Jumat, 21 Februari 2014

Dewi Maut Jilid 28

Dewi Maut Jilid 28

<--kembali

“Bohong, sri baginda! Saya bersumpah bahwa saya bukan mata-mata manapun juga. Dan memang, Go-bi Sin-kouw dan teman-temannya itu bukan orang baik-baik dan pernah bentrok dengan saya maka kini mereka hendak menjatuhkan fitnah kepada saya.”

Go-bi Sin-kouw bangkit berdiri dengan marah dan menuding, “Bocah setan! Engkau telah melarikan muridku. Engkau masuk ke sini pura-pura hendak bertemu dengan aku, akan tetapi siapa tidak tahu bahwa di luar sana ada gerombolan yang dipimpin oleh ketua Cin-ling-pai? Dan engkau adalah calon mantu Cin-ling-pai, bukan? Tentu engkau mata-mata, kalau bukan mata-mata Kerajaan Beng, setidaknya engkau dikirim oleh calon mertuamu itu!”

“Tutup mulutmu yang busuk! Engkau tahu betul bahwa tidak demikian halnya.” In Hong juga membentak marah.

“Heh-heh-heh, engkau selalu memperlihatkan sikap bermusuh, juga terhadap Lima Bayangan Dewa. Kami masih merasa heran apakah bukan engkau yang telah membunuh Hui-giakang Ciok Lee Kim.”

“Benar aku! Karena dia hendak melakukan perbuatan keji dan tidak patut terhadap seorang pemuda.”

Mendengar pengakuan ini, Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok mengeluarkan suara menggereng seperti seekor biruang marah. “Kalau begitu, aku harus membalas kematian sumoi!”

Melihat para pembantu Wang Cin sudah bergerak dan bangkit hendak mengeroyok, Sabutai mengangkat tangan dan berkata nyaring, “Urusan pribadi tidak perlu dibawa-bawa ke sini! Aku memang membutuhkan pembantu, akan tetapi aku belum melihat kehebatan nona ini, maka perlu diuji! Dan aku tidak akan membiarkan orang-orang gagah seperti cu-wi, yang menjadi pembantu-pembantu Wang-taijin untuk melakukan perbuatan rendah mengeroyok seorang wanita muda. Sebaiknya urusan pertikaian pribadi kalian itu diselesaikan sekarang juga, dengan pertandingan satu lawan satu. Nona Hong, apakah engkau berani menghadapi mereka itu, satu lawan satu untuk memutuskan siapa yang benar melalui keunggulan ilmu silat?'

In Hong tersenyum, lalu bangkit berdiri dan mundur ke tengah ruangan yang luas itu, berdiri tegak dan menjawab, “Menghadapi manusia-manusia iblis ini, jangankan satu lawan satu, biarpun dikeroyok saya tidak akan takut, sri beginda.” Ucapan In Hong ini bukan semata-mata karena kesombongan belaka, melainkan dilakukan dengan sengaja sebagai siasatnya memancing kepercayaan dan kekaguman raja itu, karena yang menjadi tujuannya adalah dapat berada dalam benteng dan selain melindungi kaisar yang tertawan, juga hendak menentang pasukan yang dipimpin oleh Bun Houw.

Siasatnya berhasil. Sabutai tersenyum lebar penuh kekaguman, lalu raja ini bangkit berdiri, memberi isyarat kepada dua orang gurunya yang juga bangkit dan berkatalah raja ini, “Demi kegagahan, aku tidak akan membiarkan terjadinya pengeroyokan. Wang-taijin, biarkan orang-orangmu maju satu demi satu melawan nona ini, dan siapa menggunakan kecurangan dan pengeroyokan, akan dihukum. Dua orang guruku akan menjadi pengawas.”

Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko tertawa, lalu duduk kembali. Akan tetapi tiba-tiba bangku yang mereka duduki itu “terbang” ke atas dengan tubuh mereka masih duduk di atasnya dan bangku-bangku itu melayang turun di sudut kanan kiri ruangan itu, di mana mereka duduk dengan tenang, memegangi tongkat butut mereka. Diam-diam In Hong terkejut sekali. Pantas saja Raja Sabutai demikian lihainya, kiranya dia memiliki dua orang guru yang sakti. Gadis ini menjadi makin berhati-hati dan dengan wajah tersenyum dingin dia kini memandang ke arah rombongan pembesar thaikam yang berkhianat itu, sikapnya menantang. Kalau harus menghadapi mereka satu lawan satu, dia sama sekali tidak merasa jerih.

Go-bi Sin-kouw menjadi gentar juga ketika melihat bahwa dia tidak dapat mengajak teman-temannya untuk mengeroyok gadis itu, maka dia berkata kepada Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok, “Phang-sicu, dialah yang membunuh sumoimu, maka sepatutnya kalau engkau sebagai orang pertama dari Lima Bayangan Dewa membalas kematian sumoimu.”

Di antara Lima Bayangan Dewa, Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok adalah orang pertama yang memiliki kepandaian paling tinggi dan dia sendiri belum pernah bertemu dengan In Hong. Melihat gadis muda itu tentu saja dia memandang rendah dan memang sejak tadi hatinya sudah diliputi kemarahan melihat gadis yang membunuh sumoinya ini, maka mendengar ucapan Go-bi Sin-kouw, dia cepat menengok ke arah Wang Cin dan dengan pandang matanya dia minta persetujuan majikannya itu.

Wang Cin mengangguk-angguk. “Sri baginda telah menurunkan perintah, engkau harus mentaatinya.”

Phang Tui Lok lalu menjura kepada Wang Cin, kemudian menjura ke arah Sabutai, lalu dia melangkah lebar dan tenang ke tengah ruangan, menghampiri In Hong. Tokoh pertama dari Lima Bayangan Dewa ini sudah berusia enam puluh tahun lebih, akan tetapi kelihatan masih tampan dan gagah seperti orang yang usianya paling banyak empat puluh tahun. Pakaiannya serba putih dan sepatunya hitam. Laki-laki peranakan Mongol ini adalah sute dari mendiang Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok, seorang di antara datuk-datuk golongan hitam puluhan tahun yang lalu. Tentu saja ilmu silatnya amat hebat. Seperti kita ketahui, kemunculan Pat-pi Lo-sian (Dewa Berlengan Delapan) Phang Tui Lok di dunia persilatan telah menggemparkan kaum kang-ouw karena begitu muncul dia dan sekutunya telah berani melakukan hal yang amat hebat yaitu membunuhi Cap-it Ho-han murid-murid Cin-ling-pai dan bahkan mencuri pedang pusaka Siang-bhok-kiam. Perbuatan itu, biarpun dia lakukan selagi ketua Cin-ling-pai dan isterinya tidak berada di Cin-ling-san, setidaknya telah mengangkat namanya cukup tinggi dan membuat nama Lima Bayangan Dewa dibicarakan orang secara bisik-bisik penuh rasa segan dan takut. Hal ini tentu saja mendorong kesombongan muncul dalam hati Phang Tui Lok, maka kematian sumoinya merupakan pukulan hebat, juga kematian Toat-beng-kauw Bu Sit.

Kematian dua orang sekutunya itu selain memperlemah kedudukan Lima Bayangan Dewa, juga merupakan pukulan terhadap nama besarnya, maka kini dia hendak menumpahkan kemarahannya kepada In Hong, gadis muda ini. Merasa bahwa dia adalah seorang tokoh besar kenamaan, pemimpin dari Lima Bayangan Dewa, maka kini di depan pembesar Wang Cin dan Raja Sabutai dan banyak orang lagi dia harus menghadapi lawan seorang gadis muda, keangkuhannya tentu saja tersinggung, maka dengan lagak seorang guru terhadap seorang murid, atau seorang bertingkat tinggi terhadap seorang lain yang bertingkat rendah, dia bertanya, “Nona muda, siapakah gurumu?”

In Hong memandang dengan wajah dingin dan sinar mata tajam menusuk, kemudian dia menjawab, “Nama guruku tidak ada sangkut pautnya dengan Pat-pi Lo-sian!”

“Hemm, kau sudah mengenal julukanku!”

“Go-bi Sin-kouw tadi menyebutmu sebagai orang pertama dari Lima Bayangan Dewa yang curang dan pengecut, yang menyerbu Cin-ling-pai selagi tuan rumah tidak ada, membunuhi murid-muridnya dan mencuri pedang Siang-bhok-kiam, tentu saja aku mengenalmu...”

“Eh, apa sangkutanmu dengan Cin-ling-pai? Kalau begitu benar dugaan Go-bi Sin-kouw bahwa engkau adalah mata-mata yang dikirim oleh ketua Cin-ling-pai!”

“Sama sekali tidak dan aku tidak mempunyai sangkutan dengan Cin-ling-pai, aku hanya ingin mengatakan bahwa Lima Bayangan Dewa adalah curang.”

“Hemm, bocah sombong. Aku menanyakan nama gurumu agar kelak kalau bertemu aku dapat menegurnya karena dia tidak bisa mendidikmu. Bocah yang bosan hidup, kenapa engkau memusuhi Lima Bayangan Dewa? Lebih baik engkau mengakui agar nanti tidak mati penasaran.”

“Aku tidak memusuhi Lima Bayangan Dewa.”

“Kenapa membunuh sumoiku?”

“Sudah kukatakan, perempuan hina Ciok Lee Kim itu melakukan hal yang tidak patut, memaksa seorang pemuda, maka aku menjadi muak dan membunuhnya. Aku datang ke sini untuk membantu pasukan Sri Baginda Sabutai, akan tetapi kalian hendak menjatuhkan fitnah. Majulah, Pat-pi Lo-sian, kalau memang kau berani dan jangan banyak mengoceh seperti burung kelaparan.”

Tentu saja Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok menjadi marah sekali. “Bagus! Salahmu sendiri kalau kau ingin menjadi bangkai tak bernama! Nah, terimalah ini!”

Gerakan Pat-pi Lo-sian memang hebat sekali. Begitu tubuhnya menyerbu, kedua tangannya melakukan serangan bertubi-tubi dan memang tidak percuma dia dijuluki Dewa Berlengan Delapan karena kedua tangannya melancarkan serangan bertubi cepat sekali seolah-olah dia mempergunakan delapan lengan! Dan setiap tamparan, pukulan, totokan atau cengkeraman mengandung hawa pukulan kuat sekali dan merupakan serangan maut.

“Heiiiiittttt...!” In Hong memekik dan tubuhnya berkelebatan seperti seekor burung garuda, cepatnya sampai tidak dapat diikuti pandangan mata, tubuhnya seperti lenyap dan hanya nampak bayangan-bayangan saja. Semua serangan bertubi yang dilakukan Pat-pi Lo-sian mengenai tempat kosong dan paling hebat hanya menyentuh sedikit ujung bajunya. Sambil mengelak dari tamparan terakhir, In Hong menggerakkan kaki kirinya dan nyaris ujung sepatunya mencium hidung lawan. Pat-pi Lo-sian terkejut sekali dan cepat menarik tubuh ke belakang. Bau ujung sepatu yang kotor tidak enak membuktikan betapa dekatnya sepatu tadi menghampiri hidungnya!

“Perempuan rendah!” Saking jengkelnya Pat-pi Lo-sian memaki, akan tetapi diam-diam dia mulai mengerti bahwa biarpun masih amat muda, lawan yang dihadapinya ini ternyata lihai sekali, maka diapun dapat mengerti mengapa Hui-giakang Ciok Lee Kim sampai roboh di tangan gadis ini. Dengan marah dan mulai hati-hati dia lalu mengerahkan tenaga sin-kang ke dalam kedua lengannya, kemudian dia menyerang lagi dengan dua kali pukulan tangan yang mengandung tenaga sin-kang sepenuhnya.

“Wirrrr... wuuuuuttttt!” Angin dahsyat menyambar mendahului dua kepalan itu, dan In Hong yang dapat mengenal pukulan lihai, cepat mengelak ke kiri.

“Haiiiiitt!” Pat-pi Lo-sian membentak, tubuhnya membalik ke kanan melanjutkan serangannya, tangan kanannya membentuk cakar naga mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala lawan. Cepat dan kuat sekali gerakannya itu.

In Hong juga mengenal gerakan ini, gerakan yang amat berbahaya dan mengandung pancingan. Cengkeraman yang kelihatannya ganas itu bukanlah inti serangan, melainkan umpan dan gertakan belaka. Kalau dia menangkis, tentu lawan akan mempergunakan tangan kiri untuk mengirim pukulan inti yang mematikan, maka untuk menghindarkan pukulan tersembunyi atau susulan ini, In Hong mengeluarkan suara melengking nyaring dan tiba-tiba saja ketika dia menangkis cengkeraman itu, tubuhnya mencelat ke atas!

Pat-pi Lo-sian terkejut, tahu bahwa siasatnya gagal sehingga tangan kirinya yang sudah siap mengirim pukulan ke anggauta tubuh di bawah dada itu tidak ada gunanya lagi. Ketika melihat tubuh gadis itu melayang ke atas, cepat dia melanjutkan gerakan cengkeraman tangan kanan yang tertangkis tadi, secepat kilat menangkap pergelangan kaki In Hong yang melayang di atas kepalanya.

“Plak! Dukkk!” Tubuh In Hong terlempar, akan tetapi juga Pat-pi Lo-sian terhuyung ke belakang. Ketika tangannya berhasil menangkap pergelangan kaki tadi, tiba-tiba ujung sepatu dari kaki In Hong yang kedua telah menotok pergelangan tangannya sehingga seluruh tangan menjadi lumpuh, pegangannya terlepas.

Merahlah muka Pat-pi Lo-sian! Sambil mengeluarkan suara menggereng seperti harimau terluka, dia lari menyerbu In Hong yang baru saja meloncat turun dan terjadilah pertandingan yang amat seru dan mati-matian. Namun, keunggulan Pat-pi Lo-sian mainkan kedua tangannya yang memang cepat sekali itu dapat diimbangi oleh In Hong dengan keunggulan gin-kangnya. Tubuhnya ringan seperti kapas, cepat seperti burung dan biarpun kelau dihitung, setiap tiga kali serangan lawan baru dapat dibalasnya satu kali, namun balasannya itu cukup mengimbangi tiga kali serangan karena kalau dia belum pernah tersentuh tangan lawan, adalah Pat-pi Lo-sian sudah dua kali kena ditampar pundak dan lehernya. Untung bahwa dia memiliki sin-kang yang kuat, tubuhnya yang terlindung hawa sin-kang menjadi kebal dan tamparan-tamparan itu hanya membuat dia mundur terhuyung saja.

Setiap kali tamparannya mengenai lawan, terdengar tepuk tangan dari Sabutai. Hal ini membuat In Hong makin bersemangat dan Pat-pi Lo-sian makin marah. Dan inilah kesalahan Pat-pi Lo-sian. Kemarahan adalah satu di antara hal yang sebetulnya merupakan pantangan besar bagi seorang ahli silat di waktu menghadapi lawan yang pandai, karena kemarahan ini mengurangi kewaspadaan dan berarti mengurangi daya tahan karena sebagian besar perhatian dicurahkan untuk menyerang dan merobohkan lawan belaka. Yap In Hong telah mewarisi ilmu-ilmu mujijat dari Yo Bi Kiok, ilmu-ilmu silat tinggi yang didapat oleh gurunya itu dengan bantuan bokor emas milik mendiang manusia sakti The Hoo. Menurut tingkat ilmu silatnya, tingkat In Hong masih lebih tinggi daripada tingkat Pat-pi Lo-sian dan kalau orang pertama dari Lima Bayangan Dewa ini dapat mengimbangi bahkan mendesak hanyalah karena dia memiliki banyak pengalaman dan mengenal banyak tipu-tipu muslihat perkelahian.

Kini, dalam keadaan marah, Pat-pi Lo-sian kehilangan banyak kewaspadaan, dan selagi dia menyerang hampir membabi buta, tiba-tiba ujung sepatu In Hong dapat mencium sambungan lutut kirinya sehingga tubuhnya agak merendah dan untuk beberapa detik lamanya Pat-pi Lo-sian terkejut dan tak berdaya. Beberapa detik ini cukup bagi In Hong untuk mendaratkan pukulan dengan tangan miring ke arah tengkuk Pat-pi Lo-sian.

“Dukkkk!!” Tubuh Pat-pi Lo-sian terjungkal, akan tetapi memang dia seorang yang lihai sekali. Biarpun tadi menghadapi pukulan maut yang datangnya tak tersangka-sangka karena dia hampir tidak sadar, namun begitu pukulan mendarat, dia depat miringkan tubuh sehingga jatuhnya pukulan tidak tepat sekali. Betapapun juga, pukulan itu membuat kepalanya menjadi nanar dan pandang matanya berkunang. Maka, begitu tubuhnya terjungkal, Pat-pi Lo-sian terus bergulingan sampai jauh sambil mengumpulkan hawa murni, maka begitu dia meloncat bangun lagi, kepeningan kepalanya sudah hampir lenyap dan dia mencabut pedangnya.

“Srattt...!” nampak sinar keemasan dan di tangannya kelihatan sebatang pedang yang bentuknya seperti ular dan gagangnya terbuat daripada emas berukir indah. Dengan muka merah dan mata mendelik dia membentak, “Bocah setan, majulah untuk menerima kematian!”

In Hong masih menoleh ke arah Sabutai yang kembali bertepuk tangan sambil memuji, kemudian gadis ini perlahan-lahan mencabut pedang di pinggang kirinya.

Pedang itu keluar perlahan-lahan, akan tetapi begitu ujungnva tertarik dan In Hong menggunakan tenaga, ujung pedang yang keluar dari sarunngya itu mengeluarkan bunyi mendesing dan tergetarlah pedang Hong-cu-kiam di tangan gadis itu. Pedang tipis lemas yang kadang-kadang digantung di pinggang In Hong kadang-kadang tersembunyi karena dibawanya sebagai sabuk yang melilit pinggangnya yang ramping itu.

Melihat betapa dua orang itu mencabut pedang, Raja Sabutai bertepuk tangan dua kali dengan nyaring dan dia berkata penub wibawa, “Di sini bukan medan tempat untuk saling bunuh! Sudah kukatakan tadi bahwa kedua fihak akan memutuskan urusan pribadi dengan kepandaian. Siapa berani menggunakan senjata berarti menentang perintahku!”

Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko yang tadi hanya duduk di kedua ujung ruangan itu, kini sudah bangkit berdiri memandang ke arah Pat-pi Lo-sian dan In Hong dengan sikap mengancam, tongkat mereka melintang di dada. Ternyata bahwa dua orang kakek dan nenek ini selain menjadi guru Raja Sabutai, agaknya juga menjadi pengawal atau pembantunya yang taat dan siap melaksanakan segala kehendak raja itu.

In Hong menoleh dan bertemu pandang dengan Raja Sabutai dan dari pandang mata ini tahulah In Hong bahwa raja itu mengkhawatirkan dirinya, maka dengan senyum dingin gadis ini menggerakkan tangan kanannya, nampak sinar berkelebat dan tabu-tahu pedang Hong-cu-kiam di tangannya tadi telah lenyap dan telah melingkari pinggangnya tersembunyi di balik jubah.

Juga Pat-pi Lo-sian memandang ke arah Raja Sabutai, kemudian dia menarik napas panjang dan terpaksa dia menyimpan lagi pedangnya, hatinya menjadi jerih karena dia kini maklum bahwa gadis muda yang dipandangnya rendah itu ternyata amat lihai. Tiba-tiba Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw meloncat ke depan, menjura ke arah In Hong sambil melirik ke arah Raja Sabutai. Kemudian dengan suara halus Hwa Hwa Cinjin berkata, “Sungguh hebat kepandaianmu, nona, membuat kami berdua tertarik sekali dan ingin mengajak nona untuk main-main sebentar. Akan tetapi karena kami berdua selalu bersama, terpaksa kini kamipun hendak maju bersama, dan hal ini sekali-kali bukan karena kami ingin maju mengeroyok. Andaikata nona mempunyai seorang dua orang teman, boleh saja nona menyuruh mereka maju menghadapi kami berdua. Tentu saja kalau sri baginda tidak berkeberatan dan kalau nona memang berani melawan kami berdua.”

Raja Sabutai makin kagum dan gembira melihat kegagahan In Hong, maka kini melihat majunya kakek dan nenek itu, dia meragu apakah dia harus membiarkan In Hong dikeroyok dua atau mencegahnya. Dia memang masih ingin melihat apakah dara perkasa itu akan sanggup menghadapi keroyokan kakek dan nenek itu. In Hong juga mengerti bahwa kalau dua orang itu maju bersama, dia akan menghadapi dua orang lawan yang amat tangguh, masing-masing tidak kalah lihainya kalau dibandingkan dengan orang pertama dari Lima Bayangan Dewa tadi. Akan tetapi untuk menolak tantangan itu, tentu saja pantang baginya, apalagi dia tadi sudah mengatakan bahwa biarpun dikeroyok oleh mereka semua, dia tidak akan mundur.

“Kalau kalian takut maju satu demi satu dan hendak mengeroyokku, majulah, siapa takut kepada kalian?” kata In Hong dan memandang tajam. Wajah kakek dan nenek itu menjadi merah sekali. Ucapan In Hong ini sekaligus menantang dan merendahkan mereka. Mereka maklum bahwa kalau mereka maju satu demi satu, belum tentu mereka dapat menangkan dara yang benar-benar amat hebat kepandaiannya itu, akan tetapi kalau mereka boleh maju bersama, dengan ilmu silat gabungan yang mereka ciptakan, mereka merasa yakin akan dapat merobohkan dara perkasa ini.

Tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar, “Heiiii... berhenti...! Tahan... tidak boleh masuk ke situ...!”

Semua orang menoleh dan nampaklah bayangan seorang wanita cantik berlari cepat menuju ke tempat itu, dikejar dari belakang oleh banyak pengawal. Dengan beberapa kali lompatan saja wanita itu telah tiba di ruangan. Melihat ini, terdengar suara melengking dan Hek-hiat Mo-li bersama Pek-hiat Mo-ko sudah meloncat dari tempat duduk masing-masing, sekaligus seperti dua ekor burung rajawali mereka menerkam dan menyerang wanita yang baru datang itu.

“Bekas kaisar itu hanya menjadi penambah beban saja. Dan sebaliknya, sekarang juga paduka mengerahkan pasukan untuk menyerbu ke selatan selagi keadaan belum begitu dikuasai oleh pimpinan kaisar baru yang saya dengar amat lemah. Hal ini adalah karena terjadi perpecahan di antara para pembesar, sebagian ingin mempertahankan kedudukan Kaisar Ceng Tung yang tertawan di sini, sebagian lagi adalah pendukung Kaisar Ceng Ti. Selagi keadaan musuh lemah karena pertikaian sendiri, bukankah hal itu merupakan kesempatan yang baik sekali?”

Sampai beberapa lama Raja Sabutai mengerutkan alisnya yang tebal, kemudian dia berkata, “Sebetulnya aku masih meragu untuk menyerbu ke selatan yang amat kuat pertahanannya dan tadinya aku ingin mengambil jalan yang lebih aman, yaitu dengan menjadikan Kaisar Ceng Tung sebagai sandera. Akan tetapi dengan adanya perobahan ini, tentu saja amat baik sekali seperti yang kau usulkan, pangcu. Kita serbu Kerajaan Beng!”

“Dan Kaisar Ceng Tung...?” Yo Bi Kiok bertanya.

“Untuk sementara biarlah dia kami tahan dulu...”

“Akan tetapi hal itu berbahaya, Sri baginda.” Yo Bi Kiok membantah. “Tentu akan muncul orang-orang yang berusaha untuk membebaskannya. Kalau kita semua pergi berperang dan dia tidak dijaga kuat-kuat...”

“Biarlah saya akan menjaganya!” Tiba-tiba In Hong berkata menawarkan diri.

Yo Bi Kiok mengangguk-angguk. “Sebaiknya begitu. Harap paduka jangan khawatir, kalau murid saya ini yang tinggal di sini menjaganya, tidak akan ada orang yang dapat membebaskannya.”

Raja Sabutai memandang kepada In Hong dan mengangguk-angguk. “Kami percaya kepada nona Hong, dan selain menjaga agar Kaisar Ceng Tung jangan sampai lolos, juga kami menyerahkan keselamatan isteri kami kepada perlindungan nona Hong.”

In Hong mengangkat kepala memandang sang ratu. Khamila juga memandang kepadanya dan di antara kedua orang wanita muda ini terdapat rasa simpati, maka In Hong segera menjawab, “Saya akan melindungi keselamatan isteri paduka dengan taruhan nyawa!”

“Bagus! Legalah hatiku kalau begitu. Suhu dan subo,” Kini Raja Sabutai menoleh ke arah dua orang kakek dan nenek yang sejak tadi hanya mendengarkan sambil duduk melenggut saja. “Bagaimana pendapat suhu dan subo tentang penyerbuan ke selatan?”

Kakek dan nenek itu mengangguk dengan malas. “Kami hanya setuju saja...!” jawab mereka acuh tak acuh.

Maka sibuklah Raja Sabutai mengumpulkan para panglimanya, juga memanggil Wang Cin dan menyatakan rencananya menyerbu ke selatan. Tentu saja Wang Cin menjadi girang sekali dan diapun mempersiapkan semua anak buahnya untuk membantu penyerbuan Raja Sabutai ke selatan.

Dalam kesempatan bertemu dengan muridnya, Yo Bi Kiok berbisik kepada In Hong, “Muridku, dengar baik-baik. Kau harus melindungi kaisar dan sedapat mungkin selamatkan dia keluar benteng.”

In Hong memandang terbelalak, namun hatinya girang bukan main. Kiranya gurunya ini di depan Raja Sabutai hanya bersiasat saja, sebenarnya tidak ingin membunuh kaisar, malah hendak menyelamatkannya. Akan tetapi saking herannya dia bertanya, “Tapi, subo...”

“Hushhh...!” ketua Giok-hong-pang itu mencela muridnya yang membantah, “kita tidak boleh menyia-nyiakan setiap kesempatan. Kalau Sabutai berhasil, itu baik sekali, kalau tidak, kita dapat mencari kedudukan melalui kaisar itu.”

Hati In Hong kecewa lagi dan diam-diam dia mulai mengenal watak gurunya yang ternyata amat mementingkan dirinya sendiri sehingga untuk membela dia yang dianggapnya telah jatuh cinta kepada Bun Houw, gurunya tidak segan-segan membunuh gadis dusun yang dikira mencinta pemuda itu, dan kini kaisarpun hanya dijadikan jalan untuk mencapai kepentingannya pribadi. Diam-diam di dalam hati gadis ini timbul rasa tidak suka dan penentangan, akan tetapi, tentu saja dia tidak berani menyatakan dengan terang-terangan. Hanya dia merasa heran, mengapa sebelum ini dia menganggap gurunya sebagai satu-satunya orang yang baik, yang semua tindakannya dia anggap benar belaka. Mengapa sekarang dia melihat hal-hal yang dianggapnya tidak patut dan tidak benar dalam tindakan gurunya? Mulailah hati In Hong merasa bimbang. Mulailah dia memikirkan dan mencari akal untuk dapat menyelamatkan kaisar, dari tangan Sabutai dan dari tangan subonya sendiri. Dan dia menggantungkan harapannya kepada Khamila, isteri Raja Sabutai. Wanita cantik jelita itu berwajah ramah, sinar matanya lembut.

Dua hari kemudian, mulailah Raja Sabutai yang telah mengerahkan pasukannya itu bergerak ke selatan. Sebagai pimpinan Suku Bangsa Nomad, dan karena khawatir akan keselamatan isterinya, dalam penyerbuan ini, Khamila dan Kaisar Ceng Tung yang menjadi tawananpun dibawa dan selalu berada di bagian belakang di dalam pasukan perbekalan yang juga bertugas mengatur ransum para anak buah pasukan. Yang bertugas menjaga keselamatan Khamila dan menjaga agar kaisar tawanan tidak sampai lolos adalah In Hong, dibantu oleh dua losin pengawal.

Ketika fihak kerajaan mendengar akan gerakan pasukan Sabutai ini, tentu saja merekapun lalu bergerak mengirim bala tentara. Di perbatasan, para komandan pasukan kerajaan bertemu dengan pasukan kecil yang dipimpin oleh Cia Keng Hong dan puteranya, dan dengan gemas Cia Keng Hong dan puteranya mengerti bahwa kerajaan sama sekali tidak memperdulikan nasib Kaisar Ceng Tung, bahkan sama sekali tidak ada pengiriman pasukan dari kerajaan untuk menyelamatkan kaisar yang tertawan. Tahulah pendekar ketua Cin-ling-pai itu bahwa terjadi pergolakan dan perebutan kekuasaan di kota raja, apalagi ketika dia mendengar bahwa bukan saja tidak ada usaha menyelamatkan Kaisar Ceng Tung, bahkan kini para pembesar mengangkat seorang kaisar baru dan seolah-olah menganggap Kaisar Ceng Tung sudah mati! Dan kini, setelah Sabutai bergerak mengancam kerajaan, barulah bala tentara dikerahkan!

Sebetulnya, di dalam hati, Cia Keng Hong marah kepada para pembesar di kota raja. Akan tetapi karena diapun melihat bahaya dari Sabutai yang bergerak ke selatan, dan karena dia tidak ingin mencampuri pula urusan perebutan tahta kaisar, maka pendekar inipun mengerahkan pasukannya untuk membantu bala tentara kota raja menghadapi musuh. Yang penting baginya adalah membela negara menghadapi musuh Bangsa Mongol yang hendak menjajah itu!

Bentrokan pertama antara pasukan Sabutai dengan pasukan kerajaan terjadi di perbatasan. Dan biarpun mendapat bantuan Cia Keng Hong, Cia Bun Houw, Tio Sun dan orang-orang Mancu dan Khitan, pasukan kerajaan terdesak mundur dan mengalami pukulan hebat! Di dalam perang besar seperti itu, kepandaian perorangan dari Cia Keng Hong, Cia Bun Houw dan Tio Sun tidak begitu besar artinya. Apalagi di fihak musuh juga banyak sekali terdapat orang pandai seperti tiga orang tokoh Bayangan Dewa, Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, Go-bi Sinkouw, Bouw Thaisu dan terutama sekali Yo Bi Kiok, Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko. Pihak kerajaan terlalu memandang rendah kepada Sabutai sehingga bala tentara yang dikirimkan itu jauh daripada mencukupi, kalah banyak jumlahnya dan memang kalah kuat para perajuritnya. Pasukan Sabutai terdiri dari perajurit-perajurit gemblengan yang selain terlatih kehidupan yang keras dan sukar, juga bersemangat besar untuk menegakkan kembali kerajaan bangsa mereka, Bangsa Mongol yang pernah menjadi bangsa yang jaya.

Memang hebat gerakan Sabutai dan ternyata tidak kecewa dia mengaku sebagai keturunan Jenderal Sabutai yang pernah menjadi tokoh militer di jaman kejayaan Kerajaan Goan-tiauw, yaitu ketika Bangsa Mongol menguasai seluruh Tiongkok. Dia menggunakan siasat yang amat hebat sehingga pasukannya bergerak seperti kilat ke selatan, merobohkan semua rintangan sehingga semua pertahanan pasukan Kerajaan Beng terus-menerus dipukul mundur sampai akhirnya pasukan-pasukan pemberontak Mongol ini berhasil tiba di benteng pertama Kota Raja Peking!

Cia Keng Hong prihatin sekali melihat keadaan ini dan dia bersama puteranya dan Tio Sun telah membantu mati-matian, merobohkan dan membunuh entah berapa banyak pasukan musuh. Namun mereka tidak berdaya karena fihak Mongol memang jauh lebih kuat daripada jumlah pasukan kerajaan yang bertahan. Hal ini adalah karena kerajaan sedang kacau dan para pembesar militerpun telah terpecah-pecah oleh suasana perebutan kekuasaan.

Baru setelah bala bantuan datang, yaitu pasukan-pasukan yang ditarik dari semua jurusan, kekuatan pasukan kerajaan terkumpul dan terpusatkan dalam pertahanan, maka gerakan pasukan Sabutai dapat dibendung, bahkan mulai dihalau mundur dari daerah lingkungan kota raja. Dan di dalam pasukan bala bantuan yang kuat ini muncul pula banyak tokoh kang-ouw yang gagah perkasa yang selalu dalam saat negara terancam bahaya tentu muncul meninggalkan tempat-tempat persembunyian mereka untuk menyumbangkan jiwa raganya tanpa pamrih untuk kepentingan diri pribadi. Dan di antara para orang gagah ini terdapat pula Yap Kun Liong! Biarpun pendekar ini tadinya sibuk dengan urusan pribadinya sendiri, menyelidiki dan mencari hilangnya Yap Mei Lan, puterinya, juga mencari hilangnya Lie Seng, putera Cia Giok Keng, di samping menyelidiki kematian isterinya, mencari pembunuhnya, akan tetapi begitu mendengar bahwa pasukan Mongol menyerbu ke selatan dan telah tiba di benteng pertama pertahanan Kota Raja Peking, pendekar inipun segera melupakan semua urusan pribadinya dan terus saja menggabungkan diri dengan pasukan kerajaan yang datang dari berbagai jurusan itu, menyumbangkan tenaganya melawan musuh.

Berkali-kali Sabutai mengalami kekalahan sehingga akhirnya dia menarik mundur sisa pasukannya yang hanya tinggal separuhnya! Dia mundur sampai di luar perbatasan kota raja dan membuat pertahanan kokoh di sebuah benteng yang telah dirampasnya ketika dia menyerbu ke selatan.

Sementara itu, In Hong telah menjadi sahabat baik dari Khamila. Dia tahu bahwa ada sesuatu di antara isteri Raja Sabutai itu dengan Kaisar Ceng Tung yang menjadi tawanan. Hal ini diketahuinya ketika kaisar muda itu jatuh sakit karena cemas memikirkan betapa pasukan Mongol makin mendekati kota raja, Khamila memperlihatkan perhatian luar biasa, bahkan dengan perantaraan In Hong minta agar mengirimkan buah-buah segar kepada kaisar itu. Tentu saja In Hong menjadi heran dan akhirnya dia dapat menduga bahwa isteri Sabutai itu merasa simpati kepada kaisar.

“Bohong, sri baginda! Saya bersumpah bahwa saya bukan mata-mata manapun juga. Dan memang, Go-bi Sin-kouw dan teman-temannya itu bukan orang baik-baik dan pernah bentrok dengan saya maka kini mereka hendak menjatuhkan fitnah kepada saya.”

Go-bi Sin-kouw bangkit berdiri dengan marah dan menuding, “Bocah setan! Engkau telah melarikan muridku. Engkau masuk ke sini pura-pura hendak bertemu dengan aku, akan tetapi siapa tidak tahu bahwa di luar sana ada gerombolan yang dipimpin oleh ketua Cin-ling-pai? Dan engkau adalah calon mantu Cin-ling-pai, bukan? Tentu engkau mata-mata, kalau bukan mata-mata Kerajaan Beng, setidaknya engkau dikirim oleh calon mertuamu itu!”

“Tutup mulutmu yang busuk! Engkau tahu betul bahwa tidak demikian halnya.” In Hong juga membentak marah.

“Heh-heh-heh, engkau selalu memperlihatkan sikap bermusuh, juga terhadap Lima Bayangan Dewa. Kami masih merasa heran apakah bukan engkau yang telah membunuh Hui-giakang Ciok Lee Kim.”

“Benar aku! Karena dia hendak melakukan perbuatan keji dan tidak patut terhadap seorang pemuda.”

Mendengar pengakuan ini, Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok mengeluarkan suara menggereng seperti seekor biruang marah. “Kalau begitu, aku harus membalas kematian sumoi!”

Melihat para pembantu Wang Cin sudah bergerak dan bangkit hendak mengeroyok, Sabutai mengangkat tangan dan berkata nyaring, “Urusan pribadi tidak perlu dibawa-bawa ke sini! Aku memang membutuhkan pembantu, akan tetapi aku belum melihat kehebatan nona ini, maka perlu diuji! Dan aku tidak akan membiarkan orang-orang gagah seperti cu-wi, yang menjadi pembantu-pembantu Wang-taijin untuk melakukan perbuatan rendah mengeroyok seorang wanita muda. Sebaiknya urusan pertikaian pribadi kalian itu diselesaikan sekarang juga, dengan pertandingan satu lawan satu. Nona Hong, apakah engkau berani menghadapi mereka itu, satu lawan satu untuk memutuskan siapa yang benar melalui keunggulan ilmu silat?'

In Hong tersenyum, lalu bangkit berdiri dan mundur ke tengah ruangan yang luas itu, berdiri tegak dan menjawab, “Menghadapi manusia-manusia iblis ini, jangankan satu lawan satu, biarpun dikeroyok saya tidak akan takut, sri beginda.” Ucapan In Hong ini bukan semata-mata karena kesombongan belaka, melainkan dilakukan dengan sengaja sebagai siasatnya memancing kepercayaan dan kekaguman raja itu, karena yang menjadi tujuannya adalah dapat berada dalam benteng dan selain melindungi kaisar yang tertawan, juga hendak menentang pasukan yang dipimpin oleh Bun Houw.

Siasatnya berhasil. Sabutai tersenyum lebar penuh kekaguman, lalu raja ini bangkit berdiri, memberi isyarat kepada dua orang gurunya yang juga bangkit dan berkatalah raja ini, “Demi kegagahan, aku tidak akan membiarkan terjadinya pengeroyokan. Wang-taijin, biarkan orang-orangmu maju satu demi satu melawan nona ini, dan siapa menggunakan kecurangan dan pengeroyokan, akan dihukum. Dua orang guruku akan menjadi pengawas.”

Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko tertawa, lalu duduk kembali. Akan tetapi tiba-tiba bangku yang mereka duduki itu “terbang” ke atas dengan tubuh mereka masih duduk di atasnya dan bangku-bangku itu melayang turun di sudut kanan kiri ruangan itu, di mana mereka duduk dengan tenang, memegangi tongkat butut mereka. Diam-diam In Hong terkejut sekali. Pantas saja Raja Sabutai demikian lihainya, kiranya dia memiliki dua orang guru yang sakti. Gadis ini menjadi makin berhati-hati dan dengan wajah tersenyum dingin dia kini memandang ke arah rombongan pembesar thaikam yang berkhianat itu, sikapnya menantang. Kalau harus menghadapi mereka satu lawan satu, dia sama sekali tidak merasa jerih.

Go-bi Sin-kouw menjadi gentar juga ketika melihat bahwa dia tidak dapat mengajak teman-temannya untuk mengeroyok gadis itu, maka dia berkata kepada Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok, “Phang-sicu, dialah yang membunuh sumoimu, maka sepatutnya kalau engkau sebagai orang pertama dari Lima Bayangan Dewa membalas kematian sumoimu.”

Di antara Lima Bayangan Dewa, Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok adalah orang pertama yang memiliki kepandaian paling tinggi dan dia sendiri belum pernah bertemu dengan In Hong. Melihat gadis muda itu tentu saja dia memandang rendah dan memang sejak tadi hatinya sudah diliputi kemarahan melihat gadis yang membunuh sumoinya ini, maka mendengar ucapan Go-bi Sin-kouw, dia cepat menengok ke arah Wang Cin dan dengan pandang matanya dia minta persetujuan majikannya itu.

Wang Cin mengangguk-angguk. “Sri baginda telah menurunkan perintah, engkau harus mentaatinya.”

Phang Tui Lok lalu menjura kepada Wang Cin, kemudian menjura ke arah Sabutai, lalu dia melangkah lebar dan tenang ke tengah ruangan, menghampiri In Hong. Tokoh pertama dari Lima Bayangan Dewa ini sudah berusia enam puluh tahun lebih, akan tetapi kelihatan masih tampan dan gagah seperti orang yang usianya paling banyak empat puluh tahun. Pakaiannya serba putih dan sepatunya hitam. Laki-laki peranakan Mongol ini adalah sute dari mendiang Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok, seorang di antara datuk-datuk golongan hitam puluhan tahun yang lalu. Tentu saja ilmu silatnya amat hebat. Seperti kita ketahui, kemunculan Pat-pi Lo-sian (Dewa Berlengan Delapan) Phang Tui Lok di dunia persilatan telah menggemparkan kaum kang-ouw karena begitu muncul dia dan sekutunya telah berani melakukan hal yang amat hebat yaitu membunuhi Cap-it Ho-han murid-murid Cin-ling-pai dan bahkan mencuri pedang pusaka Siang-bhok-kiam. Perbuatan itu, biarpun dia lakukan selagi ketua Cin-ling-pai dan isterinya tidak berada di Cin-ling-san, setidaknya telah mengangkat namanya cukup tinggi dan membuat nama Lima Bayangan Dewa dibicarakan orang secara bisik-bisik penuh rasa segan dan takut. Hal ini tentu saja mendorong kesombongan muncul dalam hati Phang Tui Lok, maka kematian sumoinya merupakan pukulan hebat, juga kematian Toat-beng-kauw Bu Sit.

Kematian dua orang sekutunya itu selain memperlemah kedudukan Lima Bayangan Dewa, juga merupakan pukulan terhadap nama besarnya, maka kini dia hendak menumpahkan kemarahannya kepada In Hong, gadis muda ini. Merasa bahwa dia adalah seorang tokoh besar kenamaan, pemimpin dari Lima Bayangan Dewa, maka kini di depan pembesar Wang Cin dan Raja Sabutai dan banyak orang lagi dia harus menghadapi lawan seorang gadis muda, keangkuhannya tentu saja tersinggung, maka dengan lagak seorang guru terhadap seorang murid, atau seorang bertingkat tinggi terhadap seorang lain yang bertingkat rendah, dia bertanya, “Nona muda, siapakah gurumu?”

In Hong memandang dengan wajah dingin dan sinar mata tajam menusuk, kemudian dia menjawab, “Nama guruku tidak ada sangkut pautnya dengan Pat-pi Lo-sian!”

“Hemm, kau sudah mengenal julukanku!”

“Go-bi Sin-kouw tadi menyebutmu sebagai orang pertama dari Lima Bayangan Dewa yang curang dan pengecut, yang menyerbu Cin-ling-pai selagi tuan rumah tidak ada, membunuhi murid-muridnya dan mencuri pedang Siang-bhok-kiam, tentu saja aku mengenalmu...”

“Eh, apa sangkutanmu dengan Cin-ling-pai? Kalau begitu benar dugaan Go-bi Sin-kouw bahwa engkau adalah mata-mata yang dikirim oleh ketua Cin-ling-pai!”

“Sama sekali tidak dan aku tidak mempunyai sangkutan dengan Cin-ling-pai, aku hanya ingin mengatakan bahwa Lima Bayangan Dewa adalah curang.”

“Hemm, bocah sombong. Aku menanyakan nama gurumu agar kelak kalau bertemu aku dapat menegurnya karena dia tidak bisa mendidikmu. Bocah yang bosan hidup, kenapa engkau memusuhi Lima Bayangan Dewa? Lebih baik engkau mengakui agar nanti tidak mati penasaran.”

“Aku tidak memusuhi Lima Bayangan Dewa.”

“Kenapa membunuh sumoiku?”

“Sudah kukatakan, perempuan hina Ciok Lee Kim itu melakukan hal yang tidak patut, memaksa seorang pemuda, maka aku menjadi muak dan membunuhnya. Aku datang ke sini untuk membantu pasukan Sri Baginda Sabutai, akan tetapi kalian hendak menjatuhkan fitnah. Majulah, Pat-pi Lo-sian, kalau memang kau berani dan jangan banyak mengoceh seperti burung kelaparan.”

Tentu saja Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok menjadi marah sekali. “Bagus! Salahmu sendiri kalau kau ingin menjadi bangkai tak bernama! Nah, terimalah ini!”

Gerakan Pat-pi Lo-sian memang hebat sekali. Begitu tubuhnya menyerbu, kedua tangannya melakukan serangan bertubi-tubi dan memang tidak percuma dia dijuluki Dewa Berlengan Delapan karena kedua tangannya melancarkan serangan bertubi cepat sekali seolah-olah dia mempergunakan delapan lengan! Dan setiap tamparan, pukulan, totokan atau cengkeraman mengandung hawa pukulan kuat sekali dan merupakan serangan maut.

“Heiiiiittttt...!” In Hong memekik dan tubuhnya berkelebatan seperti seekor burung garuda, cepatnya sampai tidak dapat diikuti pandangan mata, tubuhnya seperti lenyap dan hanya nampak bayangan-bayangan saja. Semua serangan bertubi yang dilakukan Pat-pi Lo-sian mengenai tempat kosong dan paling hebat hanya menyentuh sedikit ujung bajunya. Sambil mengelak dari tamparan terakhir, In Hong menggerakkan kaki kirinya dan nyaris ujung sepatunya mencium hidung lawan. Pat-pi Lo-sian terkejut sekali dan cepat menarik tubuh ke belakang. Bau ujung sepatu yang kotor tidak enak membuktikan betapa dekatnya sepatu tadi menghampiri hidungnya!

“Perempuan rendah!” Saking jengkelnya Pat-pi Lo-sian memaki, akan tetapi diam-diam dia mulai mengerti bahwa biarpun masih amat muda, lawan yang dihadapinya ini ternyata lihai sekali, maka diapun dapat mengerti mengapa Hui-giakang Ciok Lee Kim sampai roboh di tangan gadis ini. Dengan marah dan mulai hati-hati dia lalu mengerahkan tenaga sin-kang ke dalam kedua lengannya, kemudian dia menyerang lagi dengan dua kali pukulan tangan yang mengandung tenaga sin-kang sepenuhnya.

“Wirrrr... wuuuuuttttt!” Angin dahsyat menyambar mendahului dua kepalan itu, dan In Hong yang dapat mengenal pukulan lihai, cepat mengelak ke kiri.

“Haiiiiitt!” Pat-pi Lo-sian membentak, tubuhnya membalik ke kanan melanjutkan serangannya, tangan kanannya membentuk cakar naga mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala lawan. Cepat dan kuat sekali gerakannya itu.

In Hong juga mengenal gerakan ini, gerakan yang amat berbahaya dan mengandung pancingan. Cengkeraman yang kelihatannya ganas itu bukanlah inti serangan, melainkan umpan dan gertakan belaka. Kalau dia menangkis, tentu lawan akan mempergunakan tangan kiri untuk mengirim pukulan inti yang mematikan, maka untuk menghindarkan pukulan tersembunyi atau susulan ini, In Hong mengeluarkan suara melengking nyaring dan tiba-tiba saja ketika dia menangkis cengkeraman itu, tubuhnya mencelat ke atas!

Pat-pi Lo-sian terkejut, tahu bahwa siasatnya gagal sehingga tangan kirinya yang sudah siap mengirim pukulan ke anggauta tubuh di bawah dada itu tidak ada gunanya lagi. Ketika melihat tubuh gadis itu melayang ke atas, cepat dia melanjutkan gerakan cengkeraman tangan kanan yang tertangkis tadi, secepat kilat menangkap pergelangan kaki In Hong yang melayang di atas kepalanya.

“Plak! Dukkk!” Tubuh In Hong terlempar, akan tetapi juga Pat-pi Lo-sian terhuyung ke belakang. Ketika tangannya berhasil menangkap pergelangan kaki tadi, tiba-tiba ujung sepatu dari kaki In Hong yang kedua telah menotok pergelangan tangannya sehingga seluruh tangan menjadi lumpuh, pegangannya terlepas.

Merahlah muka Pat-pi Lo-sian! Sambil mengeluarkan suara menggereng seperti harimau terluka, dia lari menyerbu In Hong yang baru saja meloncat turun dan terjadilah pertandingan yang amat seru dan mati-matian. Namun, keunggulan Pat-pi Lo-sian mainkan kedua tangannya yang memang cepat sekali itu dapat diimbangi oleh In Hong dengan keunggulan gin-kangnya. Tubuhnya ringan seperti kapas, cepat seperti burung dan biarpun kelau dihitung, setiap tiga kali serangan lawan baru dapat dibalasnya satu kali, namun balasannya itu cukup mengimbangi tiga kali serangan karena kalau dia belum pernah tersentuh tangan lawan, adalah Pat-pi Lo-sian sudah dua kali kena ditampar pundak dan lehernya. Untung bahwa dia memiliki sin-kang yang kuat, tubuhnya yang terlindung hawa sin-kang menjadi kebal dan tamparan-tamparan itu hanya membuat dia mundur terhuyung saja.

Setiap kali tamparannya mengenai lawan, terdengar tepuk tangan dari Sabutai. Hal ini membuat In Hong makin bersemangat dan Pat-pi Lo-sian makin marah. Dan inilah kesalahan Pat-pi Lo-sian. Kemarahan adalah satu di antara hal yang sebetulnya merupakan pantangan besar bagi seorang ahli silat di waktu menghadapi lawan yang pandai, karena kemarahan ini mengurangi kewaspadaan dan berarti mengurangi daya tahan karena sebagian besar perhatian dicurahkan untuk menyerang dan merobohkan lawan belaka. Yap In Hong telah mewarisi ilmu-ilmu mujijat dari Yo Bi Kiok, ilmu-ilmu silat tinggi yang didapat oleh gurunya itu dengan bantuan bokor emas milik mendiang manusia sakti The Hoo. Menurut tingkat ilmu silatnya, tingkat In Hong masih lebih tinggi daripada tingkat Pat-pi Lo-sian dan kalau orang pertama dari Lima Bayangan Dewa ini dapat mengimbangi bahkan mendesak hanyalah karena dia memiliki banyak pengalaman dan mengenal banyak tipu-tipu muslihat perkelahian.

Kini, dalam keadaan marah, Pat-pi Lo-sian kehilangan banyak kewaspadaan, dan selagi dia menyerang hampir membabi buta, tiba-tiba ujung sepatu In Hong dapat mencium sambungan lutut kirinya sehingga tubuhnya agak merendah dan untuk beberapa detik lamanya Pat-pi Lo-sian terkejut dan tak berdaya. Beberapa detik ini cukup bagi In Hong untuk mendaratkan pukulan dengan tangan miring ke arah tengkuk Pat-pi Lo-sian.

“Dukkkk!!” Tubuh Pat-pi Lo-sian terjungkal, akan tetapi memang dia seorang yang lihai sekali. Biarpun tadi menghadapi pukulan maut yang datangnya tak tersangka-sangka karena dia hampir tidak sadar, namun begitu pukulan mendarat, dia depat miringkan tubuh sehingga jatuhnya pukulan tidak tepat sekali. Betapapun juga, pukulan itu membuat kepalanya menjadi nanar dan pandang matanya berkunang. Maka, begitu tubuhnya terjungkal, Pat-pi Lo-sian terus bergulingan sampai jauh sambil mengumpulkan hawa murni, maka begitu dia meloncat bangun lagi, kepeningan kepalanya sudah hampir lenyap dan dia mencabut pedangnya.

“Srattt...!” nampak sinar keemasan dan di tangannya kelihatan sebatang pedang yang bentuknya seperti ular dan gagangnya terbuat daripada emas berukir indah. Dengan muka merah dan mata mendelik dia membentak, “Bocah setan, majulah untuk menerima kematian!”

In Hong masih menoleh ke arah Sabutai yang kembali bertepuk tangan sambil memuji, kemudian gadis ini perlahan-lahan mencabut pedang di pinggang kirinya.

Pedang itu keluar perlahan-lahan, akan tetapi begitu ujungnva tertarik dan In Hong menggunakan tenaga, ujung pedang yang keluar dari sarunngya itu mengeluarkan bunyi mendesing dan tergetarlah pedang Hong-cu-kiam di tangan gadis itu. Pedang tipis lemas yang kadang-kadang digantung di pinggang In Hong kadang-kadang tersembunyi karena dibawanya sebagai sabuk yang melilit pinggangnya yang ramping itu.

Melihat betapa dua orang itu mencabut pedang, Raja Sabutai bertepuk tangan dua kali dengan nyaring dan dia berkata penub wibawa, “Di sini bukan medan tempat untuk saling bunuh! Sudah kukatakan tadi bahwa kedua fihak akan memutuskan urusan pribadi dengan kepandaian. Siapa berani menggunakan senjata berarti menentang perintahku!”

Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko yang tadi hanya duduk di kedua ujung ruangan itu, kini sudah bangkit berdiri memandang ke arah Pat-pi Lo-sian dan In Hong dengan sikap mengancam, tongkat mereka melintang di dada. Ternyata bahwa dua orang kakek dan nenek ini selain menjadi guru Raja Sabutai, agaknya juga menjadi pengawal atau pembantunya yang taat dan siap melaksanakan segala kehendak raja itu.

In Hong menoleh dan bertemu pandang dengan Raja Sabutai dan dari pandang mata ini tahulah In Hong bahwa raja itu mengkhawatirkan dirinya, maka dengan senyum dingin gadis ini menggerakkan tangan kanannya, nampak sinar berkelebat dan tabu-tahu pedang Hong-cu-kiam di tangannya tadi telah lenyap dan telah melingkari pinggangnya tersembunyi di balik jubah.

Juga Pat-pi Lo-sian memandang ke arah Raja Sabutai, kemudian dia menarik napas panjang dan terpaksa dia menyimpan lagi pedangnya, hatinya menjadi jerih karena dia kini maklum bahwa gadis muda yang dipandangnya rendah itu ternyata amat lihai. Tiba-tiba Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw meloncat ke depan, menjura ke arah In Hong sambil melirik ke arah Raja Sabutai. Kemudian dengan suara halus Hwa Hwa Cinjin berkata, “Sungguh hebat kepandaianmu, nona, membuat kami berdua tertarik sekali dan ingin mengajak nona untuk main-main sebentar. Akan tetapi karena kami berdua selalu bersama, terpaksa kini kamipun hendak maju bersama, dan hal ini sekali-kali bukan karena kami ingin maju mengeroyok. Andaikata nona mempunyai seorang dua orang teman, boleh saja nona menyuruh mereka maju menghadapi kami berdua. Tentu saja kalau sri baginda tidak berkeberatan dan kalau nona memang berani melawan kami berdua.”

Raja Sabutai makin kagum dan gembira melihat kegagahan In Hong, maka kini melihat majunya kakek dan nenek itu, dia meragu apakah dia harus membiarkan In Hong dikeroyok dua atau mencegahnya. Dia memang masih ingin melihat apakah dara perkasa itu akan sanggup menghadapi keroyokan kakek dan nenek itu. In Hong juga mengerti bahwa kalau dua orang itu maju bersama, dia akan menghadapi dua orang lawan yang amat tangguh, masing-masing tidak kalah lihainya kalau dibandingkan dengan orang pertama dari Lima Bayangan Dewa tadi. Akan tetapi untuk menolak tantangan itu, tentu saja pantang baginya, apalagi dia tadi sudah mengatakan bahwa biarpun dikeroyok oleh mereka semua, dia tidak akan mundur.

“Kalau kalian takut maju satu demi satu dan hendak mengeroyokku, majulah, siapa takut kepada kalian?” kata In Hong dan memandang tajam. Wajah kakek dan nenek itu menjadi merah sekali. Ucapan In Hong ini sekaligus menantang dan merendahkan mereka. Mereka maklum bahwa kalau mereka maju satu demi satu, belum tentu mereka dapat menangkan dara yang benar-benar amat hebat kepandaiannya itu, akan tetapi kalau mereka boleh maju bersama, dengan ilmu silat gabungan yang mereka ciptakan, mereka merasa yakin akan dapat merobohkan dara perkasa ini.

Tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar, “Heiiii... berhenti...! Tahan... tidak boleh masuk ke situ...!”

Semua orang menoleh dan nampaklah bayangan seorang wanita cantik berlari cepat menuju ke tempat itu, dikejar dari belakang oleh banyak pengawal. Dengan beberapa kali lompatan saja wanita itu telah tiba di ruangan. Melihat ini, terdengar suara melengking dan Hek-hiat Mo-li bersama Pek-hiat Mo-ko sudah meloncat dari tempat duduk masing-masing, sekaligus seperti dua ekor burung rajawali mereka menerkam dan menyerang wanita yang baru datang itu.

“Bekas kaisar itu hanya menjadi penambah beban saja. Dan sebaliknya, sekarang juga paduka mengerahkan pasukan untuk menyerbu ke selatan selagi keadaan belum begitu dikuasai oleh pimpinan kaisar baru yang saya dengar amat lemah. Hal ini adalah karena terjadi perpecahan di antara para pembesar, sebagian ingin mempertahankan kedudukan Kaisar Ceng Tung yang tertawan di sini, sebagian lagi adalah pendukung Kaisar Ceng Ti. Selagi keadaan musuh lemah karena pertikaian sendiri, bukankah hal itu merupakan kesempatan yang baik sekali?”

Sampai beberapa lama Raja Sabutai mengerutkan alisnya yang tebal, kemudian dia berkata, “Sebetulnya aku masih meragu untuk menyerbu ke selatan yang amat kuat pertahanannya dan tadinya aku ingin mengambil jalan yang lebih aman, yaitu dengan menjadikan Kaisar Ceng Tung sebagai sandera. Akan tetapi dengan adanya perobahan ini, tentu saja amat baik sekali seperti yang kau usulkan, pangcu. Kita serbu Kerajaan Beng!”

“Dan Kaisar Ceng Tung...?” Yo Bi Kiok bertanya.

“Untuk sementara biarlah dia kami tahan dulu...”

“Akan tetapi hal itu berbahaya, Sri baginda.” Yo Bi Kiok membantah. “Tentu akan muncul orang-orang yang berusaha untuk membebaskannya. Kalau kita semua pergi berperang dan dia tidak dijaga kuat-kuat...”

“Biarlah saya akan menjaganya!” Tiba-tiba In Hong berkata menawarkan diri.

Yo Bi Kiok mengangguk-angguk. “Sebaiknya begitu. Harap paduka jangan khawatir, kalau murid saya ini yang tinggal di sini menjaganya, tidak akan ada orang yang dapat membebaskannya.”

Raja Sabutai memandang kepada In Hong dan mengangguk-angguk. “Kami percaya kepada nona Hong, dan selain menjaga agar Kaisar Ceng Tung jangan sampai lolos, juga kami menyerahkan keselamatan isteri kami kepada perlindungan nona Hong.”

In Hong mengangkat kepala memandang sang ratu. Khamila juga memandang kepadanya dan di antara kedua orang wanita muda ini terdapat rasa simpati, maka In Hong segera menjawab, “Saya akan melindungi keselamatan isteri paduka dengan taruhan nyawa!”

“Bagus! Legalah hatiku kalau begitu. Suhu dan subo,” Kini Raja Sabutai menoleh ke arah dua orang kakek dan nenek yang sejak tadi hanya mendengarkan sambil duduk melenggut saja. “Bagaimana pendapat suhu dan subo tentang penyerbuan ke selatan?”

Kakek dan nenek itu mengangguk dengan malas. “Kami hanya setuju saja...!” jawab mereka acuh tak acuh.

Maka sibuklah Raja Sabutai mengumpulkan para panglimanya, juga memanggil Wang Cin dan menyatakan rencananya menyerbu ke selatan. Tentu saja Wang Cin menjadi girang sekali dan diapun mempersiapkan semua anak buahnya untuk membantu penyerbuan Raja Sabutai ke selatan.

Dalam kesempatan bertemu dengan muridnya, Yo Bi Kiok berbisik kepada In Hong, “Muridku, dengar baik-baik. Kau harus melindungi kaisar dan sedapat mungkin selamatkan dia keluar benteng.”

In Hong memandang terbelalak, namun hatinya girang bukan main. Kiranya gurunya ini di depan Raja Sabutai hanya bersiasat saja, sebenarnya tidak ingin membunuh kaisar, malah hendak menyelamatkannya. Akan tetapi saking herannya dia bertanya, “Tapi, subo...”

“Hushhh...!” ketua Giok-hong-pang itu mencela muridnya yang membantah, “kita tidak boleh menyia-nyiakan setiap kesempatan. Kalau Sabutai berhasil, itu baik sekali, kalau tidak, kita dapat mencari kedudukan melalui kaisar itu.”

Hati In Hong kecewa lagi dan diam-diam dia mulai mengenal watak gurunya yang ternyata amat mementingkan dirinya sendiri sehingga untuk membela dia yang dianggapnya telah jatuh cinta kepada Bun Houw, gurunya tidak segan-segan membunuh gadis dusun yang dikira mencinta pemuda itu, dan kini kaisarpun hanya dijadikan jalan untuk mencapai kepentingannya pribadi. Diam-diam di dalam hati gadis ini timbul rasa tidak suka dan penentangan, akan tetapi, tentu saja dia tidak berani menyatakan dengan terang-terangan. Hanya dia merasa heran, mengapa sebelum ini dia menganggap gurunya sebagai satu-satunya orang yang baik, yang semua tindakannya dia anggap benar belaka. Mengapa sekarang dia melihat hal-hal yang dianggapnya tidak patut dan tidak benar dalam tindakan gurunya? Mulailah hati In Hong merasa bimbang. Mulailah dia memikirkan dan mencari akal untuk dapat menyelamatkan kaisar, dari tangan Sabutai dan dari tangan subonya sendiri. Dan dia menggantungkan harapannya kepada Khamila, isteri Raja Sabutai. Wanita cantik jelita itu berwajah ramah, sinar matanya lembut.

Dua hari kemudian, mulailah Raja Sabutai yang telah mengerahkan pasukannya itu bergerak ke selatan. Sebagai pimpinan Suku Bangsa Nomad, dan karena khawatir akan keselamatan isterinya, dalam penyerbuan ini, Khamila dan Kaisar Ceng Tung yang menjadi tawananpun dibawa dan selalu berada di bagian belakang di dalam pasukan perbekalan yang juga bertugas mengatur ransum para anak buah pasukan. Yang bertugas menjaga keselamatan Khamila dan menjaga agar kaisar tawanan tidak sampai lolos adalah In Hong, dibantu oleh dua losin pengawal.

Ketika fihak kerajaan mendengar akan gerakan pasukan Sabutai ini, tentu saja merekapun lalu bergerak mengirim bala tentara. Di perbatasan, para komandan pasukan kerajaan bertemu dengan pasukan kecil yang dipimpin oleh Cia Keng Hong dan puteranya, dan dengan gemas Cia Keng Hong dan puteranya mengerti bahwa kerajaan sama sekali tidak memperdulikan nasib Kaisar Ceng Tung, bahkan sama sekali tidak ada pengiriman pasukan dari kerajaan untuk menyelamatkan kaisar yang tertawan. Tahulah pendekar ketua Cin-ling-pai itu bahwa terjadi pergolakan dan perebutan kekuasaan di kota raja, apalagi ketika dia mendengar bahwa bukan saja tidak ada usaha menyelamatkan Kaisar Ceng Tung, bahkan kini para pembesar mengangkat seorang kaisar baru dan seolah-olah menganggap Kaisar Ceng Tung sudah mati! Dan kini, setelah Sabutai bergerak mengancam kerajaan, barulah bala tentara dikerahkan!

Sebetulnya, di dalam hati, Cia Keng Hong marah kepada para pembesar di kota raja. Akan tetapi karena diapun melihat bahaya dari Sabutai yang bergerak ke selatan, dan karena dia tidak ingin mencampuri pula urusan perebutan tahta kaisar, maka pendekar inipun mengerahkan pasukannya untuk membantu bala tentara kota raja menghadapi musuh. Yang penting baginya adalah membela negara menghadapi musuh Bangsa Mongol yang hendak menjajah itu!

Bentrokan pertama antara pasukan Sabutai dengan pasukan kerajaan terjadi di perbatasan. Dan biarpun mendapat bantuan Cia Keng Hong, Cia Bun Houw, Tio Sun dan orang-orang Mancu dan Khitan, pasukan kerajaan terdesak mundur dan mengalami pukulan hebat! Di dalam perang besar seperti itu, kepandaian perorangan dari Cia Keng Hong, Cia Bun Houw dan Tio Sun tidak begitu besar artinya. Apalagi di fihak musuh juga banyak sekali terdapat orang pandai seperti tiga orang tokoh Bayangan Dewa, Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, Go-bi Sinkouw, Bouw Thaisu dan terutama sekali Yo Bi Kiok, Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko. Pihak kerajaan terlalu memandang rendah kepada Sabutai sehingga bala tentara yang dikirimkan itu jauh daripada mencukupi, kalah banyak jumlahnya dan memang kalah kuat para perajuritnya. Pasukan Sabutai terdiri dari perajurit-perajurit gemblengan yang selain terlatih kehidupan yang keras dan sukar, juga bersemangat besar untuk menegakkan kembali kerajaan bangsa mereka, Bangsa Mongol yang pernah menjadi bangsa yang jaya.

Memang hebat gerakan Sabutai dan ternyata tidak kecewa dia mengaku sebagai keturunan Jenderal Sabutai yang pernah menjadi tokoh militer di jaman kejayaan Kerajaan Goan-tiauw, yaitu ketika Bangsa Mongol menguasai seluruh Tiongkok. Dia menggunakan siasat yang amat hebat sehingga pasukannya bergerak seperti kilat ke selatan, merobohkan semua rintangan sehingga semua pertahanan pasukan Kerajaan Beng terus-menerus dipukul mundur sampai akhirnya pasukan-pasukan pemberontak Mongol ini berhasil tiba di benteng pertama Kota Raja Peking!

Cia Keng Hong prihatin sekali melihat keadaan ini dan dia bersama puteranya dan Tio Sun telah membantu mati-matian, merobohkan dan membunuh entah berapa banyak pasukan musuh. Namun mereka tidak berdaya karena fihak Mongol memang jauh lebih kuat daripada jumlah pasukan kerajaan yang bertahan. Hal ini adalah karena kerajaan sedang kacau dan para pembesar militerpun telah terpecah-pecah oleh suasana perebutan kekuasaan.

Baru setelah bala bantuan datang, yaitu pasukan-pasukan yang ditarik dari semua jurusan, kekuatan pasukan kerajaan terkumpul dan terpusatkan dalam pertahanan, maka gerakan pasukan Sabutai dapat dibendung, bahkan mulai dihalau mundur dari daerah lingkungan kota raja. Dan di dalam pasukan bala bantuan yang kuat ini muncul pula banyak tokoh kang-ouw yang gagah perkasa yang selalu dalam saat negara terancam bahaya tentu muncul meninggalkan tempat-tempat persembunyian mereka untuk menyumbangkan jiwa raganya tanpa pamrih untuk kepentingan diri pribadi. Dan di antara para orang gagah ini terdapat pula Yap Kun Liong! Biarpun pendekar ini tadinya sibuk dengan urusan pribadinya sendiri, menyelidiki dan mencari hilangnya Yap Mei Lan, puterinya, juga mencari hilangnya Lie Seng, putera Cia Giok Keng, di samping menyelidiki kematian isterinya, mencari pembunuhnya, akan tetapi begitu mendengar bahwa pasukan Mongol menyerbu ke selatan dan telah tiba di benteng pertama pertahanan Kota Raja Peking, pendekar inipun segera melupakan semua urusan pribadinya dan terus saja menggabungkan diri dengan pasukan kerajaan yang datang dari berbagai jurusan itu, menyumbangkan tenaganya melawan musuh.

Berkali-kali Sabutai mengalami kekalahan sehingga akhirnya dia menarik mundur sisa pasukannya yang hanya tinggal separuhnya! Dia mundur sampai di luar perbatasan kota raja dan membuat pertahanan kokoh di sebuah benteng yang telah dirampasnya ketika dia menyerbu ke selatan.

Sementara itu, In Hong telah menjadi sahabat baik dari Khamila. Dia tahu bahwa ada sesuatu di antara isteri Raja Sabutai itu dengan Kaisar Ceng Tung yang menjadi tawanan. Hal ini diketahuinya ketika kaisar muda itu jatuh sakit karena cemas memikirkan betapa pasukan Mongol makin mendekati kota raja, Khamila memperlihatkan perhatian luar biasa, bahkan dengan perantaraan In Hong minta agar mengirimkan buah-buah segar kepada kaisar itu. Tentu saja In Hong menjadi heran dan akhirnya dia dapat menduga bahwa isteri Sabutai itu merasa simpati kepada kaisar.

“Kasihan sekali sri baginda kaisar,” pada suatu petang In Hong sengaja memancing di depan Khamila. “Dia menjadi tawanan yang tak berdaya dan hanya mendengar betapa kerajaannya terancam keruntuhan.”

Mendengar ucapan In Hong ini, Khamila memandang tajam, kemudian bertanya lirih, “Hong-lihiap, engkau adalah seorang wanita yang gagah perkasa dan berilmu tinggi. Bagaimanakah pendapatmu tentang Kaisar Ceng Tung itu? Dia telah tertawan, akan tetapi dia tidak pernah sudi menyerah, tidak pernah mau tunduk dan sama sekali tidak takut mati.”

Jelas terasa oleh In Hong betapa kekaguman besar terkandung dalam kata-kata ini, maka dia menjawab, “Dia memang seorang kaisar yang besar, seorang jantan yang mengagumkan.” In Hong memandang tajam, lalu melanjutkan, “Sayang dia menjadi tawanan yang tidak berdaya. Seorang gagah seperti beliau itu sepatutnya tidak menjadi tawanan.”

“Maksudmu... sepatutnya dia bebas?”

In Hong memandang. Dua orang wanita yang sama cantik jelitanya akan tetapi jelas memiliki sifat yang berlawanan itu, yang seorang penuh kelembutan dan kelemahan, yang seorang keras dan gagah, akan tetapi keduanya cantik jelita menggairahkan itu, untuk beberapa lamanya saling pandang. Akhirnya Khamila membuka mulut berkata, “Kalau begitu, engkau yang menjaganya, engkau yang mengepalai para pengawal di sini, kenapa engkau tidak membebaskannya?”

In Hong tidak kaget mendengar pertanyaan aneh ini. Memang tidak aneh kalau isteri dari Raja Sabutai yang menawan kaisar itu bertanya demikian. Dia sudah menduga bahwa wanita itu suka kepada kaisar, sungguhpun mimpipun tidak pendekar wanita ini bahwa kandungan dalam perut ratu yang hamil muda ini adalah keturunan kaisar yang menjadi tawanan itu!

“Bagaimana saya dapat membebaskan beliau? Para penjaga tentu akan mencegah dan pula... sungguhpun saya tidak takut menghadapi mereka, saya masih harus menjaga keselamatan paduka...”

“Kaubebaskanlah beliau biar aku yang menanggung kalau sampai terjadi apa-apa...” kini wajah puteri itu merah, dan matanya sayu.

“Bagaimana kalau paduka juga ikut lolos?”

“Ehhh...?” Sepasang mata yang lebar dan indah itu terbelalak. “Apa maksudmu...?”

“Saya kira, kaisar hanya dapat diselamatkan kalau paduka suka membantu. Kalau paduka yang keluar dari benteng ini, dikawal oleh saya dan seorang pembantu saya, yaitu kaisar yang menyamar, tentu tidak akan ada pengawal yang berani mencegah atau bercurigai. Kemudian, kalau saya sudah berhasil mengantar kaisar dengan selamat ke kota raja, saya pasti akan membawa paduka kembali kepada Raja Sabutai.”

“Ahhh...!” Sejenak sepasang mata itu berseri dan bersinar mengingat bahwa dia akan berkesempatan dekat dengan kaisar yang dicintanya, dengan ayah dari anak yang dikandungnya, akan tetapi dia masih ragu-ragu karena, betapapun juga, dia tidak dapat meninggalkan Sabutai yang menjadi suaminya yang amat baik hati itu. “Tapi... bagaimana kalau suamiku mencegahnya? Suhu dan subonya seperti iblis-iblis mengerikan, belum lagi para pembantu Wang Cin itu...”

“Kita harus cerdik, dan kita bergerak kalau mereka itu keluar dari benteng menyambut musuh.”

Akhirnya Khamila dapat terbujuk juga karena wanita ini ingin sekali memperlihatkan bukti cintanya kepada ayah dari anak yang dikandungnya itu, bukti yang mutlak tentang cintanya sebelum mereka saling berpisah, mungkin untuk selamanya. Dia setuju dan kedua orang wanita yang sifatnya berlawanan ini menjadi akrab dan sama-sama mengatur siasat.

Kemudian In Hong yang sudah memperkenalkan diri sebagai seorang yang berpura-pura berfihak kepada Sabutai untuk menolong kaisar itu membicarakan kepada kaisar tentang rencananya dengan Ratu Khamila. Tentu saja kaisar menjadi girang dan terharu sekali, dan dia segera sembuh dari sakitnya mendengar bahwa terbuka kesempatan baginya untuk lolos dari tawanan.

Saat yang dinanti-nanti oleh In Hong, Khamila, dan Kaisar Ceng Tung tiba tidak lama kemudian. Bala tentara Kerajaan Beng yang telah menyelidiki bahwa musuh membuat pertahanan di dalam benteng yang kokoh itu, datang menyerbu. Sabutai mengerahkan pasukannya yang tinggal separuhnya, dan melakukan pertahanan di benteng itu, ada pula sebagian yang menjaga pintu-pintu benteng sehingga tidak mudah bagi bala tentara Beng untuk membobolkan benteng yang amat kuat itu.

Kesempatan baik inilah yang ditunggu-tunggu oleh In Hong. Lewat senja, setelah cuaca mulai gelap dan seluruh benteng sedang sibuk menghadapi musuh, suara bising terdengar di luar dan sekeliling benteng besar itu, tampak Ratu Khamila dengan pakaian ringkas tergesa-gesa keluar dari ruangan-ruangan yang menjadi tempat tinggalnya, dikawal oleh In Hong dan seorang pengawal muda yang gagah dan berpakaian sebagai pengawal pribadi sang ratu. Para penjaga di luar yang melihat sang ratu naik kereta joli keluar, apalagi dikawal sendiri oleh In Hong yang mereka kenal sebagai kepala pengawal pribadi, tidak memperhatikan pengawal pria itu yang mereka anggap tentulah seorang pengawal biasa, seorang perajurit biasa. Tidak ada seorangpun berani membantah atau menentang dan hanya kepala jaga yang bertanya ke mana In Hong hendak mengantar sang ratu pergi dalam keadaan berbahaya seperti itu.

”Justeru karena keadaan bahaya maka Sri Baginda Sabutai mengutus aku untuk menyelamatkan ratu ke tempat aman di luar benteng!” jawab In Hong dan kepala penjaga itu tidak berani membantah lagi.

Dengan mudah saja In Hong dan “perajurit pengawal” yang bukan lain orangnya adalah Kaisar Ceng Tung itu lalu mengawal Khamila keluar dari benteng melalui pintu darurat atau pintu rahasia yang berada di tempat tersembunyi di belakang benteng itu. Para penjaga memberi hormat dan membukakan pintu kecil itu, kemudian setelah tiga orang itu menyelinap keluar, pintu itu lalu ditutup kembali dan tidak kelihatan ada pintu di dinding tebal itu, baik dilihat dari luar maupun dari dalam. Dan para penjaga menjaga lagi seperti biasa.

“Cepat kita lari ke hutan itu...!” In Hong berbisik kepada kaisar dan sang ratu. Kaisar yang menyamar seperti perajurit itu menarik kereta joli yang diduduki oleh Ratu Khamila dan mereka menyelinap di antara pohon-pohon memasuki hutan yang gelap.

“Heiiii...! Tunggu...!” Tiba-tiba terdengar bentakan dari belakang. In Hong cepat menoleh dan terkejutlah dia ketika melihat selosin orang perajurit dipimpin oleh kepala jaga tadi!

“Sri baginda, cepat ajak ratu bersembunyi di dalam semak-semak!” In Hong berbisik dan Kaisar Ceng Tung lalu menarik tangan kekasihnya itu, dan segera mereka lenyap di balik semak-semak belukar di mana mereka saling rangkul dengan hati tegang namun dengan perasaan bahagia bahwa mereka berdua yang saling mencinta itu masih sempat mengalami bahaya bersama-sama! Kereta joli mereka gulingkan ke dalam jurang untuk menghilangkan jejak mereka.

“Hemm, kalian mau apa?” In Hong membentak sambil berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang dan sikap marah menantang.

“Lihiap, kami mendapat laporan bahwa tawanan telah lenyap!” kata kepala jaga sambil memandang dengan penuh kecurigaan dan obor-obor yang dibawa oleh para perajurit diangkat tinggi-tinggi untuk meneliti keadaan di sekitar tempat itu.

“Tawanan siapa?” In Hong berkata dengan nyaring dan disengaja agar kaisar yang sedang bersembunyi itu dapat mendengarnya dan berhati-hati.

“Kaisar itu! Dia telah lenyap.”

“Hemm, biarpun aku bertugas menjaganya di sana, akan tetapi engkau tahu bahwa aku tidak ada di sana ketika dia lolos. Kesalahan kalian semualah itu. Perlu apa mengejar aku?”

“Lihiap... eh, tadi aku kurang teliti. Lihiap mengawal sang ratu keluar benteng, bersama seorang perajurit pengawal... dan sekarang baru aku ingat bahwa tidak ada perajurit pengawal seperti itu di dalam benteng. Di manakah mereka? Di mana perajurit itu dan sang ratu?”

“Kurang ajar! Kau menuduh aku...?”

“Bukan menuduh. Akan tetapi demi keselamatan, kuharap lihiap suka memperlihatkan surat perintah sri baginda!”

“Ini perintah lisan, tanpa surat! Kalian tentu mata-mata musuh yang hendak mencegah aku menyelamatkan ratu!”

“Hemm, sikap lihiap sungguh mencurigakan! Di mana sang ratu? Dan di mana pula tawanan itu kausembunyikan?” Kepala jaga itu memberi isyarat sambil melangkah maju dan selosin perajurit itu lalu mengurung In Hong.

“Ratu menjadi tanggung jawabku! Kalian ini yang mencurigakan, tentu kalian adalah mata-mata musuh yang hendak mencelakakan ratu!” berkata demikian, In Hong yang tahu bahwa rahasianya mulai bocor, cepat mencabut pedangnya dan sekali berkelebat, pedangnya telah meluncur menjadi sinar yang menyilaukan mata, sinar emas dari pedang Hong-cu-kiam dan terdengarlah pekik susul-menyusul ketika dalam segebrakan saja empat orang perajurit telah roboh dan tewas! Kepala penjaga itu menjadi marah dan cepat bersama sisa orangnya maju mengeroyok. Golok dan pedang menyambar-nyambar ke arah tubuh In Hong. Namun kini In Hong yang maklum bahwa kalau dia tidak bertindak cepat dan dikejar oleh pasukan besar, tentu kaisar akan celaka, bergerak seperti seekor harimau betina yang haus darah. Pedang Hong-cu-kiam yang tipis bersinar emas itu mengaum seperti bunyi singa marah, sinarnya bergulung-gulung dan para pengeroyok itu berjatuhan. Pekik kesakitan susul-menyusul du dalam waktu singkat saja semua pengeroyok yang berjumlah tiga belas orang itu roboh dan tewas!

In Hong cepat meloncat ke balik semak-semak belukar tadi sambil menginjak obor-obor yang masih bernyala. “Ssstttt... sri baginda...! Ke sini...!” serunya perlahan ke arah semak-semak itu.

Mereka keluar dari balik semak-semak, dan melihat di dalam keremangan malam betapa kaisar tawanan itu merangkul leher Khamila sedangkan ratu itu merangkul pinggang kaisar. In Hong mengerutkan alisnya. Apa-apaan yang dilihatnya ini?

Timbul perasaan tidak senang di dalam hatinya. Khamila adalah seorang ratu, isteri dari Raja Sabutai yang gagah Perkasa. Biarpun ada baiknya kalau ratu ini bersimpati kepada kaisar yang dia tahu memang seorang yang berwatak agung dan gagah, namun tidaklah sepatutnya kalau mereka bersikap seperti sepasang kekasih yang begitu mesra!

“Kita pergi sekarang dengan cepat memasuki hutan,” katanya singkat dan dia mendahului mereka melangkah masuk ke dalam hutan itu, membawa sebatang obor yang diambilnya dari obor-obor yang tadi dibawa oleh para perajurit penjaga.

Dapat dibayangkan betapa sengsaranya perjalanan semalam itu bagi sang ratu. Dia adalah seorang puteri yang halus, yang tidak pernah melakukan perjalanan jauh, dan kini dia terpaksa harus melakukan perjalanan di waktu malam gelap, melalui sebuah hutan lebat lagi! Dan dia sedang mengandung!

Akan tetapi, karena di situ terdapat Kaisar Ceng Tung, yang dengan penuh kasih sayang menuntunnya, menghiburnya dan merangkulnya, ratu ini dapat juga melanjutkan perjalanan dan baru pada keesokan harinya, setelah matahari mengusir kegelapan malam, In Hong mengajak mereka berhenti di dalam hutan.

“Aduh... seperti mau patah-patah rasanya kakiku...” Khamila mengeluh dan dia duduk di atas rumput, kakinya dipijati oleh Kaisar Ceng Tung.

Melihat ini, In Hong membuang muka dan wajahnya menjadi merah sekali. Kurang ajar, pikirnya. Orang-orang bangsawan ini sungguh tak tahu malu! Kalau dia tidak ingat bahwa yang berada di depannya itu adalah Kaisar Kerajaan Beng dan ratu dari Raja Sabutai, tentu dia sudah menghajar mereka, atau setidaknya meninggalkan pergi tanpa memperdulikannya lagi! Untuk menutupi rasa marahnya dan muaknya, dia tanpa menoleh berkata, “Kita terpaksa melakukan perjalanan hanya di waktu malam, kalau siang kita beristirahat di dalam tempat-tempat tersembunyi.” Suaranya dingin dan datar.

Hening sejenak dan tiba-tiba In Hong mendengar suara langkah kaki mendekatinya, akan tetapi dia tidak perduli dan dia tidak mau menoleh ke arah mereka. Sebuah tangan yang halus menyentuh pundaknya. Dia menoleh dan ternyata Khamila yang duduk di sebelahnya dan merangkulnya.

“Hong-lihiap...eh, sebaiknya engkau kupanggil enci saja karena aku sudah menganggapmu sebagai saudara sendiri. Enci Hong, kau...kaumaafkanlah kami berdua...”

In Hong mengerutkan alisnya dan membuang muka. “Urusan kalian tidak ada sangkut pautnya dengan aku!” katanya lirih dan dingin.

Khamila menarik napas panjang. “Tentu engkau akan menganggap bahwa kami tidak sopan atau tidak mengenal kesusilaan. Akan tetapi ketahuilah, di antara beliau dan aku... kami sudah saling mencinta sejak lama...”

“Ehhh? Bagaimana...?” In Hong terkejut juga mendengar ini.

“Dan suamiku juga tahu akan hal itu, enci. Tidak perlu kubuka lebih lebar rahasia keluarga kami, akan tetapi ketahuilah bahwa aku cinta kepada kaisar, dan sebaliknya beliaupun cinta kepadaku. Dan hubungan kami bukanlah hubungan gelap, seperti kukatakan tadi, suamiku juga tahu dan...dan menyetujuinya. Hanya ini yang dapat kukatakan, enci Hong. Karena cintakulah maka aku mau berkorban seperti ini, untuk membebaskannya, kemudian...aku akan ikut denganmu kembali kepada suamiku.” Suaranya menjadi berduka sekali.

“Hemmm...” In Hong tak dapat berkata apa-apa lagi karena dia merasa heran, kaget, dan juga terharu. Dia menoleh kepada kaisar yang masih duduk dan melihat In Hong memandangnya, kaisar mengangguk-angguk dan memandang kepada Khamila dengan sinar mata yang mesra, penuh cinta kasih.

“Hemmm... biarlah aku mencari bahan makanan...” kata In Hong dan dia lalu bangkit dan pergi meninggalkan orang-orang yang sudah saling peluk lagi itu.

Sampai dua hari dua malam, mereka melakukan perjalanan yang lambat sekali. Selama ini, In Hong melihat betapa mereka itu berkasih-kasihan dengan mesra sehingga dia menjadi malu sendiri dan selalu mienjauhkan diri, akan tetapi setelah jauh, dia duduk termenung dan terbayanglah wajah...Bun Houw! Membayangkan dia dan Bun Houw berkasih-kasihan seperti halnya kaisar dan Khamila, membuat dara ini berulang kali menarik napas panjang dan berulang kali pula mencela dan memaki diri sendiri. “Tidak tahu malu kau!” bentaknya dalam bisikan kepada diri sendiri setiap kali dia membayangkan dirinya dan Bun Houw bermesraan.

Pada hari ketiga, ketika mereka baru saja berhenti dari perjalanan semalam suntuk yang amat melelahkan, dan In Hong sedang membuat api unggun, dibantu oleh kaisar dan Khamila, yang mengumpulkan daun-daun kering, tiba-tiba terdengar suara ketawa dan dari balik batang-batang pohon berlompatan keluarlah beberapa orang yang membuat In Hong terkejut sekali dan pendekar wanita ini melepaskan ranting yang dipegangnya. Di depannya telah berdiri Go-bi Sin-kouw, Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, dan Bouw Thaisu, empat orang sakti yang membantu pembesar Thaikam Wang Cin itu!

Akan tetapi In Hong sama sekali tidak menjadi gentar dan dia malah bersikap tenang memandang mereka seorang demi seorang dengan sinar matanya yang tajam dingin lalu terdengar dia berkata, suaranya datar dan penuh tantangan, “Kalian orang-orang tua datang menyusul kami mau apa?”

“Heh-heh-heh, Yap In Hong, engkau masih bertanya kepada kami? Bukankah pertanyaan itu sebaiknya diajukan kepadamu? Mau apa engkau mengajak tawanan dan Ratu Khamila ke tempat seperti ini?”

Sebelum In Hong menjawab, tiba-tiba kaisar yang sudah bangkit berdiri sambil menggandeng tangan Khamila itu berkata dengan lantang, “Kami lihat bahwa kalian adalah orang-orang Han yang menjadi kaki tangan si pengkhianat Wang Cin! Apakah sampai sekarang kalian tidak menyadari bahwa Wang Cin menyeret kalian orang-orang tua ke lembah penghinaan, hendak menjual negara kepada bangsa lain dan bahwa sekarang usaha Wang Cin sudah mengalami kegagalan dan di ambang kehancuran? Dengan suka rela kami ikut melarikan diri bersama nona Hong. Kalian mengejar ini mau apa? Hayo jawab!”

Kaisar yang muda itu memang memiliki wibawa yang hebat. Pandang matanya, sikapnya, kata-katanya semua mengandung wibawa besar sehingga sejenak empat orang tua itu tidak mampu menjawab. Bahkan Go-bi Sin-kouw yang biasa pandai bicara, kini menunduk dengan muka merah. Akan tetapi, segera nenek ini dapat menguasai dirinya lagi dan dengan suara yang kurang galak dia berkata, “Kami mengejar untuk membawa kaisar dan ratu kembali ke benteng.”

Kaisar menudingkan telunjuknya ke arah empat orang tua itu, gerakan yang juga mengandung wibawa kemudian katanya lantang, “Dengarlah, hai para pengkhianat bangsa! Aku lebih percaya kepada seorang musuh seperti Raja Sabutai daripada kepada pengkhianat-pengkhianat seperti kalian! Kalau Sabutai yang datang menyusul, aku akan menyerah tanpa perlawanan. Akan tetapi aku tidak sudi menjadi tawanan kalian, dan lebih baik mati. Nona, beranikah engkau melawan mereka?”

In Hong mengangkat dadanya yang sudah membusung itu sehingga makin menonjol karena dia merasa kebanggaannya timbul dapat melindungi kaisar yang begini gagah sikapnya. “Tentu saja hamba berani!” jawabnya tegas.

“Nah, aku perintahkan engkau untuk membasmi pengkhianat-pengkhianat bangsa seperti mereka itu, nona!” kata pula kaisar dan dengan sikap tenang dia lalu menggandeng tangan Khamila, diajaknya duduk di bawah sebatang pohon agar wanita muda itu tidak kepanasan, duduk di atas rumput hijau sambil siap untuk menonton pertandingan. Biarpun dia yang terancam bahaya, namun kaisar bersikap tenang saja seolah-olah dia yakin akan kemenangan In Hong, atau seolah-olah dia tidak perduli lagi dengan apa yang akan terjadi pada dirinya.

“Enci Hong, hati-hatilah...!” Ratu Khamila juga berseru ke arah In Hong.

In Hong menoleh dan memandang ke arah ratu yang cantik itu dengan senyum terima kasih. Dia makin bangga. Kaisar itu muda dan gagah berani, ratu itu cantik jelita dan manis budi, sungguh tidak percuma membela orang-orang seperti mereka. Apalagi dia sendiri memang sejak dahulu merasa tidak suka kepada empat orang ini, terutama kepada Go-bi Sin-kouw karena dia masih teringat akan kematian kakak iparnya, isteri dari kakak kandungnya, Yap Kun Liong, yaitu wanita cantik yang tewas dalam keadaan menyedihkan itu. Sampai sekarang, dia mempunyai dugaan keras bahwa nenek inilah yang telah membunuh isteri kakak kandungnya itu.

In Hong melangkah maju menghadapi empat orang itu, sinar matanya menyambar-nyambar, kemudian dia berkata, “Aku tahu bahwa tiga orang locianpwe, Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, dan Bouw Thaisu hanyalah terbawa-bawa saja oleh Lima Bayangan Dewa dan yang menjadi perantara adalah Go-bi Sin-kouw! Kalau sam-wi locianpwe masih dapat menyadari kesalahan, boleh meninggalkan tempat ini dan kembali ke tempat masing-masing, akan tetapi kalau hendak menemani Go-bi Sin-kouw mati di sini, silakan!”

Hebat sekali ucapan gadis muda ini, karena biarpun kata-kata yang halus itu ditujukan kepada tiga orang tokoh yang merupakan datuk-datuk golongan hitam itu, namun jelas bahwa dia merendahkan Go-bi Sin-kouw dan juga membayangkan bahwa dia tidak takut menghadapi pengeroyokan mereka berempat!

“Heh-heh-heh, sungguh lancang mulutmu, bocah setan! Kaukira menghadapi kami akan semudah itu? Kaukira membunuh kami akan semudah kau membunuh isteri Yap Kun Liong yang tidak berdaya itu? Heh-heh, jangan mimpi!”

Kata-kata Go-bi Sin-kouw ini membuat seseorang yang sejak tadi bersembunyi di balik sebatang pohon besar hampir saja berseru kaget. Mukanya berobah dan dia mengintai dengan hati-hati dan perhatiannya makin tercurah karena hatinya tertarik sekali. Dia seorang laki-laki tua yang usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, berpakaian sederhana dan sikapnya masih gagah sekali. Tiba-tiba laki-laki tua ini menyelinap, gerakannya cepat bukan main dan tahu-tahu dia telah lenyap ke dalam semak-semak belukar. Yang menyebabkan dia menghilang ini adalah karena dia melihat berkelebatnya seorang lain yang baru datang, seorang yang juga seperti dia, menyelinap dan mengintai ke depan dan kini orang itu, seorang wanita cantik, dengan gerakan ringan sekali telah meloncat ke atas sebatang pohon besar dan dari cabang ke cabang dia berloncatan seperti seekor tupai saja, mendekati tempat In Hong menghadapi empat orang tua itu.

In Hong dan empat orang tua yang dihadapinya adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. Mereka sedang dalam keadaan siap untuk bertanding, dalam keadaan tegang dan perhatian mereka tercurah kepada lawan yang berada di depan masing-masing. Andaikata tidak sedang demikian, betapapun ringan dan cepat gerakan laki-laki tua dan wanita cantik itu, agaknya mereka berempat tentu akan dapat melihatnya atau setidaknya dapat menimbulkan kecurigaan mereka akan adanya orang yang mengintai.

Mendengar ucapan Go-bi Sin-kouw itu, In Hong menjadi merah mukanya, matanya menyorotkan sinar berkilat dan dia tersenyum mengejek. “Memang engkau seorang yang rendah, Go-bi Sin-kouw. Sejak dulu aku tahu bahwa engkau seorang pengecut yang suka memutarbalikkan kenyataan! Kau mengatakan bahwa aku membunuh isteri kakakku itu, akan tetapi tuduhanmu itu hanya untuk menutupi perbuatanmu yang hina! Tidak ada alasan bagiku mengapa aku harus membunuh isteri kakakku, sungguhpun aku tidak berhubungan dengan kakakku. Sebaliknya, isteri kakakku itu adalah bekas muridmu, dan sejak dahulu kau tidak setuju muridmu itu menjadi isteri kakakku. Kau memang nenek tua bangka hina...”

“Bocah setan, makanlah tongkatku!” teriak Go-bi Sin-kouw yang sudah marah sekali dan tongkatnya yang butut dan berwarna hitam itu sudah meluncur digerakkan oleh tangannya, mengirim serangan kilat ke arah perut In Hong.

“Huh!” In Hong mendengus dengan nada mengejek, lalu dia mengelak dengan mudah dan di detik berikutnya, sinar emas dari pedang Hong-cu-kiam telah menyambar ganas ke arah leher Go-bi Sin-kouw.

“Tranggg...!” Bunga api berpijar ketika tongkat nenek itu menangkis pedang akan tetapi nenek itu terhuyung dan hampir jatuh. Go-bi Sin-kouw sudah terlalu tua, usianya sudah tujuh puluh lima tahunan, tenaganya sudah banyak berkurang maka biarpun dia masih lihai dan ilmu pedangnya yang dimainkan dengan tongkat, yaitu Pek-eng Kiam-sut (Ilmu Pedang Garuda Putih) amat berbahaya namun karena sudah mulai lemah maka benturan tongkat dengan pedang In Hong yang masih memiliki tenaga sepenuhnya membuat dia hampir roboh.

Kembali kakek yang mengintai dari dalam semak-semak belukar itu membelalakkan matanya ketika melihat pedang di tangan In Hong yang tadinya dipakai sebagai sabuk. Dia memandang heran dan juga kagum, apalagi ketika kini tanpa banyak cakap Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, dan Bouw Thaisu maju mengeroyok! Kakek yang bersembunyi itu mengerutkan alisnya dan seluruh urat di tubuhnya menegang. Dia melirik ke arah kaisar dan kakek ini menggeleng-geleng kepala dengan kagum. Kaisar muda itu menonton dengan tenang, sedikitpun tidak khawatir dan dia masih merangkul leher Khamila yang cantik itu dengan amat mesra, kadang-kadang mencium rambut atau muka wanita itu sekilas dengan gerakan penuh kasih sayang!

“Gila... sungguh gila!” Kakek yang bersembunyi itu mengomel seorang diri. “Gila dan aneh.” Akan tetapi perhatiannya kembali tercurah ke tempat pertempuran di mana In Hong menghadapi pengeroyokan empat orang tua itu dari empat penjuru.

Gadis itu memang hebat sekali. Tubuhnya sampai lenyap terbungkus sinar pedang keemasan yang bergulung-gulung menyelimuti dirinya, bahkan kadang-kadang sinar pedang yang bergulung-gulung itu mencuat ke sana-sini menyambar ke arah empat orang pengeroyoknya secara yang tidak tersangka-sangka dan dengan kecepatan kilat.

Go-bi Sin-kouw menggerakkan tongkat butut hitam dengan penasaran. Dia masih berusaha mendapatkan kembali ketangkasannya puluhan tahun yang lalu, namun percuma, karena memang tenaganya sudah banyak berkurang, padahal Pek-eng Kiam-sut membutuhkan gin-kang hebat dan kecepatan seperti seekor burung garuda. Hwa Hwa Cinjin memainkan kebutannya yang terbuat dari bulu monyet salju yang hanya hidup di kutub utara dan kebutan ini amat kuat. Karena maklum bahwa gadis itu tidak boleh dipandang ringan, tosu ini tidak malu-malu untuk ikut mengeroyok dengan senjata di tangan, ditemani pula oleh Hek I Siankouw yang sudah menyerang pula dengan pedang hitamnya yang berbahaya. Akan tetapi, yang paling berbahaya di antara ketiga orang tua itu adalah Bouw Thaisu. Biarpun pertapa ini hanya mempergunakan lengan baju kanan kiri, akan tetapi ternyata sambaran lengan bajunya sedemikian kuatnya sehingga mengejutkan hati In Hong. Dia dapat menangkis semua senjata yang tiga macam itu dengan baik, bahkan setiap kali bertemu senjata, Go-bi Sin-kouw dan Hek I Siankouw selalu terhuyung atau terpental senjata mereka, dan Hwa Hwa Cinjinpun dengan susah payah dapat mengimbangi tenaganya, akan tetapi setiap kali pedangnya bertemu dengan lengan baju Bouw Thaisu, dia merasa betapa telapak tangannya tergetar!

“Bekas kaisar itu hanya menjadi penambah beban saja. Dan sebaliknya, sekarang juga paduka mengerahkan pasukan untuk menyerbu ke selatan selagi keadaan belum begitu dikuasai oleh pimpinan kaisar baru yang saya dengar amat lemah. Hal ini adalah karena terjadi perpecahan di antara para pembesar, sebagian ingin mempertahankan kedudukan Kaisar Ceng Tung yang tertawan di sini, sebagian lagi adalah pendukung Kaisar Ceng Ti. Selagi keadaan musuh lemah karena pertikaian sendiri, bukankah hal itu merupakan kesempatan yang baik sekali?”

Sampai beberapa lama Raja Sabutai mengerutkan alisnya yang tebal, kemudian dia berkata, “Sebetulnya aku masih meragu untuk menyerbu ke selatan yang amat kuat pertahanannya dan tadinya aku ingin mengambil jalan yang lebih aman, yaitu dengan menjadikan Kaisar Ceng Tung sebagai sandera. Akan tetapi dengan adanya perobahan ini, tentu saja amat baik sekali seperti yang kau usulkan, pangcu. Kita serbu Kerajaan Beng!”

“Dan Kaisar Ceng Tung...?” Yo Bi Kiok bertanya.

“Untuk sementara biarlah dia kami tahan dulu...”

“Akan tetapi hal itu berbahaya, Sri baginda.” Yo Bi Kiok membantah. “Tentu akan muncul orang-orang yang berusaha untuk membebaskannya. Kalau kita semua pergi berperang dan dia tidak dijaga kuat-kuat...”

“Biarlah saya akan menjaganya!” Tiba-tiba In Hong berkata menawarkan diri.

Yo Bi Kiok mengangguk-angguk. “Sebaiknya begitu. Harap paduka jangan khawatir, kalau murid saya ini yang tinggal di sini menjaganya, tidak akan ada orang yang dapat membebaskannya.”

Raja Sabutai memandang kepada In Hong dan mengangguk-angguk. “Kami percaya kepada nona Hong, dan selain menjaga agar Kaisar Ceng Tung jangan sampai lolos, juga kami menyerahkan keselamatan isteri kami kepada perlindungan nona Hong.”

In Hong mengangkat kepala memandang sang ratu. Khamila juga memandang kepadanya dan di antara kedua orang wanita muda ini terdapat rasa simpati, maka In Hong segera menjawab, “Saya akan melindungi keselamatan isteri paduka dengan taruhan nyawa!”

“Bagus! Legalah hatiku kalau begitu. Suhu dan subo,” Kini Raja Sabutai menoleh ke arah dua orang kakek dan nenek yang sejak tadi hanya mendengarkan sambil duduk melenggut saja. “Bagaimana pendapat suhu dan subo tentang penyerbuan ke selatan?”
Kakek dan nenek itu mengangguk dengan malas. “Kami hanya setuju saja...!” jawab mereka acuh tak acuh.

Maka sibuklah Raja Sabutai mengumpulkan para panglimanya, juga memanggil Wang Cin dan menyatakan rencananya menyerbu ke selatan. Tentu saja Wang Cin menjadi girang sekali dan diapun mempersiapkan semua anak buahnya untuk membantu penyerbuan Raja Sabutai ke selatan.

Dalam kesempatan bertemu dengan muridnya, Yo Bi Kiok berbisik kepada In Hong, “Muridku, dengar baik-baik. Kau harus melindungi kaisar dan sedapat mungkin selamatkan dia keluar benteng.”

lanjut ke Jilid 29-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar