Rabu, 19 Februari 2014

Petualang Asmara 92

Petualang Asmara Jilid 092

<--kembali

“Omitohud...!” Lak Beng Lama berseru kaget dan terpaksa dia melepaskan jepitan tangan dengan perutnya, membuat Kwee Kin Ta terhuyung ke belakang dengan muka pucat. Sambaran cahaya putih tadi benar-benar amat berbahaya dan begitu dia mengelak terhadap ledakan yang menyambar ke arah pelipis kepala sebelah kiri dan ubun-ubunnya, ujung sabuk sutera putih itu masih mampu melecut pundaknya, membuat jubah di pundaknya pecah dan kulit pundaknya terasa panas dan perih!

Dalam keadaan bertanding menghadapi Hun Beng Lama yang lihai masih mampu menolong Kwee Kin Ta dan menghalangi Lak Beng Lama menangkap puteranya, benar-benar kehebatan nyonya Ketua Cin-ling-pai itu mengejutkan hati kedua orang Lama itu. Teringatlah mereka akan kelihaian Kun Liong dan tahulah mereka bahwa mereka berada di guha harimau yang amat berbahaya. Baru nyonyanya sudah begini lihai, apalagi Ketua Cin-ling-pai itu sendiri! Andaikata Ketua Cin-ling-pai berada di situ, dan Kun Liong juga, agaknya mereka akan terjebak dan akan celaka!

Lak Beng Lama yang cerdik pada saat itu sudah dapat menduga bahwa mungkin ini adalah siasat dari Pek Hong Ing! Maka dia cepat berseru, “Subeng, harap desak dia...!”

Mendengar ini, Hun Beng Lama segera mengeluarkan suara menggereng yang aneh. Tidak keras namun suara itu terdengar memenuhi udara dan berbareng dengan gerengannya itu, tiba-tiba tasbihnya bergerak lebih hebat dan kuat. Kadang-kadang tasbih itu melayang di udara, menyambar ke arah kepala Biauw Eng seperti benda hidup, disusul oleh kedua tangan kakek itu yang menyerang ganas dan bertubi-tubi, kadang-kadang malah dibantu pula oleh serangan kedua kakinya. Didesak sedemikian rupa oleh kakek yang amat lihai ini, terpaksa Biauw Eng harus mencurahkan seluruh tenaganya sehingga dia tidak lagi dapat mencegah perhatiannya ke arah Lak Beng Lama yang sedang dikeroyok oleh para anak murid Cin-ling-pai.

Tiba-tiba terdengar teriakan Bun Houw, “Ibuuu...! Bebaskan aku...!”

Kagetlah hati Biauw Eng dan ketika dia meloncat ke belakang memandang, ternyata anaknya itu telah berada di dalam pondongan Lak Beng Lama! Tentu saja mudah sekali bagi pendeta lihai ini untuk merampas Bun Houw dari dalam perlindungan para anak murid Cin-ling-pai dan begitu berhasil memondong Bun Houw, dia lalu berkata, “Toanio, hentikan perlawananmu kalau kau ingin melihat puteramu selamat!”

Menggigil seluruh tubuh Biauw Eng dan kedua tangannya meremas-remas sabuk sutera putihnya dalam usahanya mencegah kedua tangannya bergerak menyerang Lak Beng Lama. Maklumlah dia bahwa setelah puteranya tertawan, dia tidak boleh secara sembarangan saja turun tangan karena hal ini akan membahayakan nyawa puteranya. Dia memandang dengan bernyala dan gigi berkerot, “Manusia iblis...! Kalau kau mencelakakan puteraku, demi Tuhan, aku tidak akan berhenti sebelum dapat mencincang hancur tubuhmu!” Ucapannya yang penuh kesungguhan hati ini membuat kedua orang Lama itu bergidik karena mereka maklum bahwa seorang wanita sehebat itu tentu akan memenuhi ancamannya.

“Omitohud...! Toanio gagah perkasa dan hebat luar biasa! Terimalah rasa hormat dan kagum dari pinceng.” Hun Beng Lama menjura dengan penuh kagum karena harus dia akui bahwa selama hidupnya baru sekarang dia bertemu dengan seorang wanita sebagai lawan yang sedemikian hebatnya.

Sie Biauw Eng sejak dahulu bukan hanya terkenal sebagai seorang wanita yang amat lihai dan penuh keberanian tidak pernah mengenal rasa takut, juga dia terkenal amat cerdik. Baru sekarang, melihat puteranya berada di tangan musuh, dia merasa takut sekali, akan tetapi dia dapat menekan perasaannya, lalu berkata kepada Bun Houw, “Houw-ji, seorang calon pendekar pantang menangis dan menghadapi segala bahaya dengan tenang, yang penting bukan mati atau hidup, melainkan benar dan salah!” Mendengar ini, Bun Houw mengangguk dan tidak meronta lagi dalam pondongan Lak Beng Lama karena dia mengerti bahwa melawan dan meronta pun tidak ada gunanya sama sekali.

“Hun Beng Lama, sikap dan pakaianmu saja seperti seorang pendeta Lama yang suci, akan tetapi perbuatanmu curang seperti penjahat kecil yang hina. Kenapa kau membawa-bawa anak kecil yang tidak tahu apa-apa? Kalau memang gagah dan berani, bebaskan anakku dan majulah kalian pendeta-pendeta palsu berdua, kita bertanding sampai salah satu pihak mati!” Dengan suara lantang dan gagah Biauw Eng menantang.

“Omitohud...! Toanio memang hebat! Kami sama sekali tidak suka bermusuhan dengan orang-orang gagah seperti Toanio. Kami terpaksa menangkap puteramu justeru karena kami tidak suka bermusuhan. Kami tidak akan mencelakakan putera Toanio ini, hanya akan kami ajak ke Tibet untuk bermain-main dan pesiar. Kelak, kalau Toanio atau suami Toanio datang mengantarkan Kun Liong kepada kami, tentu putera Toanio akan kami serahkan kembali disertai permohonan maaf kami sekalian. Kami tidak suka bermusuh dan bertanding melawan Toanio dan jalan satu-satunya hanyalah menahan putera Toanio. Nah, selamat tinggal sampai jumpa pula di Tibet di mana Toanio akan dapat mengajak pulang putera Toanio. Mudah-mudahan waktu itu tidaklah terlalu lama.”

Maka pergilah Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama meninggalkan puncak itu. Kwee Kin Ta yang patah-patah tulang tangan kirinya itu membuat gerakan untuk menyerbu, demikian pula para anak murid Cin-ling-pai, akan tetapi Biauw Eng menggerakkan tangan mencegah mereka. Wanita ini hanya berdiri memandang, matanya bernyala dan alisnya berkerut, kedua tangannya mengepal akan tetapi tidak berani membuat gerakan sesuatu. Setelah bayangan kedua orang pendeta itu lenyap, barulah dia mengeluarkan suara mengeluh panjang dan tubuhnya terguling roboh. Pingsan!

In-moi (Dinda In)...! Tunggu...!”

Teriakan ini keluar dari mulut Ouwyang Bouw yang mengejar Lauw Kim In yang berlari-lari. Namun Kim In tidak menjawabnya, juga tidak menengok, melainkan berlari terus sambil kadang-kadang mengusap air matanya. Biasanya, wanita yang berhati keras dan dingin seperti baja ini pantang menangis, akan tetapi ucapan yang keluar dari mulut Kun Liong menikam ulu hatinya dan menyentuh perasaan hatinya yang memang selalu tertekan. Dia sama sekali tidak cinta kepada Ouwyang Bouw dan menyerahkan tubuhnya kepada pemuda setan itu secara terpaksa. Hanya dia seorang yang merasakan betapa tersiksa dan menderita hatinya setiap kali dia harus menyerahkan tububnya kepada Ouwyang Bouw yang menganggapnya isterinya itu. Makin lama dekat dengan Ouwyang Bouw, makin sadarlah dia bahwa “suaminya” itu adalah seorang yang tidak waras otaknya, agak miring otaknya dan di balik ketidakwajarannya itu terdapat watak yang luar biasa kejam dan jahatnya! Seperti diketahui, dahulu dia menyerahkan kehormatan dan tubuhnya kepada Ouwyang Bouw karena terpaksa, yaitu untuk menyelamatkan sumoinya, Pek Hong Ing, dan dirinya sendiri karena mereka berdua kalah melawan Ouwyang Bouw, dan kedua kalinya karena dia hendak mempergunakan kelihaian orang muda gila ini untuk dapat membalas dendamnya terhadap musuh besar yang dahulu membunuh tunangannya, yaitu Thian-ong Lo-mo. Dan dia berhasil menyelamatkan Pek Hong Ing, bahkan berhasil pula membunuh Thian?ong Lo-mo di samping berhasil meningkatkan ilmu kepandaiannya dengan petunjuk “suaminya”. Akan tetapi, setiap kali apabila teringat akan keadaan dirinya, apalagi setiap kali harus melayani cumbu rayu dan permainan cinta suaminya yang kadang-kadang tidak lumrah dan mengerikan itu, batinnya makin tertekan.

Ucapan-ucapan Kun Liong seperti ujung pedang runcing menikam jantungnya. Dia diumpamakan setangkai mawar indah dari Go-bi yang berlumur noda dan lumpur kehinaan. Betapa tepatnya ucapan itu dan dia merasa jantungnya tertikam dan sakit sekali. Memang kalau dia pikir, hidupnya sekarang tidak ada artinya sama sekali, hanya menjadi permainan dan bahan penghinaan seorang laki-laki berotak miring seperti Ouwyang Bouw saja! Menjadi barang permainan karena dia pun tahu betapa anehnya cinta kasih Ouwyang Bouw kepadanya yang lebih condong kepada sebuah benda permainan yang tak pernah membosankan hati pemuda gila itu. Ouwyang Bouw yang menganggap dia isterinya itu kadang-kadang bermain gila dengan wanita, baik secara suka rela di pihak wanita itu atau memaksa dan memperkosanya, dilakukan begitu saja di depan matanya tanpa rasa malu sedikit pun! Ouwyang Bouw tidak mengenal apa artinya kesetiaan suami isteri. Bahkan gilanya, pernah Ouwyang Bouw menganjurkan agar dia bermain cinta dengan pria lain di depan mata suami gila itu! Ditangkapnya seorang pemuda tampan dan dengan ancaman maut Ouwyang Bouw memaksa pemuda itu agar bermain cinta dengan isterinya! Ouwyang Bouw membujuk-bujuk agar dia suka melakukan hal yang tidak senonoh itu di depan matanya. Tentu saja dia tidak sudi dan hal itu membuat Ouwyang Bouw marah-marah dan membunuh pemuda yang tidak berdosa itu! Teringat akan semua ini, hancurlah perasaan hati Kim In ketika mendengar celaan dan sindiran Kun Liong.

“Isteriku... yang manis...! Dinda Lauw Kim In... tunggulah..., larimu begitu cepat seperti kuda! Ha-ha-ha!” kembali terdengar suara suaminya itu, kini sudah dekat di belakangnya. Lauw Kim In mempercepat larinya, mengerahkan seluruh gin-kangnya yang sudah memperoleh banyak kemajuan setelah dia dilatih oleh suami gila itu.

“Wah-wah, larimu makin kencang! Ha-ha, lucu dan manis sekali dari belakang! Ha-ha-ha, bagus sekali! Kita menjadi dua ekor kuda yang berkejaran, kau kuda betina dan aku kuda jantan. Kalau dapat terpegang, kau harus memberi hadiah kepadaku, ha-ha-ha!”

Lauw Kim In bergidik, mengerti bahwa suaminya itu “kumat” lagi gilanya, gila berahi yang kadang-kadang penyalurannya membuat dia ngeri dan jijik. Maka makin cepatlah dia berlari dengan tekad kalau dapat akan membebaskan diri dari manusia itu. Akan tetapi, betapa pun cepat dia lari, naik turun gunung dan keluar masuk hutan, akhirnya dia tersusul juga.

“Ha-ha-ha, kau kalah!” Ouwyang Bouw menubruknya dari belakang sehingga Lauw Kim In terguling di atas rumput. Ouwyang Bouw terus menggelutnya dan memaksanya sambil terkekeh-kekeh, “Kita memang sepasang kuda...heh-heh, sepasang kuda bermain cinta...”

Dapat dibayangkan betapa tersiksanya hati wanita itu, namun terpaksa dia harus mandah saja diperlakukan sesuka hati pria yang memiliki tingkat kepandaian tinggi ini. Dia tahu bahwa kalau dia melawan dengan kekerasan, berarti bunuh diri dan dia tidak mau bunuh diri dengan sia-sia. Tubuhnya telah tercemar, telah kotor, maka ditambah dengan penderitaan beberapa kali lagi sebelum ada kesempatan baik, tidak mengapalah.

“Isteriku yang manis... kau hebat...” Omyang Bouw merangkul dan mencium mulut Lauw Kim In yang rebah kelelahan dan mukanya agak pucat itu. Ouwyang Bouw Ialu tergelimpang dan rebah pula terlentang di dekat Kim In, juga kelelahan dan dengan mulut tersenyum kepuasan.

Perlahan-lahan Kim In membereskan kembali pakaiannya. Dia bangkit duduk dan melirik ke arah “suaminya” yang masih terlentang dengan mata terpejam itu. Laki-laki itu tidur dengan tubuh setengah telanjang, dan harus diakuinya bahwa tubuh Ouwyang Bouw tegap dan gagah. Andaikata wataknya tidak gila seperti itu, melihat ketampanan wajah dan ketegapan tubuhnya, kiranya tidaklah terlalu sukar baginya untuk belajar membalas cinta laki-laki yang sudah menjadi suaminya ini. Akan tetapi laki-laki ini gila! Kegilaan yang menjemukan, terutama sekali kegilaannya dalam bermain cinta. Teringat akan apa yang baru saja dialaminya tadi, dia diperlakukan sebagai seekor kuda betina, hampir sama dengan diperkosa di luar kehendaknya, kemarahannya meluap.

“Wuuuuuttt!” Dengan jari-jari terbuka, tangan kanan Lauw Kim In menerkam dengan serangan maut ke arah dada dari suaminya.

“Plakkk...! Haiiiii, kau kenapa...?” Biarpun kelihatannya tadi memejamkan matanya, namun Ouwyang Bouw dapat menangkis dan meloncat berdiri sambil berteriak kaget.

Lauw Kim In juga kecewa dan kaget. Suaminya ini memang lihai sekali dan kalau dia tidak menggunakan akal, tentu dia akan mati konyol. “Aku mengapa? Mengapa lagi kalau bukan mengajak kau berlatih silat?” jawab Lauw Kim In dengan suara biasa dan terus saja dia melancarkan pukulan bertubi-tubi, mengeluarkari jurus-jurus yang paling ampuh.

Sambil meloncat ke kanan kiri dan mengikatkan ikat pinggangnya yang kedodoran, Ouwyang Bouw tertawa, “Ha-ha-ha, bagus! Baru saja selesai bertempur, sudah mengajak bertanding lagi. Nah, awas, aku membalas seranganmu!”

Bertandinglah kedua orang itu, atau bagi Ouwyang Bouw tentu saja hanya berlatih, dia tidak tahu bahwa “isterinya” itu menyerangnya dengan sungguh-sungguh! Setelah lewat lima puluh jurus, mengertilah Lauw Kim In bahwa tidak mungkin dia dapat mengalahkan suaminya yang benar-benar amat lihai ini.

“Sratttt!” Dia mencabut pedangnya. “Lihat pedang!” bentaknya karena biarpun di lubuk hatinya dia ingin membunuh orang ini, namun dengan cerdik dia memperingatkan agar suaminya tidak curiga dan mengira dia tetap mengajak berlatih, kini dengan silat pedang.

“Bagus! Memang dalam silat pedang engkau sudah memperoleh lebih banyak kemajuan daripada bertangan kosong, isteriku manis!” Ouwyang Bouw juga mencabut pedangnya dan tampaklah dua gulungan sinar pedang berkelebatan.

“Wah-wah, apakah engkau tidak lelah? Aku lelah sekali...! Sudahlah, aku ingin mengaso!” Ouwyang Bouw berteriak setelah mereka bertanding selama lima puluh jurus dan pedang mereka berkali-kali saling bertemu.

Diam-diam Lauw Kim In menjadi jengkel dan kecewa sekali. Dengan tangan kosong dia tidak mampu menang, dengan pedang pun tidak akan mampu membunuh suaminya ini, biarpun tingkat mereka tidak berselisih banyak. Dia menyarungkan pedangnya, lalu duduk membelakangi suaminya dengan wajah cemberut.

Ouwyang Bouw merangkulnya, mengusap keringat dari lehernya dan tangannya terus membelai ke bawah leher. Lauw Kim In merenggut tangan itu dan makin cemberut.

“Aihh, Manis! Kau kenapa? Mengapa marah-marah?” Ouwyang Bouw malah menggoda dan merangkul, terus menciumi dengan nafsu baru yang bangkil kembali.

“Engkau menipuku!” Lauw Kim In berkata.

“Heh? Aku...? Menipumu...?”

“Dulu kau berjanji akan menurunkan semua ilmu silatmu kepadaku, ternyata kau hanya menipuku saja.”

“Bukankah setiap kali kauminta, aku selalu melatihmu?”

“Huh! Yang kauajarkan hanyalah jurus-jurus tidak berguna saja. Buktinya, sampai sekarang pun aku belum mampu mengalahkan engkau!”

“Ha-ha-ha-ha! Hendak mengalahkan aku tidak mudah, isteriku. Ilmu kepandaianku sudah terlatih matang. Engkau hanya akan mampu mengalahkan aku dalam bermain cinta, kalau dalam ilmu silat, kiranya tidak mungkin biarpun aku mengajarkan seluruh ilmuku kepadamu.”

Lauw Kim In termenung. Benar juga apa yang diucapkan orang gila ini. Dia kalah latihan, juga kalah tenaga dan keuletan, mungkin kalah bakat. Habis, bagaimana dia akan dapat mengenyahkan laki-laki yang menjemukan hatinya ini? Dia harus bersabar dan menanti datangnya kesempatan baik. Maka dengan manis dia lalu menurut saja ketika suaminya mengajaknya kembali ke Pek-lian-kauw. Akan tetapi memang watak Ouwyang Bouw aneh, dia tidak langsung mengajaknya kembali ke Pek-lian-kauw, melainkan di sepanjang jalan dia berhenti dan di setiap tempat yang indah dia merayu isterinya dan mengajarkan jurus-jurus baru, sikapnya demikian mesra seperti pengantin baru saja, tidak tahu betapa limpahan cinta kasih yang luar biasa ini bahkan makin memuakkan hati Lauw Kim In. Karena perjalanan yang lambat ini, mereka sampai bermalam selama dua malam di dalam hutan, dan semua kehendaknya terpaksa dilayani oleh Lauw Kim In yang merasa seperti dijadikan boneka hidup!

Pada hari ke tiga, barulah mereka langsung menuju ke Pek-lian-kauw. Agaknya sudah lewat pula kumatnya penyakit Ouwyang Bow. Ada kalanya dia bersikap seperti pengantin baru selama beberapa hari, ada pula kalanya dia bersikap acuh tak acuh terhadap Lauw Kim In sampai berpekan-pekan!

Ketika mereka tiba di sebuah hutan, tiba-tiba Omyang Bouw menarik tangan Lauw Kim In dan menyeretnya ke dalam semak-semak.

“Aku sudah lelah, jangan main gila kau! Besok saja...” Kim In menolak karena mengira bahwa suaminya itu kumat lagi, akan tetapi Ouwyang Bouw mendekap mulutnya dan menuding ke depan.

Lauw Kim In memandang dan dia terkejut melihat seorang gadis cantik dan seorang pemuda. Dia mengenal gadis cantik itu, karena gadis itu bukan lain adalah pengantin yang dirayakan pernikahannya di Pek-lian-kauw, gadis yang kabarnya bernama Cia Giok Keng puteri Ketua Cin-ling-pai! Akan tetapi dia tidak mengenal pemuda tinggi besar dan bersikap gagah yang berjalan di sebelah gadis itu.

Siapakah pemuda tinggi besar dan gagah perkasa itu? Dia bukan lain adalah Lie Kong Tek! Seperti kita ketahui, Lie Kong Tek disuruh oleh gurunya untuk mencari Cia Giok Keng yang telah dipinangnya langsung dari ayah gadis itu. Gurunya menghendaki dia menyusul dan kalau perlu melindungi gadis itu dan memaksakan perpisahan antara mereka dengan janji setahun kemudian bertemu di Cin-ling-san.

Demikianlah, Lie Kong Tek lalu melakukan perjalanan seorang diri dan karena dia tidak tahu ke mana perginya Cia Giok Keng, maka dia lalu mengambil arah yang ditempuh oleh Giok Keng ketika gadis itu tadi melakukan pengejaran terhadap Liong Bu Kong. Tentu saja dia kehilangan jejak gadis itu dan selama dua hari dia berkeliaran di sekitar daerah itu, mencari-cari tanpa hasil.

Baru pagi tadi, ketika dia sudah hampir hilang harapan untuk bertemu dengan Cia Giok Keng, tiba-tiba dia melihat gadis itu muncul keluar dari sebuah hutan, berjalan dengan arah menuju ke sarang Pek-lian-kauw.

“Cia-siocia (Nona Cia)...!” Dia memanggil sambil berlari mengejar.

Mendengar suara panggilan ini, Giok Keng berhenti dan menengok. Ketika dia mengenal orang itu sebagai pemuda tinggi besar yang pernah membelanya di depan ayahnya, seketika Giok Keng cemberut. Hemm, kembali dia berhadapan dengan seorang penjilat, pikirnya! Betapa banyaknya bertemu dengan pria-pria seperti itu! Pria yang memperlihatkan “kebaikan”, bahkan rela berkorban apa pun untuk menarik hati seorang gadis cantik. Dan dia tahu bahwa pemuda tinggi besar ini pun semacam pria seperti itu. Tentu sikapnya membelanya di depan ayahnya, yang kelihatan gagah perkasa dan penuh kebaikan, bahkan yang membayangkan kasih sayang besar dengan pengorbanan dirinya, hanya merupakan siasat untuk menarik hatinya! Dia sudah muak dengan semua itu, apalagi setelah mengalami kejatuhannya di tangan Liong Bu Kong si tukang bujuk rayu! Kini teringat olehnya betapa hampir semua laki-laki adalah tukang bujuk, perayu yang berhati palsu, kecuali...Kun Liong agaknya! Kun Liong dengan terang-terangan mengatakan tidak cinta kepadanya! Sebaliknya, semua pria yang dijumpainya selama ini, dari pandang matanya saja sudah menjeritkan “cinta” yang memuakkan.

Betapapun juga, pemuda tinggi besar ini sudah menerima siksaan dari ayahnya, bahkan hampir tewas, maka dia harus bersikap baik. Dan untuk kelancangannya itu, dia akan menghukumnya dengan menjatuhkan hatinya seperti semua pria yang telah jatuh hati kepadanya, untuk kemudian dia tinggalkan. Mulai sekarang, dia akan membalas semua pria yang cintanya palsu itu! Mula-mula dahulu adalah para suhengnya di Cin-ling-pai, terutama Kwee Kin Ta dan Kwee Kin Ci yang dari sinar matanya jelas jatuh cinta kepadanya, lalu disusul belasan orang suhengnya yang lain. Setelah itu, entah berapa banyaknya lirikan-lirikan cinta yang terpancar keluar dari pandang mata setiap orang pria, tua muda yang bertemu dengannya.

“Cia-siocia...!” Lie Kong Tek kini sudah tiba di depan gadis itu, wajahnya berseri gembira karena hati siapa tidak akan gembira melihat gadis ini yang tadinya dianggap telah hilang dan tidak mungkin disusulnya lagi itu?

“Siapakah engkau dan ada keperluan apa memanggil-manggil aku?” Giok Keng bertanya dengan sikap galak dan pura-pura tidak mengenal karena dia ingin mempermainkan pemuda tinggi besar ini.

Lie Kong Tek memberi hormat dengan kedua tangan di depan dadanya, penghormatan yang tidak dibalas oleh gadis itu, namun Kong Tek tidak peduli karena memang dia tidak mempunyal keinginan dibalas. “Cia-siocia, tentu engkau tidak mengenal aku, akan tetapi dua hari yang lalu kita bersama ayahmu, guruku, dan para tamu kang-ouw di Pek-lian-kauw telah melawan orang-orang Pek-lian-kauw. Namaku Lie Kong Tek.”

“Ahhh, sekarang aku ingat! Engkau adalah orang yang dihajar oleh Ayah dan nyaris tewas di tangan ayahku!” Giok Keng sengaia mengemukakan hal itu karena dia menduga bahwa pemuda ini sudah cukup mendapat kesempatan untuk memamerkan jasa-jasanya ketika menolong dan membelanya.

Akan tetapi dia kecelik. Lie Kong Tek sama sekali tidak menonjolkan jasanya, bahkan dia menarik napas panjang dan berkata dengan suara serius, “Salahku sendiri, Nona. Masih untung aku tidak tewas di tangan ayahmu, karena kelancanganku mencampuri urusan orang lain.”

“Tapi... engkau telah berusaha untuk menolongku. Engkau telah melepas budi kebaikan kepadaku!” Giok Keng menambahi garam untuk memancing keluar isi hati pemuda itu yang dia anggap pasti akan menyatakan kagum dan sukanya dan kesiapannya untuk membela sampai mati!

Lie Kong Tek menggeleng kepala. “Kau membikin aku malu saja, Nona Cia. Apa yang kulakukan itu tidak ada artinya sama sekali dan siapa pun yang melihat suatu peristiwa yang tidak adil, tak peduli siapa yang terkena dan siapa pula yang melihatnya, pasti akan turun tangan.”

Hati Giok Keng menjadi penasaran. “Apa? Kaumaksudkan... andaikata yang terancam oleh ayahnya bukan aku, melainkan orang lain...”

“Tentu saja tidak ada bedanya, aku tetap akan mencegah seorang ayah yang bijaksana memukul anaknya sendiri.”

Hati Giok Keng kecewa. “Ahh, kukira tadinya...” kekecewaan hatinya karena jawaban pemuda itu tidak seperti yang disangkanya, terlontar melalui mulutnya.

“Kaukira bagaimana, Nona?”

“Kukira kau menolongku karena...karena kau suka padaku.” Terus terang saja Giok Keng mengucapkan kata-kata ini karena ingin dia memperoleh bukti bahwa yang mendorong perbuatan pemuda itu memang demikian sehingga dia akan mendapat alasan untuk mempermainkan dan menghina laki-laki yang tinggi besar dan tampan gagah ini.

Wajah Lie Kong Tek berubah merah seketika. “Nona, melakukan suatu perbuatan yang oleh umum dianggap baik menjadi sama sekali tidak baik dan palsu kalau berdasarkan rasa suka atau tidak suka!”

Giok Keng makin penasaran dan terheran-heran. Baru sekarang dia berhadapan dengan seorang laki-laki yang sama sekali tidak memperlihatkan sikap manis dan menjilat kepadanya, bahkan ucapannya begitu jujur dan terus terang sehingga terdengar kasar dan tidak menggunakan basa-basi sama sekali. Akan tetapi hal ini malah membuat dia menjadi penasaran. Kalau melihat semua laki-laki jatuh bertekuk lutut kepadanya, mengaku cinta, dia merasa muak karena sudah melihat kepalsuan mereka, terutama setelah pengalamannya dengan Bu Kong. Akan tetapi sikap pemuda ini lain lagi, bahkan sebaliknya daripada sikap pemuda pada umumnya. Dia akan merasa amat penasaran dan “turun nilai” kalau belum melihat pemuda ini pun bertekuk lutut menyatakan cinta kepadanya! Maka dia segera merubah siasat dan berkata,”Aihh, kalau tidak salah, gadis yang menjadi korban kekejian Ketua Pek-lian-kauw itu adalah tunanganmu, Saudara Lie Kong Tek?”

Lie Kong Tek mengangguk. “Memang benar demikian, dan kedatanganku bersama Suhu ke Pek-lian-kauw memang hendak mencari dia. Kami mendengar bahwa Nona Bu Li Cun, tunanganku itu diculik oleh orang Pek-lian-kauw. Sayang kami datang terlambat...”

“Kau dan gurumu tidak berhasil menolong tunanganmu, akan tetapi telah dapat menolong aku dan ayahku. Bu Li Cun itu cantik sekali, engkau tentu berduka dan kehilangan, Saudara Lie.”

“Tentu saja, aku merasa amat kasihan kepada Nona itu. Akan tetapi terus terang saja, tidak ada perasaan kehilangan di hatiku karena selamanya pun baru satu kali aku bertemu dengan tunanganku. Andaikata yang mengalami nasib buruk seperti dia itu seorang gadis lain, aku tetap akan merasa kasihan sekali.”

Giok Keng termenung. Pemuda ini memang aneh, pikirnya. Berbeda dengan pemuda lain, bahkan sinar matanya ketika memandangnya biasa dan polos saja, tidak mengandung api gairah yang dia lihat dalam pandang mata pemuda lain. Bahkan di dalam pandang mata Kun Liong yang terang-terangan tidak mencintanya itu pun terdapat sinar kagum kalau memandang kepadanya. Kenyataan ini membuat hatinya panas. Manusia sombong! Manusia angkuh! Kauanggap aku bukan apa-apa, ya? Tunggu saja kau, hatiku belum puas kalau tidak dapat melihat engkau bertekuk lutut dan merengek mengaku cinta!

Gadis ini tidak sadar betapa sesungguhnya dialah yang sombong! Demikianlah keadaan hati dan pikiran seseorang yang tidak pernah mengenal diri sendiri, sehingga dia seolah-olah buta akan gerak-gerik lahir batinnya, tidak sadar akan watak-wataknya sendiri. Karena tidak mengenal diri sendiri inilah yang menimbulkan segala perbuatan yang merugikan orang lain dan diri sendiri, perbuatan yang oleh umum dianggap jahat. Tidak ada perbuatan jahat yang disadari sebagai perbuatan jahat oleh orang yang tidak pernah mengenal dirinya sendiri, semua perbuatannya itu, apapun juga penilaian umum, tentu dianggapnya benar karena dia mempunyai alasan-alasannya yang tentu saja berdasarkan kepentingan diri pribadi.

Orang yang tidak mengenal diri sendiri akan sepenuhnya berada dalam cengkeraman si aku yang selalu mengejar kesenangan, dikuasai oleh si aku tanpa disadarinya. Sebaliknya, dengan pengenalan diri sendiri setiap saat, gerak-gerik dan segala akal bulus si aku dapat diawasi dengan jelas sehingga si aku tidak sempat lagi mengeluarkan segala siasat dan tipu muslihatnya.

Demikian pula dalam pertemuan antara Giok Keng dan Kong Tek. Pemuda itu berwatak jujur, polos dan wajar sehingga semua ucapannya tidak mengandung niat lain. Tidak demikian dengan Giok Keng yang merasa dirinya sebagai seorang gadis cantik, lihai, puteri Ketua Cin-ling-pai sehingga dari pengalaman yang sudah-sudah timbullah rasa tinggi hati dan keyakinan bahwa semua pria pasti akan bertekuk lutut dan jatuh cinta kepadanya!

“Nona Cia, sudah dua hari aku mencari-carimu!”

Timbul harapan di hati Giok Keng dan matanya bersinar tajam memandang penuh selidik. “Ada perlu apakah engkau mencari-cariku selama dua hari ini?”

“Hanya untuk membuktikan bahwa engkau berada dalam keadaan selamat, Nona. Ayahmu juga mencarimu dan aku diperintah oleh Suhu untuk membantu mencarimu. Sekarang Nona hendak pergi ke manakah?”

“Hendak kembali ke Pek-lian-kauw, memberi hajaran kepada para penjahat Pek-lian-kauw.”

“Aihh! Nona tidak mengerti apa yang telah terjadi. Bahkan Suhu dan ayahmu sendiri terpaksa harus melarikan diri. Pek-lian-kauw amat kuat, selain ketuanya memiliki keahlian dalam ilmu sihir yang hanya dapat dilawan oleh Suhu, juga mereka berjumlah banyak dan mempunyai sahabat-sahabat orang pandai.”

Giok Keng terkejut. Ayahnya sampai melarikan diri?

“Di manakah Ayah sekarang?”

“Beliau juga pergi berpisah dari kami, katanya hendak menyusul dan mencarimu, Nona.”

“Kalau begitu, aku harus cepat kembali ke Cin-ling-san. Sudah terlatu lama aku meninggalkan Ibu, tentu dia akan merasa khawatir sekali.” Teringat akan ibunya, hati Giok Keng berduka bukan main karena terbayang dahulu ketika dia cekcok dengan ayahnya dan diusir ayahnya yang kemudian ternyata bahwa ayahnyalah yang benar mengenai pribadi Liong Bu Kong. Teringat betapa demi Liong Bu Kong dia sampai minggat dari Cin-ling-san, menyakiti hati ayah bundanya, dia menjadi makin gemas kepada Liong Bu Kong dan andaikata dia tidak pasti benar bahwa Bu Kong telah tewas di tangan Yo Bi Kiok, tentu dia akan mencari dan membunuhnya! Kematian Liong Bu Kong bukan di tangannya membuat hatinya belum puas dan timbullah keinginannya untuk mempermainkan hati dan cinta kasih kaum pria! Adapun yang dianggapnya sebagai calon korban pertama adalah Lie Kong Tek inilah.

“Kalau Nona tidak berkeberatan, mari kita melakukan perjalanan bersama,” tiba-tiba Kong Tek berkata. Bagi pemuda ini, keadaannya juga serba sulit. Gurunya menyuruh dia mencari Giok Keng dan menyatakan cinta kasihnya! Akan tetapi, bagaimana dia dapat menyatakan perasaan hati itu kalau dia sendiri tidak yakin benar karena tidak tahu apakah benar dia mencinta gadis ini? Tentu saja dia tidak akan mau berlaku lancang seperti itu, apalagi karena dia pun maklum bahwa tidaklah pantas bagi dia untuk berjodoh dengan seorang dara seperti puteri Ketua Cin-ling-pai ini.

lanjut ke Jilid 093-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar