Rabu, 19 Februari 2014

Petualang Asmara 81

Petualang Asmara Jilid 081

<--kembali

Tahulah dia bahwa kedua kulit tengannya telah terkena hawa beracun!

“Ha-ha-ha-ha!” Ouwyang Bouw tertawa.

“Hi-hik, tua bangka, bersiaplah untuk mampus!” Kim In juga mengejek dan wanita ini sudah menerjang maju bersama suaminya.

“Haiiitit... hehhh!!” Thian-ong Lo-mo cepat mengelak ke sana ke mari, dan membalas dengan pukulan-pukulan maut. Namun dia segera terdesak hebat karena kakek ini merasa ragu-ragu untuk menangkis pukulan-pukulan lawan, hanya mengelak ke sana-sini sehingga tentu saja hal ini tidak memberi banyak kesempatan kepadanya untuk balas menyerang, tidak seperti kalau dia menangkis lalu membalas langsung. Kadang-kadang secara terpaksa, Thian-ong Lo-mo menangkis juga, namun jika hal ini dilakukan, dia mengisi lengannya dengan hawa sin-kang sepenuhnya untuk menolak hawa beracun dari lengan lawan. Betapapun juga, tetap saja kulit lengan yang terbentur lengan lawan terasa gatal-gatal, tanda bahwa biarpun hawa beracun itu tidak meresap ke daging dan tulang, namun tetap saja meracuni kulitnya. Makin banyak dia menangkis, makin hebat rasa gatal yang menyiksa kedua lengannya.

Di antara perasaan yang biarpun tidak berapa nyeri namun sukar dipertahankan manusia adalah rasa gatal. Mungkin kalau kedua lengan Thian-ong Lo-mo itu terasa nyeri betapa hebat pun, kakek ini masih dapat mempertahankan. Akan tetapi diserang rasa gatal yang membuat seluruh bulu di tubuhnya bangkit meremang, sukar untuk dipertahankan tanpa digaruk, maka hal ini tentu saja amat menyiksanya dan membuat gerakan ilmu silatnya menjadi kacau balau tidak karuan. Dia sudah terkena pukulan sampai tiga kali, dua kali oleh Ouwyang Bouw dan sekali oleh Kim In. Namun, berkat ilmunya I-kiong-hoat-hiat (Ilmu Memindahkan Jalan Darah) yang sempurna, Thian-ong Lo-mo dapat membuat tubuhnya kebal dan jalan darahnya tidak terluka oleh pukulan pukulan itu hanya bagian kulitnya saja yang terkena pukulan menjadi merah kehitaman dan terasa gatal bukan main.

“Hyaaahhhh... robohlah...!” Tiba-tiba Thian-ong Lo-mo membentak dan kedua tangannya bergerak ke depan.

Ouwyang Bouw dan Kim In cepat mengelak ketika melihat berkelebatnya sinar dari kedua tangan kakek itu dan mendengar suara bercuitan, namun karena jaraknya amat dekat, biarpun mereka mengelak, tetap saja pangkal lengan kiri Ouwyang Bouw keserempet dan betis kanan Kim In ketika meloncat terkena senjata rahasia yang dilepas oleh kakek itu. Kiranya senjata rahasia itu hanyalah kancing-kancing baju kakek itu sendiri. Karena tadi terdesak hebat, terutama sekali disiksa rasa gatal-gatal, Thian-ong Lo-mo memperoleh akal. Tanpa diketahui kedua lawannya, diam-diam dia mencabuti kancing-kancing bajunya dan menanti kesempatan baik secara tiba-tiba menyerang kedua lawan dengan kancing-kancing itu. Sayang baginya, kedua lawannya terlampau gesit sehingga hanya terluka ringan saja dan celakanya, menyerang kedua orang suami isteri ini dengan senjata rahasia tidak ada bedanya dengan menantang ikan berlumba renang!

Penggunaan kancing baju sebagai senjata rahasia oleh Thian-ong Lo-mo itu sama saja dengan menantang Ouwyang Bouw dan Kim In, padahal sepasang suami isteri ini adalah ahli-ahli senjata rahasia jarum merah beracun! Mereka berdua sudah menggerakkan kedua lengan bergantian dan sinar-sinar merah menyambar ke arah tubuh Thian-ong Lo-mo. Kakek ini masih berusaha mengelak, namun terlalu banyak jarum-jarum kecil halus itu menyambar, dan terlalu dekat jaraknya sehingga akhirnya dia berteriak keras dan roboh bergulingan di atas tanah. Ouwyang Bouw tertawa dan dua kali tangannya bergerak. Seketika tubuh itu tak dapat bergerak lagi, telentang di atas tanah karena pada sambungan lutut dan paha, masing-masing telah dimasuki sebatang jarum merah yang amat beracun, membuat kaki tangan kakek itu menjadi lumpuh tak mampu digerakkan lagi!

“Ha-ha-ha, isteriku sayang. Dia sudah tak berdaya, lakukanlah apa yang kau ingin lakukan!” kata Ouwyang Bouw sambil mencari tempat duduk di atas sebuah batu untuk mengaso dan menonton isterinya membalas dendam.

Lauw Kim In memang merasa sakit hati sekali kepada Thian-ong Lo-mo. Kakek inilah yang dianggapnya menjadi biangkeladi perubahan hidupnya. Betapa dia tidak akan menyesal. Sampai saat itu pun, kalau diingat, dia menjadi berduka dan penasaran sekali. Dia seorang murid Go-bi Sin-kouw, seorang wanita yang tergolong gagah perkasa dan cantik, terpaksa harus menyerahkan dirinya menjadi isteri seorang berotak miring seperti Ouwyang Bouw, dan semua itu adalah gara-gara kakek Thian-ong Lo-mo ini! Kalau tunangannya tidak dibunuh dahulu, tentu dia telah menjadi isteri tunangannya itu dan hidup bahagia! Dengan dendam membara di dada wanita ini mengambil pedangnya yang tinggal sepotong, menghampiri tubuh kakek yang rebah telentang itu. Melihat Lauw Kim In datang membawa pedang buntung, Thian-ong Lo-mo maklum bahwa dia tentu akan dibunuh, maka dia berkata, “Aku sudah kalah oleh kecurangan kalian menggunakan racun. Nah, mau bunuh lekas bunuh, aku sudah tua, tidak kaubunuh pun tak lama lagi tentu mati!” Ucapan ini dikeluarkan untuk menutupi rasa ngeri dan takutnya.

Tanpa mengeluarkan kata-kata namun sepasang matanya mengeluarkan sinar menyeramkan, Kim In melangkah maju menghampiri tubuh yang telentang tak berdaya itu. Tangannya menggenggam gagang pedang erat-erat, pedang yang buntung, tidak runcing akan tetapi tentu saja masih amat tajam, lalu tangannya bergerak, pedang berkelebat ke depan.

“Haiiittt...!” Tiba-tiba tubuh yang sudah tidak berdaya dan lumpuh itu mencelat ke atas, mulutnya terpentang lebar dan ternyata kakek yang amat lihai itu kini menggunakan mulut untuk menyerang dan menggigit ke arah tenggorokan Kim In!

“Plakk! Desss...!” Untung Kim In bersikap waspada dan dapat melihat serangan lawan, lalu tangan kirinya menampar dan memukul, membuat tubuh itu terbanting keras dalam keadaan telentang lagi. Kalau dia tidak waspada dan lehernya sampai tergigit, tentu gigitan itu takkan dilepaskan sebelum kakek itu tewas, dan ini dapat berarti tewasnya Kim In pula! Dengan penuh kemarahan Kim In melangkah maju, tangan kanan yang memegang pedang bergerak.

“Blesss... rettt...!”

Kim In meloncat muncur pada saat darah muncrat-muncrat dari tubuh depan kakek itu. Dari dada sampai ke bawah perut, tubuh itu terobek dan terkuak lebar, darah muncrat dan isi perutnya keluar. Mata kakek itu terbelalak melotot, kaki tangannya yang lumpuh berkelojotan sebentar lalu terdiam. Hanya isi perutnya yang keluar itu masih bergerak-gerak sedikit bersama gerakan darah muncrat dan mengalir.

“Ha-ha-ha-ha!” Ouwyang Bouw tertawa bergelak-gelak, menambah seramnya pemandangan di saat itu. Lauw Kim In hanya menunduk, berdiri dengan muka pucat dan menunduk, tanpa berkata apa-apa lalu membuang pedang buntung yang berlumur darah, kemudian membalikkan tubuhnya dan berkelebat pergi dari tempat itu, diikuti oleh suaminya yang tertawa-tawa. Mayat Thian-ong Lo-mo ditinggalkan menggeletak di tempat itu, dengan dada dan perut terbuka. Terdengar suara gerengan binatang hutan dari jauh dan tampak beberapa ekor burung nazar pemakan bangkai beterbangan di atas tempat itu, agaknya binatang-binatang itu dapat mencium bau darah dan mayat.

Sementara itu, puas karena telah berhasil membalas dendam, Kim In bersama Ouwyang Bouw hendak kembali ke timur. Akan tetapi di tengah jalan, mereka dihadang oleh serombongan orang Mongol dan beberapa orang barat yang dikepalai oleh Marcus yang dikenal sebagai Dewa Panah! Dengan amat mudah, Ouwyang Bouw dan Kim In merobohkan para pimpinan gerombolan ini dan karena Marcus mendengar bahwa laki-laki tampan gagah yang memiliki kepandaian amat tinggi itu adalah putera Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok yang tewas di tangan Cia Keng Hong yang membantu Panglima The Hoo, dia mempergunakan kesempatan itu untuk menarik tenaga Ouwyang Bouw. Dia lalu menyatakan takluk dan membawa semua anak buahnya dan para pemberontak Mongol, mengangkat Ouwyang Bouw sebagai kepala dari gerombolan yang semuanya berjumlah tidak kurang dari seribu orang Mongol!

Demikianlah, suami isteri ini menjadi pimpinan gerombolan orang Mongol, dan tentu saja puncak pimpinan segera berada di tangan Lauw Kim In karena suaminya tunduk kepadanya, sehingga Ouwyang Bouw yang memiliki kepandaian tinggi itu seakan-akan hanya menjadi pembantunya! Setelah dendamnya dilaksanakan dan dia berhasil membunuh musuhnya, Kim In menganggap bahwa hidupnya tidak ada artinya lagi. Namun, mengingat betapa suaminya, biarpun dia tidak mencintanya, telah bersikap baik kepadanya, bahkan membantunya membunuh Thian-ong Lo-mo, dia merasa kasihan juga mendengar bahwa suaminya itu tidak akan tenteram hatinya sebetum membalas kematian ayahnya. Ouwyang Bouw maklum bahwa agaknya tidak akan mungkin baginya untuk membunuh Cia Keng Hong dan Panglima Sakti The Hoo, akan tetapi setidaknya dia akan merongrong kewibawaan panglima itu, akan mengganggu pemerintah! Dan Kim In merasa berhutang budi kepada Ouwyang Bouw, maka daripada menderita hidup yang kosong, dia membantu suaminya, bahkan kini dia menikmati kedudukan sebagai orang paling terhormat di dalam Pasukan Tombak Maut yang dipimpin oleh suaminya. Dia diperlakukan seperti ratu dan lama-kelamaan kedudukan atau kemuliaan ini merupakan kebutuhan baginya, membuat dia mabok dan tidak ingin melepaskannya lagi karena menganggapnya sebagai kebahagiaan hidupnya!

Memang demikianlah kehidupan manusia, seperti Lauw Kim In itu. Kita manusia dibikin mabok oleh pikiran kita sendiri, oleh kenangan yang melahirkan keinginan. Kita melihat, mendengar atau merasakan sesuatu yang menyenangkan, lalu kita ingin hal itu berlangsung terus atau berulang kembali, kita takut kehilangan itu sehingga kita mati-matian membelanya atau mencarinya kalau yang menyenangkan itu meninggalkan kita. Dalam membela atau mencari ini, kita tidak segan-segan untuk merobohkan siapa saja yang menghalang di tengah jalan. Dan celakanya, kita menganggap bahwa yang menyenangkan itu adalah kebahagian! Kita lupa bahwa kesenangan tidak akan terpisah dari kekecewaan, kekhawatiran dan kedudukan. Bukan berarti bahwa kita tidak harus menikmati kesenangan, melainkan bodohlah kalau kita mengikatkan diri kepada kesenangan yang berarti kita menghambakan diri kepada nafsu kesenangan. Hanya dia yang bebas dari segala ikatan lahir maupun batin, dialah yang benar-benar bidup, karena bagi dia yang bebas dari segala ikatan tidak membutuhkan apa-apa lagi, tidak membutuhkan kebahagiaan karena sudah bahagia!

Demikianlah pengalaman Lauw Kim In sampai pada suatu hari ketika suaminya dan Marcus menangkap seorang tawanan dan pada keesokan harinya pagi-pagi tawanan itu dibawa menghadap ke dalam ruangan di mana dia hadir bersama Ouwyang Bouw, Marcus, dan lima orang pemimpin bangsa Mongol yang siap hendak memeriksa tawanan yang mencurigakan itu. Ketika Lauw Kim In mengangkat mukanya memandang wajah tawanan itu, seketika dia teringat. Tawanan itu adalah Yap Kun Liong, bocah gundul yang menjadi sahabat sumoinya! Biarpun Kun Liong memakai pakaian bangsa kulit putih, biarpun kepala yang dulunya gundul pelontos itu kini telah berambut, Kim In tidak pangling lagi. Jantungnya berdebar tegang. Betapapun juga, bertemu dengan pemuda ini membuat dia teringat akan sumoinya, satu-satunya orang yang dikasihinya.

“Kalian telah salah menangkap orang!” tiba-tiba terdengar Kim In berkata, “Dia adalah teman sumoiku.” Dia menoleh kepada suaminya dan berkata, “Harap kaubuka belenggunya dan biar aku yang menanyainya.”

Ouwyang Bouw tidak membantah. Sekali tangannya bergerak meraba belenggu, patahlah belenggu kaki tangan Kun Liong. Diam-diam Kun Liong mencatat di dalam hatinya bahwa Ouwyang Bouw akan merupakan lawan yang amat tangguh. Akan tetapi dia bersikap tenang, tersenyum dan menjura ke arah Lauw Kim In.

“Nona Lauw Kim In sungguh bermata tajam, dapat mengenalku. Apakah selama ini Nona berada dalam keadaan baik-baik saja?”

“Heh, dia itu isteriku, bukan nona lagi. Hati-hati menjaga mulutmu, jangan kau kurang ajar kepada isteriku!” Ouwyang Bouw menegur dengan hati cemburu melihat tawanan itu tersenyum-senyum dan bicara kepada isterinya.

Kun Liong menoleh kepada laki-laki yang memandangnya dengan biji mata berputar-putaran liar itu, masih tersenyum lalu berkata, “Saudara Ouwyang Bouw, engkau makin galak saja sekarang. Aku tidak bermaksud kurang ajar kepada isterimu.”

“Kau... kau mengenal namaku?” Ouwyang Bouw berseru kaget dan memandang penuh perhatian.

Kun Liong mengelus rambut di kepalanya. “Siapa tidak mengenal engkau dan ayahmu, Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok? Masih terbayang di depan mataku kematian semua orang dusun yang dahulu bersama aku menangkap ular-ular berbisa, kematian mengerikan dan masih terasa olehku jarum-jarum merahmu yang amat hebat. Tentu sekarang Ang-tok-ciam (Jarum Merah Beracun) milikmu itu makin hebat saja! Jarum merah yang membuat kepalaku gundul sampal bertahun-tahun lamanya!”

Ouwyang Bouw makin terheran dan dia merenung, mengingat-ingat, akan tetapi tentu saja tidak dapat teringat olehnya. Sudah terlalu banyak dia dan ayahnya membunuhi orang, tentu saja dia tidak teringat lagi akan peristiwa pembunuhan orang-orang dusun ketika Kun Liong masih kecil, belasan tahun yang lalu. Hal ini membuat dia penasaran dan dia tidak bicara lagi, melainkan termenung-menung berusaha mengingat kembali peristiwa yang dikatakan orang tawanan itu.

Sementara itu, Marcus yang mendengarkan dan melihat dengan penuh perhatian, begitu mendengar tawanan itu mengatakan bahwa kepalanya pernah gundul, segera teringat, “Haiiit! Bukankah engkau Si Gundul itu? Yap Kun Liong?”

Kun Liong berpaling kepadanya dan tersenyum lebar. “Dan engkau Marcus yang kini berjuluk Si Dewa Panah, ya? Bagus, agaknya tidak percuma engkau pemah menjadi kekasih Kim Seng Siocia, kiranya telah mewarisi ilmu kepandaiannya.”

Merah muka Marcus mendengar kata-kata itu. “Kalau begitu engkau tentu mata-mata musuh! Engkau perlu dihajar agar suka mengaku!” Marcus meloncat ke depan, langsung menghantamkan kepalan tangan kanannya ke arah muka Kun Liong. Pemuda ini tanpa mengelak tanpa berkedip menghadapi serangan itu, setelah kepalan tangan Marcus menyambar dekat sekali dengan mukanya, tiba-tiba jari tangan kirinya bergerak menyambar dari bawah.

“Takkk...! Augghhh...!” Marcus berteriak kesakitan dan melangkah mundur, tangan kirinya memegang pergelangan tangan kanan yang terasa seperti patah tulangnya. Ternyata Kun Liong telah mendahuluinya dan menotok pergelangan tangan yang memukul itu sehingga tangan itu menjadi lumpuh dan terasa nyeri sekali.

“Hemm, berani engkau kurang ajar?” Ouwyang Bouw berseru dan tangannya menyambar ke depan.

Kun Liong maklum akan kelihaian orang ini, maka dia cepat menggerakkan tubuhnya miring dan dari samping dia menyampok lengan yang menyambar dahsyat itu.

“Dukkk...!”

Tubuh Ouwyang Bouw tergeser ke belakang dan wajahnya menjadi merah sekali ketika dia memandang kepada lawannya. Sama sekali tidak disangkanya bahwa tawanan itu ternyata memiliki kepandaian hebat, dapat menangkis pukulannya, bahkan tangkisan itu membuat dia tergeser!

“Ouwyang Bouw, aku tidak ingin bertanding dengan orang yang telah menyelamatkan aku dari padang pasir. Bahkan pertolonganmu itu telah memaafkan semua perbuatanmu yang lalu terhadap diriku.” Kun Liong berkata, suaranya nyaring.

“Manusia sombong!” Ouwyang Bouw meraba gagang pedangnya, juga Marcus dan lima orang pimpinan gerombolan Mongol sudah bangkit dari tempat duduk masing-masing dan menyambar senjata.

“Tahan, jangan bertempur!” Tiba-tiba Lauw Kim In berseru. Mendengar bentakan isterinya, Ouwyang Bouw memasukkan lagi pedang ularnya dan duduk kembali sambil bersungut-sungut. Hatinya tidak puas. Dia penasaran sekali mendapat kenyataan bahwa tawanan itu lihai, dan hatinya ingin sekali untuk mencoba kepandaian si tawanan dan terutama sekali merobohkannya, membuktikannya bahwa dia lebih pandai! Akan tetapi dia tidak berani membantah kehendak isterinya! Kalau isterinya marah-marah, seperti yang pernah beberapa kali dilakukan oleh Kim In dan mati-matian isterinya mempertahankan diri, tidak mau mendekatinya, tidak mau melayani cintanya, dia merasa tersiksa setengah mati! Sejak itulah, dia tidak lagi berani membantah kehendak isterinya. Tidak ada kesengsaraan lebih besar baginya daripada kalau isterinya marah dan mogok, tidak mau mendekati dan melayaninya!

Terutama sekali Marcus merasa penasaran dan diam-diam dia marah sekali. Jelas baginya bahwa Yap Kun Liong adalah seorang yang berbahaya, seorang musuh, entah musuh yang berpihak mana saja, akan tetapi yang jelas, bukanlah seorang yang boleh dianggap sebagai seorang sahabat. Bagi dia, Kun Liong harus dibunuh dan sama sekali tidak boleh diberi ampun. Akan tetapi, melihat betapa Ouwyang Bouw, tokoh pertama dan utama dalam gerombolan mereka itu tidak berani membantah kehendak Lauw Kim In, dia pun tidak berani berkutik dan hanya duduk kembali sambil memandang tajam penuh perhatian.

“Yap Kun Liong, duduklah!” kata Kim In setelah melihat bahwa semua orang mentaati permintaannya.

“Terima kasih, engkau baik sekali Nona... eh, Nyonya,” katanya sambil melirik ke arah Ouwyang Bouw yang makin cemberut.

Suasana di ruangan itu menjadi hening sejenak. Kun Liong menujukan pandang matanya ke sekeliling. Tampak olehnya betapa tempat itu, biarpun dalam jarak agak jauh, telah dijaga ketat oleh banyak sekali anggauta pasukan yang memegang tombak. Penjagaan yang amat rapi dan ketat, seperti dalam benteng tentara saja.

“Yap Kun Liong, engkau melihat sendiri betapa engkau telah dikurung dengan rapat di tempat ini. Betapapun lihaimu, engkau takkan mungkin dapat keluar dengan selamat apabila kami menghendaki. Karena itu, kauceritakanlah dengan sejujurnya dan sebenamya, apa yang kaulakukan di tempat ini dan mengapa pula engkau mengenakan pakaian seorang anak buah sahabat kulit putih.”

Kata-kata yang dikeluarkan oleh Kim In itu agaknya ditujukan untuk mendinginkan hati mereka yang panas dan marah kepada Kun Liong. Kun Liong mengerti bahwa sesungguhnya Kim In ingin bicara hal lain dengan dia, akan tetapi sebelumnya minta agar dia suka menceritakan keadaannya itu agar menghilangkan kecurigaan para pimpinan pasukan, terutama sekali Marcus dan Ouwyang Bouw.

“Aku tidak sengaja memasuki daerah ini, karena aku sedang melakukan perjalanan menuju ke barat dan melalui tempat ini. Aku hampir mati di padang pasir yang tidak kukenal dan kebetulan di dalam perjalanan aku melihat seorang laki-laki berkulit putib sedang dikereyok oleh tiga belas orang Mongol yang dipimpin oleh seorang raksasa Mongol bermata sipit ahli gulat...”

“Hemm, tentu Si Tula yang memberontak!” Tiba-tiba scorang di antara pemimpin Mongol berseru.

“Laki-laki kulit putih itu luka-luka parah. Aku menolongnya dan berhasil menghalau para pengeroyoknya. Akan tetapi dia tidak tertolong lagi. Aku lalu mengubur jenazahnya, akan tetapi karena pakaianku sudah robek-robek dan aku hampir telanjang, aku amat membutuhkan pakaian, maka aku mengambil pakaiannya sebelum kukuburkan jenazah itu.”

“Laki-laki kulit putih? Tahukah engkau siapa dia?” Kim In bertanya.

“Tidak, dia tidak sempat menyebutkan namanya, usianya kurang lebih tiga puluh tahun, kumisnya panjang melintang dan berwarna kemerahan...”

“Alberto...!” Tiba-tiba Marcus berkata dan semua orang saling pandang dengan alis berkerut. Alberto adalah utusan mereka, orang yang penting untuk menghubungi Pek-lian-kauw. Akan tetapi Kun Liong tidak mau bicara tentang pesan orang yang hampir mati itu ketika menyebut-nyebut nama Pek-lian-kauw. Dia, tidak mau mencampuri urusan orang lain.

“Aku tidak tahu siapa dia. Aku memang mengambil pakaiannya, akan tetapi hat itu kulakukan karena terpaksa, karena aku harus melindungi tubuhku dari serangan panas, dan kuanggap sebagai pmbalasan perbuatanku yang mengurus dan mengubur jenazahnya.”

“Si Keparat Tula! Dia harus kita hajar!” Marcus berkata dan lima orang Mongol itu mengangguk-angguk.

“Yap Kun Liong, sekarang ceritakanlah, ke mana engkau hendak pergi dan mengapa melalui tempat asing di luar Tembok Besar ini?”

Kun Liong terkejut dan memandang wajah Kim In dengan mata terbelalak. “Di luar Tembok Besar? Wah, pantas adanya hanya padang pasir melulu den gunung-gunung liar! Aku tidak tahu, tidak mengenal jalan. Aku hanya tahu bahwa aku harus ke barat, karena aku hendak pergi ke Tibet.”

Semua orang terkejut dan pandang mata Marcus tajam menyelidik, agaknya dia mulai curiga lagi.

“Ke Tibet?” Lauw Kim In bertanya.

Kun Liong dapat menduga bahwa sebetulnya wanita itu ingin mendengar tentang sumoinya, maka dia lalu berkata terus terang, “Benar, ke Tibet untuk mencari Pek Hong Ing.”

Tepat dugaan Kun Liong, karena begitu mendengar nama sumoinya, wajah Kim In berubah dan perhatiannya tercurah sepenuhnya. “Apa yang terjadi dengan Sumoi?” tanyanya tidak sabar.

“Tiga orang pendeta Lama yang amat lihai telah membawanya pergi dan aku tidak berdaya mencegahnya, bahkan aku hampir mati oleh mereka yang amat lihai. Setelah aku sembuh, aku sekarang pergi menyusul dan hendak mencarinya. Karena mereka itu adalah pendeta-pendeta Lama, maka aku hendak mencari mereka ke Tibet.”

“Ahhhh...!” Wajah yang cantik itu menjadi pucat, agaknya dia merasa cemas sekali akan nasib sumoinya.

Melihat ini, Kun Liong merasa kasihan dan juga senang bahwa wanita ini masih mencinta sumoinya. Maka berkatalah dia dengan suara menghibur, “Harap jangan khawatir. Aku akan mencarinya sampai dapat, dan aku merasa pasti bahwa aku akan dapat menyelamatkannya dari ancaman siapapun juga!”

Kim In menggerakkan bibirnya, akan tetapi tidak mengatakan sesuatu, lalu menunduk. Kemudian terdengar dia menghela napas dan berkata, “Kalau begitu, engkau tidak melakukan suatu kesalahan terhadap kami. Kau boleh pergi sekarang juga.”

Kun Liong bangkit berdiri memandang ke sekeliling. Dia melihat betapa sinar mata Marcus melahapnya seperti hendak membunuhnya dengan sinar mata akan tetapi orang kulit putih itu tidak berani bergerak. Melihat keraguan Kun Liong, Kim In berkata kepada lima orang pemimpin Mongol, “Biarkan dia pergi. Dia hendak mencari sumoiku.”

Lima orang Mongol itu lalu mengeluarkan teriakan sebagai aba-aba dan di luar ruangan terdengar teriakan-teriakan menyambut dalam bahasa Mongol. Dua orang perajurit masuk lalu mengawal Kun Liong keluar dari situ. Kun Liong hany tersenyum dan tidak berkata apa-apa mengikuti dua orang perajurit itu keluar dari benteng ini.

TAK lama kemudian setelah Kun Liong pergi, Kim In berkata kepada suaminya, “Aku lupa untuk berpesan sesuatu kepadanya untuk disampaikan kepada Sumoi! Kalian tunggu sebentar, aku hendak menyusulnya!” Tanpa memberi kesempatan orang lain untuk menjawab, tubuh Kim In sudah mencelat dan seperti terbang cepatnya dia sudah berlari keluar mengejar.

Kun Liong sudah keluar dari pintu gerbang dan selagi dia berjalan dengan hati ringan karena tak disangkanya bahwa urusan dengan orang macam Ouwyang Bouw dan Marcus dapat diselesaikan sedemikian mudahnya berkat Lauw Kim In, tiba-tiba terdengar suara wanita itu dari belakang, “Kun Liong, tunggu dulu!”

Kun Liong membalikkan tubuhnya, wajahnya berseri dan mulutnya tersenyum sungguhpun hatinya berdebar tegang karena dia khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu yang tidak menguntungkan dirinya. Tanpa mengeluarkan kata dia memandang wanita itu dengan mata penuh pertanyaan.

“Aku ingin bertanya sesuatu kepadamu,” kata Lauw Kim In setelah dia berdiri di depan pemuda itu. “Mengapa engkau pergi bersusah payah mencari Sumoi?”

Kun Liong tersenyum. Kiranya hanya itu yang membuat wanita ini berlari-lari menyusulnya. “Tentu saja aku mencarinya karena dia terancam bahaya, biarpun para pendeta Lama itu tidak menyatakan demikian. Bahkan... bahkan... ada hal yang amat luar biasa yang membuka rahasia Hong Ing... tentang ayahnya...” Kun Liong masih ragu-ragu apakah dia akan menceritakan semua peristiwa yang terjadi di pulau kosong itu.

“Hemm, tentang ayahnya? Seorang pendeta Lama? Aku sudah tahu sedikit-sedikit tentang riwayatnya, Kun Liong. Ingat, aku bersama dengan Subo ketika kami menemukan ibunya dan dia.”

Kun Liong kini tidak ragu-ragu lagi dan diceritakanlah semua peristiwa yang terjadi di pulau itu, tentang pertemuan mereka dengan pendeta Lama sakti yang ternyata adalah ayah Pek Hong Ing, yaitu pendeta yang ternyata bernama Kok Beng Lama, tentang tiga orang pendeta Lama lain yang membawa pergi Hong Ing.

“Demikianlah, biarpun mereka itu mengaku supek dan susiok Hong Ing, aku masih curiga dan aku harus mencari Hong Ing sampai ketemu.” Kun Liong mengakhiri penuturannya.

Lauw Kim In kagum dan terheran-heran, lalu menghela napas dan bertanya, “Yap Kun Liong, katakanlah. Apakah engkau mencinta sumoi?”

Kun Liong mengangguk, menjawab dengan sepenuh hatinya, “Aku cinta padanya, dan aku bersiap mengorbankan nyawa demi untuk keselamatannya. Aku cinta kepada Pek Hong Ing, mencintanya dengan seluruh jiwa dan ragaku!”

Terdengar isak atau sedu sedan naik dari dada Lauw Kim In. “Sukurlah...” dia berbisik, “Semoga dia berbahagia...” dan tiba-tiba sekali, tanpa tersangka-sangka, tangan kanannya bergerak dan sudah mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Kun Liong!

Namun Kun Liong tidak mengelak dan kelihatan tenang-tenang saja seolah-olah tak pernah terjadi sesuatu.

“Hemmm... kalau aku menghendaki, bukanlah nyawamu telah melayang, Kun Liong?” katanya sambil memperlihatkan segumpal rambut di dalam cengkeram tangannya. Memang hebat sekali ilmu kepandaian Lauw Kim In. Tangannya dapat memutuskan segumpal rambut tanpa terasa sedikit pun oleh Kun Liong.

Akan tetapi pemuda itu tersenyum. “Kalau aku menghendaki, engkaulah yang akan roboh dulu, akan tetapi aku tahu bahwa engkau hanya ingin mengujiku, dan melihat apakah aku cukup dapat diandalkan untuk menolong Sumoimu. Bukankah begitu?”

Lauw Kim In terkejut. “Apa... apa maksudmu?”

“Lihat saja itu... sayang engkau yang secantik ini mau mengorbankan diri menjadl isteri Ouwyang Bouw.”

Kim In yang dituding dadanya itu cepat menunduk dan menahan jeritnya. Bajunya telah berlubang, baju luar dalam sehingga sebuah di antara ujung buah dadanya mencuat keluar tanpa dirasakannya sama sekali! Dia mendengar angin menyambar dan ketika dia mengangkat mukanya, ternyata yang tampak hanya bayangan Kun Liong berkelebat dan pemuda itu sudah lenyap dari depannya!

Kini ini menjatuhkan diri duduk di atas tanah, menutupi buah dada yang menjenguk keluar seperti melalui jendela itu dengan tangan kirinya, termenung dan termangu-mangu. Akan tetapi di wajahnya yang cantik tersungging senyum. Dia merasa ikut bahagia bahwa sumoinya, satu-satunya orang yang dicintanya seperti adiknya sendiri, ternyata telah memperoleh seorang kekasih yang demikian lihai, demikian lucu dan... agak sayang, demikian kurang ajar! Akan tetapi kekurangajaran yang dapat dia maafkan dan bahkan membuat dia tersenyum geli. Gara-gara dia hendak memperlihatkan kepandaiannya, ternyata dia malah mendapat malu. Kalau saja Kun Liong menghendaki, setelah dapat merobek baju luar dalam di dada tanpa dirasainya, tentu pemuda itu dapat melakukan apa pun juga terhadap dirinya tadi!

Ketika Kim In kembali ke markas dengan pikiran masih tenggelam ke alam lamunan memikirkan sumoinya yang tidak disangka-sangkanya bertemu dengan ayahnya dan kini malah dibawa oleh para Lama sakti ke Tibet, terjadilah hal lain yang tidak diketahui oleh wanita ini. Diam-diam, dengan persetujuan Ouwyang Bouw, Marcus dan para pimpinan orang Mongol mengerahkan seratus lebih Pasukan Tombak Maut melakukan pengejaran kepada Kun Liong dengan maksud membunuh pemuda itu!

lanjut ke Jilid 082-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar