Jumat, 21 Februari 2014

Dewi Maut Jilid 32

Dewi Maut Jilid 32

<--kembali

Bun Houw tidak memperdulikan ejekan Gu Lo It bahkan dia lalu memberi hormat ke arah Raja Sabutai dan berkata lantang, “Harap paduka suka memaafkan saya, sri baginda. Urusan yang sekarang sedang diselesaikan adalah urusan antara Lima Bayangan Dewa yang merupakan golongan penjahat dengan Cin-ling-pai, merupakan urusan pribadi kedua fihak yang sekarang oleh paduka dipertemukan di sini dan oleh kebijaksanaan paduka kedua fihak diperkenankan untuk menyelesaikan urusan dendam pribadi ini dengan mengadu kepandaian. Oleh karena itu, saya mengharap kebijaksanaan paduka agar paduka melarang pencampur-tanganan dari fihak luar.”

Raja Sabutai mengangkat tangannya dan menjawab, “Pernyataanmu itu benar dan tepat, Bun-sicu. Nona Hong, harap kau suka mundur karena sekarang adalah urusan pribadi antara Bun-sicu dan dua orang dari Bayangan Dewa. Giliranmu belum tiba, nona.”

In Hong cemberut dan merah mukanya, akan tetapi tidak berani membantah.

“Hong-moi, maafkan aku. Kaupercayalah, aku dapat mengatasi musuh-musuhku,” kata Bun Houw perlahan.

“Kau... kau... pakailah pedang ini...”

Bun Houw menggeleng kepala, tersenyum dan mengangkat pedang-pedangan kayu itu. “Senjata ini sudah cukup ampuh.”

In Hong membanting kaki kanannya. “Kau... sombong! Kuharap kau kalah, baru aku akan membunuh mereka!” Setelah berkata demikian, In Hong mundur dan duduk di tempatnya kembali, disambut oleh subonya dengan senyum.

“Jangan khawatir, muridku, kalau dia terancam bahaya, aku siap membantunya,” bisik gurunya.

“Jangan, subo. Biarkan dia kalah, si... kepala besar itu!”

Sementara itu, Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok sudah menghadap Raja Sabutai dan berkata, “Paduka menyaksikan sendiri, betapa pemuda ini hendak menghadapi kami berdua dengan sendirian saja. Bukan kami berdua yang sengaja mengeroyok, sri baginda.”

Raja Sabutai mengerutkan alisnya. Tentu saja dia mengerti akan kelicikan orang pertama dari Lima Bayangan Dewa itu, maka dia bertanya kepada Bun Houw, “Bun-sicu, benarkah kau hendak menghadapi keroyokan mereka berdua? Kalau kau keberatan, tentu saja boleh kau menghadapi mereka satu demi satu.”

Bun Houw memberi hormat dan menjawab, suaranya lantang. “Sri baginda, ketika Lima Bayangan Dewa menyerbu Cin-ling-pai dan mencuri pedang pusaka, mereka menggunakan siasat licik, menanti ketika ketua Cin-ling-pai dan isterinya yang sakti tidak berada di Cin-ling-san. Mereka adalah pengecut-pengecut yang setelah melakukan perbuatannya itu, melarikan diri dan bersembunyi di sini, menggunakan nama dan pengaruh paduka untuk bersembunyi karena mereka takut akan pembalasan Cin-ling-pai. Mereka adalah pengecut-pengecut, akan tetapi Cin-ling-pai tidak pernah melahirkan seorang pengecut. Oleh karena itu, sebagai wakil Cin-ling-pai, tentu saja saya akan menghadapi mereka, apapun kehendak mereka. Jangankan baru mereka berdua, andaikata yang tiga lagi di antara mereka bangkit dari neraka dan ikut pula mengeroyok, saya tidak akan mundur, sri baginda!”

Raja Sabutai tersenyum dan mengangguk-angguk. “Engkau benar-benar seorang gagah dan pantas menjadi murid dan wakil sebuah perkumpulan yang besar, Bun-sicu.” Lalu Raja Sabutai memandang Pat-pi Lo-sian dan berkata, “Nah, kalian sudah mendengar sendiri, majulah.”

Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok menggerak-gerakkan kedua lengan tangannya dan terdengar bunyi suara berkerotokan seolah-olah semua tulang-tulang kedua lengannya bergerak-gerak. Kemudian dia menggerakkan kepala dan kuncirnya yang panjang itu melibat leher, gagah sekali nampaknya. Dengan gerakan perlahan tangan kanannya meraba punggung dan nampaklah sinar kemerahan berkelebat menyilaukan mata dan ternyata tangannya telah memegang sebatang pedang yang bentuknya seperti ular yang tahu-tahu telah berada di tangannya saking cepatnya dia mencabut pedang itu.

Liok-te Sin-mo Gu Lo It juga menggerakkan kedua lengannya, dengan jari-jari terbuka dan tampaklah uap mengepul di antara jari-jari tangannya. Tokoh yang berjuluk Iblis Bumi ini memang terkenal memiliki tenaga besar sekali, dan senjata potongan-potongan baja merupakan senjata rahasia yang tersembunyi di ujung kedua lengan bajunya. Kelihatannya saja dia tidak bersenjata, hanya menggunakan kedua tangannya yang kuat, akan tetapi sesungguhnya kedua ujung lengan bajunya itu mengandung potongan-potongan baja yang amat kuat dan yang menyambar secara tidak terduga dan karenaya amatlah berbahaya bagi fihak lawan.

Bun Houw bersikap tenang, namun dia sama sekali tidak memandang rendah kedua orang lawannya yang dia tahu merupakan orang-orang yang tangguh, terutama sekali orang pertama dari musuh-musuhnya ini. Dia sudah mendenngar keterangan dari ayahnya tentang musuh-musuhnya, maka dia bersikap waspada dan bermaksud untuk mengukur lebih dulu sampai di mana tingkat kepandaian dua orang lawannya dengan jalan membiarkan mereka menyerang. Dari cara mereka menyerangpun dia sudah akan dapat mengukur kepandaian dan tenaga mereka, dan mengetahui pula kelemahan-kelemahan mereka. Pemuda ini hanya memasang kuda-kuda sederhana saja, dengan kedua kaki agak terpentang, dan tubuh miring sehingga menghadapi kedua orang lawan itu di kanan kirinya, bukan di depan belakang. Tangan kirinya miring di depan dada seperti orang menyembah dengan sebelah tangan, lengan kanan diangkat ke atas dengan pedang-pedangan kayu menuding ke depan, tubuhnya tidak bergerak, dan hanya kedua matanya saja yang hidup, bergerek ke kanan kiri, dan melihat ujung jari-jari tangan kiri dan ujung pedang-pedangan kayu tergetar, kagumlah In Hong. Kini gadis itu mulai mengerti bahwa pemuda itu sesungguhnya bukan orang sembarangan dan dia tahu pula bahwa seluruh urat syaraf pemuda itu dalam kewaspadaan, dan bahwa seluruh tubuh pemuda itu kini sedang dialiri oleh hawa tenaga sakti yang hebat! Dia menjadi terharu dan mulai dia mencela kebutaannya sendiri karena dia mulai yakin bahwa Bun Houw adalah seorang pendekar muda yang sakti, yang hanya memiliki kepandaian sederhana saja.

“Hyaaaatttt...!” Liok-te Sin-mo membentak.

“Heeeeiiiitttt...!” Pat-pi Lo-sian juga memekik keras.

Keduanya sudah menerjang dengan cepat. Kedua tangan Liok-te Sin-mo menyerang secara bertubi dan pedang ular itu mengimbangi serangan itu, menyambar-nyambar dari atas dan bawah dari lain jurusan.

“Wut-wut-wut, plak-plak-cringgg... tranggg...!”

Dengan gerakan yang amat sigap, terlalu cepat malah sehingga sukar diikuti oleh pandangan mata, Bun Houw mengelak, menangkis pukulan-pukulan dengan tangan kiri dan menangkis pedang ular dengan kayu di tangannya, semua dilakukan dengan tepat, indah dan kuat.

Kini tubuhnya sudah diam lagi setelah dia berhasil menghalau serangan gelombang pertama dan kembali dia menghadapi dua orang lawan di kanan kirinya. Dalam serangan gebrakan pertama itu saja, Phang Tui Lok dan Gu Lo It sudah menjadi terkejut bukan main. Ternyata kayu itu berhasil menangkis pedang dan membuat pedang ular terpental dan tangan yang memegangnya tergetar hebat, sedangkan serangan ujung lengan baju yang mengandung baja itu ditangkis begitu saja oleh tangan kiri pemuda itu. Tangan telanjang itu berani menangkis baja yang disembunyikan di dalam lengan baju, dan setiap tangkisan tadi membuat ujung lengan baju itu membalik keras!

In Hong terbelalak. Kagum bukan main dia. Biarpun baru segebrakan, akan tetapi sekarang Bun Houw agaknya baru memperlihatkan siapa dirinya sebenarnya! Tadi di waktu melawan Hok Hosiang, pemuda itu memang berpura-pura. Baru sekarang, gerakannya tampak indah dan hebat bukan main, cepat dan tepat, kuat dan juga amat luar biasa! Dan In Hong teringat akan gerakan tangan kiri Bun Houw yang mirip Thian-te Sin-ciang tadi. Siapakah sebenarnya pemuda ini? Dia menduga-duga dan hatinya makin kagum sungguhpun kekhawatiran masih belum meninggalkan hatinya ketika dia melihat dua orang kakek itu kini sudah menerjang lagi dengan dahsyatnya.

Bun Houw maklum bahwa dia berhadapan dengan dua orang kakek yang berkepandaian tinggi dan yang berkelahi dengan mati-matian, maka diapun tidak berani main-main lagi menghadapi musuh besar ini. Dengan cepat dia menggerakkkan potongan gagang tombak itu di tangannya dan segera kedua orang lawannya terkejut bukan main dan berseru keras, juga semua penonton menjadi bengong ketika melihat betapa cepatnya gerakan pemuda itu sehingga tubuhnya seolah-olah berobah menjadi delapan orang yang menghadapi dua orang pengeroyok itu dari delapan penjuru! Gagang tombak dari kayu itu mengeluarkan suara mengaung dan berobah menjadi sinar kehijauan dan kini seolah-olah dua orang Bayangan Dewa itu bukan mengeroyok, bahkan mereka berdua merasa seperti dikeroyok banyak orang! In Hong terbelalak. Gerak kaki pemuda itu jelas mengandung unsur-unsur pokok dari Thian-te Sin-ciang! Dia tidak tahu bahwa memang Bun Houw mainkan Ilmu Pedang Thian-te Sin-kiam ciptaan gurunya, Kok Beng Lama, akan tetapi karena tangannya memegang sebatang kayu, Ilmu Thian-te Sin-ciang ini hanya menjadi gerakan dasar saja, sedangkan kembangannya sudah dia campur dengan Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut dari ayahnya!

Ilmu pemuda itu memang amat tinggi, apalagi dia mainkan dua ilmu yang digabung menjadi satu, dua ilmu pedang yang merupakan ilmu simpanan dari Kok Bang Lama dan Cia Keng Hong. Dua orang lawannya menjadi silau pandang matanya dan bingun. Pat-pi Lo-sian dan Liok-te Sin-mo yang tadinya hendak mendesak dan menghujankan serangan, kini berbalik malah didesak hebat, dihimpit oleh serangan yang datang dari delapan penjuru, dan mereka berdua itu dengan muka pucat kini hanya mampu mengelak dan menangkis saja sambil mundur-mundur.

Bun Houw mempercepat gerakan “pedangnya” dan kini pemuda itu menambah serangannya dengan tamparan-tamparan tangan kiri, tamparan Thian-te Sin-ciang yang mengandung hawa mujijat sepenuhnya! Melihat tamparan-tamparan ini, In Hong makin terbelalak dan dia kini tidak syak lagi bahwa pemuda itu jelas mempergunakan Thian-te Sin-ciang, ilmu mujijat yang pernah dia pelajari dari pendeta Lama ini, akan tetapi pemuda itu menggunakannya secara matang dan hebat sekali! Dia makin terheran-heran dan menduga-duga. Bagaimana murid Cin-ling-pai bisa memiliki kepandaian demikian hebat dan dapat memiliki limu pukulan pendeta Lama itu?

Pat-pi Lo-sian dan Liok-te Sin-mo makin terdesak dan kini keringat dingin membasahi leher dan muka mereka yang pucat, napas mereka mulai memburu dan setiap kali pedang ular bertemu dengan kayu, pedang itu terpental, demikian pula ujung lengan baju Gu Lo It, selalu terpental begitu bertemu dengan pedang kayu atau dengan tangan kiri pemuda itu.

“Bersiaplah kalian untuk membuat perhitungan dengan para suheng Cap-it Ho-han di alam baka!” Tiba-tiba Bun Houw berseru dan gerakannya menjadi makin cepat dan makin kuat.

Pat-pi Lo-sian mengeluarkon suara melengking panjang. Dewa Tua Berlengan Delapan ini mengerahkan seluruh tenaganya, menubruk ke depan, pedang ularnya menusuk pusar, tangan kirinya mencengkeram ke arah ubun-ubun dan kepalanya digerakkan sehingga kuncir rambutnya yang besar panjang itupun bergerak hidup seperti seekor ular, menyambar dan menotok ke arah kedua mata Bun Houw! Hebat bukan main serangan dari orang pertama Lima Bayangan Dewa ini. Akan tetapi berbeda dengan para penonton yang menahan napas memandang, Bon Houw bersikap tenang.

Tusukan pedang ular ke arah pusarnya itu dia hindarkan dengan gerakan tubuh yang dimiringkan karena perobahan kuda-kuda kaki sehingga pedang itu menyeleweng ke samping tubuhnya, kemudian dengan kecepatan kilat pedang kayunya membabat putus kuncir rambut mengancam matanya dan sebelum Phang Tui Lok sempat menarik kembali tangan kirinya, Bun Houw sudah menangkap pergelang tangan itu dengan tangan kirinya.

“Aughhhhh...!” Pat-pi Lo-sian berteriak keras karena dari telapak tangan lawan yang mencengkeram lengannya itu keluar hawa panas yang menjalar dari lengan ke dadanya, seperti membakar tubuhnya. Rasa nyeri dan kemarahan membuat dia nekat dan pedangnya yang mengenai tempat kosong itu sudah ditarik dan ditusukkan kembali ke perut Bun Houw! Dan pada saat yang hampir bersamaan, Gu Lo It juga sudah menubruk dari belakang pemuda itu, menghantamkan kedua tangannya didahului oleh dua ujung lengan baju yang menyambar ke arah punggung Bun Houw.

“Trakkk! Krekkkk... aaaiiihhhhh...!” Pedang ular terlepas dari tangan Pat-pi Lo-sian karena didahului oleh pedang kayu yang menotok pergelangan tangan kanan dan lengan kiri Phang Tui Lok itu remuk tulang-tulangnya ketika Bun Houw menggunakan tenaga Thian-te Sin-ciang untuk mencengkeram.

“Buk! Bukk!” Pukulan Gu Lo It dari belakang sengaja diterima oleh Bun Houw setelah dia melindungi punggungnya dengan sin-kangnya yang amat kuat. Kemudian dia membalik cepat sambil mengangkat tubuh Phang Tui Lok, dilemparkan ke arah Gu Lo It dengan amat kuatnya.

“Brressss...!” Tubuh Phang Tui Lok yang lengan kirinya sudah patah-patah itu menimpa tubuh Gu Lo It sehingga keduanya jatuh tunggang langgang dan sebelum mereka sempat sadar dari keadaan nanar dan dapat bangkit kembali, nampak sinar hijau berkelebat dua kali dan terdengarlah pekik-pekik mengerikan dan dua orang Bayangan Dewa yang amat terkenal setelah mereka mengacau Cin-ling-pai itu tewas seketika. Hanya ada sedikit darah mengucur keluar dari tengkuk mereka yang ditusuk oleh pedang-pedangan kayu di tangan Bun Houw.

Sejenak suasana menjadi sunyi sekali, seolah-olah semua orang masih termangu-mangu, heran dan terkejut menyaksikan kesudahan pertandingan yang tak tersangka-sangka itu, akan tetapi begitu Raja Sabutai bertepuk tangan memuji, terdengarlah sorak-sorai dan tepuk tangan yang meriah dan di antara mereka yang bertepuk tangan, juga tidak ketinggalan In Hong yang menjadi gembira dan lega bukan main!

Di antara suara sorak-sorak itu, terdengar Yo Bi Kiok berbisik kepada muridnya, “Kekasihmu itu bisa menjadi orang yang amat berbahaya, muridku. Kau harus dapat menundukkan dia, kalau tidak bisa berbahaya...”

Dan Pek-hiat Mo-ko juga berbisik kepada Raja Sabutai, “Pemuda itu mencurigakan, sri baginda. Dia bukan orang sembarangan, bukan murid sembarangan...”

Akan tetapi Bun Houw tidak memperdulikan sorak-sorai pujian itu. Dia membiarkan para pengawal menyeret pergi dua mayat musuh-musuhnya itu lalu dia melangkah ke dekat Raja Sabutai, menjura dengan hormat dan berkata, “Terima kasih atas kemurahan paduka yang telah memberi kesempatan kepada saya untuk berhadapan dengan musuh-musuh saya. Setelah mereka semua tewas, saya mohon kembalinya pedang pusaka perkumpulan kami dan mohon perkenan untuk keluar dari tempat ini.”

“Bocah she Bun, nanti dulu!” Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan nampak bayangan berkelebat cepat. Yo Bi Kiok sudah berdiri di tengah ruangan itu dengan sikap menantang! “Bayangan Dewa memang sudah kalah terhadap engkau, akan tetapi di sini masih ada ketua Giok-hong-pang yang juga ingin memperebutkan Siang-bhok-kiam! Memang pibu ini diadakan untuk mengukur siapa yang paling pandai, siapa yang paling tinggi kepandaiannya dan yang paling pandai berhak memiliki Siang-bhok-kiam! Bukankah begitu, sri baginda?”

Raja Sabutai tersenyum. Tentu saja raja ini tidak memperdulikan urusan pribadi orang lain dan dia hanya ingin melihat orang-orang pandai mengadu ilmu. Bagi raja ini, siapapun yang akan memiliki pedang kayu itu tidak ada bedanya. “Siapapun yang mempunyai urusan pribadi hendak diselesaikan melalui pibu, boleh diselesaikan sekarang di sini,” jawabnya mengangguk.

Bun Houw memutar tubuhnya, perlahan-lahan dan kini dia memandang kepada Yo Bi Kiok dengan sinar mata tajam penuh selidik, bahkan mukanya mulai berobah merah karena dia teringat akan ucapan Phang Tui Lok tadi tentang perbuatan Yo Bi Kiok ini. Menurut pengakuan Phang Tui Lok tadi, Bayangan Dewa itu berhasil membunuh empat murid utama dari Cin-ling-pai, sudah tentu Kwee Kin Ta, Kwee Kin Ci, Louw Bu dan Un Siong Tek, dan juga membunuh besan ayahnya yang tentu adalah Hong Khi Hoatsu di Sin-yang atas bantuan Yo-pangcu ini. Bahkan katanya wanita ini telah menculik Lie Seng, keponakannya, putera dari encinya! Baru sekarang dia mendengar akan hal itu dan belum sempat menyelidikinya, akan tetapi sekarang wanita iblis ini malah mencari gara-gara hendak merampas Siang-bhok-kiam!

Subo... Bun-ko... jangan...!” terdengar suara In Hong khawatir. Akan tethpi Bun Houw tidak perduli, dan kini dia sudah melangkah perlahan menghampiri Yo Bi Kiok yang berdiri di tengah ruangan, menantinya sambil tersenyum. Bahkan kini hati Bun Houw menjadi makin panas dan marah mengingat bahwa wanita iblis ini adalah guru dari gadis yang telah merampas hatinya! Gadis yang ternyata juga amat kejam, dan agaknya kekejaman itu diwarisi dari gurunya ini! Maka marahlah dia kepada Yo Bi Kiok.

Kini mereka sudah berhadapan dan sejenak keduanya saling pandang, Bun Houw marah dan Yo Bi Kiok tersenyum mengejek.

“Orang muda she Bun.” Yo Bi Kik berkata. “Demi persahabatanmu dengan muridku, lebih baik kau menyerahkan Siang-bhok-kiam kepadaku, dengan demikian tidak ada perlunya lagi bagi kita untuk saling bertanding.”

Akan tetapi pada saat itu pikiran Bun Houw sama sekali tidak mengingat Siang-bhok-kiam, melainkan urusan lain lagi. “Yo-pangcu, Siang-bhok-kiam adalah pusaka Cin-ling-pai dan siapapun juga tidak boleh mengambilnya. Akan tetapi, sekarang aku hendak menuntut pangcu tentang urusan di Sin-yang!”

Berkerut alis mata yang panjang melengkung itu dan dagu yang runcing manis itu diangkat. “Hemm, bocah she Bun, ada apa kau tanya-tanya soal itu?”

“Yo-pangcu! Urusan ini bahkan lebih panting lagi! Aku mendengar tadi bahwa engkau telah menculik Lie Seng, benarkah itu?”

“Bocah she Bun, tidak perlu kau lancang hendak mencampuri urusan orang lain! Aku hendak menyimpan Siang-bhok-kiam hanya untuk melindungimu, mengerti? Sebagai sahabat baik muridku, engkau tak perlu membahayakan diri, engkau harus menjadi seorang...kekasih yang baik, jangan menjadi seorang laki-laki yang berhati palsu. Hati-hati engkau kalau sampai engkau menyakiti hati muridku. Gadis dusun itu menjadi contohnya, dan kalau engkau yang tidak setia, engkaulah yang akan kubunuh. Nah, mundurlah dan hiburlah hati In Hong, biarkan aku yang menghadapi mereka itu. Tak tahukah engkau bahwa mereka berdua itu agaknya tidak akan mengembalikan Siang-bhok-kiam begitu saja?”

Bun Houw terkejut bukan main. Di dalam ucapan wanita itu tadi tersangkut banyak sekali persoalan! Pertama, urusan cinta yang belum diketahui siapapun juga, cinta yang terkandung di dalam hatinya tarhadap In Hong, agaknya telah diketahui oleh wanita ini dan dibicarakan di depan umum begitu saja! Kedua, wanita ini mengaku bahwa dia yang membunuh gadis dusun she Ma itu! Lapanglah hati Bun Houw. Jadi bukan nona Hong yang membunuh, melainkan wanita iblis ini. Dan ketiga, baru dia tahu bahwa dua orang kakek dan nenak itu, yang tadi menyimpan Siang-bhok-kiam, guru-guru dari Raja Sabutai, juga menginginkan padang pusaka itu!

“Yo-pangcu, semua urusan itu boleh kukesampingkan, karena yang penting sekarang adalah persoalan yang kaulakukan di Sin-yang! Benarkah engkau menculik Lie Seng, cucu ketua Cin-ling-pai?”

“Kalau benar, engkau mau apa?” Yo Bi Kiok bertanya dengan nada mengejek karena hatinya menjadi jengkel sekali. Dia teringat akan Lie Seng, bocah yang telah menghinanya secara menggemaskan sekali, yang telah menghajarnya babak belur, dan dia tidak mampu berbuat apa-apa karena anak itu dibantu oleh pendeta Lama yang amat sakti. Akan tetapi akhirnya dapat juga dia membalas menyerang anak itu dengan Siang-tok-swa dan agaknya bocah itu sekarang sudah mampus!

“Bagus! Yo-pangcu, kalau begitu aku menantangmu untuk mengadu nyawa di sini!” Bun Houw membentak marah.

“Bun-ko...!” In Hong berseru kaget dan tubuh dara ini sudah melayang ke tengah ruangan itu, menghadang antara Bun Houw dan gurunya. “Bun-ko, engkau tidak boleh melawan subo!”

“Hong-moi, aku telah bersalah kepadamu. Engkau tidak berdosa, akan tetapi gurumu itu... dia iblis betina keji yang harus kubasmi. Minggirlah, Hong-moi!”

“Tidak! Engkau tidak boleh melawan Subo...”

“Hong-moi!” Bun Houw membentak.

“Kalau engkau berkeras, terpaksa aku yang mewakili subo menghadapimu, Bun-ko.”

“Hong-moi...!” Bun Houw terkejut, meragu dan bingung.

Pada saat itu, tedengar seruan. “Tahan...!” Semua orang terkejut melihat berkelebatnya bayangan orang yang mencelat melalui atas kepala para penjaga, cepat sekali gerakannya seperti burung terbang dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang laki-laki sederhana, berusia tiga puluh tujuh tahun, mukanya kurus sekali dan agak pucat sehingga nampak sepasang matanya yang tajam memenuhi wajah kurus yang masih membayangkan sisa ketampanan itu.

“Sute, mundurlah, biar aku yang menghadapinya!” kata pria itu kepada Bun Houw.

“Suheng...!” Bun Houw berseru ragu-ragu dan alisnya berkerut. Hati Bun Houw masih penasaran bertemu dengan Yap Kuh Liong ini, yang mengingatkan dia akan peristiwa hebat yang menimpa keluarga encinya.

In Hong juga terkejut melihat kakak kandungnya, akan tetapi kesempatan itu dipergunakannya untuk mundur dengan hati lega karena diapun melihat Bun Houw mundur dengan muka berobah. In Hong makin terheran-heran mendengar kakak kandungnya menyebut sute kepada Bun Houw.

Sementara itu, begitu melihat pria ini, wajah Yo Bi Kiok berobah, sebentar pucat sebentar merah, mukanya kadang-kadang seperti orang hendak menangis kadang-kadang seperti orang bergembira. Aneh sekali sikap wanita cantik ini.

Orang itu memang Yap Kun Liong. Seperti telah diceritakan di bagian depan, pendekar ini bertemu dengan Cia Keng Hong, mendengar bahwa adik kandungnya, Yap In Hong, berada di benteng musuh dan bahwa sutenya, Cia Bun Houw, sedang menyusul untuk melindungi In Hong, maka diapun lalu menyusul. Ketika dia menyelidiki, dia mendengar bahwa di dalam benteng sedang ramai diadakan pibu antara orang-orang yang berkepandaian tinggi, dan bahwa yang mengadakan pibu itu adalah Raja Sabutai sendiri. Mendengar ini dia lalu mencari jalan masuk dan akhirnya, berkat kepandaiannya yang tinggi, dia berhasil pula masuk dan tiba di tempat itu tepat pada saat Bun Houw mendesak Yo Bi Kiok untuk mengaku tentang Lie Seng. Mendengar bahwa Lie Seng yang kabarnya terculik itu ternyata diculik oleh Yo Bi Kiok, Kun Liong menjadi kaget dan marah sekali maka tak tertahankan lagi dia berseru dan meloncat ke tengah ruangan dengan hati penuh kemarahan.

Akan tetapi, pendekar ini masih ingat bahwa dia berada di dalam benteng Raja Sabutai yang telah mundur dan menyerang kota raja, maka dia lalu memberi hormat kepada raja itu, berkata, “Harap sri baginda mengampunkan kelancangan saya yang datang tanpa diundang.”

Raja Sabutai mengerutkan alisnya. Tadi, para pengawal sudah menggerakkan senjata dan memandang kepadanya menanti perintah, juga kedua orang gurunya sudah siap bendak menerjang, hanya menanti isyaratnya, akan tetapi dia memberi isyarat kepada mereka semua agar jangan turun tangan. Andaikata tidak ada sebutan sute dan suheng antara pendatang baru ini dan Bun Houw, tentu dia telah memberi isyarat untuk menanqkap penyelundup itu. Akan tetapi, ketika melihat bahwa pendatang baru ini adalah suheng dari Bun Houw yang demikian lihai, hatinya tertarik. Akan tetapi kini mendengar ucapan Yap Kuli Liong, Raja Sabutai dengan alis berkerut dan suara marah membentak, “Siapakah engkau?”

“Sri baginda, dia adalah kakak kandung saya!” Tiba-tiba In Hong berkata. Kun Liong memutar tubuhnya memandang In Hong dengan wajah berseri. Tidak ada kata-kata yang lebih merdu, lebih menggembirakan daripada suara dara itu yang kini di depan orang banyak mengakui dia sebagai kakak kandungnya.

“Adikku...!” Dia berbisik dengan hati terharu, akan tetapi In Hong hanya memandang kepadanya dengan mata terbelalak, karena gadis ini mengakui kakaknya hanya untuk meredakan kemarahan Raja Sabutai.

Dan memang tepatlah dugaannya. Mendengar seruan gadis yang pernah amat dipercayanya, yang menjadi pengawal, pelindung dan juga sahabat isterinya, berkuranglah kemarahan dalam hati Raja Sabutai atas kelancangan Kun Liong.

“Apa keperluanmu datang ke sini tanpa diundang?” Raja Sabutai bertanya lagi.

“Saya bernama Yap Kun Liong dan kedatangan saya secara lancang ini adalah karena saya mendengar bahwa adik kandung saya, Yap In Hong dan sute Cia Bun Houw berada di sini...”

“Ouhhh...!” Yang menjerit ini adalah In Hong. Dan gadis itu kini berdiri dengan mata terbelalak memandang kepada Bun Houw yang juga sedang memandang kepadanya dengan bengong. Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati In Hong ketika mendengar bahwa pemuda yang selama ini disangkanya orang she Bun, yang baru saja dengan kepandaiannya yang hebat membuat dia terheran-heran, ternyata adalah Cia Bun Houw putera ketua Cin-ling-pai atau... tunangannya sendiri yang dia batalkan! Cia Bun Houw! Kekasih Yalima! Tak terasa lagi matanya menjadi panas dan cepat-cepat dia mengusap air mata yang belum keluar itu. Cia Bun Houw! Mengapa dia begitu bodoh? Begitu buta? Orang yang mati-matian membela Cin-ling-pai, orang muda yang begitu lihai, tentu saja Cia Bun Houw! Di lain fihak, Bun Houw juga bengong terlongong. Kiranya gadis yang mengagumkan hatinya, yang menjatuhkan hatinya, ternyata adalah adik Yap Kun Liong sendiri!

“Kedatangan saya ini sama sekali bukan hendak mengacaukan benteng paduka sri baginda. Melainkan karena urusan pribadi. Setelah mendengar bahwa mereka berdua berada di sini, saya menyusul dan tadi hanya mendengar tentang pengakuan wanita bernama Yo Bi Kiok atau Yo-pangcu, ketua Giok-hong-pang ini. Maka saya hendak menyelesaikan urusan pribadi saya dengan dia, jika paduka memperkenankan.”

Melihat sikap gagah dan kata-kata yang lancar dan hormat itu, Raja Sabutai tahu bahwa yang berdiri di depannya adalah seorang yang berkepandaian tinggi, maka dia menjadi gembira sekali. Akan lebih ramai sekarang! Maka dia mengangguk. “Baik, silakan.”

Yap Kun Liong kini menghampiri Yo Bi Kiok, alisnya berkerut dan pandang matanya penuh selidik, penuh penyesalan. “Yo Bi Kiok, sungguh menyesal bahwa kita sekarang saling berhadapan dalam keadaan seperti ini! Sekarang harap engkau suka berterus terang apa saja yang telah kaulakukan di Sin-yang, dan ke mana kau membawa Lie Seng putera dari Cia Giok Keng itu.”

Yo Bi Kiok sejenak memandang wajah pria yang sejak dahulu dipuja dan dicintanya itu, memandang mesra, kemudian dia tersenyum. “Kun Liong, kenapa engkau mencampuri urusan ini? Apa perdulimu tentang urusanku dengan keluarga Cin-ling-pai?”

“Benar! Engkau tidak berhak, Yap-suheng. Mundurlah dan aku yang akan menyelesaikan perhitungan ini dengan Yo-pangcu!”

“Kalau engkau melawan subo, terpaksa aku akan maju menghadapimu... Bun-ko!”

“Ahhh... tapi kau... kau adik Yap-suheng dan dia itu...” Bun Houw bingung.

“Sute, biarkan aku yang menghadapinya. Ini adalah urusan pribadiku. Aku telah bersumpah kepada encimu untuk mencari Lie Seng sampai dapat. Kalau benar dia yang menculik Lie Seng, maka akulah yang akan menghadapinya.” Kun Liong berkata kepada Bun Houw, kemudian dia mendesak. “Bi Kiok, katakanlah, mengapa engkau menculik Lie Seng dan di mana dia sekarang?”

“Kun Liong, engkau terlalu, selalu kau hendak membikin marah aku. Kalau aku tidak menjawab pertanyaanmu, bagaimana?”

“Aku akan memaksamu.”

“Kun Liong... ah, Kun Liong, mengapa kita berdua seperti ini? Berhadapan sebagai musuh? Kun Liong, marilah kita pergi dari sini, meninggalkan semua ini, meninggalkan dunia yang menjemukan ini, mari kita hidup bersama, jauh dari segala pertikaian dan segala urusan... marilah dan aku akan menceritakan segala-galanya kepadamu.”

Kun Liong mengerutkan alisnya, pandang matanya menusuk, “Tidak perlu banyak membujuk lagi, Yo Bi Kiok. Katakan, apa yang kaulakukan terhadap Lie Seng?”

Tiba-tiba wanita itu meloncat dengan marah, matanya berkilat dan mukanya merah. “Kau lebih memberatkan anak Cia Giok Keng itu daripada aku? Keparat Yap Kun Liong. Sekali lagi kau mau pergi bersamaku atau hendak memusuhi aku?”

“Kalau kau tidak mengaku, terpaksa aku menggunakan kekerasan.”

“Singgg...!” Yo Bi Kiok sudah mencabut pedang Lui-kong-kiam. “Kalau begitu, aku ingin melihat engkau mampus di tanganku!” Wanita itu mengeluarkan suara melengking tinggi dan dia sudah menyerang dengan hebatnya, melakukan tusukan kilat ke arah dada Yap Kun Liong. Pendekar ini cepat mengelak, akan tetapi baru saja dia mengelak, pedang Lui-kong-kiam sudah menyambar lagi ke arah lehernya.

”Plakk!” dengan kecepatan mengagumkan, tangan Kun Liong berhasil menampar lengan kanan Bi Kiok sehingga sambaran pedang menyeleweng. Namun hal ini membuat Bi Kiok makin marah dan makin hebatlah serangannya yang datang seperti hujan. Dalam waktu singkat saja tubuh Kun Liong sudah digulung oleh sinar pedang. Pendekar ini hanya mengelak ke sana-sini karena dia tidak menggunakan senjata, dan sesungguhnya di dalam hatinya, Yap Kun Liong merasa kasihan kepada Bi Kiok yang sampai saat itu masih tergila-gila dalam cintanya kepadanya, cinta yang tak mungkin dapat dibalasnya.

Bun Houw dan In Hong menonton dengan jantung berdebar. Terlalu banyak peristiwa terjadi dalam waktu singkat, terlalu banyak rahasia yang mengejutkan tersingkap sehingga mereka masih merasa terguncang dan menjadi tegang. Biarpun tadinya dia marah kepada Yap Kun Liong, karena antara pendekar itu dan keluarga encinya terjadi hal yang amat hebat, akan tetapi melihat kini Kun Liong bertanding mati-matian membela keponakannya, yaitu Lie Seng yang terculik oleh ketua Giok-hong-pang, tentu saja hatinya berfihak kepada Yap Kun Liong. Maka, melihat pendekar itu menghadapi ketua Giok-hong-pang dengan tangan kosong padahal permainan pedang wanita itu lihai bukan main, hatinya menjadi gelisah sekali. Melihat gerakan Yap Kun Liong yang demikian murni, cepat dan tepat, diam-diam dia kagum sekali dan tahulah dia mengapa ayahnya amat memuji-muji suhengnya ini. Gerakan suhengnya sudah demikian matangnya sehingga sukarlah untuk melihat sedikitpun kesalahan, perhitungannya demikian tepat sehingga semua serangan pedang yang demikian berbahayanya itu dapat dihindarkan dengan baik.

Semua orang, termasuk kakek dan nenek guru Raja Sabutai, memandang dengan bengong karena yang disuguhkan oleh dua orang yang sedang bertanding itu adalah betul-betul ilmu yang amat tinggi tingkatnya. Para penonton yang tidak memiliki kepandaian tinggi menjadi silau matanya dan tidak dapat mengikuti gerakan dua orang itu, hanya melihat betapa mereka itu kadang-kadang lenyap dan kadang-kadang bergerak dengan lambat sekali seperti orang main-main saja! Yang paling gelisah dan bingung adalah In Hong! Dia sudah dibingungkan oleh kenyataan bahwa Bun Houw adalah Cia Bun Houw putera ketua Cin-ling-pai yang tadinya ditunangkan dengan dia dan ditolaknya, Cia Bun Houw kekasih Yalima dan sekarang dia menghadapi pertandingan antara kakak kandungnya dan gurunya! Sekarang, setelah merantau selama satu tahun meninggalkan gurunya, terjadi perobahan besar dalam batin gadis ini. Sekarang dia dapat melihat betapa kejam dan anehnya watak gurunya, dan sekarang baru dia dapat melihat betapa kakak kandungnya telah mengalami peristiwa yang amat hebat! Kakaknya itu kematian isterinya dan kakaknya itu menolak cinta gurunya karena memang sudah sepatutnya demikian. Kakaknya sudah beristeri, dan sebagai seorang laki-laki yang jantan tentu saja menolak cinta kasih wanita lain. Baru sekarang tampak olehnya bahwa dalam urusan kakaknya dan gurunya, sesungguhnya gurunya yang tidak tahu malu, mencinta suami orang lain.

Betapapun juga, hatinya tetap merasa berat kepada gurunya, maka melihat pertandingan itu, dia gelisah bukan main. Dia tahu betapa lihai gurunya, apalagi memegang Lui-kong-kiam yang ampuh, sedangkan kakaknya bertangan kosong. Ini tidak adil, pikirnya. Dia boleh tidak berfihak manapun, akan tetapi pertandingan itu harus dilakukan dengan adil. Barulah menang atau kalah merupakan suatu kehormatan. Dan pedang ini...pedang Hong-cu-kiam, adalah pedang putera Cin-ling-pai...pedang...tunangannya yang sudah mencinta orang lain, mencinta Yalima...! Tiba-tiba hatinya terasa panas sekali dan dia cepat melolos pedang Hong-cu-kiam, melontarkan pedang itu kepada Kun Liong sambil berkata, “Koko, pakailah ini, baru adil!”

Sebetulnya Kun Liong tidak mau menggunakan senjata. Dia tahu bahwa kepandaian wanita ini amat tinggi dan aneh, akan tetapi karena Yo Bi Kiok melatih ilmu silat tinggi yang murni dan sukar itu tanpa petunjuk, limu silat peninggalan Panglima The Hoo yang amat tinggi dan murni, maka dia melihat kelemahan-kelemahannya. Dengan mengandalkan Thi-khi-i-beng sehingga kalau perlu dia boleh menggunakannya agar tidak sampai terluka, dan dengan kematangan ilmu silatnya yang telah digemblengnya dengan dasar ilmu mujijat dari kitab Keng-lun Tai-pun dari Bun Ong, maka dia percaya bahwa dia akhirnya akan dapat mengalahkan Yo Bi Kiok tanpa membunuhnya. Dia hanya ingin memaksa wanita itu mengembalikan Lie Seng dalam keadaan selamat dan dia tidak tega untuk membunuh wanita yang sebetulnya amat mencintanya itu. Akan tetapi, mendengar seruan adik kandungnya yang melemparkan sebatang pedang, hatinya girang bukan main, bukan girang karena memperoleh pedang, melainkan girang karena melihat perobahan pada adiknya. Dahulu, di waktu pertama kali dia bertanding melawan Yo Bi Kiok, adiknya itu malah membantu wanita yang menjadi gurunya ini. Akan tetapi sekarang, adiknya membantunya dengan meminjamkan pedang. Kegirangan melihat adiknya benar-benar berobah, bahkan telah menyelamatkan kaisar dan kini membantunya, membuat Kun Liong menyambar pedang Hong-cu-kiam dan begitu dia memutar pedang itu, dia terkejut karena yang dimainkannya itu adalah sebatang pedang yang luar biasa ampuhnya! Dia tidak tahu bahwa itu adalah pedang kepunyaan Cia Bun Houw, pemberian dari Kok Beng Lama.

Terdengar suara mengaung-aung, seperti ada ribuan lebah beterbangan dan baik Bun Houw maupun In Hong memandang kagum sekali. Pedang Hong-cu-kiam itu setelah dimainkan oleh tangan pendekar sakti ini seolah-olah menjadi hidup dan menjadi ribuan lebah yang berbunyi sambung-menyambung. Juga gulungan sinar emas dari pedang itu amat lebar dan panjang, kilatan yang mencuat dan menyambar-nyambar amatlah banyaknya sehingga selain nampaknya amat indah, juga amat berbahaya sehingga Yo Bi Kiok sendiri sampai beberapa kali menjerit kaget!

Tidak disangka sama sekali, bantuan In Hong dan kegembiraan Kun Liong yang membuat permainan pedangnya makin hebat itu dan membuat Yo Bi Kiok seketika terdesak secara berat, membuat wenita ini menjadi marah bukan main. Marah kepada muridnya, kepada In Hong! Memang, watak Bi Kiok amatlah aneh dan keji, juga ganas. Dia tidak marah kepada Kun Liong atau orang lain, sebaliknya malah marah kepada muridnya yang tidak membantunya malah membantu Kun Liong dengan memberikan pedangnya.

“Murid durhaka...!” Tiba-tiba dia menjerit dan sekali meloncat, dia telah meninggalkan Kun Liong dan menyerang muridnya!

“Ihhh...!” In Hong cepat melempar tubuh ke belakang untuk menghindar ketika sinar pedang menyerangnya secara hebat. Serangan itu luput akan tetapi Bi Kiok menyusulkan serangan lain yang lebih berbahaya.

“Subo...!” In Hong kembali mengelak dan nyaris lambungnya keserempet pedang.

“Bi Kiok, gilakah engkau?” Kun Liong juga meloncat dan menggerakkan pedangnya.

“Cringg... cringg... tranggg!” Tiga kali pedangnya menangkis bacokan-bacokan pedang Bi Kiok yang ditujukan kepada In Hong. Akan tetapi Bi Kiok sudah seperti gila, dia terus menyerang tanpa memperdulikan dirinya sendiri.

Singgg...Wuuuttt! Murid durhaka!” Kembali pedang Lui-kong-kiam membabat ke arah In Hong yang meloncat mundur. “Bukk...aihhhh!” In Hong yang kurang cepat mengelak itu kena ditendang kaki kiri gurunya dan dia terguling. Sesungguhnya tidak akan semudah itu Yo Bi Kiok dapat menendang muridnya sampai terguling kalau saja In Hong berada dalam keadaan biasa. Namun gadis itu memang sedang tertekan hebat batinnya. Hanya dengan hati berat dan sakit dia terpaksa melemparkan pedangnya kepada kakak kandungnya tadi, dan dia menonton dengan wajah pucat, kedua kaki gemetar dan jantung berdebar penuh ketegangan, merasa seolah-olah dia sendiri yang menyerang gurunya, orang yang sejak kecil memelihara, mendidik, dan menyayangnya. Karena keadaan seperti itulah maka ketika diserang secara hebat oleh gurunya In Hong hanya dapat menghindarkan pedang, tidak menyangkanya akan ditendang oleh gurunya sampai terguling. Dan cepat bagaikan kilat, Yo Bi Kiok sudah menubruk dan menusukkan pedangnya ke arah tubuh muridnya!

“Bi Kiok, terlalu engkau!” Kun Liong sudah membentak marah sekali, gerakannya lebih cepat sedetik daripada gerakan pedang Yo Bi Kiok yang menusuk In Hong.

“Cringggg... ceppp!”

“Aihhhhhhh...!?” Tubuh ketua Giok-hong-pang itu terguling dan pedang Lui-kong-kiam terlepas dari pegangannya. Dia jatuh miring dan menggunakan tangan kiri mendekap lambungnya yang mengucurkan darah dari luka bekas tusukan pedang Hong-cu-kiam tadi.

“Bi Kiok...!” Yap Kun Liong terbelalak dan cepat dia berlutut dekat tubuh wanita itu. “Bi Kiok, kau...ampunkan aku...!” Pendekar ini merasa menyesal bukan main karena tadi dia terpaksa menyerang wanita itu untuk menyelamatkan nyawa adiknya. Kalau tidak terpaksa seperti keadaan tadi, bagaimanapun juga tentu dia akan mengalah dan tidak akan tega melukai apalagi membunuh wanita yang dia tahu hidup sengsara karena cintanya kepadanya tidak dibalasnya itu.

Yo Bi Kiok tersenyum, mengeluh dan darah masih menetes-netes dari celah-celah jari tangannya, membasahi bajunya.

“Kun Liong... aku cinta padamu... uuh, Kun Liong...”

Wanita itu mengulur tangan kanannya dan Kun Liong menangkap tangan itu, menekapkan tangan itu ke dadanya. “Ampunkan aku, Bi Kiok...”

Tiba-tiba wanita itu tertawa. “Hi-hi-hik, heh-heh, aku... tidak menyesal, Kun Liong. Aku tewas di tanganmu, sungguh menyenangkan sekali.”

“Maafkan aku, ampunkan aku...”

“Heh-heh, kau minta maaf? Minta ampun? Ha-ha, Yap Kun Liong...aku...aku tidak pernah minta ampun kepadamu...ahhhh...sungguhpun...aku telah menusukkan pedang itu ke dada isterimu...ah, puas hatiku! Aku membunuhnya, Kun Liong...heh-heh, kau terkejut...? Aku aku membunuh Hong Ing yang telah merampas engkau dariku...ha-ha-ha, dan bocah itu...siapa namanya? Lie Seng...ha-ha, putera Giok Keng itu...aku telah membunuhnya dengan Siang-tok-swa...!”

“Bi Kiok!” Kun Liong yang tadi melepaskan tangan itu dan terbelalak memandang dengan muka pucat, kini berseru keras, seruan yang penuh dengan kejijikan dan penyesalan mengapa wanita yang ketika masih gadis merupakan seorang yang manis dan gagah itu kini berobah menjadi iblis yang demikian kejamnya. “Kau... kau kejam sekali!”

“Heh-heh-heh...aku...kejam...? Bukan aku, melainkan engkau yang kejam, Kun Liong... oughhhh...kalau tidak karena kekejamanmu kepadaku...aku tidak...tidak akan...ahhh, Kun Liong... aku tidak kuat lagi, aku... aku mati dan... kau harus ikut bersamaku!”

“Suheng...!”

“Koko, awas...!”

Bagaikan seekor burung cepatnya, tubuh Kun Liong mencelat ke atas, berjungkir balik sampai lima kali, akan tetapi karena jaraknya yang amat dekat dan karena tangan kiri yang berlumuran darah itu tadi tak tersangka-sangka telah menggenggam pasir beracun, maka betapapun cepat Kun Liong mengelak, tetap saja ada sebagian pasir harum beracun yang menembus kulit dadanya. Tubuh pendekar ini jatuh lagi menimpa mayat Yo Bi Kiok yang mati dengan mata terbelalak. Pendekar itu terkulai dan pingsan!

“Yap-suheng...!” Bun Houw menubruk ke depan dan hendak memeriksa dada suhengnya, akan tetapi In Hong sudah berlutut dan berkata kepadanya, “Minggirlah, biarkan aku menolong kakakku!” Suara dara itu kaku dan keras, tanda bahwa dia marah kepada Bun Houw.

Bun Houw maklum bahwa gadis ini tentu saja lebih ahli untuk menolong luka yang terkena Siang-tok-swa, maka dia bangkit berdiri dan melangkah mundur, hanya menonton ketika jari-jari tangan yang mungil dan kuat itu merobek baju di dada Kun Liong, kemudian memeriksa dada kanan yang penuh dengan bintik-bintik hijau bekas terkena Siang-tok-swa itu.

“Lekas kaucarikan tempat memasak obat, dan masak obat ini!” Tanpa menoleh dan dengan sikap seolah-olah seorang nyonya majikan memerintah jongosnya, In Hong menyerahkan sebungkus obat kepada Bun Houw. Pemuda itu cepat menerimanya dan dengan petunjuk seorang pengawal dia lari ke dapur dan memasak obat itu dengan air dua mangkok. Sementara itu, In Hong menggunakan obat bubuk lain lagi untuk dicampur air dan diborehkan ke dada yang terluka. Kemudian dia menotok beberapa jalan darah di dada dan pundak kakaknya, dan menempelkan telapak tangannya pada tempat yang terluka, lalu mengerahkan tenaga saktinya menyedot. Tak lama kemudian, beberapa butir pasir halus sekali telah menempel di telapak tangannya dan cepat disimpannya pasir-pasir berbahaya itu. Ketika Bun Houw datang membawa obat, dengan bantuan pemuda itu In Hong lalu meminumkan obat itu kepada Kun Liong yang sudah mulai sadar.

“Uhhhh...!” Begitu sadar Kun Liong lalu meloncat ke atas akan tetapi dia terhuyung.

“Koko, engkau belum boleh banyak bergerak.” In Hong berkata.

Kun Liong memejamkan mata sejenak, tubuhnya yang berdiri tegak itu agak bergoyang, kemudian dia membuka mata memandang ke sekelilingnya, lalu kepada mayat Yo Bi Kiok. Dia menghampiri mayat itu, dengan jari tangannya dia menutupkan kelopak mata dan mulut mayat itu, baru kemudian dia duduk bersila di atas lantai, mengerahkan sin-kang mengusir sisa racun dan mengumpulkan hawa murni untuk memulihkan tenaganya.

“Hebat...!” Tiba-tiba terdengar Raja Sabutai berkata, memecah kesunyian yang tadi mencekam keadaan di situ semenjak terjadi peristiwa hebat itu. “Sungguh ilmu kepandaian hebat-hebat yang telah diperlihatkan tadi. Kami merasa kagum sekali!”

Bun Houw lalu melangkah maju dan menjura kepada Raja Sabutai. “Terima kasih atas kebijaksanaan paduka. Sekarang, urusan pribadi telah selesai dan musuh-musuh Cin-ling-pai telah tewas. Maka kami hendak mohon diri dan mohon agar pedang pusaka kami dikembalikan kepada kami.” Sambil berkata demikian, pemuda ini mengerling ke arah Pek-hiat Mo-ko karena pedang Siang-bhok-kiam terselip di pinggang kakek bermuka putih itu.

Raja Sabutai menoleh kepada gurunya, tersenyum lebar dan menjawab, “Pek-hiat Mo-ko ini adalah guruku, dan dia mempunyai omongan untuk disampaikan kepadamu, Bun... eh, Cia-sicu. Bukankah engkau sesungguhnya adalah putera ketua Cin-ling-pai yang terkenal bernama Cia Keng Hong itu? Nah, terserah kepada suhu Pek-hiat Mo-ko dan subo Hek-hiat Mo-li tentang pedang Siang-bhok-kiam itu.” Raja ini memandang dengan mata bersinar gembira karena dia ingin sekali melihat apakah tiga orang Han yang lihai ini akan mampu menandingi kedua orang gurunya. Sesungguhnya Raja Sabutai tidak tertarik oleh pedang kayu itu dan diapun tidak tertarik oleh urusan-urusan pribadi, akan tetapi karena dia ingin sekali melihat kedua orang gurunya bertanding dengan Yap In Hong, Yap Kun Liong atau Cia Bun Houw, maka dia tidak melarang ketika Pek-hiat Mo-ko tadi berbisik-bisik kepadanya tentang pedang itu.

Berkerut alis tebal di atas mata yang bersinar-sinar itu ketika Bun Houw kini langsung menentang pandang mata nenek dan kakek yang menyeramkan itu. “Urusan perebutan pedang pusaka adalah urusan pribadi antara Lima Bayangan Dewa dan Cin-ling-pai,” katanya lantang. “Sama sekali tidak menyangkut orang lain. Locianpwe hanya bertugas menyimpan pedang dan menyerahkannya kepada fihak yang menang. Oleh karena itu, saya harap dengan sangat dan minta dengan hormat agar locianpwe suka menyerahkan pedang pusaka kami itu kepada saya.”

“Hoh-hoh, nanti dulu, orang muda!” Pek-hiat Mo-ko tertawa dan melangkah maju, sikapnya memandang rendah. “Mengembalikan pedang kayu ini adalah perkara mudah. Akan tetapi lebih dulu jawablah pertanyaan-pertanyaan dengan jujur.”

“Silakan bertanya, locianpwe,” kata Bun Houw sambil mengamati wajah yang rusak itu, dan dari logat bicara kakek ini dia dapat menduga bahwa kakek ini tentulah seorang asing.

“Siapakah namamu yang sesungguhnya?”

“Nama saya Cia Bun Houw,” menjawab demikian, Bun Houw merasa tengkuknya dingin dan tahulah dia bahwa tengkuknya itu disambar sinar mata In Hong. Akan tetapi perasaan ini dilawannya dengan kenyataan bahwa gadis itupun tadinya hanya dikenal sebagai nona Hong saja, sama sekali dia tidak pernah mimpi bahwa gadis itu adalah Yap In Hong, adik kandung Yap Kun Liong!

“Engkau putera dari Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai?” tanya lagi Pek-hiat Mo-ko dengan suaranya yang mengandung getaran dingin menyeramkan.

“Benar.”

“Bukankah Cia Keng Hong itu adalah pendekar yang dahulu terkenal sebagai sahabat baik, bahkan tangan kanan dari Panglima Besar The Hoo?” tanya lagi kakek yang sukar ditaksir berapa usianya itu karena mukanya yang putih itu seperti muka mayat.

Kepahlawanan merupakan suatu kebanggaan bagi tiap orang gagah di dunia kang-ouw. Kenyataan bahwa ayahnya adalah seorang pahlawan pembela nusa bangsa, juga bahwa ayahnya merupakan sahabat baik dari Panglima Besar The Hoo yang telah terkenal di seluruh dunia bahkan amat disegani dan ditakuti kawan dan lawan itu, tentu saja dia tidak hendak menyangkalnya.

“Benar,” jawabnya pula. “Bahkan, biarpun mendiang Panglima Besar The Hoo telah meninggal dunia, ayahku tetap setia setiap saat menyediakan jiwa raganya untuk membela tanah air dan sekarang ayah membantu kaisar memperoleh kembali singgasananya yang dirampas oleh pengkhianat-pengkhianat.”

“Ho-ho, bagus kalau begitu! Nah, dengarlah baik-baik, orang muda. Sampaikan kepada ayahmu itu, kepada Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai, bahwa pedang Siang-bhok-kiam akan kami bawa terus dan hanya akan kami serahkan kalau Panglima The Hoo sendiri yang datang menemui kami dan mengambilnya!”

Bun Houw terbelalak dan suasana menjadi sunyi sekali. Setelah dapat menekan ketegangan hatinya, barulah Bun Houw menjawab, suaranya mengandung rasa penasaran. “Permintaan locianpwe sungguh tidak masuk akal. Panglima The Hoo telah meninggal dunia, bagaimana bisa menemui locianpwe kecuali kalau locianpwe menyusul beliau?” Jawaban ini sekaligus mengandung ejekan.

“Hih-hih, bocah itu lancang mulut. Ketuk saja kepalanya!” Tiba-tiba Hek-hiat Mo-li berseru, suaranya tinggi melengking dan mengandung getaran panas.

“Ho-ho, bocah lancang! Siapa tidak tahu bahwa The Hoo telah mati? Akan tetapi mustahil tidak ada muridnya atau keturunannya? Setidaknya masih ada ayahmu yang menjadi tangan kanan dan sahabat baiknya. Nah, pedang ini kami simpan sambil menanti wakil dari The Hoo untuk mengambilnya.”

Bun Houw menjadi marah sekali. “Biarlah sekarang juga aku menjadi wakilnya!” bentaknya.

“Dan aku juga!” In Hong juga berseru dan sudah meloncat ke dekat Bun Houw yang mengerlingnya, juga gadis itu melirik dan mereka saling bertemu pandang dalam kerling mereka.

“Bagus...! Akan tetapi kami lebih senang berhadapan dengan Cia Keng Hong, tua sama tua, bukan dengan bocah-bocah ingusan!” kata Pek-hiat Mo-ko.

Tahan...!” Tiba-tiba terdengar suara yang menggetarkan seluruh ruangan itu. Kiranya Yap Kun Liong yang berseru itu dan kini pendekar ini telah bangkit berdiri dan dengan perlahan melangkah maju. Wajahnya masih pucat, akan tetapi dia telah terbebas dari racun, hanya tinggal tenaganya yang belum pulih karena dia memeras semua tenaganya untuk mengusir hawa beracun dari Siang-tok-swa.

“Heh-heh-heh, kau orang yang sudah lemah karena lukamu mau bicara apa?” Pek-hiat Mo-ko berkata mengejek.

Yap Kun Liong menjura ke arah Raja Sabutai dan berkata, “Harap paduka maafkan kami bertiga. Sama sekali bukan maksud kami untuk membikin ribut di dalam benteng paduka ini.” Kemudian dia memandang kepada Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, lalu berkata, “Ji-wi locianpwe sungguh bersikap jujur, dan maafkan kedua orang adikku ini. Sudah menjadi kewajiban kami untuk menyampaikan tantangan ji-wi locianpwe kepada supek Cia Keng Hong, dan kepada para murid dan keturunan mendiang Panglima The Hoo. Kami bertiga tidak berhak mencampuri urusan antara ji-wi dan mendiang Panglima The Hoo. Akan tetapi agar jelas, hendaknya ji-wi suka menerangkan mengapa ji-wi mendendam kepada mendiang Panglima The Hoo agar kalau ditanya kami dapat memberitahukan.”

“Ho-ho, kau ternyata lebih cerdik dan sopan! Ketahuilah, kami berdua datang dari Sailan dan kami pernah dilukai dan hampir tewas oleh Panglima The Hoo. Oleh karena itu, belum puas hati kami sebelum membalas kekalahan kami puluban tahun yang lalu itu kepada keturunannya, muridnya, ataupun sahabatnya yang mewakilinya mengambil pedang Siang-bhok-kiam.”

Yap Run Liong berpikir sejenak, kemudian berkata, “Kami tidak ingin mengganggu sri baginda raja, dan mengingat bahwa urusan ini merupakan urusan pribadi, ke manakah wakil mendiang Panglima The Hoo boleh datang mencari ji-wi untuk mengambil pedang?”

“Ho-ho, kaukira kami akan mengandalkan pasukan murid kami untuk membantu kami? Ha-ha-ha, orang muda, sampaikan kepada Cia Keng Hong bahwa kami akan menanti kedatangan wakil Panglima The Hoo di Lembah Naga, di mana kami berdua akan bertapa dan menanti dengan tidak sabar.”

“Lembah Naga? Di mana itu?”

“Di tikungan Sungai Luan-ho, di kaki Pegunungan Khing-an-san.”

Yap Kun Liong mengangguk. “Baiklah, Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li,” jawabnya dan kini sikap menghormatnyapun lenyap. “Akan kami sampaikan kepada supek Cia Keng Hong.”

Kemudian, mewakili dua orang adiknya dia lalu menghadap Raja Sabutai dan berkata, “Sekali lagi terima kasih kami haturkan atas kebijaksanaan paduka, dan perkenankan kami sekarang untuk pergi dari benteng ini dan membawa jenazah Yo Bi Kiok.”

Raja Sabutai mengangguk-angguk. “Sampaikan kepada Kaisar Ceng Tung bahwa kami menerima uluran tangannya, dan dalam bulan ini juga kami akan kembali ke utara. Nona Hong, untuk membalas jasa-jasamu sebagai pengawal dan sahabat sang ratu, beliau minta kepadaku untuk menyampaikan terima kasih dan tanda mata ini. Terimalah!”

In Hong merasa terharu juga mengingat akan kebaikan Khamila, maka dia melangkah maju dan tidak menolak ketika Raja Sabutai mengalungkan seuntai kalung mutiara ke lehernya.

“Terima kasih, sri baginda, dan semoga paduka dan Sang Ratu Khamila hidup berbahagia.”

Mereka berpamit lagi kemudian dengan diantar sepasukan pengawal kehormatan, mereka bertiga meninggalkan benteng itu dan Kun Liong memondong mayat Yo Bi Kiok yang masih lemas.

Setibanya di luar benteng, di dalam sebuah hutan yang sunyi, Kun Liong lalu mengubur jenazah wanita itu, dibantu oleh Bun Houw dan In Hong. Ketika In Hong berlutut di depan kuburan itu, tak tertahankan lagi dua titik air mata membasahi pipina yang segera diusapnya dengan punggung tangan. Sementara itu, terdengar Bun Houw berkata kepada Yap Kun Liong, dengan nada suara terheran dan penasaran, “Yap-suheng, kenapa suheng tidak membolehkan saya untuk mewakili ayah menghadapi dua orang kakek dan nenek iblis itu untuk merampas kembali Siang-bhok-kiam? Saya tidak takut melawan mereka.”

“Aku percaya, sute. Akan tetapi, kalau hal itu kaulakukan juga, berarti kita membiarkan diri dalam bahaya besar dan hal itu merupakan kebodohan yang sembrono. Kakek dan nenek itu amat lihai dan biarpun engkau dan Hong-moi belum tentu kalah, akan tetapi harus kauingat bahwa mereka adalah guru-guru dari Raja Sabutai. Tidak mungkin raja akan membiarkan saja kedua orang gurunya ditentang, apalagi dikalahkan orang di hadapannya. Kalau pasukan maju mengeroyok, mana mungkin kita dapat melawan? Bahkan meloloskan diripun akan sukar, apalagi karena kesehatanku belum pulih. Kalau sampai terjadi demikian, kita tidak bisa lolos dan pedang tidak dapat terampas, bukankah hal itu amat celaka dan menyesalpun tiada gunanya lagi. Yang lebih hebat lagi, kita akan dicap sebagai pengacau di benteng, dan ini amat bertentangan dengan kehendak kaisar. Setelah mereka berdua menantang dan akan menanti di Lembah Naga, bukankah hal itu lebih mudah lagi?”

Bun Houw mengangguk-angguk dan benar-benar dia kagum akan pandangan yang luas dari pendekar itu.

“Koko, mengapa engkau masih mau mengurus jenazah subo?” Tiba-tiba In Hong juga mengajukan pertanyaan. “Setelah semua pengakuannya itu...setelah ternyata bahwa dia yang membunuh go-so (kakak ipar)...dia yang menghancurkan hidupmu, akan tetapi engkau masih merawat jenazahnya. Mengapa?” Dara itu kini memandang wajah kakaknya dengan penuh kagum dan bangga. Kakaknya ini benar-benar seorang pendekar sakti yang hebat, bukan hanya hebat ilmunya seperti yang telah diperlihatkannya ketika bertanding melawan gurunya, akan tetapi juga hebat perangainya.

Kun Liong menghela napas lalu duduk di atas tanah berumput, memandang sejenak kepada adiknya dan kepada Bun Houw. Dia tahu bahwa adiknya berhati keras dan aneh, bahwa adiknya tidak mau dijodohkan begitu saja dengan Bun Houw. Dan di dalam hatinya dia tidak ingin melihat adiknya mengalami guncangan batin akibat cinta seperti yang banyak dialaminya selama ini. Teringat dia akan semua pengalamannya, akan semua petualangannya ketika masih muda dahulu, petualangannya dalam asmara dengan banyak gadis cantik. Semua peristiwa itu, kematian isterinya, kekejaman Yo Bi Kiok, semua adalah akibat dari petualangannya itulah (baca cerita Petualang Asmara).

Adikku, dan juga engkau, sute. Dengarlah dan agar kalian tidak usah heran mengapa sampai detik ini aku menaruh hati kasihan kepada Yo Bi Kiok, pembunuh dari isteriku yang tercinta. Dia membunuh isteriku bukan karena permusuhan pribadi, bukan karena kebencian pribadi, melainkan karena... cinta kasihnya kepadaku.”

“Ahhh...!” Bun Houw yang belum tahu akan riwayat suhengnya itu berseru kaget dan heran, akan tetapi In Hong yang sudah tahu hanya menunduk.

“Karena cintanya kepadaku, dia merasa cemburu dan iri kepada isteriku. Ah, kasihan Bi Kiok. Dia menjadi seperti gila karena cinta, cinta yang sebetulnya sama sekali bukanlah cinta. Orang yang mencinta tentu ingin melihat orang yang dicintanya hidup berbahagia! Akan tetapi tidak demikian dengan cinta Bi Kiok. Dia mencinta diri sendiri dan cinta macam itu hanya menimbulkan kedukaan, kebencian dan kejahatan belaka. Betapapun juga, dia telah mengakui perbuatannya dan...dan rasa penasaran besar itu telah terbongkar. Rahasia yang hebat itu telah terbongkar dan legalah hatiku karena sekarang terbukti keyakinan hatiku selama ini bahwa encimu, sute, bahwa Giok Keng tidak berdosa. Akan tetapi...ah, diapun ikut berkorban hebat, suaminya tewas dan sekarang puteranya...” Yap Kun Liong menundukkan mukanya, penuh penyesalan mengapa peristiwa yang menimpa dirinya itu merembet kepada keluarga Giok Keng.

“Sungguh hebat...!” dia melanjutkan. “Aku kehilangan isteri dan puteriku karena perbuatan Bi Kiok, akan tetapi akibatnya, encimu yang tidak tahu apa-apa telah kehilangan suami dan sekarang juga puteranya terbunuh oleb Bi Kiok. Aih, Bi Kiok, mengapa hatimu menjadi seganas itu? Kasihan anak itu... yang tidak berdosa.”

“Koko, anak itu tidak mati oleh Siang-tok-swa.”

Kun Liong mengangkat muka dan memandang adiknya dengan mata terbelalak, penuh harapan dan keheranan. “Apa... apa maksudmu? Lie Seng...”

“Dia tidak mati. Aku sendiri yang telah mengobatinya,” jawab In Hong.

“Lie Seng tidak mati? Ya Tuhan, syukurlah...!” Bun Houw juga berseru girang ketika memandang wajah gadis itu, akan tetapi ketika pandang mata mereka bertemu dan melihat kemarahan di pandang mata gadis itu, dia menunduk kembali, mukanya menjadi merah.

lanjut ke Jilid 33-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar