Rabu, 19 Februari 2014

Petualang Asmara 59

Petualang Asmara Jilid 059

<--kembali

“Kun Liong...!”

Kun Liong yang sudah melangkah itu terhenti di pintu bekas kamar kuil itu dan menoleh sambil tersenyum.

“Sudahlah, Hwi Sian. Ingat, engkau akan jauh lebih bahagia hidup di samping Tan-enghiong daripada di sampingku. Mencinta tanpa balasan merupakan siksaan jauh lebih berat daripada dicinta tanpa membalas. Selamat tinggal!” Kun Liong meloncat jauh dan cepat lari meninggalkan tempat itu.

“Kun Liong...!” Hwi Sian mengeluh dan menangis. Tak lama kemudian dia sudah terjun ke dalam sungai tak jauh dari kuil itu, merendam tuhuhnya sebatas dada dan masih terus menangis sampai matanya menjadi merah.

Setelah berlari cepat keluar masuk beberapa buah hutan, baru legalah hati Kun Liong, tidak khawatir kalau-kalau Hwi Siap mengejarnya. Dia lalu berjalan seenaknya dalam hutan yang sunyi itu.

Pikirannya melayang, mengenangkan peristiwa semalam. Peristiwa luar biasa yang merupakan pengalaman pertamanya, demikian pula bagi Hwi Sian dan seribu satu macam pikiran mengaduk diotaknya.

Berdosakah dia dengan perbuatannya itu? Bagaimana kalau kelak Tan-enghiong, calon suami Hwi Sian, mengetahuinya? Bagaimana kalau sampai peristiwa semalam bersama Hwi Sian itu berbuah menjadi anak? Bagaimana kalau... kalau... kalau... makin dibayangkan, makin khawatirlah hati Kun Liong dan mulailah dia menyesali kelemahannya sehingga dia membiarkan dirinya terseret. Itu bukan cinta! Itu hanyalah nafsu berahi yang menyeret dia dan Hwi Sian. Berdosakah kalau dia menikmati akibat dorongan nafsu berahi? Dengan suka rela Hwi Sian mengajaknya, menyerahkan dirinya. Kalau dia menolak dan gadis itu benar-benar membunuh diri, apakah penolakannya itu bukan merupakan dosa pula? Kalau diterima dosa, ditolak dosa, lalu bagaimana? Dia bergidik. Bergidik dan merasa ngeri membayangkan kembali perbuatan dia dan Hwi Sian semalam. Celaka dia dan Hwi Sian telah seperti gila semalam, menikmati bujukan nafsu berahi tak kenal puas. Akan dapatkah dia menahan diri kalau kelak berhadapan dengan wanita cantik? Jangan-jangan dia memang mata keranjang, menjadi hamba nafsu berahi, jangan-jangan dia kelak akan menjadi jai-hoa-cat (penjahat pemerkosa)! Memperkosa wanita? Tidak sudi!

“Dessss! Kraaaakkkk!”

Suara hatinya “tidak sudi” tadi disuarakan melalui mulutnya dan diikuti dengan meninju sebatang pohon di dekatnya sehingga pohon itu patah dan tumbang!

“Aku sudah gila!” katanya sambil menjatuhkan diri duduk di atas rumput. Mengangkat kedua lutut ke atas dan menunjang dagunya dengan telapak tangan kanan, termenung seperti patung.

Harus diakuinya, sejak dulu dia suka berdekatan dengan wanita, suka menyentuh, mendekap dan mencium wanita. Sekarang, setelah dia mengalaminya semalam, dia harus mengakui pula bahwa dia suka bermain cinta dengan wanita! Akan tetapi semua itu harus terjadi dengan suka rela dan dia tidak akan sudi memaksa siapapun juga, betapa pun cantiknya, betapa pun menariknya!

Salahkah ini? Inikah yang dikatakan mata keranjang? Gila wanita? Salahkah dia kalau dia suka memandang yang indah-indah diantaranya wajah dara yang cantik dan bentuk tubuhnya yang menggairahkan? Salahkah dia kalau dia suka mencium yang harum-harum dan sedap, diantaranya mencium bunga dan mencium bibir seorang dara? Salahkah dia kalau dia suka mendengar yang merdu-merdu, diantaranya suara seorang gadis manis? Salahkah kalau dia merasakan yang lezat-lezat, salahkah kalau dia menikmati hidup? Salah siapa? Semua itu sudah ada padanya, dan dia sama sekali tidak mengada-ada, tidak mencari?cari! Rasa suka akan semua itu memang sudah ada padanya!

Kalau tidak ada dara yang suka kepadanya, tentu semua itu tidak akan terjadi. Semua pengalamamya dengan Yuanita, dengan Nina, dengan Li Hwa, Giok Keng, Hwi Sian dan Bi Kiok, sungguhpun semua itu tidaklah sejauh dengan Yuanita, atau terutama sekali dengan Hwi Sian. Kalau dara-dara itu tidak suka kepadanya, tentu dia pun tidak akan berani mendekati mereka! Betapa pun cantik menariknya, kalau tidak suka kepadanya dia tidak akan memaksa! Memperkosa?

“Tidak sudi! Desss... pyuuuurr...!” Sebuah batu besar yang berada di sampingnya pecah berantakan terkena hantaman kepalan tangannya!

Dan setelah debu yang mengepul tebal karena pecahan batu itu menghilang, muncul seorang dara jelita yang langsung menegur. “Apakah engkau sudah menjadi gila? Pohon dan batu dipukuli sampai tumbang dan pecah!”

Tadinya Kun Liong terkejut sekali, mengira bahwa Hwi Sian yang menyusulnya. Dia tidak ingin berkepanjangan dengan dara itu, setelah apa yang mereka perbuat bersama semalam. Akan tetapi setelah melihat bahwa yang muncul adalah Cia Giok Keng, dia menjadi gugup dan wajahnya berubah merah!

“Ah, tidak... Nona. Saya... sudah latihan... dan... eh, bagaimana Nona dapat tiba di sini? Saya sudah mengkhawatirkan dirimu...”

GIOK KENG meragu untuk menjawab. Bagairnana dia dapat menjawab setelah apa yang terjadi kemarin? Seperti diketahui, dara perkasa ini mengejar Liong Bu Kong yang melarikan diri. Bu Kong sengaja melarikan diri menjauh, akhirnya berhasil memancing Giok Keng mengejarnya dengan perahu meninggalkan pulau di Telaga Kwi-ouw dan mendarat memasuki hutan. Giok Keng terus mengejarnya. Hati gadis ini merasa penasaran sekali kalau dia tidak dapat merobohkan atau menawan pemuda putera Ketua Kwi-eng-pang itu.

Hari telah menjadi senja ketika akhirnya Giok Keng dapat menyusul Liong Bu Kong di dalam sebuah hutan lebat. Pemuda itu sengaja menantinya dan begitu Giok Keng muncul, pemuda itu menjura dan berkata, “Nona Cia Giok Keng, mengapa Nona mengejarku terus? Apakah Nona begitu benci kepadaku? Padahal, aku cinta padamu, Nona. Sampai kini pun belum pernah lenyap harapan hatiku untuk dapat berjodoh dengan seorang dara jelita dan perkasa seperti Nona. Aku cinta kepadamu dengan sepenuh jiwa ragaku, apakah Nona tega untuk mengejarku dan hendak membunuhku?”

Wajah Giok Keng menjadi merah sekali. Entah mengapa, semenjak pemuda ini datang ke Cin-ling-san dahulu itu untuk meminangnya, dia tidak pernah dapat melupakan pemuda ini yang sekarang kelihatan lebih matang dan lebih gagah daripada dahulu! Dia sendiri heran mengapa segala gerak-gerik pemuda itu, gerak mulutnya, gerak matanya, dan suaranya, semua amat menyenangkan hatinya. Apalagi pengakuan cinta pemuda itu, membuat jantungnya berdebar tidak karuan dan diam-diam hatinya telah terpikat! Akan tetapi, sebagai puteri pendekar sakti ketua dari Cin-ling-pai, tentu saja dia tidak sudi tunduk begitu saja, maka dia pura-pura marah dan membentak, “Manusia jahat! Siapa sudi bicara denganmu? Engkau adalah anak dari datuk sesat Kwi-eng Niocu, dan aku adalah puteri dari Ketua Cin-ling-pai yang selalu bertugas membasmi kaum sesat. Antara engkau dan aku terdapat jurang yang amat dalam, dan kita hanya dapat berhadapan sebagai musuh!”

“Aku memusuhimu? Demi Tuhan, tidak! Aku cinta padamu, bagaimana aku tega untuk mengangkat senjata melawanmu? Jangankan kepandaianku tidak mungkin menandingi ilmu kepandaian puteri Pendekar Sakti Cia Keng Hong, andaikata kepandaianku lebih tinggi sekalipun, aku tidak akan tega untuk melawanmu, Nona.”

“Singggg...!” Giok Keng sudah mencabut pedangnya dan tampak sinar putih berkilau ketika Gin-hwa-kiam (Pedang Bunga Perak) terhunus.

“Hayo cabut pedangmu, tak perlu banyak bicara!” Dara itu membentak.

“Srettt...!” Liong Bu Kong mencabut pedangnya yang mengeluarkan sinar kilat, akan tetapi dia melemparkan pedang Lui-kong-kiam yang ampuh itu ke atas tanah. “Lihat, aku telah membuang pedangku, Nona. Aku tidak akan melawan seorang dara yang kucintai sepenuh jiwa ragaku.”

Giok Keng terkejut bukan main. Tadinya dia masih meragukan ketulusan hati pemuda putera datuk sesat ini, maka dia masih mempertahankan hatinya dan menekan perasaan. Kini melihat pemuda itu benar-benar tidak mau melawannya dan membuang pedang, hatinya terguncang. Namun dia bukanlah seorang dara yang bodoh dan mudah dibujuk orang. Biarpun hatinya terguncang, dia masih membentak. “Ambil pedangmu dan lawanlah, kalau tidak... hemmm, aku akan membunuhmu!”

Liong Bu Kong tersenyum dan memang pemuda ini tampan dan gagah sehingga senyumnya menambah ketampanan wajahnya. “Silakan serang dan bunuh aku, Nona. Mati di tangan seorang dara yang kucinta merupakan kematian yang amat bahagia.”

“Siapa percaya bujukanmu? Mampuslah!” Giok Keng sudah menerjang maju, menggerakkan pedangnya menyerang dahsyat dengan tusukan ke arah leher pemuda itu.

Dapat dibayangkan betapa kaget hati Giok Keng melihat betapa pemuda itu sama sekali tidak mengelak, hanya memandang kepadanya dengan senyum di bibir.

“Aihhh...!” Giok Keng yang terkejut itu berusaha menyelewengkan tusukannya karena tentu saja dia sebagai seorang dara perkasa tidak mau membunuh orang yang tidak melawan, namun usahanya itu tidak berhasil sepenuhnya dan pedangnya sudah menembus pundak kiri Bu Kong!

Ketika Gin-hwa-kiam dicabutnya dan ditariknya kembali, darah mengucur dari pundak pemuda itu yang berdiri dengan tubuh bergoyang menahan rasa nyeri yang hebat akan tetapi yang masih memandang Giok Keng dengan pandang mata mesra penuh cinta dan mulut tetap tersenyum.

“Ahhh... apa yang kaulakukan...? Mengapa kau tidak mengelak? Mengapa tidak menangkis? Mengapa...?” Giok Keng terbelalak, melepaskan pedangnya jatuh ke atas tanah dan bagaikan dalam mimpi dia menghampiri pemuda itu, merobek baju di bagian pundak yang terluka dan ternyata pedangnya telah mengakibatkan luka yang cukup hebat karena pedang yang runcing tajam itu telah menembus pundak kiri pemuda itu!

“Celaka... kau... kau membiarkan aku melukai seorang yang tidak melawan... darahnya mengucur deras, kalau tidak dihentikan, bisa berbahaya...”

“Hemm, biarlah, Nona. Kalau kau memang benci kepadaku, apa artinya luka ini? Kaubunuh pun aku akan rela, karena biarpun kau benci, aku tetap cinta padamu...”

Giok Keng sudah mengeluarkan saputangannya. “Bodoh! Siapa benci padamu?” katanya dan tanpa bicara lagi dia membalut luka di pundak itu dengan saputangannya. Mula-mula ditaruhnya obat luka yang dibawanya ke atas luka di depan dan belakang pundak, kemudian dia menggunakan saputangannya yang bersih menutupi luka itu, dan membalutnya dengan robekan baju pemuda itu sendiri sampai erat sekali sehingga darahnya berhenti mengucur.

“Nona... nona... Giok Keng... benarkah itu? Benarkah kau tidak membenciku?” Kedua tangan Bu Kong menekan kedua pundak dara itu dengan gemetar semua jari tangannya, suaranya juga menggetar penuh perasaan. “Kalau begitu... kalau begitu engkau pun... cinta kepadaku seperti aku cinta padamu...?”

Wajah Giok Keng menjadi pucat, kemudian merah sekali. Dia telah selesai membalut dan menghadapi pertanyaan itu, dia menundukkan mukanya. “Entahlah...”

Jari-jari tangan yang gemetar itu memegang muka dara itu, dipaksanya dengan halus muka itu tengadah. “Giok Keng... Moi-moi... kaupandanglah aku... kau... kau... kau juga cinta padaku? Benarkah ini? Demi Tuhan... kau juga cinta padaku seperti aku cinta padamu...?”

Sejenak mereka berpandangan, dan Giok Keng lalu memejamkan matanya, dan dua butir air mata bertitik turun.

“Moi-moi...!” Bu Kong mengecup kedua pipi, mengecup air mata itu, kemudian dia mencium bibir Giok Keng.

Kalau hati sudah tertarik memang membuat orang atau tepatnya seorang dara muda gampang sekali jatuh! Giok Keng menggigil, seluruh tubuhnya menggigil ketika mula-mula merasa betapa air mata di pipinya dikecup pemuda itu, kemudian bumi serasa goyah seperti ada gempa bumi hebat, dunia seperti berputar ketika dia merasa betapa mulutnya dicium oleh pemuda itu, dicium dengan mesra sekali. Hampir dia pingsan dan sejenak dia menyerah, menyerah bulat-bulat dengan setulusnya hati, dengan hati yang penuh kebahagiaan, merasa dicinta dan mencinta. Akan tetapi dia segera teringat, meronta dan melangkah mundur. Dengan muka pucat dipandangnya pemuda itu yang kini menunduk, dengan kedua lengan tergantung lepas di kanan kiri tubuh, lalu berkata dengan suara penuh penyerahan. “Ampunkan aku, Giok Keng. Aku... aku cinta padamu... dan kalau kauanggap perbuatanku tadi terlalu kurang ajar, ambillah pedangmu, jangan berlaku kepalang. Kalau kau tidak membalas cintaku, bunuhlah aku. Tusuklah tembus dada ini agar berakhir penderitaanku...!”

Wajah yang pucat itu menjadi merah lagi. Giok Keng cepat menyambar pedang Gin-hwa-kiam, disarungkannya dan dia memaksa hatinya untuk dapat bicara, suaranya gemetar, “Aku... aku tidak benci padamu... aku tidak tahu apakah cinta... akan tetapi aku sudah ditunangkan dengan orang lain. Selamat tinggal...!” Giok Keng lalu melarikan diri secepatnya. Dia mendengar suara pemuda itu memanggilnya, dan hampir saja dia berlari kembali, akan tetapi ditahannya hatinya dan ditulikannya telinganya. Air matanya bercucuran dan dia mempercepat larinya sehingga tak lama kemudian panggilan pemuda itu lenyap, tak terdengar lagi olehnya.

Semalam suntuk dia melanjutkan perjalanannya dan pada keesokan harinya dia mendengar suara tangis di dalam sungai dekat kuil tua. Ketika dia menghampiri sungai itu, dilihatnya Hwi Sian sedang merendam tubuh di dalam air yang jernih sambil menangis!

“Hwi Sian...! Mengapa kau? Mengapa pula menangis?” Giok Keng menegur penuh keheranan, dan seketika dia lupa akan urusannya sendiri yang selama semalam telah mengganggu pikirannya.

Hwi Sian terkejut, menengok dan melihat Giok Keng, dia merasa makin berduka sehingga tangisnya mengguguk, dari mulutnya hanya terdengar suara tangis dan kata-kata yang tak dapat dimengerti oleh Giok Keng.

“Hwi Sian, ada apakah?” kembali dara ini mendesak penuh keheranan.

“...aku cinta padanya... hu-hu-huuh, aku cinta padanya...” Akhirnya Hwi Sian dapat menjawab, akan tetapi jawabannya hanya “aku cinta padanya” yang dikatakan berkali-kali.

Ucapan ini merupakan ujung pedang yang menusuk hati Giok Keng karena seolah-olah merupakan sindiran akan cintanya kepada Liong Bu Kong! Akan tetapi melihat bahwa Hwi Sian menangis benar-benar, dia lalu memutar otak dan menduga-duga siapakah gerangan yang dicinta oleh gadis itu!

“Siapa? Siapa yang kaucinta itu?”

“Aku cinta padanya... aaahhh, aku cinta padanya!” Hwi Sian berkata lagi.

Giok Keng menjadi tidak sabar. “Ke mana dia sekarang?”

“Dia pergi... meninggalkan aku... huhuuhhh, aku cinta padanya tapi dia pergi...”

“Ke mana?”

Hwi Sian seperti seorang anak kecil, hanya menudingkan telunjuknya ke depan dan Giok Keng segera meloncat dan berlari cepat, menuju ke arah yang ditunjuk oleh gadis itu.

Tak lama kemudian, di dalam sebuah hutan, dia mendengar suara keras disusul robohnya sebatang pohon. Dia cepat menghampiri dan melihat Kun Liong yang merobohkan dengan pukulannya tadi. Kemudian dia melihat pemuda itu menjatuhkan diri duduk di atas tanah, termenung-menung, kemudian berteriak. “Tidak sudi!” dan memukul hancur sebuah batu besar di dekatnya. Maka muncullah Giok Keng sambil menegur karena perbuatan Kun Liong itu amat mengherankan hatinya.

Demikianlah, Kun Liong yang ditegur menjadi gugup dan menjawab bahwa dia memukul pohon dan batu untuk latihan! Akan tetapi, betapa kagetnya ketika dia mendengar dara itu berkata dengan suara bernada penuh teguran, “Yap Kun Liong, engkau sungguh seorang yang berhati kejam!”

“Cia Giok Keng, apa maksudmu?” Kun Liong bertanya dan memandang heran.

“Mengapa engkau begitu kejam terhadap Hwi Sian!”

Seketika pucat wajah Kun Liong mendengar ini. Celaka, pikirnya. Temyata Hwi Sian seorang yang tidak bisa dipercaya! Betapa mudahnya Hwi Sian menceritakan peristiwa itu kepada orang lain begitu saja! Saking kaget dan bingungnya, dia tidak mampu menjawab, hanya memandang dengan mata terbelalak.

“Mengapa engkau pergi meninggalkan Hwi Sian begitu saja, padahal dia sanget mencintamu? Aku melihat dia menangis dan seperti orang kehilangan ingatan, hanya bilang bahwa dia mencintaimu berkali-kali dan bahwa engkau pergi meninggalkan dia. Apakah itu tidak kejam?”

Lega hati Kun Liong dan dia merasa kasihan sekali kepada Hwi Sian. Kiranya dara itu tidak menceritakan peristiwa semalam, hanya mengatakan cinta kepadanya dan ditinggal pergi karena ketahuan menangis oleh Giok Keng. Dia menarik napas panjang lalu berkata, “Giok Keng, betapa cinta kasih dapat dipaksakan? Betapa mungkin cinta kasih dapat memilih orangnya? Memang Hwi Sian menyatakan cinta kepadaku, akan tetapi kalau tidak ada perasaan seperti itu di dalam hatiku kepadanya, salahkah aku?”

“Kun Liong, Hwi Sian adalah seorang dara yang cantik dan gagah, seorang wanita yang baik. Bagaimana mungkin engkau tak dapat membalas cintanya?”

“Dia sudah bertunangan dengan Ji-suhengnya...”

“Pertunangan bisa saja diputuskan! Ikatan jodoh haruslah diadakan oleh dua orang yang bersangkutan, oleh pria dan wanita itu sendiri karena hal itu menyangkut kehidupan mereka selamanya! Mereka berdualah yang akan menghadapinya, yang akan berdampingan selama hidupnya, bukan orang tua atau guru yang menjodohkan!” Ucapan ini dikeluarkan dengan penuh semangat oleh Giok Keng sehingga mengherankan hati Kun Liong. “Apalagi, engkau sendiri pun sudah bertunangan. Sebaliknya engkau dan dia, kalau memang saling mencinta, membatalkan pertunangan masing-masing dan...”

“Giok Keng, apa maksudnya ucapan ini? Aku bertunangan? Bagaimana ini, aku tidak mengerti.”

Giok Keng menarik napas panjang. “Tentu saja kau tidak mengerti. Nah, kaubacalah ini dulu.” Dia mengeluarkan sesampul surat dari saku bajunya, menyerahkannya kepada Kun Liong kemudian meninggalkan pemuda itu, duduk di atas sebuah batu besar tak jauh dari situ, termenung dan membelakangi Kun Liong.

Pemuda gundul ini menjadi makin heran. Dengan hati berdebar den merasa tidak heran. Dengan hati berdebar dan merasa tidak enak dia membuka sampul dan membaca surat yang ditulis dengan gaya coretan yang indah dan gagah. Tulisan Pendekar Sakti Cia Keng Hong, ditujukan kepadanya! Membaca kalimat-kalimat terakhir, mukanya berubah menjadi merah sekali, dan matanya terbelalak.

“Karena ayah ibumu telah meniggal dunia, sebagai supekmu boleh dibilang aku adalah walimu. Karena itulah, maka kuharap kau datang ke Cin-ling-san bersama Giok Keng, dan kita dapat membicarakan tentang perjodohan antara kau dan Giok Keng.”

Dia dijodohkan dengan Giok Keng! Otomatis dia memandang ke arah punggung dara yang duduk termenung di atas batu besar itu. Sepatutnya dia bersyukur! Sepatutnya dia menerima berita ini dengan girang. Cia Giok Keng adalah seorang dara yang cantik jelita, berkepandaian tinggi, dan puteri pendekar sakti yang terkenal. Dan dia harus mengakui bahwa dia suka kepada Giok Keng, terutama sekali kepada hidung dara itu yang bentuknya amat manis! Tapi, membayangkan betapa selamanya dia akan hidup berdampingan dengan Giok Keng sebagai suami isteri, tidak bebas lagi, terikat dan diancam bahaya pertengkaran karena cemburu dan kesalahpahaman yang lain, dia merasa ngeri juga! Kemudian teringatlah dia akan bujukan Giok Keng agar supaya dia membatalkan perjodohan ini dan membalas cinta Hwi Sian! Apa artinya ini? Hanya satu, ialah bahwa Giok Keng sendiri di dalam hatinya menentang perjodohan ini!

Cepat dia menghampiri Giok Keng dan duduk pula di atas batu, di depan dara itu, setelah menyimpan surat di sakunya. Mereka saling berhadapan, saling berpandangan sejenak, kemudian Kun Liong bertanya, “Engkau sudah tahu tentang ini?” Dia menepuk saku bajunya. Giok Keng mengangguk.

“Dan bagaimana pendapatmu?”

Giok Keng menggeleng kepala. “Aku tidak tahu.”

“Engkau agaknya tidak setuju.”

“Memang, mana bisa hal perjodohan diatur orang lain? Pula, engkau dicinta oleh Hwi Sian yang mengaku sendiri kepadaku. Mana mungkin aku merampas orang yang sudah dicinta oleh dara lain?”

“Giok Keng, aku sudah menjawab bahwa aku tidak membalas cinta Hwi Sian.”

“Dan kau... kau... eh, bagaimana pendapatmu dengan surat ayah?”

“Tidak tahulah. Aku menjadi bingung, urusan ini dikemukakan begini tiba-tiba.” Sepasang mata dara itu yang amat jernih dan tajam kini memandang penuh selidik seolah-olah hendak menembus dan menjenguk isi hati Kun Liong, kemudian terdengar pertanyaannya yang terang-terangan, “Kun Liong, apakah engkau cinta kepadaku?”

Kun Liong cepat menggelengkan kepalanya yang gundul. “Aku tidak mencinta siapa-siapa, Giok Keng. Hati dan pikiranku jauh daripada cinta seperti yang kumaksudkan itu. Tidak, aku rasa aku tidak cinta padamu, sungguhpun hal ini bukan berarti bahwa aku tidak suka kepadamu, terutama kalau aku memandang... hidungmu. Aku suka padamu, akan tetapi cinta? Entahlah, kukira tidak!”

Sepasang mata itu makin tajam pandangnya ketika Giok Keng bertanya lagi, “Kalau begitu, mengapa dahulu itu di Siauw-lim-si engkau... menciumku?”

Bukan main kaget hati Kun Liong mendengar ini. “Kau... bagaimana kau bisa tahu? Kau pingsan dan...”

“Aku telah siuman ketika engkau menciumku, karena terlampau kaget melihat perbuatanmu dan melihat pula Ayah datang, aku diam saja, pura-pura masih pingsan. Kenapa engkau dahulu menciumku seperti itu dan sekarang kau bilang tidak cinta padaku?”

“Aihh, harap jangan salah paham, Giok Keng. Kau pingsan dan aku melihat bahwa pernapasanmu terhenti oleh serangan asap, maka jalan satu-satunya pada saat itu adalah pernapasan bantuan. Aku tidak menciummu, melainkan meniupkan hawa melalui mulutmu untuk jalankan kembali paru-parumu yang berbenti bekerja. Mengertikah kau?”

Giok Keng mengangguk, di dalam hatinya timbul dua macam perasaa. Lega dan kecewa! Dia merasa lega karena ternyata bahwa Kun Liong tidak mencintanya sehingga perjodohan itu dapat dibatalkan, karena dia harus mengaku bahwa dia jatuh cinta kepada Liong Bu Kong. Akan tetapi pada saat itu pula dia kecewa karena ternyata Kun Liong yang disangkanya menciumnya karena cinta kepadanya, ternyata tidak! Wanita memang ingin sekali digilai dan dicinta oleh semua pria di dunia ini, walaupun dia hanya akan menjatuhkan hatinya kepada seorang saja di antara mereka!

“Kun Liong, aku ingin sekali tahu. Apakah engkau suka menciumku?”

Mata Kun Liong terbelalak. Betapa anehnya dara ini! Begitu terus terang, maka dia pun harus bersikap jujur dan dia mengangguk. “Tentu saja aku suka!”

Mata Giok Keng mengeluarkan sinar marah. “Kau bilang tidak cinta kepadaku akan tetapi mengapa kau suka menciumku?”

“Mengapa tidak?” Kun Liong menjawab dengan terus terang pula. “Aku suka sekali melihat bunga yang indah, aku suka mencium bunga yang harum sungguhpun aku tidak berniat memiliki bunga itu. Aku suka mencium dara yang cantik menarik, apalagi seperti engkau, Giok Keng, akan tetapi kesukaanku itu bukan berarti bahwa aku ingin memilikimu sebagai jodohku. Aku akan bohong kalau aku bilang bahwa aku cinta kepadamu.”

Diam-diam Giok Keng menjadi heran sekali dan juga kagum akan kejujuran Kun Liong. Agaknya, semua pemuda di dunia ini takkan segan-segan mengaku cinta dengan sumpah seribu macam untuk memancing dan mendapatkan sekedar ciuman seorang dara, apalagi kalau untuk mendapatkan tubuhnya! Akan tetapi Kun Liong dengan terang-terangan pula menyatakan tidak cinta! Dia pun mulai bingung dan menduga-duga apakah rasa sukanya kepada Liong Bu Kong itu benar-benar cinta seperti yang diduganya?

“Kun Liong, bagaimanakah cinta itu? Tadinya kukira bahwa kalau storang pria suka kepada seorang wanita atau sebaliknya adalah cinta. Bagaimanakah sebenarnya dan apakah cinta itu?”

Kembali kepala yang gundul itu bergerak digelengkan. “Aku sendiri pun tidak tahu. Aku hanya tahu bahwa kalau orang ingin selamanya bersanding dengan seorang dara, berarti dia mengundang datangnya penderitaan karena sudah pasti akan timbul kebosanan, pertentangan, cemburu, kemarahan dan mungkin kebencian. Kalau perasaan suka itu cinta, maka aku tidak berani jatuh cinta seperti itu! Tidak, aku tidak akan jatuh cinta. Aku tidak mau mengikatkan diriku kepada seorang wanita. Apalagi menikah. Setahuku, wanita adalah mahluk lemah akan tetapi aneh dan luar biasa sekali. Satu kali aku menikah dan mengikatkan diri, tentu aku akan sengsara, tidak bebas lagi, setiap hari menghadapi kerewelannya, cemburunya, kemanjaannya, dan celakalah aku. Tidak, aku tidak akan mencinta wanita, sungguhpun aku suka sekali kepada mereka, terutama yang cantik seperti kau, Giok Keng.”

Alis Giok Keng berkerut. Betapa tidak menyenangkan ucapan Kun Liong! Betapa meremehkan dan merendahkan wanita. Betapa bedanya dengan ucapan Bu Kong!

“Kun Liong...!” Tegurnya dengan kemarahan ditahan.

“Hemm...”

“Kurasa engkau ini seorang yang...”

“Ya...?”

“Seorang pemuda yang sombong, memandang rendah wanita, terlalu tinggi hati, merasa suci dan bersih sendiri, dan kepala angin!”

Makin lebar mata Kun Liong, apalagi mendengar makian terakhir itu. “Kepala angin?”

“Ya! Kepalamu hanya terisi angin kosong belaka! Kau bilang tidak pernah mencinta seorang wanita, akan tetapi kau pandai berceramah tentang cinta, ceramah tolol dan ngawur. Betapa bodohnya Hwi Sian yang menangisi dan jatuh cinta kepada seorang tolol macam engkau. Engkau memualkan perutku! Betapa benci aku kepadamu!”

“Eh? Benci? Sayang sekali, Giok Keng. Itulah yang tak kusukai tentang cinta. Kalau tidak cinta, lalu benci. Apakah hanya ada dua macam peraaaan itu dalam hati wanita? Kalau tidak cinta, benci? Apakah tidak ada perasaan di antara cinta dan benci? Tidak cinta akan tetapi juga tidak benci?”

Giok Keng makin bingung dan marah. “Sudahlah, dari mana kau mendapatkan kepandaian hebat dan pengertian tentang cinta kalau kau sendiri tidak pernah jatuh cinta?”

“Eh, dari... dari kitab-kitab dan dari kesadaran...”

“Huh, kitab! Mempelajari cinta dari kitab! Aku muak dan benci kepadamu!”

“Benarkah? Sayang sekali.”

“Akan tetapi aku pun berterima kasih kepadamu bahwa kau tidak cinta padaku, Kun Liong.”

lanjut ke Jilid 060-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar