Rabu, 19 Februari 2014

Petualang Asmara 26

Petualang Asmara Jilid 026

<--kembali

“Subo,” Bi Kiok berkata lagi, “teecu (murid) kira akan percuma saja mencari sebuah benda yang tidak kita ketahui di mana adanya. Bagaimana mungkin mencari sebuah bokor emas dan sepanjang sungai Huang-ho yang begini luas dan panjang? Biar membuang waktu seratus tahun, mana mungkin dapat memeriksa daerah Huang?ho sampai habis?

“Engkau benar, Bi Kiok. Agaknya bocah itu berada di tangan orang lain. Suami isteri yang lihai itu mencurigakan. Akan tetapi berat untuk melawan mereka seorang diri. Biarlah sekarang kita pergi mengunjungi Telaga Kwi?ouw yang tidak jauh dari sini.”

Bi Kiok mengerutkan alisnya yang hitam panjang kecil. “Telaga Kwi?ouw? Bukankah di sana sarang Kwi?eng?pang?”

“Benar. Aku hendak menemui Kwi?eng?pangcu (Ketua Kwi?eng?pang), yaitu Kwi?eng Niocu Ang Hwi Nio. Kedudukan kami berdua setingkat. Di dunia sekarang ini hanya ada lima orang yang diakui sebagai tokoh?tokoh yang mewakili kelima penjuru. Aku mewakili selatan, Kwi?eng Niocu mewakili barat, Ban?tok Coaong mewakili utara, Hek?bin Thian?sin mewakili timur, dan Toat?beng Hoatsu mewakili daerah di tengah daratan. Kabarnya mereka itu semua condong untuk bersekutu dengan Pek?lian?kauw dan bersama?sama menyusun kekuatan untuk menghadapi pemerintah. Dengan bergabung bersama mereka, tentu kelak akan terbuka jalan bagiku untuk memperoleh bokor itu.”

“Akan tetapi... Subo telah membunuh orang?orang Pek-lian-kauw di kuil itu, melukai tosu Pek-lian-kauw, membunuh teman murid Kwi-eng Niocu dan melukai murid kepala yang menjadi Ketua Ui-hong-pang itu! Tentu Subo akan dimusuhi mereka.”

“Heh-heh, memang kusengaja! Itulah semacam kartu namaku untuk mereka, agar mereka membuka mata dan tahu siapa Siang-tok Mo-li dari selatan! Orang-orang itu berani menentangku, bukan? Sudah sepatutnya dibunuh. Hal ini tentu dimengerti oleh para pimpinan Pek-lian-kauw, maka kubiarkan tosu itu hidup. Dan kulukai murid Kwi-eng Niocu agar dia tidak memandang rendah kepadaku!”

“Akan tetapi, mungkinkah mereka mau mengerti setelah Subo melakukan kesukaan Subo atas diri para anggauta Pek-lian-kauw itu? Subo tidak hanya membunuh mereka, akan tetapi makan jantung mereka. Teecu tahu bahwa Subo mempunyai kebiasaan itu untuk memperkuat diri Subo, dan biarpun teecu sendiri tidak suka karena jijik untuk melakukannya, akan tetapi teecu tidak menentang. Hanya yang teecu sangsikan, apakah pihak Pek-lian-kauw dan Kwi-eng-pang akan dapat menerimanya?”

“Mereka sudah tahu akan kebiasaan dan kesukaanku, tentu mereka mengerti.”

“Jadi mereka sudah mengerti? Akan tetapi teecu yang menjadi murid Subo malah belum mengerti mengapa Subo hanya suka makan jantung pria saja.”

“Hal itu ada hubungannya dengan riwayatku, Bi Kiok.”

“Mengapa tidak Subo ceritakan kepada teecu?”

Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci menarik napas panjang, lalu berkata, “Aku tidak suka menggali riwayat lama yang menyakitkan hati, akan tetapi tidak kuceritakan pun kelak engkau akan mengetahui. Daripada mendengar dari orang lain yang mungkin memutarbalikkan kenyataan, baiklah kaudengarkan riwayat singkatku yang menjadi pendorong mengapa aku hanya suka mengganyang jantung pria.”

Iblis Betina Racun Wangi itu lalu bercerita dengan singkat. Ketika dia masih muda sekali, dia telah mengalami bermacam penghinaan dan perlakuan buruk dari kaum pria. Bu Leng Ci adalah seorang peranakan Jepang. Ibunya diculik bajak laut Jepang, karena ibunya adalah seorang gadis nelayan di pantai laut selatan, kemudian ibunya dipaksa menjadi isteri muda kepala bajak itu sampai melahirkan dia. Kemudian, dalam usia empat belas tahun dia dikawinkan dengan seorang laki-laki tua bangsa Jepang dan tinggal di Jepang. Biarpun tua, laki-laki itu adalah seorang pendekar samurai yang kenamaan. Hanya sayang, kakek itu hanya memperisterinya untuk melayaninya dalam keperluan sehari?hari belaka dan semenjak menjadi isterinya, jago samurai itu tidak pernah tidur dengannya! Tentu saja hal ini menjadi siksaan dan barulah diketahui bahwa jago samurai yang dalam istilah dunia persilatan adalah seorang kiam-hiap (pendekar pedang) itu pantang untuk tidur dengan wanita. Maka terjadilah hal yang wajar dalam keadaan seperti itu. Seorang pemuda, tetangga mereka, seorang pemuda Jepang yang tampan, menarik hatinya. Mereka saling jatuh cinta. Hal ini diketahui oleh suaminya. Namun pendekar Jepang itu, bersikap murah dan bijaksana, bahkan memberikan Leng Ci untuk menjadi lateri pemuda itu.

Namun, masa penuh madu itu hanya berlangsung tidak lebih dari beberapa bulan saja bagi Leng Ci. Suaminya, pemuda yang tadinya bersumpah kerak-keruk mencintainya, segera berpaling muka dan bermain gila dengan wanita-wanita lain. Dia menjadi seorang wanita yang disia-siakan oleh suami!

Pada waktu itu, Leng Ci pandai bermain pedang samurai, dilatih oleh suaminya yang pertama. Setelah beberapa kali bercekcok, akhirnya Leng Ci membunuh suami ke dua ini bersama kekasih suaminya, dan melarikan diri, ikut ayahnya menjadi bajak laut.

Dalam beberapa tahun saja, karena dia memiliki wajah yang cantik manis, dia jatuh ke dalam pelukan berbagai pria yang tadinya bertekuk lutut bersumpah menyatakan cinta, akan tetapi kemudian meninggalkannya untuk wanita lain. Belasan orang pria yang sudah dibunuhnya karena itu, dan akhirnya, ketika dia betul-betul jatuh cinta kepada seorang laki-laki gagah di pantai selatan, dia kembali menjadi isteri laki-laki ini dan hidup bahagia di pantai selatan. Pada waktu itu dia baru berusia tujuh belas tahun!

Betapa menyedihkan hatinya ketika suami terakhir yang benar?benar dicintanya ini pun tidak setia kepadanya, dan mata duitan pula. Suaminya adalah seorang tokoh dunia kaum sesat, dan pada suatu hari, suaminya itu membiusnya dengan obat sehingga dia tertidur dan dalam keadaan seperti itu, dia telah “dijual” oleh suaminya kepada lima laki-laki golongan hitam yang berani membayar mahal. Selama dua hari dua malam, dalam keadaan pulas karena selalu dilolohi obat bius ini, dia dipermainkan dan ditiduri oleh lebih dari sepuluh orang laki?laki dan untuk itu suaminya telah mengantongi banyak uang!

Setelah sadar, Leng Ci mendapatkan dirinya telah terhina dan suaminya telah kabur membawa uang hasil penjualan dirinya dan semua barang berharga dalam rumah. Bu Leng Ci lalu mencari suaminya itu dan beberapa bulan kemudian, dia dapat menemukan suaminya, membunuhnya dan mengganyang jantung pria itu hidup?hidup! Itulah pertama kalinya makan jantung pria semenjak itu, setiap membunuh seorang pria, dia selalu makan jantungnya. Makin lama Bu Leng Ci makin lihai, apalagi ketika kemudian dia berhasil menarik hati seorang datuk kaum sesat yang menjagoi daerah selatan, yaitu Lam?hai Sin?ni (ibu Sie Biauw Eng) yang berkenan menurunkan beberapa ilmu silat tinggi, kepandaian Bu Leng Ci meningkat tinggi. Bahkan dia memperdalam pula ilmu pedang samurai dari suami pertamanya yang masih sayang kepadanya dan dengan suka hati menggemblengnya.

Selama Lam?hai Sin?ni masih hidup, tentu saja Bu Leng Ci tidak berani menjagoi di daratan dan dia bahkan bersembunyi di Jepang untuk memperdalam ilmu samurainya. Ketika jago samurai, suami pertamanya meninggal dunia, dia mewarisi semua milik bekas suami itu, termasuk pedang samurainya. Dia telah mendengar akan kematian Lam?hai Sin?ni, barulah dia berani mendarat dan mulai melakukan petualangannya di daerah selatan sehingga belasan tahun kemudian dia menjadi datuk dari kaum sesat untuk daerah selatan.

“Demikianlah riwayat singkatku, muridku. Kaum pria hanya memandang wanita sebagai alat untuk memuaskan nafsu birahinya belaka! Cinta yang didengang?dengungkan, yang diucapkan dengan seribu satu macam sumpah, hanya dipergunakan sebagai umpan untuk memikat. Setelah kepuasan nafsu berahinya terpenuhi, maka mulailah matanya melirik ke kanan kiri mencari korban baru untuk memuaskan nafsu-nafsunya. Karena itu, aku muak dan aku benci kepada kaum pria umumnya!”

Biarpun dia sendiri telah banyak mengalami hal-hal yang mengerikan dan yang membuat hatinya mengeras, mendengar cerita gurunya ini, meremang juga bulu tengkuk Bi Kiok.

Maka berangkatlah guru dan murid itu melanjutkan perjalanan, meninggalkan pantai Sungai Huang-ho menuju ke barat untuk mengunjungi Kwi-eng-pai di Telaga Setan di barat. Akan tetapi, baru berjalan setengah hari lamanya, di luar sebuah hutan mereka bertemu dengan lima orang laki-laki yang keluhatannya gagah perkasa dan yang melakukan perjalanan dengan ilmu berlari cepat. Setelah dekat, guru dan murid ini mengenal seorang di antara mereka yang bukan lain adalah Kiang Ti, Ketua Ui-hong-pang yang berpakaian serba kuning, murid kepala Kwi-eng Niocu Si Bayangan Hantu yang pernah dilukai oleh Bu Leng Ci. Melihat orang ini, sambil terkekeh Bu Leng Ci menggerakkan kakinya melompat dan dia telah berdiri menghadang di tengah jalan! Akan tetapi, ketika melihat wanita itu, Kiang Ti tidak menjadi takut atau kaget, bahkan tersenyum lebar dan cepat dia menjura sambil berkata, “Aihh, sungguh beruntung sekali dapat berjumpa dengan Locianpwe di sini! Kami memang sedang menanti Locianpwe.”

Bibir yang tipis merah itu tersenyum mengejek, “Apakah kau membawa teman untuk membalas pukulanku dahulu itu? Kalau hendak membalas, mengapa bukan gurumu sendiri saja yang datang?”

Biarpun ucapan itu terdengar mengandung ejekan dan penghinaan, namun ketua dari Ui-hong-pang itu sama sekali tidak menjadi marah, bahkan tersenyum makin lebar. “Maaf, maaf... mana saya berani? Sama sekali bukan demikian, Locianpwe. Sesungguhnya kami diutus oleh Subo (Ibu Guru) untuk mencari Locianpwe dan mengundang Locianpwe untuk hadir dalam pertemuan puncak antara lima datuk yang akan mengadakan pertemuan dengan pimpinan Pek-lian-kauw, berempat di Kwi-ouw.”

Girang sekali hati Bu Leng Ci. Ternyata bahwa pengiriman “kartu nama” darinya itu berhasil. Dia telah diakui dan mendapat kehormatan besar! Betapapun juga, dia menekan kegirangan hatinya sehingga tidak tampak pada mukanya, dan dia berkata, “Apakah kalian mengenal seorang bernama Yap Cong San dan isterinya bernama Gui Yan Cu?”

Kian Ti dan teman?temannya saling pandang. Mereka berlima adalah tokoh-tokoh Kwi-eng-pang, murid-murid terkemuka dari Kwi-eng Niocu dan sudah mempunyai pengalaman luas. Namun karena mereka itu bergerak di daerah barat, sedangkan Yap Cong San dan isterinya bertahun-tahun berada di Leng-kok dan tak pernah terjun ke dunia kang-ouw, maka mereka tidak mengenal suami isteri ini.

“Kami tidak pernah mendengar nama mereka, Locianpwe.”

“Mereka adalah orang-orang penting, sebaiknya kalau kalian mencari mereka yang berada di daerah ini. Kalau berhasil menangkap mereka, bawa ke Kwi-ouw. Aku dan muridku akan langsung mendahului ke Kwi-ouw.”

Kiang Ti dan teman-temannya menyanggupi dan kelima orang itu lalu melanjutkan perjalanan mencari suami isteri seperti yang diperintahkan Bu Leng Ci. Sedangkan Bu Leng Ci sendiri melanjutkan perjalanan menuju ke Kwi-ouw dan diam-diam dia mentertawakan murid-murid Kwi-eng Niocu itu.

“Subo, dua orang yang telah berhasil dilukai Subo, mana mungkin dapat ditangkap oleh lima orang itu?” Tiba-tiba Bi Kiok bertanya.

“Heh?heh, kau cerdik muridku. Memang kecil sekali kemungkinan mereka akan dapat menangkap suami isteri itu biarpun si isteri telah terluka oleh Siang-tok-soa di dadanya. Akan tetapi peduli apa? Kalau lima orang Kwi-eng-pai itu tewas, berarti suami isteri itu menjadi musuh Kwi-eng-pang, dan kalau sampai mereka berhasil menawan suami isteri itu, ada gunanya juga bagi kita. Mereka itu adalah ayah bunda bocah setan yang bernama Kun Liong itu.”

Sebelum Bi Kiok menjadi murid iblis betina itu, tentu dia akan berseru kaget mendengar ini, atau setidaknya tentu akan berubah air mukanya. Akan tetapi, semuda itu, Bi Kiok telah dapat menguasai perasaannya sehingga biarpun dia kaget bukan main, namun tidak ada perubahan pada wajahnya yang cantik dan dingin.

Namun pertemuan puncak antara lima orang datuk itu tidak lengkap. Yang hadir dalam pertemuan itu hanyalah Bu Leng Ci, Kwi-eng Niocu, dan Hek-bin Thian-sin saja. Sedangkan dua orang datuk yang lebih tua dan lebih terkenal, yang dianggap sebagai datuk nomor satu dan nomor dua, yaitu Toat-beng Hoatsu dan Ban-tok Coa-ong, tidak muncul. Hal ini mengecewakan para pimpinan Pek-lian-kauw, maka atas persetujuan bersama, pertemuan puncak diundur sampai kedua orang datuk itu dapat ditemukan dan diundang.

Melihat sarang yang menjadi pusat Kwi-eng-pang di mana Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio menjadi ketuanya, Bu Leng Ci merasa iri hati sekali. Sebagai seorang perantau dan petualang, melihat keadaan “rekannya” yang makmur ini, hatinya ingin sekali seperti rekannya itu.

Keadaan Kwi-eng-pang memang kuat sekali. Markas mereka berada di pulau kecil yang letaknya di tengah-tengah Kwi-ouw, sebuah telaga yang besar dikurung hutan-hutan pegunungan sehingga bayangan hutan-hutan yang gelap membuat air telaga yang tenang dan dalam itu kelihatan hitam menyeramkan. Karena ini agaknya maka telaga ini disebut Telaga Setan. Di atas pulau ini didirikan rumah-rumah, memenuhi pulau. Rumah gedung yang mewah di tengah-tengah adalah tempat tinggal Sang Ketua, sedangkan rumah-rumah di sekitarnya ditinggali para pimpinan dan anggauta Kwi-eng-pang yang jumlahnya lebih dari dua ratus orang, laki?laki dan wanita. Pekerjaan para anggauta Kwi-eng-pang, selain berlatih silat, juga sebagai nelayan di telaga, ada yang bercocok tanam di sekeliling telaga yang memiliki tanah subur, ada pula yang berburu binatang di dalam hutan-hutan. Akan tetapi yang menjamin kehidupan mereka hidup mewah dan makmur adalah “sumbangan-sumbangan” dari para penduduk di daerah itu, sumbangan atau “pajak” yang diberikan baik secara sukarela karena takut atau dengan paksaan!

Telaga itu sendiri sebetulnya amat dalam dan mengandung banyak ikan. Akan tetapi semenjak Kwi-eng Niocu bermarkas di tempat itu belasan tahun yang lalu, keadaan telaga berubah menjadi tempat yang berbahaya sekali, Di sekeliling pulau, di dalam air telaga dipasangi banyak alat rahasia yang membahayakan para pendatang, dan setelah banyak penduduk sekitar daerah itu yang biasanya mencari ikan di telaga tewas dalam kedaan mengerikan, kini tidak ada lagi orang berani mendekati telaga itu.

Hanya para anggauta Kwi-eng-pang saja yang berani mendayung perahunya di atas telaga karena mereka telah hafal akan rahasia di situ. Dengan demikian, selain memonopoli semua ikan yang berada di dalam air telaga, juga keadaan markas di pulau itu terlindung kuat, tidak mudah diserbu musuh seperti keadaan sebuah benteng saja layaknya!

Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio adalah seorang wanita berusia lima puluh tahun lebih. Selamanya belum pernah menikah sehingga orang-orang yang tidak suka kepadanya mengatakan bahwa saking jahatnya maka Ang Hwi Nio menjadi seorang perawan tua! Tubuhnya masih ramping, agak tinggi, dan biarpun usianya sudah mendekati enam puluh tahun, rambutnya belum ada ubannya sama sekali, matanya masih terang dan giginya masih utuh tersusun rapi seperti keadaan seorang perawan muda saja! Pakaiannya selalu bersih dan rapi, seperti pakaian seorang nyonya bangsawan, juga rambutnya diminyaki dan digelung rapi, dihias emas permata yang mahal-mahal. Melihat orangnya, yang tidak mengenalnya tentu akan mengira dia seorang wanita yang mulai berangkat menjadi nenek-nenek lemah! Akan tetapi sesungguhnya dia adalah seorang yang berilmu tinggi, seorang yang ditakuti dunia kang-ouw.

Bahkan mendengar namanya disebut saja sudah cukup membuat jantung orang berdebar tegang dan bulu tengkuk meremang karena sudah terkenal di mana-mana nama ini, sudah diketahui semua orang bahwa wanita yang tak pernah keluar dari pulau itu, sekali keluar tentu akan ada yang tewas di tangannya. Hebatnya, setiap kali dia turun tangan membunuh orang yang dikehendakinya, tidak ada yang dapat melihatnya, hanya melihat bayangannya saja dan mendengar suara ketawanya yang halus. Karena sepak terjangnya inilah maka dia dijuluki Kwi-eng Niocu (Nona Bayangan Hantu). Disebut nona karena dia masih perawan dan disebut Bayangan Hantu karena yang tampak hanya bayangannya.

Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio tinggal di pulau telaga itu dan hidup sebagai seorang ratu! Rumahnya merupakan gedung indah dan mewah seperti sebuah istana saja, setiap hari dikelilingi pelayan-pelayan cantik dan cara hidupnya royal dan mewah sekali.

Memang Ang Hwi Nio ini tidak pernah menikah. Akan tetapi dia mempunyai seorang anak angkat, juga merupakan murid yang paling pandai. Anak angkat ini bernama Liong Bu Kong, pada waktu itu berusia sembilan belas tahun. Seorang pemuda yang berwajah tampan dan gagah sekali sehingga patut tinggal di dalam istana itu, patut menjadi putera seorang bangsawan, dan mengherankan kalau pemuda setampan ini menjadi putera seorang iblis betina seperti Kwi-eng Niocu! Wajah pemuda ini tampan dan bibirnya selalu menyungging senyum dikulum, sepasang matanya bersinar-sinar dan wajahnya selalu berseri. Akan tetapi bagi yang memperhatikan, di balik sinar mata itu terdapat sesuatu yang membuat orang menjadi curiga dan ngeri. Tidak ada seorang pun mengetahui dari mana datangnya pemuda ini. Para anggauta Kwi-eng-pang sendiri hanya mengetahui bahwa ketua mereka itu datang-datang membentuk Kwi-eng-pang sudah membawa seorang anak laki-laki bernama Liong Bu Kong yang menurut pengakuannya adalah anak angkatnya.

Melihat keadaan ini semua, tidak mengherankan apabila timbul iri dan ingin di dalam hati Bu Leng Ci. Dia merasa suka tinggal di tempat itu, dan melihat betapa rekannya itu, Ang Hwi Nio, hidup dalam kernewahan dan kemuliaan, dihormati sebagai ratu oleh dua ratus orang lebih, disegani dan ditakuti orang-orang di sekitar daerah itu.

“Tempatmu ini hebat sekali, membuat orang betah berada di sini,” kata Bu Leng Ci ketika pada suatu siang dia bersama muridnya duduk berhadapan dengan Ang Hwa Nio di tepi telaga, dalam sebuah taman buatan yang indah, di bawah pohon yangliu yang bergerak-gerak meliuk-liuk seperti tubuh seorang penari yang lemah gemulai!

“Engkau suka dengan tempat ini?” Kwi?eng Niocu bertanya tanpa mengangkat muka karena dia sedang asik memeriksa kuku jari?jari tangannya. Kukunya panjang?panjang dan terpelihara baik-baik, diberi warna merah muda, dan dipelihara meruncing. Kelihatannya memang bagus dan cantik sekali, akan tetapi dalam pandangan orang kang-ouw tangan dengen kuku jari panjang-panjang menarik itu sama sekali tidak tampak indah menggairahkan, bahkan sebaliknya mendatangkan rasa ngeri karena satu di antara kehebatan ilmu wanita ini terletak pada kukunya yang beracun itu! Jangankan sampai kena dicengkeram, baru tergurat sedikit saja sudah cukup mengirim nyawa lawan ke neraka! “Kalau memang suka mengapa tidak tinggal di sini saja?”

Bu Leng Ci mengangkat muka, sinar matanya menyambar dan kedua alisnya berkerut.

“Apa maksudmu, Pangcu (Ketua)?” tanyanya, suaranya mengandung kemarahan. “Engkau begitu berani memandang rendah kepadaku dan menyuruh aku menjadi kaki tanganmu atau anak buahmu?”

Kwi-eng Niocu Ang Hwa Nio melirik dan senyum yang menghias bibirnya amat menyeramkan. “Siapa yang ingin engkau menjadi anak buahku, Mo-li? Kita adalah rekan dan kedudukan kita setingkat, sungguhpun aku menjadi seorang pangcu dan engkau hanya seorang petualang tanpa tempat tinggal. Engkau tadi mengatakan suka kepada tempat ini dan aku menawarkan kepadamu untuk tinggal di sini, bukan sebagai anak buah, bukan pula sebagai pembantuku karena engkau memang bukan anggauta Kwi-eng-pang.”

“Habis, sebagai apa? Tamu? Mana ada tamu tinggal terus-menerus?”

“Juga bukan tamu, tetapi sebagai adik angkat. Maukah?”

Bu Leng Ci bangkit berdiri dan mukanya menjadi merah. Bi Kiok yang sejak tadi duduk mendengarkan dan menonton, diam saja namun diam-diam dia merasa tegang juga karena kalau sampai gurunya dan Ketua Kwi-eng-pang itu bertanding, tentu hebat bukan main akibatnya. “Kwi-eng-pangcu! Menjadi adik angkat berarti harus tunduk dan taat kepada kakak angkatnya, berarti sama saja! Apakah dengan memberi tempat tinggal kepadaku harus kubayar dengan tunduk dan taat kepadamu?”

Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio tertawa, suara ketawanya merdu dan halus, akan tetapi ada sesuatu yang dingin dan menyerannkan di balik suara ketawa ini, seperti suara ketawa seekor ibils betina yang merayu dan menjatuhkan hati orang-orang yang kurang kuat batinnya.

“Siang-tok Mo-li, tepat sekali apa yang kudengar tentang dirimu. Kau amat keras hati dan penuh prasangka. Cocok untuk menjadi adikku! Tentu saja sudah sepatutnya kalau kau menjadi adik angkatku, bukankah aku lebih tua darimu, sedikitnya sepuluh tahun lebih tua? Apa engkau merasa rendah dengan menjadi adik angkat Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio, ketua dari Kwi-eng-pang?”

“Betapapun juga, seorang adik angkat tentu lebih rendah dari kakaknya, dan hal ini sama sekali tidak ada sangkutpautnya dengan usia.”

“Hemmm, habis apa yang menentukannya kalau bukan usia? Kaumaksudkan kepandaian? Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci, apakah engkau tidak percaya bahwa kepandaianku lebih tinggi daripada kepandaianmu?”

“Ah, aku tidak percaya!”

Mereka berdua kini sudah berdiri saling berhadapan dan Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio sudah lupa akan kukunya, kini memandang kepada wanita pendek di depannya itu penuh perhatian.

“Kalau begitu, biarlah kepandaian yang menentukan!”

“Kwi-eng Niocu, aku tidak takut kepadamu! Akan tetapi, aku diundang ke sini untuk menghadiri pertemuan puncak yang sayangnya gagal. Setelah semua orang pergi, kau menahan aku untuk tinggal beberapa hari di sini. Sepantasnya aku berterima kasih kepadamu dan akan ditertawakan orang kalau aku sekarang bertanding melawanmu sebagai musuh! Pikirlah baik-baik! Benarkah kita harus saling bermusuh, bukan bersekutu seperti yang direncanakan semula?”

Kembali Kwi-eng-cu Ang Hwi Nio tertawa halus. “Hi-hi-hih, Bu Leng Ci, engkau benar-benar keras seperti baja! Diajak menguji kepandaian kauanggap bertempur seperti musuh! Dikalahkan dengan usia kau tidak mau, maka jalan satu-satunya untuk menentukan siapa yang patut menjadi kakak dan siapa adik, hanyalah dengan mengukur kepandaian masing-masing!”

Bu Leng Ci mengerutkan alisnya. Kini dia mengerti apa yang dikehendaki oleh Ketua Kwi-eng-pang yang aneh ini. Akan tetapi, dia tetap ragu-ragu biarpun dia akan suka sekali tinggal di tempat yang indah itu.

“Tetap saja tidak baik, Pangcu” Dia menggeleng kepala. “Kalau aku kalah atau menang, tidak akan berubah, kita tidak mungkin tinggal terus bercampur menjadi satu di tempat ini. Kalau aku menang, aku tidak mau menjadi Ketua Kwi-eng-pang.”

“Di sebelah timur pulau ini ada sebuah pulau lain yang lebih kecil, akan tetapi tidak kalah indahnya. Tempat itu sekarang masih kubiarkan kosong dan dapat dijadikan tempat tinggal seorang di antara kita.”

Sinar mata Bu Leng Ci berseri dan dia menoleh ke kiri. Benar saja, dari tempat yang agak tinggi di taman itu, dia melihat sebuah pulau lain yang penuh dengan pohon?pohon.

“Hemm, kalau begitu, lain persoalannya. Bagaimana kita akan mengukur kepandaian masing-masing? Dengan bertanding? Besar kemungkinan yang kalah akan tewas seketika!”

Ang Hwa Nio mengangguk. “Kau benar, tidak perlu kita bertanding tanpa sebab dan menghadapi bahaya maut secara konyol. Aku mendengar kau memiliki banyak macam ilmu, akan tetapi yang paling terkenal adalah samuraimu itu. Nah, kita berlumba, siapa yang lebih unggul, samuraimu ataukah kuku jariku.”

“Pangcu, jangan main-main! Ataukah kau benar-benar memandang rendah samuraiku? Kalau cuma kuku jarimu yang rusak, masih tidak apa, bagaimana kalau sampai jari tanganmu ikut putus?”

“Hi-hi-hik, kembali kau salah sangka. Jangan membesarkan prasangka, kataku tadi. Kita bukan bertanding, melainkan berlumba. Llhat di permukaan air telaga itu, banyak ikan-ikan kecil bukan? Nah, kita berlumba cepat, mana yang lebih cepat menangkap ikan-ikan itu, samuraimu ataukah kuku jariku. Tentu saja hal itu bukan menjadi tanda siapa yang lebih lihai kalau bertanding sungguh-sungguh, akan tetapi setidaknya dapat dipakai untuk menentukan siapa patut menjadi kakak dan siapa adik.”

Bu Leng Ci mengangguk-angguk. Tentu saja dia berani berlumba seperti itu. Betapapun juga, samurainya lebih paniang dan tentu dia lebih cepat.

“Kalau sudah ketahuan siapa yang menang bagaimana?”

“Yang menang akan menjadi kakak angkat dan tetap tinggal di pulau ini, yang kalah menjadi adik angkat dan tinggal di pulau yang lebih kecil. Kita tetap bersaudara.”

Apa pun akibatnya, kalah atau menang, tetapi enak dan menyenangkan hati Bu Leng Ci. Andaikata kalah sekalipun, bukan hal yang merendahkan untuk menjadi adik angkat Ketua Kwi-eng-pang, bukan berarti menjadi anak buahnya atau menjadi orang yang lebih rendah tingkat kedudukannya!

Betapapun juga, pengalaman hidupnya yang penuh kepahitan membuat wanita iblis ini selalu penuh prasangka dan amat hati?hati menjaga diri. Maka dia masih belum puas dan belum mau menerima begitu saja sebelum dia mengetahui apa yang menjadi sebabnya maka Ang Hwa Nio sebaik itu kepadanya, malah suka mengangkatnya sebagai saudara. Dia sudah terbiasa dengan kehidupan kaum sesat, di antara bajak-bajak. Tidak ada perbuatan yang tidak berdasarkan suatu kehendak atau keinginan demi keuntungan diri sendiri. Perbuatan yang menyimpang dari dasar ini merupakan hal yang tidak mungkin, atau tidak lumrah!

“Aku dapat menerima usul itu, Pangcu. Akan tetapi, apakah sebabnya engkau ingin menjadi saudara angkatku?”

“Tentu saja ada sebabnya, Mo-li. Akan tetapi jangan khawatir, bukan hanya untuk kepentinganku pribadi, melainkan juga keuntunganmu, keuntungan kita berdua sebagai wanita-wanita yang sama membenci pria.”

“Eh? Apa maksudmu?”

“Dengar baik-baik. Pada waktu sekarang ini, di dunia kita hanya ada lima orang datuk, bukan? Dua di antaranya adalah kita, dan yang tiga lagi semua pria. Menurut pendapatku, tingkat kepandaian kita berlima seimbang dan mungkin sekali tingkat kepandaian dua di antara mereka, Toat-beng Hoat-su dan Ban-tok Coa-ong, agak lebih tinggi. Sekali waktu tentu akan timbul perebutan untuk diakui sebagai nomor satu yang akan menjadi pemimpin, dan agaknya seorang di antara mereka itu tentu akan menang. Akan tetapi, kalau kita menjadi enci dan adik angkat, dengan maju berdua, siapakah di antara mereka bertiga yang akan mampu mengalahkan kami? Mengertikah kau?”

Bu Leng Ci mengangguk-angguk dan diam-diam memuji kecerdikan Ketua Kwi-eng-pang itu. Memang akan sial sekali kalau sampai seorang pria menjadi pimpinan kelima orang datuk. Harus tunduk kepada seorang pria. Tidak sudi! Melawan seorang diri akan berat sekali.

“Akan tetapi, bagaimana kalau mereka pun bersatu seperti kita?”

“Tidak mungkin! Mereka bertiga bersaing, mana mau bersatu! Nah, bagaimana? Maukah engkau menjadi saudara angkatku?”

“Baik, mari kita mulai berlumba!”

Kedua orang wanita sakti itu lalu berdiri di tepi pulau, memandang ke arah air telaga, menanti munculnya ikan-ikan kecil yang kadang-kadang tenggelam, bermain-main di permukaan air. Bi Kiok juga berdiri dan menonton dengan wajah tak berubah, biarpun diam-diam dia merasa girang juga akan keputusan gurunya. Dia pun sudah bosan diajak merantau terus, tidak tentu tempat tinggalnya. kadang-kadang tidur di atas pohon, di kuil-kuil kotor. Tempat tinggal itu memang indah dan dia suka sekali tinggal di situ.

Ketika ikan-ikan mulai muncul di permukaan air telaga, Ang Hwa Nio berkata lirih. “Nah, kita mulai sebelum mereka menyelam kembali. Mari!”

Bu Leng Ci dan Ang Hwi Nio meloncat dengan berbareng. Bu Leng Ci sudah mencabut samurainya dengan gerakan kilat, setelah tubuhnya tiba di atas tempat di mana ikan-ikan berenang, samurainya berkelebat seperti kilat menyambar ke permukaan air. Ang Hwi Nio berjungkir balik, kepala di bawah dan kedua lengannya bergerak cepat sehingga sukar diikuti pandang mata, mencengkeram ke arah air.

Ikan-ikan itu tentu saja kaget dan segera menyelam kembali. Dua orang wanita sakti itu dengan gerakan berputar di udara, dapat melayang kembali ke tepi pulau. Gerakan mereka seperti burung walet beterbangan, indah dan cepat sekali membuat Bi Kiok terbelalak kagum.

lanjut ke Jilid 027-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar