Rabu, 19 Februari 2014

Petualang Asmara 82

Petualang Asmara Jilid 082

<--kembali

Kun Liong berjalan seorang diri, hatinya gembira karena dia telah terlepas dari bencana. Dia tersenyum-senyum kalau mengingat pertemuannya yang terakhir dengan Lauw Kim In, akan tetapi wajahnya menjadi merah dan dia merasa malu sendiri teringat akan kekurangajarannya telah merobek baju wanita itu sehingga tampak sebuah di antara buah dadanya. Sayang, pikirnya. Wanita secantik itu, dengan bentuk tubuh seindah itu, menyerahkan diri kepada seorang pria semacam Ouwyang Bouw!

Dia menghela napas dan jantungnya berdebar tegang, mencela diri sendiri yang harus mengaku bahwa darah mudanya bergelora ketika dia mengingat akan penglihatan yang menggairahkan hatinya itu.

Gairah hatinya membuat dia mengingat yang bukan-bukan, teringat akan malam yang takkan pernah terlupakan olehnya, di dalam kuil tua, di malam sunyi, di mana dia tenggelam dalam buaian cinta bersama Hwi Sian! Jantungnya berdebar makin keras dan begitu dia teringat kepada Hong Ing, semua bayangan itu lenyap dan ingin dia menampar mukanya sendiri. Sialan! Mata keranjang! Demikian dia memaki diri sendiri.

Tiba-tiba terdengar olehnya derap kaki banyak kuda dari belakang. Kun Liong tersenyum dan menghentikan langkahnya, bahkan lalu duduk di atas sebuah batu besar sambil menghapus keringatnya di leher dan muka. Dia mengira bahwa tentu Lauw Kim In yang mengejarnya lagi, entah mau apa sekarang wanita itu. Dia tidak khawatir akan celaka di tangan wanita itu.

Akan tetapi ketika seratus orang lebih itu tiba dekat, dia mengerutkan alisnya. Pasukan Mongol yang menunggang kuda itu mengurungnya, semua meloncat dari atas kuda dengan sikap mengancam dengen senjata tombak di tangan. Marcus berada paling depan, telah menodongkan anak panah yang telah dipasang pada busurnya, sikapnya mengancam dan senyumnya menyeringai.

“Yap Kun Liong, engkau katakan di mana disimpannya bokor emas, baru aku mengampuni nyawamu!” bentak Marcus sambil menodongkan anak panahnya.

Wajah Kun Liong menjadi merah. Maklumlah dia bahwa di dalam persekutuan ini pun, Marcus hanya mencari keuntungannya sendiri dan tentu perbuatannya ini di luar tahunya Ouwyang Bouw maupun Lauw Kim In.

“Hemm,” Kun Liong tersenyum. “Marcus, engkau memang seorang yang licin dan curang. Tadinya engkau bersekutu dengan Tok-jiauw Lo-mo, kemudian rela menjadi gendak Kim Seng Siocia, sekarang engkau membohongi dan menipu orang-orang Mongol.”

“Jangan banyak cakap! Nyawamu berada di tanganku! Hayo katakan di mana bokor itu?”

“Aku tidak tahu di mana benda pusaka itu, andaikata aku tahu sekalipun, tak mungkin akan kuberitahukan kepadamu,” jawab Kun Liong tenang, akan tetapi diam-diam tangannya telah mencengkeram hancur ujung batu dan digenggamnya dengan tangan kanan.

“Keparat! Kalau begitu mampuslah!”

“Wit-wir-wirrr...!” Tiga batang anak panah meluncur dari busur itu dengan cepat sekali.

“Siuuuuttt... singggg... tak-tak-takkk!” Tiga batang anak panah itu runtuh dan patah-patah disambar hancuran batu yang disambitkan tangan kanan Kun Liong. Pemuda itu masih duduk dengan tenang dan tidak mempedulikan sikap Marcus yang terkejut dan memandang anak panahnya dengan muka pucat.

“Serbu...! Bunuh...!” Marcus berteriak marah sekali, karena untuk menyerang lagi dengan anak panah dia tidak berani. Sekali saja gagal seperti itu sudah cukup memalukan.

Biarpun dikepung oleh seratus orang lebih yang bertubuh tinggi besar, bersikap ganas dan bersenjata tombak panjang, Kun Liong tidak menjadi gentar dan dia masih enak-enak duduk di atas batu besar.

“Wah-wah-wah, tidak adil sama sekali! Hee, jangan kalian tidak tahu malu!” tiba-tiba terdengar teriakan dari atas! Semua orang juga Kun Liong memandang ke atas dan kiranya di atas pohon tak jauh dari situ terdapat dua orang laki-laki duduk nongkrong di atas dahan pohon dan yang berteriak-teriak adalah laki-laki yang tua, yang usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, pakaiannya aneh sekali, pakaian longgar kebesaran berkotak-kotak celananya sedangkan bajunya berkembang, kepalanya memakai kopyah seperti yang biasa dipakai seorang anak kecil, mukanya riang dan tersenyum-senyum, matanya yang amat tajam itu kocak dan penuh kegembiraan hidup. Adapun orang ke dua adalah seorang laki-laki muda, usianya tentu tidak lebih dari dua puluh lima tahun tubuhnya tinggi tegap, wajahnya tampan dan gagah sekali membuat Kun Liong kagum memandangnya, sikap pemuda ini pendiam dan tenang.

Melihat dua orang itu, Marcus membentak, “Siapa kalian dan perlu apa mencampuri urusan kami?”

“Wah-wah-wah, tentu saja kami mencampuri!” Kakek itu berkata lagi, “Kalian ini tidak tahu malu sekali! Tunggu aku turun dulu baru bicara, di atas sini mengerikan!” Kakek itu lalu merayap turun akan tetapi Si Pemuda lalu memegang lengannya dan membawanya melayang turun. Gerakan pemuda itu cukup lumayan. Ketika dibawa meloncat turun, kakek itu menjerit ketakutan. Akan tetapi setelah turun atas tanah, dengan langkah gagah dia menghampiri Marcus dan kawan-kawannya, sedangkan pemuda gagah itu hanya melangkah penuh hormat di belakangnya!

Kun Liong merasa tertarik sekali dan diam-diam dia merasa geli. Mau apakah kakek yang seperti badut ini? Benar-benar mencari penyakit, pikirnya. Mana mungkin mengajak bicara orang macam Marcus dan gerombolan Mongol itu secara baik-baik? Akan tetapi jika diam saja, tetap duduk di atas batu besar sambil memandang penuh perhatian. Diam-diam dia memperhatikan pemuda yang berjelan di belakang kakek itu. Seorang pemuda yang hebat, pikirnya. Tubuhnya tegap dan kelihatan kuat, apalagi karena wajahnya yang tampan itu serius dan tenang sekali. Mungkin pemuda inilah yang hebat, pikirnya kagum. Baru melihat saja sudah timbul rasa sukanya kepada pemuda itu.

Si Kakek Aneh itu kini sudah berhadapan dengan Marcus dan lima orang raksasa Mongol yang menjadi pimpinan pasukan itu. Wajahnya gembira ria dan senyumnya melebar, akan tetapi Kun Liong melihat sinar aneh memancar keluar dari sepasang mata kakek itu.

“Aihh, kiranya yang memimpin adalah seorang berkulit putih bermata biru! Eh, Tuan, kami tidak bisa tinggal diam saja melihat kalian ini mau membunuh pemuda itu. Kalian adalah manusia-manusia yang beradab, bukan? Mana mungkin mau menyembelih seorang manusia lain? Sungguh buas dan hal ini sama sekali tidak boleh dilakukan. Sama sekali tidak boleh!”

Kun Liong menahan ketawanya. Kakek ini benar-benar mencari penyakit, pikirnya. Mengajukan ceng-li (aturan) seperti itu kepada orang-orang macam Marcus! Betapa menggelikan! Sama dengan berpidato di depan gerombolan serigala liar! Mencari penyakit namanya.

Marcus marah bukan main. “Kakek tua bangka gila! Engkau lancang sekali! Aku mau membunuh siapapun, engkau peduli apa? Bahkan kalian berdua kalau sudah bosan hidup akan kubunuh sekali!”

Kun Liong memperhatikan sikap pemuda di belakang kakek itu, namun pemuda itu tetap diam saja, sedikit pun tidak berubah air mukanya, seolah-olah ancaman hebat itu sama sekali tidak didengarnya. Kun Liong makin kagum. Pemuda itu bernyali besar! Akan tetapi yang lebih mengherankan adalah sikap kakek aneh itu. Dia ini diancam bukan menjadi takut, malah makin hebat gilanya!

“Kalian tidak mau mundur? Wah, kalian malah hendak membunuh kami berdua? Uh-uhhh... daripada melihat kekejaman yang tiada taranya ini, biarlah kalian bunuh guru dan murid lebih dulu. Setelah kalian membunuh kami berdua terserah hendak kalian apakan pemuda yang duduk di atas batu itu!”

Gila, pikir Kun Liong. Akan tetapi dia terharu. Biarpun kakek itu gila, akan tetapi gilanya adalah gilanya orang budiman! Dan kakek itu mengaku sebagai guru pemuda tegap itu. Benar-benar mengherankan dan dia menjadi makin ingin tahu, ingin melihat apa yang akan terjadi selanjutnya, maka dia merosot turun dari batu, dan siap untuk melindungi mereka berdua andaikata mereka terancam oleh gerombolan ganas itu.

Marcus dan teman-temannya kini tertawa bergelak, “Ha-ha-ha!” Marcus tertawa memegangi perutnya. “Kiranya tua bangka ini miring otaknya! Kau minta mati?”

Kun Liong merasa geli akan tetapi juga khawatir. Dia sudah ingin meloncat maju mencegah kakek aneh itu yang membelanya secara luar biasa. Mana ada orang membela dengan cara menyerahkan nyawa sendiri? Akan tetapi pada saat dia hendak bergerak maju, dia melihat pemuda tegap tampan itu memandang tajam kepadanya dan pemuda itu menggoyang kepalanya, jelas memberi isyarat agar dia tidak melakukan apa-apa! Makin tertarik dan terheranlah hati Kun Liong. Apa maunya guru dan murid itu? Kalau mereka itu orang-orang lihai dan benar hendak menolongnya, mengapa bersikap demikian aneh? Akan tetapi melihat pemuda itu dengan sikap sungguh-sungguh menggoyang kepala mencegah dia bergerak. Kun Liong lalu mengangguk, tanda bahwa dia akan mentaati permintaan pemuda itu, lalu dia duduk kembali di atas batu besar, menonton penuh perhatian dan dengan hati amat tertarik. Dia melihat bahwa pemuda itu kini aneh sekali, memejamkan mata dan mengatur pernapasan! Akan tetapi hal itu dilakukan sambil beirdiri, dengan kedua lengan bersilang di depan dada.

Dengan terheran-heran Kun Liong memperhatikan kakek itu. Kakek itu tertawa dan Kun Liong merasa tengkuknya meremang ketika mendengar suara ketawa ini. Suara ketawa yang mengandung tenaga mujijat, yang membuat jantungnya tergetar hebat! Kemudian suara itu disusul dengan kata-kata yang lebih menggetarkan lagi, kata-kata yang menembus sampai ke ulu hati. “Ha-ha-ha-ha, kalian semua lihatlah baik-baik, apakah kalian bisa membikin aku mati. Nah, ini kepalaku, penggallah kepalaku sepuas hati kalian. Kalau aku sudah dapat kalian bunuh, juga muridku, baru kalian boleh mengeroyok pemuda itu, ha-ha-ha!”

Dengan mata terbelalak penuh keheranan Kun Liong melihat betapa kakek itu telah berbaring di atas sebuah batu besar, menjulurkan kepalanya sehingga nampak lehernya yang panjang, menantang untuk dipenggal lehernya!

Marcus dan lima orang pemimpin Mongol tertawa geli, kemudian seorang di antara pemimpin itu mencabut goloknya, sambil tertawa-tawa menghampiri tubuh kakek yang rebah telentang. Jantung Kun Liong berdebar keras, akan tetapi anehnya, dia tidak mampu menggerakkan kakinya, maka dia hanya melihat dengan mata terbelalak ketika golok yang amat tajam berkilauan itu diayunkan dengan kuat ke arah leher kakek itu.

“Crakkkk!”

Leher itu sekali babat putus! Darah muncrat-muncrat. Akan tetapi Kun Liong makin terbelalak dan semua orang mengeluarkan seruan kaget ketika darah yang muncrat-muncrat itu berkumpul di atas leher yang buntung dan perlahan-lahan darah itu berubah menjadi kepala yang baru! Kepala kakek itu masih menempel atau lebih tepat lagi, dari leher yang buntung itu “tumbuh” kepala baru, sedangkan kepalanya yang pertama masih menggelinding di atas tanah, di bawah batu!

“Ilmu siluman...!” Marcus dan beberapa orang berteriak kaget. Akan tetapi algojo Mongol itu menjadi penasaran. Goloknya diayun lagi ke bawah.

“Crakkkk!”

Kembali kepala itu terpisah dari badannya, terpenggal dan darah muncrat-muncrat. Akan tetapi, darah itu kembali berubah menjadi sebuah kepala yang baru, menggantikan kepala ke dua yang terpenggal.

Mulailah semua orang menggigil dan muka mereka pucat, mata mereka terbelalak. “Ha-ha-ha-ha, hayo kalian boleh penggal kepalaku sepuas hatiku!” terdengar suara kakek itu mengejek dan hebatnya, yang bersuara bukan hanya mulut kepala yang masih menempel di leher, bahkan dua buah kepala yang sudah menggelinding dan berada di atas tanah itu pun menggerakkan mulut mengeluarkan kata-kata itu dan matanya merem melek, bibirnya tersenyum!

“Setan...!”

“Ilmu iblis...!”

“Siluman...!”

“Biar kupenggal lagi kepalanya!” Orang Mongol itu masih nekat dan mengayun goloknya. Akan tetapi ketika berulang-ulang dia memenggal kepala dan selalu tumbuh kepala baru dari leher yang buntung, orang Mongol itu yang sejak tadi menahan rasa takutnya, kini tidak kuat lagi melihat banyak kepala berserakan di dekat kakinya, kepala yang masih hidup, tertawa dan melotot. Dia mengeluh, goloknya terlepas dan dia roboh pingsan!

Seperti tawon diusir dari sarangnya, seratus lebih Pasukan Tombak Maut itu kini berlumba melarikan diri, didahului oleh Marcus dan empat orang pemimpin Mongol! Debu mengebul tinggi ketika mereka tergesa-gesa membalapkan kuda dan membawa pergi algojo Mongol yang masih pingsan!

Kun Liong masih duduk dengan mata terbelalak ketika pundaknya ditepuk orang dari belakang. Dia menoleh dan melihat bahwa yang menepuk pundaknya adalah pemuda tampan gagah tadi. Dia terkejut, mukanya masih pucat dan ketika dia memandang lagi ke arah “mayat” yang lehernya dipenggal berkali-kali itu, ternyata bahwa kakek itu pun sudah bangkit berdiri dan kepala-kepala yang tadi berserakan di atas tanah sudah lenyap. Yang ada hanyalah kakek itu, tersenyum-senyum tenang seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu.

“Eh, apa yang terjadi...? Bagaimana... mengapa...” Kun Liong masih bingung dan dengan gagap bertanya.

“Sudah kuberi isyarat, akan tetapi engkau tidak mau meniru apa yang kulakukan, sehingga engkau terpengaruh pula oleh hoatsut yang dikerahkan Suhu untuk menakut-nakuti dan mengusir mereka,” kata pemuda itu.

“Hoatsut (ilmu sihir)...? Ahhh... kiranya begitu?” Kun Liong kagum bukan main dan kini dia memandang kakek itu dengan sikap hati-hati. Tak disangkanya kakek itu memiliki kekuatan batin yang demikian hebat sehingga dapat bermain sulap dan mempengaruhi demikian banyaknya orang. Kemudian dia menjura dengan sikap hormat sambil berkata, “Kiranya saya berhadapan dengan orang pandai! Terima kasih atas pertolongan Locianpwe. Saya Yap Kun Liong dan bolehkan saya mengetahui nama besar Locianpwe dan saudara gagah perkasa?”

“Ha-ha-ha!” Kakek itu tertawa bergelak. “Yap-sicu terlalu merendahkan diri dan bersikap sungkan. Kami guru dan murid sama sekali tidak menolong Sicu yang gagah perkasa. Kalau mau bicara tentang pertolongan, agaknya lebih tepat kalau dikatakan bahwa aku telah menolong orang-orang Mongol bodoh itu dari kematian di tangan Sicu yang amat lihai. Karena tidak ingin menyaksikan Sicu yang perkasa melakukan pembunuhan terhadap ratusan orang, maka terpaksa dengan lancang aku menakut-nakuti mereka agar mereka dapat diusir tanpa dibunuh.”

Kun Liong terkejut. Kiranya kakek itu selain lihai ilmu sihirnya, juga bermata tajam dan berpemandangan luas, membuat dia makin tunduk dan cepat dia berkata, “Locianpwe, terlalu memuji. Harap sudi memperkenalkan nama.”

“Aku disebut Hong Khi Hoatsu, seorang pertapa yang berkelana tak tentu tempat tinggal dan tempat tujuan. Dia ini adalah Lie Kong Tek, muridku yang juga menjadi anak angkatku. Yap-sicu, kalau boleh aku bertanya, mengapa Sicu dimusuhi oleh gerombolan orang Mongol dan orang kulit putih itu? Sedangkan Sicu sendiri memakai pakaian orang kulit putih.”

Kun Liong menunduk memandang pakaiannya sendiri. Dia tidak ingin berpanjang cerita, apalagi menyangkut diri Lauw Kim In yang telah bersikap baik kepadanya itu.

“Mungkin karena pakaian inilah yang membuat aku dimusuhi mereka, Locianpwe. Mereka mengira bahwa aku mencuri pakaian seorang di antara teman mereka, dituduh membunuh orang itu.”

“Hemm, memang aneh melihat Sicu memakai pakaian seperti ini.”

“Memang aku mengambil pakaian ini dari mayat seorang kulit putih yang terbunuh oleh gerombolan Mongol.” Dengan singkat Kun Liong menuturkan pengalamannya ketika dia menolong seorang kulit putih yang dikeroyok orang-orang Mongol akan tetapi yang tidak berhasil diselamatkan nyawanya itu.

“Aku disangka membunuhnya dan dikejar-kejar, untung muncul Locianpwe dan Lie-twako yang menolongku.”

Hong Khi Hoatsu tertawa. “Jangan Sicu mengulangi kata-kata menolong. Kalau boleh aku mengetahui, Yap-sicu hendak menuju ke manakah? Mengapa sampai tersesat di tempat terasing di luar Tembok Besar ini?”

“Aku hendak pergi ke Tibet untuk suatu urusan yang amat penting, urusan pribadi.”

Berseri wajah kakek itu. “Bagus, kalau begitu kita dapat melakukan perjalanan bersama!”

“Mana saya berani mengganggu Locianpwe?”

“Ah, pertemuan ini berarti bahwa ada jodoh di antara kita, Yap-sicu. Kalau Sicu tidak bertemu dengan kami, tentu tidak ada yang memberi tahu bahwa Sicu telah keliru mengambil jalan!”

“Apa maksud Locianpwe?”

“Perjalanan menuju ke Tibet sebaiknya dilakukan melalui pedalaman. Dari sini menyeberang Tembok Besar memasuki pedalaman terus ke selatan, setelah tiba di Propinsi Shantung. barulah ke barat melalui Secuan. Dengan demikian, selain perjalanan lebih cepat, juga jauh lebih aman. Melalui pegunungan dan padang pasir di luar Tembok Besar merupakan perjalanan yang amat sukar, berbahaya, dan karenanya akan memakan waktu lebih lama.”

“Aihh! Begitukah?” Kun Liong berseru kaget dan juga girang.

“Karena itu, marilah Sicu melakukan perjalanan bersama kami. Selain Sicu memperoleh petunjuk jalan, juga kalau Sicu sudi membantu kami membutuhkan bantuan Sicu.”

Kun Liong tidak segera menyanggupi. “Ji-wi hendak pergi ke manakah?”

“Kami bertujuan pergi ke muara Sungai Huai, di pantai Laut Kuning...”

“Ahhh...!” Kun Liong terkejut sekali karena segera teringat dia akan orang kulit putih yang dia rampas pakaiannya, kata-kata pesanan orang itu sebelum mati.

“Mengapa Yap-sicu terkejut?” kakek itu bertanya.

“Apakah ada hubungannya dengan Pek-lian-kauw?” Kun Liong memancing.

Kini kakek dan pemuda ganteng itu yang kaget. Hong Khi Hoatsu memandang tajam lalu bertanya, “Yap-sicu, kita adalah orang-orang sendiri yang tidak harus merahasiakan sesuatu. Dari mana Sicu tahu akan Pek-lian-kauw yang berada di muara Sungai Huai?”

“Aku mendengar dari pemilik pakaian ini, sebelum dia mati, dia meninggalkan kata-kata tentang Pek-lian-kauw di muara Sungai Huai di pantai Laut Kuning.”

“Bagus sekali! Jadi jelas bahwa Sicu bukanlah sahabat Pek-lian-kauw, bukan?”

“Tentu saja bukan, Locianpwe. Bahkan di waktu kecil dahulu, hampir saja saya dibunuh seorang tosu Pek-lian-kauw bernama Loan Khi Tosu.”

“Hemm, kalau begitu kebetulan sekali. Sicu tentu sudi membantu kami untuk suatu usaha menolong orang dan berhadapan dengan Pek-lian-kauw, bukan?”

“Harap Locianpwe menceritakan persoalannya lebih dulu sebelum saya menyatakan kesanggupan saya.”

“Kami benar-benar mengharapkan bantuan Sicu karena menyaksikan gerakan Sicu tadi kami merasa yakin bahwa hanya seorang dengan kepandaian seperti Sicu yang akan dapat membantu. Ketahuilah, Yap-sicu. Ketika aku bersama muridku mengunjungi seorang sahabat baikku di luar Tembok Besar, kami melihat dia berada di ambang kematian karena luka-lukanya. Dia telah bentrok dengan Pek-lian-kauw, dan dalam pertandingan yang hebat, dia terluka parah dan puterinya telah tertawan dan diculik oleh kaum Pek-lian-kauw yang berkedudukan di muara Sungai Huai di pantai Laut Kuning. Sebelum mati, sahabatku itu berpesan agar kami suka menolong puterinya itu, bahkan dia menyerahkan puterinya itu kepadaku untuk dijodohkan dengan muridku.”

“Hemm...” Kun Liong mengangguk-angguk sambil melirik ke arah pemuda tampan itu yang sejak tadi diam saja. Mereka bertemu pandang dan Lie Kong Tek berkata, “Saudara Yap, pesan seorang yang sedang sekarat merupakan pesan keramat. Biarpun saya tidak setuju dengan ikatan jodoh yang mendadak ini, namun saya tidak tega untuk menolak, dan terserah kepada Suhu. Betapapun juga, kami harus menolong gadis yang belum pernah kami lihat itu. Hanya kami ketahui namanya, yaitu Bu Li Cun.”

Mendengar ini, tanpa ragu-ragu lagi Kun Liong berkata, “Kalau demikian persoalannya, tentu saja saya dengan senang hati akan membantu Ji-wi!”

“Bagus! Dengan bantuan Yap-sicu, tugas kami menjadi lebih ringan dan makin besar harapannya akan berhasil baik!” Kakek itu tertawa-tawa gembira.

Lie Kong Tek lalu membuka bungkusan pakaiannya, menyerahkan satu stel pakaian kepada Kun Liong sambil berkata, “Saudara Yap, harap kau suka memakai pakaian ini. Pakaianmu itu hanya akan menimbulkan kecurigaan dan keributan saja.”

Kun Liong tersenyum. Tanpa membantah dia menerima pakaian lalu mengganti pakaiannya yang memang aneh itu. Setelah mengenakan pakaian biasa, barulah terasa enak dan lega hatinya dan sambil tersenyum dia mengucapkan terima kasih kepada sahabat baru itu.

“Eh, Yap-sicu. Aku merasa heran sekali melihat bentuk rambut kepalamu dan takkan puas aku sebelum mendengar darimu mengapa rambutmu menjadi begitu pendek,” kakek yang suka berkelakar dan suka mengobrol itu bertanya.

Kun Liong meraba-raba kepalanya, merasa beruntung bahwa kini kepalanya sudah berambut. Sudah berambut saja, karena masih pendek, sudah menjadi perhatian dan pertanyaan orang, apalagi kalau masih gundul!

“Panjang ceritanya, Locianpwe.”

“Kalau begitu, mari kita melanjutkan perjalanan dan harap kau suka menceritakan di dalam perjalanan, Yap-sicu.”

Berangkatlah tiga orang itu ke selatan sambil bercakap-cakap dan Kun Liong makin merasa suka kepada guru dan murid itu. Dia mulai membuka sedikit perihal dirinya dengan menceritakan betapa rambutnya pernah gundul karena pengaruh racun akan tetapi sekarang telah sembuh. Beberapa hari kemudian, Kun Liong sudah menjadi sahabat baik Lie Kong Tek dan diam-diam dia merasa kagum dan heran. Kagum karena baik si guru maupun si murid merupakan orang-orang gagah dan budiman, jujur dan ramah, akan tetapi dia juga heran mengapa terdapat perbedaan seperti bumi dan langit antara guru dan murid itu. Kalau gurunya suka mengobrol, gembira dan jenaka, adalah si murid pendiam dan serius sehingga sukar sekali mengukur sampai di mana tingkat kepandaian Lie Kong Tek ini.

Setelah mereka melewati Tembok Besar, mulailah Kun Liong melihat peradaban, melihat lagi kota-kota dan penduduknya, bertemu dengan manusia-manusia biasa di dunia ramai. Namun, berbeda dengan dahulu, semua itu hanya merupakan hiburan sepintas lalu saja karena hati dan pikirannya selalu penuh dengan bayangan wajah Pek Hong Ing dan seringkali dia merasa gelisah memikirkan keselamatan wanita yang dicintanya itu.

Dunia kang-ouw gempar dengan tersebarnya undangan dari Pek-lian-kauw wilayah timur yang akan merayakan pernikahan antara Liong Bu Kong, putera bekas Ketua Kwi-eng-pang dengan Cia Giok Keng, puteri dari Ketua Cin-ling-pai. Pek-lian-kauw menjadi wali dari Liong Bu Kong, sehingga dengan demikian berarti bahwa Pek-lian-kauw berbesan dengan Cin-ling-pai! Tentu saja berita ini menggemparkan para orang gagah di dunia kang-ouw dan pada hari pernikahan yang telah ditentukan, berbondong-bondong orang-orang gagah dari segenap penjuru membanjiri muara Sungai Huai, markas besar Pek-lian-kauw wilayah timur itu. Semua orang ingin menyaksikan peristiwa yang amat aneh ini, karena setahu mereka, Pendekar Sakti Cia Keng Hong Ketua Cin-ling-pai adalah seorang gagah yang selalu membantu pemerintah menentang Pek-lian-kauw. Bagaimana mungkin sekarang malah berbesan dengan Pek-lian-kauw, mengambil mantu seorang pemuda putera seorang datuk kaum sesat?

Pada pagi hari yang telah ditentukan, ruangan depan Pek-lian-kauw sampai ke pekarangan penuh dengan para tamu yang sebagian besar terdiri dari orang-orang dari dunia kang-ouw dan Hok-lim. Baik golongan putih maupun hitam hadir, karena mereka semua tertarik oleh peristiwa yang luar biasa ini. Pihak Pek-lian-kauw yang ingin menarik sebanyak mungkin orang gagah untuk membantu perjuangannya melawan pemerintah, sekali ini mengadakan pesta besar-besaran. Daging dan arak diobral sampai berlimpah-limpah.

Di antara para tamu itu terdapat Hong Khi Hoatsu, Lie Kong Tek, dan Yap Kun Liong. Mereka bertiga bukan merupakan tamu-tamu yang diundang. Mereka sengaja menyelinap di antara sekian banyaknya tamu dan tentu saja tidak ada yang mengenal mereka dan tidak ada yang mencurigai. Seperti diketahui, kedatangan mereka adatah untuk menyelidiki dan menolong seorang gadis bernama Bu Li Cun yang terculik oleh orang-orang Pek-lian-kauw. Akan tetapi, ketika tiba di situ dan melihat Pek-lian-kauw sedang mengadakan pesta pernikahan yang didatangi ratusan orang tamu, mereka bertiga tidak berani sembarangan turun tangan dan menyelinap di antara para tamu untuk melihat keadaan dan menanti kesempatan baik. Mereka baru saja tiba, maka tidak mendengar siapa yang akan menikah di markas Pek-lian-kauw itu, juga mereka tidak menganggap penting hal ini maka tidak menyelidiki.

Ketika sepasang pengantin keluar dari dalam untuk melakukan upacara pernikahan dan sembahyangan, para tamu memandang dengan penuh perhatian. Suasana menjadi sunyi karena semua orang tidak mengeluarkan suara, bahkan makan minum dihentikan dengan sendirinya.

Cia Giok Keng yang memakai pakaian pengantin, mencucurkan air mata karena terharu dan berduka. Dia tidak ingat hal-hal yang baru saja terjadi. Yang diingatnya hanyalah bahwa hari ini dia menikah dengan pemuda pilihannya, Liong Bu Kong yang upacaranya dilakukan oleh Pek-lian-kauw yang sudah menolong mereka. Dan dia ingat pula bahwa pernikahan ini tidak disetujui oleh ayahnya, dan bahwa dia telah terusir oleh ayahnya sehingga terpaksa menikah secara ini. Dia berduka sekali, akan tetapi sebagai seorang dara yang berhati keras, dia dapat menahan kedukaannya dan bertekad untuk melanjutkan keinginannya menikah dengan seorang pilihan hatinya sendiri. Ketika keluar dan dituntun ke depan meja sembahyang yang sudah dipersiapkan secara mewah di ruangan depan untuk melakukan upacara pernikahan dengan disaksikan oleh semua tamu, Giok Keng tidak memperhatikan, bahkan tidak mempedulikan para tamu. Di bawah pengaruh obat perampas ingatan, dia menurut saja ketika dituntun dan disuruh berlutut di depan meja sembahyang berdampingan dengan Liong Bu Kong yang mengenakan pakaian pengantin yang gagah dan indah. Hati pemuda ini girang sekali. Hari ini cita-citanya terlaksana. Dia dapat memperisteri Cia Ciok Keng secara sah! Malam nanti, dara yang cantik jelita ini akan menyerahkan diri kepadanya sebagai isterinya, dengan suka rela dan secara resmi! Di samping kebahagiaan ini, dia pun memperoleh kedudukan yang kuat dan baik di Pek-lian-kauw! Kemujuran yang sama sekali tidak disangka-sangkanya setelah kesialan yang dialami ketika ibunya tewas dan Kwi-eng-pang hancur.

lanjut ke Jilid 083-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar