Rabu, 19 Februari 2014

Petualang Asmara 73

Petualang Asmara Jilid 073

<--kembali

“Kakimu kenapa...” Otomatis Kun Liong mengulurkan tangan meraba, akan tapi cepat ditariknya kembali karena di dalam gelap itu dia tidak dapat melihat dan tanpa disengaja, tangannya yang diulurkan tadi meraba daging yang gempal, meraba... paha dara itu yang tidak tertutup pakaian!

“Maaf... ah, Hong Ing. Bagaimana kau dapat sampai di sini? Dan bagaimana kakimu? Bagaimana keadaanmu...? Aihhh, terkutuk tempat begini gelap sehingga aku tidak dapat melihatmu!”

Tubuh dara itu menggigil. “Mengapa tidak kau buat api unggun? Dingin benar malam ini...”

Kun Liong ingin menampar kepalanya sendiri yang gundul. “Bodohnya aku!” makinya dan dia cepat merangkak keluar, mencari kayu dan daun kering. Untung angin ribut tidak membawa hujan sehingga daun dan ranting kering yang banyak terdapat di depan guha tidak menjadi basah. Dengan pengerahan tenaga, mudah saja dia membuat api dengan batu karang, dan tak lama kemudian, di dalam guha itu menyala seonggok api unggun yang terang dan indah.

Mereka kini dapat saling melihat. Mereka duduk berhadapan dan saling pandang. Sepasang mata dara itu bercucuran air mata, dan Kun Liong berusaha sekuat tenaganya untuk mencegah, air matanya turun dari pelupuk mata yang panas, bahkan dia berusaha untuk tersenyum, lalu berkata, “Kita masih hidup...”

“Ahhh, Kun Liong... pakaianmu koyak-koyak...” Suara Hong Ing lirih seperti orang merintih.

Kun Liong melihat kepada pakaiannya dan tersenyum, lalu memandang pakaian dara itu, menuding dan berkata. “Pakaianmu sendiri pun tidak utuh, Hong Ing.” Biarpun pakaian dara itu tidak sehebat pakaiannya mengalami kerusakan, namun tak dapat dikatakan utuh, banyak bagian yang terobek lebar sampai paha dan pundaknya kelihatan.

“Dan tubuhmu... ahhh, babak belur dan lecet-lecet... Lihat dahimu itu, berdarah... dan lengan kirimu, ahhh... paha kananmu juga mengeluarkan darah sampai celanamu merah semua... Kun Liong...!” Suara dara itu makin gemetar, pandang matanya penuh iba ditimpakan ke seluruh tubuh Kun Liong.

Kun Liong merasa betapa bulu tengkuknya berdiri, akan tetapi bukan meremang karena ngeri seperti tadi, melainkan karena terharu menyaksikan sikap Hong Ing dan mendengar suara dara itu.

“Hong Ing... kau sendiri pun babak bundas... ujung bibir kirimu pecah-pecah... pundakmu dan lenganmu... dan... dan bagaimanakah dengan kakimu?”

“Uhhh... kaki kiriku... agaknya terkilir di belakang mata kaki, tak dapat dipakai berjalan, digerakkan sedikit pun sakit.”

“Coba kuperiksa... maaf...” Kun Liong memegang kaki itu dan Hong Ing menggigit bibirnya menahan rasa nyeri. Memang terkilir. Agak hebat. Membengkak di bagian mata kaki itu, dan biru kehitaman oleh darah yang terkumpul di dalamnya.

“Hong Ing, maukah engkau menahan sakit sedikit? Tulang kaki ini keseleo, tergeser dan harus segera dibetulkan kembali letaknya. Kalau tidak, akan lama sembuhnya dan mungkin menjadi cacat.”

Hong Ing mengangguk dan memandang kepada Kun Liong yang kini menggunakan kedua tangannya memegang kaki itu. Tangan kanan memegang bagian atas dan tangan kiri memegang bagian bawah.

“Siaplah, Hong Ing, sakit akan tetapi hanya sebentar.” Tiba-tiba dia membuat gerakan menarik dan terdengar suara “krekk...” dan teriakan Hong Ing yang merasa nyeri bukan main. Perasaan nyeri yang sampai menusuk ke ulu hati rasanya, membuat seluruh tubuhnya menggigil dan keringat dingin membasahi dahinya, matanya terbelalak dan di atas pipinya yang pucat nampak air mata.

“Sudah baik letaknya sekarang. Harus dibalut erat-erat.” Kun Liong lalu merobek bajunya yang memang sudah koyak-koyak lalu membalut mata kaki itu dengen ketat. Ketika dia selesai dan mengangkat muka, dia melihat betapa dara itu tadi menderita nyeri yang hebat, napasnya masih naik turun, bibirnya berdarah sedikit karena pecah digigitnya sendiri.

“Kasihan kau... Hong Ing...” Kun Liong mendekat dan menggunakan tangannya menyapu keringat dari dahi yang halus itu.

“Terima kasih, Kun Liong... kau memang baik sekali.”

“Hemm, dalam keadaan seperti ini tidak perlu memuji, Hong Ing. Yang ingin sekali kudengar adalah ceritamu bagaimana engkau bisa sampai di tempat ini. Kukira tadinya kau...”

“Mati? Memang aku lebih baik mati daripada hidup, bahkan sebelum bertemu dengan engkau aku mengharapkan kematian saja, Kun Liong.”

“Mengapa?”

“Mengapa? Hemm... kau tidak tahu betapa ngeri rasa hatiku, betapa tidak berdaya sama sekali, seolah-olah menanti datangnya maut tanpa daya sedikit pun juga. Ketika kita diamuk badai dan agaknya perahu kita dihempaskan pada batu karang, aku tidak tahu apa-apa lagi...”



Hong Ing mulai bercerita, dan Kun Liong tentu saja maklum akan keadaan ini karena dia sendiri pun tidak ingat apa-apa lagi setelah itu, tahu-tahu dia berada di atas pasir pantai.

“Ketika aku siuman, aku berada di pantai, untung bahwa kepalaku berada di luar jangkauan air sehingga aku tidak mati tenggelam. Aku memanggil-manggilmu, keadaan gelap sekali malam itu, akan tetapi suaraku lenyap ditelan angin dan kau tidak menjawab. Aku menyeret kaki kiriku yang nyeri sekali ke darat, dan karena aku takut akan diserang binatang buas, aku terus merangkak sekuat tenaga sambil memanggil-manggilmu. Akhirnya aku berhasil masuk ke guha ini dan kembali aku tidak ingat apa-apa lagi. Setelah siuman untuk kedua kalinya, matahari telah naik tinggi. Kakiku tak dapat digerakkan, seluruh tubuh sakit, perut lapar sekali dan... dan... pada saat itu aku ingin mati saja, Kun Liong. Aku mengira bahwa engkau tentu telah mati! Aku sendiri tidak mampu bergerak. Tentu aku akan mati kelaparan. Betapa ngerinya. Maka aku lalu menangis sampai habis air mataku. Aku menjerit-jerit memanggil namamu, percuma saja. Malam tiba dan aku masih tetap menjerit dan menangis dan akhirnya... akhirnya... kau datang juga...” Mata itu terbuka lebar, kembali dua titik air mata turun, gigi yang rapi dan putih itu menggigit bagian dalam dari bibir bawah, cuping hidungnya bergerak-gerak membayangkan keharuan hati.

“Aduh kasihan sekali kau, Hong Ing. Tahukah engkau betapa aku pun sudah putus harapan, mengira engkau tentu telah tewas ketika aku menemukan kain penutup kepalamu? Dan tahukah engkau betapa suara panggilanmu tadi terbawa dalam mimpi sehingga aku mengira bahwa rohmu yang memanggilku?” Kun Liong lalu menceritakan pengalamannya dan tentu saja dia tidak menyebut-nyebut tentang mimpinya dan tentang perbantahan antara pikiran dan hatinya.

Berkat rawatan Kun Liong yang penuh ketelitian, belasan hari kemudian sembuhlah kaki kiri Hong Ing yang terkilir. Dia sudah dapat berjalan biarpun masih agak terpincang-pincang. Mereka berdua kini berusaha untuk menyesuaikan diri di pulau kosong itu.

“Kalau pulau ini tidak memenuhi syarat untuk dijadikan tempat tinggal selama kita bersembunyi, kita mencari pulau lain,” demikian kata Kun Liong.

“Bagaimana cara mencarinya? Perahu peti mati itu sudah lenyap, pula aku merasa ngeri kalau harus masuk ke dalam perahu peti mati itu lagi.”

Kun Liong tersenyum. “Aku dapat membuat perahu dari batang pohon besar di rimba itu. Akan tetapi kalau ada bahan makanan lain di pulau ini, tidak perlu mencari pulau lain. Pulau ini cukup indah dan hawanya pun nyaman.”

“Dan kita hidup di sini seperti orang-orang hutan? Seperti orang liar tak beradab?”

Kun Liong tersenyum memandang. Mereka saling berpandangan dan akhirnya keduanya tertawa geli.

“Engkau memang pantas menjadi seorang puteri hutan. Pakaianmu tidak karuan dan ringkas akan tetapi... pantas dan manis sekali. Kakimu tak bersepatu, dan rambutmu... hemmm.... rambutmu mulai tumbuh dengan suburnya, Hong Ing.”

“Dan kau... kau memang seperti seorang manusia di jaman batu! Hanya memakai celana yang pantasnya disebut cawat, badan tanpa baju, kulit terbakar sinar matahari. Wah, kau kelihatan kuat dan sehat, Kun Liong. Dan kepalamu... hi-hik, bersih sekali sampai mengkilap!”

Kun Liong tersenyum lebar. “Baru saja aku mandi dan kugosok dengan bunga karang. Segar sejuk rasanya.” Dia mengelus-elus kepala gundulnya.

Mereka duduk berteduh di dekat batu karang besar, berlindung dari sinar matahari yang sudah mulai naik tinggi. Hong Ing memanggang daging ikan yang baru saja ditangkap oleh Kun Liong. Selama belasan hari ini, mereka hanya makan daging ikan atau burung laut, dan mereka mulai rindu akan makanan sayuran. Mereka hanya makan karena lapar saja. Makan untuk perut, bukan untuk mulut. Di tempat seperti itu, terasing dari dunia ramai, mereka tidak mungkin dapat memilih makanan yang enak. Sehabis makan dan minum air tawar, mereka duduk dan memandang ke laut. Dari pulau itu, tidak kelihatan pulau lain, apalagi daratan besar.

“Enak juga di sini, kita dapat makan setiap hari dan tidak khawatir akan pengejaran Pangeran Han Wi Ong.”

Hong Ing menarik napas panjang. “Sayang tidak ada pondok. Setiap malam aku merasa ngeri tidur di guha itu, takut kalau-kalau ada kalajengking atau kelabang, lebih-lebih ular... hiiih...!”

“Aku akan membuatkan pondok untukmu, Di mana baiknya?”

Wajah manis itu berseri. “Benarkah, Kun Liong? Aku sudah terlalu banyak menyusahkanmu.”

“Tidak sama sekali. Memang kita berdua membutuhkan pondok...”

“Dengan dua kamar...”

“Cukup satu saja, untukmu. Aku bisa tidur di mana saja...”

“Ah, kalau begitu aku tidak mau! Masa yang membuatnya tidur di mana saja? Kalau kau tidak membuat pondok dengan dua kamar, aku juga tidak mau tidur di situ.”

Kun Liong tersenyum dan merasa geli hatinya. “Lucunya kita ini. Pondok belum jadi, dimulai pembangunannya pun belum, kita sudah cekcok tentang jumlah kamarnya!”

Hong Ing teringat akan ini dan dia pun tertawa. Ketawanya bebas dan diam-diam Kun Liong kagum dan terheran-heran. Mengapa gadis yang pakaiannya tidak karuan, hanya sedikit kain menutupi dari atas buah dada sampai ke paha, tanpa sepatu, dengan rambut mulai tumbuh masih awut-awutan, mengapa gadis seperti ini kelihatan begini menarik? Padahal, kalau dalam keadaan seperti itu Hong Ing berada di dalam kota yang ramai, tentu dia akan diikuti dan digoda oleh banyak anak kecil, dianggap seorang gila! Akan tetapi baginya, pada saat itu tidak ada bidadari di kahyangan yang lebih cantik, lebih manis, lebih menarik dan lebih menggairahkan daripada Pek Hong Ing!

Mulailah Kun Liong membuat alat-alat untuk membangun pondok. Alat-alat sederhana sekali dan tidak salah kalau Hong Ing membandingkan dia dengan seorang manusia dari jaman batu karena Kun Liong terpaksa membuat alat-alat dari batu karang! Kapak, pisau, semua dari batu karang tajam!

Biarpun dengan sukar, namun akhirnya jadi juga sebuah pondok berdiri di belakang batu karang besar di tepi laut itu. Sebuah pondok yang modelnya menurut kehendak Hong Ing. Agak tinggi dari tanah, sebuah pondok panggung karena Hong Ing takut kalau-kalau ada ular memasuki pondok dan kamarnya. Di depannya dipasangi anak tangga, atapnya dari daun, dindingnya dari bambu. Pintunya dua, di depan dan belakang, kamar Hong Ing di depan, ada jendelanya yang menghadap ke laut! Kamar Kun Liong di belakang. Selain pondok itu, juga Kun Liong membuat perabot rumahnya. Sebuah dipan kayu untuk Hong Ing, berikut sebuah bangku kayu, dan sebuah dipan bambu untuknya sendiri. Sebuah meja dan dua bangkunya di depan kamar. Tong-tong tempat air tawar.

Pada malam pertama mereka pindah ke pondok, kebetulan malam terang bulan. Hampir dua bulan Kun Liong membuat pondok itu, dibantu oleh Hong Ing yang menganyam dinding dan atap. Mereka berdua setelah makan malam, duduk di luar pondok, di atas pasir yang bersih dan putih tertimpa sinar bulan purnama.

Hong Ing menarik napas panjang, menggunakan sebuah sisir bambu buatan Kun Liong menyisiri rambutnya yang sudah ada sejari panjangnya. “Hemm, alangkah senangnya. Kita sudah punya rumah! Baru aku merasa sebagai manusia, bukan seperti binatang yang bersarang di dalam guha kotor!”

Kun Liong menoleh dan memandang wajah dara itu. Kebetulan sinar bulan menimpa wajah itu sepenuhnya, membuat wajah dara itu kelihatan seperti disepuh emas, cemerlang dan indah sekali. Senyum di bibir yang manis itu kelihatan amat indahnya, indah dan halus seperti sajak sasterawan di jaman dahulu. Kun Liong terpesona! Ketika Hong Ing melirik, pandang mata mereka bertemu dan dara itu memperlebar senyumnya. Kun Liong gelagapan karena senyum dan pandang mata dara itu membuat dia merasa seperti seorang maling tertangkap basah! Cepat dia menutupi kecanggungannya dengan pertanyaan. “Benar-benarkah kau merasa senang, Hong Ing?”

Dara itu menunda sisirnya dan memandang wajah Kun Liong, senyumnya masih cerah dan dia mengangguk. “Senang sekali. Engkau pandai sekali, Kun Liong. Apakah tidak ada yang tak dapat kaulakukan? Apa saja engkau bisa! Ilmu silatmu tinggi, kau pandai kesusastraan. Bahkan pandai berfilsafat. Bisa mengobati kakiku, pandai menghibur dan sekarang kau malah menjadi tukang kayu, tukang batu, pembuat sisir, penangkap ikan dan burung, pemasak daging... wah, apa yang kau tidak bisa?”

Merah wajah Kun Liong saking senangnya dengan pujian ini. Dia menunduk den sambil tersenyum dia berkata, ”Aahh, kau melebih-lebihkannya saja. Sebuah pondok butut seperti ini...”

“Tapi kokoh kuat... bukan, Kun Liong?”

“Ya, cukup kuat. Tak usah kau khawatir. Ular dan segala binatang takkan dapat masuk. Pula, di sini tidak ada binatang buasnya.”

“Kau memang pandai dan rendah hati...”

Kun Liong senang sekali, kepalanya menunduk. Hong Ing tidak bicara lagi, dan ketika diam-diam dia mengerling, dara itu tidak memandangnya, melainkan sedang sibuk menyisir rambutnya dan memandang ke arah bulan purnama. Betapa indahnya gerakan itu menyisir rambut! Kepalanya agak dimiringkan sehingga separuh mukanya tertimpa cahaya bulan. Sepasang matanya kelihatan berkilauan dan memantulkan sinar bulan yang redup dan sejuk. Bibirnya bergerak-gerak, kadang-kadang mulut yang manis itu agak terbuka menahan rasa perih ketika sisirnya macet pada rambut yang lengket. Rambut itu biarpun baru sejari panjangnya, sudah kelihatan berombak, maka seringkali sisirnya macet. Dengan tangan kanan memegang sisir dan tangan kiri menata rambut, dara itu mengangkat kedua lengannya sehingga tampaklah sedikit bulu halus di ketiaknya yang tidak tertutup. Kun Liong terpesona. Betapa hebatnya daya tarik seorang wanita kalau sedang bersolek! Dan Hong Ing adalah seorang wanita yang luar biasa, memiliki
kecantikan yang khas dan aneh. Apalagi kini hanya mengenakan pakaian yang tidak lengkap itu.

Aku cinta padanya! Kun Liong terkejut sendiri. Bodoh, bantah suara lain di kepalanya yang gundul. Kau hanya menganggap saja ini cinta, padahal tak lain tak bukan hanya perasaan tertarik oleh keindahan bentuk tubuh yang bulat itu, kecantikan wajah yang sudah dipercantik lagi oleh cabaya bulan purnama, dan suasana yang sunyi di mana hanya ada mereka berdua! Bukan! Bukan cinta! Dia tidak akan dapat mencinta seorang yang bagaimana pun, karena dia tahu bahwa cintanya itu dikotori oleh keinginan memiliki, keinginan membelai dan merayu, keinginan yang terdorong nafsu birahi!

Tidak! Dia tidak mencinta, hanya memang dia suka, bahkan tergila-gila oleh kecantikan Hong Ing. Sama saja dengan rasa sukanya kepada dara-dara yang lain, termasuk Lim Hwi Sian yang bahkan sudah menyerahkan badannya kepadanya. Hwi Sian telah menyerahkan tubuhnya kepadanya karena mencintanya, kata data itu! Dan bagaimana dengan Hong Ing? Hong Ing telah merasa berhutang budi kepadanya, dan mereka hanya tinggal menyendiri di pulau kosong ini, dengan pakaian yang begitu minim! Bagaimana kalau mereka berdua terseret oleh godaan nafsu birahi?

“Tidak boleh!”

Hong Ing terkejut sekali, sisirnya hampir terlepas ketika tiba-tiba Kun Liong menampar kepala gundulnya sendiri! Kun Liong sendiri terkejut dan baru sadar bahwa dia tadi menjadi begitu gemas kepada dirinya sendiri sampai dia menampar kepalanya!

“Eh, ada apakah?”

Tentu saja wajah pemuda itu menjadi merah sekali, merah sampai ke kepalanya bukan hanya merah karena tamparannya. “Ehh... ohh... tidak apa-apa, aku hanya termenung...”

“Mengapa termenung sambil menampar kepala sendiri?”

“Eh... anu... tadi ada seekor nyamuk menggigit kepalaku...” Kun Liong menggosok-gosok telapak tangannya seolah-olah ada nyamuk mati mengotori tangan itu.

“Hi-hik, kau memang aneh. Mengapa ada nyamuk diajak bicara dan kau membentak tidak boleh? Lucu sekali!”

“Aku tidak ingat lagi mungkin karena termenung tadi...”

Kembali terdengar dara itu terkekeh geli. Hemm, dia mulai menertawakan aku. Aku Si Kepala Gundul ini, pemuda miskin, yatim piatu, mana ada harganya bagi seorang dara seperti Hong Ing? Bayangkan saja! Seorang pangeran gagah tampan, putera seorang Kaisar yang tentu saja kaya raya masih ditolak Hong Ing! Apalagi dia! Seperti seekor anjing merindukan kelinci di bulan!

“Kun Liong, kau jangan suka melamun seperti itu. Orang melamun, bicara sendiri, memukul kepala sendiri hemmm, seperti orang tidak waras saja...”

Ah, dia mulai mengatakan aku tidak waras, sama dengan memaki gila! “Memang, kadang-kadang aku seperti gila, Hong Ing.”

Hong Ing memandang wajah Kun Liong cepat-cepat, agaknya dapat menangkap nada marah dalam ucapan pemuda itu, alisnya diangkat tinggi-tinggi dan matanya menyapu penuh selidik. Akan tetapi Kun Liong sudah menunduk dan tidak bicara lagi. Dia tidak melihat betapa dara itu tersenyum geli melihat dia menunduk dengan wajah bersungut-sungut, mulut cemberut.

Hening sampai agak lama. Kadang-kadang kalau Kun Liong mencuri pandang dengan kerling sekilat, dia melihat dara itu masih bersila dan menengadah, memandang ke bulan.

Rasa mendongkol di hati Kun Liong tak dapat bertahan lama. Mana mungkin dia dapat marah lama-lama kepada seorang dara yang kelihatan begitu tidak berdaya, yang mengalami penderitaan seperi itu dan amat membutuhkan perlindungan? Tidak mungkin dia bisa sekejam itu. Heran dia. Mengapa Hong Ing memilih menjadi nikouw, bahkan kini memilih menjadi seorang buruan yang terlunta-lunta, daripada menjadi isteri seorang pangeran yang kaya raya dan berkuasa? Mengapa memilih hidup sengsara kalau kehidupan mulia terbentang di depan kakinya? Tiba-tiba dia teringat. Sebetulnya dia belumlah mengenal gadis ini sungguh-sungguh, dan dia mengerti dan mengenalnya hanya menurut cerita gadis itu sendiri. Hong Ing adalah murid Go-bi Sin-kouw, seorang tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi. Siapa tahu isi hati gadis itu? Kakak seperguruan gadis ini, nona Lauw Kim In, menurut cerita Hong Ing, juga mau diambil kekasih oleh seorang pemuda iblis macam Ouwyang Bouw! Siapa tahu, gadis ini mendekatinya karena memang ada pamrih sesuatu. Bokor itu! Semua tokoh kang-ouw agaknya menduga keras bahwa dialah yang menyembunyikan bokor emas asli, pusaka Panglima The Hoo yang diperebutkan itu! Dia mengerling lagi, dan melihat bahwa Hong Ing sudah berhenti menyisir rambutnya. Rambut itu hitam mengkilap, menghias kepala dara itu sehingga kepala itu kelihatan seperti setangkai bunga mawar! Manisnya bukan main!

“Hong Ing...” Kun Liong berhenti sebentar karena jantungnya berdebar oleh dugaan yang bukan-bukan tadi dan oleh ketegangan usahanya untuk memancing dan menyelidiki.

“Hemmm...” Hong Ing menoleh, mereka saling berpandangan dan kembali Kun Liong yang harus lebih dulu menundukkan kepalanya yang gundul karena pandang mata dara itu seolah-olah memiliki daya menembus sampai ke dalam dadanya.

“Mengapa engkau menolak pinangan Pangeran Han Wi Ong? Dia putera Kaisar dan...”

“...dan aku tidak mencintanya!” Hong Ing menyambung cepat.

“Tapi, dia putera Kaisar, berkuasa dan kaya raya, dia tampan dan gagah pula.”

“Biar dia seratus kali lebih berkuasa, kaya raya, dan tampan gagah, kalau aku tidak mencinta, apakah aku harus memaksa diri?”

“Agaknya engkau amat mementingkan cinta dalam perjodohan.”

“Tentu saja! Menikah tanpa cinta sama dengan memasuki gerbang neraka.”

“Hemmm...”

“Apakah kau tidak berpendapat demikian, Kun Liong?”

“Entahlah. Hanya... kasihan Pangeran Han Wi Ong...”

“Ahh, salah mereka sendiri! Laki-laki yang tidak tahu diri! Betapa banyaknya pria yang hendak memaksakan cintanya kepada seorang wanita. Kalau ditolak, adalah kesalahan mereka sendiri, mengapa harus dikasihani?”

Kun Liong mengangkat muka memandang wajah itu dan tampak olehnya betapa wajah yang cantik itu dihias senyum mengejek, agaknya merasa jijik terhadap cinta kaum pria!

“Banyakkah sudah kau dicinta orang?”

“Banyak sekali!”

“Hemmmm...”

“Mengapa mengeluh?”

“Pantas kau berani menolak cinta seorang pangeran. Kiranya banyak pria yang tergila-gila kepadamu!”

“Apa salahnya?”

“Tidak apa-apa, aku hanya... hemm, tidak ada seorang pun yang mencintaku.”

“Ah masa! Kau seorang pemuda yang gagah dan tampan, pandai mengendalikan diri, berbudi mulia suka menolong orang lain tanpa pamrih...”

“Betapa pun, tidak ada yang mencintaku seperti begitu banyak pria mencintamu...”

“Kalau ada yang mencintamu...?”

“Tak mungkin! Gundul miskin seperti aku, lebih pantas disebut jembel, mana mungkin... Ah betapapun juga, aku tidak sudi menikah selama hidupku.”

“Heiii! Mengapa?”

“Perempuan di dunia ini sema saja...”

“Wah, agaknya mendalam sekali pengetahuanmu tentang perempuan! Dari mana pengetahuanmu itu? Dari buku pula?” Nada suara Hong Ing mengejek dan pandang matanya seperti scorang ibu guru memandang seorang murid cilik yang bodoh dan nakal!

Akan tetapi Kun Liong tidak mempedulikan nada suara dan pandangan itu, lalu melanjutkan dengan keras kepala, “...sekali seorang laki-laki mengambil perempuan sebagai isterinya, maka akan celakalah dia! Hidupnya akan merupakan siksaan, karena perempuan yang menjadi isterinya akan selalu menguasainya, mengikatnya, merongrongnya. Dia akan kehilangan kebebasannya dan menyesal pun sudah terlambat!”

“Wah! Seperti itukah penilaianmu terhadap perempuan? Kau menganggap bahwa semua wanita itu seperti yang kau ceritakan tadi? Dan kau mengira bahwa semua pria berpendirian seperti engkau, dirusak hidupnya oleh isteri? Betapa sombongmu, Kun Liong!”

Akan tetapi Kun Liong tidak peduli. Betapa pun menariknya Hong Ing, membuat dia terpesona, membuat hatinya lemah, namun yang di hadapannya ini tak lain juga hanya seorang wanita! Maka dia melanjutkan, suaranya penuh semangat seolah-olah dia mempertahankan pendiriannya mati-matian terhadap serangan dari luar. “Aku tidak akan sudi menikah, kecuali dengan seorang wanita yang selalu menjadi idaman hatiku semenjak aku kecil!”

“Waduh! Kecil-kecil sudah mengidamkan seorang wanita! Hebat kau, Kun Liong!” Suara Hong Ing mengejek sekali, bahkan diperkuat dengan senyum simpulnya, membuat hati Kun Liong makin panas. “Wanita seperti apa sih, idaman hatimu itu?”

“Aku baru mau menikah dengan seorang wanita yang halus budi bahasanya, manis tutur sapanya, lemah lembut geraknya, suaranya seperti nyanyian burung di waktu pagi, tutur sapanya seperti hembusan angin lalu sepoi-sopi, gerak-geriknya seperti batang pohon yang liu tertiup angin, tidak hanya cantik jelita di lahir saja, melainkan lebih cantik lagi di batinnya, penyabar, ramah, tidak pernah cemburu, keibuan, taat, setia, dan...”

“Pendeknya, wanita yang luar biasa tidak ada cacat celanya, seperti bidadari kahyangan yang diceritakan dalam dongeng! Seperti... seperti Kwan Im Pouwsat sendiri! Seperti... ah, perempuan idamanmu itu harus dilahirkan lebih dulu, Kun Liong. Thian harus membuat perempuan itu khusus untukmu, untuk seorang pria yang sombong, sesombong-sombongnya, tolol setolol-tololnya dan.. dan...”

“Maaf, Hong Ing...” Kun Liong terkejut juga melihat dara itu bangkit berdiri, menegakkan kepala dan matanya seperti dua bola api hendak membakarnya, seluruh sikapnya jelas menunjukkan kemarahan yang ditahan-tahan, dan suaranya bercampur napas sesak seperti mau menangis!

“...dan... dan... perutku menjadi mual melihatmu!” Setelah melontarkan kata-kata terakhir itu, dengan langkah gontai, dengan pinggul menonjol padat terbayang di balik kain yang sederhana dan pendek itu, Hong Ing meninggalkan Kun Liong, naik anak tangga memasuki pondok kecil itu. Terdengar dia menutupkan pintu kamar keras-keras, dan tampak dari luar daun jendela juga dihempaskan kuat-kuat!

lanjut ke Jilid 074-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar