Jumat, 21 Februari 2014

Dewi Maut Jilid 31

Dewi Maut Jilid 31

<--kembali

“Bukkkkk!!” Wang Cin terpekik, pedangnya terlempar, tubuhnya terjengkang dan terbanting ke belakang, berdebuk menimpa lantai.

“Seret babi ini keluar dan habisi dia!”

Raja Sabutai memerintah dan empat orang pengawal menubruk maju, masing-masing memegang tangan atau kaki lalu menyeret tubuh gendut itu keluar. Wang Cin menjerit-jerit seperti babi disembelih, memaki-maki lalu menangis akan tetapi setiap gerakan dan setiap suaranya hanya mendatangkan perasaan muak saja karena seluruhnya membayangkan sifat pengecut yang menyebalkan. Dari jauh terdengar jerit melengking dari bekas pembesar kebiri yang pernah mempermainkan Kaisar Ceng Tung itu.

Setelah gema lengking terakhir itu mereda, Sabutai yang masih tersenyum lalu berkata, ditujukan kepada semua orang. “Sekarang, seperti yang telah kami janjikan, mari kita selesaikan semua urusan pribadi, semua permusuhan pribadi, diselesaikan secara terhormat dan adil, cara orang-orang gagah agar seluruh dunia tidak akan menganggap bahwa Raja Sabutai tidak menghargai kegagahan orang! Sekarang, siapa yang mempunyai rasa penasaran dan mempunyai tuntutan kepada seseorang atau orang-orang lain, dipersilakan untuk menyatakan di depan kami secara terang-terangan!” Setelah berkata demikian, Raja Sabutai memandang ke sekeliling, terutama kepada bekas pembantu-pembantu Wang Cin dan kepada Bun Houw, In Hong, dan Yo Bi Kiok.

Tiga orang Bayangan Dewa saling lirik, akan tetapi mereka tidak bergerak. Mereka bertiga adalah orang-orang yang mempunyai dua maksud tersembunyi ketika mereka datang ke tempat itu sebagai pembantu-pembantu Wang Cin. Pertama, untuk menyembunyikan diri dari pengejaran fihak Cin-ling-pai dan mencari perlindungan, kedua untuk mengejar kemuliaan, membonceng pengkhianatan Wang Cin. Kini Wang Cin sudah tamat riwayatnya, maka mereka tidak berani banyak berlagak lagi, apa pula karena empat orang kawan mereka yang mereka andalkan, yaitu Go-bi Sin-kouw dan teman-temannya, telah pergi entah ke mana. Betapapun juga, mereka bertiga percaya akan kemampuan sendiri dan tidak merasa gentar, apalagi karena di antara fihak lawan yang paling tinggi ilmunya hanyalah Yo Bi Kiok, dan sesungguhnya mereka tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan ketua Giok-hong-pang itu. Maka mereka masih merasa tenang saja menanti perkembangan selanjutnya.

Suasana yang sunyi itu dipecahkan oleh suara nyaring dari Bun Houw yang mengangkat tangan kanan ke atas dan berkata, “Saya mempunyai tuntutan, mohon perkenan dari baginda untuk saya sampaikan!”

Semua orang memandang kepada pemuda yang bersikap sederhana akan tetapi gagah dan tampan itu dan karena semua orang sudah mendengar bahwa pemuda yang baru datang itu mempunyai permusuhan dengan para pembantu Wang Cin yang telah mereka kenal sebagai orang-orang lihai, maka suasana mulai menjadi tegang.

Raja Sabutai tersenyum lebar. “Ketahuilah kalian semua bahwa yang bicara adalah pendekar muda Bun Houw yang baru saja tiba. Dia adalah seorang sahabat nona Hong yang telah kita kenal.”

In Hong hendak membantah akan tetapi sebelum dia mengeluarkan suara, sudah terdengar tepuk tangan para hadirin yang dipelopori oleh Raja Sabutai sendiri, maka In Hong diam saja.

“Orang muda, katakanlah apa yang menjadi tuntutanmu dan kepada siapa!” Raja Sabutai berkata lagi sambil melirik ke arah tiga orang Bayangan Dewa, Di dalam hatinya raja ini agak kecewa mengapa dua orang kakek dan dua orang nenek yang dia tahu amat lihai, yang selama ini menemani para pembantu Wang Cin, telah lenyap ketika terjadi pertempuran yang terakhir menghadapi serbuan pasukan Beng-tiauw yang tadinya mengurung benteng. Bahkan menurut keterangan dua orang gurunya, Bouw Thaisu memiliki kepandaian yang paling tinggi di antara para pembantu Wang Cing akan tetapi sekarang Bouw Thaisu juga telah pergi entah ke mana, bersama Go-bi Sin-kouw, Hwa Hwa Cinjin, dan Hek I Siankouw.

“Maaf, sri baginda. Sebetulnya, urusan saya ini tidak ada sangkut-pautnya dengan paduka atau dengan orang lain, akan tetapi oleh karena musuh-musuh saya itu berada di sini, maka terpaksa saya menyusul pula ke sini dan sekarang atas perkenan paduka, saya akan menuntut secara terang-terangan. Yang saya tuntut adalah mereka bertiga itulah, yang menamakan diri Lima Bayangan Dewa dan yang sekarang tinggal tiga orang lagi. Mereka itu adalah Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok, Liok-te Sin-mo Gu Lo It, dan Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Hosiang. Mereka bertiga itu telah dengan curang mencuri pedang pusaka milik Cin-ling-pai dan telah membunuh sebelas orang Cap-it Ho-han murid-murid utama Cin-ling-pai secara kejam. Oleh karena itu, saya menuntut agar pedang Siang-bhok-kiam dikembalikan kepada saya dan saya menantang mereka untuk bertanding agar saya dapat menebus kematian para murid Cin-ling-pai!”

Raja Sabutai mendengarkan tuntutan ini dan dia menjadi gembira, menoleh ke arah tiga orang kakek itu dan berkata, “Nah, kalian telah mendengar tuntutan. Kalian boleh membela diri dan menjawab. Silakan!”

Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok mewakili dua orang sutenya, melangkah maju menghadapi Bun Houw dan terdengarlah suaranya yang tenang dan lantang, penuh suara dan nada meremehkan, “Maaf, sri baginda. Perkenankan saya bicara dengan orang muda she Bun ini.” Raja Sabutai mengangguk-angguk.

“Orang she Bun, sebelum aku menjawab tuntutanmu, lebih dulu kami bertiga ingin mengetahui, ada hak apakah engkau menuntut urusan kami dengan Cin-ling-pai? Sepanjang pengetahuan kami, engkau hanyalah seorang pengawal dari Kiam-mo Liok Sun pemilik tempat perjudian di Kiang-shi. Engkau tidak berhak untuk mencampuri urusan kami dengan Cin-ling-pai!”

Sudah berada di ujung lidah Bun Houw untuk mengaku bahwa dia adalah putera ketua Cin-ling-pai, akan tetapi karena dia sudah terlanjur menyembunyikan keadaan diri sebenarnya, pula diapun tidak mau mendatangkan keributan dengan kenyataan baru itu, maka dia menjawab, “Ketahuilah, Pat-pi Lo-sian! Aku adalah terhitung murid dari Cin-ling-pai, oleh karena itu, pedang Siang-bhok-kiam merupakan pusaka yang kuhormati dan Cap-it Ho-han termasuk suheng-suhengku, maka sudah semestinya kalau aku menentangmu!”

Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok adalah seorang kakek yang sudah banyak makan garam, sudah banyak pengalaman dan dia amat cerdik. Dia maklum bahwa kedudukan dia dan dua orang sutenya sebagai bekas pengawal Wang Cin amatlah tidak menguntungkan, karena hal itu saja membuat mereka berada di tempat yang tidak begitu disuka oleh Raja Sabutai. Dan diapun maklum bahwa In Hong adalah seorang yang lihai, dan kalau benar gadis itu merupakan sahabat pemuda ini dan ikut turun tangan, maka keadaan bagi dia dan adik-adiknya akan makin berbahaya. Menghadapi pemuda itu, dia sama sekali tidak khawatir, bahkan memandang rendah. Akan tetapi, kalau menghadapi In Hong satu lawan satu, bukan merupakan hal yang tidak berbahaya, maka dia lalu berkata dengan cerdik, “Orang she Bun! Agaknya engkau sudah tahu bahwa Lima Bayangan Dewa terdiri dari lima orang bersaudara. Terus terang saja, kami berlima memang memusuhi Cin-ling-pai karena kami hanya membalaskan kematian suheng kami, Ban-tok Coa-ong, dan memang sejak dahulu kami menanam hati dendam terhadap Cin-ling-pai. Sudah sewajarnya kalau engkau sebagai anak murid Cin-ling-pai kini membela Cin-ling-pai pula. Akan tetapi engkau tentu maklum pula bahwa Lima Bayangan Dewa selalu bekerja bersama-sama, dan karena kini jumlah kami tinggal tiga orang, maka Tiga Bayangan Dewapun biasa bekerja sama tidak terpisah-pisah. Entah bagaimana engkau akan menghadapi kami bertiga. Tentu saja kalau engkau tidak berani menghadapi kami bertiga...”

“Pat-pi Lo-sian, tidak perlu engkau bersikap sombong dan memancing-mancing!” Bun Houw memotong. “Tentu saja aku yang sudah berani membela Cin-ling-pai, berani pula menghadapi kalian bertiga, karena akupun tahu bahwa Lima Bayangan Dewa adalah orang-orang pengecut.”

“Tidak, Bun-ko!” Tiba-tiba In Hong berseru dan cepat gadis ini menghadapi Raja Sabutai sambil berkata, “Maafkan saya, sri baginda. Akan tetapi sesungguhnya, sayalah yang lebih dulu bentrok dengan Lima Bayangan Dewa! Sejak semula, sebelum saudara Bun Houw ini bertemu dengan mereka, saya yang berniat untuk merampas kembali pedang Siang-bhok-kiam dari tangan mereka. Kini, setelah berhadapan dengan mereka, sayapun tidak akan membiarkan saudara Bun Houw seenaknya turun tangan sendiri merampas pedang, karena saya juga berhak untuk mengadu kepandaian merampas pedang pusaka Cin-ling-pai.”

“Heh-heh, sayapun tentu saja ingin melihat seperti apa sih pedang pusaka yang disohorkan orang itu dan sayapun tidak mau ketinggalan meramaikan pertemuan ini, sri baginda!” Yo Bi Kiok tiba-tiba berkata pula.

Raja Sabutai menggosok-gosok kedua tangannya, kelihatan makin gembira. Memang raja ini suka sekali nonton orang pibu, maka makin ramai dan makin banyak yang mengambil bagian dalam pertandingan mengadu ilmu, makin gembiralah hatinya.

“Sam-wi lo-sicu,” katanya kepada Pat-pi Lo-sian bertiga. “Ternyata hebat juga pedang Siang-bhok-kiam yang kalian rampas itu sehingga semua orangpun ingin memilikinya. Kalian telah mendengarkan pendapat nona Hong dan gurunya. Nah, bagaimana?”

Pat-pi Lo-sian terkejut sekali ketika tadi mendengar ucapan Yo Bi Kiok. Akan tetapi dia cerdik sekali dan sambil menghadapi Yo Bi Kiok dia menjura ke arah ketua Giok-hong-pang itu dan berkata, “Maaf, Yo-pangcu. Dahulu pernah Yo-pangcu mengatakan bahwa pangcu telah menawan Lie Seng, bocah cucu ketua Cin-ling-pai itu, bahwa pangcu hendak menukarkan bocah cucu musuh besar kami itu dengan pedang Siang-bhok-kiam. Akan tetapi sayang keburu terjadi perang dan...”

Memang Pat-pi Lo-sian cerdik bukan main. Dia tadi mendengar bahwa pemuda tampan ini adalah anak murid Cin-ling-pai, maka melihat gelagat bahwa ketua Giok-hong-pang itu hendak turun tangan menentang mereka, maka cepat dia mengatakan hal tentang ditawannya cucu ketua Cin-ling-pai oleh Yo Bi Kiok agar diketahui oleh murid Cin-ling-pai itu. Akalnya ini berhasil karena tentu saja Bun Houw terkejut bukan main mendengar ucapan itu.

“Yo-pangcu! Kauapakan Lie Seng...?” bentaknya marah, hatinya khawatir sekali mendengar bahwa keponakannya itu tertangkap oleh wanita cantik berwajah dingin ini.

“Ha-ha-ha-ha!” Pat-pi Lo-sian tertawa untuk menambah minyak pada api itu. “Ketika kami menyerbu Sin-yang, membalas dendam kepada puteri ketua Cin-ling-pai, di mana kami berhasil menewaskan empat orang murid utama Cin-ling-pai dan besan dari ketua Cin-ling-pai, kami tentu tidak akan berhasil tanpa bantuan Yo-pangcu. Mengingat akan kerja sama yang sudah-sudah, kiranya sekarang Yo-pangcu tidak akan membalik dan membantu fihak musuh kita bersama.”

“Kau...!” Bun Houw marah sekali dan kalau saja dia tidak ingat bahwa dia berada di dalam benteng Raja Sabutai, tentu dia sudah menyerang Yo Bi Kiok yang hanya tersenyum-senyum saja itu, senyum penuh ejekan.

“Pat-pi Lo-sian, engkau tahu bahwa aku tidak pernah memihak siapa-siapa, melainkan memihak diriku sendiri. Aku hanya mau bilang bahwa aku menghendaki pedang itu, siapapun yang keluar sebagai pemenang, harus menghadapi aku lebih dulu untuk dapat memperoleh pedang.”

Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok diam-diam merasa girang karena kini dia boleh merasa lega karena tak mungkin nyonya yang amat lihai itu akan membantu Bun Houw. Akan tetapi juga dia harus merelakan pedang Siang-bhok-kiam kalau tidak mau berurusan dengan wanita yang menyeramkan itu, maka dia lalu mendapatkan sebuah akal yang amat baik. Dia lalu menjura ke arah Raja Sabutai dan berkata. “Sri baginda, karena saya tidak ingin ada yang main curang dalam pibu ini, maka saya hendak menyerahkan Siang-bhok-kiam kepada paduka agar paduka yang menyimpannya dan menyerahkannya kepada pemenang setelah pibu selesai.”

Tentu saja Raja Sabutai menjadi girang dan mengangguk-angguk. Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok lalu memberi tanda kepada Hok Hosiang dan hwesio ini lalu mengeluarkan sebuah bungkusan panjang dari bawah jubahnya yang lebar. Memang Pat-pi Lo-sian cerdik. Dia sebagai orang pertama Lima Bayangan Dewa, tidak mau menyimpan sendiri pedang itu karena semua orang tentu menyangka bahwa dialah yang memegang pedang, sebaliknya dia malah menitipkannya kepada sutenya yang nomor tiga dan hwesio ini tentu saja dengan mudah menyembunyikan pusaka itu di bawah jubahnya yang amat lebar dan terlalu besar.

Raja Sabutai menerima bungkusan kain kuning, membuka bungkusan dan mengeluarkan sebatang pedang dalam sarungnya. Kemudian, perlahan-lahan dicabutnya pedang itu dan nampak sinar kehijauan yang dingin. Itulah Siang-bhok-kiam, pedang pusaka Cin-ling-pai! Bun Houw sekali pandang saja mengenal pedang itu dan hatinya terharu.

“Suhu dan subo, pedang ini terlalu berharga, maka sebaiknya suhu dan subo yang menyimpannya agar aman,” Raja Sabutai berkata sambil menyerahkan pedang itu yang diterima tanpa banyak cakap oleh Pek-hiat Mo-ko dan diselipkan di pinggangnya.

“Sekarang, pertandingan boleh dimulai!” Raja Sabutai berkata. “Orang muda she Bun, apakah kau sudah siap untuk menghadapi lawan?”

“Saya sudah siap!” Bun Houw bangkit berdiri dan melangkah ke tengah ruangan.

“Sayapun siap, sri baginda!” In Hong tak dapat mencegah dirinya, diapun sudah meloncat ke depan. Betapapun juga, gadis ini tidak akan membiarkan Bun Houw seorang diri menghadapi tiga Bayangan Dewa yang dia tahu amat lihai itu. Melawan satu orang saja di antara mereka, belum tentu pemuda ini menang, apalagi dikeroyok tiga!

Melihat sikap muridnya, Yo Bi Kiok hanya tersenyum dan berkata, “Hong-ji, bodoh kau! Suruh dia minta maaf dulu!” Akan tetapi In Hong tidak memperdulikan kata-kata gurunya itu.

Sementara itu, Raja Sabutai diam-diam juga girang melihat In Hong maju karena sebagai seorang gagah diapun merasa tidak senang kalau pemuda ini harus menghadapi pengeroyokan tiga orang kakek, maka kini dia berkata kepada Phang Tui Lok, “Apakah sam-wi sudah siap dan hendak maju berbareng?”

Phang Tui Lok mengerutkan alianya “Sebetulnya, urusan kami dengan pemuda she Bun sebagai wakil Cin-ling-pai tidak ada sangkut-pautnya dengan nona Hong maka tidak semestinya kalau nona Hong mencampuri.”

“Manusia curang!” In Hong membentak. “Katakan saja kalian takut dan beraninya hanya ingin maju bertiga mengeroyok satu orang!”

“Siapa takut menghadapi pemuda Cin-ling-pai itu? Mundurlah, nona, dan pemuda itu hanya akan dihadapi oleh seorang di antara kami saja!” kata Phang Tui Lok yang memandang rendah kepada Bun Houw dan lebih jerih menghadapi In Hong.

“Hong-moi, mundurlah, biar aku melawan sendiri mereka,” kata Bun Houw.

“Ha, kami sudah mendengar!” Raja Sabutai berseru gembira. “Satu lawan satu, itu baru adil namanya! Nona Hong, harap mundur dan biarkan Bun-sicu menghadapi seorang di antara tiga Bayangan Dewa!”

Terpaksa In Hong mundur dan karena hatinya gelisah mengkhawatirkan keselamatan pemuda itu, dia mundur ke dekat gurunya tanpa disadarinya.

“Jangan khawatir, kalau kekasihmu itu kalah, kita dapat menggunakan Siang-tok-swa,” bisik gurunya.

In Hong terkejut, mukanya menjadi merah mendengar gurunya menyebut Bun Houw sebagai kekasihnya. Dia mengerutkan alisnya dan cepat menjauhi gurunya, duduk di atas bangku sambil memandang ke depan, tidak memperdulikan Yo Bi Kiok yang tersenyum dingin.

Phang Tui Lok memberi tanda kepada sutenya yang nomor tiga, yaitu Hok Ho-siang. Hwesio ini sambil tersenyum menyeringai, bangkit berdiri dan melangkah lebar menuju ke tengah ruangan. Sambil berjalan dia memainkan senjatanya, yaitu tasbeh hijau sehingga terdengar suara berderik-derik nyaring sekali dan ketika dia memutar tasbehnya, terdengar suara mengaung dan nampak sinar hijau bergulung-gulung! Semua orang terkejut dan maklum bahwa hwesio ini memiliki tenaga sin-kang yang dahsyat dan senjatanya itu amat berbahaya. Ketika hwesio itu menggerak-gerakkan kepala, maka penghias kepalanya yang runcing itu berkilauan, dan diam-diam In Hong terkejut karena hiasan kepala yang runcing itu ternyata merupakan senjata yang hebat pula, terbuat dari baja pilihan! Maka khawatirlah dia melihat Bun Houw berdiri dengan kedua tangan kosong menghadapi lawan yang cukup kuat ini.

“Ha, satu lawan satu, itu baru adil namanya! Dan karena ada tiga orang kakek, harus pula dilawan oleh tiga orang dan akupun ingin mendapat bagian dan meramaikan pesta ini!”

Ucapan nyaring itu disusul berkelebatnya bayangan orang mendahului Bun Houw dan tahu-tahu Yo Bi Kiok telah meloncat ke depan hwesio itu dengan pedang Lui-kong-kiam di tangan kanan dan pedang pendek di tangan kiri. Sikapnya gagah bukan main.

“Eh, Yo-pangcu, kau mau apa?” Hok Hosiang membentak marah akan tetapi juga khawatir sekali.

“Yang diperebutkah adalah Siang-bhok-kiam, bukan? Nah, aku ikut memperebutkan dan kau lawanlah aku. Atau engkau tidak berani? Kalau begitu, bilang saja bahwa kau pengecut dan tidak berani!”

“Oho, wanita sombong! Siapa yang tidak berani?” jawab Hok Hosiang tersinggung.

“Kalau begitu, makanlah ini!” Cepat seperti kilat pedang pendek di tangan Yo Bi Kiok bergerak menyerang.

“Tranggg...!” Tasbeh di tangan hwesio itu menangkis, akibatnya, hwesio gendut itu terhuyung dan pada saat itu sinar kilat Lui-kong-kiam menyusul cepat, membuat hwesio itu terkejut setengah mati.

“Tranggg... cringggg...!” Kalau tidak dibantu oleh Phang Tui Lok yang membantu temannya menangkis Lui-kong-kiam, agaknya hwesio itu akan celaka.

“Tahan!” Phang Tui Lok membentak marah, lalu menoleh kepada raja. “Kami memprotes campur tangan Yo-pangcu. Sri baginda maklum bahwa pertikaian tentang pedang Siang-bhok-kiam adalah urusan Bayangan Dewa dan Cin-ling-pai. “Kalau Yo-pangcu menghendaki pedang, semestinya dia baru maju menghadapi pemenang dalam pertandingan ini. Kecuali kalau Yo-pangcu menjadi wakil Cin-ling-pai!”

Raja Sabutai mengangguk-angguk membenarkan. “Harap Yo-toanio suka mundur dan jangan mengacaukan pertandingan.”

Bun Houw juga melangkah maju. “Harap Yo-toanio tidak mencampuri urusan kami!”

Yo Bi Kiok tersenyum dan menyimpan pedangnya. “Baiklah, aku akan maju paling akhir, memang hwesio ini bukan tandinganku!”

Kini Bun Houw menghadapi hwesio itu dengan kedua tangan kosong dan berkata dengan sikap tenang, “Hok Hosiang, aku telah siap. Majulah!”

Hok Hosiang inipun memandang rendah kepada Bun Houw yang biarpun kabarnya pandai akan tetapi kedudukannya hanya sebagai pengawal Liok Sun si pemilik rumah judi! Maka sambil memutar-mutar tasbehnya dia berkata, “Orang muda, jangan mati konyol, hayo keluarkan senjatamu!”

“Penjahat tua menyamar sebagai hwesio, tak perlu banyak cakap, aku tidak perlu memegang senjata untuk menghadapimu.”

“Kalau begitu, bersiaplah untuk mampus!” Hok Hosiang membentak.

“Tahan dulu...!” Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu In Hong telah tiba di tengah ruangan itu. “Sri baginda, tidak adil kalau pertandingan dilakukan dengan yang seorang memegang senjata sedangkan yang lain tidak!”

Raja Sabutai mengangguk. “Pertandingan sekali ini adalah pertandingan untuk menyelesalkan urusan dendam pribadi, maka fihak yang kalah dan tewas tidak boleh merasa penasaran. Bun-sicu, engkau boleh menggunakan senjata pula.”

“Saya... saya tidak mempunyai senjata, sri baginda.”

“Bun-ko, ini pedangmu, pakailah!” In Hong mencabut Hong-cu-kiam dan menyerahkan pedang itu kepada Bun Houw.

Bun Houw cepat mundur dan memandang pedang itu dengan alis berkerut. “Aku tidak akan menggunakan senjata pedang itu, Hong-moi. Kausimpanlah...!”

In Hong menghela napas dan menyimpan pedangnya. Dia mengerti bahwa pemuda ini masih belum hilang rasa marahnya, mengira bahwa dia adalah seorang pembunuh kejam, maka tidak mau menggunakan pedang itu. Akan tetapi dia khawatir sekali kalau pemuda ini menghadapi Hok Hosiang yang demikian lihai tanpa senjata.

“Sri baginda, karena Bun-twako tidak mempunyai senjata, maka harus diberi kesempatan untuk meminjam senjata dari benteng ini.”

Raja Sabutai mengangguk-angguk, teringat akan pesan isterinya, Ratu Khamila yang pernah membisikkan bahwa pemuda dan gadis itu saling mencinta. Dia lalu memerintahkan pengawal mengambil delapan belas macam senjata yang diangkut ke tempat itu.

“Bun-sicu, silahkan memilih senjata mana yang kausuka dan boleh kaupergunakan dalam pertandingan ini,” kata raja.

Hok Hosiang tersenyum mengejek, berjalan berkeliling dan menggerak-gerakkan tasbehnya sehingga sinarnya bergulung-gulung menyilaukan mata dan suaranya mengaung mengerikan. Dia yakin bahwa semua senjata itu sekali bertemu dengan tasbehnya pasti akan patah-patah. Untuk mendemonstrasikan kepandaian dan kehebatan senjatanya, juga untuk membikin kecil nyali calon lawannya, hwesio ini menggunakan kakinya mencokel sebatang tombak panjang ke atas kemudian menggerakkan tasbehnya yang diputar cepat.

“Krek-krek-krekk!” Tombak itu patah-patah menjadi beberapa potong. Demonstrasi ini disambut suara berisik karena orang-orang terkejut sekali melihat betapa senjata tasbeh itu demikian ampuhnya! Padahal tombak itu terbuat dari baja pilihan dan merupakan senjata para pengawal raja!

Melihat ini, Bun Houw merasa sebal. “Hong-moi, tolong kauuji dengan pedangmu itu. Senjata mana yang kuat menghadapi babatan pedangmu, akan kupakai.”

In Hong girang. Karena memang diapun tahu bahwa tidak ada senjata di situ yang akan mampu melawan tasbeh Hok Hosiang kecuali Hong-cu-kiam, maka dia sengaja mengangkat setiap pedang, golok atau tombak diadukan dengan Hong-cu-kiam dan semua senjata itu satu demi satu terbacok patah! Melihat ini, Raja Sabutai diam-diam kagum. Orang-orang dari selatan ini memang hebat, pikirnya, hebat ilmu kepandaiannya, juga hebat senjata pusakanya.

“Bun-ko, tidak ada senjata yang cukup baik, kaupakailah pedang ini!” Akhirnya In Hong menyerahkan pedang Hong-cu-kiam yang tipis dan amat tajam itu. Akan tetapi kembali Bun Houw menggeleng kepala menolak, bahkan pemuda ini lalu mengambil gagang tombak yang terbuat daripada kayu dan menyodorkannya ke arah In Hong.

“Hong-moi, tolong kaupotong runcing kayu ini, sepanjang ukuran pedang.”

In Hong mengerutkan alisnya, tidak tahu apa yang dimaksudkan sebenarnya oleh pemuda itu, akan tetapi Hong-cu-kiam berkelebat, sinar emas menyambar dan gagang tombak dari kayu itu terbabat putus dan ujungnya meruncing.

Bun Houw mengobat-abitkan potongan kayu itu seperti sebatang pedang, lalu berkata kepada calon lawannya yang sejak tadi memandang dengan sikap marah karena pemuda itu seolah-olah memandang ringan sekali kepadanya, “Hok Hosiang, inilah senjataku!”

“He, orang muda she Bun!” Tiba-tiba Raja Sabutai berseru. “Begitu sombongkah engkau sehingga engkau hendak menghadapi lawan yang memiliki senjata pusaka hanya dengan sebatang gagang tombak pendek dari kayu?” Raja ini adalah seorang ahli silat yang lihai pula. Dia mengenal senjata tasbeh yang lihai itu dan tahu bahwa seorang ahli silat yang sudah berani mempergunakan sebuah senjata aneh seperti tasbeh tentulah memiliki kepandaian yang luar biasa. Maka, melihat pemuda itu hanya menggunakan sebatang pedang-pedangan dari kayu seperti yang biasa dipakai anak-anak yang bermain perang-perangan, tentu saja dia merasa khawatir, penasaran dan juga marah atas sikap Bun Houw yang dianggapnya sombong dan tolol.

Bun Houw cepat menjura setelah dia membalikkan pedang-pedangan kayu itu di bawah lengan kanannya. “Harap paduka suka memaafkan saya, sri baginda, sesungguhnya sama sekali saya tidak berani bersikap sombong, akan tetapi hendaknya paduka ingat bahwa pusaka Cin-ling-pai adalah sebatang pedang dari kayu, yaitu Siang-bhok-kiam (Pedang Kayu Harum) itu. Oleh karena itu, setiap orang muridnya tentu dapat pula memainkan kayu sebagai pedang yang merupakan kepandaian simpanan dari ketua Cin-ling-pai. Maka, kini saya memilih sebatang kayu ini sebagai pengganti pedang sama sekali bukan keluar dari sikap sombong, melainkan karena bagi saya, kayu ini merupakan senjata yang paling baik bagi saya.”

Raja Sabutai mengangguk-angguk, akan tetapi di dalam hatinya dia masih sangsi dan mengkhawatirkan keselamatan pemuda yang menurut isterinya adalah kekasih nona Hong yang amat disuka oleh isterinya itu. Sementara itu diam-diam Yo Bi Kiok mulai percaya kepada pemuda yang dicinta oleh muridnya ini. Terbayanglah dia akan pengalamannya sendiri ketika dia harus menghadapi ketua Cin-ling-pai. Pedang pusakanya juga hanya dilawan dengan sebatang ranting kayu oleh ketua Cin-ling-pai itu dan akibatnya dia kalah! Akan tetapi, ketua Cin-ling-pai itu memang seorang sakti yang amat tinggi kepandaiannya, pemuda ini hanya seorang anak murid yang masih muda, sedangkan tasbeh di tangan Hok Hosiang itu agaknya berbahaya bukan main.

“Orang muda, sudah siapkah engkau, ataukah engkau masih mau mengoceh lagi?” Hok Hosiang bertanya sambil tersenyum mengejek. Beberapa orang anggauta pengawal yang hadir dan yang berfihak kepada kakek gundul yang kelihatannya amat lihai ini ikut tertawa.

“Majulah, Hok Hosiang, sudah sejak tadi aku siap dan ingin merasakan bagaimana kerasnya tanganmu dan akan kulihat apakah engkau akan bisa tertawa lagi nanti!” kata Bun Houw sambil melintangkan gagang tombak di depan dadanya. Ucapan ini membuat Hok Hosiang menjadi makin marah karena merasa diejek. Memang dia berjuluk Sin-ciang (Tangan Sakti) dan Siauw-bin-sian (Dewa Muka Tertawa).

“Lihat senjata!” bentaknya dan tubuhnya sudah menerjang ke depan. Biarpun kakek berkepala gundul ini gendut tubuhnya, namun ternyata dia dapat bergerak dengan kecepatan yang mengejutkan dan ketika tubuhnya bergerak, ada angin menyambar dari arahnya, menandakan bahwa kakek ini memiliki tenaga besar. Dalam serangan pertama ini, dia didahului oleh gulungan sinar hijau yang menyilaukan mata, yaitu gulungan sinar senjata tasbehnya yang sudah menyambar ganas dengan gerakan melengkung ke atas lalu menghantam ke arah kepala Bun Houw, sedangkan tangan kiri kakek itu dengan pengerahan sin-kangnya yang membuat dia terkenal dengan julukan Sin-ciang, membarengi dengan pukulan dengan jari-jari terbuka ke arah pusar pemuda itu!

Jelas dari gerakan cepat ini betapa kakek itu hendak merobohkan lawan dalam gebrakan pertama. Dia memandang rendah kepada pemuda itu, akan tetapi sama sekali tidak bersikap sembrono karena begitu menyerang, dia telah melakukan serangan maut dan telah mengerahkan tenaganya. Raja Sabutai sendiri yang dapat melihat kehebatan dan bahayanya serangan ini, diam-diam merasa ngeri karena agaknya sukarlah bagi orang muda yang hanya memegang gagang tombak kayu pendek itu untuk menghindarkan diri dari cengerakam maut itu. Juga In Hong memandang dengan jantung berdebar dan diam-diam dia merasa menyesal akan keangkuhan Bun Houw yang memaksa diri menghadapi lawan tangguh tanpa senjata yang baik itu.

Akan tetapi tidak seorangpun di antara mereka itu yang pernah menduga bahwa lawan semacam Hok Hosiang itu sesungguhnya hanyalah merupakan seorang lawan yang lunak dan tidak ada artinya bagi pemuda itu! Cia Bun Houw adalah murid terkasih dari Kok Beng Lama, yang telah mewarisi sebagian besar ilmu-ilmu pendeta Lama yang berkepandaian luar biasa itu, juga dia adalah putera ketua Cin-ling-pai yang telah digembleng pula oleh ayah bundanya yang sakti. Maka, jangankan memegang sebatang senjata kayu, andaikata dia tetap bertangan kosong sekalipun, tentu saja dia masih dapat mengatasi dan mempermainkan seorang lawan seperti orang ketiga dari Lima Bayangan Dewa itu!

Melihat gerakan lawan dalam penyerangan pertama itu, segera pemuda ini maklum bahwa dalam penyerangan pertama ini, yang berbahaya bukanlah tasbeh hijau, melainkan pukulan dengan tangan kiri itulah. Memang kelihatannya tasbeh hijau itu melakukan serangan dahsyat ke arah kepalanya, seolah-olah seekor harimau yang menubruk dengan ancaman maut menghancurkan kepalanya, akan tetapi serangan yang terlalu menyolok itu sebetulnya hanya merupakan pancingan belaka agar perhatian lawan tersedot semua ke situ dan yang sebenarnya mengancam nyawanya adalah pukulan diam-diam dengan tangan kiri itu karena dalam jari-jari yang terbuka itu mengandung getaran tenaga sin-kang sepenuhnya. Jari-jari tangan kakek gundul ini kalau mengenai batu karang akan remuklah batu itu!

“Wirrr... wuuuttt...!” Tasbeh hijau itu menyambar ganas, dan tangan kiri meluncur ke arah pusar Bun Houw tanpa suara. Pemuda ini tersenyum geli di dalam hatinya dan tiba-tiba timbul keinginan di dalam hati pemuda yang biasanya pendiam ini untuk mempermainkan lawan. Timbulnya keinginan ini mungkin karena kegembiraan hatinya dapat melihat Siang-bhok-kiam, mungkin juga karena dia memperoleh kesempatan membalas kematian para murid Cin-ling-pai kepada tiga orang musuh besarnya ini, atau mungkin juga karena kehadiran In Hong di situ. Dia teringat betapa dalam pandang mata In Hong, dia hanyalah seorang pengawal seorang pemilik rumah judi, yang tentu saja tidak berapa tinggi kepandaianannya. Teringat akan hal ini, Bun Houw juga tidak ingin memperkenalkan diri secara menyolok.

“Syetttt... cessas... aughhh...!” Kakek gundul itu memekik kesakitan dan meloncat ke belakang sambil menarik tangan kirinya yang tadi ditusuk oleh ujung kayu runcing itu! Pemuda itu tadi mengelak dari sambaran tasbeh hijau dan hati Hok Hosiang sudah menjadi girang karena tepat seperti yang dikehendakinya, pemuda itu agaknya mencurahkan seluruh perhatian kepada serangan tasbeh sehingga kelihatan sibuk menghindarkan diri dari tasbeh sambil mengelak, maka dengan girang tangan kirinya terus melakukan tusukan ke arah pusar. Sudah terbayang olehnya betapa tangan itu akan “memasuki” pusar dan pemuda itu akan roboh dan tewas dalam segebrakan saja! Akan tetapi tiba-tiba dia menjerit dan menarik tangannya terus meloncat mundur karena ternyata punggung tangannya “digigit” oleh ujung kayu runcing itu. Ketika dia melihatnya, ternyata punggung tangan kirinya itu berdarah. Bukan main marahnya. Saking marahnya dia sampai lupa bahwa kalau pemuda itu dengan kayunya dapat melukai punggung tangannya yang penuh terisi sin-kang tadi, berarti bahwa pemuda itu lihai sekali. Dia lupa akan hal ini dan saking marahnya kakek ini sudah mengeluarkan suara menggereng seperti seekor singa kelaparan, menyerang dengan tubrukan maut, tasbehnya diputar dan dalam sekali terjang saja tasbehnya telah melakukan serangan bertubi-tubi ke tujuh bagian tubuh yang lemah dari lawannya.

In Hong menonton dengan jantung berdebar tegang. Dia melihat bahwa dibandingkan dengan dua orang terakhir dari Lima Bayangan Dewa yang telah tewas, kepandaian hwesio ini lebih tinggi sedikit, akan tetapi biarpun gerakan tasbeh itu hanya kelihatannya saja hebat, namun sambaran tangan kiri hwesio itu benar-benar amat berbahaya dan melihat gerakan Bun Houw yang seenaknya dan tidak teratur itu, diam-diam In Hong merasa cemas juga. Terdengar suara keras berkali-kali dan semua serangan tasbeh dapat dihalau oleh tangkisan pedang-pedangan kayu! Semua orang terkejut dan merasa heran, akan tetapi In Hong merasa makin khawatir karena dia melihat bahwa gerakan Bun Houw makin kacau-balau dan agaknya semua tangkisannya yang berhasil menyelamatkan dirinya itu hanya soal kebetulan saja.

“Sri baginda, pemuda itu lihai bukan main...” terdengar oleh Raja Sabutai bisikan gurunya dan dia terkejut. Menurut penglihatannya sendiri, pemuda itu terdesak hebat dan hanya dengan susah payah saja dapat menyelamatkan dirinya, akan tetapi ketika dia menoleh, ternyata gurunya itu memandang dengan mata terbelalak penuh kagum! Bagaimana gurunya dapat memuji permainan silat kacau-balau yang lebih mirip dengan orang ketakutan dan repot sekali itu. Akan tetapi dia tahu bahwa di dunia ini jarang ada ahli silat yang dipuji oleh Hek-hiat Mo-li atau Pek-hiat Mo-ko dan kini mereka berdua memuji.

“In, Hong, kau telah dipermainkah oleh kekasihmu itu! Hi-hik, jangan kau khawatir, muridku. Dia jauh lebih lihai daripada lawannya.” Yo Bi Kiok juga berbisik kepada muridnya.

Akan tetapi In Hong tetap merasa tegang. Memang, biarpun gadis ini juga memiliki tingkat kepandaian yang sudah tinggi, tidak banyak selisihnya dengan gurunya, namun dia belum memiliki kewaspadaan pandangan seperti gurunya yang sudah mempunyai banyak pengalaman dalam ilmu silat. Dia melihat betapa pemuda itu terus diserang dan didesak dan kini tubuh kedua orang itu lenyap terbungkus gulungan sinar tasbeh yang hijau dan agaknya robohnya Bun Houw tinggal menanti saatnya saja! Pemuda itu kelihatannya terus-menerus menangkis, bahkan semua jalan keluar sudah tertutup oleh sinar tasbeh yang mengelilinginya.

“Cruuusss... auuuuuttthhh...!” Tiba-tiba kakek gundul itu mencelat ke belakang dan tangan kirinya meraba hidungnya. Darah! Daun hidungnya terobek dan darah bercucuran. Makin teganglah para penonton setelah mulai melihat darah. Mereka tidak tahu bagaimana hidung kakek yang terus-menerus mendesak itu tahu-tahu bisa robek dan berdarah seperti itu! Bahkan Hok Hosiang sendiripun tidak mengerti. Pemuda itu terus didesaknya dan pedang-pedangan kayu itu terus-menerus bergerak menangkis dan melindungi tubuh pemuda itu dari kurungan sinar tasbeh, bagaimana tahu-tahu dapat “menyelonong” dan merobek hidungnya?

“Hati-hati, Hok Hosiang, kau main-main dengan tasbeh sampai melukai hidung sendiri!”

Ucapan pemuda ini mendatangkan suara tertawa dari para penonton karena sesungguhnya para penonton percaya bahwa hwesio itu saking semangatnya menyerang dan mendesak telah berlaku kurang hati-hati dan melukai hidungnya sendiri dengan tasbehhya! Tidak ada orang yang tahu bahwa hidung itu dirobek ujung pedang-pedangan kayu yang runcing, kecuali tentu saja orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi seperti dua orang suheng hwesio itu, Raja Sabutai dan guru-gurunya, beberapa orang perwira pengawal, In Hong dan Yo Bi Kiok. Akan tetapi In Hong masih saja belum merasa puas karena cara Bun Houw melukai hidung lawan bukan dilakukan dengan gerakan silat yang indah lihai, lebih mirip gerakan kebetulan saja yang hanya dapat berhasil karena ketidak hati-hatian lawan.

Keparat busuk... kuhancurkan kepalamu, kulumatkan tubuhmu!” Hok Hosiang membentak.

“Omitohud... betapa besar dosamu, Hok Hosiang!” Bun Houw menjawab sehingga kembali terdengar suara orang tertawa karena sungguh menyolok sekali sikap dan kata-kata kedua orang itu, si hwesio penuh kemarahan, sedagkan pemuda itu mengambil sikap seorang alim!

Hok Hosiang kini menyerang dengan penuh kemarahan, tasbeh hijaunya lenyap bentuknya, berubah menjadi sinar hijau bergulung-gulung. Akan tetapi anehnya, tidak pernah serangannya dapat mengenai sasaran, kalau tidak dielakkan oleh pemuda itu, tentu terbendung oleh pedang-pedangan kayu sederhana itu dan setiap kali tasbehnya terbentur oleh kayu itu, Hok Hosiang merasa betapa seluruh lengan kanannya tergetar hebat dan kesemutan! Mulailah dia mengerti bahwa lawannya yang muda ini ternyata memang lihai dan memiliki tenaga yang amat kuat, sungguhpun hal itu tidak diperlihatkannya.

Ketika Bun Houw merasa sudah cukup mempermainkan lawannya, pada saat untuk ke sekian kalinya sinar hijau menyambar ke arah kepalanya, pemuda ini memekik keras, kayu di tangannya menyambut lalu membuat gerakan memutar dan tasbeh itu tak dapat dipertahankan lagi membelit-belit ujung pedang-pedangan kayu dan tidak dapat ditarik kembali oleh Hok Hosiang! Beberapa kali pendeta gendut ini mengerahkan tenaganya menarik, namun hasilnya sia-sia belaka, tasbehnya telah membelit kuat pada kayu itu dan tidak bisa terlepas kembali.

“Mampus kau...!” bentaknya dan tiba-tiba tangan kirinya yang mengandung tenaga sin-kang sekuatnya itu menghantam ke arah dada Bun Houw. Pemuda ini mengibaskan tangan kirinya, sekaligus dia “mengisi” tangan kirinya dengan tenaga dari ilmu mujijat Thian-te Sin-ciang.

“Plakkkk! Krekkkk... pyuuurrr...!” Dua tangan bertemu hebat, tubuh hwesio tergetar, tasbeh itu putus untaiannya dan berjatuhan ke atas tanah, kemudian tubuh hwesio itu terhuyung ke belakang dan biarpun dia mempertahankannya, tetap saja dia roboh terguling saking hebatnya tenaga tangkisan tangan kiri pemuda itu tadi.

“Eihhh...?” In Hong berseru aneh karena dia seperti mengenal tangkisan yang dilakukan oleh Bun Houw itu. Bukankah itu Thian-te Sin-ciang?

Sementara itu, dengan muka pucat dan mata mendelik saking marahnya, Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Hosiang sudah bangkit kembali, kini tubuhnya merendah seperti seekor harimau hendak menubruk, kepalanya yang gundul di depan dan hiasan kepala yang memakai alat runcing itu menuding ke arah lawan, matanya melirik seperti mata seekor kerbau marah, kemudian dari mulutnya keluar suara perut yang dalam, seperti kerbau menguak dan kepala yang gundul itu mengepulkan uap putih.

“Sute, jangan...!” Pat-pi Lo-sian berseru namun terlambat sudah, karena Hok Hosiang sudah lari ke depan dengan kepala menyeruduk ke arah perut Bun Houw!

“Bun-ko, awas...!” In Hong menjerit karena dia maklum kini mengapa hiasan kepala itu mengandung baja runcing. Kiranya hwesio ini memiliki ilmu aneh yang jarang digunakan orang, yaitu serangan dengan serudukan kepala! Dan dia mendengar dari subonya bahwa siapa yang melakukan serangan dengan kepala, berarti dia telah melatih kepalanya menjadi senjata yang amat berbahaya dan bahwa serangan kepala merupakan serangan untuk mengadu nyawa dengan lawan.

Bun Houw juga terkejut. Mendengar seruan Pat-pi Lo-sian tadi, diapun maklum bahwa kalau sang suheng itu mencegah, berarti bahwa serangan ini merupakan serangan adu nyawa yang amat berbahaya. Kalau dia mengelak lalu menggunakan kayu di tangannya membunuh lawan, tentu saja amat mudah hal itu dilakukannya. Akan tetapt dia harus memperlihatkan kepada lawan dan membuktikan kepada semua orang bahwa murid Cin-ling-pai bukanlah seorang penakut yang jerih menghadapi serangan seperti itu, maka dia lalu melempar pedang kayu ke atas lantai, kemudian dengan kaki terpentang lebar dia sengaja menerima serudukan kepala Hok Hosiang itu.

“Bun-ko...!” In Hong menjerit ngeri menyaksikan kenekatan pemuda itu dan semua orang memandang dengan hati tegang.

“Desss...!” Pertemuan antara kepala dan perut itu hebat bukan main. Seolah-olah terasa oleh semua yang hadir hebatnya pertemuan itu, yang seolah-olah menggetarkan ruangan itu dan semua mata terbelalak melihat betapa kepala yang dihias alat runcing itu seperti menancap ke dalam perut si pemuda yang masih berdiri tegak. Tubuh gendut hwesio itu seperti sebatang balok yang menancap, kakinya lurus ke belakang dan sama sekali tidak bergerak.

“Uhhh!” Bun Houw mengeluarkan suara, perutnya digerakkan dan tubuh hwesio itu tertolak ke belakang, lalu terbanting jatuh dan semua yang memandang merasa ngeri karena kepala itu sudah berlepotan darah, dan hiasan kepala baja runcing itu ternyata kini telah amblas menancap ke dalam kepala gundul itu! Ternyata bahwa ketika kepala itu bertemu dengan perut, Bun Houw mengerahkan sin-kang mengeraskan perutnya sehingga hiasan kepala itu membalik dan menancap ke dalam kepala pemiliknya sendiri, kemudian perut itu berobah lunak sehingga kepala hwesio itu amblas ke dalam rongga perutnya dan dihimpit sehingga remuk di sebelah dalam dan hwesio itu tewas pada saat itu juga!

Sorak-sorai menyambut kemenangan yang luar biasa ini dan Raja Sabutai sendiri sampai bertepuk tangan memuji. Dia melirik ke arah dua orang gurunya dan melihat kakek dan nenek itu saling pandang dan jelas nampak bahwa keduanya juga kagum bukan main. In Hong duduk dengan kedua kaki lemas. Mukanya agak pucat dan dia sendiri merasa heran mengapa dia menjadi begini penakut. Belum pernah selama hidupnya dia mengalami ketegangan sehebat ini yang membuat kedua kakinya lemas. Akan tetapi kini diapun memandang ke arah Bun Houw dengan sinar mata penuh selidik dan keraguan. Benarkah dia itu Bun Houw pengawal pemilik rumah judi itu? Melihat permainan silatnya tadi memang tidak berapa hebat, akan tetapi dia bergidik ngeri membayangkan cara pemuda itu menerima serangan kepala tadi. Dia sendiri tidak akan berani memasuki bahaya seperti itu! Dan peristiwa tadi saja jelas membuktikan bahwa Bun Houw memiliki lwee-kang yang amat kuat, bahkan agaknya tidak kalah kuatnya kalau dibandingkan dengan tenaga dalam dari dia sendiri! Diam-diam dia merasa kagum, juga bangga, juga... penasaran!

Atas isyarat Raja Sabutai, jenazah Hok Hosiang disingkirkan dari tempat itu setelah Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok memeriksa keadaan sutenya itu, kemudian Phang Tui Lok bersama Liok-te Sin-mo Gu Lo It melangkah ke tengah ruangan menghadapi Bun Houw yang sudah mengambil pedang-pedangan kayunya kembali dan berdiri dengan sikap tenang.

“Orang she Bun, di antara Lima Bayangan Dewa, kini tinggal kami berdua dan kami akan mempertahankan pedang Siang-bhok-kiam dan nama kami sebagai Bayangan Dewa. Majulah dan kalau kau takut mewakili Cin-ling-pai sendirian dan ingin dibantu oleh nona Hong, boleh juga dia maju membantumu.” Phang Tui Lok adalah orang yang cerdik. Di dalam pertandingan antara Hok Hosiang dan pemuda tadi, dia sudah mengerti bahwa pemuda yang kelihatan tidak berapa hebat ini ternyata lihai juga, dan kalau dia membiarkan Liok-te Sin-mo Gu Lo It yang tingkat kepandaiannya tidak banyak selisihnya dengan Hok Hosiang, agaknya sutenya inipun akan kalah. Oleh karena itu, dia sengaja maju bersama agar dapat membantu sutenya, dan andaikata pemuda itu dibantu oleh In Hong sekalipun, dia tidak takut karena dia dan sutenya lebih dapat bekerja sama daripada pemuda itu dan In Hong yang tidak mempunyai hubungan apa-apa. Dengan bekerja sama, dia dan sutenya pasti akan mampu mengalahkan Bun Houw dan In Hong karena dia dan sutenya akan dapat memaksa mereka berdua untuk bertanding secara campuran, bukan satu lawan satu. Dan dalam hal pertandingan pasangan, dia dan sutenya sudah terlatih.

Tanpa mengeluarkan kata-kata lagi, tubuh In Hong sudah mencelat ke tengah ruangan dan dengan wajah dingin dia sudah menghadapi Phang Tui Lok, mulutnya yang manis tersenyum mengejek. “Agaknya kau ingin sekali mati di tanganku, kakek sombong. Majulah!” dia menantang.

Akan tetapi Bun Houw sudah menghadapi In Hong. “Hong-moi, harap kau suka mundur. Aku akan menghadapi mereka berdua seorang diri.”

“Bun-ko!” In Hong membantah.

“Aku tidak takut, Hong-moi!”

“Akan tetapi, engkau akan dikeroyok dan mereka ini lihai...”

“Ha-ha-ha, orang she Bun, mengapa pakai sungkan-sungkan segala? Nona ini ingin menemanimu mampus, mengapa engkau menolaknya?” Gu Lo It berkata dengan suaranya yang parau dan sikapnya yang kasar.

lanjut ke Jilid 32-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar