Pendekar Sadis Jilid 031
<---Kembali
Dan ia berhasil. Dengan baik sekali karena dari percakapan tadi ia
diperkenalkan bahwa tamu agung yang harus dilayaninya adalah
Giok-lian-cu, seorang tokoh Pek-lian-kauw dari pusat yang tentu saja
amat dihormati oleh para pimpinan di situ. Juga, di dalam perjamuan tadi
ia diam-diam memperhatikan musuh Pendekar Sadis dan diam-diam ia merasa
serem dan ngeri. Tosu itu nampak demikian pendiam dan dingin, memandang
rendah segala sesuatu di sekelilingnya, bahkan dialah satu-satunya
orang di antara para tosu itu yang tidak bersikap merendah dan menjilat
terhadap tosu tamu muka tikus itu. Kim Lan maklum bahwa orang seperti
itu tentu amat kejam dan juga amat cerdik, maka ia bersikap amat
hati-hati.
Untung bahwa bukan kepada tosu musuh besar Pendekar Sadis itu ia harus
melayani, karena biarpun Tok-ciang Sian-jin itu jauh lebih menarik
sebagai pria dibandingkan dengan kakek muka tikus, namun ia akan merasa
ketakutan dan ngeri terhadap Tok-ciang Sian-jin dan tosu itu tentu akan
dengan mudah dapat membongkar rahasianya.
Dengan pengalaman yang luas dalam hal hubungan antara wanita dan pria,
Kim Lan dengan mudah saja membuat tosu muka tikus itu semakin terbuai
dan tergila-gila kepadanya, dan dari tosu inilah Kim Lan akhirnya dapat
memperoleh keterangan selengkapnya tentang diri Tok-ciang Sian-jin, di
mana tinggalnya, di pondok mana, dan apa kedudukannya di tempat itu.
Satu-satunya pertanyaan Si Muka Tikus yang membayangkan keheranan tanpa
kecurigaan hanyalah, "Eh, kenapa engkau tanya-tanya tentang Tok-ciang
Sian-jin?"
Kim Lan menjawab sambil merangkul dan tubuhnya agak menggigil seperti orang ketakutan dan ngeri.
"Mukanya begitu dingin dan sinar matanya kepadaku seolah-olah hendak
menembus jantungku. Itulah sebabnya aku ingin tahu siapa sih manusia
bermuka dingin itu."
Jawaban ini menyenangkan hati Giok-lian-cu dan diapun menceritakan semua
keadaan Tok-ciang Sian-jin seperti yang ditanyakan oleh wanita yang
malam itu benar-benar telah menghiburnya dan membuatnya merasa senang
sekali. Biarpun malam itu merupakan siksaan jasmani dan rohani bagi Kim
Lan yang harus melayani seorang kakek yang dibencinya, harus menurut
saja apapun yang dilakukan oleh laki-laki itu kepadanya, namun pada
keesokan harinya, ketika ia berpamit dan dibekali uang cukup banyak
untuk membayar dua gulung kulit harimau dan pelayanannya, Kim Lan pulang
dengan hati senang bukan main. Ia telah berhasil, ia akan membikin
girang hati Pendekar Sadis yang dipuja dan dicintanya!
Setelah Thian Sin mendengarkan semua keterangan dari Kim Lan tentang musuh besarnya, dia tersenyum girang.
"Terima kasih, Kim Lan. Kau tunggu saja di dalam hutan ini, aku mau pergi, tunggu sampai aku kembali!"
"Taihiap...!" Kim Lan berseru, akan tetapi pendekar itu telah lenyap dari depannya dengan cepat sekali.
Kim Lan duduk di atas batu sambil termenung, merasa kesepian dan juga
gelisah. Malam tadi ia telah melakukan tugas yang berat dan sekarangpun
ia masih merasa muak kalau teringat akan kakek si muka tikus. Akan
tetapi, pendekar itu tidak mau menghiburnya dan pergi begitu saja,
menyuruhnya tinggal seorang diri di tempat sunyi itu. Akan tetapi ia
percaya bahwa Pendekar Sadis tentu akan kembali dan kalau pendekar itu
sudah berhasil membunuh musuh besarnya, barulah ia akan menagih upah
sepuas hatinya atas jasa-jasanya membantu pendekar itu!
Sementara itu, Thian Sin sudah melakukan perjalanan cepat sekali menuju
ke sarang Pek-lian-kauw. Dia telah memperoleh keterangan dengan jelas
dari Kim Lan. Tok-ciang Sian-jin memang benar berada di sarang
Pek-lian-kauw, dan menurut keterangan wanita itu, Tok-ciang Sian-jin
bersembunyi di dalam sebuah pondok seorang diri di sebelah utara dusun
atau perkampungan Pek-lian-kauw itu. Dan perkampungan itu setiap saat
dijaga oleh anak buah Pek-lian-kauw sehingga tidak mungkin ada orang
asing dapat memasuki kampung tanpa diketahui mereka dan sebelum dia
sempat bertemu dengan musuh besarnya itu, tentu dia telah dilaporkan
terlebih dahulu dan fihak musuhnya dapat berjaga-jaga.
Akan tetapi, pada waktu pagi itulah kesempatannya yang paling baik
karena menurut keterangan Kim Lan, Tok-ciang Sian-jin berlatih samadhi
dan tidak keluar dari pondoknya dari pagi sampai sore, tosu itu melatih
ilmu silat kepada para pimpinan Pek-lian-kauw, atau setidaknya bertukar
pikiran tentang ilmu silat dan saling mengisi. Menurut penuturan kakek
muka tikus yang memberi keterangan kepada Kim Lan, katanya Tok-ciang
Sian-jin mempunyai hubungan baik sekali dengan Thian-hwa Lo-su dan
sering mewakili ketua itu untuk melatih ilmu silat kepada murid-murid
ketua itu, dan bahkan kepada para sute ketua itu yang merupakan dewan
pimpinan cabang Pek-lian-kauw. Tentu saja hal itu dilakukan sebagai
imbalan jasa Pek-lian-kauw yang sudah menerimanya untuk bersembunyi di
tempat itu dan juga tentu saja untuk perlindungan yang dijanjikan oleh
Pek-lian-kauw kepadanya untuk menghadapi musuh besarnya, demikian pikir
Thian Sin.
Dan memang sesungguhnya dugaan pemuda ini tidak meleset dari kenyataan.
Tok-ciang Sian-jin sudah mendengar tentang Pendekar Sadis itu, sudah
dapat menyangka siapa adanya pendekar kejam itu, dan dia merasa gentar
sekali. Maka dia sudah berunding dengan pimpinan Pek-lian-kauw untuk
minta bantuan mereka apabila musuh besarnya tiba, dan sudah memperoleh
janji dari pihak pimpinan Pek-lian-kauw.
Akan tetapi tentu saja Thian Sin tidak merasa takut menghadapi mereka
semua itu. Hanya dia bersikap cerdik, tidak mau memasuki sarang
Pek-lian-kauw begitu saja, karena kalau dia tidak hati-hati dan masuk
begitu saja, sebelum dia bertemu dengan musuhnya, dia akan ketahuan dan
musuhnya yang mendengar akan kedatangannya itu sangat boleh jadi akan
melarikan diri terlebih dulu. Dia harus dapat menyergap Tok-ciang
Sian-jin di pondoknya sebelum orang itu pergi, dan setelah itu, biar dia
akan dikeroyok oleh seluruh anggauta Pek-lian-kauw sekalipun, dia tidak
merasa gentar. Yang penting dia harus dapat bertemu dengan Tok-ciang
Sian-jin dan membunuh musuh besar ini sebelum orang itu sempat melarikan
diri lagi.
Ketika itu Thian Sin menyelinap di antara pohon-pohon di luar dusun
sebelah utara. Sampai beberapa lamanya dia diam saja bersembunyi tanpa
bergerak dan akhirnya dia dapat melihat tiga orang anggauta
Pek-lian-kauw yang mendekam di dalam parit, agak jauh di depannya. Hemm,
kiranya mereka itu berjaga sambil bersembunyi di dalam parit, seperti
barisan pendam. Tentu saja sukar bagi orang luar untuk memasuki wilayah
itu tanpa ketahuan, pikirnya. Dia lalu menyelinap di antara pohon dan
semak-semak, mempergunakan kepandaiannya sehingga gerakannya seperti
terbang saja, cepat sekali dia berpindah dari pohon ke pohon, bergerak
ke sebelah kanan. Tepat seperti yang diduganya, antara jarak seratus
meter dari parit itu, terdapat parit lain dengan tiga orang anggauta
Pek-lian-kauw yang berjaga sambil enak-enak duduk di dalam parit. Ketika
dia memeriksa ke kiri, di sebelah parit pertama, juga dalam jarak
seratus meter, terdapat parit lain. Kiranya demikian ketat penjagaannya.
Thian Sin bergerak cepat, setelah dia merunduk dan bergerak sambil
tiarap di antara rumput, mendekati parit pertama, setelah tiba dekat
tubuhnya terjun ke bawah dan sebelum tiga orang itu sempat mengeluarkan
suara, hanya memandang dengan mata terbelalak, dalam beberapa detik saja
Thian Sin telah merobohkan mereka dengan menotok mereka. Gerakannya
terlampau cepat bagi tiga orang penjaga ini sehingga mereka itu sebelum
tahu apa yang terjadi telah roboh terkulai pingsan! Thian Sin cepat
menggunakan sabuk mereka untuk mengikat kaki tangan mereka, lalu
menggunakan baju mereka untuk menyumbat mulut mereka sehingga kalau
mereka siuman kembali, mereka takkan dapat berkutik atau berteriak.
Semua ini dilakukannya dalam waktu kurang dari lima menit dan di lain
saat, dia sudah bergerak seperti seekor ular, bertiarap dan merangkak
maju menuju ke parit ke dua di sebelah kiri. Kembali dia menaklukkan
tiga orang penjaga seperti tadi dan tak lama kemudian dia sudah
meninggalkan mereka menuju ke parit ke tiga dalam keadaan terikat dan
tersumbat mulut mereka seperti tiga orang teman mereka yang pertama
tadi. Tanpa banyak mengalami kesukaran, Thian Sin juga membuat tiga
orang penjaga di parit ke tiga tidak berdaya.
Giranglah hatinya dan diapun cepat bergerak maju. Akan tetapi dia tidak
kehilangan kewaspadaannya. Biarpun dia sudah membersihkan jalan masuk
dengan menundukkan para penjaga di tiga parit, dan dia percaya bahwa
penjaga di parit yang lain jauh untuk dapat melihatnya, dia masih maju
dengan sangat hati-hati. Pondok yang paling ujung itu, pondok tempat
tinggal Tok-ciang Sian-jin sudah nampak. Akan tetapi Thian Sin menahan
kegembiraan hati yang dapat membuat orang menjadi lengah itu. Dia tetap
berhati-hati dan memeriksa keadaan sekelilingnya dengan teliti. Dan
sikapnya ini berhasil baik ketika tiba-tiba dari jauh dia melihat
gerakan di atas pohon. Cepat dia menyelinap di balik semak-semak belukar
dan mengintai. Ternyata di atas pohon itu terdapat seorang penjaganya!
Ah, tentu di lain-lain pohon yang agaknya sengaja ditanam di sekeliling
daerah itu tentu ada penjaganya yang bersembunyi. Untuk melumpuhkan
penjaga di atas pohon itu seperti yang dilakukannya terhadap para
penjaga di parit tidaklah mudah, pikirnya. Tentu gerakannya itu akan
nampak oleh para penjaga lain di pohon lain, atau bahkan nampak dari
jendela pondok itu. Siapa tahu Tok-ciang Sian-jin sedang melihat dari
sana. Thian Sin memutar otak mencari akal.
Kemudian dia mengambil keputusan untuk mempergunakan kepandaiannya yang
lain, yaitu ilmu sihirnya. Dengan langkah tetap dia lalu bangkit dan
berjalan menghampiri pohon itu! Dia telah berada di dalam wilayah
Pek-lian-kauw setelah dapat melampaui para penjaga di parit tadi, maka
biarlah dia berlagak seperti bukan orang asing di daerah itu! Setelah
tiba di dekat pohon dia lalu memandang ke atas, ke arah penjaga yang
sejak tadi tentu saja telah melihatnya dan sudah mempersiapkan anak
panah di busurnya untuk menyerang ke bawah itu.
Akan tetapi penjaga itu menjadi ragu-ragu ketika pemuda yang berada di
bawah itu menggapai dengan tangan, tersenyum ramah dan berkata, "Hai,
kawan, aku ada pesan penting sekali dari ketua. Turunlah, akan
kuberitahukan padamu!"
Penjaga itu meragu, akan tetapi melihat sikap pemuda ini dan melihat
bahwa pemuda itu telah berada di daerah mereka sendiri, berarti bukan
orang asing karena orang asing takkan mungkin mampu melewati para
penjaga parit, dan mendengar bahwa pemuda itu membawa pesan penting dari
ketua, dia menjadi ingin tahu dan cepat memanjat turun dari pohon.
Pemuda itu tidak membawa senjata dan sikapnya tidak seperti seorang
musuh, maka diapun tidak khawatir.
Akan tetapi ketika dia sudah berdiri berhadapan dengan pemuda itu, dia
melihat sepasang mata yang mencorong seperti mata harimau. Penjaga itu
terkejut sekali, namun terlambat karena dia sudah tunduk di bawah
pengaruh pandang mata Thian Sin yang kini berkata dengan suara lirih
namun mengandung penuh wibawa, terutama sekaii terasa oleh orang itu
sebagai perintah yang tak mungkin dibantah.
"Antarkan aku menghadap Tok-ciang Sian-jin ke pondoknya!"
"Baik, kuantarkan, marilah," jawab penjaga itu seakan-akan dia bicara dengan seorang rekannya sendiri.
Tentu saja hal ini adalah hasil dari kekuatan sihir Thian Sin yang
memaksa orang itu percaya bahwa dia adalah seorang temannya. Para
penjaga lain di atas pohon yang berada di kanan kiri tentu saja melihat
hal ini, akan tetapi karena penjaga itu menerima Si Pemuda dengan baik,
bahkan mengajaknya berjalan menuju ke pondok tempat tinggal Tok-ciang
Sian-jin, tentu saja para penjaga lain itu tidak menaruh curiga dan
mengira bahwa pemuda itu adalah penduduk dusun atau juga orang yang
sudah dikenal oleh penjaga itu maka dapat diterima. Apalagi melihat
orang itu dibawa oleh si penjaga menuju ke pondok Tok-ciang Sian-jin,
para penjaga lain itu tersenyum. Mereka sudah mengenal watak Tok-ciang
Sian-jin, yang lebih suka berdekatan dengan seorang pemuda tampan
daripada dengan wanita.
Dan pemuda itu, biarpun kelihatan dari jarak agak jauh, memang nampak
tampan! Berdebar tegang juga rasa hati Thian Sin setelah mereka berdua
mendekati pondok itu. Di sinilah orang yang selama ini dicari-carinya!
Hatinya berdebar karena tegang dan girang, juga khawatir kalau-kalau dia
gagal.
"Panggil dia keluar, katakan ada tamu yang membawa berita penting untuknya!" bisiknya dengan pengerahan tenaga sihirnya.
Orang itu mengangguk dan mengetuk pintu pondok yang tertutup dengan hati-hati.
"Sian-jin harap suka buka pintu, ada tamu yang membawa berita penting sekali untuk Sian-jin!"
Sunyi saja di dalam. Tidak ada jawaban. Penjaga itu, atas desakan Thian
Sin, mengetuk lagi dan mengulang kata-ketanya sampai beberapa kali. Akan
tetapi tetap saja sunyi, tidak ada jawaban dari dalam. Tentu saja Thian
Sin menjadi curiga dan khawatir kalau-kalau gagal. Dia lalu menerjang
ke depan, mendorong pintu dengan kedua tangannya.
"Brakkk...!" Pintu itu jebol dan terbuka.
Thian Sin dengan berani meloncat ke dalam pondok, membiarkan penjaga itu
bengong terlongong, seperti baru bangun dari tidur dan merasa
terheran-heran mengapa dia berada di depan pondok itu melihat orang
menjebol pintu pondok, padahal seharusnya dia berjaga di atas pohon!
Thian Sin bergerak cepat di dalam pondok, memeriksa seluruh isi pondok.
Ternyata pondok itu kosong! Burung itu telah terbang! Dia telah ditipu,
atau bahkan dijebak! Dengan marah dia lalu menendangi semua barang di
dalam pondok itu sehingga terdengar suara hiruk-pikuk dan barang-barang
di situ rusak semua. Tiba-tiba terdengar suara ketawa di luar pondok!
"Ha-ha-ha, Pendekar Sadis! Engkau telah masuk perangkap!"
Thian Sin menjadi marah sekali, tidak tahu marah kepada siapa. Dia tidak
tahu apakah Kim Lan mengkhianatinya? Agaknya tidak demikian. Lebih
besar kemungkinan bahwa memang Pek-lian-kauw ini lihai sekali sehingga
mereka sudah tahu akan kunjungannya sehingga sebelum dia tiba di pondok,
Tok-ciang Sian-jin telah pergi dulu dan membiarkan dia memasuki pondok
kosong. Dia lalu menerjang keluar dan ternyata orang yang dicarinya itu,
Tok-ciang Sian-jin, memang sudah berada di luar, berdiri dengan tegak
di samping tujuh orang berjubah pendeta yang dia duga tentulah
tokoh-tokoh Pek-lian-kauw, dan di belakang orang-orang itu nampak
puluhan orang anggauta Pek-lian-kauw.
Tempat itu telah dikurung oleh para anggauta Pek-lian-kauw. Thian Sin
tersenyum mengejek. Sikapnya tenang sekali walaupun dia maklum bahwa dia
telah dikurung oleh sedikitnya seratus orang, dan dia berhadapan dengan
orang-orang yang memiliki ilmu silat tinggi. Bahkan dia masih mampu
mengeluarkan kata-kata yang dinyanyikannya untuk mengejek lawannya,
"Seekor buaya selalu memilih pecomberan di mana dia akan merasa senang.
Seorang Ciu Hek Lam, biarpun sudah berjuluk Tok-ciang Sian-jin, merasa
perlu untuk menyembunyikan dirinya di antara orang-orang Pek-lian-kauw
yang tidak segan-segan untuk melakukan pengeroyokan. Betapa menjemukan!"
Mendengar ini, para pimpinan cabang Pek-lian-kauw menjadi merah mukanya,
sedangkan Tok-ciang Sian-jin diam saja, hanya memandang dengan tajam,
wajahnya yang dingin sama sekali tidak membayangkan sesuatu. Senjatanya
pecut baja masih terlibat di pinggangnya, dan dia selalu mengikuti
gerak-gerik Thian Sin dengan penuh perhatian. Diam-diam dia merasa heran
sekali bagaimana seorang yang masih begini muda telah memiliki
kepandaian yang demikian menggiriskan, bahkan telah dikenal sebagai
Pendekar Sadis yang sepak terjangnya mendirikan bulu roma.
Untunglah dia bersikap waspada dan dia sudah curiga kepada wanita
pembawa dua gulung kulit harimau itu, maka diam-diam setelah wanita itu
pergi, dia mengadakan perundingan dengan para pimpinan Pek-lian-kauw,
menyatakan kecurigaannya dan diam-diam diapun sudah bersiap-siap
sehingga ketika pemuda itu muncul, dia telah mengetahuinya terlebih dulu
dan mengatur jebakan. Kini pemuda itu telah terkurung dan menurut
kehendaknya, dia ingin lekas-lekas melihat pemuda yang merupakan ancaman
baginya itu dienyahkan dari muka bumi. Akan tetapi, di depan para orang
Pek-lian-kauw, tentu saja dia merasa malu untuk memperlihatkan rasa
takutnya, apalagi di situ terdapat Giok-lian-cu yang kabarnya amat lihai
itu.
Sementara itu, mendengar ucapan Thian Sin yang dilagukan seperti
nyanyian ejekan ini, pendeta bermuka tikus itu lalu tertawa dan diapun
lalu memandang kepada Thian Sin dengan sinar mata yang amat tajam,
seolah-olah ada getaran keluar dari sinar matanya, lalu mulutnya
mengeluarkan suara yang juga mengandung getaran amat berwibawa, sehingga
terasa oleh semua orang yang berada di situ.
"Orang muda, engkau berhadapan dengan Giok-lian-cu. Engkau telah
terkurung, melawanpun tidak ada gunanya. Orang muda, lihatlah baik-baik
padaku dan kuperingatkan engkau untuk lekas berlutut dan menyerah!"
Thian Sin merasa bahwa ada kekuatan yang cukup hebat seperti hendak
memaksanya berlutut. Namun dia dapat menangkis dan melawan kekuatan
sihir ini, akan tetapi dia lalu mempunyai akal. Mengapa dia tidak
pura-pura menurut? Kalau dia sudah berlutut, tentu Tok-ciang Sian-jin
akan turun tangan menyerangnya dan saat itu, selagi semua orang lengah,
dia akan dapat menyerang musuh besarnya itu dan merobohkannya! Kalau
sekarang dia menyerang, tentu akan terdapat banyak orang yang melindungi
Tok-ciang Sian-jin sehingga dia khawatir kalau-kalau serangannya akan
gagal dan dia keburu dikepung ketat sehingga musuh besarnya itu akan
mampu melarikan diri lagi. Maka, setelah memperhitungkan dengan cepat,
diapun lalu menjatuhkan diri berlutut!
Melihat ini, Giok-lian-cu tertawa bergelak dengan hati penuh kebanggaan.
Dia telah berhasil memperlihatkan kepandaiannya, disaksikan oleh semua
anak buah Pek-lian-kauw. Dan memang semua orang mengeluarkan seruan
kagum melihat betapa dengan sekali perintah saja, pemuda yang
didesas-desuskan sebagai Pendekar Sadis itu telah menjatuhkan diri
berlutut di depan tamu dari Pek-lian-kauw pusat itu!
Sementara itu, melihat pemuda itu menjatuhkan diri berlutut Tok-ciang
Sian-jin merasa girang sekali dan menurutkan kata hatinya, ingin dia
segera menubruk, menyerang dan membunuh pemuda itu. Sudah dilolosnya
cambuk atau pecut bajanya dari pinggangnya, akan tetapi kecerdikannya
menahan tangannya untuk bergerak, sebaliknya dia lalu berkata kepada dua
orang sute dari Thian-hwa Lo-su yang juga dapat disebut muridnya karena
lima orang itu sering kali menerima petunjuk-petunjuknya dalam ilmu
silat.
"Lekas ringkus dia, tapi patahkah dulu kedua tulang pundaknya!"
Dua orang sute dari Thian-hwa Lo-su cepat menubruk maju dari kanan kiri.
Merekapun ingin berjasa dan memperlihatkan kepandaian, dan tentu saja
mereka berani melakukan ini bukan hanya karena tingkat kepandaian
merekapun sudah tinggi akan tetapi terutama melihat keadaan pemuda itu
yang sudah dikuasai oleh sihir dari Giok-lian-cu. Jangankan pemuda itu
sudah tak berdaya, biarpun pemuda itu masih sehat sekalipun kalau mereka
maju berdua, mereka tidak merasa takut. Nama besar Pendekar Sadis itu
mungkin omong kosong belaka, pikir mereka, melihat keadaan usia pemuda
ini yang masih begitu muda. Maka, sekali menubruk, keduanya sudah
menghantamkan tangan terbuka dengan pengerahan sin-kang untuk
menghancurkan tulang pundak kanan kiri Thian Sin.
Diam-diam Thian Sin kecewa bukan main. Siasatnya memang sudah berhasil
dan orang menyangka dia benar-benar telah dikuasai ilmu sihir dari tosu
muka tikus itu. Akan tetapi sialnya, bukan Tok-ciang Sian-jin yang maju
sendiri walaupun orang itu telah melolos senjata, melainkan menyuruh dua
orang tosu Pek-lian-kauw yang lain.
Akan tetapi, tentu saja dia tidak sudi tulang pundaknya diremukkan orang
dan melihat angin pukulan yang cukup dahsyat itu berbahayalah tulang
pundaknya kalau dia tidak melawan.
"Dess! Desss!" Thian Sin bangkit menangkis dan tubuh dua orang pimpinan
Pek-lian-kauw itu terlempar ke kanan kiri dan terbanting keras.
Thian Sin tidak berhenti sampai sekian saja, sambil membentak, "Tok-ciang Sian-jin pengecut hina!"
Dia sudah menerjang dan mengirim pukulan dahsyat ke arah Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam.
"Desss...! Desss...!" Tok-ciang Sian-jin dan juga Thian-hwa Lo-su yang
ikut menangkis serangan itu untuk melindungi sahabatnya, terjengkang dan
keduanya tentu akan terbanting pula kalau mereka tidak cepat berjungkir
balik.
"Tar-tar-tarrr!" Cambuk baja di tangan Tok-ciang Sian-jin sudah meledak-ledak ke atas kepala Thian Sin.
Akan tetapi setiap serangan cambuk itu membalik ketika bertemu dengan
jari-jari tangan pemuda itu. Dari samping menyambar angin pukulan
dahsyat sekali. Thian Sin terkejut, maklum akan datangnya serangan yang
kuat. Cepat ia membalik dan menangkis sambil menggunakan tenaga
Thi-khi-i-beng.
"Plakk! Ahhhhh... ahhhhh, lepaskan...!" Giok-lian-cu terkejut bukan main
ketika melihat betapa lengannya melekat dengan lengan pemuda itu dan
betapa tenaga sin-kangnya membanjir keluar dari tubuhnya melalui lengan
yang merapat dengan lengan pemuda itu.
Melihat ini, Thian-hwa Lo-su juga menampar ke arah kepala Thian Sin.
Pemuda itu miringkan kepalanya, dan menerima tamparan itu dengan pangkal
lengannya.
"Plakk! Aihhhhh... lepaskan tanganku...!" Thian-hwa Lo-su juga berseru
dan kedua orang ini sudah mengerahkan tenaga untuk menarik tangan mereka
akan tetapi sungguh celaka, makin besar mengerahkan tenaga, makin hebat
pula tenaga mereka membanjir keluar.
"Itu Thi-khi-i-beng, jangan kerahkan sin-kang!" Tiba-tiba Tok-ciang
Sian-jin berseru keras dan cambuknya menyambar-nyambar lagi, kini
cambuknya itu seperti burung mematuk-matuk mengarah ubun-ubun kepala,
kedua mata dan bagian-bagian yang lemah lainnya.
Menghadapi ini, Thian Sin terpaksa berlompatan dan melepaskan dua orang
yang melekat pada lengannya tadi. Akan tetapi, sebelum ia mampu mendesak
Tok-ciang Sian-jin, para tosu lain telah mengurung dan mengeroyoknya.
Juga Thian-hwa Lo-su dan Giok-lian-cu yang marah sekali karena
dipermainkan pemuda ini, telah maju mengeroyok sambil mengeluarkan
senjata masing-masing. Bukan hanya mereka, bahkan kini banyak anggauta
Pek-lian-kauw yang mengepung dan mendesaknya. Para anggauta ini
dikerahkan oleh Tok-ciang Sian-jin yang tiba-tiba saja menghilang di
antara banyak anggauta Pek-lian-kauw itu.
"Tok-ciang Sian-jin manusia pengecut, jangan lari kau!" Thian Sin
membentak marah, akan tetapi orang itu sudah menghilang dan dia
dikeroyok oleh banyak sekali orang.
Thian Sin mengamuk, akan tetapi dia tidak mau membunuh orang karena dia
tidak merasa bermusuhan dengan perkumpulan itu walaupun perkumpulan itu
telah melindungi musuh besarnya. Dia tidak begitu bodoh untuk menanam
permusuhan dengan perkumpulan besar itu, sama saja dengan mencari
penyakit. Setelah musuhnya benar-benar lenyap, diapun merobohkan
beberapa orang pengeroyok dengan angin dorongan kedua tangan, kemudian
tubuhnya mencelat ke atas genteng.
"Pek-lian-kauw bukan musuhku!" teriaknya dan diapun berloncatan cepat
sekali dan menghilang di balik pohon-pohon di luar dusun itu.
Giok-lian-cu melarang anak buahnya mengejar, dan Thian-hwa Lo-su memberi
perintah agar penjagaan lebih diperketat. Kemudian mereka dengan hati
kecil dan gentar membicarakan kehebatan ilmu kepandaian pemuda itu yang
terkenal dengan sebutan Pendekar Sadis, dan mereka bergidik. Untung
pemuda itu tidak menganggap Pek-lian-kauw sebagai musuh, kalau demikian
halnya, tentu telah jatuh banyak korban tadi. Dan merekapun merasa tidak
perlu bermusuhan dengan pemuda yang demikian lihainya, maka para
pimpinan Pek-lian-kauw itu menganjurkan kepada Tok-ciang Sian-jin untuk
bersembunyi di kamar rahasia dan jangan keluar dulu sebelum pemuda itu
benar-benar meninggalkan daerah itu. Juga Giok-lian-cu terpaksa dengan
terus terang mengatakan kepada Tok-ciang Sian-jin untuk mencari tempat
perlindungan lain saja karena Pek-lian-kauw tidak mau terbawa-bawa ke
dalam permusuhan dengan Pendekar Sadis.
***
"Sungguh mati, taihiap, apakah aku telah menjadi gila, berani
mengkhianatimu? Aku sampai harus menahan diri dari kemuakan ketika aku
terpaksa melayani mereka, dan... ah, sudah kukatakan bahwa aku mau mati
untuk membantumu, taihiap. Apakah engkau masih tidak percaya bahwa aku
telah menyerahkan seluruh jiwa ragaku kepadamu?"
"Tidak perlu semua janji dan sumpah itu, kalau memang benar perasaanmu
itu, nah, engkau sekarang harus dapat memancing keluar Tok-ciang
Sian-jin dari tempat sembunyinya."
"Baik, saya akan melakukan segala perintahmu," kata Kim Lan dengan sikap
menantang, untuk membuktikan bahwa ia memang tidak mengkhianati pemuda
itu. "Asalkan... asalkan engkau tidak melupakan semua pembelaanku,
taihiap..." katanya dengan sikap manja.
Thian Sin tersenyum dan karena dia membutuhkan bantuan wanita ini, maka
diapun mengulurkan kedua tangannya dan menerima wanita itu yang
menubruknya dan merangkulnya dengan isak tertahan saking gembiranya.
Thian Sin sengaja tidak pernah memperlihatkan diri sampai dua minggu
lamanya. Dan setelah dia menduga bahwa fihak Pek-lian-kauw tentu mengira
dia telah pergi dan mencari jejak Tok-ciang Sian-jin di lain tempat,
apalagi ketika Thian Sin sengaja melakukan kegemparan dengan mcmbasmi
beberapa orang penjahat di kota-kota yang berjauhan dari kota raja dan
dari dusun Tiong-king, barulah Thian Sin menyuruh Kim Lan berjalan
seorang diri di lereng Pegunungan Tai-hang-san, pura-pura hendak berburu
binatang. Tentu saja diam-diam dia membayangi wanita ini dari jarak
tidak terlampau jauh, akan tetapi dengan hati-hati sekali sehingga tidak
akan ada orang yang dapat melihatnya. Selama dua hari tidak terjadi
sesuatu, tidak ada yang menegur atau menemui Kim Lan. Akan tetapi pada
hari ke tiga, pagi-pagi sekali, ketika Kim Lan mengejar-ngejar seekor
kelinci gemuk untuk ditangkapnya, tiba-tiba saja kelinci putih gemuk itu
roboh berlumuran darah. Kim Lan terkejut sekali dan menghampiri kelinci
itu. Ketika diperiksanya, ternyata kepala kelinci itu pecah! Dia
mengambil kelinci itu dan menoleh ke kanan kiri, dengan wajah
membayangkan keheranan.
"Kepalamupun akan kupecahkan seperti kepala kelinci itu!" Tiba-tiba
terdengar suara halus dan dari atas melayanglah turun seorang berpakaian
jubah kuning.
Tok-ciang Sian-jin! Seketika tubuh Kim Lan menggigil, bukan dibuat-buat
biarpun dia tahu dilindungi oleh Pendekar Sadis. Memang wanita ini
semenjak pertemuan pertama sudah merasa takut sekali kepada tosu ini,
maka munculnya tosu itu secara tiba-tiba benar-benar membuat dia
menggigil dan merasa ngeri.
"Pelacur hina! Tentu engkau yang telah mengkhianatiku dan menyelidiki
keadaanku untuk kaulaporkan kepada Pendekar Sadis! Hayo mengaku sebelum
kuhancurkan kepalamu seperti kepala kelinci ini!" bentak Tok-ciang
Sian-jin dengan suara yang menyeramkan dan wajahnya yang dingin itu
sungguh nampak menakutkan sekali bagi Kim Lan. Wanita ini merasakan
kedua lututnya menggigil.
"Tidak... ti... tidak...!" Suara Kim Lan juga menggigil dan diam-diam
wanita ini merasa gelisah sekali mengapa Pendekat Sadis belum juga
muncul, padahal ia seperti merasa betapa maut telah mengelus-elus
kepalanya.
"Hemm, tidak ada gunanya kau membohong. Engkau kaki tangan Pendekar
Sadis, atau setidaknya, ketika engkau datang menjual kulit harimau itu,
engkau menyelidiki aku kemudian melaporkan kepada Pendekar Sadis. Hayo
katakan di mana dia sekarang berada?"
"Tok-ciang Sian-jin, aku berada di sini!" Tiba-tiba terdengar suara ini
yang seketika membuat mata kakek itu yang biasanya sipit seperti
terpejam kini terbelalak dan mukanya yang sudah pucat itu menjadi
semakin pucat seperti mayat.
"Bagus! Kalau begitu kita akan mengadu nyawa di sini! Mampuslah kau,
perempuan laknat!" Cambuk baja di tangannya bergerak dan suara
meledak-ledak ketika ujung cambuk itu menyambar ke arah ubun-ubun kepala
Kim Lan.
Akan tetapi, secepat kilat Thian Sin sudah meloncat dan menangkis
cambuk, membarenginya dengan tendangan kakinya ke arah Kim Lan. Tubuh
Kim Lan terlempar, sampai bergulingan akan tetapi ia selamat dari
cengkeraman maut di ujung cambuk baja tadi.
Tok-ciang Sian-jin yang sama sekali tidak menyangka bahwa musuh besarnya
akan berada di situ, kini maklum bahwa dia telah masuk perangkap. Bahwa
adanya wanita yang berkeliaran di tempat ini dan kelihatan berburu
kelinci, sebetulnya merupakan umpan untuk memancingnya keluar, sedangkan
musuh besarnya itu memang selalu membayangi wanita itu. Tahulah dia
bahwa tidak ada jalan lari lagi baginya, dia menyerang dengan dahsyat.
Cambuknya meledak-ledak mengeluarkan asap dan tangan kirinya juga
melakukan serangan pukulan beracun.
Tokoh ini terkenal dengan kelihaiannya yang mengerikan, yaitu tangan
beracun dan pukulan tangan kirinya itu tidak kalah lihainya dibandingkan
dengan sambaran pecut bajanya. Namun, sekali ini dia menghadapi Thian
Sin yang telah memiliki tingkat kepandaian yang jauh melampauinya.
Pukulan-pukulan tangan kiri itu disambut Thian Sin dengan berani, dan
bukan pemuda itu yang menderita oleh tangan beracun lawan, melainkan
Tok-ciang Sian-jin sendiri yang tergetar hebat dan dari pertemuan tangan
itu menjalar hawa yang panas dan amat kuat. Itulah tenaga Thian-te
Sin-ciang yang amat hebat, yang sekaligus mengembalikan semua hawa
beracun yang keluar dari tangannya. Dan cambuk bajanya juga dapat
dihadapi dengan amat mudah oleh Thian Sin!
Pemuda itu seolah-olah mempermainkannya seperti seekor kucing
mempermainkan seekor tikus. Kalau pemuda itu menghendaki, tentu dengan
mudah dia merobohkan lawannya. Akan tetapi Thian Sin tidak mau begitu
saja. Dia mempermainkan lawan, mengelak ke sana-sini, kadang-kadang
mengirim tamparan yang hanya membuat tubuh lawan terhuyung dan tiada
hentinya dia mengejek.
"Hemmm, pengecut yang hanya berani main keroyok. Kalau tidak mengeroyok,
dalam beberapa jurus saja ayahku atau ibuku tentu telah mampu
membunuhmu. Pengecut! Hayo keluarkan semua ilmumu untuk melawanku!
Plak!"
Kembali sebuah tamparan yang cukup keras membuat kakek ini mulai menjadi
ketakutan. Dia tahu benar bahwa dia tidak akan mampu menandingi putera
Pangeran Ceng Han Houw ini, dan kalau dia teringat akan kekejamannya
sebagai Pendekar Sadis, keringat dingin keluar dari leher dan mukanya.
Dia tidak takut mati, akan tetapi membayangkan kekejaman pemuda itu,
benar-benar dia merasa ngeri sendiri. Maka, setelah cambuknya menyambar
dan pemuda itu mengelak sambil tertawa, diapun lalu membalikkan tubuhnya
dan menggunakan gin-kangnya untuk mencoba lari dari tempat itu menuju
ke sarang Pek-lian-kauw di balik puncak. Akan tetapi, tiba-tiba ada
angin berkesiur dan bayangan berkelebat, tahu-tahu pemuda itu telah
berdiri di depannya! Dia membalik dan lari lagi, namun lagi-lagi pemuda
itu telah mendahuluinya dan menghadang sambil tertawa.
Akhirnya, Tok-ciang Sian-jin putus asa dan untuk yang terakhir kali, dia
mengerahkan seluruh tenaganya, menyalurkan tenaga itu pada cambuknya
dan menyerang sekuat tenaga. Cambuknya meledak dahsyat dan menyambar
dengan totokan, ujung cambuk meluncur dan menjadi kaku menusuk ke arah
leher Thian Sin. Sungguh serangannya ini amat hebat dan berbahaya sekali
sehingga Thian Sin sendiri sampai terkejut dan cepat pemuda ini
miringkan tubuhnya dan dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, sebelum
ujung cambuk lewat atau ditarik kembali, jari-jari tangannya telah
menjepit ujung cambuk itu dan saat itu juga dia telah mempergunakan
Thi-khi-i-beng.
Daya sedot yang amat kuat menjalar melalui cambuk itu sehingga ketika
Tok-ciang Sian-jin mengerahkan tenaga hendak membetot cambuknya, tenaga
sin-kangnya membanjir keluar. Terkejutlah kakek itu dan cepat dia
melepaskan tenaga sin-kangnya, akan tetapi pada saat itu, Thian Sin
telah menarik cambuk itu sehingga terlepas dan terampas olehnya. Tangan
kiri Thian Sin bergerak memukul dan tubuh Tok-ciang Sian-jin
terpelanting keras. Habislah harapan kakek itu dan karena dia tidak
ingin disiksa, dia sudah menggerakkan tangan kirinya ke arah ubun-ubun
kepalanya sendiri, akan tetapi... tiba-tiba dia terbelalak karena tangan
kiri itu tidak dapat digerakkannya lagi. Dia mencoba tangan kanan, akan
tetapi juga tangan kanannya tidak dapat digerakkan. Kiranya, dengan
kecepatan yang luar biasa Thian Sin yang maklum bahwa lawannya hendak
membunuh diri, telah mendahuluinya dan menggerakkan cambuk baja
rampasan, menotok ke arah kedua pundak kakek itu sehingga membuat kakek
itu lumpuh kedua lengannya dan tidak mampu digerakkan.
"Hemm, jangan mengira akan enak saja engkau menghabisi nyawamu sendiri,
Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam. Terlalu enak bagimu!" kata Thian Sin
sambil tertawa dan dari jauh, Kim Lan yang nonton pertempuran itu
bergidik.
Wanita ini sendiri bukan orang lemah dan sudah banyak ia melihat
kekejaman dilakukan orang, namun menyaksikan sikap Pendekar Sadis, ia
benar-benar bergidik dan hampir ia tidak berani melihat apa yang hendak
dilakukan oleh pendekar itu terhadap diri Tok-ciang Sian-jin. Betapapun
juga, ia semakin kagum melihat betapa dengan mudahnya pemuda itu dapat
merobohkan lawan, bahkan mampu pula mencegah lawan yang hendak membunuh
diri.
"Ceng Thian Sin, aku sudah kalah olehmu, bunuhlah, siapa yang takut
mati?" bentak Tok-ciang Sian-jin, bersikap galak dan berani, padahal dia
menggigil kalau teringat bahwa dia terjatuh ke tangan Pendekar Sadis
yang sepak terjangnya sudah banyak didengarnya itu.
"Ayah bundaku tewas dikeroyok ratusan orang lawan yang tidak seimbang, maka engkaupun harus mati dikeroyok!"
"Apa... apa maksudmu...?" Tok-ciang Sian-jin kini tidak lagi menyembunyikan rasa ngeri dan takutnya, suaranya gemetar.
"Kaulihat saja nanti...!" Thian Sin lalu menggerakkan cambuknya dan
ujung cambuk panjang itu melibat tubuh kakek itu, lalu diseretnya kakek
itu menuju ke sebuah pohon besar yang agaknya memang sudah dipersiapkan
oleh Thian Sin untuk keperluan ini.
Sebuah pohon besar dan di atas pohon itu penuh dengan semut-semut besar,
semacam semut yang suka makan bangkai, semut yang ganas sekali,
berwarna merah darah! Melihat semut-semut itu, mengertilah Tok-ciang
Sian-jin dan diapun berteriak-teriak.
"Jangan...! Jangan... bunuh saja aku...!"
Akan tetapi Thian Sin hanya tersenyum dan cambuk rampasan di tangannya
itu menyambar-nyambar dan dalam waktu singkat saja semua pakaian tosu
itu telah direnggut lepas dan tosu itu sudah telanjang bulat. Lalu
cambuk itu beberapa kali menyambar, melecuti tubuh itu dan
pecah-pecahlah kulit tubuh itu, membuat guratan-guratan berdarah yang
panjang. Kemudian, dengan sabuk tosu itu sendiri, Thian Sin mengikat
pinggang tubuh yang berdarah-darah itu lalu menggantung tubuh itu di
cabang pohon. Kemudian, dengan cambuknya, dia melecuti sarang-sarang
semut merah di cabang-cabang.
Mengamuklah semut-semut itu dan akhirnya menemukan korban, yaitu tubuh
Tok-ciang Sian-jin. Mulailah mereka mengeroyok, menggigit dan tosu itu
tanpa malu-malu lagi menjerit-jerit, meronta-ronta, menangis dan
minta-minta ampun. Akan tetapi Thian Sin hanya tertawa saja dan
semut-semut itu makin banyak berdatangan, menggigiti seluruh tubuhnya,
bahkan mulai merayap sampai ke muka tosu itu. Mula-mula tosu itu
mengusirnya dengan tiupan-tiupannya, akan tetapi akhirnya dia kehabisan
napas dan mulailah semut-semut itu menggigiti dan menggerogoti kulit
mukanya sedikit demi sedikit, hidungnya, bibirnya, pipi, mata, telinga!
Tok-ciang Sian-jin meronta-ronta dan tangisnya merupakan lolong yang
mengerikan sampai Kim Lan sendiri menutupi telinganya dan membuang muka
tidak berani memandang lebih lama lagi. Berjam-jam Tok-ciang Sian-jin
mengalami siksaan yang amat hebat, mati tidak hiduppun tidak. Menjelang
senja, setelah mengalami siksaan yang lebih dari setengah hari lamanya,
akhirnya diapun terkulai dan pingsan, mendekati mati.
Thian Sin lalu menggunakan cambuk baja itu, diayun ke atas dan dengan
pengerahan sin-kangnya, cambuk itu menyambar seperti pedang, tepat
mengenai leher tubuh itu dan putuslah leher Tok-ciang Sian-jin. Dengan
pakaian tosu itu yang tadi dilucutinya dengan cambuk, dia membungkus
kepala itu, lalu dengan cambuknya dia membelit tubuh tanpa kepala itu,
menyeretnya secara kasar sambil berjalan pergi menuju ke sarang
Pek-lian-kauw!
"Taihiap...!" Kim Lan berseru, mukanya pucat sekali.
"Kau kembalilah dan tunggu aku di kuil tua." kata Thian Sin dan wanita
itu mengangguk, lalu pergi cepat-cepat dari situ dengan hati penuh
kengerian.
Pada keesokan harinya, gegerlah orang-orang Pek-lian-kauw ketika
menemukan tubuh tanpa kepala, tubuh yang telanjang bulat dan rusak oleh
gigitan semut-semut, tergantung oleh cambuk baja di pintu gerbang
Pek-lian-kauw! Biarpun kepalanya sudah tidak ada dan tubuh itu sukar
dikenal lagi, namun melihat cambuk baja itu, para tosu Pek-lian-kauw
dapat menduga siapakah pula orangnya yang membunuh Tok-ciang Sian-jin
Ciu Hek Lam secara demikian sadisnya. Siapa lagi kalau bukan Pendekar
Sadis! Akan tetapi karena Tok-ciang Sian-jin bukan orang Pek-lian-kauw,
dan melihat kenyataannya pendekar itu tidak membunuh seorangpun anggauta
Pek-lian-kauw, maka merekapun diam saja.
Sementara itu, di kota raja juga gempar ketika pagi hari itu orang-orang
melihat sebuah kepala terpancang di atas menara istana! Orang hanya
dapat menduga-duga siapa yang melakukan itu, akan tetapi ada beberapa
orang kang-ouw mengenal bahwa kepala itu adalah kepala Tok-ciang
Sian-jin, maka orang-orangpun dapat menduga bahwa pembunuhnya agaknya
adalah Pendekar Sadis.
Sementara itu setelah menggantung mayat di depan pintu gerbang
Pek-lian-kauw dan kepalanya di menara istana, Thian Sin lalu kembali ke
kuil kuno di mana Kim Lan telah menantinya. Kim Lan terisak ketika
menyambut pemuda itu dengan pelukannya, kadang-kadang dia masih bergidik
ngeri sungguhpun dia merasa girang sekali telah dapat mendekap lagi
pemuda yang dikaguminya, dicinta, dipuja dan juga amat ditakutinya itu.
Akan tetapi pada keesokan harinya, mereka berdua yang masih tidur
dikejutkan oleh suara halus dari luar kuil. Suara itu halus, akan tetapi
juga berwibawa, "Pendekar Sadis, keluarlah, kami hendak bicara
denganmu!"
Thian Sin juga mendengar suara itu. Dia mengulet dan mengucek matanya.
Tubuhnya terasa segar karena hatinya puas telah berhasil menewaskan
musuh besarnya. Dia terkejut juga mendengar suara itu, akan tetapi sama
sekali tidak memperlihatkannya. Bahkan ketika Kim Lan mengintai keluar,
kemudian kembali dengan mata terbelalak dan sikap takut, dia tersenyum.
"Tenanglah, kenapa takut?"
"Taihiap, yang datang adalah hwesio tua, tosu dan tiga orang tua lain.
Mereka kelihatan begitu berwibawa dan marah. Aku...aku khawatir,
taihiap."
"Tenanglah dan berpakaianlah yang pantas untuk menemui tamu." Thian Sin bangkit dan membereskan pakaiannya.
"Pendekar Sadis, kami menanti, keluarlah!"
Setelah agak lama, terdengar lagi suara tadi. Thian Sin mengajak Kim Lan
keluar dan dia melangkah dengan tenang sekali. Ketika tiba di luar, dia
melihat ada lima orang kakek yang berdiri di pekarangan kuil kuno.
Seorang hwesio tua yang wajahnya keren, memegang sebatang tongkat
hwesio, jubahnya lebar dan berwarna kuning. Orang ke dua adalah seorang
tosu tinggi kurus, selalu tersenyum namun sepasang matanya tajam, dan
tosu ini seperti juga si hwesio, tentu sudah berusia enam puluh tahun
lebih dan dia memegang tasbih. Tiga orang kakek yang usianya juga enam
puluhan tahun, ternyata mengenakan pakaian biasa, seperti sastrawan,
namun sikap mereka dan keadaan mereka, Thian Sin dapat menduga bahwa
mereka berlima itu tentu bukan orang-orang sembarangan, apalagi melihat
sikap hwesio dan tosu yang alim dan berwibawa itu, sungguh jauh bedanya
dengan sikap para pendeta Pek-lian-kauw. Maka diapun lalu menjura dengan
sikap hormat dan berkata, "Ngo-wi locianpwe datang mencari saya, entah
membawa keperluan apakah?"
Thian Sin memang pandai bersikap halus dan sopan tidak ubahnya seorang sastrawan muda yang tahu akan sopan santun.
"Omitohud...! Benarkah sicu ini yang dijuluki Pendekar Sadis?" tanya Si
Hwesio tua sambil merangkap kedua tangan di atas dada sedangkan
tongkatnya bersandar di pundaknya.
"Kiranya tidak salah dugaan lo-suhu, sungguhpun saya sendiri sama sekali
tidak menghendaki menerima julukan seperti itu," jawab Thian Sin dengan
sikap merendah dan masih manis budi.
"Siancai... siapa dapat percaya pemuda yang gagah dan ramah ini yang
dijuluki Pendekar Sadis," kata pula Si Tosu sambil memperlebar
senyumnya.
"Siapa ngo-wi locianpwe kalau saya boleh bertanya dan apakah maksud kunjungan ngo-wi ini?"
"Pinceng adalah Hwa Siong Hwesio dari Siauw-lim-pai," kata hwesio itu
dengan sederhana, akan tetapi Thian Sin terkejut sekali karena nama Hwa
Siong Hwesio ini adalah nama seorang tokoh yang amat tinggi kedudukannya
di Siauw-lim-pai!
"Pinto adalah Kui Yang Tosu dari Kun-lun-pai," kata Si Tosu yang ramah.
Kembali Thian Sin terkejut karena kalau dia tidak salah ingat, yang
bernama Kui Yang Tosu adalah wakil ketua partai persilatan Kun-lun-pai
yang amat terkenal itu!
"Kami bertiga adalah Shan-tung Sam-lo-heng, sahabat baik dari mendiang
Toan-ong-ya." kata seorang di antara tiga orang tua gagah itu.
Biarpun Thian Sin belum pernah mendengar nama ini namun dia dapat
menduga bahwa agaknya tiga orang ini adalah pendekar-pendekar yang
kenamaan di Propinsi Shan-tung dan memang dugaannya itu tepat sekali.
"Pinceng juga mengenal baik Toan-ong-ya," kata pula hwesio Siauw-lim-pai itu.
"Pinto banyak berhutang budi kepada mendiang Toan-ong-ya," sambung tosu Kun-lun-pai.
Diam-diam Thian Sin merasa tidak enak hati. Kiranya mereka ini adalah
sahabat-sahabat Toan-ong-ya, maka jelaslah dapat diduga bahwa kunjungan
mereka tentu hendak menegurnya, bahkan mungkin saja untuk membalaskan
kematian pangeran itu. Akan tetapi, karena dia yakin akan kebenarannya,
bahwa pembunuhannya terhadap Toan-ong-ya itu adalah karena kesalahan
pangeran itu sendiri, dia bersikap tenang dan tidak merasa takut
sedikitpun juga. Hal ini nampak oleh lima orang kakek itu dan merekapun
diam-diam amat kagum. Pendekar Sadis ini selain masih muda, tampan,
gagah dan halus budi, sopan santun, juga ternyata memiliki nyali yang
amat luar biasa.
"Ah, kiranya ngo-wi locianpwe adalah sahabat-sahabat baik mendiang
Toan-ong-ya. Kalau begitu, agaknya kedatangan ngo-wi adalah karena saya
telah membunuh pangeran itu, bukan?" tanyanya dengan jujur, tanpa
membuang waktu lagi.
"Bukan hanya itu, orang muda," kata tosu Kun-lun-pai. "Pinto datang untuk menegur caramu membasmi orang-orang dari dunia hitam!"
"Omitohud, dosamu bertumpuk-tumpuk, orang muda. Siapakah kaukira engkau
ini? Giam-lo-ong sendiri? Ataukah ibils berwajah manusia? Pinceng sudah
mendengar akan caramu menghakimi orang-orang, dengan penyiksaan dan
pembunuhan yang amat mengerikan. Omitohud... Siauw-lim-pai akan ikut
bersalah kalau tidak turun tangan terhadap keganasanmu ini!"
Thian Sin mengerutkan alisnya, akan tetapi, sambil tersenyum suaranya
masih halus ketika dia berkata, "Ji-wi locianpwe dari Siauw-lim-pai dan
Kun-lun-pai, maafkan kalau saya tidak dapat menyenangkan hati ji-wi,
akan tetapi hendaknya diingat bahwa semua urusan saya tidak ada
sangkut-pautnya dengan ji-wi locianpwe. Dan karena saya bukanlah
anggauta kedua partai terbesar di dunia persilatan, maka kiranya saya
tidak perlu mempedulikan larangan dan peraturan yang terdapat dalam
perguruan ji-wi."
Jawaban itu singkat, padat, dan juga tegas. Kedua orang pendeta itu
saling pandang dan nampaknya kehabisan akal, karena bagaimanapun juga,
memang ucapan pemuda itu benar. Selain pemuda itu tidak ada urusan
dengan Kun-lun-pai maupun Siauw-lim-pai, juga pemuda ini sama sekali
tidak melakukan kejahatan dalam membasmi mereka yang tergolong jahat.
Oleh karena itu, mereka kini menoleh kepada tiga orang gagah dari
Shan-tung itu dan menggantungkan harapan kepada mereka untuk menyudutkan
pemuda yang ganas ini. Seorang di antara tiga pendekar tua dari
Shan-tung itu lalu berkata, suaranya garang.
"Pendekar Sadis, kedua orang pendeta yang budiman ini datang untuk
menyadarkanmu dari kesesatan, akan tetapi engkau malah menjawab dengan
kata-kata sombong. Akan tetapi ketahuilah, bahwa kami tidak mungkin
dapat mendiamkan saja engkau membunuh Toan-ong-ya. Kalau kami diamkan,
berarti kami membiarkan orang berbuat sewenang-wenang dan jahat."
Thian Sin tersenyum lebar. "Hemm, apakah sekarang orang-orang gagah di
dunia ini telah berbalik hati dan hendak membela orang jahat? Kalau
benar ngo-wi yang saya hormati sudah berbalik hati, membela orang jahat,
biarlah saya akan menghadapi ngo-wi karena dengan demikian berarti pula
bahwa ngo-wi adalah orang-orang jahat juga!"
"Omitohud...!"
"Siancai...!"
"Pendekar Sadis, berani kau berkata demikian? Siapakah yang mengatakan
bahwa Toan-ong-ya adalah orang jahat? Agaknya wanita itu yang
memberitahukanmu, bukan?" Seorang di antara tiga pendekar tua Shan-tung
itu membentak.
"Kalau pangeran itu tidak jahat, mengapa sampai mati di tangan Pendekar Sadis?" Thian Sin balas bertanya.
"Coba katakan, kejahatan apakah yang telah dilakukan oleh Toan-ong-ya, maka engkau turun tangan membunuhnya secara keji!"
"Saya tahu apa yang saya lakukan, dan saya merasa tidak perlu berdebat.
Akan tetapi, kalau ngo-wi hendak membela orang jahat yang telah saya
bunuh, silakan maju, saya tidak akan undur selangkahpun!"
"Keparat...!" Tiga orang gagah dari Shan-tung itu meloncat ke depan, wajah mereka menjadi merah karena marah.
Pemuda itu mereka anggap sombong bukan main. Terdengar suara berdesing
dan nampak sinar berkilat ketika mereka bertiga sudah mencabut pedang
masing-masing, dan gerakan mereka sungguh cepat dan indah.
"Orang muda sombong, keluarkanlah senjatamu!"
Thian Sin tersenyum dan biarpun dia tahu bahwa mereka bertiga itu lihai sekali ilmu pedangnya, namun dia tidak merasa takut.
"Sam-wi hendak membela orang jahat? Majulah, saya belum merasa perlu untuk memakai senjata untuk menghadapi sam-wi."
Betapa sombongnya jawaban ini. Tiga orang gagah dari Shan-tung itu
menjadi semakin marah, dan mereka sudah hendak menerjang maju, akan
tetapi tiba-tiba tokoh Siauw-lim-pai itu memalangkan tongkatnya dan
berkata.
"Omitohud... harap sam-wi tenang dulu. Tidak baik turun tangan sebelum diperoleh penjelasan."
Karena menghormati tokoh Siauw-lim-pai ini, Shan-tung Sam-lo-eng mundur
dengan muka merah padam. Hwa Siong Hwesio lalu melangkah maju menghadapi
Thian Sin.
"Orang muda, harap engkau suka menghadapi urusan dengan kepala dingin.
Sungguh kami bukanlah orang-orang yang usil atau membela orang jahat,
akan tetapi agaknya ada kesalahfahaman antara kita tentang diri mendiang
Toan-ong-ya. Oleh karena itu, pinceng harap engkau suka memandang muka
orang-orang tua ini untuk menjelaskan, kejahatan apakah yang telah
dilakukan oleh Toan-ong-ya sehingga engkau mengambil keputusan untuk
membunuhnya?"
Menghadapi sikap yang begini halus, Thian Sin merasa kewalahan juga.
Kalau dia terus berkeras, berarti dia yang tidak tahu aturan. Maka
diapun menjawab tenang.
"Locianpwe, kalau saya tidak melihat dia jahat, mengapa harus saya bunuh
dia? Toan-ong-ya itu telah memperkosa wanita, membunuh ayah dan suami
wanita itu. Coba ngo-wi bayangkan, apakah kejahatan itu tidak melewati
batas dan sudah sewajarnya kalau saya membunuhnya?"
"Hemm, engkau tentu mendengar semua itu dari wanita ini, bukan?" seorang di antara tiga orang Shan-tung itu berkata.
Thian Sin mengangguk. "Benar, dan dia di sini karena harus kulindungi
dari ancaman kaki tangan Toan-ong-ya yang tentu akan membunuhnya."
Dia sengaja menggunakan kata-kata kaki tangan Toan-ong-ya untuk menyindir kepada mereka.
"Omitohud... Sicu, engkau orang muda, biarpun telah memiliki ilmu silat
yang tinggi, namun kurang pengalaman. Tahukah engkau mengapa Toan-ong-ya
membunuh dua orang laki-laki yang menjadi ayah dan suami wanita ini?"
Mendengar pertanyaan ini, Thian Sin terperanjat. Baru dia sadar bahwa
memang dia tidak mengenal dengan baik siapa sebenarnya diri Kim Lan
sebelumnya, dan dia hanya percaya saja kepada cerita wanita ini!
"Mereka adalah pemburu-pemburu binatang liar yang menjadi langganan
Toan-ong-ya dan ketika wanita ini mengantar kulit harimau, ia telah
ditahan dan diperkosa oleh pangeran itu. Ketika suami dan ayahnya datang
untuk menyelidik, mereka dibunuh oleh pangeran itu..."
"Siancai...!" Tosu itu berseru dengan suara panjang. "Pemutarbalikan
fakta yang sungguh memalukan. Pendekar Sadis, ketahuilah bahwa wanita
ini adalah bekas seorang maling tunggal yang terkenal di kota raja. Ia
pernah berusaha untuk mencuri di istana Toan-ong-ya, lalu tertangkap,
akan tetapi ia diampuni oleh Toan-ong-ya bahkan diberi pekerjaan menjaga
keamanan asalkan ia berjanji akan merubah jalan hidupnya. Baru satu
bulan dipekerjakan di istana Toan-ong-ya, ia bersekutu dengan dua orang
perampok yang memang adalah suaminya dan ayahnya, dan ketika mereka
datang malam itu, mereka ini masih tetap diampuni oleh Toan-ong-ya
karena selama itu ia telah diambil selir oleh Toan-ong-ya, suatu
kesalahan kecil dari mendiang Toan-ong-ya yang mudah dirayu wanita. Akan
tetapi, bukan berterima kasih, ia malah hendak meracuni Toan-ong-ya.
Bayangkan betapa jahatnya. Akan tetapi Toan-ong-ya tidak menuntut atau
membunuhnya, hanya mengusirnya."
"Omitohud, sekarang jelaslah. Agaknya, mendengar akan namamu, Pendekar
Sadis, ia telah berhasil membujukmu dan memutarbalikkan fakta sehingga
engkau tertipu dan mau membunuh orang yang demikian berbudi seperti
Toan-ong-ya..."
Thian Sin sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi.
"Kim Lan...!"
Dia memanggil dan menengok, akan tetapi wanita yang tadi berhenti di belakangnya itu tiba-tiba melarikan diri.
"Berhenti kau...!" Tosu Kun-lun-pai itu menggerakkan tangan memukul dari jarak jauh.
"Plakk!" Thian Sin menangkisnya dan tosu itu terhuyung ke belakang.
"Harap locianpwe jangan mencampuri urusanku!" Thian Sin berkata dan
sekali loncat, tubuhnya sudah melesat ke depan seperti seekor burung
saja, dan sekali tangannya meraih, rambut Kim Lan telah dijambaknya dan
ditariknya dengan kuat sehingga tubuh wanita itu jatuh tergungkur.
Kim Lan meloncat bangun, mencabut sebuah pisau belati dan menusukkan
pisau ke perutnya sendiri, akan tetapi sekali renggut saja, pisau itu
telah pindah ke tangan Thian Sin dan sebuah tendangan membuat wanita itu
terjungkal. Tiga orang kakek itu telah maju mendekat dan hanya
menonton. Thian Sin seperti tidak menganggap ada orang lain di tempat
itu.
"Kim Lan, hayo katakan, benarkah semua itu? Benarkah bahwa engkau datang
pura-pura menggantung diri untuk membujuk dan membohongi aku? Benarkah
mereka itu perampok dan engkau pencuri, dan bahwa Toan-ong-ya adalah
seorang yang budiman? Hayo jawab sebenarnya!"
Tiba-tiba wanita yang menangis itu menjadi nekat. Dipandangnya Thian Sin melalui air matanya, dan ia berkata,
"Benar, memang benar! Akan tetapi ayahku dan suamiku dibunuh, aku harus
membalas dendam, dan engkau taihiap...engkau... aku tergila-gila
kepadamu... ahhh!"
"Perempuan iblis, jadi engkau telah menipuku, mataku masih melek seperti
hendak kaubikin buta, dan mulutmu pandai sekali membujuk, merayu,
berbohong! Rasakan ini!"
Beberapa kali pisau berkelebat. Lima orang kakek itu hendak mencegah
akan tetapi menahan tangan mereka karena maklum bahwa selain tidak
keburu, juga pemuda itu agaknya tidak mau dicampuri orang lain.
Terdengar wanita itu menjerit-jerit mengerikan dan darah muncrat-muncrat
dari mukanya.
Kedua matanya telah dicokel keluar oleh pisau di tangan Thian Sin, dan
ada dua guratan pisau membentuk palang merobek mulutnya dari pipi di
kanan kiri sampai ke dagu. Tentu saja Kim Lan berkelojotan di atas tanah
dan karena bibirnya dan pipinya sudah robek-robek, suara yang terdengar
dari mulutnya menjadi aneh, seperti suara binatang!
"Inilah biang-keladi semua peristiwa itu, ngo-wi locianpwe. Selamat
berpisah!" Thian Sin melompat dengan cepat tanpa memberi kesempatan lima
orang itu menjawab.
Lima orang kakek itu masih terlampau kaget dan ngeri menyaksikan hukuman
kejam yang dijatuhkan oleh Pendekar Sadis kepada Kim Lan sehingga
mereka tercengang dan tidak sempat menghalangi perginya pemuda itu. Dan
pula, apa perlunya menghalanginya. Mereka datang selain untuk menuntut
pembunuhan atas diri Toan-ong-ya, juga untuk memberi nasihat kepada
pendekar yang hatinya kejam seperti iblis itu. Dan ternyata, dalam
urusan pangeran itu, Pendekar Sadis bukannya sengaja membunuh orang
baik-baik, melainkan tertipu oleh wanita ini yang telah dihukumnya pula,
sedangkan tentang nasihat, agaknya pemuda itu agaknya tidak dapat
dinasihati. Buktinya, baru saja mereka menegur si pendekar itu kembali
telah melakukan kekejaman dalam menghukum orang jahat, yaitu terhadap
wanita itu, dan di depan mata mereka sendiri malah!
Thian Sin cepat meninggalkan daerah itu. Dia agak merasa gelisah juga
setelah pertemuannya dengan lima orang kakek itu. Mengapa dia begitu
ceroboh sehingga mudah saja tertipu oleh seorang wanita seperti Kim Lan?
Kini dia dihadapkan dalam keadaan yang tidak enak sekali dengan para
tokoh pendekar di dunia. Akan tetapi, dia tidak peduli dan hatinya
merasa puas setelah dia berhasil membunuh semua musuh orang tuanya.
Dan sekarang tinggal musuh-musuh keluarga Lian Hong! Dan musuh-musuh
keluarga Ciu Khai Sun itupun hanya tinggal See-thian-ong, Lam-sin dan
Pak-san-kui. Musuh-musuh yang amat berat. Akan tetapi, dia harus dapat
mengalahkan mereka, membunuh mereka. Biarpun bukan tokoh-tokoh besar itu
sendiri yang bergerak, namun jelas bahwa orang-orang mereka ikut
menyerbu dan menyebabkan terbasminya keluarga Ciu itu. Dan selain
keinginannya hendak membalaskan kematian keluarga Ciu itu, ada satu
keinginan lain yang pada akhir-akhir ini menyelinap di dalam hati
sanubarinya.
Mendiang ayahnya telah gagal menjadi jagoan nomor satu di dunia! Dia,
sebagai keturunannya, putera tunggalnya, harus menebus kegagalan itu.
Dia harus dapat mengalahkan semua jagoan di dunia, terutama sekali
datuk-datuk kaum sesat. Memang, dia pernah mengalahkan See-thian-ong dan
Pak-san-kwi, akan tetapi kemenangannya itu belum mutlak. Barulah
kemenangannya akan diakui oleh dunia kalau dia sudah dapat membunuh
mereka, yaitu ketiga datuk itu, See-thian-ong, Lam-sin dan Pak-san-kwi!
Dan dia akan mencari, akan membunuh mereka selain untuk membalas sakit
hati Ciu Lian Hong, juga untuk membikin puas hati mendiang ayahnya bahwa
puteranya telah dapat mengalahkan semua datuk di dunia sesat!
Setelah membunuh mereka bertiga, barulah dia akan menghadapi
Tung-hai-sian, datuk di timur itu. Biarpun dengan datuk ini dia tidak
mempunyai urusan sesuatu, namun untuk dapat mengangkat nama ayahnya dia
harus dapat mengalahkan semua datuk, termasuk Tung-hai-sian. Dan
puterinya itu, siapa namanya? Ah, ya, Bin Biauw, sungguh cantik jelita,
kecantikan yang khas wanita keturunan Korea!
Dia pernah mengalahkan See-thian-ong dan Pak-san-kwi, juga dia pernah
bertemu dengan Tung-hai-sian. Hanya Lam-sin saja, datuk kaum sesat dari
selatan itulah yang belum pernah dijumpainya, walaupun dia pernah
bertemu dengan anak buahnya, yaitu anggauta-anggauta Bu-tek Kai-pang
yang rata-rata amat lihai itu. Juga berita tentang Lam-sin ini amat
menarik hatinya, karena tokoh datuk kaum sesat yang satu ini keadaannya
diliputi penuh rahasia dan kabarnya lihai bukan main, lebih lihai
daripada tiga datuk lainnya. Pula, untuk sementara waktu, memang ada
baiknya untuk meninggalkan kota raja sejauh mungkin, apalagi setelah
para pendekar merasa tidak senang kepadanya. Dan tempat tinggal datuk
selatan itu tempatnya paling jauh dari kota raja. Dia mendengar bahwa
Bu-tek Kai-pang berpusat di Heng-yang, di Propinsi Hu-nan, maka ke
sanalah dia pergi. Adapun tentang Lam-sin sendiri, tidak ada yang tahu
berada di mana atau di mana tempat tinggalnya. Akan tetapi dia merasa
yakin bahwa di sarang Bu-tek Kai-pang, tentu dia akan dapat menemukan
ketuanya, yaitu Lam-sin, atau setidaknya, dari para pengemis itu tentu
dia akan dapat menemukan alamat Lam-sin.
Sama sekali Thian Sin tidak pernah menduga bahwa dia menuju ke sebuah
kota di mana dara yang dicintanya itu, Ciu Lian Hong, pernah tinggal,
bahkan tinggal bersama dengan Lam-sin, juga bahwa kakak angkatnya, Cia
Han Tiong, bersama ayah dan ibu angkatnya, yaitu Pendekar Lembah Naga,
pernah datang ke kota itu dan bertemu dengan Lam-sin!
Bu-tek Kai-pang memang merupakan perkumpulan pengemis yang amat
berpengaruh di Propinsi Hu-nan bahkan di seluruh daerah selatan. Bukan
hanya karena para pengemis yang bajunya tambal-tambalan dan bersih itu
rata-rata berkepandaian tinggi yang membuat para pengemis ini ditakuti
orang, akan tetapi terutama sekali karena perkumpulan ini adalah anak
buah dari Lam-sin, datuk selatan yang dianggap sebagai datuk semua kaum
sesat di daerah selatan. Yang disebut daerah selatan adalah yang berada
di sebelah selatan Sungai Yang-ce-kiang.
Lam-sin sendiri merupakan seorang tokoh yang penuh rahasia, jarang ada
yang tahu bahwa datuk kaum sesat selatan yang hanya terkenal dengan
sebutan Lam-sin (Malaikat Selatan) itu adalah seorang nenek. Bahkan
orang-orang di dalam kota Heng-yang di Propinsi Hu-nan itu sendiri,
kalau bertemu dengan nenek ini, tidak tahu bahwa ia adalah Lam-sin yang
tersohor itu. Lam-sin tidak pernah keluar turun tangan sendiri
menghadapi segala macam urusan. Cukup dengan perkumpulan Bu-tek Kai-pang
saja yang membereskan semua persoalan. Memang dalam urusan yang besar,
yang tidak mampu dibereskan oleh Bu-tek Kai-pang, seperti ketika ada
lima jagoan dari Jepang yang membuat kacau di pantai lautan timur
selatan dan yang amat lihai sehingga para pimpinan Bu-tek Kai-pang tidak
mampu menundukkannya, Lam-sin sendiri yang turun tangan. Namun, ia
turun tangan di waktu malam dan lima orang jagoan dari Jepang itu tidak
tahu orang macam apakah yang menghajar mereka sehingga mereka lari
tunggang langgang naik ke dalam perahunya dan tidak pernah berani
kembali lagi.
Pendeknya, tokoh Lam-sin ini penuh rahasia dan di manapun ia berada,
tidak pernah ia memperkenalkan dirinya kepada orang lain. Bu-tek
Kai-pang merupakan nama perkumpulan yang membayangkan ketinggian hati
ketuanya. Bu-tek Kai-pang berarti Perkumpulan Pengemis Tanpa Tanding!
Dan untuk urusan sehari-hari, perkumpulan ini dipimpin oleh ketua-ketua
yang disebut pangcu-pangcu karena Lam-sin sendiri tidak mau disebut
ketua pengemis! Tiga orang pangcu dari Bu-tek Kai-pang adalah
orang-orang yang menerima pelajaran ilmu silat langsung dari Lam-sin,
dan mereka itupun hanya dikenal julukan mereka saja yang sesuai dengan
warna pakaian mereka. Ketua pertama adalah Ang-i Kai-ong (Raja Pengemis
Berbaju Merah), ketua ke dua adalah Jeng-i Kai-ong karena pakaiannya
yang berwarna hijau dan yang ke tiga adalah Pek-i Kai-ong yang selalu
berbaju putih. Tiga orang inilah yang langsung menangani semua urusan
kai-pang itu.
Mereka adalah orang-orang yang berilmu tinggi dan amat tunduk dan setia
kepada Lam-sin yang merupakan guru mereka. Tentu saja Bu-tek Kai-pang
dianggap sebagai perkumpulan kaum sesat dan Lam-sin sendiri juga sebagai
datuk sesat karena sepak terjang perkumpulan itu sendiri memang jelas
menunjukkan bahwa mereka adalah golongan hitam. Perkumpulan ini
merupakan pemerintah gelap yang menuntut pajak dari tempat-tempat
perjudian, pelacuran dan semua penjahat dari golongan apapun di selatan
selalu membayar semacam "pajak" atas penghasilan mereka kepada Bu-tek
Kai-pang. Kalau hal ini tidak dipenuhi, jangan harap mereka itu akan
dapat melanjutkan "pekerjaan" mereka. Oleh karena itu, tentu saja
penghasilan Bu-tek Kai-pang yang masuk amat banyak dan perkumpulan itu
memperoleh dana yang lebih dari cukup. Bahkan Lam-sin yang memang
tadinya sudah memiliki harta yang besar itu kini hidup serba kecukupan
dalam sebuah istana yang indah dan penuh dengan barang berharga.
Ketika pada pagi itu Thian Sin memasuki kota Heng-yang, tanpa
bertanya-tanya saja dia sudah dapat melihat ada beberapa orang anggauta
pengemis Bu-tek Kai-pang berkeliaran di dalam kota. Pakaian mereka yang
tambal-tambalan akan tetapi bersih dan baru itu sudah menunjukkan siapa
adanya mereka. Dan mereka itu tidak ada yang mengemis! Mereka
berjalan-jalan seperti penjaga-penjaga keamanan saja, dengan sikap yang
angkuh dan pendiam, tidak mempedulikan keadaan kanan kiri agaknya. Ada
yang memegangnya dengan tangan, ada pula yang menaruhnya di punggung,
akan tetapi setiap orang pengemis Bu-tek Kai-pang selalu mempunyai
sebatang tongkat akar bahar yang berwarna hitam dan berlekak-lekuk
seperti ular.
Thian Sin memasuki sebuah rumah makan dan sengaja memilih meja yang
berdekatan dengan pintu. Dengan penuh perhatian dia melihat pengemis
yang mendekati rumah makan itu. Pengemis itu masih muda, belum empat
puluh tahun usianya. Pakaiannya yang tambal-tambalan dan masih baru,
nampak jelas sekali bahwa itu bukan baju robek yang ditambal-tambal,
melainkan sengaja dibuat baju baru dari kain baru yang
disambung-sambung. Pengemis inipun mempunyai sebatang tongkat akar bahar
yang tergantung di punggungnya. Dari gerak kedua kaki itu ketika si
pengemis menghampiri rumah makan, mudah dilihat bahwa dia memiliki
kepandaian silat yang cukup kuat. Gerakan kakinya tegap dan teguh,
dengan punggung tegak lurus dan sikap waspada.
Thian Sin memang sengaja mau mencari gara-gara. Dia tadi sudah makan
panggang ayam dan melihat pengemis itu lewat di dekat mejanya, dia lalu
mengambil tulang-tulang ayam di dalam mangkoknya, dan memberikan itu
kepada si pengemis sambil berkata dengan suara lantang.
"Heii, jembel! Nih kuberi tulang ayam sebagai hadiahku kepada rajamu. Berikan ini kepada rajamu, ya?"
Semua orang menoleh dan banyak mata terbelalak, muka orang-orang itu
menjadi pucat ketika melihat siapa yang dihina oleh pemuda itu. Ada
orang berani menghina seperti itu kepada seorang pengemis Bu-tek
Kai-pang, sungguh itu berarti mengantar nyawa untuk mati konyol! Semua
orang memandang dan menduga bahwa di lain saat mereka akan melihat
pemuda itu menggeletak tanpa nyawa di tempat itu. Akan tetapi, pengemis
muda yang sudah berhenti melangkah dan berdiri di depan Thian Sin,
sejenak memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik. Jelas bahwa dia
marah sekali. Agaknya memang dia tidak mau membikin ribut di dalam
restoran. Dia menerima tulang-tulang ayam itu, kemudian sekali banting,
tulang-tulang ayam itu menancap di atas papan meja di depan Thian Sin!
Itulah demontrasi kekuatan sin-kang yang lumayan!
Akan tetapi Thian Sin tertawa melihat kemarahan ini. "Ha-ha-ha, rajamu
tidak doyan tulang? Aneh sekali! Bukankah biasanya pengemis berebut
tulang dengan anjing-anjing? Kalau rajamu menghendaki daging, suruh dia
datang ke sini!"
Semua orang yang mendengar ini merasa ngeri. Sudah gilakah pemuda itu,
pikir mereka. Tidak ada seorangpun di kota itu akan berani bersikap
menghina seperti ini, apalagi ditujukan kepada raja pengemis. Sungguh
mencari mati seratus kali!
Akan tetapi pengemis itu mampu menahan kemarahannya. Dia mengerti benar
bahwa pemuda ini tentu bukan penduduk Heng-yang dan dapat menduga pula
bahwa pemuda ini memang sengaja mencari gara-gara. Maka setelah
memandang dengan sinar mata penuh ancaman, dia melangkah keluar dari
rumah makan itu, tidak jadi masuk. Biasanya, seorang anggauta Bu-tek
Kai-pang yang memasuki rumah makan akan dilayani seperti tamu-tamu
biasa, walaupun mereka itu tidak perlu membayar. Dan fihak pemilik rumah
makan juga tidak merasa menyesal karena para anggauta Bu-tek Kai-pang
itu selalu tertib, tidak memperlihatkan sikap sewenang-wenang dan hanya
masuk dan makan kalau memang mereka lapar dan membutuhkan makanan.
Pendeknya, sikap mereka itu rata-rata berwibawa dan tidak rendah seperti
penjahat-penjahat kecil. Melihat pengemis itu pergi keluar, Thian Sin
hanya tersenyum dan melanjutkan makan minum seperti tidak pernah terjadi
sesuatu. Dia tidak peduli akan pandang mata para tamu lain yang
ditujukan kepadanya, bahkan di antara mereka ada yang memberi
tanda-tanda dengan kedipan mata agar dia itu cepat-cepat pergi saja.
Sebaliknya, Thian Sin malah minta ditambah araknya dan pelayan yang
melayaninya juga memandang dengan wajah pucat, lalu berbisik ketika
membawa arak yang dipesannya.
"Kongcu sebaiknya cepat meninggalkan tempat ini...!"
"Jangan campuri urusanku!" bentak Thian Sin dan pelayan itu pergi ketakutan.
Semua orang merasa tegang dan ngeri, apalagi ketika mereka melihat bahwa
pengemis yang tadi kini telah nampak di luar rumah makan, bersama
pengemis kedua yang bermuka hitam, bertubuh tinggi besar dan nampak kuat
sekali. Mereka berdua itu kini telah memegang tongkat mereka, tanda
bahwa mereka telah bersiap-siap menghajar pemuda kurang ajar yang masih
enak-enak minum arak di dalam rumah makan itu. Thian Sin juga melihat
dua orang pengemis itu dan dia tersenyum, hatinya gembira bahwa
pancingannya mulai berhasil. Tidak mudahlah baginya untuk mencari
Lam-sin tanpa memancing keributan dengan Bu-tek Kai-pang.
Setelah selesai makan minum yang dilakukan dengan sabar dan tidak
tergesa-gesa, membuat dua orang pengemis itu makin marah, dia lalu
membayar kepada pelayan yang kelihatan lega melihat pemuda itu akhirnya
mau meninggalkan rumah makan itu. Akan tetapi dia terbelalak melihat
pemuda itu mengumpulkan tulang-tulang ayam dan membawanya keluar dari
restoran. Thian Sin melangkah keluar sambil tersenyum-senyum tenang
melihat lagak dua orang pengemis yang menghadangnya di luar itu.
Thian Sin bersikap seolah-olah tidak melihat bahwa dua orang pengemis
itu marah sekali, dan tidak melihat bahwa tangan mereka yang memegang
tongkat akar bahar itu tergetar karena marah dan ingin memukul. Malah
dia tersenyum.
"Aih, kiranya engkau masih berada di sini dan membawa teman? Apakah
kalian diutus oleh raja kalian untuk menerima hadiah tulang ayam
dariku?"
"Keparat bermulut busuk!"
"Bocah sudah bosan hidup!"
Dua orang pengemis itu sudah bergerak cepat, yang seorang menusukkan
tongkatnya ke arah dada Thian Sin, yang ke dua menghantamkan tongkat itu
ke arah lehernya. Namun Thian Sin dengan dua kali langkah ke kiri dan
belakang saja sudah dapat menghindarkan diri dan dia berkata sambil
tertawa, "Nah, ini hadiahku, sampaikan kepada Lam-sin!"
Dan tangannya bergerak, ada sinar menyambar dan dua orang pengemis itu
berteriak kesakitan, tongkat-tongkat mereka terlepas dan mereka mundur
dengan mata terbelalak. Kedua tangan mereka lumpuh dan tulang-tulang
ayam itu telah menancap pada lengan mereka, mengenai urat-urat besar
yang membuat lengan mereka menjadi lumpuh dan terasa nyeri bukan main.
Maklum bahwa pemuda itu adalah seorang ahli dan bukan lawan mereka,
kedua orang pengemis itu lalu membalikkan tubuh dan pergi dari situ
dengan langkah lebar, kedua lengan masih bergantung lumpuh.
"Hei, jangan lupakan tongkat jimat kalian!" Thian Sin berseru dan dia menyambar dua tongkat itu, lalu
melemparkannya sembarangan ke depan.
LANJUT KE JILID 032--->
<---Kembali