Rabu, 19 Februari 2014

Petualang Asmara 68

Petualang Asmara Jilid 068

<--kembali

Kuil itulah yang kini menjadi tujuan perjalanan mereka, Hong Ing harus bersembunyi dan menjadi nikouw di sebuah kuil yang sunyi, baru akan selamat dara itu!

Mereka melakukan perjalanan di sepanjang tepi Sungai Huang-ho. Sebenarnya, kalau mereka bukan menjadi orang-orang buruan pemerintah, perjalanan itu akan dapat dipermudah dengan menggunakan perahu mengikuti aliran air sungai. Akan tetapi mereka tidak berani mengambil jalan air, dan menyusuri tepi sungai sambil bersembunyi-sembunyi, memilih bagian-bagian yang sunyi.

Pada suatu pagi mereka beristirahat di tepi sungai yang merupakan hutan sunyi senyap. Semalam suntuk mereka melakukan perjalanan karena mereka melalui daerah ramai. Dan pagi hari ini, setelah tiba di hutan yang sepi, mereka duduk di bawah pohong beristirahat. Hong Ing memanggang daging ikan yang mereka tangkap di sungai, kemudian mereka berdua makan daging ikan panggang dan minum air dari sumber yang cukup jernih. Sambil duduk bersandar pohon memberi kesempatan kepada tubuh yang lelah untuk beristirahat, Hong Ing berkata. “Kun Liong, kau tentu lelah sekali...”

Kun Liong duduk di atas rumput dan bersandar pada sebongkah batu besar. Dia menoleh dan memandang wajah nikouw muda yang manis itu, lalu tersenyum. “Tidak lebih lelah daripadamu, Hong Ing.”

“Lain lagi dengan aku, Kun Liong. Aku memang perlu untuk pergi mencari tempat persembunyian. Akan tetapi engkau melakukan semua ini demi aku.”

“Hemm...” Kun Liong tidak menjawab dan kini dia menundukkan kepalanya.

“Mengapa, Kun Liong? Mengapa kau melakukan semua jerih payah ini untukku?”
Kun Liong mengangkat mukanya.

“Hong Ing, entah sudah berapa kali engkau menanyakan hal ini kepadaku? Mengapa? Mengapa aku melakukan semua ini? Tentu saja kulakukan karena engkau adalah seorang sahabatku yang baik, bukan? Andaikata tidak demikian sekalipun, andaikata engkau seorang lain, dan bukan sahabat baikku, tentu akan kulakukan juga. Menolong orang yang membutuhkan pertolongan merupakan perbuatan yang lumrah dan sudah semestinya, bukan?”

“Karena engkau seorang yang berbudi mulia, Kun Liong.”

“Hemmm...”

Hening sejenak. Kemudian terdengar lagi suara Hong Ing dan betapa heran rasa hati Kun Liong mendengar suara yang sumbang dan berada kecewa itu, “Jadi engkau menolongku bukan karena akulah orang itu?”

Karena tidak mengerti, Kun Liong mengangkat muka memandang. “Apa maksudmu?”

Hong Ing menjadi merah mukanya dan menggeleng kepala. “Sudahlah, aku hanya bermaksud menagih janjimu tempo hari bahwa engkau akan menceritakan riwayat hidupmu. Aku ingin sekali mengetahui setelah mendengar bahwa Pendekar Sakti Cia Keng Hong adalah supekmu. Ceritakanlah, Kun Liong.”

“Apa yang patut kuceritakan? Riwayatku amat buruk, lebib buruk daripada riwayatmu, Hong Ing. Aku telah pergi meninggalkan rumahku sejak aku berusia sepuluh tahun. Aku merantau dan setelah aku pulang, ternyata ayah bundaku telah tidak berada di rumah kami.” Dia menceritakan dengan singkat pengalaman hidupnya ketika dia meninggalkan rumah sampai dia menjadi murid Bun Hwat Tosu selama lima tahun kemudian menjadi murid Tiang Pek Hosiang selama lima tahun pula.

“Aihhh, kiranya engkau murid dua orang kakek sakti itu. Pantas kau hebat sekali! Dan ke mana perginya ayah bundamu itu?” Hong Ing yang mendengar penuh kekaguman itu bertanya.

Kun Liong menarik napas panjang dan menunduk. “Mereka telah tewas...”

“Heii!....”

“Mereka tewas terbunuh oleh lima orang datuk sesat!” Kun Liong menuturkan betapa kematian ayah bundanya itu dia ketahui dari Cia Keng Hong.

“Aku meninggalkan rumah ketika berusia sepuluh tahun dan tidak pernah berjumpa dengan ayah ibuku! Mereka terbunuh oleh lima datuk itu...”

Hong Ing merasa terharu sekali melihat Kun Liong menggunakan punggung tangan mengusap dua butir air matanya. “Keparat mereka! Kau harus balas mereka, Kun Liong. Biar kubantu engkau! Mari kita cari mereka!”

Kun Liog mengangkat mukanya, memandang dan mencoba tersenyum. “Mereka berlima telah tewas, Hong Ing. Lima orang pembunuh orang tuaku telah tewas semua dan sekarang aku hanya ingin sekali menemukan adikku yang tak pernah kulihat semenjak dia lahir.”

“Adikmu...?”

Kun Liong mengangguk. “Ketika aku pergi, Ibu melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Yap In Hong. Ketika Ayah dan Ibu terbunuh, adikku itu berhasil diselamatkan oleh seorang pelayan, dibawa pergi entah ke mana. Karena itu, setelah engkau mendapatkan tempat yang aman, aku akan pergi mencari adikku itu, Hong Ing.”

Dara itu mengangguk-anggukkan kepalanya yang gundul. “Kasihan sekali kau, Kun Liong. Memang kau harus mencari adikmu itu. Akan tetapi setelah sekarang engkau menjadi orang buruan karena aku, bagaimana engkau dapat melakukan perjalanan dengan leluasa? Engkau akan ditangkap!”

“Tidak, Hong Ing. Aku sudah memikirkan hal itu dan sudah memperoleh jalan terbaik. Aku akan minta bantuan Supek Cia Keng Hong yang mempunyai hubungan baik sekali dengan para pejabat tinggi di kota raja dan dengan bantuannya tentu aku akan dapat dibebaskan dan tidak menjadi orang buruan lagi. Juga aku akan memintakan pengampunan bagimu. Selain itu, aku akan menanyakan tentang pusaka-pusaka milik Siauw-lim-pai yang dahulu dicuri oleh pihak Kwi-eng-pang, apakah pusaka itu sudah dikembalikan.”

“Kau tidak usah repot-repot memikirkan nasibku, Kun Liong. Aku sudah akan merasa lega dan gembira sekali kalau kau dapat terbebas dari himpitan ini yang menimpa dirimu karena kau membela aku.”

“Marilah kita lupakan kepahitan yang kita hadapi, Hong Ing. Kita berdua maklum bahwa kita tidak mempunyai kesalahan dan semua ini adalah gara-gara Pangeran Han Wi Ong yang tak tahu diri. Sekarang aku ingin sekali mendengar riwayatmu. Hong Ing, Siapakah keluargamu? Dan bagaimana engkau bisa menjadi murid Go-bi Sin-kouw yang lihai dan galak itu?”

Nikouw muda itu menghela napas dan mengerutkan alisnya, Kun Liong memandang wajahnya dan pemuda itu kini diam-diam merasa makin kagum dan juga heran kepada diri sendiri. Mengapa setiap kali memandang wajah dara gundul ini hatinya merasa seperti dicengkeram sesuatu yang amat kuat, yang membuat dia merasa terharu sekali dan ingin mencucurkan air mata?

“Aku sudah tidak ingat lagi, Kun Liong. Ketika itu aku baru berusia lima tahun dan seingatku, di sampingku hanya ada ibuku yang cantik dan gagah perkasa. Kami berdua berada di tanah pegunungan, kalau tidak salah dugaanku di Tibet. Entah apa yang terjadi, aku sendiri tidak tahu sama sekali. Tiba-tiba Ibu dikeroyok banyak pendeta berjubah merah, pendeta-pendeta Lama. Ibu menggendongku sambil melawan mati-matian. Ibu berhasil melarikan diri akan tetapi terluka parah. Setelah bertahan sampai belasan hari dan berada jauh sekali dari Tibet, Ibu roboh dan meninggal dunia...”

Hampir saja Kun Liong merangkul dan memeluk tubuh yang berguncang-guncan karena tangisnya itu. Hong Ing menangis terisak-isak. Siapa takkah menangis kalau membayangkan pengalamannya di waktu itu? Ibunya menggeletak dengan muka pucat, dan dia, seorang anak kecil yang tidak tahu apa-apa, hanya menangis dan memanggil-manggil nama ibunya.

“Ah, kasihan engkau, Hong Ing. Sudahlah, lupakan yang sudah dan jangan teruskan ceritamu,” Kun Liong menghibur.

Hong Ing menyuruti air matanya dengan ujung lengan baju. “Aku harus menceritakan semua kepadamu, Kun Liong. Pada saat aku menangis menghadapi Ibu yang sudah dalam sekarat, tiba-tiba muncul Go-bi Sin-kouw dan Lauw Kim In, Subo dan suciku itu. Go-bi Sin-kouw berusaha menolong ibuku, namun sia-sia dan Ibu hanya dapat menceritakan dengan napas terputus-putus kepada Go-bi Sin-kouw sebelum menghembuskan napas terakhir. Begitulah, aku lalu dibawa pergi oleh Subo dan Suci.”

“Apakah Go?bi Sin?kouw tidak menceritakan kepadamu tentang nama ibu dan ayahmu?”

“Tidak pernah. Subo tidak pernah mau mengaku, dan kalau aku bertanya, dia hanya bilang bahwa Subo yang kini menjadi pengganti ayah bundaku. Aku tidak pernah mengenal ayahku, dan tidak tahu pula mengapa Ibu dikeroyok oleh para pendeta Lama.”

“Ssstt...!” Tiba?tiba tubuh Kun Liong mencelat ke belakang. Dia menyusup ke dalam semak?semak, Ialu meloncat ke atas pohon tinggi, matanya memandang ke kanan kiri mencari?cari. Kemudian dia melayang turun lagi ke depan Hong Ing yang sudah meloncat berdiri dan memandangnya dengan heran.

“Ada apakah, Kun Liong?” tanyanya, kagum menyaksikan gerakan Kun Liong yang ringan seperti burung terbang tadi.

Kun Liong mengerutkan alisnya. “Entahlah, aku tadi seperti mendengar suara orang menarik napas panjang dan terdengar suara kaki menginjak daun kering. Akan tetapi kucari ke mana?mana tidak ada bayangan seorang pun manusia.”

“Ah, agaknya suara binatang kecil di semak?semak,” kata Honj Ing yang duduk kembali. Kun Liong juga duduk di depannya.

“Hong Ing, riwayat kita sama?sama menyedihkan. Kita berdua adalah orang?orang muda yang menderita sengsara sejak kecil.”

“Menang begitulah agaknya, Kun Liong. Aku tidak pernah tahu apa itu yang disebut bahagia. Tahukah engkau Kun Liong? Apakah bahagia itu?”


Kun Liong merenung, sepasang matanya memandang jauh, alisnya berkerut, kepala gundulnya mengkilap tertimpa matahari pagi, lalu terdengar dia berkata lirih, seperti kepada dirinya. “Bahagia? Apakah itu bahagia? Adakah keadaan yang disebut bahagia? Ataukah itu hanya merupakan sebutan saja, merupakan bentukan khayal yang timbul karena keinginan manusia terlepas dari kesengsaraan? Siapakah yang membayangkan bahwa ada keadaan bahagia di dalam hidup? Tentu hanya orang?orang yang sengsara! Orang?orang yang sengsara dan menderita menciptakan khayal yang berlawanan dan berlainan daripada keadaan hidupnya sendiri, menciptakan khayalan keadaah hidup yang sebaliknya dan yang disebutnya bahagia! Maka hanya orang?orang yang sengsara sajalah, yang merasa bahwa dia tidak bahagia, yang merindukan kebahagiaan! Orang yang tidak merasa menderita sengsara, apakah dia merasa adanya bahagia itu? Tentu tidak, karena sekali dia bahagia, itu bukaniah kebahagiaan lagi namanya! Kebahagiaan yang dirasakan berarti “kesenangan” dan sekali kesenangan dirasakan, maka kesenangan akan membuatnya menjadi pecandu dan setiap kali dia akan selalu mengejar kesenangan serupa untuk diulang kembali!”

Hong Ing memandang dengan mata terbelalak. Tak disangkanya pemuda gundul ini dapat bicara seperti itu. Kata?katanya biasa saja, akan tetapi inti sarinya meresap ke dalam sanubarinya, membuat dia seolah?olah dibangunkan dari mimpi dan melihat kenyataan.

“Kalau begitu, apakah bahagia itu, Kun Liong?” tanyanya lirih seolah?olah ada rasa hormat tersembunyi dalam hatinya terhadap pemuda itu.

“Entahlah, mungkin itu hanya sebutan saja dan sebutan atau nama sebuah keadaan atau benda bukanlah si keadaan atau si benda itu sendiri. Kalau dapat dituturkan dan digambarkan, itu jelas bukanlah kebahagiaan namanya, melainkan kesenangan. Kebahagiaan bukanlah benda mati, bukankah keadaan yang mati tak berubah lagi, karena itu tidak mungkin digambarkan, tidak mungkin dicari dan dikejar. Maka itu, kiranya tidak akan meleset jauh kalau kukatakan bahwa KEBAHAGIAAN HANYA MENJENGUK ISI HATI MEREKA YANG TIDAK MEMBUTUHKAN KEBAHAGIAAN!”

Hong Ing melongo, tiba?tiba menangkap kedua tangannya dan berkata penuh hikmat, “Omitohud...!”

Kun Liong baru sadar dan dia seperti ditarik kembali ke dunia lama. “Heiii! Apa?apaan kau ini, seperti seorang nikouw tulen saja, pakai omitohud segala?”

Hong Ing menurunkan kedua tangannya, masih memandang kepada pemuda itu dengan mata terbelalak dan agaknya dia pun baru saja sadar akan keadaan yang berbeda dengan biasanya tadi. “Ah, Kun Liong, ketika kau bicara tadi... kau menjadi... lain! Wajahmu penuh wibawa, tapi penuh kehalusan... membuat aku menjadi hormat dan takut. Kau... kau aneh sekali. Dari mana kau memperoleh semua pelajaran tentang hidup itu? Pelajaran yang begitu terbuka dan aneh, namun yang mau tak mau harus kuakui kebenarannya itu?”

Sejenak Kun Liong tidak mampu menjawab, kemudian katanya ragu?ragu, “Entahlah, Hong Ing. Mungkin juga dari kitab, tapi entah kitab apa yang pernah menyebutkan semua itu tentang bahagia. Terlalu banyak aku membaca kitab yang hampir kesemuanya menjanjikan kebahagiaan?kebahagiaan kosong. Lamunan khayal yang membuat orang seperti boneka atau seperti dalam mimpi, tak pernah dapat melihat kenyataan hidup seperti apa adanya.”

“Hemm, kutu buku! Mempelajari segala hal dari buku, apa sih artinya? Hanya merupakan pendapat orang lain belaka, pendapat para penulisnya, pengarangnya! Kalau si pengarang bijaksana dan pandai, belum tentu kita ketularan kebijaksanaan dan kepandaiannya, akan tetapi kalau si pengarang dungu, kita terseret ke dalam kedunguannya!”

Kun Liong mengangguk?angguk. “Kau betul, ucapanmu tepat sekali, Hong Ing.”

“Kau yang pandai bicara tentang kebahagiaan, apakah engkau pernah merasa bahagia, Kun Liong?”

Kepala yang gundul itu tak bergerak sampai lama, kemudian dia menggeleng ragu. “Kalau kuingat?ingat, aku hanya terlalu sering merindukan kebahagiaan. Kalau aku sedang sakit terbayang olehku betapa bahagianya kalau sehat, padahal kalau sehat tidak terasa lagi kebahagiaan dari kesehatan itu. Bagi orang lapar, kebahagiaan adalah kalau memperoleh makanan. Pendeknya, kebahagiaan selalu berada di masa depan, sebagai harapan dan keinginan yang dikejar?kejar, namun setelah terpegang tangan, kebahagiaan itu sendiri terbang lenyap, dan tampak di depan lagi, seperti seekor burung merpati, kelihatan jinak namun tak pernah dapat ditangkap! Entahlah, kurasa aku belum pernah menangkapnya.”

“Bagaimana saat sekarang ini? Apakah kau berbahagia?” Hong Ing bertanya sambil menatap wajah tampan itu.

“Sekarang ini? Ah, pertanyaanmu sungguh aneh, Hong Ing. Bagaimana aku bisa berbahagia dalam keadaan begini? Tidak, aku malah merasa susah dan sengsara karena kita berdua harus saling berpisah dalam keadaan seperti ini, menjadi orang-orang buruan pemerintah! Kita akan saling berpisah dan entah bagaimana jadinya kelak dengan nasib kita masing?masing. Tidak, Hong Ing, saat ini aku tidak hahagia.”

“Tapi aku berbahagia, Kun Liong!”

“Haiii...? Kau...?”

“Hemm, agaknya pengetahuan dari kitab?kitabmu tidak ada gunanya, Kun Liong. Tahu dari kitab saja percuma, yang penting harus menghayatinya sendiri.”

“Tapi, kau... kau berbahagia? Mana bisa? Mana mungkin?”

“Mengapa tidak mungkin? Aku merasa berbahagia, mengapa tidak mungkin?”

“Sebabnya?”

“Apa sebabnya? Hanya berbahagia, titik, tidak ada sebabnya lagi.”

“Tapi... haii!!! Siapa itu...?” Kun Liong berseru keras karena pada saat itu terdengar suara tertawa, suara ketawa yang luar biasa nyaringnya sehingga menggetarkan seluruh hutan, kemudian bergema di semua penjuru hutan itu. Kun Liong meloncat lagi, mengejar ke sana?sini karena sukar mencari dari mana asal suara ketawa itu. Namun ternyata sia?sia belaka. Seperti juga tadi, biarpun dia sudah menyelidiki dari atas pohon, tidak tampak bayangan seorang pun manusia. Dia melayang turun lagi, mencari ke sana?sini di balik semak?semak dan, kini Hong Ing juga ikut mencari. Akhirnya mereka berdua saling pandang dan Hong Ing bergidik.

“Bu... bukan manusia...!” katanya berbisik dan wajahya yang cantik itu jelas kelihatan ngeri dan takut. Dia memang seorang dara yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, akan tetapi menghadapi suara ketawa menyeramkan yang tidak ada orangnya itu, benar?benar membuat nyalinya menyempit.

“Ahhh, tidak mungkin. Tentu manusla! Biar kucari lagi dari atas pohon tertinggi itu!” Kun Liong meloncat lagi ke atas pohon dan memanjat dari cabang ke cabang sampai dia berada di puncak pohon. Dia mengintai ke empat penjuru dan tiba?tiba dia melihat debu mengebul, tinggi dari arah barat. Pasukan berkuda! Melihat bendera dan pakaian seragam, tahulah dia bahwa tentu pasukan itu pasukan pemerintah yang mengejar dia dan Hong Ing! Maka cepat dia melayang turun lagi.

“Ada pasukan berkuda dari barat, tentu mengejar kita!” katanya.

“Ahhh... bagaimana baiknya?” Hong Ing berkata, memandang wajah Kun Liong dengan bingung.

“Kita lari saja. Di antara mereka tentu terdapat orang pandai..., mungkin yang tadi tertawa adalah orang mereka. Hayo kita lari ke timur!” Maka larilah kedua orang muda itu menuju ke timur. Mereka lari secepatnya, menyusuri sepanjang pantai Sungai Huang?ho terus ke timur.

Beberapa hari kemudian kedua orang muda yang melarikan diri itu sudah tiba di lembah muara Sungai Huang?ho, dekat dengan pantai Teluk Pohai. Cepat keduanya memasuki hutan dan akhirnya Kun Liong menemukan kuil Kwan?im?bio yang berada di dalam hutan itu. Sebuah kuil kecil yang terpencil sendiri di dalam hutan. Kuil kosong dan biarpun di situ masih terdapat meja sembahyang dan beberapa buah bangku, namun semua bangku itu kotor dan bahkan arca Kwan Im Pouwsat juga tidak ada di situ. Akan tetapi Kun Liong memang sudah mempersiapkan diri ketika lari dalam beberapa hari ini. Dia sudah membeli lilin dan hio, maka cepat?cepat bersama Hong Ing dia membersihkan kuil itu kemudian menutupi tempat arca dengan saputangan sutera milik Hong Ing agar tidak kelihatan dari luar tempat arca yang kosong, mengatur lilin di atas meja. Pendeknya keduanya berusaha keras agar kuil itu kelihatan sebagai kuil yang masih bekerja. Tiga hari mereka bersembunyi di kuil itu. Pada hari ke empatnya, dari jauh sudah terdengar derap kaki kuda. Mengertilah kedua orang muda itu bahwa para pengejar mereka telah tiba di dalam hutan itu! Maka sibuklah mereka berdua. Kun Liong menyalakan lilin, memasang belasan batang hio dan menancapkannya di atas meja sehingga asap hio yang harum semerbak keluar dari kuil itu. Tak lama kemudian terdengarlah suara jernih dari Hong Ing yang sudah berliam?keng (membaca ayat suci) sambil mengatur iramanya dengan memukul alat yang khusus dibuat untuk itu dan yang masih ada di dalam kuil! Kun Liong sendiri juga sudah menutupi kepalanya dengan kain putih meniru gaya Hong Ing, dan sambil berlutut dan mulut kemak?kemik dia pun tekun memukuli alat untuk liam?keng itu dengan gencar.

Maka ramailah di kuil itu, suara Hong Ing berliam?keng diiringi suara tak?tok tak?tok nyaring! Suara ini ditambah asap hio mengepul harum memang cukup mendatangkan suasana kuil. Dengan hati berdebar tegang kedua orang itu berlutut dan sengaja memilih ruangan dalam yang gelap, menghadapi meja sembahyang dan menundukkan muka sehingga penutup kepala itu menutupi muka mereka dari samping. Dilihat sepintas lalu, tentu saja mereka merupakan dua orang nikouw yang sedang tekun membaca doa dan suara Hong Ing tidak dapat disangsikan lagi sebagai suara seorang wanita, seorang nikouw.

Derap kaki kuda makin jelas terdengar dan akhirnya terdengar teriakan dan rombongan itu berhenti di kuil. Tepat seperti yang dikhawatirkan oleh Kun Liong, beberapa orang meloncat turun dari kuda dan memasuki kuil! Langkah kaki yang kasar memeriksa ke dalam kuil dan akhirnya memasuki ruangan di mana dia dan Hong Ing berlutut. Hong Ing makin gencar membaca doa, demikian cepatnya sehingga menyelimuti suaranya yang agak gemetar saking tegangnya. “Tidak ada nikouw lain, hanya ada dua orang ini,” terdengar suara orang laki?laki.

“Tentu tidak berada di sini. Kalau ada, tak mungkin mereka dapat bersembunyi.” kata suara laki-laki ke dua.

“Nanti dulu!” Suara wanita ini membuat Kun Liong terperanjat bukan main. Itulah suara Si Gendut Kim Seng Siocia dan diam?diam dia bergidik! Wanita gendut ini amat cerdik dan ternyata Kim Seng Siocia sudah memandang ke arah sepatu yang dipakai Kun Liong dan Hong Ing.

“Heh, Nikouw! Berhentilah dahulu berliam?keng!” Kim Seng Siocia membentak. “Apakah kalian melihat seorang pemuda gundul dan seorang nikouw muda lewat di tempat ini?”

Hong Ing terus berliam?keng dengan suara nyaring, sedangkan Kun Liong cepat menggeleng?gelengkan kepala tanpa menjawab, mulutnya terus kemak?kemik dan tangannya memukuli alat itu makin gencar.

“Ah, dua orang nikouw ini mana melihat hal lain kecuali berliam?keng? Mereka akan berliam?keng sampai mati, memesan tempat di sorga, ha?ha?ha!” Terdengar suara laki?laki pertama.

Langkah kaki mereka meninggalkan tempat itu dan hati Kun Liong sudah mulai lega ketika tiba?tiba suara Kim Seng Siocia membuatnya terkejut setengah mati.

“Nikouw! Kenapa sepatu kalian kotor berdebu?”

Pertanyaan itu diucapkan dengan bentakan yang begitu tiba?tiba sehingga Kun Liong yang terkejut itu menjawab gagap, “Ohhh... ehhh... belum kami bersihkan...!” Dia terbeialak dan melongo ketika melihat kesalahannya sendiri. Dalam gugupnya dia telah membuka mulut memperdengarkan suaranya yang tentu saja tidak pantas menjadi suara seorang wanita, bahkan dengan mengatakan bahwa mereka berdua belum membersihkan sepatu berarti dia telah membuka rahasia.

“Tangkap mereka!” Kim Seng Siocia berseru keras dan terdengar cambuk hitam di tangannya bersuitan.

Kun Liong dan Hong Ing sudah meloncat bangun dan sambil mendorong tubuh Hong Ing agar mundur, Kun Liong sudah menggerakkan ranting yang berada di tangannya menangkis cambuk. Memang dia sudah menyembunyikan dua batang ranting itu di dalam jubahnya tadi, menjaga segala kemungkinan.

Kim Seng Siocia dan dua orang kang?ouw yang tadi melakukan pemeriksaan, setelah melihat bahwa dua orang itu adalah orang?orang yang mereka kejar, cepat melompat keluar karena mereka bertiga maklum betapa lihainya dua orang itu. Kun Liong berbisik, “Hati?hati, Hong Ing. Kita harus mencari jalan keluar dan melarikan diri.”

Hong Ing hanya mengangguk, akan tetapi sedikit pun hati dara ini tidak kuatir. Dia berada di samping Kun Liong dan kenyataan ini mendatangkan keberanian luar biasa. Dia mengikuti Kun Liong berloncatan keluar dan setelah tiba di luar kuil, tampaklah oleh mereka musuh?musuh mereka dengan lengkap! Pangeran Han Wi Ong, Kim Seng Siocia, Go-bi Sin-kouw, para panglima pengawal dan masih tampak belasan orang yang melihat pakaian mereka tentulah orang-orang kang-ouw. Kun Liong merasa heran melihat orang-orang kang-ouw membantu pemerintah untuk menangkap orang buruan. Dia tidak tahu bahwa orang-orang ini bukan semata-mata membantu pemerintah, akan tetapi lebih condong untuk mencari bokor emas karena mereka menganggap bahwa Kun Liong satu-satunya orang yang agaknya tahu di mana adanya bokor emas yang tulen. Di samping mereka ini, masih ada seregu pasukan terdiri dari lima puluh orang perajurit!

Maklumlah Kun Liong bahwa melawan orang sebanyak itu amat berbabaya. Apalagi kalau mengingat akan kepandaian orang aneh yang tadi mentertawakannya, yang dia tidak tahu siapakah orangnya di antara para orang kang-ouw itu. Kalau melawan tentu akan membahayakan keselamatan Hong Ing. Maka tanpa banyak cakap lagi, tiba-tiba dia merangkul pinggang Hong Ing, mengempitnya dan membawanya meloncat sambil mengerahkan gin-kangnya. Tubuhnya mencelat ke kiri, ke arah orang-orang kang-ouw karena dia sudah tahu akan kelihaian Kim Seng Siocia dan Go-bi Sin-kouw yang berada di depannya.

“Kejar!”

“Tangkap!”

Empat orang kang-ouw yang kebetulan berada di sebelah kiri sudah menyambit Kun Liong, akan tetapi tangan pemuda ini menggerakkan rantingnya dan berturut-turut robohlah empat orang kang-ouw itu sebelum mereka tahu bagaimana mereka dapat dirobohkan. Gerakan ranting itu hebat bukan main dan memang Kun Liong telah mainkan Ilmu Tongkat Siang-liong-pang yang amat luar biasa. Setelah berhasil merobohkan empat orang itu, cepat Kun Liong melarikan diri dan setelah agak jauh barulah dia melepaskan tubuh Hong Ing, memegang tangan dara itu dan mengajaknya berlari terus menuju ke timur. Di belakang mereka terdengar teriakan-teriakan orang dan derap kaki kuda. Mereka dikejar terus oleh rombongan itu!

Sehari semalam mereka terus melarikan diri dan pada sore harinya, mereka tiba di pantai Teluk Pohai! Jalan buntu! Di depan mereka membentang luas air laut dan di belakang mereka rombongan itu masih mengejar terus! Melihat keadaan ini, Hong Ing memegang lengan Kun Liong dan berkata, “Kun Liong, kau larilah selagi masih ada kesempatan! Tak ada gunanya lagi kau mati-matian melindungiku, Kun Liong, sampai mati aku akan berterima kasih kepadamu, akan tetapi jangan kau mengorbankan diri untukku. Pergilah dan tinggalkan aku di sini. Aku dapat menghadapi mereka.”

Kun Liong mengerutkan alisnya. “Kau dapat menghadapi mereka? Bagaimana? Kau tentu akan ditangkap oleh gurumu dan akan dipaksa menikah dengan pangeran itu kalau tidak dibunuh.”

“Aku tidak takut! Aku akan melawan dan kalau aku kalah sebelum ditawan aku dapat membunuh diri.”

“Tidak!” Kun Liong mencengkeram lengan dara itu sampai Hong Ing merintih, baru dia teringat dan melepaskannya. “Aku tidak akan pergi meninggalkanmu selama aku masih hidup. Aku tidak bisa membiarkan engkau ditawan atau membunuh diri. Hong Ing, jangan bicara yang bukan-bukan, mari kita lawan mereka. Kita bukanlah orang-orang lemah dan lebih baik mati sebagai harimau daripada mati seperti babi, mati konyol!”

Hong Ing menggigit bibir dan dua titik air matanya jatuh, dia tidak mampu menjawab, hanya mengangguk-angguk. Sementara itu, dari jauh sudah tampak debu mengebul dan tak lama kemudian kelihatan rombongan pengejar itu mendekati pantai.

“Hong Ing, jangan kau bergerak dulu, kau berdiri sajalah di belakangku.” Sambil berkata demikian, Kun Liong memegang tangan dara itu dan meloncat ke atas sebuah batu karang besar yang berada di pinggir laut itu. Dengan sikap gagah dia berdiri tegak. Hong Ing di bebelakangnya seolah-olah dia hendak melindungi dara itu dari segala mara bahaya.

Rombangan pengejar itu berhenti di depannya. Mereka turun dari atas kuda dan memandang pemuda itu, tidak berani sembarangan turun tangan melihat sikap pemuda itu yang sama sekali tidak kelihatan gentar. Kemudian terdengar suara Kun Liong lantang bergema. “Pangeran Han Wi Ong sebagai seorang pembesar tinggi, seorang bangsawan agung, ternyata tingkah lakumu sama sekali tidak patut menjadi tauladan rakyat! Engkau hendak mempergunakan pengaruh kedudukan dan kekuasanmu untuk memaksa seorang dara menjadi isterimu! Engkau tidak bercermin. Lihatlah mukamu sendiri dalam cermin. Engkau juga hanya seorang manusia biasa, tiada bedanya dengan aku atau Hong Ing, mengapa engkau hendak memaksa dia menjadi isterimu? Kalau seorang pembesar sebejat engkau wataknya, bagaimana pula dengan bawahanmu yang akan mencontoh perbuatanmu?”

lanjut ke Jilid 069-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar