Rabu, 19 Maret 2014

Motor starter mobil

SISTEM STARTER

 Print this page 
Author: Ridwan
Untuk menghidupkan mesin diperlukan tenaga dari luar yang
dapat memutarkan poros engkol sampai terjadi pembakaran dan mesin
bekerja. Tenaga luar inilah yang harus dihasilkan motor starter

 memperlihatkan mekanisme sistem starter sebuah mobil.


Komponen-komponen motor starter 
a. Yoke dan pole core
Yoke dibuat dari logam berbentuk silinder yang berfungsi sebagai tempat pole core yang diikat dengan sekrup. Pole core berfungsi
sebagai penopang field coil sekaligus menjadi inti untuk memperkuat
mednn magnet yang ditimbulkan oleh field coil.


b. Field coil
Field coil berfungsi menghasilkan medan magnet. Field coil di
buat dari lempengan tembaga yang dapat mengalirkan arus listrik cukup kuat, sehingga medan magnet yang dihasilkannya pun akan brsar.


c. Armuture dan shaft
Armature terdiri atas sebatang besi yang berbentuk silindris dan
diberi slot slot, poros, komutator serta kumparan armature
Ketika arus listrik dari batere dialirkan pada kumparan armature dan
field coil, maka armature berputar akibat adamya gaya elektromagnetik


d. B r u s h
Brush (sikat) yang dibuat dari tembaga lunak, berfungsi meneruskan arus dari field coil ke armature coil dan langsung ke massa melalui
komputer. Umumnya starter memiliki empat buah brush, yang
dikelompokan menjadi dua, yaitu dua buah menjadi brush positif dan
dua buah lagi menjadi brush negatif



e. Armature brake
Armature brake berfungsi
sebagai pengerem putaran armature setelah lepas dari perkaitan
dengan roda penerus



f. Drive lever
Drive lever berfungsi untuk
mendorong pinion gear ke arah
posisi berkaitan dengan roda penerus dan melepas kembali perkaitan tersebut


g. starter clutch .
starter clutch berfungsi untuk memindahkan momen puntir dari
premature shaft ke roda penerus, sehingga dapat berputar. Starter
berfungsi juga sebagai pengaman armature coil apabila rod penerus
cenderung memutarkan pinion gear



h. sakelar magnet .
Sakelar magnet (magnetik switch) bertugas menghubungkan dan
melepaskan pinion gear ke dan dari roda penerus, sekaligus mengalirkan
arus listrik yang besar pada sirkuit motor starter melalui terminal
utama

SISTEM STARTER

 Print this page 
Author: Ridwan
Untuk menghidupkan mesin diperlukan tenaga dari luar yang
dapat memutarkan poros engkol sampai terjadi pembakaran dan mesin
bekerja. Tenaga luar inilah yang harus dihasilkan motor starter

 memperlihatkan mekanisme sistem starter sebuah mobil.


Komponen-komponen motor starter 
a. Yoke dan pole core
Yoke dibuat dari logam berbentuk silinder yang berfungsi sebagai tempat pole core yang diikat dengan sekrup. Pole core berfungsi
sebagai penopang field coil sekaligus menjadi inti untuk memperkuat
mednn magnet yang ditimbulkan oleh field coil.


b. Field coil
Field coil berfungsi menghasilkan medan magnet. Field coil di
buat dari lempengan tembaga yang dapat mengalirkan arus listrik cukup kuat, sehingga medan magnet yang dihasilkannya pun akan brsar.


c. Armuture dan shaft
Armature terdiri atas sebatang besi yang berbentuk silindris dan
diberi slot slot, poros, komutator serta kumparan armature
Ketika arus listrik dari batere dialirkan pada kumparan armature dan
field coil, maka armature berputar akibat adamya gaya elektromagnetik


d. B r u s h
Brush (sikat) yang dibuat dari tembaga lunak, berfungsi meneruskan arus dari field coil ke armature coil dan langsung ke massa melalui
komputer. Umumnya starter memiliki empat buah brush, yang
dikelompokan menjadi dua, yaitu dua buah menjadi brush positif dan
dua buah lagi menjadi brush negatif



e. Armature brake
Armature brake berfungsi
sebagai pengerem putaran armature setelah lepas dari perkaitan
dengan roda penerus



f. Drive lever
Drive lever berfungsi untuk
mendorong pinion gear ke arah
posisi berkaitan dengan roda penerus dan melepas kembali perkaitan tersebut


g. starter clutch .
starter clutch berfungsi untuk memindahkan momen puntir dari
premature shaft ke roda penerus, sehingga dapat berputar. Starter
berfungsi juga sebagai pengaman armature coil apabila rod penerus
cenderung memutarkan pinion gear



h. sakelar magnet .
Sakelar magnet (magnetik switch) bertugas menghubungkan dan
melepaskan pinion gear ke dan dari roda penerus, sekaligus mengalirkan
arus listrik yang besar pada sirkuit motor starter melalui terminal
utama

SISTEM STARTER

 Print this page 
Author: Ridwan
Untuk menghidupkan mesin diperlukan tenaga dari luar yang
dapat memutarkan poros engkol sampai terjadi pembakaran dan mesin
bekerja. Tenaga luar inilah yang harus dihasilkan motor starter

 memperlihatkan mekanisme sistem starter sebuah mobil.


Komponen-komponen motor starter 
a. Yoke dan pole core
Yoke dibuat dari logam berbentuk silinder yang berfungsi sebagai tempat pole core yang diikat dengan sekrup. Pole core berfungsi
sebagai penopang field coil sekaligus menjadi inti untuk memperkuat
mednn magnet yang ditimbulkan oleh field coil.


b. Field coil
Field coil berfungsi menghasilkan medan magnet. Field coil di
buat dari lempengan tembaga yang dapat mengalirkan arus listrik cukup kuat, sehingga medan magnet yang dihasilkannya pun akan brsar.


c. Armuture dan shaft
Armature terdiri atas sebatang besi yang berbentuk silindris dan
diberi slot slot, poros, komutator serta kumparan armature
Ketika arus listrik dari batere dialirkan pada kumparan armature dan
field coil, maka armature berputar akibat adamya gaya elektromagnetik


d. B r u s h
Brush (sikat) yang dibuat dari tembaga lunak, berfungsi meneruskan arus dari field coil ke armature coil dan langsung ke massa melalui
komputer. Umumnya starter memiliki empat buah brush, yang
dikelompokan menjadi dua, yaitu dua buah menjadi brush positif dan
dua buah lagi menjadi brush negatif



e. Armature brake
Armature brake berfungsi
sebagai pengerem putaran armature setelah lepas dari perkaitan
dengan roda penerus



f. Drive lever
Drive lever berfungsi untuk
mendorong pinion gear ke arah
posisi berkaitan dengan roda penerus dan melepas kembali perkaitan tersebut


g. starter clutch .
starter clutch berfungsi untuk memindahkan momen puntir dari
premature shaft ke roda penerus, sehingga dapat berputar. Starter
berfungsi juga sebagai pengaman armature coil apabila rod penerus
cenderung memutarkan pinion gear



h. sakelar magnet .
Sakelar magnet (magnetik switch) bertugas menghubungkan dan
melepaskan pinion gear ke dan dari roda penerus, sekaligus mengalirkan
arus listrik yang besar pada sirkuit motor starter melalui terminal
utama

 

Sistem kelistrikan mobil

Skema Kabel Relay untuk klakson

Jumat, 17 Februari 2012

Skema Kabel Relay untuk klakson


Mungkin berguna buat rekan2

Banyak diantara kita yang kurang puas dengan suara klakson bawaan motor/mobil yang kurang keras/lantang, atau juga lampu standar yang kurang terang atau berdaya kecil.
Di toko partshop atau asesoris otomotif, banyak dijual klakson aftermarket yang suaranya bagus seperti Fiam, Hella, bosch, PIAA, Wolo, Hadley, fer, dsb.
Klakson tersebut membutuhkan daya yang cukup besar, sayangnya kabel yang terpasang pada klakson standar bawaan motor/mobil tidak dapat mengakomodasi kebutuhan daya tersebut.
Malah bisa jadi saklar klakson tersebut akan cepat rusak karena setiap kali ditekan, akan mengeluarkan percik api pada metal contact didalamnya yang lama kelamaan akan aus, bahkan plastik case nya akan meleleh.
Begitu juga dengan pemasangan lampu yang berdaya lebih besar, akan berkasus sama dengan kasus di atas.

Untuk menyelesaikan masalah tersebut, kita membutuhkan bantuan komponen tambahan yaitu relay.
Relay adalah suatu komponen yang digunakan sebagai saklar penghubung/pemutus untuk arus beban yang cukup besar, dikontrol oleh sinyal listrik dengan arus yang kecil.
Dengan menggunakan relay, kabel yang menuju saklar tidak perlu kabel yang tebal, sebab arus yang terhubung ke saklar sangatlah kecil.





Banyak relay yang beredar di partshop, ada berbagai merek seperti Hella, Bosch, Omron, dsb, … dan banyak pula yang dipalsu.
Saya sendiri lebih memilih untuk menggunakan relay bermerek BOSCH yang asli, begitu juga dengan socket relaynya.

Berikut komponen yang diperlukan untuk project ini..
- Socket Relay merek Bosch + terminal konektornya
- Relay Bosch 4 kaki tipe “0 332 019 453”
- Fuse Box (kotak sikring) + terminal konektornya
- Fuse / Sikring yang disesuaikan dengan beban arusnya .. misalnya 10 Ampere.
- Kabel tebal serabut diameter 5mm
- Terminal Ring 10mm.






Cara Pasang..

Ada 2 macam sistem pelistrikan untuk Klakson atau Lampu, yaitu yang dikontrol oleh tegangan positif dan tegangan negatif.

Biasanya sistem yang dikontrol oleh tegangan Negatif menggunakan 2 kabel. Dimana satu kabel untuk ke positif dan satu lagi ke saklar pengontrol.

Sistem yang dikontrol oleh tegangan Positif, biasanya menggunakan 1 kabel saja dari saklar pengontrol. Kabel satunya lagi mengambil negatif dari ground atau body.

NEGATIVE SYSTEM:



Gambar di atas memperlihatkan rangkaian klakson dengan sistem Negative.

Untuk pemasangannya lihat gambar di bawah:



Kaki Relay nomor 30 menuju Positif Accu (kabel harus tebal, langsung dari Accu).
Kaki Relay nomor 87 menuju Positif Klakson (kabel ukuran tebal atau sedang).
Kaki Relay nomor 85 menuju salah satu Kabel klakson (A)
Kaki Relay nomor 86 menuju salah satu Kabel klakson (B)

Pemasangan kabel dari kaki 85 dan 86 boleh terbolak balik polaritasnya.

Dikarenakan adanya perbedaan lokasi kaki relay pada beberapa merek relay yang ada, harap perhatikan NOMOR kakinya, sebelum memasang!

POSITIVE SYSTEM:

Gambar di bawah memperlihatkan kabel standar yang menuju klakson dipotong.
Untuk bagian yang atas kita beri kode A, dan bagian yang menuju klakson kita beri kode B.





Kaki Relay nomor 30 menuju Positif Accu (kabel harus tebal, langsung dari Accu).
Kaki Relay nomor 87 menuju Positif Klakson (kabel ukuran tebal atau sedang).
Kaki Relay nomor 85 menuju salah satu Kabel klakson (A)
Kaki Relay nomor 86 dihubungkan ke body mobil/motor (negatif/ground).

Dikarenakan adanya perbedaan lokasi kaki relay pada beberapa merek relay yang ada, harap perhatikan NOMOR kakinya, sebelum memasang!

Nah.. semoga penjelasan di atas bisa mudah dimengerti, dan rekan-rekan bisa pasang sendiri klakson barunya.

Rangkaian di atas sama penerapannya untuk pemasangan lampu tambahan atau merubah lampu ke daya yang lebih besar.

Manfaat yang didapat dengan menggunakan rangkaian relay ini adalah:

- klakson akan bersuara lebih keras/lantang atau lampu akan menyala lebih terang.
- saklar klakson / lampu akan lebih awet.

Sabtu, 08 Maret 2014

Serial Pedang Kayu Harum 2

Pendekar Sadis Jilid 034

<---Kembali

Lam-sin mengelak.

"Nanti dulu," katanya. "Lam-sin telah membayar sumpahnya, telah melunasi sumpahnya, oleh karena itu, siapa yang menyentuh Lam-sin berarti akan mati!"

"Eh... kenapa begini? Bukankah... bukankah..."

"Mari kita keluar dan engkau saksikan betapa aku akan membunuh Lam-sin, si nenek buruk yang mengerikan ini!"

"Apa... apa maksudmu...?" Thian Sin semakin kaget.

Akan tetapi Lam-sin sudah meloncat dan berlari keluar. Thian Sin mengikutinya dan mereka tiba di lapangan rumput. Rumput di situ hijau segar dan tumbuh rata, semacam rumput yang tumbuhnya tidak meliar dan tidak bias tinggi. Lam-sin sudah duduk di atas rumput dan ketika Thian Sin yang mengejarnya tiba, ia berkata, "Maukah engkau membantuku mencari kayu kering untuk membuat api unggun?"

"Membuat api unggun? Untuk apa...? Tapi baiklah..." Thian Sin tentu saja merasa heran.

Saat itu matahari sedang berada di atas, cuaca cukup cerah dan biarpun tempat itu amat sejuk, akan tetapi segar dan tidak terlalu dingin. Perlu apa api unggun? Tapi melihat sikap Lam-sin begitu sungguh-sungguh, diapun cepat pergi mencari kayu kering yang dibutuhkan wanita tua. Setelah memperoleh kayu kering cukup, Lam-sin menumpuknya di atas batu-batu yang sudah diatur di tempat itu, dan iapun lalu membakar tumpukan kayu itu. Api bernyala cukup besar dan nenek itu lalu meraba ke arah mukanya.

"Ceng Thian Sin, engkaulah orangnya yang telah membantuku, melunasi sumpahku dan engkau pula satu-satunya orang yang menyaksikan musnahnya nenek buruk rupa yang bernama Lam-sin!"

Sekali ia merenggut ke mukanya, maka terlepaslah topeng nenek itu dan nampak wajahnya yang berkulit putih halus dan bentuknya cantik jelita itu. Topeng tipis itu dilemparnya ke dalam api yang bernyala-nyala dan tentu saja segera dimakan api. Wanita itu lalu menanggalkan pakaian luarnya, baju dan celana nenek yang kedodoran itu sehingga kini gadis itu hanya memakai pakaian dalam yang tipis itu. Pakaian nenek itupun melayang ke arah api, dimakan api menyusul topeng yang sudah menjadi abu. Gadis itu mengembangkan kedua lengannya dan wajahnya yang cantik manis itu tersenyum gembira.

"Nah, mampuslah sudah Lam-sin si nenek buruk!"

"Dan terciptalah si dara cantik jelita seperti bidadari...!" kata Thian Sin yang menghampiri dan memeluknya.

Gadis itu tersenyum, nampak deretan giginya yang rapi dan putih. Kini Thian Sin dapat menikmati semua itu dengan bebasnya, menatap wajah itu, menyelusuri seluruh tubuh yang menggairahkan itu dengan pandang matanya, sampai akhirnya gadis itu menundukkan muka karena malu, lalu mendorong dada Thian Sin dengan halus ketika pemuda itu hendak menciumnya.

"Nanti dulu, engkau belum mengenalku!" bisiknya.

"Siapa bilang? Aku sudah mengenalmu baik-baik semalam..." Thian Sin tersenyum.

"Tidak, engkau belum mengenal siapa aku, siapa namaku dan bagaimana riwayatku."

"Perlukah itu? Engkau adalah seorang gadis yang cantik seperti bidadari, yang kucinta, menjadi dewi pujaanku..." Thian Sin hendak meraih lagi akan tetapi gadis itu mengelak.

"Kalau memang memaksaku, aku akan membunuhmu, Thian Sin!" tiba-tiba ia membentak dan sepasang mata yang indah itu mengeluarkan sinar mencorong, mengingatkan Thian Sin akan sinar mata Nenek Lam-sin dan diam-diam dia bergidik.

Sukarlah menerima kenyataan bahwa gadis cantik ini adalah Nenek Lam-sin yang memiliki ilmu silat demikian hebatnya sehingga hanya dengan susah payah dia dapat mengalahkannya.

"Baiklah, maafkan aku. Nah, aku siap mendengarkan ceritamu," kata Thian Sin yang lalu duduk di atas rumput tebal.

Gadis itu sejenak memandang ke arah pakaian nenek yang terbakar sampai berkobar, dan sebentar saja pakaian itupun lenyap menjadi abu, seperti halnya topeng tadi. Dan tiba-tiba gadis itu menangis di depan api unggun, terdengar suaranya lirih, "Ibu... ibu... anakmu tidak pernah melanggar janji dan sumpah..."

Akan tetapi sebentar saja ia menangis karena ia sudah mampu mengendalikan dirinya dan menyusut kering air mata itu dengan saputangan yang tadinya tersisip di antara bukit dadanya. Matanya dan hidungnya menjadi agak merah akan tetapi dalam pandangan mata Thian Sin, hal itu bahkan menambah manisnya!

Gadis itu lalu menghampiri Thian Sin dan duduk pula di dekatnya, di atas rumput. Thian Sin memandang dengan kagum, terpesona oleh kecantikan dan keindahan bentuk tubuh itu. Semalam dia sama sekali tidak dapat menikmati pemandangan ini, dan pagi tadi hanya sebentar saja. Sekarang dia dapat melihat semua itu dengan bebas dan diam-diam dia membanding-bandingkan dan akhirnya mengambil kesimpulan bahwa belum pernah dia melihat seorang gadis yang lebih hebat daripada gadis ini, baik kecantikannya, keindahan tubuhnya, apalagi kepandaian silatnya, juga kepandaiannya dalam membuat sajak, memainkan alat musik dan menulis. Gadis yang luar biasa sekali!

"Thian Sin, namaku sesungguhnya adalah Kim Hong..."

"Nama yang sangat indah dan cocok untukmu!"

"Aku she Toan..."

"Ehh...?" Thian Sin teringat kepada pangeran she Toan yang dibunuhnya karena kebodohannya tertipu perempuan jahat bernama Kim Lan.

”Toan Kim Hong”, gadis cantik itu mengangguk, agaknya mengerti apa yang menyebabkan kekagetan pemuda itu.

"Memang, Toan-ong-ya, pangeran yang telah kaubunuh itu adalah terhitung pamanku. Mendiang ayahku adalah pangeran Toan Su Ong."

Tentu saja Thian Sin terkejut bukan main. Dia tidak pernah mendengar nama Pangeran Toan Su Ong, akan tetapi kalau Toan-ong-ya adalah paman dari gadis ini, maka keadaannya tentu gawat!

"Aku telah kesalahan membunuh Toan-ong-ya, hanya karena fitnahan seorang perempuan jahat. Aku sudah ditegur oleh banyak pendekar dan aku merasa menyesal sekali."

"Aku tidak peduli akan hal itu!" Gadis itu berkata dengan suara kesal. "Ayahku adalah seorang pangeran pemberontak!"

"Ahhh...!"

"Ya, ayahku tidak seperti Toan-ong-ya dan para pangeran yang taat dan setia kepada kaisar. Tidak, ayahku berjiwa pemberontak dan selalu menentang kebijaksanaan-kebijaksanaan kaisar yang dianggapnya menekan dan menindas rakyat. Ayahku lebih dekat dengan rakyat jelata daripada dengan kaisar."

"Ah, kalau begitu... engkau masih keluarga kaisar..."

"Seperti juga engkau sendiri, Thian Sin. Akan tetapi kita adalah keluarga-keluarga jauh yang sudah terlempar ke luar. Engkau anak pemberontak, akupun anak pemberontak. Ayahku minggat dari kota raja, bahkan kaisar pernah begitu marah kepadanya dan kaisar mengutus pasukan untuk menangkapnya. Ayahku melarikan diri, menjadi buronan. Sejak kecil ayah mempelajari ilmu silat, sesuai dengan jiwanya yang selalu memberontak, sehingga dia memperoleh tingkat ilmu yang cukup tinggi. Kemudian, dalam keadaan buron ini, ayah bertemu dengan ibuku, yaitu seorang wanita kang-ouw yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi pula, bahkan lebih tinggi daripada tingkat kepandaian ayah. Ibuku mewarisi ilmu keluarga Ouw-yang dari selatan yang amat terkenal. Mereka saling jatuh cinta dah hidup sebagai suami isteri tanpa menikah, karena keadaan ayah sebagai seorang buronan pemerintah tidak memungkinkannya untuk menikah dengan terang-terangan."

"Yang penting saling mencinta itu, bukan upacara pernikahannya," Thian Sin memotong sebagai pembelaan dan hiburan.

Kim Hong mengangguk.

"Akupun berpendapat demikian." Gadis itu lalu melanjutkan ceritanya yang didengarkan oleh Thian Sin dengan penuh perhatian karena hati pemuda ini menjadi semakin tertarik ketika mendapat kenyataan bahwa Kim Hong adalah puteri seorang pangeran, jadi masih ada hubungan misan dengan dia!

Toan Su Ong, pangeran yang menjadi buronan itu, bersama isterinya, atau lebih tepat lagi kekasihnya yang menjadi isterinya tanpa pernikahan yang bernama Ouwyang Ci, bersama-sama melarikan diri di daerah selatan, jauh dari kota raja. Secara kebetulan mereka berdua menemukan sebuah kitab kuno, kitab pelajaran ilmu silat yang kabarnya adalah milik Panglima Besar The Hoo ketika utusan kaisar ini menjelajah ke selatan dan kitab pusakanya itu tercecer.

Untuk dapat mempelajari kitab itu, juga untuk menyembunyikan dirinya sehingga mereka tidak perlu terus berlari-lari menyelamatkan diri dari pengejaran kaki tangan kaisar, Toan Su Ong dan Ouwyang Ci lalu tinggal di sebuah pulau kosong di sebelah selatan, di Lam-hai (Laut Selatan). Pulau ini bernama Ang-lian-to (Pulau Teratai Merah), sebuah pulau kecil yang tanahnya cukup subur, akan tetapi yang terlampau kecil sehingga tinggal kosong. Namung kalau untuk tempat tinggal sekeluarga saja, pulau itu cukuplah.

Toan Su Ong dan Ouwyang Ci tinggal di pulau ini, menanam sayur-sayuran dan pohon buah-buahan. Hanya beberapa pekan sekali Toan Su ong atau isterinya naik perahu menuju ke daratan besar untuk berbelanja keperluan hidup mereka. Mereka hidup dengan tenang di Pulau Teratai Merah itu sampai akhirnya terlahir seorang anak perempuan mereka yang diberi nama Toan Kim Hong.

Dan mereka terus bertapa dan memperdalam ilmu-ilmu mereka, bahkan dari kitab kuno peninggalan orang sakti The Hoo itu mereka menciptakan semacam ilmu yang hebat, yaitu ilmu silat yang mereka namakan Hok-mo-sin-kun (Ilmu Silat Penakluk Iblis).

Kim Hong tumbuh besar di pulau itu dan dengan penuh kasih sayang, ayah bundanya menggemblengnya dengan semua ilmu silat yang mereka miliki. Bahkan setelah anak itu berusia belasan tahun, ayah bundanya mengajarkan Hok-mo Sin-kun yang merupakan ilmu inti mereka. Dari latihan ini Kim Hong maklum, bahwa betapapun juga, tetap saja ibunya memiliki tingkat yang lebih lihai daripada ayahnya. Kim Hong hanya mengenal orang-orang lain kalau diajak oleh ibunya berbelanja ke pantai laut di daratan besar. Akan tetapi, anak itu tidak menjadi canggeng, bahkan karena ayahnya adalah seorang pangeran, maka iapun mempelajari semua ilmu yang lain di samping ilmu silat, yaitu ilmu kesusasteraan dari ayahnya, juga pengetahuan umum tentang sejarah dan sebagainya sedangkan dari ibunya iapun mempelajari seni musik yang menjadi keahlian ibunya pula.

Demikianlah Kim Hong menjadi seorang dara terpelajar yang hidup terasing di pulau kosong itu. Malapetaka itu terjadi ketika Kim Hong berusia empat belas tahun. Ketika Ouwyang Ci pergi berbelanja di daratan besar, secara kebetulan ia mendengar bahwa kaisar telah mengumumkan pengampunan bagi Pangeran Toan Su Ong. Berita itu secara kebetulan didengarnya dari para petugas di selatan yang tadinya bertugas menyelidiki dan mencari di mana menghilangnya pangeran buronan itu. Mendengar ini, dengan girang wanita itu cepat kembali ke pulaunya dan dengan terengah-engah saking tegang dan girang hati yang selama bertahun-tahun menderita tekanan ini ia menceritakan kepada suaminya.

"Suamiku! Engkau telah bebas! Engkau telah diampuni dan tidak menjadi buronan lagi! Ah, kita tidak menjadi orang-orang pelarian lagi!" kata isteri itu dengan girang sekali.

Akan tetapi, suaminya menyambut berita ini dengan alis berkerut dan sikap dingin saja, sama sekali tidak kelihatan girang, bahkan agaknya dia terheran menyaksikan kegirangan isterinya.

"Habis, mengapa? Apa bedanya bagiku?" katanya dingin.

"Eh? Apa bedanya? Suamiku, besar sekali bedanya. Kita dapat segera pergi mengunjungi kota raja. Engkau kan seorang pangeran? Dan puteri kita akan dapat hidup selayaknya sebagai puteri seorang pangeran..."

"Tidak...!" Tiba-tiba Pangeran Toan Su Ong menggebrak meja sampai ujung meja itu pecah. "Keluarga kaisar adalah keluarga bangsawan yang busuk! Pemeras rakyat! Sombong dan congkak! Aku tidak sudi menjadi anggauta keluarga yang gila itu. Aku lebih senang tinggal menyepi di sini!"

"Tidak mungkin!" Ouwyang Ci juga membantah dengan suara berteriak marah. "Engkau terlalu mementingkan diri sendiri, menyenangkan hati sendiri, tidak ingat anak isteri! Sudah belasan tahun aku menderita tekanan batin, menjadi isteri orang tanpa menikah, menjadi isteri seorang yang katanya pangeran akan tetapi hidup seperti pertapa di tempat terasing! Aku tidak tahan lagi! Harus kutunjukkan kepada dunia bahwa aku adalah isteri seorang pangeran, bukan isteri seorang penjahat buronan. Harus kubuktikan bahwa Kim Hong adalah puteri pangeran terhormat, bukan gadis terlantar yang tidak sah! Engkau harus menuntut hak dan kedudukan di kota raja, mengangkat derajat anak sendiri dan isterimu."

"Minta hak dan kedudukan? Tidak sudi! Aku tidak sudi menjadi pangeran."

"Kalau begitu engkau seorang suami yang jahat, seorang ayah yang keparat!"

Percekcokan menjadi-jadi. Setiap hari mereka bercekcok. Ouwyang Ci menuntut agar mereka ke kota raja, agar mereka hidup sebagai keluarga terhormat dan mulia. Akan tetapi Pangeran Toan Su Ong yang sudah membenci keluarga kaisar itu tidak mau menurut. Percekcokan makin memanas, membuat mereka menjadi mata gelap dan akhirnya suami isteri yang hidup selama belasan tahun dengan saling mencinta, setia dan bahu-membahu dalam menghadapi segala kesukaran inipun berkelahi!

Kim Hong yang menyaksikan perkelahian itu hanya dapat menangis. Segala jeritannya untuk melerai sia-sia belaka. Suami isteri itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka tentu saja perkelahian itu amat seru dan dahsyat. Karena nafsu kemarahan dan kebencian sudah memenuhi batin, maka mereka lupa bahwa mereka adalah suami isteri yang saling mencinta. Mereka saling serang seolah-olah menghadapi musuh besar yang harus dibinasakan! Sampai tidak kurang dari lima ratus jurus mereka berkelahi, saling serang, sampai kedua lengan mereka bengkak-bengkak dan biru-biru semua. Semua jurus ilmu silat mereka telah mereka pergunakan, dan akhirnya mereka berdua sama-sama mainkan Hok-mo Sin-kun yang mereka ciptakan bersama.

Bukan main hebatnya perkelahian ini dan akhirnya Kim Hong menjadi kesima. Diamatinya semua gerakan ayah bundanya dan gadis ini seolah-olah melihat contoh-contoh gerakan yang sempurna dan ia melihat kekurangan-kekurangan dalam latihannya sendiri. Terutama sekali ketika ayah ibunya berkelahi melihat Hok-mo Sin-kun, ia dapat meneliti setiap jurus yang dikeluarkan dan otomatis kaki tangannya bergerak mengikuti mereka. Dara ini sampai lupa bahwa ayah bundanya itu sedang berkelahi mati-matian, bukan sedang memberi contoh kepadanya dalam latihan!

Akhirnya, terdengar keluhan dan tubuh Pangeran Toan Su Ong terpelanting. Ouwyang Ci yang terengah-engah seperti kehabisan napas berdiri memandang dengan muka pucat dan basah oleh keringat. Matanya terbelalak dan ketika ia melihat suaminya rebah dengan mulut mengucurkan darah segar, ia menjerit lalu menubruk suaminya yang sudah pingsan itu, menangis sesenggukan! Suaminya itu telah kalah dalam perkelahian ini dan menerima pukulan maut yang amat hebat dari isterinya sendiri!

Kalau kita membaca keadaan suami isteri ini, mungkin kita akan ikut menghela napas panjang dan merasa kasihan, bahkan mungkin ada yang mengatakan tidak mungkin dapat terjadi hal seperti itu! Akan tetapi, cobalah kita membuka mata dan memandang keadaan kita sendiri dan melihat kenyataan tentang "cinta" yang begitu mudah keluar dari mulut kita, begitu mudah kita ucapkan terhadap seseorang, baik dia seorang pacar, seorang suami atau isteri, seorang sahabat, seorang anak atau orang tua.

Betapa banyaknya peristiwa yang terjadi antara Toan Su Ong dan Ouwyang Ci itu terjadi setiap hari di antara kita, di sekitar kita! Tentu saja bukan dalam bentuk adu silat sehingga seorang di antara mereka menggeletak dengan terluka parah, namun sedikit saja selisihnya. Betapa banyak suami isteri yang hari kemarin, bahkan malam tadi, masih saling bercumbu menumpahkan rasa kasih saying masing-masing, dengan ringan kata-kata "aku cinta padamu" meluncur keluar dari mulut mereka, pada hari ini saling cekcok dan saling serang dengan kata-kata penuh dengan pelototan mata yang mengandung sinar marah dan benci, penuh dengan kata-kata kasar dan keji, penuh dengan serangan-serangan kata-kata yang dapat menimbulkan luka yang amat parah di dalam batin masing-masing! Dalam keadaan marah dan saling serang dengan kata-kata, bahkan ada kalanya beberapa pasangan juga menggunakan tindakan untuk membanting dan merusak benda-benda, ada pula yang saling tampar, maka mereka semua lupa bahwa baru semalam mereka itu saling belai dan saling mencurahkan kasih sayang!

Begitukah cinta kasih? Ataukah semalam itu yang terjadi hanyalah gelora nafsu berahi belaka? Dan setelah nafsu terpuaskan maka dalam keadaan tersinggung lalu timbul kemarahan dan kebencian sebagai penggantinya? Kemudian setelah kemarahan dilontarkan dan terlampiaskan, lalu timbul pula penyesalan dan baru ingat bahwa mereka itu saling mencinta? Ataukah hanya saling menguasai dan merasa sayang bahwa mereka telah saling merusak sesuatu yang menimbulkan kesenangan dan kemesraan satu sama lain?

Betapa banyaknya persahabatan yang telah dibina selama puluhan tahun dapat menjadi retak bahkan rusak, dan bahkan berbalik menjadi permusuhan dalam waktu sedetik saja? Cinta kasih antara sahabat. Apakah ini? Bukankah yang kita lihat seperti kenyataan sekarang, aku mencintaimu sebagai sahabat karena engkau baik kepadaku? Dan dengan demikian, pada saat lain aku dapat saja membencimu karena engkau tidak baik kepadaku? Apakah cinta itu demikian murahnya, berdasarkan baik buruknya seseorang kepada kita, apakah dia itu menguntungkan atau menyenangkan hatiku, apakah dia itu merugikan atau tidak menyenangkan hatiku? Apakah cinta hanya seperti ini, seperti jual beli di pasar belaka di mana aku membeli dengan cintaku untuk memperoleh kesenangan lahir batin darimu dan sebaliknya? Kalau sudah tidak memporoleh kesenangan lagi, maka tentu saja tidak ada cinta lagi.

Begitukah cinta kasih? Betapa kita semua lupa akan hal ini. Jelaslah, bahwa cinta kasih tidak akan menyinarkan cahaya selama di situ terdapat kebencian, iri hari, rase takut, pamrih untuk senang sendiri, maka pada saat itupun cinta kasih tidak ada dan mereka berhadapan sebagai musuh yang saling membenci.

Sambil menangis, Ouwyang Ci yang sekarang menyesal oleh perbuatannya sendiri itu lalu memondong suaminya, dibawa masuk ke dalam rumah mereka. Ia merawat suaminya, akan tetapi pukulannya terlampau hebat dan suaminya tidak sadar lagi dan tewas dua hari kemudian! Isteri ini menangisi kematian suaminya, menangisi dan menyesali perbuatannya sendiri, menyesali pula sikap suaminya yang keras kepala. Sedangkan Kim Hong yang baru berusia empat belas tahun itu hanya ikut menangis dan kematian ayahnya di tangan ibunya sendiri itu membuat luka goresan mendalam di batinnya.

Semenjak matinya Pangeran Toan Su Ong, Ouwyang Ci hidup terbenam dalam duka. Ia menjadi sakit-sakitan dan ia melanjutkan penggemblengan puterinya seorang diri saja. Ia menurunkan semua ilmunya dengan tekun dan ketika Kim Hong telah berusia delapan belas tahun, dara ini telah mewarisi semua kepandaian ayah bundanya! Bahkan ia lebih lihai dari ibunya sekarang! Akan tetapi, ibunya yang merasa bahwa malapetaka itu terjadi karena ia lebih lihai dari suaminya, lalu menyuruh puterinya bersumpah bahwa puterinya tidak akan melayani pria sebelum ada pria yang mengalahkannya! Jadi, dengan sumpah ini sang ibu menghendaki agar jangan sampai terulang seperti keadaan dirinya. Ia menghendaki agar puterinya menjadi isteri seorang pria yang memiliki kepandaian lebih tinggi daripada Kim Hong, sehingga dengan demikian Kim Hong takkan dapat melakukannya dan akan menurut apa yang dikehendaki suaminya. Hal ini timbul dari penyesalan hatinya karena ia akhirnya sadar bahwa suaminya benar.

Selama hidup di pulau itu, mereka cukup bahagia dan saling mencinta dan kalau ia dahulu menurut kata-kata suaminya, tentu mereka bertiga masih dapat hidup rukun dan berbahagia di pulau itu.

"Demikianlah riwayatku, Thian Sin. Tak lama kemudian, ibu meninggal dunia karena suatu penyakit yang menyerang jantungnya, tentu karena kedukaannya, dan akupun hidup sebatangkara di dunia ini. Sebelum meninggal, ibu berpesan kepadaku agar aku tidak melupakan sumpahku, dan ibu memperingatkan aku bahwa wajahku cukup cantik sehingga tentu akan menarik banyak pria, dan karena jarang ada pria yang akan dapat mengalahkan aku, maka ibu menganjurkan agar aku memakai topeng menyamar sebagai nenek-nenek untuk mengurangi gangguan dan godaan. Aku menurut saja, dan demikianlah, aku lalu memakai topeng dan meninggalkan Pulau Teratai Merah."

Thian Sin mendengarkan dengan penuh perhatian dan dia merasa kagum sekali. "Dan muncullah Lam-sin yang merajai dunia kang-ouw di selatan, dan akhirnya engkau menjadi ketua dari Bu-tek Kai-pang."

"Tidak begitu mudah," jawab Kim Hong. "Aku muncul sebagai seorang nenek tanpa nama. Karena melihat kepincangan-kepincangan dan kesewenang-wenangan para penjahat, aku lalu turun tangan membasmi mereka. Namaku mulai terkenal sebagai nenek tanpa nama atau mereka tadinya menyebutku Bu-beng Kui-bo (Biang Iblis Tanpa Nama) karena aku tidak pernah mau mengakui namaku. Makin banyak golongan sesat yang menentangku dan aku basmi mereka semua dari wilayah selatan ini. Akhirnya, setelah tidak ada lagi yang berani menentangku, barulah aku mendapat julukan baru, yaitu Lam-sin."

"Dan engkau tundukkan Bu-tek Kai-pang yang tadinya dipimpin oleh Lam-thian Kai-ong?"

"Benar. Aku melihat kedudukan perkumpulan itu yang besar dan kuat. Maka kukalahkan para pimpinannya dan Lam-thian Kai-ong takluk kepadaku, mengangkatku sebagai kepala mereka. Akan tetapi Lam-thian Kai-ong meninggal tak lama kemudian karena luka-lukanya ketika melawanku. Aku lalu mengangkat tiga orang ketua baru itu yang kulatih sedikit ilmu. Dan akupun lebih banyak bersembunyi, membiarkan mereka itu yang bekerja untukku."

"Dan sekarang?" Sekarang? Aku telah bebas... aaahhh, betapa senangnya. Aku telah bebas dari topeng itu, bebas dari ikatanku sebagai Lam-sin. Kaulihat tadi, Lam-sin sudah mampus, yang ada sekarang hanya Toan Kim Hong, seorang gadis yang bebas..."

"Dan mencinta seorang pemuda yang bernama Ceng Thian Sin..." kata Thian Sin sambil meraih.

Kini Kim Hong membiarkan dirinya dirangkul.

"Kalau saja Ceng Thian Sin juga mencintanya."

"Dengan sepenuh hatiku," kata Thian Sin yang menciumnya.

Gadis itu tidak menolak dan mereka lalu berpelukan dan bergumul di atas permadani rumput yang tebal itu.

Demikiantah, dua orang muda itu tenggelam dalam lautan madu asmara yang memabukkan. Thian Sin berusia dua puluh tahun dan Kim Hong berusia dua puluh dua tahun. Akan tetapi mereka berdua sama sekali tidak mempersoalkan perbedaan usia ini. Yang mempersoalkan perbedaan usia hanyalah mereka yang mengikatkan diri dengan pernikahan.

Dalam pernikahan ini selalu terdapat banyak kaitan-kaitan, syarat-syaratnya. Harus si calon suami lebih tua beberapa tahun daripada si calon isteri, harus tidak ada hubungan keluarga, harus memenuhi syarat begini dan begitu. Akan tetapi, dua orang muda ini tidak terikat oleh apapun juga. Mereka melakukan hubungan karena dasarnya suka sama suka. Bahkan mereka itupun hampir tidak mempedulikan soal cinta atau tidak cinta. Mereka suka untuk saling bercumbu, saling berdekatan, saling bermain cinta dan menumpahkan seluruh kemesraan hati masing-masing, dan habis perkara! Mereka itu seperti binatang dalam hutan yang bebas melakukan apapun juga yang mereka kehendaki, tidak mengganggu orang lain, juga tidak ingin diganggu orang lain, tidak ingin diikat oleh peraturan-peraturan.

Sampai satu bulan lamanya mereka berdua hidup di dalam tempat yang sunyi itu, penuh madu asmara, penuh kemanisan yang membuat mereka lupa segala-galanya, seperti sepasang pengantin yang berbulan madu. Sebulan kemudian, ketika mereka berdua mandi di sumber air tak jauh dari pondok itu, mandi bertelanjang bulat seperti dua ekor ikan, tanpa malu-malu karena di situ tidak ada orang lain kecuali mereka, Thian Sin duduk di atas batu. Kim Hong berenang menghampirinya, lalu duduk di sebelahnya. Sinar matahari pagi menyentuh hangat di atas badan mereka yang basah.

"Kim Hong, apakah kita akan begini terus selamanya?" tanya Thian Sin, memandang termenung ke air di bawah mereka yang jernih dan sejuk sekali itu.

Kim Hong memandang pemuda itu dan tersenyum manis. Giginya berkilau tertimpa sinar matahari pagi.

"Tentu saja! Mengapa tidak? Bukankah kita berbahagia di sini? Apakah engkau tidak berbahagia bersamaku, Thian Sin?"

Thian Sin merangkul. "Tentu saja, Kim Hong. Aku merasa berbahagia sekali bersamamu di tempat ini. Akan tetapi, segala kesenangan itu tentu akam menimbulkan kebosanan, bukan?"

Tiba-tiba Kim Hong mengibaskan lengan pemuda itu yang merangkulnya dan ia mendorong dada Thian Sin dengan kuat.

"Eh-eh...!" Thian Sin mengelak dan tentu saja tubuhnya terjatuh ke dalam air karena batu yang mereka duduki itu sempit saja.

"Byuuuuurrr...!" Thian Sin berenang menghampiri lagi.

"Kim Hong, mengapa engkau?" tanyanya sambil memegangi batu.

"Kau bilang sudah bosan denganku? Ah, pergilah, jangan mendekat!" Kakinya menendang ke arah kepala Thian Sin.

Tentu saja pemuda itu tidak membiarkan kepalanya ditendang dan diapun cepat menyelam dan menjauh.

"Nanti dulu, engkau pemarah benar. Siapa bilang aku bosan kepadamu? Nah, ke sinilah, akan kuperlihatkan padamu bahwa aku tak pernah bosan!" Thian Sin meraih dan dapat menangkap kaki gadis itu, menariknya dan Kim Hong juga terjatuh ke dalam air.

Mereka saling menyiramkan air, bergurau dan akhirnya Kim Hong terlena dalam pelukan Thian Sin yang menciuminya.

"Kenapa kau tadi bilang bosan?"

"Dengarlah dulu, aku tidak bosan sekarang, akan tetapi aku tahu benar bahwa kesenangan kelak akan membosankan, baik kepadaku maupun kepadamu. Hidup rasanya hambar kalau setiap hari harus bersenang-senang saja seperti kita sekarang ini, bukan?" Dia berhenti sebentar dan menyingkap rambut yang sebagian menutup wajah yang cantik itu. "Perlu ada selingan, sayang. Baru namanya hidup. Aku sudah terbiasa oleh ketegangan-ketegangan, dan perlu apa kita belajar ilmu silat kalau harus membenamkan diri di tempat sunyi ini terus-terusan? Apakah engkau hendak meniru mendiang ayah bundamu yang menyembunyikan diri di pulau kosong? Kita tidak perlu bersembunyi, kita perlu melihat dunia ramai!"

Kim Hong termenung, lalu mengangguk. "Agaknya engkau benar, Thian Sin. Aku terlampau terpengaruh oleh kehidupan orang tuaku sehingga tanpa kusadari aku ingin meniru kepada mereka, karena aku sudah terbiasa dengan kesunyian. Nah, sekarang apa kehendakmu? Aku menurut saja."

"Aku ingin keluar dari tempat sunyi ini, aku ingin mencari dan menantang, juga ingin mengalahkan orang-orang seperti Tung-hai-sian, See-thian-ong, dan Pak-san-kwi!"

"Ihhh! Kau gila? Mereka itu adalah datuk-datuk kaum sesat yang lihai sekali dan mempunyai banyak kaki tangan. Engkau akan mencari bahaya maut menentang mereka!"

"Justeru itulah, sayang. Aku ingin menentang mereka, menentang bahaya. Tahukah engkau, dalam ketegangan dan bahaya itu terdapat kenikmatan?"

Kim Hong mengangguk. Hal itu pernah dialaminya ketika ia masih menjadi Lam-sin selama hampir empat lima tahun lamanya.

"Tapi, menentang mereka sungguh berbahaya sekali!" katanya.

"Tidak, kalau engkau berada di sampingku. Engkau tentu mau membantuku, bukan?"

"Terdengarnya menarik juga. Tapi, mengapa sih engkau ingin menentang dan mengalahkan mereka?"

"Bukan apa-apa, hanya ingin memuaskan hati saja. Kau tahu, mendiang ayahku dahulu ingin menjadi jagoan nomor satu di dunia, dan aku belum puas kalau aku tidak membuat cita-citanya itu menjadi kenyataan. Aku ingin mengobrak-abrik mereka dan berarti aku telah mengalahkan empat datuk kaum sesat termasuk Lam-sin, maka aku berarti telah menjadi jagoan nomor satu, bukan? Kalau engkau mau membantuku, aku yakin bahwa aku akan berhasil mengobrak-abrik ketiga datuk itu, karena sesungguhnya, aku pernah mengukur kepandaian mereka dan pernah menang ketika bertanding melawan See-thian-ong dan Pak-san-kwi." Lalu dia menceritakan pengalaman-pengalamannya ketika dia mengalahkan dua orang datuk itu.

Kim Hong termenung. "Aku jadi ingin sekali untuk menguji kepandaianku sendiri. Dan akupun ingin bertemu dengan orang-orang pandai. Siapa tahu ada pria lain kecuali engkau yang dapat mengalahkan aku."

"Kalau ada yang mengalahkan, bagaimana? Apakah engkau juga hendak menyerahkan dirimu kepadanya?"

Melihat pandang mata pemuda itu yang mengerutkan alisnya, tiba-tiba Kim Hong tertawa. Suara ketawanya lepas dan riang bebas sehingga nampak deretan giginya yang putih dan gua mulutnya yang kemerahan.

"Ha-ha, engkau seperti seorang suami pencemburu saja! Apakah engkau juga akan begitu setia kepadaku, tidak akan mendekati wanita lain?"

Thian Sin tertegun dan tidak mampu menjawab. Memang tidak ada ikatan apa-apa antara dia dan wanita ini, mengapa dia mengajukan pertanyaan yang tolol dan berbau cemburu itu? Dia menarik napas panjang.

"Kim Hong, terus terang saja, dahulu aku suka sekali kepada wanita cantik dan rasanya aku ingin mendekati seluruh wanita muda yang cantik menarik. Akan tetapi, kalau ada engkau di dekatku seperti sekarang ini, aku tidak tahu apakah aku masih ingin lagi berdekatan dengan wanita lain." Dia mencium mulut itu. "Dan engkau bagaimana?"

Kim Hong menggeleng dan tersenyum manis.

"Mana aku tahu? Aku belum memiliki pengalaman sebanyak engkau, dan engkaulah pria pertama yang pernah bergaul denganku!"

"Ih, kita jadi menyeleweng dari pokok pembicaraan. Bagaimana, Kim Hong, maukah engkau menemani dan membantuku menghadapi para datuk itu? Hanya untuk selingan hidup, mencari kegembiraan. Bagaimana? Kelak kita masih dapat kembali ke sini lagi kalau sudah bosan merantau."

"Mencari kegembiraan di antara cengkeraman maut? Ah, menarik juga. Baiklah, kalau aku merasa bosan, toh mudah saja bagiku untuk kembali ke sini lagi."

"Hemm, terima kasih Kim Hong. Engkau memang manis, hemmm!" Thian Sin menciuminya dan sambil tertawa dan bergurau, mereka saling berciuman dan akhirnya Kim Hong yang kembali mendorongnya.

"Eh, apa perutmu kenyang hanya berciuman saja? Aku sih sudah lapar!"

"Lapar? Wah, setelah kauingatkan, akupun merasa lapar sekali!"

"Tunggu apa lagi? Bubur menanti, dan daging ayam tim kemarin masih ada, tinggal memanaskan saja!"

Mereka tertawa-tawa seperti anak-anak, keluar dari sumber air itu dan berlari-larian seperti anak-anak, keluar dari sumber air itu dan berlari-larian seperti anak-anak kecil berlumba, kembali ke pondok dalam keadaan telanjang saja, seperti tadi ketika mereka berangkat untuk mandi di situ.

Melihat keadaan muda-mudi ini, timbul pertanyaan dalam hati yang membuat kita ragu-ragu untuk menjawabnya. Pertanyaam itu adalah : Kotor dan tidak sopankah sikap dan perbuatan mereka itu? Tidak punya malukah mereka itu? Kalau arti sopan dan susila dengan arti yang remeh sudah menebal dalam perasaan kita, tentu kita akan menyeringai dan dengan mudah dan seketika mengatakan bahwa mereka itu tidak tahu malu, tidak sopan dan sebagainya, walaupun tanpa dapat kita tolak, ada perasaan mesra menyelinap dalam hati dan banyak pula yang merasa mengiri atas kebebasan cara hidup seperti itu.

Mereka itu hanya berdua, tidak ada orang lain kecuali mereka, oleh karena itu, tidak sopan terhadap siapakah? Harus malu terhadap siapakah? Dua orang yang sudah seperti mereka itu, tiada bedanya dengan suami isteri. Bedanya hanya terletak kepada pernikahan, yang untuk jaman sekarang hanya merupakan sepotong surat nikah. Dan suami isteri, atau dua orang yang sudah seperti mereka itu keadaannya, seperti satu badan dan tidak mempunyai rasa malu-malu atau bersopan-sopan, seperti kalau kita sendirian di dalam kamar mandi saja. Karena itu, jawabannya juga tergantung dari pada tebal tipisnya kemunafikan kita sendiri.

Pada keesokan harinya, Thian Sin dan Kim Hong berangkat meninggalkan tempat indah yang sunyi terasing dan terpencil dari dunia ramai itu. Mereka masing-masing membawa buntalan pakaian dan mereka berangkat dengan hati gembira dan bersemangat.

Thian Sin dan Kim Hong membuat perjalanan ke Propinsi Ching-hai. Thian Sin bermaksud untuk lebih dulu mengunjungi See-thian-ong yang tinggal di Si-ning di dekat telaga besar Ching-hai. Mereka melakukan perjalanan seenaknya tidak tergesa-gesa karena Kim Hong yang selama empat lima tahun ini selama tinggal di Heng-yang dan sebelum itu malah selalu berada di dalam pulau kosong, maka kini memperoleh kesempatan merantau dengan Thian Sin, ia ingin menikmati setiap tempat indah yang dilaluinya. Oleh karena itu, mereka melakukan perjalanan seperti pelancong-pelancong saja, atau seperti sepasang pengantin baru yang sedang melakukan perjalanan bulan madu yang manis, di kuil-kuil kuno, dan kalau kebetulan di dalam kota mereka menyewa sebuah kamar di rumah penginapan seperti suami isteri.

Akan tetapi, selama mereka melakukan perjalanan ini, seringkali mereka cekcok, walaupun lebih sering lagi mereka bermain cinta. Ada perbedaan atau bahkan pertentangan watak di antara mereka, yaitu keduanya sama keras dan tidak mau mengalah, tidak mau merasa kalah. Oleh karena ini, maka sering kali mereka cekcok, walaupun sebentar kemudian mereka sudah saling cium dan merasa di dalam lubuk hati mereka bahwa mereka itu saling mencinta dan menyayang!

Di dalam perjalanan itu, Thian Sin menceritakan kepada Kim Hong tentang keadaan See-thian-ong, tentang kelihaian-kelihaiannya, rahasia-rahasia kepandaiannya, dan tentang kehidupannya seperti yang diketahuinya dari murid murtad datuk itu yang pernah menjadi kekasihnya, yaitu So Cian Ling. Dia menceritakan tentang kedua murid See-thian-ong itu, yaitu Ciang Gu Sik yang lihai, dan So Cian Ling yang sebetulnya malah lebih lihai daripada suhengnya itu. Dan memesan kepada Kim Hong agar berhati-hati terhadap ilmu sihir See-thian-ong.

"Tingkat ilmu kepandaian silatmu kiranya tidak perlu kalah berhadapan dengan ilmu silatnya, karena kulihat engkau tidak kalah lihai. Hanya dalam ilmu sihir, engkau harus hati-hati, Kim Hong. Aku dahulu pernah hampir celaka oleh ilmu sihirnya itu, yaitu sebelum aku menguasai ilmu sihir pula."

"Ihhh! Sihir? Ilmu apa sih itu? Mana bisa mengalahkan aku?"

Tiba-tiba Thian Sin memandang kekasihnya itu dengan sinar mata tajam.

"Eh, kenapa engkau memandangku seperti ini...?" Tiba-tiba Kim Hong yang melihat perbedaan pandang mata itu berseru kaget. Namun terlambat karena ia sudah berada dalam kekuasaan sihir Thian Sin melalui pandang matanya.

"Inilah ilmu sihir, Kim Hong. Engkau hendak melawanpun percuma karena kedua tanganmu tak dapat kaugerakkan. Tidak percaya? Cobalah, kedua lenganmu tak mampu bergerak!"

Di dalam suara Thian Sin itupun mengandung kekuatan sihir. Kim Hong tidak percaya dan ia mencoba untuk menggerakkan kedua lengannya, akan tetapi... benar saja. Kedua lengannya tidak dapat digerakkan sama sekali, betapapun ia menjadi terkejut bukan main dan wajahnya menjadi pucat.

Thian Sin menggerakkan tangan ke atas dan berkata, "Aku menyerangmu dengan ciuman, akan tetapi betapapun engkau hendak mengelak dan menangkis, engkau tidak sanggup menggerakkan semua bagian tubuhmu!"

Dan benar saja, Thian Sin mendekatkan mukanya dan mencium bibir gadis itu. Kim Hong ingin mengelak, menarik mundur kepalanya, akan tetapi tidak sanggup!

Thian Sin tersenyum, lalu melepaskan pengaruh sihirnya dan berkata, "Engkau sudah biasa kembali dan mampu bergerak lagi!"

Kim Hong meloncat ke belakang, alisnya berkerut.

"Ilmu siluman apakah ini?" bentaknya, akan tetapi ia benar-benar menjadi gentar.

"Nah, itulah ilmu yang dikuasai oleh See-thian-ong, maka engkau harus berhati-hati terhadap kakek itu."

"Thian Sin, kauajarkan aku ilmu ini, agar aku dapat melawannya!"

"Tidak mudah Kim Hong. Membutuhkan waktu yang lama dan ketekunan yang mendalam. Hanya dapat dipelajari kalau engkau mengasingkan diri bertapa. Kalau kita saling berdekatan seperti ini, mana mungkin? Akan tetapi, di dalam perjalanan ini akan kuajarkan kepadamu bagaimana agar engkau dapat menghindarkan diri dan menolak pengaruh sihir. Tidak cukup kuat, akan tetapi cukuplah untuk menjaga diri. Asal engkau tidak lengah, asal engkau tidak sampai ditarik perhatianmu olehnya, dia tidak akan dapat menguasai pikiranmu."

Mereka melanjutkan perjalanan dan di sepanjang perjalanan, Thian Sin mengajarkan ilmu penolak sihir kepada Kim Hong. Sebetulnya yang diajarkan itu hanyalah cara memperkuat pikiran agar tidak mudah ditarik perhatiannya dan dikuasai lawan. Dan karena Kim Hong adalah seorang gadis yang telah memiliki kekuatan khi-kang yang amat kuat, maka latihan seperti itu amat mudah baginya dan sebentar saja ia sudah memiliki kekuatan pikiran yang cukup sehingga tidak akan mudah diseret perhatiannya oleh lawan.

Ketika mereka memasuki kota Si-ning keduanya lalu mencari kamar di sebuah rumah penginapan. Setelah menyimpan buntalan pakaian mereka di dalam kamar, Thian Sin lalu mengajak kekasihnya untuk berpesiar di Telaga Ching-hai yang amat luas itu. Hari masih belum panas benar ketika mereka tiba di telaga. Mereka menyewa perahu dan dengan gembira mereka berperahu di telaga, di antara perahu-perahu para pelancong. Mereka membuat sajak-sajak sambil berperahu, makan daging panggang dan kacang, minum arak wangi dan setelah matahari naik tinggi barulah mereka kembali ke kota Si-ning.

Hari telah menjadi sore ketika mereka tiba di rumah penginapan itu. Sama sekali mereka berdua tidak tahu bahwa banyak pasang mata dengan diam-diam memperhatikan mereka berdua sejak mereka berperahu di telaga. Tentu saja yang mengamati mereka itu adalah para anak buah See-thian-ong! Dengan cepat See-thian-ong diberitahu oleh anak buahnya tentang adanya Ceng Thian Sin di kota Si-ning. Sejak dikalahkan oleh Thian Sin, datuk wilayah barat ini menaruh dendam yang amat besar sekali. Dia merasa penasaran dan amat membenci pemuda itu, mencari kesempatan untuk dapat bertemu lagi dan menebus kekalahannya dengan menghancurkan pemuda itu!

Kini, seperti ikan mendekati umpan, tanpa dicari pemuda itu telah muncul, bersama seorang gadis cantik. Inilah kesempatan terbaik baginya. Cepat See-thian-ong mengumpulkan para murid dan pembantunya. Tentu saja murid kepala Ciang Gu Sik bersama sumoinya yang telah menjadi isterinya, So Cian Ling, hadir pula. So Cian Ling yang pernah mengkhianati gurunya ketika menjadi kekasih Thian Sin kemudian menerima hukuman dibikin remuk kedua pergelangan tangannya dan kemudian nyaris dibunuh gurunya itu kini telah menjadi murid yang setia lagi. Gurunya tidak mau lagi mengganggunya, karena wanita itu telah menjadi isteri Ciang Gu Sik, pria yang amat mencinta sumoinya ini. Selain kedua orang murid yang pandai ini, juga hadir pula lima orang murid lain yang belum lama ini digembleng sendiri oleh See-thian-ong. Mereka ini adalah lima orang pria yang usianya hampir lima puluh tahun dan yang terkenal dengan julukan Ching-hai Ngo-liong (Lima Naga Ching-hai). Biarpun tingkat kepandaian mereka masing-masing tidak setinggi tingkat So Cian Ling maupun Ciang Gu Sik, akan tetapi kalau kelima orang ini maju bersama, mereka dapat membentuk barisan yang amat kuat sehingga Ciang Gu Sik dan So Cian Ling berdua saja belum tentu dapat mengalahkan mereka.

Lima orang ini sekarang yang menjadi orang-orang yang dipercaya oleh See-thian-ong dan merekalah yang selalu mewakili datuk ini untuk "membereskan" urusan di luar. Sedangkan So Cian Ling dan Ciang Gu Sik lebih banyak mengurus urusan dalam saja dan membantu See-thian-ong untuk mengamati orang-orangnya yang cukup banyak itu.

Yang hadir, selain Ciang Gu Sik, So Cian Ling, dan Ching-hai Ngo-liong, terdapat pula belasan orang pembantu yang selain berilmu tinggi juga sudah dipercaya oleh datuk itu.

"Putera Pangeran Ceng Han Houw itu telah berada di Si-ning! Sekali ini, aku harus dapat membekuknya dan membalas penghinaannya dahulu! Kerahkan semua tenaga, amat-amati dia dan gadis yang agaknya menjadi kekasihnya atau isterinya itu. Jangan sekali-kali kalian turun tangan dan mencari gara-gara. Aku sendirilah yang akan turun tangan. Dan agaknya dia datang ke sini memang untuk mengacau, maka lakukan penjagaan sebaiknya, jangan biarkan dia menyelinap ke dalam tempat kita tanpa diketahui."

Demikian antara lain See-thian-ong memberi perintah kepada para murid dan pembantunya.

"Perkenankan teecu membalas sakit hati teecu yang pernah dipermainkannya!" kata So Cian Ling kepada gurunya.

"Hemm, kepandaianmu masih jauh untuk dapat mengalahkannya, Cian Ling. Apalagi setelah kedua tanganmu cacad," jawab gurunya. "Engkau berdua suamimu tidak akan mampu mengalahkannya, dan kita masih belum tahu sampai di mana tingkat kepandaian gadis yang datang bersamanya. Menurut laporan yang kuterima, mereka bermalam di hotel sebagai suami isteri, dan ketika mereka berpesiar di telaga, mereka itu kelihatan sangat mesra dan saling mencinta."

Diam-diam Ciang Gu Sik yang duduk agak di belakang sebelah kiri isterinya, melirik dan memperhatikan wajah So Cian Ling. Diam-diam pria ini menuliskan sesuatu di atas kertas tanpa diketahui oleh isterinya. Setelah membagi-bagi perintah agar mereka semua siap siaga, pertemuan itu dibubarkan dan ketika Ciang Gu Sik dan So Cian Ling juga meninggalkan tempat itu, surat yang ditulisnya tadi telah disampaikan oleh seorang di antara Ching-hai Ngo-liong kepada See-thian-ong.

Kakek ini membaca tulisan singkat itu dan mengangguk-angguk, tersenyum lebar dan merasa girang sekati. Ciang Gu Sik ternyata adalah seorang muridnya yang paling cerdik dan juga paling setia kepadanya. Ketika Ciang Gu Sik dan So Cian Ling meninggalkan rumah See-thian-ong, ada seorang anak buah yang menyusul mereka, menyampaikan panggilan See-thian-ong kepada murid kepala ini agar menghadap sendirian karena ada hal penting yang hendak dibicarakan. Ciang Gu Sik cepat pergi menemui gurunya, sekali ini sendirian saja.

"Bagus!" kata See-thian-ong. "Usulmu memang baik sekali." See-thian-ong tertawa.

"Memang dugaanmu tepat. Betapapun juga, hati wanita tentu akan tergoda oleh cemburu. Betapapun juga, isterimu pernah jatuh cinta kepada putera pangeran itu. Maka, sekarang, baiknya diatur rencana yang tepat. Kausuruh isterimu pergi menemui Thian Sin dan kausuruh melakukan penyelidikan untuk mengetahui apa keperluan pemuda itu datang ke Si-ning. Dalam pertemuan itu, kalau kita tidak salah sangka, tentu Cian Ling akan memperingatkan Thian Sin bahwa aku hendak membalas dendam kepadanya. Dan dalam pertemuan itu, tentu Cian Ling mengajak Thian Sin untuk bicara berdua saja. Mana mau si keras hati itu bicara dengan kekasih Thian Sin yang baru? Nah, ketika mereka berdua itu berpisah, aku akan berusaha menangkap kekasih Thian Sin!"

"Lalu bagaimana rencana suhu?" tanya Ciang Gu Sik, didengarkan pula oleh Ching-hai Ngo-liong yang juga hadir di situ sedangkan para pembantu lain sudah keluar dari situ.

"Aku menghendaki untuk menawan perempuan itu. Aku tidak ingin membunuh Thian Sin begitu saja, terlalu enak baginya! Setelah berhasil menawan perempuan itu, maka aku dapat memaksa dia menyerah dan aku akan menentukan selanjutnya."

Mereka mengadakan perundingan untuk menjebak Thian Sin dan Kim Hong. Kemudian, Gu Sik pulang dan dia melihat isterinya sedang duduk termenung. Dia duduk di dekat isterinya dan memandang wajah isterinya dengan tajam.

"Engkau kenapa?"

Cian Ling menggeleng kepalanya. "Tidak apa-apa."

"Engkau termenung setelah mendengar Thian Sin, bukan?"

Wanita yang cantik manis itu mengangkat mukanya, sepasang matanya bersinar-sinar.

"Laki-laki jahanam itu!"

"Engkau cemburu?"

"Dia menipuku, dia mempermainkan aku. Dia membuat aku kehilanga kelihaianku karena terhukum oleh suhu. Aku harus membalasnya!" kata Cian Ling sambil mengepal tinjunya.

Akan tetapi suaminya yang sudah amat mengenal isterinya ini dapat melihat kerinduan dalam sinar mata isterinya itu terhadap bekas kekasih itu. Sering kali di waktu berada dalam pelukannya, seperti sedang dalam mimpi saja dan di luar kesadarannya isterinya ini menyebut nama Thian Sin! Itu saja sudah membuat dia maklum bahwa diam-diam isterinya ini masih mencinta Thian Sin. Hal inilah yang membuat Gu Sik semakin benci kepada Thian Sin dan kebenciannya itu kiranya tidak kalah oleh kebencian suhunya terhadap pemuda itu!

"Kalau begitu kebetulan sekali, baru saja suhu memberi tugas kepadamu, sumoi."

"Tugas apakah, suheng?"

Memang aneh sekali dua orang ini. Biarpun mereka itu sumoi dan suheng, akan tetapi mereka telah menjadi suami isteri, dan mereka itu masih saling menyebut sumoi dan suheng! Dan hubungan mereka juga sama sekali tidak mesra. Mungkin satu-satunya kemesraan hanya kalau mereka tidur bersama, dan inipun dilakukan oleh Cian Ling hanya untuk membalas kebaikan suhengnya ketika menyelamatkannya. Kalau Gu Sik amat mencinta isterinya, sebaliknya Cian Ling tidak ada rasa cinta kepada suhengnya, hanya perasaan berhutang budi saja, dan untuk itu ia membiarkan dirinya dicinta dengan menyerahkan tubuhnya akan tetapi tidak pernah menyerahkan hatinya.

"Begini, sumoi, seperti kauketahui sendiri tadi, suhu telah mendengar bahwa Ceng Thian Sin telah berada di Si-ning bersama seorang wanita cantik. Suhu ingin memancingnya agar suhu dapat membalas dendam atas penghinaan yang telah diterimanya dahulu. Dan satu-satunya orang yang telah mengenalnya dengan baik adalah engkau. Maka, suhu tadi menyuruh aku menyampaikan perintahnya, yaitu agar engkau pergi menemui Thian Sin dan menggunakan perhubungan kalian yang lalu untuk menyelidikinya, apa maksudnya datang ke Si-ning dan sebagainya. Akan tetapi, mengingat akan hubunganmu yang lalu dengan dia, dan agar jangan sampai wanita yang mendampinginya itu menaruh curiga atau cemburu, sebaiknya kauusahakan agar engkau dapat bicara empat mata saja dengan Thian Sin, agar wanita itu jangan ikut mendengarkan pembicaraan kalian."

Cian Ling mengangguk-angguk. "Baiklah, akan kulakukan itu."

"Menurut kata suhu, sebaiknya engkau berusaha menemui Thian Sin dan mengajaknya bicara empat mata malam ini juga, dan caranya bagaimana terserah kepadamu."

Kembali Cian Ling mengangguk dan alisnya berkerut karena wanita ini sudah memutar otak mencari akal bagaimana untuk dapat menemui Thian Sin berdua saja, tanpa kehadiran wanita yang agaknya menjadi kekasih baru, atau bahkan isteri Thian Sin itu. Diam-diam hatinya panas bukan main mendengar betapa hubungan antara Thian Sin dan wanita itu amat mesranya dan terbayanglah kembali kenang-kenangan lama ketika pemuda itu bermesraan dengannya selama hampir tiga bulan!

Senja hari itu, setelah makan sore, Thian Sin menerima sepucuk surat dari pelayan rumah penginapan yang melayani mereka makan, karena Thian Sin dan Kim Hong menyuruh pelayan ini membelikan makanan dan makan di rumah penginapan itu. Ketika Thian Sin membuka kertas berlipat itu dan membacanya dia tersenyum. Surat itu dari So Cian Ling!

"Hemm, kau cengar-cengir setelah membaca surat itu, dari siapakah?"

"Dari So Ciang Ling, murid See-thian-ong."

Kim Hong sudah pernah mendengar cerita Thian Sin tentang gadis itu, maka ia berjebi dan membuang muka.

"Kau mau membacanya?"

"Huh, aku tidak mempunyai urusan dengan wanita itu!"

"Ha-ha, kau cemburu?"

Kim Hong memandang dengan mata bersinar marah. "Siapa bilang cemburu? Biar kau mau menggandeng seribu orang wanita, aku tidak akan peduli! Kalau engkau menggandeng lain wanita, berarti engkau tidak suka lagi kepadaku, dan tidak ada yang memaksamu untuk suka kepadaku. Hubungan antara kita bebas tanpa ikatan!"

Thian Sin tersenyum, akan tetapi diam-diam dia merasa khawatir juga kalau-kalau gadis ini meninggalkannya atau tidak mau lagi mendekatinya. Bagaimanapun juga, dia merasa amat berat untuk berpisah dari Kim Hong. Cian Ling tidak ada artinya lagi baginya, dan hubungannya dengan Cian Ling dahulupun hanya terdorong oleh keinginan membujuk dara itu untuk membantunya mencari kelemahan See-thian-ong.

"Maafkan aku, Kim Hong, aku hanya main-main. Kaubacalah suratnya, atau kaudengarkan, kubacakan. Ada jalan yang baik sekali untuk menyelidiki keadaan See-thian-ong melalui Cian Ling."

Thian Sin lalu membaca surat pendek dari Cian Ling itu.

Ceng Thian Sin Mengingat akan hubungan kita yang lalu, aku ingin sekali bertemu denganmu untuk membicarakan hal teramat penting. Datanglah sendirian saja begitu matahari terbenam, di luar kota Si-ning gerbang selatan

Tertanda : So Cian Ling

"Hemm, agaknya ia rindu padamu," kata Kim Hong, tersenyum mengejek.

"Mungkin saja, akan tetapi aku sendiri sama sekali tidak memikirkannya, Kim Hong. Kupikir, sebaiknya kalau kutemui wanita ini untuk menyelidiki tentang keadaan See-thian-ong. Siapa tahu telah terjadi perubahan besar yang tidak kuketahui."

"Sesukamulah!" jawab Kim Hong, bersikap tidak peduli, akan tetapi bagaimanapun juga ada perasaan tidak sedap di datam hatinya.

Ia merasa marah kepada hatinya sendiri. Ia tidak ingin dikuasai atau menguasai Thian Sin, tidak ingin mengikat atau diikat, akan tetapi mengapa hatinya terasa tidak enak melihat Thian Sin hendak menemui kekasih lama. Inikah yang dinamakan cemburu?

Seperti kebanyakan orang, Kim Hong juga tidak mau melihat kenyataan bahwa cemburu tentu timbul di mana terdapat si aku yang mementingkan kesenangan sendiri. Di mana terdapat kenikmatan dan kesenangan, tentu timbul iri hati atau cemburu. Hubungannya dengan Thian Sin, baik sah atau tidak, resmi atau belum, baik dengan ikatan pengesahan atau tidak, telah mendatangkan kenikmatan atau kesenangan baginya. Kesenangan inilah yang membentuk ikatan batin, dan si aku selalu enggan untuk membagi kesenangan dengan orang lain, atau lebih tepat lagi, membagi sesuatu yang mendatangkan kenikmatan dengan orang lain inilah yang melahirkan cemburu. Milikku diganggu, punyaku diambil orang!

Malam itu, dengan hati agak panas, Kim Hong tinggal seorang diri di dalam kamar losmen itu. Ia merasa gelisah, rebah sebentar, bangkit lagi dan duduk termenung, lalu bangkit lagi dan mondar-mandir di dalam kamarnya.

Semenjak menanggalkan topengnya sebagai Lam-sin, ia selalu berdua dengan Thian Sin dan telah mengalami kegembiraan hidup yang luar biasa, yang belum pernah dialaminya sebelumnya. Memang kadang-kadang ia marah kepada Thian Sin, kadang-kadang ia menganggap pemuda itu terlalu besar kepala, tinggi hati dan juga keras hati, mau menang sendiri, dan kalau teringat akan kekejaman-kekejaman Pendekar Sadis, ada perasaan tak senang di hatinya.

Akan tetapi semua itu lenyap setelah berada dalam pelukan dan belaian Thian Sin dan kalau sudah begitu, ia tidak ingin berpisah sedikitpun juga dari pria itu. Dan sekarang, baru pertama kali sejak mereka bertemu Thian Sin pergi meninggalkannya sendirian. Dan ia merasa betapa tidak enaknya perasaan hatinya, begitu kesepian, begitu gelisah dan takut kehilangan pemuda itu! Ia dan Thian Sin sering bicara tentang hubungan mereka berdua. Dan mereka sudah setuju untuk tidak mengikat diri satu sama lain. Oleh karena itu pula maka ia selalu minum obat, warisan dari mendiang ibunya, untuk mencegah agar ia tidak mengandung dari hubungannya dengan Thian Sin. Dan pemuda itupun menyetujuinya. Kalau ada anak terlahir di antara mereka, tentu mau tidak mau mereka menjadi terikat oleh anak itu. Mereka berdua ingin bebas, dan ingin agar hubungan di antara mereka itu atas dasar suka sama suka, bukan karena terpaksa oleh kewajiban-kewajiban yang timbul karena suatu ikatan. Kalau mereka sudah saling bosan atau sudah tidak suka lagi hubungan itu, maka hubungan itu dapat putus sewaktu-waktu. Atau kalau keduanya menghendaki, tentu hubungan itu dapat bertahan selama hidup!

Kini Kim Hong merasa betapa sangat sunyi dan kosongnya rasa hatinya setelah Thian Sin pergi. Hal ini membuat ia merasa bahwa ia telah jatuh cinta benar-benar kepada pemuda itu, bahwa di luar kehendaknya, ia sebenarnya telah terikat secara batiniah.

"Aku cinta padanya! Si bedebah! Aku cinta padanya!" Gadis yang pernah menjadi datuk kaum sesat selama hampir lima tahun ini berjalan mondar-mandir dan memukul-mukul telapak tangan kiri dengan kepalan kanannya sendiri. Hatinya mulai risau. Ia tidak akan bebas kalau sudah terikat, buktinya, baru ditinggal sebentar saja sudah gelisah. Apa akan jadinya dengan dirinya kalau begini?

Belum lama Thian Sin pergi meninggalkannya, selagi ia mondar-mandir di dalam kamarnya, tiba-tiba pintu kamar itu diketuk dari luar. Hampir ia melompat dengan hati girang mengira bahwa Thian Sin telah kembali. Akan tetapi tidak mungkin. Kalau Thian Sin yang datang, tidak akan mengetuk pintu!

"Siapa?" tanyanya sambil menghentikan kakinya.

"Saya, toanio, pelayan."

Kim Hong mengenal suara pelayan yang melayani mereka makan, juga yang menyerahkan surat wanita bekas kekasih Thian Sin tadi. Ia membuka pintu dan Sang Pelayan sudah berdiri di luar pintu sambil membungkuk dengan hormat.

"Ada apa?" tanyanya tidak senang.

"Maaf, toanio. Di luar ada seorang tamu yang katanya membawa berita penting sekali bagi toanio," kata pelayan itu.

Kim Hong memandang penuh kecurigaan, lalu membentak, "Siapa tadi yang memberi surat yang kauberikan... suamiku?"

"Saya... saya tidak mengenalnya, toanio. Saya terima dari seorang wanita cantik, entah siapa..." Tentu saja pelayan ini membohong karena di seluruh daerah itu tidak ada yang tidak mengenal So Cian Ling!

Akan tetapi dia takut untuk mengaku, takut terbawa-bawa karena sesungguhnya dia hanya seorang pelayan yang tidak tahu apa-apa.

"Siapa yang mencariku di luar? Wanita pengirim surat tadi?"

"Bukan, Toanio. Seorang laki-laki, sayapun tidak mengenalnya."

Kim Hong keluar dan menutupkan daun pintu kamarnya, lalu melangkah keluar. Di ruangan depan, seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh jangkung dan berkumis kecil panjang telah menantinya. Laki-laki itu memberi hormat ketika Kim Hong tiba di situ dan memandangnya dengan sinar mata penuh selidik.

"Siapakah engkau? Ada keperluan apa mencariku?" Kim Hong bertanya.

"Apakah nona... eh, sahabat baik dari Ceng-taihiap?" pria ini bertanya.

"Benar. Siapa kau dan ada apa?"

Pria itu memandang ke kanan kiri. "Berita penting sekali tentang Ceng-taihiap. Nona, dia telah masuk perangkap musuh."

"Ehh...?"

"Nona, marilah kita bicara di luar, tidak enak di tempat umum begini, takut ada yang mendengarnya." Pria jangkung itu lalu keluar dari ruangan depan.

Kim Hong yang sudah merasa tertarik dan khawatir mendengar kata-kata tadi, lalu mengikutinya. Pria itu berjalan perlahan-lahan ke jalan di depan losmen, di bagian yang gelap. Ketika Kim Hong sudah berjalan di dekatnya, dia berkata lagi, suaranya berbisik-bisik.

"Bukankah tadi Ceng-taihiap dipanggil oleh seorang wanita...?"

"Nanti dulu, siapakah engkau?"

Pria itu menjura dan berkata, "Nama saya Sim Kiang Liong, saya seorang sahabat baik dari pendekar Ceng Thian Sin.

Ceng-taihiap tentu akan dapat menceritakan siapa adanya saya, nona. Akan tetapi sekarang yang penting, Ceng-taihiap telah terjebak dalam perangkap musuh..."

"Musuh siapa?"

"Siapa lagi kalau bukan See-thian-ong. Bukankah Ceng-taihiap datang untuk mencarinya? Saya tahu bahwa Ceng-taihiap bermusuh dengan datuk itu..."

Kim Hong bukanlah anak kemarin sore yang mudah saja percaya omongan orang. Ia adalah Lam-sin, selain lihai, juga cerdik dan hati-hati sekali. "Lalu apa maksudmu memberitahukan hal itu kepadaku?"

"Nona, Ceng-taihiap telah berjasa bagi para pendekar di sini dan kami berhutang budi kepadanya, maka begitu melihat dia terjebak dalam perangkap, mungkin sekarang telah tertawan oleh See-thian-ong, kami para pendekar tentu saja ingin menolongnya. Karena kami merasa gentar terhadap See-thian-ong, dan karena kami pikir nona tentu akan dapat pula membantu, maka kami sengaja mengundang nona untuk bersama-sama membicarakan hal itu dan mengatur siasat untuk dapat menolong Ceng-taihiap."

Diam-diam Kim Hong terkejut sekali dan jantungnya berdebar keras membayangkan Thian Sin terancam bahaya membuat hatinya gelisah bukan main. Ia mengangguk.

"Baik, mari antarkan aku ke tempat para pendekar." Tanpa banyak cakap lagi, keduanya lalu berjalan cepat menuju ke pintu gerbang utara.

Tak jauh dari pintu gerbang, pria itu mengajak Kim Hong memasuki pekarangan sebuah gedung besar dan megah namun kelihatan sunyi dan angker.

LANJUT KE JILID 035--->
<---Kembali

Serial Pedang Kayu Harum 2

Serial Pedang Kayu Harum 2

Pendekar Sadis Jilid 033

LANJUT KE JILID 034--->
<---Kembali

"Tentu saja aku tahu. Engkau datang untuk membalaskan kematian keluarga Ciu Khai Sun, bukan? Engkau datang untuk mencari pula Ciu Lian Hong, bukan? Heh-heh-heh!"

Thian Sin bangkit berdiri dan memandang tajam. "Lam-sin! Kalau engkau menyembunyikan Hong-moi atau mengganggunya, aku akan..."

Lam-sin masih menyeringai ketika ia mengeluarkan selipat surat. "Aku sudah cukup bicara, lebih baik engkau membaca sendiri surat dari Lian Hong yang sengaja ditulisnya untukmu ini!"

Thian Sin terlalu kaget dan heran mendengar ucapan ini sampai dia tidak mampu mengeluarkan sebuah katapun melainkan menerima lipatan kertas itu, lalu dibuka dan dibacanya. Surat itu singkat saja, ditulis dan ditandatangani oleh Lian Hong, dan memang ditujukan kepadanya.

Sin-ko Lam-sin adalah suboku dan juga subo Lam-sin lah yang menyelamatkan aku ketika terjadi penyerbuan keluargaku

Ciu Lian Hong

Sambil membaca surat itu sekali lagi, Thian Sin merasa jantungnya berdebar keras. Kemudian, setelah dia merasa yakin bahwa dia tidak salah baca, dia mengepal kertas itu dan memandang Lam-sin.

"Bagaimana aku dapat merasa yakin bahwa ini tulisan Hong-moi? Aku tidak pernah mengenal tulisannya."

"Terserah kepadamu. Itu juga bukan aku yang minta, melainkan ia sendiri yang meninggalkan surat, katanya untuk mencegah kesalahfahaman seperti yang terjadi ketika pemuda bernama Cia Han Tiong, putera Pendekar Lembah Naga itu datang ke sini."

"Apa? Tiong-ko sudah datang ke sini?"

"Ya, malah juga Pendekar Lembah Naga dan isterinya. Mereka bertiga membawa pergi muridku begitu saja. Keluarga sombong dan tinggi hati! Huh, mual aku mengingat kesombongan mereka!" Dan memang nenek itu masih merasa sakit hatinya kalau mengingat betapa keluarga itu memandang rendah kepadanya, bahkan menolak untuk diajak berkenalan dan bersahabat!

Thian Sin termenung. Hatinya kecewa bukan main. Lagi-lagi Han Tiong yang menang, kalau pencarian mereka terhadap diri Lian Hong dapat dikatakan suatu perlumbaan. Kakak angkatnya itu yang lebih dulu menolong Lian Hong walaupun Lian Hohg agaknya tidak terancam bahaya, malah ditolong dan menjadi murid Lam-sin! Saking kecewanya, Thian Sin menjatuhkan dirinya duduk di atas bangku lagi, tak dapat berkata apa-apa dan berulang kali menarik hapas panjang dengan wajah muram tanpa disadarinya sendiri.

Akan tetapi sepasang mata nenek itu sejak tadi mengikuti semua gerak-gerik dan sikapnya, dan tiba-tiba nenek itu terkekeh. Suara ketawa ini seperti menarik Thian Sin kembali ke alam sadar dan dia memandang kepada nenek itu, kini dengan pandangan lain karena ternyata nenek ini adalah penolong, malah menjadi guru Lian Hong. Tentu saja kedudukan ini membuat nenek ini menjadi seorang yang lain lagi, sukar dianggap sebagai musuh! Apalagi dia tadinya menganggap nenek ini sebagai musuh untuk membalaskan sakit hati Lian Hong, siapa kira dara itu malah diselamatkan olehnya dan malah diambil sebagai murid!

"Heh-heh-heh, tak usah menjadi patah hati, orang muda. Dunia tidak hanya sesempit telapak tangan, melainkan luas sekali dan di dunia ini, selain Lian Hong, masih banyak terdapat wanita lain!"

Thian Sin terkejut sekali mendengar ini. "Apa...? Apa maksudmu...?"

"Maksudku sudah jelas, engkau mencinta Lian Hong dan merasa kecewa karena kedahuluan Cia Han Tiong."

Kata-kata itu cepat sekali menghantam perasaan Thian Sin karena memang demikianlah keadaan hatinya. Dia memandang tajam. Setankah nenek ini sehingga tahu akan segala hal mengenai dirinya, bahkan tahu juga apa yang terasa oleh hatinya pada saat itu? Akan tetapi dia cepat menggeleng kepala dan membantah.

"Tidak, engkau salah. Hong-moi itu adalah tunangan Tiong-ko, calon isterinya. Sudah sepatutnya kalau ia pergi bersama Tiong-ko dan keluarga Cia."

"Hemm, tak perlu kau berbohong. Engkau nampak muram dan kecewa, juga berduka. Apalagi kalau bukan karena patah hati? Seorang wanita tua seperti aku dapat dengan mudah melihat kenyataan itu!"

"Engkau keliru. Aku memang berduka karena aku merasa betapa hidupku sebatangkara di dunia ini."

Thian Sin menarik napas panjang dan benar-benar dia merasa betapa dia kesepian, tiada seorangpun yang mencintanya! Sejenak mereka diam. Kalau Thian Sin tenggelam ke dalam kekecewaan dan kesedihan, nenek itupun tenggelam ke dalam lamunan. Tiba-tiba nenek itu berkata, suaranya halus dan ramah.

"Ceng Thian Sin, kita ini sama!"

Thian Sin memandang heran. "Sama? Sama bagaimana?"

"Sama sebatangkara, sama kesepian."

"Ah, tidak mungkin! Engkau adalah Lam-sin, datuk wilayah selatan, ketua dari Bu-tek Kai-pang. Engkau dilayani dan dihormati oleh banyak anak buahmu, bagaimana engkau bisa sebatangkara dan kesepian?"

"Huh, apa itu Bu-tek Kai-pang? Sebelum aku tiba di sini, perkumpulan itu sudah ada. Aku hanya menundukkannya saja, dan aku tidak peduli dengan mereka. Bu-tek Kai-pang bukan apa-apa bagiku, melainkan bekas lawan yang sudah menyerah. Aku sungguh sebatangkara dan kesepian, tiada bedanya dengan dirimu, Ceng Thian Sin."

Pemuda itu memandang kepada nenek yang luar biasa itu penuh perhatian. Sukar untuk dapat diterimanya betapa seorang datuk seperti nenek ini, yang kaya raya dan juga berpengaruh, memiliki kedudukan tinggi dan kekuasaan tak terbatas di selatan, dapat hidup kesepian dan berduka!

"Apakah engkau tidak mempunyai keluarga? Suami, anak atau cucu?"

Nenek itu menggeleng kepala.

"Aku hanya sebatangkara, seperti engkau. Aku... aku tidak pernah menikah tidak mempunyai keluarga..."

Thian Sin terkejut. Kalau seorang nenek setua ini tidak pernah menikah, tentu saja tidak memiliki anggota keluarga seorangpun. Lalu ia menggeleng kepala dan menarik napas.

"Sukar dapat dipercaya bahwa seorang datuk seperti engkau dapat hidup menderita duka."

Nenek itu terkekeh. "Sudah cukup segala cerita sedih ini. Nah, aku sudah dapat mengenal semua keadaanmu, bukan? Sekarang engkau harus memenuhi permintaanku, menemaniku bercakap-cakap sebelum kita bertanding. Nah, mari kuperlihatkan engkau keadaan istana kecilku ini. Engkau adalah seorang tamuku sebelum kita nanti berhadapan sebagai lawan."

Thian Sin yang memang sudah merasa kalah, ikut bangkit dan mengangguk. Nenek itu lalu mengajaknya berkeliling memasuki ruangan-ruangan istananya yang penuh dengan perabot halus dan mahal, penuh dengan hiasan-hiasan yang amat indah. Di sebuah ruangan besar sebelah kiri terdapat kumpulan lukisan kuno dari pelukis-pelukis kenamaan yang tentu harganya amat mahal. Kumpulan lukisan di ruangan itu saja sudah merupakan sejumlah modal yang amat besar! Dan diapun dikagumkan oleh pengetahuan nenek itu tentang lukisan karena nenek itu mengenal lukisan-lukisan ini dan dapat menceritakan pula tentang pelukis-pelukisnya, segi-segi keindahan yang khas dari masing-masing lukisan. Ketika nenek itu membawanya ke dalam ruangan musik, kembali Thian Sin kagum. Di situ terdapat alat-alat musik serba indah, bahkan ada sekumpulan alat-alat musik kuno.

"Apakah engkau suka pula dengan musik dan nyanyian, Pendekar Sadis?"

Thian Sin mengangguk, merasa janggal bahwa mereka berdua yang bergaul seperti dua orang sahabat ini sebenarnya adalah calon lawan yang berbahaya, dan juga mendengar nenek itu menyebutnya Pendekar Sadis sungguh tidak sesuai dengan keakraban mereka ketika bersama mengagumi alat-alat musik itu.

"Dan pandai bermain musik pula?"

"Ah, tidak, aku hanya bisa sedikit meniup suling, kesukaanku sejak anak-anak."

"Meniup suling? Bagus sekali! Dan akupun suka meniup suling dan bermain yang-kim. Kalau begitu, mari kita main barang satu dua lagu, Pendekar Sadis!"

Berkata demikian Nenek Lam-sin lalu mengambil sebuah alat musik yang-kim dan mulailah ia mainkan kawat-kawat yang-kim itu sehingga terdengar suara merdu. Melihat cara jari-jemari itu menari-nari di atas kawat-kawat yang-kim dengan lincahnya dan terdengar serangkaian suara merdu, tahulah Thian Sin bahwa nenek ini memang pandai bermain yang-kim. Kini yang-kim itu mulai memainkan sebuah lagu yang dikenal, maka hati pemuda inipun tertarik sekali dan dia lalu mengambil sebuah suling dan meniup suling itu mengikuti lagu yang dimainkan oleh yang-kim. Maka terdengarlah paduan suling dan yang-kim, saling susul, saling belit dan saling bergandengan, amat cocok dan sedap didengar. Setelah mainkan dua tiga macam lagu, nenek itu menghentikan permainannya dan bangkit berdiri, sejenak memandang kepada Thian Sin lalu terkekeh.

"Heh-heh-heh, sungguh aneh dan lucu! Julukannya Pendekar Sadis, kabarnya kejamnya melebihi iblis, akan tetapi tiupan sulingnya begitu indah dan penuh perasaan!"

"Dan siapakah yang percaya kalau Nenek Lam-sin, datuk sesat yang ditakuti oleh penjahat betapapun ganasnya, ternyata pandai bermain yang-kim seperti puteri istana kaisar saja?" kata Thian Sin dan nenek itu tertawa, tiba-tiba suara ketawanya nyaring dan merdu sehingga mengejutkan hati Thian Sin.

Nenek itu sungguh merupakan orang yang amat aneh luar biasa. Kembali Thian Sin menjadi semakin kagum saja ketika nenek itu membawanya ke kamar perpustakaan. Di situ terkumpul kitab-kitab kuno, segala macam kitab sastra dan sajak terdapat di situ!

Satu di antara kesukaan Thian Sin adalah membaca kitab-kitab kuno, terutama sajak-sajak kuno. Maka, melihat demikian banyaknya kitab-kitab sajak di dalam rak-rak buku di kamar perpustakaan itu, tentu saja dia memandang dengan kagum dan sepasang matanya bersinar-sinar, jari-jari tangannya meraba dan memilih-milih kitab-kitab itu dengan lembut.

"Aku mendengar bahwa Pendekar Sadis adalah seorang pelajar yang suka membaca sajak. Kiranya memang benar. Sungguh seorang teman yang amat menyenangkan! Akupun suka membaca dan menulis sajak, Pendekar Sadis!"

Ah, kiranya banyak sifat-sifat nenek ini yang amat berlawanan dengan nama besarnya sebagai datuk kaum sesat. Dia telah bertemu dengan Tung-hai-sian, Pak-san-kui dan See-thian-ong, tiga di antara datuk-datuk kaum sesat dan mereka semua itu memang hebat dan juga penuh kekuatan dan kekerasan. Akan tetapi Lam-sin hanyalah seorang nenek lembut yang pandai bermain yang-kim, pandai pula mengumpulkan lukisan-lukisan yang bernilai dan bahkan kini suka membaca dan menulis sajak! Bukan main. Dia mulai menyangsikan apakah nenek inipun memiliki kelihaian seperti ketiga orang datuk lainnya itu.

"Pendekar Sadis, setelah kita saling bertemu dalam kesempatan ini maukah engkau menulis sajak untukku, sebagai kenang-kenangan?" tiba-tiba nenek tua itu bertanya.

Thian Sin mengerutkan alisnya. "Lam-sin, bukankah sebentar lagi kita akan saling serang dan mungkin saja aku atau engkau roboh dan tewas? Apa perlunya sajak dalam saat seperti ini?"

"Heh-heh, mati adalah soal nanti, sekarang kita hidup maka harus menikmati hidup yang sekarang ini. Andaikata engkau mati dalam pertandingan nanti, sajakmu akan merupakan kenang-kenangan yang cukup baik."

Thian Sin mengerutkan alisnya. Betapapun juga, nenek ini sungguh tinggi hati dan merasa yakin bahwa ia akan menang nanti, hal ini sudah berkali-kali disindirkan. Maka diapun lalu berkata.

"Lam-sin, memang kau benar, akan tetapi kematian bisa menimpa siapa saja, juga engkau dalam pertandingan nanti. Karena kita belum tahu siapa yang akan roboh dan tewas, maka sebaiknya kalau kita masing-masing menuliskan sajak, agar kalau yang seorang tewas, yang lain masih mempunyai kenang-kenangannya berupa sajak."

"Ha-ha-ha, bagus! Bagus sekali usulmu dan memang cukup adil. Mari kita menulis sajak masing-masing!" Lam-sin lalu mengeluarkan kertas dan alat tulis yang tersedia di dalam kamar perpustakaan itu.

Merekapun lalu menulis sajak. Thian Sin menulis di atas meja di sudut kiri sedangkan nenek itu menuliskan sajak di atas meja yang berada di sudut kanan kamar. Mereka selesai hampir berbareng. Lam-sin selesai lebih dulu, hanya beberapa menit kemudian Thian Sin pun menyelesaikan sajaknya. Sambil ketawa dan penuh keinginan tahu memancar dari sepasang matanya yang tajam itu, Lam-sin mengajak bertukar kertas yang penuh dengan tulisan. Lalu, dengan suara lantang, nenek itupun membacakan sajak tulisan Thian Sin.

Lam-sin datuk dunia selatan
mendatangkan kagum dan heran
aku melihat perpaduan
antara ketuaan dan kesegaran
keganasan dan kelembutan

Sementara itu, Thian Sin juga membacakan tulisan tangan yang halus indah, yang sudah dikenalnya dari surat tantangan yang diterimanya.

Pendekar Sadis yang tersohor
kiranya hanya seorang pemuda hijau
yang lemah lembut dan halus
pandai bersuling dan bersajak
betapa amat mengagumkan

Mereka saling pandang dan keduanya tertawa. Tanpa mereka sengaja, bunyi sajak mereka itu serupa benar. Keduanya menyatakan keheranan masing-masing dan juga kekaguman hati masing-masing terhadap satu sama lain!

"Lam-sin, sungguh tulisanmu amat indah dan sajakmu juga amat indah," Thian Sin memuji.

"Hem, kepandaianmu menulis sajak juga amat mengejutkan hatiku, Pendekar Sadis," Nenek itu berkata.

Dan pada saat itu, sama sekali tidak terasa adanya permusuhan di dalam hati Thian Sin! Maka, sebagai penyesalan bahwa ia terpaksa harus bertanding melawan datuk ini, kalau bukan karena keluarga Ciu juga untuk membuktikan bahwa dia mampu mengalahkan semua datuk sesat sehingga dengan demikian dia akan mengangkat nama besar ayahnya dan melanjutkan cita-cita ayahnya untuk menjadi jagoan nomor satu di dunia, dia berkata.

"Lam-sin seorang tokoh seperti engkau ini, yang sudah tua dan memiliki banyak macam ilmu kepandaian yang hebat, dan yang sama sekali tidak patut menjadi seorang golongan sesat, mengapa engkau sampai menjadi datuk kaum sesat?"

"Hemm, kaukira aku menjadi datuk kaum sesat di selatan karena memang aku suka menjadi orang yang dianggap jahat? Huh, aku muak dengan sikap para pendekar sakti seperti keluarga Cia itu, yang merasa dirinya sendiri saja yang pandai, gagah dan bersih, memandang rendah kepada golongan lain. Aku tidak peduli dianggap jahat dan engkaupun boleh saja memandang aku sebagai seorang datuk yang jahat. Akan tetapi ketahuilah, Pendekar Sadis yang tidak menyeramkan, bahwa golongan hitam atau kaum sesat perlu ada yang ditakuti, agar mereka itu dapat terkendali. Kalau mereka itu tidak dapat dikendalikan, kalau tidak ada yang mereka takuti, maka mereka itu akan menjadi liar dan hal ini amatlah berbahaya bagi seluruh rakyat. Biarlah aku disebut datuk kaum sesat, rajanya penjahat, akan tetapi aku paling benci melihat penindasan, apalagi melihat perkosaan terhadap wanita. Kau tahu mengapa aku menolong Lian Hong dan menganggapnya sebagai murid? Karena ia hendak diperkosa orang dan tahukah engkau siapa orang itu? Seorang anggota Bu-tek Kai-pang sendiri, dan aku telah membunuhnya sendiri!"

"Hemm, memang ada kumelihat kejanggalan pada dirimu, Lam-sin. Berhadapan denganmu, sungguh sama sekali aku tidak merasa berhadapan dengan seorang datuk sesat, berbeda dengan kalau aku berhadapan dengan tiga orang datuk yang lain di utara, timur dan barat. Maka sungguh luar biasa kalau orang seperti engkau ini sejak dahulu tidak pernah berkeluarga. Kalau kaulakukan hal itu, tentu sekarang engkau telah menjadi seorang nenek yang dikelilingi cucu-cucunya yang tercinta."

Mendengar kata-kata itu, Lam-sin menundukkan mukanya dan Thian Sin hanya memandang, mengira bahwa nenek itu tentu menjadi sedih mendengar ucapannya. Tiba-tiba nenek itu mengangkat mukanya dan Thian Sin terkejut sekali. Sepasang mata itu demikian tajamnya, mencorong seperti hendak menembus jantungnya dan mulut yang keriputan itu bertanya, "Ceng Thian Sin, pernahkah engkau jatuh cinta?"

Thian Sin terkejut, bukah hanya karena sinar mata yang tajam itu, akan tetapi juga mendengar nenek itu secara tiba-tiba saja menyebut namanya selengkapnya, tidak lagi sebutan yang nadanya mengejek memanggil nama julukannya. Juga dia terkejut dan bingung menerima pertanyaan yang sama sekali tak pernah disangkanya itu.

"Cinta? Jatuh cinta? Ah, aku sendiri tidak tahu. Memang banyak wanita cantik yang menarik perhatianku, akan tetapi jatuh cinta...? Ah, aku tidak mengerti..."

"Hemm, bukankah engkau mencinta Lian Hong?"

Thian Sin menunduk dan menarik napas panjang. Sukar menyangkal di depan nenek yang matanya tajam ini.

"Entahlah, memang pernah aku jatuh cinta kepada gadis-gadis lain sebelumnya. Akan tetapi setelah Hong-moi menjadi tunangan Tiong-ko, seperti juga dengan gadis-gadis sebelumnya yang gagal menjadi milikku, aku meragu lagi apakah aku benar-benar mencinta mereka itu. Aku tidak tahu apa-apa tentang cinta, mungkin hanya mengira saja pernah jatuh cinta kepada setiap gadis yang menarik hatiku." Thian Sin berhenti sebentar, lalu menyambung sambil menatap wajah keriputan itu, "Engkau sendiri bagaimana, Lam-sin. Engkau belum pernah menikah, apakah itu berarti bahwa engkau juga belum pernah jatuh cinta sampai setua ini?"

Nenek itu menggeleng kepalanya. "Tidak pernah ada yang pantas menerima cintaku!"

Setelah menjawab demikian, iapun menyambung cepat, "Mari kita ke lian-bu-thia!"

Thian Sin tidak menjawab dan mengikuti nenek itu, hatinya meragu. Setelah nenek itu mengajaknya ke lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) maka tentu maksudnya untuk mengajaknya bertanding. Dan kini dia ragu-ragu! Bukan dia takut menghadapi datuk ini. Akan tetapi untuk apa dia bertanding melawan nenek ini? Seorang nenek tua yang pandai bersajak, pandai bermain musik, yang begitu lemah lembut nampaknya. Dia tahu bahwa kalau dalam pertandingan ini dia berhasil merobohkan dan membunuh nenek ini, dia akan merasa menyesal selama hidupnya.

Mungkinkah dia dapat berbangga mengalahkan seorang nenek tua renta seperti ini? Dan kalau dia kalah pun akan membuat namanya menjadi bahan tertawaan orang-orang di seluruh dunia! Akan tetapi, dia tidak dapat mundur lagi.

Seperti pada ruangan-ruangan lainnya, juga di ruangan ini Thian Sin melihat keadaan yang amat mewah dan indah. Ruangan lian-bu-thia ini selain amat luas dan bersih, juga mempunyai banyak jendela di atas sehingga udaranya segar, sungguh amat baik dipakai berlatih silat atau berlatih samadhi. Di sudut terdapat rak senjata yang penuh dengan segala macam senjata yang serba indah dan juga amat baik buatannya, dari bahan baja yang baik pula.

"Nah, sekarang tiba saatnya bagi kita untuk mengadu ilmu silat. Bukankah itu yang kaukehendaki ketika engkau datang ke kota Heng-yang dan mencari gara-gara dengan orang-orang Bu-tek Kai-pang?"

Thian Sin mengangguk. "Tadinya memang demikianlah, demi membalaskan kematian keluarga Ciu, akan tetapi sekarang..."
"Sekarang bagaimana? Engkau takut? Heh-heh-heh!"

Merah muka Thian Sin. "Siapa takut kepadamu? Tapi, sekarang tidak ada alasannya lagi mengapa aku harus membunuhmu."

"Engkau membunuhku? Hemm, jangan mimpi, orang muda. Dan tentang alasan apakah kematian banyak anak buah Bu-tek Kai-pang itu tidak cukup untuk membuat aku membunuhmu?"

Lega rasa hati Thian Sin. Memang hal itu merupakan alasan yang cukup kuat baginya untuk menghadapi Lam-sin sebagai musuh.

"Bagus! Engkau tentu saja boleh membalaskan kematian para anak buahmu itu. Mari, Lam-sin, kita bereskan perhitungan antara kita!" Dan pemuda itu lalu meloncat ke tengah ruangan lian-bu-thia dan berdiri tegak dengan sikap tenang.

Lam-sin juga meloncat ke depannya dengan gerakan ringan seperti seekor burung pipit terbang saja. Thian Sin waspada, dia maklum bahwa biarpun dia belum dapat mengetahui sampai di mana kepandaian nenek ini, akan tetapi satu hal sudah jelas bahwa nenek ini memiliki ilmu gin-kang yang hebat, yang tidak berada di sebelah bawah kepandaiannya sendiri.

"Menurut penuturan Lian Hong, engkau mewarisi ilmu-ilmu dari Pendekar Lembah Naga, juga ilmu-ilmu dari keluarga Cin-ling-pai, bahkan telah menguasai Thi-khi-i-beng, padahal Cia Han Tiong sendiri tidak pandai ilmu mujijat itu. Agaknya, dalam hat ilmu silat, engkau malah lebih lihai daripada putera Pendekar Lembah Naga. Nah, keluarkanlah semua ilmumu itu, orang muda!" Lam-sin menantang.

Thian Sin melihat bahwa di balik jubah nenek itu ada tersembunyi sepasang pedang tipis dengan gagang emas, berukir kepala ular, maka dia dapat menduga bahwa nenek ini tentu ahli bermain pedang pasangan. Akan tetapi pada saat itu, Lam-sin tidak mencabut keluar sepasang pedangnya, maka diapun bertanya, "Lam-sin, kita bertanding dengan tangan kosong ataukah engkau hendak mempergunakan sepasang pedangmu itu?"

Nenek itu tersenyum menyeringai, mengejek. "Apa sih bedanya dengan pedang atau tidak? Kedua tanganku ini dapat membunuh lebih cepat daripada pedang kalau memang diperlukan. Kita berhadapan sebagai lawan, perlu apa tanya pakai senjata atau tidak? Kalau engkau sendiri memiliki seribu macam senjata, keluarkanlah itu semua, aku tak mundur selangkahpun!"

"Nenek sombong, tak perlu banyak cakap lagi, sambutlah ini!" Thian Sin lalu menampar dengan gerakan sembarangan, akan tetapi dia mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang sehingga tangannya didahului sambaran angin pukulan yang dahsyat.

Akan tetapi, dengan gerakan yang lincah sekali sehingga tidak patut dengan orangnya yang sudah demikian tua, Lam-sin mengelak dan dengan sama cepatnya dari samping iapun sudah membalas serangan Thian Sin dengan pukulan tangan kiri ke arah dada. Pukulan itu ringan bukan main, seperti kapas saja! Akan tetapi Thian Sin cepat mengelak karena dia mengenal pukulan ampuh. Pukulan yang amat ringan ini adalah pukulan Ilmu Silat Bian-kun (Silat Tangan Kapas) yang nampaknya saja lembut dan tidak mengandung tenaga kasar sedikitpun. Akan tetapi jangan kira pukulan itu tidak berbahaya karena di balik keringanan dan kelembutan itu mengandung tenaga sin-kang yang sudah mencapai tingkat tinggi sekali sehingga orang yang terkena pukulan, biarpun kulitnya tidak lecet, akan tetapi di sebelah dalam tubuhnya bisa rusak dan terluka parah.

Mulailah mereka saling pukul. Karena Lam-sin mengandalkan gin-kangnya, maka terpaksa Thian Sin mengimbanginya. Gerakan mereka cepat sekali dan setiap pukulan, setelah dielakkan, disambut dengan pukulan juga sehingga dalam waktu singkat, gerakan mereka yang cepat itu telah melewati tiga puluh jurus di mana mereka saling pukul namun selalu mengenai tempat kosong karena keduanya menghindarkan diri dengan elakan-elakan yang tepat dan cepat.

Setelah lewat tiga puluh jurus mengandalkan kecepatan gerakan, tahulah Thian Sin bahwa kalau dia terus mengandalkan gin-kang, dia akan menderita rugi karena harus diakuinya bahwa dalam ilmu ini, dia masih kalah setingkat oleh lawan! Maka diapun lalu mengerahkan sin-kangnya, menghentikan gerakan bersicepat itu dan kini dia memasang kuda-kuda dengan teguhnya, lalu mengubah ilmu silatnya.

Tadi, ketika dia berusaha mengimbangi kecepatan lawan, dia telah mainkan Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin) yang diterimanya dari pendekar sakti Yap Kun Liong. Dengan ilmu ini dia dapat bergerak cepat, atau setidaknya dapat membendung banjir serangan dari lawan yang memiliki kecepatan luar biasa itu. Kini, dia menghentikan gerakan cepatnya dan mengubah ilmu silatnya dengan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun yang kokoh kuat dan indah itu.

Melihat lawan mengubah ilmu silatnya, kalau tadi amat cepat dan seolah-olah lawannya itu berubah menjadi delapan orang sehingga diam-diam Lam-sin kagum sekali maka kini berubah lambat dan kokoh kuat, Lam-sin menyerang dengan sama cepatnya, hanya bedanya, kini diarahkannya sebuah pukulan ke arah kepala lawan dengan tenaga yang dahsyat, bukan dengan tenaga halus seperti tadi.

"Haiiittt...!" Ia membentak dan terdengar desir angin ketika pukulannya meluncur ke depan.

"Hemmm...!" Thian Sin cepat menangkis gerakan tangkas dan kuat sekali karena memang dia sengaja mengerahkan tenaga untuk menangkis dan mengadu kekuatan sin-kang. Tentu saja untuk ini dia mengandalkan tenaga Thian-te Sin-ciang yang hebat itu.

"Dukkk...!" Benturan dua lengan yang mengandung tenaga sin-kang amat kuat itu hebat bukan main dan akibatnya, Thian Sin terdorong mundur dua langkah akan tetapi Lam-sin sendiri terhuyung ke belakang sampai tiga langkah!

Nenek itu terkejut bukan main. Selama ini, belum pernah ia menemukan lawan yang dapat menandinginya dalam hal gin-kang dan sin-kang. Sekarang, biarpun dalam hal gin-kang (ilmu meringankan tubuh) pemuda itu masih kalah sedikit olehnya, akan tetapi sebaliknya dalam hal sin-kang agaknya ia kalah kuat! Hal ini membuatnya penasaran bukan main dan sambil menjerit, ia sudah menerjang lagi dan sekali ini dia mengerahkan seluruh tenaganya, menghantamkan lagi tangan kiri ke arah ubun-ubun kepala Thian Sin.

Pemuda ini maklum bahwa lawannya penasaran, maka sambil tersenyum diapun menangkis lagi, dan karena dia tahu bahwa lawannya mengerahkan seluruh tenaga, maka diapun mempergunakan tenaga Thian-te Sin-ciang yang ditambahnya dengan khi-kang yang diperolehnya dalam latihan ilmu peninggalan ayahnya.

"Desss...!" Tubuh Thian Sin terhuyung sampai tiga meter ke belakang, akan tetapi sebaliknya, tubuh nenek itu terbanting roboh! Nenek itu terkejut, dan cepat ia menggulingkan tubuhnya dan meloncat bangkit lagi, memandang dengan mata terbelalak.

Bukan main marahnya dan ia sudah meloncat ke depan lagi. Thian Sin menyambutnya dengan tamparan dan menggunakan satu jurus dari San-in-kun-hoat sambil mengeluarkan pukulan Pek-in-ciang sehingga dari tangannya mengepul uap putih. Melihat ini, nenek itu kagum sekali, akan tetapi cepat mengelak karena kini ia tahu bahwa mengadu tenaga akan merugikan dirinya. Maka ia sudah mengubah lagi gerakannya, kini mengandalkan gin-kangnya untuk memperoleh kemenangan. Setelah ia mengelak tiba-tiba saja mulutnya berseru nyaring dan tiba-tiba ada sinar hitam menyambar dari samping ke arah pelipis kepala Thian Sin.

Sinar hitam itu menyambar seperti ular hidup, Thian Sin cepat menundukkan kepalanya menghindarkan diri dan ternyata sinar hitam seperti ular itu adalah kuncir rambut! Nenek itu mempunyai rambut panjang, sepanjang pinggangnya setelah kuncir itu terlepas dari sanggulnya, dan anehnya, kalau rambut yang menutupi kepala itu tadi nampak putih penuh uban, setelah kini rambut yang panjang itu terlepas dari sanggul dan tergantung sebagai kuncir tebal, rambut itu masih nampak hitam dan subur sekali. Juga ketika menyambar lewat, Thian Sin mencium keharuman kembang.

Kembali rambut itu menyambar-nyambar dengan ganasnya, disusul dengan pukulan-pukulan kedua tangan dan bahkan kini nenek itu mulai menggunakan kaki untuk menendang sehingga serangannya benar-benar amat dahsyat. Kedua kaki, kedua tangan dibantu oleh kuncir yang berbahaya itu, menyerang bertubi-tubi dan diam-diam Thian Sin kagum bukan main. Pantaslah kalau nenek ini menjadi datuk karena memang ilmu silatnya hebat, kecepatannya menggiriskan dan rambutnya itu pun merupakan senjata yang lebih berbahaya dibandingkan kaki atau tangan wanita tua itu. Terpaksa diapun harus cepat mengelak dan menangkis pukulan dan tendangan, akan tetapi tidak berani menangkis rambut karena dia maklum bahwa rambut yang lemas itu kalau ditangkis, dapat melibat dan membelit seperti ular sehingga dia akan terancam bahaya.

Thian Sin mulai terdesak oleh serangan-serangan yang amat dahsyat itu. Tiba-tiba pemuda ini mengeluarkan kipasnya dan juga melolos sebuah sabuk kuning dari pinggangnya. Menghadapi rambut itu, dia teringat akan ilmu permainan sabuk yang dia pelajari dari neneknya, yaitu Cia Giok Keng. Dia tahu bahwa satu-satunya senjata yang dapat melawan senjata rambut itu hanyalah sabuknya ini. Sabuk ini mempunyai sifat yang sama dengan rambut, lemas dan kalau perlu dapat juga dibuat kaku dengan penyaluran sin-kang. Adapun kipasnya dapat dipergunakan untuk menotok, atau kadang-kadang tangan yang memegang kipas tetap saja dapat mengirim pukulan.

Kembali lewat lima puluh jurus benar saja, setelah Thian Sin mempergunakan sabuknya yang dimainkan secara hebat dan indah sehingga sabuk itu seperti seekor naga kuning yang melayang-layang, ujung sabuk dapat menotok jalan darah, dan dapat pula dipergunakan untuk mematikan gerakan rambut lawan, maka nenek itu kembali terdesak.

"Lihat jarumku!" tiba-tiba nenek itu membentak dan ada sinar merah menyambar seperti kilat.

Thian Sin terkejut sekali, mengebut dengan kipasnya dan melempar tubuhnya ke belakang dan dia bergulingan. Kipasnya telah berlubang oleh jarum-jarum merah yang beracun! Keringat dingin membasahi lehernya karena pemuda ini maklum bahwa baru saja ia terlepas dari bahaya maut yang nyaris merenggut nyawanya! Nenek itu tertawa dan melanjutkan serangannya, kini dengan sepasang pedang di kedua tangannya. Ia sudah mencabut siang-kiam (sepasang pedang) dan segera bergerak ke depan, menyerang Thian Sin bertubi-tubi. Nampak dua gulungan sinar hitam menyambar-nyambar dan membuat gulungan yang lebar. Kiranya dua batang pedang itu adalah pedang yang berwarna hitam! Dan begitu kedua pedang itu bergerak maka Thian Sin harus cepat-cepat berloncatan ke belakang. Gerakan sepasang pedang itu amat hebatnya, juga amat aneh. Tahulah dia bahwa nenek itu benar-benar amat lihai dengan siang-kiamnya. Dia tidak tahu bahwa ilmu pedang nenek itu disebut Hok-mo Siang-kiam (Sepasang Pedang Penakluk Iblis) yang mempunyai dasar yang sama dengan Hok-mo-pang yang diajarkan oleh nenek ini kepada para pimpinan Bu-tek Kai-pang.

Memang hebat permainan pedang nenek itu dan biarpun Thian Sin sudah berusaha untuk memutar kipas dan sabuknya, namun dia tetap terdesak, bahkan lewat belasan jurus kemudian, ujung sabuk kuningnya terbabat putus oleh sinar hitam! Nenek itu terkekeh senang dan serangannya menjadi semakin hebat. Thian Sin terpaksa menyimpan sabuknya dan mencabut keluar Gin-hwa-kiam. Nampak sinar perak berkelebat.

"Trang! Cringgg...!"

Nampak bunga api berpijar ketika dua kali pedang di tangan Thian Sin menangkis sepasang pedang hitam. Nenek itu merasa tangannya tergetar hebat. Memang ia tahu akan kekuatan dahsyat pemuda itu, maka iapun cepat menyerang lagi, tidak mau mengadu senjata lagi. Thian Sin juga memutar pedangnya, menangkis, mengelak dan balas menyerang dengan pedangnya yang dibantu oleh kipasnya! Akan tetapi, nenek itu memang luar biasa sekali. Sepasang pedang hitam itu masih dibantu oleh gerakan kepalanya yang membuat kuncirnya seperti menjadi pedang ketiga. Sama hitamnya, tidak kalah cepatnya dan juga berbahayanya. Thian Sin tidak berani main-main lagi. Kini dia tahu benar bahwa di antara empat orang datuk itu, nenek inilah yang paling berbahaya dan lihai!

Maka, setelah sejak tadi mereka bertanding lebih dari seratus jurus tanpa ada yang menang atau kalah dan mereka itu saling desak, Thian Sin lalu mengeluarkan suara melengking panjang dan setelah menyimpan kipasnya, tiba-tiba tangan kirinya membuat gerakan menyerong, miring dan dari tangan ini menyambar angin pukulan dabsyat, dan dia membarengi dengan tusukan pedangnya. Dahsyat bukan main serangan tangan kiri itu karena dia sudah mengeluarkan ilmunya yang dahsyat, yaitu Hok-liong Sin-ciang, ilmu yang disempurnakannya di dalam gua, di bawah bimbingan bayangan Bu-beng Hud-couw sendiri berdasarkan ilmu dari kitab peninggalan mendiang ayah kandungnya.

Nenek itu mengeluarkan teriakan kaget dan sebatang pedangnya, yang kiri terlepas dari pegangan tangan. Ia masih dapat menangkis, lalu menahan desakan Thian Sin dengan sambitan jarum merahnya. Thian Sin mengelak dan memutar pedangnya, lalu menyerang lagi, kini malah menggunakan ilmu Hok-liong Sin-ciang. Menghadapi serangan-serangan ini, nenek itu bingung. Pedangnya tidak ada artinya lagi karena sebelum pedangnya dapat menyentuh lawan, sudah ada sambaran hawa pukulan dahsyat yang membuat ia selalu terdorong mundur. Maka nenek itupun menjadi nekat. Ia mengerahkan seluruh khi-kangnya dan melawan keras sama keras!

Beberapa kali jurus-jurus yang dikeluarkan Thian Sin disambut oleh wanita tua itu dan akibatnya Nenek Lam-sin terlempar dan terbanting. Akan tetapi, ia memang nekat dan kuat sekali. Agaknya tubuh yang tua renta itu mengandung kekuatan yang luar biasa dan kekebalan sehingga beberapa kali terbanting, ia masih terus melawan dengan nekat dan lebih ganas lagi. Thian Sin sendiri sampai merasa penasaran, tidak enak dan kasihan.

Mengapa nenek ini masih belum juga mengaku kalah? Ketika nenek itu menubruk, Thian Sin menyambut dan menangkap pergelangan tangan yang memegang pedang, lalu ia menggerahkan Thi-khi-i-beng! Nenek itu menjerit, akan tetapi lalu tiba-tiba saja seluruh tubuhnya mengendur sehingga sin-kang tidak lagi membanjir keluar. Agaknya nenek ini yang amat lihai memiliki kecerdikan sehingga ia tahu bagaimana menghadapi Thi-khi-i-beng dan kepalanya bergerak, rambutnya yang panjang menyambar dan dua kali, seperti ular hidup, ujung kuncir itu menotok ke arah kedua mata Thian Sin. Diserang seperti ini, tentu saja Thian Sin harus melepaskan pedangnya dan meloncat ke belakang. Kedua matanya tentu saja tidak dapat dilindungi dengan kekebalan.

Karena kehabisan akal bagaimana untuk dapat mengalahkan nenek ini tanpa membunuhnya, tiba-tiba Thian Sin berjungkir balik dan dia telah menggunakan Hok-te Sin-kun, tahu-tahu tubuhnya yang berjungkir balik itu mencelat ke depan dan terdengar nenek itu berteriak kaget lalu roboh terguling, kedua kakinya terasa lumpuh karena telah kena ditotok oleh jari tangan Thian Sin yang tubuhnya berjungkir balik itu. Sebelum pedang itu menyambar, yaitu pedang hitam kanan yang masih dipegang oleh Lam-sin, Thian Sin sudah meloncat ke belakang. Sambil memandang kepada nenek yang tidak mampu berdiri lagi itu, dia berkata, "Lam-sin apakah engkau belum juga mengaku kalah?"

Sejenak mereka mengadu pandang mata. Dan Thian Sin terkejut, juga kasihan melihat nenek itu tiba-tiba menangis! Thian Sin tidak dapat berkata apa-apa, terheran-heran melihat hal yang sama sekali tidak pernah disangkanya ini. Lam-sin, datuk kaum sesat dari selatan ini, menangis seperti anak kecil! Menangis terisak-isak!

"Kau... kau kenapakah, nek?" Thian Sin bertanya sambil mendekati.

"Aku sudah kalah... lebih baik mati...!" Berkata demikian, Lam-sin menggerakkan pedang hitamnya ke arah leher sendiri.

"Jangan...!" Secepat kilat Thian Sin menubruk dan menangkap pergelangan tangan nenek itu.

Lam-sin meronta, akan tetapi Thian Sin merangkul dan memeluknya, memegangi pula pergelangan tangan kirinya. Karena kedua kaki Lam-sin tak dapat digerakkan, masih dalam pengaruh totokan, maka tenaga rontaannya tentu saja sangat berkurang, bahkan menjadi lemah dan ia tidak meronta lagi, melainkan menangis.

Sementara itu, ketika mencegah nenek itu membunuh diri dan memeluknya, secara tidak sengaja tangan dan tubuh Thian Sin berhimpitan dengan tubuh nenek itu dan dia merasakan sesuatu yang amat aneh. Tubuh nenek itu padat, mengkal dan penuh, sama sekali bukan seperti tubuh seorang nenek tua renta, melainkan lebih pantas menjadi tubuh seorang dara!

"Kenapa kau hendak bunuh diri hanya karena kalah olehku, Lam-sin?" Thian Sin bertanya, masih merangkul dan memegangi tangan Lam-sin walaupun pedang hitam itu sudah terlepas dari pegangan nenek itu.

"Engkau tahu... mengapa sampai... saat ini aku belum menikah?" Akhirnya Lam-sin berkata dan ketika Thian Sin menggeleng kepala menyatakan tidak tahu, nenek itu melanjutkan, "Aku telah bersumpah bahwa aku hanya akan menyerahkan diriku kepada seorang pria yang dapat mengalahkan aku... dan sampai detik ini... sebelum ini tidak ada seorangpun pria yang mampu menandingiku... karena itu aku belum pernah... sampai sekarang aku masih perawan... dan setelah akhirnya ada yang mengalahkan aku... hu-hu-huhh... engkau... engkau tentu tidak akan sudi menerimaku... maka daripada aku terhina, lebih baik aku mati...!"

Thian Sin tersenyum dan mendekap kepala wanita yang menangis itu ke dadanya. Bukan hanya tubuh itu yang hangat dan padat seperti tubuh orang muda, juga setelah dia merangkul dan berada dekat dengan nenek ini, dia melihat suatu hal yang tidak mungkin. Sepasang mata itu, demikian jeli dan beningnya, sama sekali bukan mata nenek-nenek biarpun di pinggir mata itu keriputan. Dan sekarang, setelah dekat sekali, baru Thian Sin melihat betapa ketika nenek ini bicara tadi, keriput di pipinya, di tepi hidung dan mulut, di tepi matanya, sama sekali tidak berubah, sama sekali tidak bergerak. Mana ada keriput begitu kaku dan tidak bergerak ketika mulut bicara? Juga suara nenek ini, demikian halus dan bening, juga tidak seperti nenek tua, melainkan suara yang penuh dan suara orang muda. Dan gigi itu! Gigi yang berderet dan putih bersih, biarpun nenek itu berusaha untuk tidak membuka mulut terlalu lebar agar giginya jangan nampak.

"Engkau keliru, nenek tua renta yang baik!" Thian Sin berkata. "Biarpun engkau seorang nenek, namun engkau masih perawan, tubuhmu belum terjamah pria lain. Kalau memang demikian sumpahmu, akupun bersedia menerimamu, aku bersedia membantumu memenuhi sumpahmu."

"Kau... kau mau...?" Lam-sin berkata dengan mata terbelalak dan Thian Sin melihat betapa indahnya mata itu. Dia tersenyum dan mengangguk, lalu dia memondong tubuh nenek itu dengan mudah dan ringannya.

"Benarkah kau... kau mau...?" Nenek itu seolah-olah tidak percaya.

Thian Sin mengangguk dan menundukkan mukanya, mencium ke arah leher di balik baju leher yang agak tersingkap itu. Leher yang kulitnya putih kuning dan halus, sedikitpun tidak ada keriputnya seperti yang sudah diduganya,dan dia mencium bau harum minyak wangi.

"Di antara semua kamar di dalam istana ini, hanya kamar tidur saja yang tadi belum kulihat, maka coba tunjukkan di mana kamar tidurmu, dan aku akan buktikan bahwa aku akan membantumu memenuhi sumpahmu, Lam-sin."

Ketika dicium lehernya tadi, seketika tubuh Lam-sin menjadi lemas dan kedua lengannya sudah merangkul leher pemuda yang memondongnya dan hanya terdengar bisikan dari muka yang disembunyian di dada Thian Sin, "Ke kiri... melalui pintu kiri itu..."

Thian Sin melangkah sambil memondong tubuh Lam-sin, memasuki pintu kiri dan selanjutnya, tanpa mengangkat muka dari tempat persembunyiannya, Lam-sin menunjukkan di mana adanya kamarnya. Karena tadi sudah diperintah oleh Lam-sin, lima orang pelayannya sama sekali tidak nampak karena mereka itu berdiam di dalam kamar masing-masing tanpa berani keluar!

Ketika Thian Sin sudah mendorong daun pintu kamar itu terbuka, dia tercengang dan kagum. Sebuah kamar tidur yang luar biasa mewahnya! Begitu dibuka, bau semerbak harum menyambut hidungnya. Kamar itu lengkap dengan perabot yang serba indah dan mahal, dan nampak begitu bersihnya, tidak pantas menjadi kamar nenek-nenek peyot, pantasnya menjadi kamar seorang puteri istana! Thian Sin melangkah masuk dan mempergunakan jari tangan yang memondong untuk menutupkan daun pintu lagi, kemudian dengan perlahan dia merebahkan tubuh nenek itu ke atas pembaringan yang berkasur tebal lunak dan bertilam sutera warna merah muda. Sebuah lampu yang berada di atas meja, agaknya tadi dinyalakan oleh pelayan, tertutup kap berwarna hijau sehingga membuat suasana di kamar itu nampak romantis dan indah sejuk.

"Kau... kau tidak mau membebaskan aku dari totokan?" tanya nenek itu.

"Ah, tentu saja! Aku sampai lupa, maafkan." Dengan halus Thian Sin meraba pinggang nenek itu dan bukannya menotok dengan kasar, melainkan mengurut dan menekan lembut dan totokan itupun punah.

Thian Sin duduk di tepi pembaringan dan tangannya meraba kaki nenek itu. Otomatis Lam-sin menarik kakinya yang diraba.

"Apa... apa yang hendak kaulakukan...?" tanyanya, suaranya lirih dan gemetar.

Thian Sin tersenyum. Sikap nenek ini sungguh tidak lebih seperti seorang dara remaja yang pemalu.

"Hanya ingin melepaskan sepatumu, Lam-sin. Aku sendiri harus melepaskan sepatu, bukan? Pembaringan akan kotor..."

"Nanti..." kembali Lam-sin menarik kakinya. "Kau... kaupadamkan dulu lampu itu... aku... aku tidak bisa, aku malu... padamkan lekas, Thian Sin..."

Thian Sin meraih lampu di atas meja dan memadamkannya. Lenyaplah semua keindahan dalam kamar yang menjadi gelap gulita. Thian Sin meraba-raba, melepaskan sepatu Lam-sin dan sepatunya sendiri, lalu memeluk nenek itu. Dan malam itu Thian Sin mengalami sesuatu yang amat luar biasa. Dia tidak ragu-ragu lagi bahwa wanita yang berwajah nenek ini sebenarnya adalah seorang dara yang muda dan memiliki tubuh yang indah, montok dan yang benar-benar selamanya belum pernah berdekatan dengan seorang pria!

Dan wanita ini menyerahkan diri dengan sepenuh hati, dan rela bahkan menangis, saking bahagianya ketika berada dalam pelukannya. Mereka itu seperti pengantin baru saja. Hanya yang agak mengecewakan hati Thian sin adalah bahwa mereka berada di tempat yang gelap gulita. Lam-sin selalu menolak kalau dia hendak menyalakan lampu.

"Thian Sin, kasihanilah aku... jangan nyalakan lampu... kau tunggu saja sampai besok pagi... ah, bertahun-tahun aku menyembunyikan diri dan kini... setelah aku menemukan engkau... engkaulah orang pertama yang akan tahu segala-galanya... maafkan aku."

Tentu saja Thian Sin mau memaafkannya dan ketika dia menciumnya, Lam-sin balas mencium dengan kemesraan dan kehangatan yang membuat Thian Sin tercengang. Biarpun wanita ini mengubah mukanya sebagai nenek-nenek, entah dengan topeng apa maka demikian persisnya sehingga dia sendiripun sebelum berdekatan muka tidak akan pernah menyangkanya, namun dia dapat menduga bahwa wanita ini tentulah seorang gadis cantik. Tentu saja hal itu baru dapat dibuktikan besok dan malam ini, di dalam gelap, biarpun tidak dapat melihatnya, namun dia dapat merabanya dan memperoleh kenyataan bahwa memang Lam-sin seorang wanita yang masih muda, masih gadis.

Bermain cinta dengan wanita yang menyerahkan diri dengan penuh kerelaan, dan wanita yang sama sekali belum pernah diketahui bagaimana wajahnya, merupakan pengalaman baru bagi Thian Sin dan mendatangkan ketegangan luar biasa. Betapapun juga, harus diakuinya bahwa mereka bermain cinta dengan penuh kesadaran, penuh kerelaan dan kemesraan.

Setelah malam lewat, pada keesokan harinya, setelah sinar matahari mulai menerobos masuk dan kamar itu diterangi oleh cahaya keemasan matahari pagi, Lam-sin menyembunyikan dirinya dalam selimut! Bahkan mukanyapun disembunyikannya, seluruh tubuhnya tertutup selimut!

Thian Sin bangkit duduk dan tertawa. "Kekasihku yang manis, bukalah selimut itu dan mari kau memperkenalkan dirimu!"

Dari dalam selimut terdengar suara yang gemetar, "Aku... aku malu..."

"Ih, bukankah kita sudah menjadi kekasih, bahkan telah menjadi suami isteri, walaupun tidak sah? Bukalah, aku ingin melihat bagaimana cantiknya wajah dewi pujaanku..."

"Thian Sin, jangan merayu engkau!"

"Sungguh, aku telah jatuh cinta padamu, dewiku..."

"Kepada Lam-sin nenek tua renta?"

"Bukan, kepada seorang gadis yang cantik jelita dan bertubuh mulus dan indah." Thian Sin memeluk dan dengan perlahan membuka selimut itu dan... dia terpesona!

Memang sudah diduganya bahwa gadis itu tentu seorang wanita muda yang cantik, akan tetapi tak pernah disangkanya sejelita ini! Seorang gadis yang cantik jelita dan manis sekali, yang kini memandang kepadanya dengan sepasang mata yang berseri-seri tajam akan tetapi juga malu-malu, yang kedua pipinya merah sekali dan bibirnya yang merah membasah itu tersenyum malu-malu.

"Ya Tuhan... engkau cantik jelita sekali!" katanya lirih dan Thian Sin lalu merangkulnya, mendekatkan muka itu lalu menciumnya dengan sepenuh kemesraan hatinya.

Sampai terengah-engah wanita itu melepaskan diri, mendorong dada Thian Sin dengan lembut.

"Thian Sin, benarkah bahwa engkau cinta padaku?"

"Sungguh mati, sekarang cintaku padamu menjadi berlipat ganda!"

"Engkau tahu Thian Sin, bahwa aku telah menyerahkan diri kepadamu sebagai seorang perawan, untuk memenuhi sumpahku."

Thian Sin mengangguk dan mengelus rambut yang hitam panjang itu. "Dan aku merasa terharu, merasa berterima kasih sekali bahwa engkau percaya kepadaku."

"Akan tetapi ketahuilah bahwa aku tidak dapat menikah denganmu, tidak dapat menjadi isterimu."

Terkejut juga Thian Sin mendengar ini. Sungguh aneh sekali, dia melepaskan rangkulannya dan menatap wajah yang cantik itu. Sungguh manis sekali wanita ini, dan memiliki bentuk tubuh yang indah menggairahkan. Dia merasa beruntung sekali dapat menjadi pria pilihan gadis seperti ini dan diapun agaknya tidak keberatan untuk mendampingi gadis ini selamanya! Akan tetapi mendengar betapa gadis ini menyatakan tidak dapat menikah dan tidak dapat menjadi isterinya, sungguh merupakan hal yang aneh dan sama sekali berlainan bahkan menjadi kebalikan dari apa yang disangkanya.

Menurut patut, setelah semalam menyerahkan dirinya yang masih perawan, tentu gadis itu akan menuntut atau minta kepadanya agar mereka dapat menikah dan menjadi suami isteri. Akan tetapi mengapa gadis ini malah menyatakan tidak dapat menjadi isterinya?

"Sayang, bukankah kita telah menjadi suami isteri?" kata Thian Sin sambil merangkul dan mencium.

Wanita itu membalasnya dengan mesra dan beberapa lamanya mereka berdua kembali tenggelam ke dalam kemesraannya dan kini, biarpun orang dapat melihatnya, wanita itu agaknya sudah mulai berani dan menumpahkan rasa cintanya tanpa malu-malu.

Akhirnya wanita itu lalu melepaskan dirinya dengan lembut. "Kalau begini terus, kita tidak mungkin dapat bicara, Thian Sin. Apakah engkau tidak ingin mendengar riwayatku dan tidak ingin mengenal siapa namaku?"

"Tentu saja, karena tidak mungkin aku terus menyebutmu Nenek Lam-sin!" kata Thian Sin sambil meraih lagi hendak merangkul. Akan tetapi wanita itu turun dari pembaringan.

"Cukuplah, kita mempunyai banyak hal yang perlu diselesaikan. Mari, berpakaianlah dan kila bereskan urusan Bu-tek Kai-pang juga kita harus bicara dari hati ke hati, barulah kita akan memutuskan apakah kita akan melanjutkan hubungan antara kita atau tidak. Ingat, Thian Sin, apa yang terjadi semalam adalah pemenuhan daripada sumpahku. Kita belum saling terikat, kecuali kalau memang kita nanti menghendaki demikian."

Sikap wanita yang semalam penuh kelembutan, kehangatan dan pemasrahan diri, juga panas dengan api berahi yang bernyala-nyala, kini berubah. Dingin, berwibawa dan membayangkan bahwa kehendaknya tidak boleh dibantah!

Thian Sin tersenyum. "Memang bijaksana sekali keputusan itu. Kita tidak sembarangan mengikatkan diri dan menjadi tidak bebas lagi. Nah, terserah kepadamu, aku hanya akan melihat, mendengarkan, kemudian menjawab."

Setelah berkata demikian, Thian Sin juga turun dari pembaringan. Mereka mandi di kamar mandi yang berada di bagian kamar itu, kemudian Thian Sin yang sudah selesai berpakaian melihat bagaimana wanita itu mengubah dirinya menjadi Nenek Lam-sin. Kiranya nenek itu memakai sebuah topeng yang luar biasa, topeng kulit tipis sekali dan ada rambut putih di bagian kepala. Topeng itu begitu tipisnya sehingga tidak nampak, kecuali dari dekat sekali kalau meneliti gerakan mukanya. Lenyaplah si gadis manis, berubah menjadi nenek tua renta yang menyeramkan.

"Ah, kenapa puteri yang cantik jelita suka bersembunyi di balik topeng nenek tua buruk rupa?" kata Thian Sin.

"Engkau akan mendengar dan mengerti nanti. Sekarang, aku harus membereskan urusan Bu-tek Kai-pang lebih dulu."

Setelah berkata demikian, Lam-sin menarik sebuah tali hijau yang tergantung di dekat pembaringan. Tiga kali dia menarik tali itu dan lapat-lapat terdengar suara berkeliling di luar kamar. Tak lama kemudian, pintu kamar itu terbuka dari luar dan muncullah lima orang pelayan cantik yang kemarin itu.

Thian Sin memandang kepada mereka dan melihat bahwa betapapun cantik-cantiknya mereka, kalau dibandingkan dengan kecantikan dara yang menjadi miliknya semalam, maka mereka itu kalah jauh dan pantaslah kalau menjadi pelayannya. Sebaliknya, lima orang wanita pelayan itu memandang heran melihat Nenek Lam-sin sudah mandi dan bertukar pakaian, lebih heran lagi melihat Pendekar Sadis masih berada di situ! Akan tetapi mereka tidak berani berkata sesuatu, hanya berdiri dengan muka tunduk menghadap Lam-sin, menekuk lutut sebagai penghormatan, kemudian mengatur sarapan yang dibawa oleh tiga orang di antara mereka itu di atas meja dalam kamar.

"Cepat, ambilkan tambahan sarapan untuk Pendekar Sadis!" perintah Nenek Lam-sin. "Kemudian umumkan kepada para pimpinan kai-pang bahwa aku menghendaki diadakan rapat yang lengkap dengan semua anggota."

Setelah sarapan tambahan yang diminta datang, lima orang pelayan itu segera disuruh keluar dan menyampaikan pengumuman itu. Mereka meninggalkan kamar dengan wajah mengandung keheranan, akan tetapi tidak berani mengeluarkan sebuahpun kata. Setelah mereka pergi, Lam-sin lalu mengajak Thian Sin makan pagi. Setelah selesai makan pagi, mereka keluar dari kamar dan Thian Sin mengikuti Lam-sin menuju ke sebelah belakang rumah perkumpulan Bu-tek Kai-pang di mana terdapat sebuah lapangan rumput yang cukup luas dan di sinilah para anggauta Bu-tek Kai-pang berkumpul.

Melihat Pendekar Sadis datang bersama Lam-sin, semua anggota Bu-tek Kai-pang menjadi terheran-heran akan tetapi juga merasa penasaran sekali. Mengapa pemuda itu masih hidup dan tidak dibunuh oleh Lam-sin? Padahal pemuda itu telah menewaskan belasan orang anggota kai-pang. Thian Sin melihat banyak sekali anggota Bu-tek Kai-pang, agaknya sedikitnya ada lima puluh orang yang hadir. Dan tentu ada pula yang tidak sempat hadir, yaitu pada waktu itu tidak berada di situ, karena pengumuman dari Lam-sin dilakukan secara tiba-tiba. Dan diapun melihat tiga orang ketua kai-pang itu dengan rebah di atas usungan, hadir pula. Wajah mereka masih pucat dan mereka memandang kepada Thian Sin dengan mata mendelik dan muka marah. Merekapun merasa yang paling penasaran melihat pemuda itu masih hidup, bahkan berada di samping Lam-sin, seolah-olah di antara mereka tidak ada permusuhan apa-apa.

"Para anggota kai-pang sekalian." terdengar "nenek" itu berkata, suaranya lantang berwibawa dan semua orang yang hadir di situ mendengarkan dengan penuh perhatian dan dengan sikap yang jelas memperlihatkan rasa takut yang mendalam, "dengarkan baik-baik segala perintahku pagi hari ini yang merupakan perintah terakhir dariku untuk kalian!"

Tentu saja semua orang menjadi terkejut, juga terheran mendengar kata-kata ini. Perintah terakhir? Apa maksud datuk itu?

"Aku perintahkan semua anggauta, baik yang kini hadir maupun yang tidak hadir, untuk bekerja sama membantu ketiga ketua kalian yang masih menderita luka, untuk mentaati dan melaksanakan perintah-perintahku ini dengan sebaiknya. Mulai saat ini aku tidak memimpin kalian lagi, dan kalian boleh berdiri sendiri, terserah hendak membentuk kai-pang atau tidak. Akan tetapi aku melarang kalian menggunakan nama Bu-tek (Tanpa Tanding), karena hal itu hanya akan memancing datangnya penentangan tanpa adanya aku di sini, kalian akan dihancurkan golongan lain. Kalian boleh memilih nama kai-pang yang baru dan terserah. Kalian boleh memilih ketua sendiri, apakah akan dilanjutkan oleh ketiga ketua kalian, terserah kalian semua. Hari ini aku akan pergi dan semua barang-barangku yang berada di sini, gedung dengan seluruh isinya, boleh kalian jual dan hasilnya harus dibagi rata dan adil, tidak boleh ada yang main curang dan hal itu kuserahkan kepada lima orang pelayanku ini untuk mengurusnya. Setelah aku pergi, tidak ada seorangpun yang boleh menggunakan namaku lagi, dan semua urusan kalian tidak ada sangkut-pautnya lagi denganku. Akan tetapi awas, ada satu saja di antara perintah terakhirku ini tidak dipenuhi dan dilanggar orang, maka di manapun aku berada, aku tentu akan mendengarnya dan aku akan datang untuk menghukum sendiri si pelanggar!"

"Pangcu...!" Terdengar lima orang pelayan cantik itu berseru dan merekapun menangis! Dan hal ini menular kepada beberapa orang anggota kai-pang dan sebentar saja kebanyakan dari mereka telah menangis!

Lam-sin membiarkan mereka menangis sejenak. Ia sendiri menarik napas panjang beberapa kali dan nampaknya juga berduka, akan tetapi ia lalu mengangkat tangan kirinya ke atas dan berteriak

"Cukup...! Bukan sikap orang-orang gagah kalau membiarkan kedukaan menyeretnya. Ada pertemuan tentu ada perpisahan. Kuulangi lagi, lima orang pelayanku inilah yang berhak membagi-bagi semua harta peninggalanku dengan adil dan merata. Kemudian, tiga orang ketua kuserahi untuk mengurus apakah para anggota masih ingin melanjutkan kai-pang ini dengan lain nama. Yang hendak mengundurkan diri dan membawa bagian harta mereka ke kampung, harus diperbolehkan. Nah, hanya itulah pesanku, tak lama lagi aku akan lewat dan singgah untuk melihat apakah ada yang berani melanggar perintahku hari ini."

"Tapi... tapi, locianpwe..." kata Ang-i Kai-ong. "Bukan saya hendak membantah, hanya saya ingin bertanya bagaimana dengan permusuhan dengan Pendekar Sadis yang telah membunuh begitu banyak anggauta kami?"

Lam-sin menoleh dan memandang kepada Thian Sin yang bersikap tenang, lalu berkata lantang, "Dia datang untuk membalas kematian keluarga Ciu di Lok-yang. Ingat, kalian bertiga yang bertanggung jawab mengirim anak buah untuk membantu penumpasan keluarga Ciu di Lok-yang itu. Sekarang kalian menanggung akibatnya dan telah lunas. Pendekar Sadis sudah memaafkan kalian. Ketahuilah bahwa dia ini adalah Ceng Thian Sin, putera tunggal dari mendiang Pangeran Ceng Han Houw, jagoan nomor satu di dunia itu!"

"Ahhh...!" Seruan ini terdengar dari mulut ketiga orang ketua itu dan juga dari banyak anggota kai-pang yang pernah mendengar nama sang pangeran. Pantas lihainya bukan main, pikir mereka dengan hati gentar.

"Nah, pertemuan ini sudah berakhir. Kalian boleh kembali ke tempat masing-masing dan memanggil pulang semua saudara yang masih berada di luar, dan kalian menanti sampai lima orang pelayanku ini menyelesaikan semua urusan harta. Awas, jangan sampai peristiwa ini bocor dan ketahuan pihak lain. Setelah kalian membentuk perkumpulan baru dengan lain nama, baru boleh diumumkan bahwa perkumpulan baru itu tidak ada sangkut-pautnya lagi dengan Lam-sin. Mengertikah kalian?"

Tiga orang ketua itu berkata.

"Kami mengerti!" dan disusul oleh para anggota yang menyatakan telah mengerti.

Lam-sin mengangguk dan mengajak Thian Sin dan lima orang pelayannya untuk masuk lagi ke dalam gedung, di mana Lam-sin minta disediakan beberapa stel pakaian untuk bekal dan beberapa potong perhiasan yang diambilnya sendiri dari almari. Lima orang pelayan itu melakukan perintah terakhir ini sambil menangis sesenggukan.

Setelah beres, Lam-sin lalu berkata kepada mereka, "Kalian laksanakan pembagian harta ini baik-baik, dan setelah itu, sebaiknya kalian pulang kampung dan menikah. Dengan bagian harta itu kalian akan dapat membangun rumah tangga. Nah, selamat tinggal."

Lima orang itu hanya terisak dan menjatuhkan diri berlutut. Akan tetapi Lam-sin lalu menggandeng tangan Thian Sin, memanggul buntalan pakaiannya dan bersama pemuda itu iapun meninggalkan istananya melalui pintu samping yang kecil dan sunyi, melewati taman bunga yang indah. Akan tetapi Lam-sin tidak mau menengok lagi semua miliknya itu dan setelah keluar dari pintu pekarangan, ia mengajak Thian Sin untuk cepat meninggalkan kota Heng-yang, pemuda itu mengikuti tanpa membantah, akan tetapi ketika Lam-sin mengajaknya pergi ke tepi sungai di mana terdapat sebuah perahu hitam disembunyikan dalam rumpun alang-alang di tepi sungai, dan mengajaknya naik perahu itu, dia menjadi ingin tahu dan bertanya, "Ke manakah kita pergi?"

"Kau ikut sajalah, aku mempunyai sebuah tempat yang indah dan di sanalah kita bicara tanpa ada seorangpun yang akan mengganggu kita," jawab Lam-sin sambil mengemudikan perahu dengan sebatang dayung.

Karena perahu itu mengalir mengikuti arus Sungai Siang-kiang (Sungai Harum), maka perahu meluncur tanpa didayung lagi, menuju ke utara. Menjelang tengah hari, perahu kecil itu memasuki daerah hutan yang lebat dan Lam-sin lalu menggerakkan dayung, membuat perahu itu minggir dan akhirnya berhenti di bagian tengah hutan yang sangat liar, penuh dengan pohon-pohon raksasa. Tempat itu kelihatan menyeramkan sekali, dan agaknya tidak pernah didatangi manusia.

Dengan sehelai tali, Lam-sin mengikat perahu itu ke batang pohon yang doyong ke sungai, lalu meloncat ke darat yang penuh dengan rumpun alang-alang. Thian Sin mengikutinya dan harus meloncat jauh karena berbahaya kalau harus mendarat di tengah rumpun alang-alang yang tidak nampak tanahnya itu. Tanpa banyak bicara Lam-sin menggandeng tangan pemuda itu, berjalan di antara pohon-pohon raksasa dan sepuluh menit kemudian mereka tiba di tempat terbuka.

Thian Sin mengeluarkan seruan tertahan, dan memandang kagum ke depan. Di depan di antara pohon-pohon besar, nampak padang rumput terbuka dan tempat itu merupakan taman yang penuh dengan bunga-bunga. Mereka disambut suara kicau ratusan macam burung-burung hutan dan sinar matahari yang menerobos masuk di antara pohon-pohon yang jarang, membuat tempat itu nampak keemasan dan indah bukan main. Seperti sorga di antara pohon-pohon raksasa yang tumbuh liar. Dan di sudut lapangan rumput itu terdapat sebuah pondok mungil. Kecil namun kokoh kuat, terbuat dari kayu secara nyeni sekali.

Lam-sin mendorong daun pintu, memasuki pondok yang hanya mempunyai sebuah kamar itu dan membuka semua jendela. Hawa yang sejuk memasuki pondok dan Thian Sin melihat bahwa pondok itu biarpun kecil namun isinya lengkap. Sebuah pembaringan yang biarpun tidak semewah pembaringan di istana Lam-sin, namun cukup baik dan bersih, dan perlengkapan-perlengkapan lain yang cukup untuk keperluan beberapa hari. Dan biarpun agaknya sudah lama tempat itu tidak ditempati orang, namun tidak nampak debu. Di antara pohon-pohon raksasa itu memang tidak ada debu maka tempat itu tinggal bersih dan menyenangkan sekali.

Lam-sin melempar buntalan pakaiannya ke atas meja, lalu melempar dirinya di atas pembaringan, nampaknya gembira sekali.

"Nah, inilah tempat persembunyianku di mana aku berada jika hatiku sedang risau. Kini aku bebas...! Bebas...!" Dan iapun mengembangkan kedua lengannya nampaknya berbahagia sekali.

"Tempat yang indah, seperti sorga, pantas menjadi tempat peristirahatan seorang dewi kahyangan seperti engkau!" Thian Sin juga melempar buntalan pakaiannya ke atas meja lalu duduk di pembaringan, merangkul nenek itu.

LANJUT KE JILID 034--->
<---Kembali