri, membuat mereka nyaris tewas dan biarpun mereka akhirnya tertolong, namun muka mereka yang tadinya normal kini berobah seperti iblis, yaitu yang laki-laki mukanya menjadi seperti kapur sedangkan yang wanita mukanya menjadi seperti arang. Hal ini adalah karena racun yang mereka pergunakan melawan The Hoo, hawanya membalik dan meracuni diri mereka sendiri.

Dengan dendam yang meluap-luap di dalam hati, dua orang ini memperdalam ilmu mereka sambil bertapa di puncak-puncak pegunungan utara. Kemudian, setelah merasa bahwa mereka sanggup menandingi The Hoo, keduanya turun gunung dan karena maklum bahwa The Hoo adalah seorang panglima besar yang selain memiliki kepandaian tinggi juga terlindung oleh pasukan yang puluhan laksa jumlahnya, maka mereka mendekati dan mengangkat murid kepada Raja Sabutai. Mereka menurunkan ilmu kepada Raja Sabutai dan mengharapkan bahwa melalui bala tentara Sabutai, mereka akan dapat menyerbu ke selatan, kalau mungkin menduduki Kerajaan Beng-tiauw dan dengan demikian mereka akan dapat berhadapan dengan The Hoo tanpa bahaya dikeroyok puluhan laksa perajurit Kerajaan Beng!

Karena harapan-harapan inilah maka mereka bersabar saja menyaksikan semua gerak-gerik dan usaha murid mereka, bahkan merekapun tidak ambil perduli melihat isteri Sabutai oleh murid mereka itu “diserahkan” kepada Kaisar Ceng Tung hanya karena Sabutai menghendaki seorang anak keturunan dari kaisar itu, karena dia sendiri tidak mempunyai keturunan! Sebetulnya, hal ini amat menyakitkan hati dua orang itu, namun karena mereka mempunyai dendam dan rencana yang lebih basar, maka mereka juga tidak menegur murid mereka.

Akan tetapi, ketika Sabutai merobah siasat dan agaknya mau berdamai dengan kaisar, bahkan hendak menarik mundur tentaranya yang tadinya sudah berhasil maju sampai ke pintu gerbang kota raja, hati dua orang kakek dan nenek itu kecewa bukan main. Maka mereka lalu hendak berusaha sendiri untuk membalas dendam. Mereka kini sudah mendengar bahwa musuh besar mereka, The Hoo, telah meninggal dunia. Maka mereka hendak menumpahkan dendam mereka kepada para pembantu dan para sahabat The Hoo dan satu di antaranya yang paling terkenal adalah Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai. Karena itulah maka mereka menahan Siang-bhok-kiam dengan maksud memancing Cia Keng Hong datang ke tempat mereka untuk dibunuh sebagai wakil The Hoo!

Kalau di waktu Sabutai mengadu kepandaian para tokoh yang bermusuhan kedua orang ini tidak turun tangan membunuh Cia Bun Houw dan Yap In Hong adalah karena mereka masih segan terhadap murid mereka sendiri yang tentu saja dibantu oleh ribuan orang pasukan, pula mereka tidak ingin bermusuhan dengan murid mereka sendiri. Selain itu, melihat pukulan Thian-te Sin-ciang yang dilakukan oleh Bun Houw, kemudian mereka melihat pula pukulan sakti itu pula dipergunakan oleh In Hong biarpun belum sempurna, mereka berdua agak jerih. Bukan jerih menghadapi orang-orang muda itu, melainkan jerih kalau-kalau pendeta Kok Beng Lama juga akan muncul! Padahal, mereka sedang melatih diri dan belum selesai dengan latihan itu, latihan kekebalan yang akan sanggup menghadapi Thian-te Sin-ciang atau pukulan apapun juga!

Setelah Sabutai mengundurkan diri, merekapun meninggalkan murid itu dan membawa Siang-bhok-kiam menuju ke Lembah Naga di tepi Sungai Luan-ho yang berada di kaki Pegunungan Khing-an-san, di luar tembok besar. Di sini mereka melanjutkan latihan mereka dengan tekun sampai akhirnya mereka berhasil dengan ilmu mereka yang baru, yaitu ilmu kekebalan yang amat luar biasa, yang hanya mampu dikuasai oleh orang-orang yang darahnya beracun seperti mereka! Setelah menguasai ilmu ini, barulah mereka menjadi berani dan untuk melampiaskan dendam mereka tanpa mengharapkan bantuan pasukan Sabutai yang telah berbaik dengan Kerajaan Beng, mereka mencari gara-gara dan hendak membikin kacau Kerajaan Beng dengan membunuh Kaisar Ceng Tung! Pertama-tama mereka hendak lakukan ini untuk menghukum kaisar yang mereka anggap telah merendahkan dan menghina murid mereka dengan menjinai isterinya, dan kedua untuk memancing agar para Panglima Beng-tiauw mencari mereka untuk mereka bunuh semua. Demikianlah rencana pembalasan mereka terhadap Panglima The Hoo yang sudah tidak ada lagi itu.

Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li masih mendekam di balik semak-semak untuk meneliti keadaan. Beberapa kali mereka melihat berkelebatan pengawal Kim-i-wi dan setiap kali mereka ini meronda lewat di taman itu, paling banyak mereka hanya berdua, bahkan kadang-kadang hanya seorang saja. Di samping mereka, ada pula pengawal-pengawal biasa yang meronda bergerombol enam orang membawa lentera dan kentongan.

Mereka berunding sebentar setelah menghitung jarak waktu antara perondaan para pengawal Kim-i-wi. Mereka bersiap-siap, berindap-indap mendekati lorong kecil yang selalu dipakai oleh pengawal-pengawal Kim-i-wi yang meronda. Tak lama kemudian, tepat pada waktu seperti yang mereka perhitungkan, berkelebat dua bayangan pengawal Kim-i-wi dan dua orang kakek dan nenek itupun menerkam dari balik semak-semak pohon kembang. Dua orang Kim-i-wi terkejut sekali, berusaha mengelak dan menangkis, namun bagi kakek dan nenek itu, gerakan mereka terlampau lamban dan jari-jari tangan kakek dan nenek iblis itu telah menusuk masuk ke dalam leher dua orang Kim-i-wi itu sehingga mereka itu tewas tanpa dapat mengeluarkan suara lagi. Mayat mereka lalu dilempar ke dalam semak-semak dan dua orang kakek dan nenek itu cepat berlari meninggalkan taman menuju ke bangunan-bangunan istana, tidak berani meloncat naik melainkan mendekam di dalam bayangan gelap menanti kesempatan selanjutnya.

Sementara itu, di dalam kamarnya, In Hong masih duduk membaca buku. Setelah berada di dalam istana, dia memperoleh kesempatan banyak untuk membaca, karena di situ tersedia banyak sekali buku-buku kuno yang amat menarik hatinya. Dia dahulu diajar membaca oleh gurunya dan hanya sedikit memperoleh kesempatan membaca, dan baru sekarang dia memperoleh kesempatan, dan karena dia leluasa dan boleh keluar masuk di seluruh bagian istana, maka dia dapat pula memasuki gedung perpustakaan untuk memilih buku yang disukainya.

Karena dia memang kurang pekerjaan selama tinggal di istana, maka dia banyak membaca dan mulailah terbuka hati dan pikiran In Hong betapa selama ikut dengan gurunya dia telah hidup secara liar dan betapa ganasnya watak gurunya dan para anak buah Giok-hong-pang. Banyak hal-hal di dalam kitab-kitab yang ditemukan dan yang menyadarkan pikirannya, membuat dia sering kali termenung dan mulailah dia merasa menyesal akan pengaruh-pengaruh yang ditanamkan gurunya ke dalam dirinya sehingga dia dahulu membenci dan menjauhkan diri dari kakaknya. Sekarang dia melihat betapa kakaknya telah mengalami derita kehidupan yang hebat, selain kematian isterinya yang tercinta, kehilangan puterinya, juga adik kandung yang dicari-carinya itu setelah bertemu bersikap jauh daripada manis kepadanya. Dia merasa girang bahwa dalam pertemuan terakhir dengan kakaknya itu dia telah memperlihatkan sikap manis.

Tiba-tiba terdengar kentongan dipukul bertalu-talu, tanda bahwa ada bahaya mengancam di istana! Tanda bahaya ini dibunyikan oleh para penjaga dan pasukan Kim-i-wi yang menemukan mayat-mayat di atas menara penjaga dan di dalam taman. Gegerlah seluruh istana!

Mendengar tanda bahaya ini, In Hong melempar buku yang dibacanya ke atas meja, sekali tangannya bergerak dia memadamkan lampu-lampu dan lilin-lilin penerangan di kamarnya kemudian dia meloncat keluar melalui jendela dan langsung menuju ke istana di mana terdapat kamar kaisar! Yang lain-lain dia tidak perduli, akan tetapi keselamatan kaisa harus dijaganya. Karena itulah dia berada di istana, dan dia diangkat menjad Puteri Pelindung Kaisar! Dengan gerakan seperti seekor burung walet cepat dan ringannya, In Hong berloncatan dan tidak memperdulikan para anggauta pasukan Kim-i-wi yang berebutan dengan panik. Dia langsung berlari ke arah kamar kaisar. Dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika dia melihat mayat-mayat berserakan di depan kamar kaisar, mayat mayat para pengawal Kim-i-wi yang bertugas jaga di sekitar tempat itu, bahkan kini dia mendengar suara orang bertempur di depan kamar itu! Karena tempat itu agak gelap, dia hanya melihat dua bayangan dikeroyok oleh lima orang Kim-i-wi, maka karena dia khawatir akan keselamatan kaisar, In Hong cepat melompat dan sambil melompat dia mendorong jendela kamar. Pada saat itu, dia mendengar pekik beruntun dan lima orang Kim-i-wi itu roboh semua sedangkan dua bayangan itu telah menerjang pintu kamar kaisar!

“Sing-sing-singgg...!” Tampak sinar-sinar berkelebatan ke arah kaisar yang duduk dengan tenang di atas pembaringan. Melihat ini, In Hong cepat menubruk ke depan, kedua tangannya bergerak dengan pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang dan tiga batang pisau terbang runtuh ke atas lantai, patah-patah!

“Sri baginda, cepat lari...!” In Hong berseru kaget ketika mengenal bahwa yang masuk melalui pintu kamar yang sudah terbongkar itu bukan lain adalah dua orang kakek dan nenek guru Sabutai, yaitu Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li yang dia tahu amat lihai itu. Maka dia cepat menghadang di tengah kamar dan berteriak agar kaisar melarikan diri.

“Heh-he-he, kiranya engkau adalah bocah Yap itu. Jangan kira aku takut menghadapi pukulanmu itu!” Hek-hiat Mo-li terkekeh dan menubruk ke depan, kukunya yang panjang mencengkeram ke arah dada In Hong. Cengkeraman ini cepat dan kuat sekali, dan jelas bahwa kuku-kuku panjang itu mengandung racun yang berbahaya. Akan tetapi In Hong yang mengkhawatirkan keselamatan kaisar, tidak melayani nenek ini melainkan cepat dia meloncat ke arah kaisar yang telah ditubruk oleh kakek muka putih itu dengan pukulan dahsyat, sedangkan kaisar hanya diam saja seolah-olah menanti datangnya maut!

“Desss...!” Tubuh In Hong terlempar ketika dia menangkis pukulan dahsyat itu, akan tetapi si kakek muka putih juga terjengkang.

“Sri baginda, cepat lari...!” In Hong berseru lagi. Akan tetapi kaisar yang duduk di atas pembaringan itu tidak bergerak, enak-enak saja sehingga In Hong makin bingung dan cepat dia meloncat ke depan kaisar dan menangkis hantaman Hek-hiat Mo-li.

“Dukkkk!” Kembali tubuh In Hong terlempar dan bergulingan sedangkan tubuh nenek itupun roboh bergulingan. Ternyata bahwa dalam melawan kakek itu tenaga In Hong kalah kuat setingkat, akan tetapi melawan nenek itu tenaga mereka seimbang! Hanya kagetnya, agaknya dua orang kakek dan nenek itu tidak terpengaruh oleh tangkisan yang dilakukan dengan pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang yang telah dilatihnya dengan hebat selama ini! Agaknya mereka memiliki kekebalan terhadap hawa pukulan sakti itu.

Selagi In Hong meloncat bangun, dia telah diserang oleh kakek muka putih dengan pukulan-pukulan yang dahsyat. Terpaksa dia mengelak ke sana-sini dan kadang-kadang menangkis, akan tetapi kini kaisar tidak terlindung sama sekali.

“Lari...! Lari...!” teriaknya, akan tetapi kaisar itu tetap saja duduk dan nenek muka hitam sudah menghantamkan tangan kirinya yang ampuh ke arah kepala kaisar.

“Celaka...!” In Hong berteriak ngeri.

“Krakkk!!” Kepala kaisar itu pecah berantakan dan dari dalam kepalanya menyambar belasan jarum dan paku-paku ke arah pemukulnya, si nenek itu.

“Aihhhh...!” Nenek itu terkejut dan cepat melempar tubuh ke belakang, namun tetap saja sebatang jarum memasuki mata kirinya membuat dia menjerit-jerit kesakitan dan marah sekali! Kiranya “kaisar” itu hanya sebuah patung mirip kaisar yang duduk di pembaringan dan di dalam kepalanya terkandung senjata-senjata rahasia itu! Sesungguhnya robot macam itu adalah hasil ciptaan mendiang Panglima The Hoo dan sejak dulu setiap orang kaisar memilikinya beberapa buah untuk menyelamatkan diri. Tadi, begitu mendengar suara ribut-ribut dan tanda bahaya, kaisar sudah menyelinap dan menyembunyikan diri di kamar rahasia, meninggalkan robot itu di kamarnya dan sekarang, robot ciptaan mendiang Panglima The Hoo itu masih mampu melukai seorang nenek selihai Hek-hiat Mo-li. Biarpun orangnya sudah meninggal dunia, namun ciptaannya masih sedemikian hebatnya, maka dapat dibayangkan betapa tinggiliya tingkat kepandaian panglima yang disohorkan orang seperti dewa saktinya itu!

“Para panglima, hayo bantu Puteri Pelindung Kaisar!” Terdengar suara kaisar, dan kakek bersama nenek itu bingung karena suara ini terdengar dari mana-mana, dari atas bawah depan belakang dan kanan kiri dan mereka mengenal suara kaisar ini!

In Hong girang bukan main melihat bahwa yang dipukul hancur kepalanya itu hanya sebuah arca, maka sambil tersenyum dia berkata, “Kakek nenek iblis, kalian telah gagal!”

Bukan main marahnya nenek Hek-hiat Mo-li. Matanya yang kiri masih terasa nyeri bukan main biarpun dia telah mencabut jarumnya dan mata itu tentu buta. “Keparat jahanam, engkau yang menggagalkan kami!”

“Dia Puteri Pelindung Kaisar? Hemm, kita tangkap saja dia!” Pek-hiat Mo-ko berseru marah dan nenek itu sudah mendahului menubruk ke arah In Hong.

“Dessss!” In Hong menyambutnya dengan pukulan Thian-te Sin-ciang dan biarpun nenek itu menangkisnya, namun pukulan itu tepat mengenai pundak nenek itu. Nenek itu terpelanting roboh akan tetapi meloncat bangkit kembali.

In Hong terbelalak, hampir tidak percaya. Pukulannya tadi hebat sekali dan biarpun dia sendiri mengenal ilmu kekebalan yang bernama Tiat-po-san (Baju Besi), namun ilmu kekebalannya pasti tidak akan mampu menghadapi pukulan yang dilakukan dengan Ilmu Thian-te Sin-ciang. Akan tetapi nenek ini yang terkena pukulan pada pundaknya, seolah-olah tidak merasakan sesuatu dan sudah mencelat bangun kembali. Maklumlah dia bahwa nenek ini memiliki kekebalan luar biasa dan andaikata tadi jarum dari dalam kepala area itu tidak tepat memasuki mata, agaknya juga tidak akan melukai nenek itu.

“Heh-heh-heh, itukah pukulan dari si Lama keparat? Kami tidak takut, heh-heh!” nenek itu tertawa dan Pek-hiat Mo-ko kini menubruk untuk menangkap In Hong.

Tentu saja In Hong tidak sudi ditangkap dan ketika kakek itu menubruk, dia cepat mengerahkan seluruh tenaganya dan menghantamkan kedua tangannya beruntun ke arah dada dan lambung kakek itu.

lanjut ke Jilid 35-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar