Rabu, 19 Februari 2014

Petualang Asmara 85

Petualang Asmara Jilid 085

<--kembali

“Plakkk... dess!” Tubuh Kong Tek terlempar dan terguling-guling ketika sebuah tendangan kilat menyambutnya. Dadanya yang terkena tendangan terasa sesak dan untuk beberapa lama pemuda itu tidak mampu bangkit berdiri, hanya bangun duduk dan mengelus dadanya sambil mengatur pernapasan.

“Wuuuuttt... bukkk!” Thian Hwa Cinjin sudah berusaha mengelak, namun tetap saja ujung kaki Cia Keng Hong menyentuh pundaknya, membuat dia terhuyung ke belakang. Serangan Keng Hong yang dahsyat ini, yang dilakukan dengan tubuh melayang dari jauh, telah menyelamatkan Kun Liong karena pada saat itu, Thian Hwa Cinjin sudah mengangkat tongkatnya hendak memukul kepala Kun Liong.

Melihat majunya pendekar sakti ini, terkejutlah Thian Hwa Cinjin. Dia sudah lama mendengar akan kelihaian Cia Keng Hong Ketua Cin-ling-pai, maka cepat dia mengerahkan ilmu sihirnya, mengangkat tongkatnya dan berseru, “Cia Keng Hong,
berani kau melawan? Hadapilah ular saktiku ini!”

Keng Hong meloncat ke belakang, matanya terbelalak ketika melihat betapa tongkat hitam di tangan kakek itu berubah menjadi seekor ular hitam yang amat besar, panjang dan mengerikan. Dia meraba punggungnya dan tampaklah sinar hijau berkelebat ketika sebatang pedang berada di tangan pendekar ini. Sebatang pedang yang biasa saja, bahkan bukan pedang logam melainkan sebatang pedang kayu! Akan tetapi itulah pedang Siang-bhok-kiam. Pedang Kayu Harum yang dahulu pernah menggegerkan dunia persilatan! Betapapun juga, kini menghadapi seorang yang menggunakan ilmu sihir, merupakan pengalaman baru bagi Cia Keng Hong, maka dia bersikap waspada dan amat hati-hati, hanya menanti dengan seluruh urat syaraf di tubuhnya siap menghadapi serangan lawan.

“Ha-ha-ha, Thian Hwa Cinjin! Tidak ada gunanya semua ilmu sulapmu ini! Tongkat tetap tongkat, mana mungkin menjadi ular? Asal tanah kembali menjadi tanah asal kayu kembali menjadi kayu! Cia Tai-hiap, jangan mau dikelabui ilmu sulap murahan!”

Thian Hwa Cinjin terkejut dan Cia Keng Hong girang sekali karena kini ular mengerikan di tangan lawan itu lenyap dan yang tampak hanya tongkat biasa kembali.

Thian Hwa Cinjin membentak dan tangan kirinya digerakkan ke atas, dan... terdengar ledakan keras lalu muncul gumpalan asap yang membentuk diri menjadi manusia berkepala singa yang amat menyeramkan! Ujud setan ini dengan buasnya lalu melayang dan menerkam ke arah Keng Hong! Pendekar ini adalah seorang yang sakti dan tidak mengenal takut, namun menyaksikan ujud yang aneh itu dia terkejut bukan main dan cepat dia sudah melempar tubuh ke belakang, bergulingan sampai jauh sambil memutar Siang-bhok-kiam melindungi tubuhnya. Ketika dia meloncat bangun dengan sigapnya, dia melihat gumpalan asap itu masih mengejarnya!

Kembali Hong Khi Hoatsu tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, lihat baik-baik, Cia Tai-hiap. Asap itu hanyalah jadi-jadian yang tercipta oleh tukang sulap itu, bukan apa-apa dan hanya gertak sambal saja!” Hong Khi Hoatsu bertepuk tangan tiga kali dan... setan asap itu pun lenyap.

Bukan main marahnya hati Thian Hwa Cinjin. Dengan tongkat hitamnya dia menuding ke arah Cia Keng Hong dan Hong Khi Hoatsu sambil membentak, “Jadi kalian telah bersekutu untuk datang memusuhi Pek-lian-kauw? Cia Keng Hong, mengapa engkau begini tak tahu malu? Puterimu dan calon suaminya datang dan mereka memohon kepada kami agar suka merayakan pernikahan mereka karena engkau tidak menyetujui pernikahan itu. Melihat namamu dan nama Cin-ling-pai, kami telah berbaik hati untuk menolongnya dan bersusah payah merayakan pernikahan mereka. Siapa tahu engkau, ayahnya sendiri, malah datang mengacau dan memusuhi kami. Aturan mana ini? Apakah budi kebaikan kami hendak kaubalas dengan permusuhan?”

Cia Keng Hong mengerutkan alisnya, menengok ke kiri dan melihat betapa puterinya mendesak Liong Bu Kong dengan serangan-serangan maut, kemudian betapa pemuda itu tiba-tiba membalikkan tubuh dan melarikan diri, dikejar oleh Ciok Keng. Dia merasa khawatir sekali lalu berteriak, “Keng-ji, jangan kejar dia! Kembalilah ke sini!”

Akan tetapi Giok Keng yang sudah amat marah kepada Liong Bu Kong, mana mau melepaskan pemuda yang kini amat dibencinya itu? Dia mengejar terus, bahkan membentak nyaring, “Jahanam keparat, lari ke neraka pun akan kukejar kau sampai dapat!”

Melihat ini, Yap Kun Liong yang sudah berhasil merobohkan para pengeroyoknya lalu berseru. “Cia-supek, jangan khawatir, biar teecu yang menyusul Sumoi dan membantunya!” Tanpa menanti jawaban, pemuda itu lalu melesat pergi dengan kecepatan yang amat luar biasa sehingga Keng Hong sendiri bengong dan kagum dibuatnya. Hatinya lega mellhat Kun Liong melindungi puterinya, maka dia lalu menghadapi Thian Hwa Cinjin dengan tenang, lalu menjawab kata-katanya tadi dengan suara lantang, “Thian Hwa Cinjin, bukankah engkau yang memutar balik omongan? Puteriku melaksanakan upacara pernikahan yang telah kau atur, bukan atas kehendaknya sendiri, melainkan karena dia berada di bawah pengaruh sihirmu yang keji!”

Thian Hwa Cinjin terkejut dan semua tamu yang tadinya saling serang kini telah menghentikan pertempuran mereka karena melihat bahwa orang-orang yang mereka bela kini sedang bertengkar. Mereka kini datang mendekat dan mendengarkan penuh perhatian, sedangkan para anak buah Pek-lian-kauw hanya mengurung tempat itu karena sebelum menerima perintah dari ketuanya, mereka pun tidak berani sembarangan turun tangan. Para tamu yang tadi tidak mau mencampuri keributan dan tidak ikut bertempur, hanya memandang dari jauh, kini diam-diam meninggalkan tempat itu karena tidak ingin terlibat ke dalam permusuhan. Hanya ada dua puluh lebih saja orang-orang kang-ouw yang berpihak kepada Cia Keng Hong termasuk tokoh-tokoh Go-bi-pai, sedangkan selebihnya, lebih lima puluh orang kang-ouw, adalah teman-teman Pek-lian-kauw.

“Ketua Cin-ling-pai membohong!” Thian Hwa Cinjin yang sudah dapat menenteramkan hatinya membantah dengan teriakan keras, kemudian dia menengok ke arah semua tamu yang masih berada di situ. “Cu-wi sekalian para tamu yang terhormat menjadi saksi! Apakah ada permainan paksaan dalam upacara pernikahan tadi? Apakah ada yang memaksa pengantin wanita melakukan upacara sembahyang?”

“Tidak ada! Tidak ada!” Serentak terdengar jawaban puluhan buah mulut para tamu, sedangkan mereka yang pro kepada Cia Keng Hong tidak ada yang dapat menjawab karena mereka itu diam-diam harus mengakui bahwa tadi tidak ada pemaksaan terhadap pengantin wanita.

Cia Keng Hong tersenyum mengejek, menghadapi para tamu dan berkata, suaranya lantang, “Cu-wi sekalian mana tahu akan kelicikan pendeta hitam ini? Puteriku tadi berada dalam keadaan tidak sadar, berada di bawah pengaruh sihir dan obat perampas ingatan! Semua telah diatur oleh Thian Hwa Cinjin. Bahkan ketika aku datang, diam-diam dia menggunakan ilmu sihir yang membuat aku tidak sadar! Kalau saja tidak Hong Khi Hoatsu yang menolong, tentu aku pun telah dicelakakannya tanpa ada seorang pun tamu yang menduga dan mengetahuinya.”

“Bohong! Semua mata melihat! Semua telinga mendengar betapa Ketua Cin-ling-pai telah ribut mulut dengan puterinya dan karena marahnya lalu roboh pingsan! Kami bahkan telah menolong Cia-Tai-hiap dan menggotongnya ke dalam, bagaimana kini kau bisa menuduh yang bukan-bukan? Cu-wi sekalian harap jangan mudah dibohongi orang. Pek-lian-kauw sudah terlalu banyak dikabarkan jelek. Padahal, Pek-lian-kauw adalah perkumpulan orang gagah yang membela rakyat yang tertindas oleh pemerintah lalim! Pek-lian-kauw selalu mengutamakan kegagahan mana kami sudi berbuat keji dan buruk?”

“Ha-ha-ha, omongan Ketua Pek-lian-kauw seperti kentut!” Tiba-tiba terdengar suara orang berkata nyaring dan kembali Hong Khi Hoatsu yang bicara itu. Kini dia didampingi oleh Lie Kong Tek dan seorang dara muda yang cantik akan tetapi mukanya pucat, matanya merah oleh tangis, dan pakaian serta rambutnya kusut seperti orang menderita sakit berat. Siapakah dara itu? Dia bukan lain adalah Bu Li Cun! Seperti telah diceritakan di bagian depang ketika berkenalan dengan Hong Khi Hoatsu dan Lie Kong Tek, Yap Kun Liong telah mendengar penuturan mereka tentang seorang gadis yang diculik oleh Pek-lian-kauw. Untuk keperluan mencari gadis yang menjadi tunangan Lie Kong Tek itulah maka guru dan murid itu menuju ke Pek-lian-kauw dan minta bantuan Yap Kun Liong.

Tadi, ketika terjadi ribut mulut, diam-diam Lie Kong Tek disuruh oleh gurunya untuk pergi menyelinap dan mencari tunangannya yang mereka duga berada di tempat itu. Lie Kong Tek menyelinap memasuki bangunan besar itu dari pintu samping tanpa diketahui oleh para anak buah Pek-lian-kauw yang sedang tertarik oleh keributan di luar. Ketika tiba di ruangan dalam, Kong Tek menangkap seorang pelayan wanita dan mengancamnya untuk menunjukkan tempat tahanan wanita. Pelayan yang ketakutan itu terpaksa membawa pemuda perkasa ini ke belakang dan di dalam sebuah kamar, dia melihat beberapa orang dara yang keadaannya menyedihkan sekali.

“Siapkah di antara kalian yang bernama Bu Li Cun?” tanyanya halus, karena sesungguhnya, baru satu kali Lie Kong Tek melihat tunangannya, itu pun ketika tunangannya masih kecil beberapa tahun yang lalu.

Seorang dara berusia delapan belas tahun, cantik dan pucat, keadaannya menyedihkan seperti para tawanan lain, melangkah maju dan memandang kepada Lie Kong Tek penuh selidik dan penuh rasa takut.

Hati pemuda itu terharu, dan cepat dia maju, lalu memegang kedua tangan dara itu. “Jangan khawatir, aku datang untuk menolongmu. Aku Lie Kong Tek...”

Mendengar ini, gadis itu teringat dan segera menangis terisak-isak dan tentu sudah roboh kalau tidak segera dirangkul oleh pemuda itu. Lie Kong Tek lalu membawanya keluar dan menjumpai gurunya. Hong Khi Hoatsu girang melihat muridnya sudah berhasil membebaskan gadis yang mereka cari-cari itu, dan pada saat Thian Hwa Cinjin mendesak Cia Keng Hong dengan omongannya, dia sudah mentertawakan kakek itu.

“Thian Hwa Cinjin Ketua Pek-lian-kauw selain pandai menggunakan ilmu sulap secara curang juga pandai menggerakkan bibir dan lidah menyebar racun yang manis rasanya!” Hong Khi Hoatsu melanjutkan kata-katanya yang lantang.

“Harap Cu-wi sekalian lihat Nona ini. Dia adalah scorang gadis baik-baik yang telah diculik oleh orang-orang Pek-lian-kauw! Apakah dengan perbuatan keji itu Thian Hwa Cinjin masih mau mengelabuhi mata semua orang dengan mengatakan bahwa Pek-lian-kauw adalah orang-orang gagah yang berjiwa patriot?”

Terdengar suara berisik yang marah diantara para tamu. Thian Hwa Cinjin sendiri menjadi pucat mukanya ketika melihat Bu Li Cun sudah berdiri di dekat Hong Khi Hoatsu. Akan tetapi, dia adalah seorang yang amat cerdik. Dia dapat mengenal watak wanita yang selalu hendak memegang teguh nama baiknya dan menyimpan rahasia kesuciannya sebagai seorang perawan. Maka sambil tersenyum lebar dia berkata, “Ha-ha, kakek pengemis yang hendak berlagak! Aku tidak mengenal siapa adanya engkau yang berlagak aneh ini, akan tetapi engkaulah yang memutarbalikkan omongan! Gadis ini adalah Nona Bu Li Cun, dan dia adalah seorang di antara dara-dara perkasa yang dengan suka rela ingin menjadi anggauta Pek-lian-kauw karena dia pun berjiwa patriot! Dia menjadi tamu kami di sini, dan siapa pun boleh bertanya kepadanya, apakah selama berada di sini dia sebagai seorang perawan terhormat telah ada yang mengganggunya? Bu-siocia, harap suka menjawab. Apakah selama ini Nona diganggu orang di Pek-lian-kauw?”

“Lie-koko aku pinjam pedangmu sebentar.” Tiba-tiba Bu Li Cun berkata halus sambil meloloskan pedang yang tergantung di pinggang tunangannya. Lie Kong Tek tidak mengerti apa yang dikehendaki oleh gadis itu, maka tidak mencegahnya. Dengan pedang di tangannya, Bu Li Cun lalu berlari menghampiri Thian Hwa Cinjin, dan kakek ini memandang sambil tersenyum, maklum bahwa dara ini tentu tidak akan begitu tebal muka untuk mengakui keadaannya, dan di samping ini, biarpun dara itu memegang pedang, dia tidak merasa terancam dan tidak pula merasa takut.

“Bu-siocia, bukankah engkau ingin menjadi murid Pek-lian-kauw, menjadi muridku secara suka rela tanpa paksaan?” kembali dia berkata dengan suara menggetarkan wibawa kuat.

Bu Li Cun dengan muka tunduk tanpa memandang kakek itu kini berdiri di sampingnya, mengangkat muka memandang kepada semua tamu dengan air mata bercucuran! Kemudian terdengar suaranya lantang, “Saat seperti ini sudah lama kutunggu-tunggu! Aku Bu Li Cun hanya mampu membalas sakit hati secara begini. Cu-wi sekalian dengarlah baik-baik! Aku telah diculik oleh Pek-lian-kauw dan aku telah diperkosa oleh tua bangka keparat ini!” Tiba-tiba setelah meneriakkan pengakuan hebat ini, yang tak mungkin dikeluarkan oleh mulut seorang gadis yang menganggap lebih baik mati daripada mengaku diperkosa orang, Bu Li Cun menggerakkan pedang tunangannya, menggorok leher sendiri!

“Haiii...! Trang...!” Pedang itu mencelat terlepas dari tangan Bu Li Cun, akan tetapi setelah terlebih dulu mengerat kulit leher dara itu. Kulit leher yang putih itu seketika berubah merah, darah muncrat-muncrat dan terdengar suara aneh dari leher Bu Li Cun yang menggunakan kedua tangan memegang lehemya, tubuhnya terguling ke atas tanah.

“Bu-moi...!” Lie Kong Tek yang tadi kurang cepat bergerak sehingga sambitan piauwnya yang membuat pedang terlepas itu masih tidak dapat menolong tunangannya, meloncat dan berlutut, mengangkat tubuh dara itu, dipangkunya. Mukanya pucat sekali ketika dia melihat betapa leher itu terkuak lebar dan darah muncrat-muncrat mengerikan. Sekali pandang saja tahulah dia bahwa dia telah terlambat, bahwa nyawa gadis tunangannya ini tak mungkin dapat ditolong lagi. Bu Li Cun membuka kedua matanya memandang pemuda gagah itu, tersenyum dan bibirnya bergerak-gerak namun tidak ada suara yang keluar, kemudian dia terkulai lemah dalam pelukan Lie Kong Tek.

Berisiklah semua orang menyaksikan peristiwa mengerikan itu dan pada wajah banyak tokoh kang-ouw terbayang kemarahan hebat mendengar pengakuan gadis yang membunuh diri itu telah diperkosa oleh Thian Hwa Cinjin! Akan tetapi mereka tidak berani langsung bergerak karena mereka maklum akan kelihaian kakek itu.

“Ha-ha-ha-ha, agaknya gadis ini adalah kaki tangan musuh yang sengaja dikirim ke sini untuk memburukkan nama pinto! Sungguh perbuatan yang curang sekali kalau begitu!” Thian Hwa Ciniin yang cerdik itu masih tidak kekurangan akal untuk memutarbalikkan kenyataan. Kemudian dia memandang ke arah mayat Bu Li Cun yang masih dipeluk oleh Lie Kong Tek dan terdengar suaranya penuh getaran aneh, “Harap Cu-wi lihat baik-baik. Gadis itu kelihatannya saja membunuh diri, akan tetapi sesungguhnya tidak. Dia waras dan sehat, pedang tadi tidak mengenai lehernya dan dia hanya pura-pura mati saja. Lihat baik-baik, semua tadi hanyalah perbuatan kakek gila tukang sihir itu!”

Semua mata terbelalak, termasuk mata Cia Keng Hong yang karena keinginan tahu dan keheranannya, telah menunda niatnya menerjang Ketua Pek-lian-kauw itu dan memutar leher memandang ke arah Bu Li Cun. Dan, seperti juga orang lain kecuali Lie Kong Tek dan gurunya, dia pun melihat betapa leher gadis itu kini putih bersih tidak ada darahnya sedikitpun juga, dan gadis itu masih bernapas, dan tersenyum-senyum dengan mata terbuka lebar!

“Ti... tidak... mungkin...!” Pendekar sakti ini berbisik dan menggoyang kepalanya untuk mengusir pandangan yang tidak semestinya itu. Dia tadi melihat sendiri betapa pertolongan Lie Kong Tek terlambat, betapa sebelum terlempar, pedang itu telah menggorok leher Bu Li Cun dan betapa leher itu terluka, terkuak lebar dengan darah muncrat-muncrat dan gadis itu telah menghembuskan napas terakhir di dalam pelukan Lie Kong Tek!

“Hemm, Thian Hwa Cinjin! Lagi-lagi engkau hendak mengelabuhi para tamu yang terhormat ini dengan ilmu sulapmu! Gadis itu jelas telah tewas, membunuh diri dengan pedang karena telah kauperlakukan hal yang terkutuk atas dirinya. Cu-wi sekalian harap jangan mudah dikelabui dan lihatlah baik-baik. Bu Li Cun telah tewas membunuh diri! Darahnya pun belum kering!” Hong Khi Hoatsu berteriak, suaranya juga mengandung getaran hebat dan kedua tangannya dengan jari terbuka didorongkan ke depan, ke arah Bu Li Cun dan... terdengar teriakan-teriakan di sana-sini ketika semua mata, termasuk mata Cia Keng Hong, melihat gadis itu benar telah menjadi mayat dengan luka besar di leher dan darahnya masih mengalir keluar, sedangkan Lie Kong Tek dengan muka pucat dan alis berkerut memangku dan memandang gadis itu.

Thian Hwi Cinjin menjadi marah sekali. Kembali ilmu sihirnya yang dipergunakan untuk menyelamatkan nama dan dirinya, telah digagalkan oleh kakek aneh yang muncul tanpa disangka-sangkanya dalam pesta pernikahan yang telah diaturnya itu. Dengan alis berkerut dan mata mengeluarkan sinar berapi-api dan penuh kekuatan sihir dia menghadapi Hong Khi Hoatsu dan membentak, “Pendeta yang lancang mencampuri urusan orang! Siapakah engkau dan apa sebabnya engkau memusuhi kami?”

Hong Khi Hoatsu menggeleng-geleng kepala yang ditutup kopyah bayi itu sambil tersenyum dan menjawab, “Thian Hwa Cinjin, engkau sudah menggunakan julukan Cinjin, namun ternyata masih mengumbar nafsu angkara murka dan gila akan kedudukan dan kemuliaan duniawi! Ketahuilah, aku disebut orang Hong Khi Hoatsu, pekerjaanku hanya bertapa. Akan tetapi karena melihat betapa tunangan dari muridku itu telah diculik oleh anak buah Pek-lian-kauw, terpaksa aku turun gunung dan mencarinya. Jejaknya menuju ke sarangmu ini dan ternyata benar bahwa tunangan muridku itu terculik oleh orang-orangmu dan telah menjadi korban kebiadabanmu! Hemm, entah berapa banyaknya wanita baik-baik yang menjadi korban kekejianmu yang kaulakukan mengandalkan nama Pek-lian-kauw dan mengandalkan ilmu sihirmu yang jahat!”

“Hong Khi Hoatsu pendeta keparat! Ingatlah kau di mana kau bicara?”

“Ha-ha! Tentu saja! Aku bicara di depan Ketua Pek-lian-kauw bagian timur, berada di sarang Pek-lian-kauw dan sedang dikepung oleh anak buah Pek-lian-kauw! Dan baru sekarang aku tahu, juga para enghiong yang hadir di sini tentu tahu bahwa Pek-lian-kauw yang dikenal sebagai perkumpulan pejuang rakyat itu sesungguhnya hanya ditunggangi oleh orang-orang jahat sehingga berubah menjadi perkumpulan orang-orang jahat yang pekerjaannya merampok harta benda, menculik wanita, dan memberontak mengejar kedudukan.”

“Keparat!” Thian Hwa Cinjin membentak, tak dapat menahan kemarahannya, lalu memberi tanda dengan tongkatnya sebagai aba-aba untuk menyerbu.

Anak buah Pek-lian-kauw yang sudah mengurung tempat itu segera berteriak-teriak dan menerjang maju.

“Manusia busuk berkedok nama rakyat pejuang! Kau harus mampus!” Cia Keng Hong sudah menerjang ke depan menyambut gerakan Thian Hwa Cinjin yang tadi masih menyerang ke arah Hong Khi Hoatsu.

“Trakk! Plak!”

Tubuh Thian Hwa Cinjin terhuyung ke belakang ketika tongkatnya bertemu dengan Siang-bhok-kiam dan telapak tangan kirinya disambut oleh telapak tangan Cia Keng Hong. Terkejutlah Thian Hwa Cinjin. Dia sudah lama mendengar nama besar Cia Keng Hong sebagai Ketua Cin-ling-pai yang berilmu tinggi sekali. Memang dia sudah merasa gentar mendengar nama besar pendekar ini, akan tetapi dia menjadi besar hati karena dia mengandalkan kekuatan sihirnya untuk mengatasi pendekar sakti itu. Namun sekarang di samping Cia Keng Hong terdapat Hong Khi Hoatsu yang agaknya merupakan seorang ahli dalam ilmu sihir sehingga beberapa kali ilmu sihirnya melempem dibikin buyar dan punah oleh Hong Khi Hoatsu. Terpaksa dia tidak mau menggunakan ilmu sihir lagi, karena kalau Hong Khi Hoatsu maju menghadapi ilmu sihirnya, berarti dia dikeroyok dua dan harus memecah kekuatah sin-kangnya

DENGAN nekat dia lalu memutar tongkatnya dan mengeluarkan ilmu tongkatnya yang amat dahsyst sehingga Cia Keng Hong yang mengenal lawan tangguh tidak memandang rendah kepadanya. Segera terjadi pertandingan hebat antara kedua orang sakti itu. Adapun Hong Khi Hoatsu yang maklum bahwa keselamatan Cia Keng Hong tentu terancam kalau dia tidak berjaga-jaga untuk melawan ilmu sihir Ketua Pek-lian-kauw, hanya menonton di pinggiran sambil kadang-kadang menggunakan kaki tangan merobohkan anggauta Pek-lian-kauw yang berani mencoba untuk menyerangnya. Dia tidak berani ikut menyerang Thian Hwa Cinjin, karena dalam beberapa jurus saja kakek yang ahli dalam ilmu sihir ini maklum bahwa dibandingkan dengan kedua orang yang sedang bertempur itu, tingkat ilmu silatnya masih kalah jauh sehingga bantuannya tidak akan ada artinya, bahkan akan mengacaukan gerakan serangan Ketua Cin-ling-pai itu.

Kini keadaan para tamu menjadi berbalik. Kalau tadinya terdapat orang-orang yang jauh lebih banyak jumlahnya memihak Pek-lian-kauw, sekarang mereka itu sebagian besar membalik dan menentang Pek-lian-kauw! Mengapa demikian? Sebagian besar para tamu adalah orang-orang kang-ouw dan tadinya mereka suka bekerja sama dengan Pek-lian-kauw bukan semata-mata karena perkumpulan ini royal dalam menjamu dan menghommati mereka, melainkan karena mereka sungguh-sungguh menganggap bahwa Pek-lian-kauw adalah perkumpulan pejuang rakyat yang menentang pemerintah lalim dan membela rakyat tertindas. Kini baru terbuka mata mereka, dan mereka telah melihat bukti betapa kejinya Ketua Pek-lian-kauw yang menyuruh anak buahnya menculik gadis lalu memperkosanya! Setelah melihat kenyataan ini, sebagai pendekar-pendekar gagah di dunia persilatan, tentu saja mereka tidak sudi lagi bersekutu dengan kakek keji itu. Maka kini sebagian besar di antara mereka berpihak kepada Cia Keng Hong dan menyambut serbuan para anak buah Pek-lian-kauw!

Tentu saja masih ada di antara para tamu yang memihak Pek-lian-kauw dan mereka ini memanglah orang-orang dari golongan sesat yang terdiri dari perampok, bajak, dan orang-orang yang tidak pernah merasa segan melakukan perbuatan jahat demi mengumbar hawa nafsu mereka.

Anggota Pek-lian-kauw yang kebetulan berada di situ dan kini maju menyerbu berjumlah kurang lebih seratus orang dan ditambah dengan para tamu golongan sesat yang membantu mereka, maka jumlah mereka antara seratus dua puluh lima orang! Sedangkan pihak yang menjadi lawan mereka hanya berjumlah kurang lebih empat puluh orang. Maka dengan perimbangan kekuatan yang berat sebelah ini, setiap orang kang-ouw dikeroyok oleh dua tiga orang Pek-lian-kauw dan di antara para angauta Pek-lian-kauw terdapat banyak tokoh yang berilmu tinggi. Terdesaklah mereka yang menentang Pek-lian-kauw dan sudah beberapa orang yang roboh terluka sungguhpun di pihak Pek-lian-kauw juga banyak yang terluka. Lie Kong Tek mengangkat mayat tunangannya, merebahkannya di tempat aman, kemudian bagaikan seekor harimau kelaparan, pemuda tinggi besar yang berduka dan marah ini mengamuk. Sepak terjangnya menggiriskan para anggauta Pek-lian-kauw dan baru setelah dia dikeroyok oleh lima orang pimpinan Pek-lian-kauw tingkat rendah, terjangan pemuda ini dapat dibendung dan terjadi pertempuran yang amat seru dan mati-matian.

Pertandingan antara Thian Hwa Cinjin dan Cia Keng Hong juga berlangsung dengan hebatnya sehingga Hong Khi Hoatsu yang menonton sambil menjaga kalau-kalau Ketua Pek-lian-kauw itu berlaku curang mempergunakan sihirnya, menjadi amat kagum. Baru sekali selama hidupnya dia menyaksikan pertandingan ilmu silat yang sedemikian hebat dan bermutu. Diam-diam dia merasa bersyukur bahwa di saat itu muncul pendekar Ketua Cin-ling-pai ini, karena kalau tidak demikian, dia sukar dapat percaya apakah Yap Kun Liong yang diandalkannya itu akan mampu menandingi Ketua Pek-lian-kauw yang sedemikian lihainya!

Bagi Cia Keng Hong sendiri yang selama belasan tahun ini baru beberapa kali bertanding melawan datuk-datuk kaum sesat ketika dia membantu pemerintah membasmi kaum pemberontak, kini merasa menemukan lawan yang benar-benar tangguh sekali. Ketua Pek-lian-kauw wilayah timur ini ternyata masih lebih lihai daripada lima datuk kaum sesat yang pernah dilawannya! Setelah dia menggerakkan Pedang Kayu Harum di tangannya itu dengan ilmu pedang yang khas untuk pedang itu, yaitu Siang-bhok Kiam-sut dan mendasari gerak kaki dan tangan kirinya dengan Thai-kek-sin-kun, barulah lewat seratus jurus dia mampu mendesak Thian Hwa Cinjin yang kini mundur-mundur dan baru berhasil membalas tiap tiga kali serangan lawan dengan satu serangannya sendiri yang tidak begitu berarti. Padahal setiap serangan yang dilancarkan lawannya, baik dengan Pedang Kayu Harum itu maupun dengan pukulan tangan kiri yang terbuka, amat dahsyat dan membuatnya mengeluarkan keringat dingin dan terus main mundur. Tiba-tiba terdengar sorak-sorai dan berbondong-bondong masuklah banyak orang melalui pintu gerbang Pek-lian-kauw. Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Keng Hong, Hong Khi Hoatsu, dan para orang kang-ouw yang menentang Pek-lian-kauw ketika puluhan orang yang baru datang itu serta merta membantu pihak Pek-lian-kauw dan menyerang mereka! Bahkan Keng Hong sendiri kini diserang oleh seorang pemuda tampan yang berpedang ular dan memiliki ilmu silat lihai sekali! Pemuda ini bukan lain adalah Ouwyang Bouw! Dia telah datang bersama isterinya, yaitu Lauw Kim In, dan Marcus bekas anak buah Legaspi Selado diiringkan oleh hampir seratus orang anak buahnya! Seperti telah diceritakan di bagian depan, Lauw Kim In dan Ouwyang Bouw memimpin para pemberontak Mongol dan membentuk Pasukan Tombak Maut. Bersama dengan Marcus yang menggabungkan diri dengan mereka, pasukan ini hendak bergabung dengan Pek-lian-kauw untuk memberontak terhadap pemerintah.

Pertempuran yang sudah berat sebelah itu menjadi makin tidak berimbang lagi ketika Pasukan Tombak Maut ikut menyerbu dan membantu Pek-lian-kauw!

Kini setiap orang dikeroyok oleh banyak lawan. Cia Keng Hong sendiri selain harus menghadapi Thian Hwa Cinjin dan Ouwyang Bouw juga diserang oleh Lauw Kim In yang membantu suaminya. Namun pendekar Cin-ling-pai ini ternyata hebat sekali kepandaiannya. Dengan marah Siang-bhok-kiam di tangannya bergerak seperti kilat, tampak sinar hijau menyambar-nyambar dan... Ouwyang Bouw dan Lauw Kim In berteriak kaget, mencelat mundur dan pundak mereka berdarah tercium sinar pedang Siang-bhok-kiam!

Mereka kaget dan penasaran sekali. Mereka adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi, akan tetapi dalam beberapa gebrakan saja telah terluka oleh lawan Ketua Pek-lian-kauw ini!

“Ji-wi, hati-hatilah! Ketua Cin-ling-pai ini lihai sekali ilmu pedangnya!” Thian Hwa Cinjin yang sudah mengenal Owyang Bouw berkata memperingatkan.

Diam-diam Ouwyang Bouw dan Lauw Kim In terkejut sekali. Terutama sekali Lauw Kim In. Jadi inikah pendekar sakti yang selama ini dipuji-puji subonya dan selama ini merupakan nama yang dia junjung tinggi? Adapun Ouwyang Bouw juga terkejut karena tentu saia dia mengenal nama Ketua Cin-ling-pai. Dia tahu bahwa pendekar yang sakti ini bernama Cia Keng Hong dan menjadi sahabat baik serta selalu membantu gerakan Panglima Besar The Hoo dalam menghadapi para pemberontak. Bersama Panglima The Hoo, pendekar ini telah mengobrak-abrik sarang-sarang pemberontak, seperti Telaga Setan (Kwi-ouw), Pulau Ular, dan lain tempat lagi. Bahkan datuk hitam Toat-beng Hoat-su yang lihai itu kabarnya tewas di tangan Panglima The Hoo, sedangkan ayahnya sendiri, Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok, tewas di tangan Cia Keng Hong. Sekarang, pendekar ini kembali telah menyerbu Pek-lian-kauw!

Dengan hati giris Ouwyang Bouw dan Lauw Kim In maju lagi, kini lebih hati-hati mengeroyok Cia Keng Hong. Sementara itu, Hong Khi Hoatsu yang bantu-membantu dengan muridnya, Lie Kong Tek, dikeroyok oleh Marcus dan belasan orang pimpinan Pek-lian-kauw dan jagoan-jagoan Mongol. Guru dan murid ini beradu punggung dan melawan mereka mati-matian.

“Cia Keng Hong, berlututlah kau... lihat naga saktiku hendak menelanmu!” tiba-tiba terdengar bentakan Ketua Pek-lian-kauw. Cia Keng Hong maklum bahwa lawannya menggunakan sihir, dia sudah mengerahkan sin-kangnya untuk melawan pengaruh itu, namun karena tadi dia mau memandang muka kakek itu sehingga sinar matanya bertaut dengan sinar mata penuh kekuatan mujijat itu, pendekar ini tidak mampu menahan kakinya yang seperti memaksa diri berlutut!

“Cia-taihiap, bangkitlah!” Pekik nyaring ini keluar dari mulut Hong Khi Hoatsu. Biarpun dia sedang dikeroyok banyak lawan, kakek ini masih memperhatikan keadaan Keng Hong sehingga menolongnya dari pengaruh sihir lawan. Seketika Keng Hong sadar dan dengan pekik melengking nyaring sekali dia menerjang maju, pedangnya berkelebat.

“Trangg-tranggg... krekkk!!” Pedang di tangan Ouwyang Bouw dan Lauw Kim In terpental hampir terlepas dari pegangan, sedangkan ujung tongkat hitam di tangan Thian Hwa Cinjin patah. Kagetlah kakek ini sehingga dia meloncat ke belakang dengan muka pucat.

“Kalian berani melawan aku? Lihat, aku adalah Giam-lo-ong (Malaikat Pencabut Nyawa) dari langit! Hayo kalian berlutut! Hayo kalian berlutut!” Hong Khi Hoatsu membentak dan semua pengeroyoknya, kecuali Marcust berlutut dengan taat! Mengapa Marcus tidak terpengaruh oleh bentakan yang mengandung kekuatan mujijat ini? Hal ini adalah karena Marcus belumlah begitu paham akan bahasa Han sehingga bentakan yang dikeluarkan di antara suara hiruk-pikuk pertempuran itu tidaklah terdengar jelas olehnya dan karenanya dia pun tidak terpengaruh. Akan tetapi melihat betapa semua temannya berlutut, dia terkejut sekali dan sebelum dia sempat mengelak, Hong Khi Hoatsu telah berhasil menotoknya roboh. Kakek ini lalu berteriak, “Cia-taihiap, Kong Tek, dan Cu-wi sekalian, mari kita pergi!”

Teriakan ini menyadarkan Cia Keng Hong dan yang lain-lain bahwa melawan terus menghadapi jumlah lawan yang jauh lebih banyak itu tiada gunanya. Apalagi yang menjadi pokok persoalan, yaitu Nona Cia Giok Keng telah pergi dari situ mengejar pengantin pria tadi.

“Pergi...!” Terdengar teriakan-teriakan mereka.

Cia Keng Hong maklum bahwa beberapa kali dia ditolong oleh Hong Khi Hoatsu, maka dia lalu memutar Siang-bhok-kiam sedemikian rupa sehingga ketiga orang pengeroyoknya terpaksa bergerak mundur. Kesempatan ini dia pergunakan untuk meloncat jauh ke arah Lie Kong Tek yang terdesak hebat oleh para pengeroyoknya.

lanjut ke Jilid 086-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar