Jumat, 21 Februari 2014

Dewi Maut Jilid 43

Dewi Maut Jilid 43

<--kembali

Tio Sun mengerutkan alisnya. Terbayanglah dia akan semua peristiwa yang dialaminya bersama pendekar muda Cia Bun Houw dan makin menebal dugaannya bahwa besar sekali kemungkinannya bahwa In Hong mencinta Bun Houw! Seperti juga Kwi Eng mencinta Bun Houw! Diam-diam dia mengeluh di dalam hati melihat persamaan nasib antara dia dan Kwi Beng.

“Mudah-mudahan dia membalas cintamu, adikku. Mudah-mudahan kau tidak bernasib seperti aku...”

“Eh? Kau, twako? Kau juga mencinta seorang gadis yang tidak dapat membalas cintamu, benarkah?”

Tio Sun mengangguk. Kwi Beng mengingat-ingat, menatap wajah yang kini kembali telah memejamkan matanya dan tiba-tiba pemuda ini teringat. Sikap Tio Sun terhadap saudara kembarnya! Pandang mata pemuda ini kepada Kwi Eng, caranya bicara, dan dia melihat betapa Tio Sun seperti orang disambar petir dan seperti orang sakit ketika mendengar Kwi Eng telah bertunangan dengan Cia Bun Houw! Ah, mengapa dia begitu bodoh dan tidak melihat kenyataan itu?

“Twako... maafkan aku, apakah... dia... Kwi Eng?”

Tio Sun merapatkan bibirnya, membuka mata dan mengangguk.

“Ah, maaf, twako... sungguh kasihan kau...” Kwi Beng berkata dengan hati terharu.

Akan tetapi Tio Sun telah dapat menguasai keadaan batinnya kembali. Dia menoleh, memandang kepada Kwi Beng dan tersenyum. “Kuharapkan engkau tidak akan mengalami seperti aku, Beng-te. Akan tetapi andaikata begitu, andaikata nona Yap telah mencinta orang lain dan terpaksa tidak dapat membalas perasaan hatimu, engkau harus dapat melihat kenyataan, seperti aku. Cinta bukanlah berarti kesenangan bagi diri sendiri belaka! Cinta sejati menimbulkan perasaan ingin melihat orang yang dicinta itu bahagia, dan kalau kebahagiaan orang yang kita cinta itu terletak di dalam diri orang lain, bukan dalam diri kita, kalau orang yang kita cinta itu merasa bahagia kalau berada bersama orang lain, kita harus dapat melihat kenyataan ini. Cintakah itu kalau kita memaksa orang yang kita cinta itu hidup sengsara di samping kita, hanya karena kita ingin memperoleh kesenangan darinya? Tidak, Beng-te, cinta yang hanya mementingkan diri sendiri adalah picik dan curang, karena itu aku rela melihat dia memilih orang lain, demi kebahagiannya.”

Kwi Beng memandang dengan mata terbelalak, kadang-kadang dikejapkan untuk mengusir air di dalam matanya, kini bukan hanya air karena keringat memasuki mata, melainkan bercampur pula dengan air mata keharuan.

“Twako... kau sungguh seorang laki-laki yang jantan dan bijaksana. Kalau saja... Kwi Eng belum bertunangan dengan Cia-taihiap, aku akan merasa bangga sekali mempunyai seorang ipar seperti engkau, Tio-twako.”

“Terima kasih, Beng-te.”

Mereka tidak bercakap-cakap lagi sekarang. Matahari makin panas karena makin mendekati kepala mereka. Burung-burung pemakan bangkai itu kadang-kadang terbang mengelilingi udara di atas kepala mereka, seolah-olah mereka itu hendak memeriksa apakah belum tiba saatnya bagi mereka untuk menikmati hidangan daging-daging segar itu! Kemudian mereka terbang kembali ke atas pohon, hinggap di atas cabang dan ranting pohon sampai mentul-mentul menahan berat tubuh mereka dan burung-burung yang baru saja melakukan pengintaian ini mengeluarkan suara seolah-olah memberi tahu kepada kawan-kawannya bahwa saatnya belum tiba! Kwi Beng bergidik menyaksikan semua ini, yang diikuti oleh pandang matanya dan seolah-olah dia dapat mengerti maksud burung-burung itu. Tiba-tiba, pandang mata Kwi Beng tertuju ke depan.

“Twako... lihat...” Dia berbisik.

“Sstttt...!” Bisik Tio Sun kembali dan ternyata pendekar inipun sudah membuka matanya yang sipit, memandang ke arah dua bayangan yang bergerak cepat datang ke arah mereka, lalu bayangan itu memasuki lapangan dan lari menghampiri mereka. Kiranya mereka itu adalah dua orang anak-anak yang seorang perempuan, yang seorang lagi laki-laki. Yang perempuan sudah remaja, berusia lima belas tahun dan yang laki-laki lebih kecil, berusia tiga belas tahun. Mereka ini bukan lain adalah Mei Lan dan Lie Seng!

Seperti kita ketahui, dua orang anak remaja ini diam-diam membayangi Tio Sun dan Kwi Beng dari jauh dan mereka terkejut sekali ketika melihat Tio Sun dan Kwi Beng dikepung lalu ditangkap. Mereka tidak berani memperlihatkan diri dan bersembunyi di dalam rumpun ilalang. Akhirnya mereka melihat Tio Sun dan Kwi Beng diikat di tonggak salib itu dan karena tidak tega menyaksikan mereka, akhirnya Mei Lan dan Lie Seng memberanikan hati datang dengan niat menolong mereka.

Ketika mengenal dua orang bocah yang pernah mereka jumpai, bocah-bocah yang berada bersama dua orang kakek yang memiliki kesaktian hebat, timbul harapan di hati Tio Sun. Kiranya dua orang anak ini bukanlah anak Lembah Naga, dengan demikian berarti dua orang kakek itupun bukan orang Lembah Naga! Betapabun juga, yang datang hanya dua orang bocah yang tidak mungkin akan dapat melawan orang-orang Lembah Naga. Bocah-bocah ini memang lihai, akan tetapi dia sendiri sudah melihat tingkat mereka yang masih mentah.

Karena itu, Tio Sun cepat berbisik kepada Mei Lan. “Nona, kau lekas tinggalkan kami... harap kaubantu kami menyelundup ke dalam...dan kaucari nona Yap In Hong dan Cia Bun Houw taihiap yang tertawan di dalam...katakan...bahwa kelemahan Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li berada di bagian lutut ke bawah. Cepat...!”

Mei Lan adalah seorang anak yang cerdas sekali. Melihat sikap sungguh-sungguh dari Tio Sun, dia dapat menduga bahwa tentu pesan itu amat penting. Apalagi dia mendengar nama Yap In Hong. Itulah nama bibinya, adik dari ayahnya! Bibinya itu tertawan di sini? Dia mengangguk dan cepat pergi dari situ, lari dengan cepat sekali ke arah yang diisyaratkan oleh kepala dan pandang mata Tio Sun, yaitu ke arah perkampungan Lembah Naga. Sedangkan Lie Seng melanjutkan usahanya untuk melepaskan belenggu dari kedua lengan Kwi Beng. Namun, tidak mudah bagi pemuda cilik ini untuk melepaskan belenggu yang demikian kokoh kuatnya. Dan pada saat itu terdengar suara bentakan-bentakan dan muncullah belasan orang anak buah Lembah Naga Yang memang bertugas menjaga “umpan” itu agar jangan lolos dan juga agar kalau ada orang luar datang mereka dapat cepat melapor.

“Tangkap bocah itu!”

“Kejar yang perempuan! Dia lari ke dalam...!”

Lie Seng yang diserbu oleh dua orang itu cepat meloncat dan menerjang mereka dengan keberanian yang mengagumkan. Seorang anak buah Lembah Naga kena dihantam mukanya dan ditendang pusarnya sehingga orang itu terjengkang dan mengaduh-aduh, akan tetapi empat orang kini sudah datang menubruk dan meringkusnya!

Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li marah mendengar bahwa yang berhasil “dipancing” hanya dua orang bocah-bocah bahkan yang perempuan dapat melenyapkan diri dan belum tertangkap. Mereka mengharapkan mendapat kakap dengan umpan pancing itu, kiranya yang mereka tangkap hanya teri! “Iika bocah itu bersama mereka di lapangan, biar dimakan burung nazar!” bentak Pek-hiat Mo-ko sebal. Karena memandang rendah kepada anak-anak, dia sampai tidak memeriksa labih jauh dan tidak tahu bahwa anak laki-laki yang kelihatan sama sekali tidak takut itu adalah cucu ketua Cin-ling-pai!

Tio Sun dan Kwi Beng memandang kagum ketika melihat betapa anak laki-laki berusia tiga belas tahun itu sama sekali tidak mengeluh, sama sekali tidak kelihatan takut, ketika dengan kasarnya anak buah Lembah Naga mengikat dia pada tonggak kayu ketiga di dekat mereka. Sinar mata anak laki-laki itu penuh dengan keberanian!

Setelah para anak buah Lembah Naga pergi meninggalkan lapangan terbuka yang panas itu, burung-burung nazar kembali beterbangan mengelilingi mereka sambil mengeluarkan bunyi, seolah-olah bergembira melihat jatah makanan mereka bertambah dengan seorang anak yang tentu dagingnya lebih lunak lagi! Ketika ada seekor burung nazar mendekati kepala Lie Seng, anak itu membentak dan meludah.

“Phuhhh! Burung keparat, kupatahkan batang lehermu nanti!” Burung itu terkejut dan Kwi Beng tersenyum. Burung itu buruk sekali, kepalanya botak, juga leher yang panjang itu sudah mulai rontok bulunya maka tentu mudah dan enak untuk memutar dan mematahkan batang leher itu.

“Eh, adik kecil. Kau tidak takut?”

Lie Seng menoleh ke arah Kwi Beng, mulutnya membayangkan kekerasan dan keberanian yang wajar. “Takut? Takut apa?”

“Takut kepada burung-burung itu, takut kepada kematian.”

“Huh, siapa takut burung-burung setan seperti itu? Dan kematian? Apakah itu maka perlu ditakuti?” Lie Seng mengeluarkan ucapan yang sering dia dengar keluar dari mulut Kok Beng Lama, maka mendengar ini, bukan hanya Kwi Beng yang terkejut, akan tetapi juga Tio Sun memandang dengan sinar mata keheranan.

“Adik kecil, siapakah namamu dan mengapa engkau dan adik perempuan tadi menolong kami?”

“Aku she Lie, bernama Seng. Aku tidak sengaja menolong kalian, hanya tadi aku dan Mei Lan cici sengaja membayangi kalian karena curiga melihat sikap kalian. Melihat kalian ditangkap dan diikat di sini, kami berdua lalu berusaha membebaskan, akan tetapi sial, aku tertangkap pula.”

Bocah ini memiliki watak yang berani dan keras, pikir Tio Sun. Bicaranya singkat dan padat.

“Apakah anak perempuan tadi kakakmu? Ataukah kakak seperguruanmu?” tanyanya.

“Bukan. Akupun baru saja kenal dengan enci Mei Lan. Guru-guru kami sedang saling bertanding catur, maka kami berdua keisengan dan membayangi kalian.”

“Adik Lie Seng, kami berterima kasih sekali atas usaha kalian menolong kami. Akan tetapi, ternyata engkau tertawan pula. Sungguh kami menyesal...”

“Bukan salah kalian. Tak perlu disesalkan.”

Tio Sun kembali tertegun. “Kau tidak menyesal? Tidak khawatir? Apakah engkau mengandalkan gurumu yang sakti untuk menyelamatkanmu?”

Lie Seng menjawab singkat, “Kalau suhu tahu, tentu aku diselamatkan. Andaikata tidak tahu dan aku akan mati, apa bedanya?”

Tentu saja Tio Sun dan Kwi Beng terbelalak mendengar ucapan dan melihat sikap bocah itu.

“Adik kecil, engkau luar biasa! Maukah engkau menceritakan, siapa orang tuamu dan engkau datang dari kcluarga mana?” Tio Sun mendesak karena dia sudah merasa amat tertarik.

Lie Seng memandang kepada mereka berdua bergantian. Bukan wataknya untuk menceritakan keadaan keluarga, apalagi menyombongkan nama keluarganya. Akan tetapi dia melihat bahwa dua orang yang terikat seperti dia itu bersikap gagah, maka dia menjawab singkat. “Yang kalian sebut Cia Bun Houw taihiap tadi adalah pamanku, dialah adik ibuku.”

“Ohhh...!” Seruan ini keluar dari mulut Tio Sun dan Kwi Beng hampir berbareng karena mereka sungguh tidak pernah menduga bahwa anak ini adalah keponakan dari Bun Houw atau cucu dari ketua Cin-ling-pai!

***

Berbeda dengan Tio Sun dan Kwi Beng yang kebetulan bertemu dengan Si Kwi sehingga mereka berdua memperoleh petunjuk dari Si Kwi tentang jalan memasuki Lembah Naga yang amat berbahaya itu, Kun Liong dan Giok Keng tidak mengenal jalan. Oleh karena itu, tanpa mereka sadari, mereka memasuki Padang Bangkai melalui jalan liar yang amat berbahaya, penuh dengan jebakan-jebakan alam yang mengerikan!

Kedua orang ini, terutama sekali Yap Kun Liong, adalah pendekar-pendekar yang berkepandaian tinggi dan telah seringkali dalam kehidupan mereka, keduanya berhasil menanggulangi berbagai macam bahaya yang menghadang di jalan kehidupan mereka. Akan tetapi, begitu mereka memasuki daerah Padang Bangkai, mereka menjadi bingung juga. Beberapa kali mereka tersesat dan tak tahu jalan sama sekali ketika mereka memasuki daerah rumpun ilalang yang merupakan padang ilalang yang seperti lautan, yang seolah-olah tidak ada batasnya dan lorong yang kecil dan merupakan jalan setapak itu membawa mereka tersesat dan berkali-kali kembali ke lorong yang sama!

“Ini tentu merupakan jalan rahasia yang menyesatkan,” akhirnya Giok Keng berkata karena sudah kehabisan kesabaran. “Suheng, lebih baik kita memotong jalan, menerobos ilalang saja!”

Sambil berkata demikian, pendekar wanita itu mulai memasuki rumpun ilalang yang tingginya hampir sama dengan tubuhnya.

“Ihhhh...!” Tiba-tiba dia menjerit ketika melihat seekor ular menyambarnya dari kanan. Cepat dia menggerakkan kaki dan menginjak kepala ular itu. Tubuh ular membelit-belit kaki pendekar wanita itu, akan tetapi kepalanya remuk dan belitannyapun mengendur. Kemudian terdengar suara berkeresakan gaduh dan banyak sekali ular-ular berbisa datang menyerang mereka dari empat jurusan! Giok Keng menjadi marah, pedangnya berkelebatan dan banyak ular-ular yang putus menjadi beberapa potong disambar sinar pedangnya.

“Sumoi, kita pergi menjauhi tempat ini!” kata Kun Liong. Biarpun mereka tidak usah takut akan serangan ular-ular itu, namun hawa yang beracun di sekitar tempat itu dapat membahayakan juga.

Akhirnya mereka dapat juga keluar dari padang ilalang dan legalah hati mereka melihat padang rumput kehijauan yang luas membentang di depan mereka. Menyenangkan sekali melihat padang rumput yang terbuka ini setelah tadi tersesat dan berkeliaran sampai lama di antara ilalang yang tinggi sehingga pandang mata mereka terhalang.

“Aihhh... indah sekali!” Giok Keng menarik napas panjang dan menyimpan pedangnya karena di tempat terbuka seperti itu tidak perlu lagi mempersiapkan pedang di tangan. “Kita dapat melakukan perjalanan cepat kalau begini,” katanya sambil melompat ke depan, ke atas tanah yang tertutup rumput hijau segar.

“Clupp... aihhh...! Suheng...!” Giok Keng menjerit karena dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika kedua kakinya yang meloncat tadi mendarat di tempat yang lunak dan sekaligus tubuhnya tenggelam ke dalam lumpur yang amat lunak dan lembek. Betapapun dia sudah mengerahkan gin-kangnya, namun tetap saja kedua kakinya sudah tersedot oleh lumpur itu sehingga tubuhnya tenggelam sampai ke pinggang!

“Tahan...! Jangan bergerak! Sumoi, perhatikan, jangan bergerak sedikitpun juga!” Kun Liong berteriak keras dengan wajah pucat. Dia maklum akan bahayanya tempat seperti ini dan dia tidak mau sembrono untuk meloncat mendekati wanita itu karena hal itu berarti dia akan terjeblos pula. “Pertahankan, jangan bergerak, sumoi, tunggu aku akan mengambil cabang yang panjang untuk menolongmu!”

Akan tetapi dia mendengar Giok Keng menjerit dengan suara tertahan, pendekar wanita itu menggigit bibir dan matanya terbelalak seperti menahan sakit, kemudian terdengar wanita itu berseru. “Tidak perlu, suheng... lekas tolong... kausambut ini...!” tangan Giok Keng sudah bergerak menanggalkan sabuknya yang berwarna merah muda, sabuk yang selalu dilibatkan di pinggang karena benda ini merupakan senjatanya yang ampuh. Begitu dia menggerakkan tangan, sabuk itu meluncur ke depan dan ujungnya ditangkap oleh Kun Liong.

“Pegang kuat-kuat, sumoi!” kata Kun Liong dan pendekar ini mulai mengerahkan tangannya untuk menarik Giok Keng keluar dari dalam lumpur maut itu.

Biarpun agak susah payah dan hati-hati sekali agar sabuk merah itu tidak putus, akhirnya Giok Keng dapat ditarik keluar dari dalam lumpur dan begitu tiba di atas tanah yang keras, Giok Keng mengeluh. “Aduhhh... suheng... ada binatang-binatang menggigiti aku...!” Dia cepat menyentuh kakinya dan ketika melihat seekor lintah menempel di betisnya, wanita itu menjerit saking jijiknya dan tanpa ingat apa-apa lagi, dibantu oleh Kun Liong, Giok Keng menanggalkan pakaiannya! Dan ternyata ada beberapa ekor lintah menempel di kulit tubuh yang putih mulus namun berlepotan lumpur itu!

Kun Liong membunuh lintah-lintah itu, kemudian memondong tubuh Giok Keng yang hampir pingsan saking ngeri dan jijiknya, membawanya ke saluran air yang mengalir di tepi lorong dan menurunkan tubuh itu sehingga terendam air.

“Ahhh, suheng...!” Giok Keng terisak, kedua lengannya masih merangkul leher Kun Liong.

Sejenak mereka berada dalam keadaan seperti itu, saling rangkul dan masih tegang oleh peristiwa yang amat mengerikan itu. Dalam keadaan seperti itu, dua hati yang memang sejak dahulu saling tertarik namun tidak memperoleh kesempatan untuk bersatu, merasakan getaran aneh. Kun Liong maklum akan hal ini, maklum pula bahwa keadaan mereka yang ditinggal mati oleh teman hidup masing-masing memperkuat dorongan itu.

“Sumoi...”

“Suheng, aku cinta padamu, suheng... ah, baru sekarang aku merasakan hal itu...”

“Sumoi, akupun cinta padamu. Akan tetapi, sumoi, kita tidak boleh... dan cinta bukan hanya hubungan antara jasmani belaka. Dapatkah kau merasakan itu, sumoi? Kita saling mencinta, dan justeru cinta kita yang menyadarkan kita bahwa hubungan jasmani antara kita akan merupakan perbuatan yang dikutuk oleh umum, yang melanggar kesusilaan, yang dianggap kotor dan rendah. Aku tidak ingin melihat engkau dianggap rendah, sumoi, dan engkaupun tentu begitu pula, kalau memang engkau cinta padaku...”

“Suheng, aku cinta padamu... bukan untuk itu saja... oohhh...” Tubuh itu menjadi lemas dan Giok Keng roboh pingsan.

Kun Liong terkejut sekali. Cepat dia mebersihkan semua lumpur yang menempel di tubuh Giok Keng, kemudian mengangkat tubuh itu keluar dari air, merebahkannya di atas alang-alang kering dan menyelimutinya dengan baju luarnya yang dia tanggalkan. Setelah memeriksa dengan cepat, dia memperoleh kenyataan bahwa Giok Keng keracunan, sungguhpun tidak berapa hebat racun itu, namun ditambah dengan kengerian hebat tadi, agaknya membuat wanita itu roboh pingan.

Kun Liong cepat meneuci pakaian Giok Keng yang berlumpur, memeras airnya dan beberapa kali dia menggerakkan pakaian itu dengan cepat sehingga pakaian itu berkibar dan sebentar saja mengering, kemudian dia mengenakan kembali pakaian itu ke tubuh Giok Keng yang masih pingsan.

Dibantu oleh hawa murni yang mengalir dari telapak tangan Kun Liong, sebentar saja hawa beracun dari gigitan lintah-lintah tadi telah lenyap dan Giok Keng mengeluh, lalu membuka matanya. Dia teringat dan cepat bangkit duduk. Ketika dia melihat bahwa tubuhnya telah memakai pakaiannya, dia menoleh kepada Kun Liong dan memandang dengan penuh rasa haru dan terima kasih.

Akan tetapi kedua pipinya berobah merah sekali ketika dia teringat akan keadaannya tadi.

“Syukur engkau tidak apa-apa, sumoi,” kata Kun Liong.

Giok Keng menarik napas panjang, “Sungguh berbahaya... terima kasih atas pertolonganmu dan atas... atas segala-galanya yang telah kaulakukan untukku, suheng.”

Kun Liong tersenyum, memegang tangan wanita itu dan menariknya berdiri sambil tersenyum dan berkata, “Masih perlukah lagi sikap sungkan-sungkan dan kata-kata tentang budi dan pertolongan di antara kita, sumoi?”

Dengan saling berpegangan tangan, mereka diam tak bergerak, saling pandang dan sadar, mata mereka seolah-olah menyorot sampai ke lubuk hati masing-masing, mendatangkan perasaan hangat dan bahagia.

“Mari kita lanjutkan perjalanan ini, sumoi.”

“Baik, suheng. Dan kita harus berhati-hati sekali. Tempat ini ternyata amat berbahaya.”

Keduanya lalu melanjutkan perjalanan sambil bergandengan. Mereka saling berpegang tangan bukan untuk menurutkan kemesraan hati, melainkan agar dapat saling menolong dengan secepat mungkin kalau ada bahaya menyerang mereka. Andaikata tadi mereka saling bergandengan ketika kaki Giok Keng terjeblos, tentu Kun Liong dapat seketika menolongnya.

Berkat ilmu mereka yang tinggi dan sikap mereka yang amat hati-hati, akhirnya kedua orang pendekar ini dapat melampaui Padang Bangkai, memasuki perkampungan, menyeberangi jembatan dan melanjutkan perjalanan mereka ke daerah Lembah Naga. Kedua orang itu kini merasakan sesuatu yang amat mendalam di antara mereka, perasaan kasih sayang yang jauh lebih tinggi dan lebih murni daripada perasaan cinta yang hanya menuntut pemuasan nafsu berahi semata. Lebih mirip cinta antara sahabat yang tanpa pamrih memuaskan hasrat nafsu pribadi, bersih daripada keinginan untuk disenangkan, bahkan ingin membuat orang yang dicinta itu selalu bahagia dan gembira, perasaan yang timbul dari belas kasihan dan penyesalan atas kesalahan diri sendiri.

Matahari telah condong ke barat ketika mereka tiba di daerah Lembah Naga. Tiba-tiba Giok Keng menahan seruannya dan menunjuk ke depan, ke arah titik-titik hitam yang bergerak dan beterbangan di atas sebatang pohon.

Kun Liong juga memandang dan berkata, “Agaknya itu adalah burung-burung rajawali...”

“Bukan, suheng. Burung rejawali lebih besar, seperti burung elang.”

Mereka mempercepat langkah mereka menuju ke lembah di depan dan kini mereka dapat melihat dengan lebih jelas.

“Ah, burung nazar, burung pemakan bangkai!” kata Kun Liong.

“Mari kita ke sana, suheng. Menurut cerita, burung seperti itu tidak akan beterbangan lagi kalau di sana terdapat bangkai. Mereka hanya beterbangan menanti kalau di bawah terdapat mahluk yang mereka harapkan akan mati tak lama lagi.”

“Mari, sumoi. Tempat ini memang menyeramkan dan segala hal bisa saja terjadi!”

Mereka kini menggunakan kepandaian untuk mendaki tempat itu, namun masih tetap waspada dan hati-hati sekali. Dari jauh mereka melihat tiga orang yang terikat di tonggak kayu di tengah lapangan terbuka itu.

“Ah, benar saja ada orang-orang disiksa di sana dan burung-burung itu menanti mereka mati,” kata Kun Liong.

Mereka cepat memasuki lapangan. Dari jauh terlihat oleh mereka dua orang laki-laki dewasa dan seorang anak laki-laki terikat di tonggak kayu salib masing-masing dalam keadaan lemah dan hampir pingsan dan sudah ada dua ekor burung nazar dengan berani hinggap di atas kayu salib di mana bocah itu terikat.

Tiba-tiba terdengar Giok Keng menjerit. Wanita ini menyambar dua buah batu kerikil dan sekali tangannya bergerak, dua ekor burung nazar yang hinggap di atas kayu salib itu memekik, bergerak terbang ke atas akan tetapi tak lama kemudian jatuh ke atas tanah, berkelojotan mandi darah karena mereka telah menjadi korban sambitan batu kerikil yang dilakukan oleh Giok Keng dengan penuh kemarahan itu.

“Seng-ji...!” teriak Giok Keng sambil berlari dan menahan isak tangisnya melihat bahwa anak itu bukan lain adalah puteranya!

“Ibu...!” Lie Seng juga berteriak girang.

“Sumoi, nanti dulu...!” Kun Liong berseru akan tetapi Giok Keng yang sudah tidak dapat menahan perasaannya melihat puteranya diikat di tonggak kayu salib itu sudah meloncat ke dalam lapangan dan lari menghampiri. Terpaksa Kun Liong juga melompat dengan cepat sekali untuk melindungi Giok Keng dan pada saat itu, dari empat penjuru menyambar anak panah yang banyak sekali ke arah tubuh Giok Keng!

Wanita itu tentu saja tahu akan datangnya bahaya, dan dia sudah cepat mencabuh Gin-hwa-kiam dan memutar pedang melindungi tubuhnya. Baiknya Kun Liong sudah tiba di sampingnya dan pendekar ini juga sudah meruntuhkan banyak anak panah dengan kebutan kedua tangannya. Bermunculan banyak sekali orang mengepung mereka sehingga Giok Keng tidak sempat lagi menolong puteranya karena antara dia dan tempat di mana Lie Seng terikat sudah dihadang oleh banyak orang,

Ketika Kun Liong memandang, dia melihat banyak orang banyak itu dipimpin oleh Bouw Thaisu, Hek I Siankouw, dan dua orang lain yang dikenalnya. Mereka itu adalah Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya, Coa-tok Sian-li. Anak buah Lembah Naga yang mengurung tempat itu tidak kurang dari lima puluh orang jumlahnya!

Giok Keng tidak mau membuang waktu lagi. Dia sudah menggerakkan pedang dan sabuk merahnya, menerjang mereka yang menghadangnya untuk membuka jalan darah agar dia dapat membebaskan puteranya, akan tetapi, Hek I Siankouw sudah menghadangnya dan nenek ini menyambut amukan puteri ketua Cin-ling-pai itu dengan pedang hitamnya. Kun Liong juga menerjang maju untuk melindungi Giok Keng, akan tetapi diapun disambut oleh Bouw Thaisu yang sudah menyerangnya dengan kedua ujung lengan bajunya. Karena pendekar ini maklum bahwa mereka memang telah dinanti-nanti oleh fihak musuh dan bahwa fihak musuh amat banyak dan lihai, maka begitu bergerak dia sudah menggunakan gerakan-gerakan dari ilmu mujijat yang didapatnya dari kitab Keng-lun Tai-pun sehingga dalam beberapa gebrakan saja, Bouw Thaisu yang amat tinggi kepandaiannya itu terpaksa banyak meloncat mundur dan mengeluarkan seruan kaget sekali. Kun Liong tidak perduli dan terus mendesak, kini dia menampar dengan tenaga Pek-in-ciang (Tangan Awan Putih) yang mujijat.

“Plak-plak-plak!” Tiga kali mereka bertemu tangan dan Bouw Thaisu terhuyung ke belakang.

“Ahhh...!” Kakek itu berseru dengan muka pucat. Jantungnya tergetar hebat ketika tangannya beradu dengan tangan pendekar itu. Akan tetapi diapun merasa penasaran sekali dan tiba-tiba dia menubruk ke depan, kedua tangannya menyerang ke arah ulu hati dan pelipis, serangan yang amat hebat dan mematikan.

“Plakk!” Kun Liong mengelak ke kanan sambil menggerakkan tangan menangkis dari samping dan berbareng dia mengerahkan Ilmu Thi-khi-i-beng.

“Aughhhh... lepaskan...!” Bouw Thaisu berseru keras ketika merasa betapa tenaga sin-kang dari tubuhnya membanjir keluar, tersedot melalui tangannya yang menempel pada lengan lawan. Betapapun dia berusaha menarik tangannya, tetap saja tangannya itu menempel pada lengan lawan dan tenaga murni terus membanjir keluar.

“Wuuttt... pyarrr...!” Terpaksa Kun Liong melepaskan Bouw Thaisu guci arak di tangan Ang-bin Ciu-kwi mengancam kepalanya dan dari mulut guci itu menyembur keluar arak merah yang mengancam kedua matanya. Bouw Thaisu terhuyung dan mukanva agak pucat. Dengan marah kakek itu menyerang dengan ujung lengan bajunya, membantu Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li yang sudah menyerang Kun Liong, karena dia maklum bahwa pendekar ini lihai bukan main.

Sementara itu, Giok Keng yang dilawan oleh Hek I Siankouw yang dibantu oleh banyak anak buah Lembah Naga, juga terdesak hebat. Namun, mengingat bahwa puteranya diikat di kayu salib dan terancam kematian yang mengerikan, pendekar wanita ini menjadi marah dan gerakannya menjadi berbahaya sekali, seperti seekor harimau betina diganggu anaknya. Juga Kun Liong, biarpun dikeroyok banyak sekali orang, karena mengkhawatirkan keselamatan Giok Keng, Lie Seng, Tio Sun dan Kwi Beng yang sudah dikenalnya, mengerahkan seluruh kepandaiannya sehingga dia mengamuk seperti seekor naga sakti.

“Ayah...!” tiba-tiba sesosok bayangan yang gerakannya gesit sekali berkelebat memasuki medan pertempuran dan kepalan tangannya yang kecil merobohkan seorang anak buah Lembah Naga ketika dia meloncat ke dekat Kun Liong.

“Mei Lan...!” Tentu saja Kun Liong terkejut bukan main dan juga girang bercampur khawatir melihat anaknya yang sudah lama dicari-carinya itu. Terkejut karena tidak menyangka akan bertemu dengan puterinya di tempat itu, girang mendapat kenyataan bahwa puterinya masih hidup dalam keadaan sehat dan khawatir karena dia tahu betapa bahayanya tempat itu.

Mei Lan ikut mengamuk membantu ayahnya dan anak yang cerdik ini tentu saja hanya menyerang anak buah Lembah Naga, tidak berani mendekati Bouw Thaisu, Ang-bin Ciu-kwi, atau Coa-tok Sian-li. Tentu saja di dalam hatinya, Kun Liong ingin sekali membawa puterinya ke tempat sunyi untuk diajak bicara untuk melepaskan rindunya, untuk bertanya ke mana saja perginya anak itu dan apa saja yang dialaminya. Akan tetapi jangankan untuk bercakap-cakap, untuk melirik saja ke arah puterinya itu dia kekurangan waktu!

Sementara itu, Giok Keng yang mendengar suara Kun Liong menyebut nama “Mei Lan”, cepat menengok dan diapun girang bukan main melihat bahwa benar-benar Mei Lan yang dicari-cari itu berada di situ.

“Plakkk!” Giok Keng terhuyung dan hampir roboh kalau saja dia tidak cepat berjungkir balik dan pedangnya menyambar merobohkan anak buah Lembah Naga yang tadi menghantam punggungnya dengan ruyung itu. Wanita ini merasa punggungnya agak sakit, akan tetapi dia tidak merasakannya karena semangatnya bertambah ketika dia melihat Mei Lan! Dia harus menyelamatkan Mei Lan di samping Lie Seng pula!

Kun Liong maklum bahwa kalau saja Tio Sun dan Kwi Beng dapat terbebas dari belenggu mereka, dua orang pemuda itu tentu akan dapat membantu dia dan Giok Keng menghadapi lawan yang begitu banyak. Bantuan Mei Lan saja kurang berarti, dan tanpa bantuan, dia khawatir bahwa dia dan Giok Keng akhirnya tidak akan kuat melawan lagi. Mengingat akan itu, Kun Liong mengeluarkan bentakan-bentakan keras dan serangannya yang amat hebat dengan Ilmu Pat-hong-sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin) membuat orang-orang selihai Bouw Thaisu sekalipun sampai meloncat mundur sedangkan Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya sampai terdorong ke belakang oleh sambaran angin pukulan-pukulan kedua tangan Kun Liong, dan sedikitnya ada empat orang anak buah Lembah Naga terlempar dan terbanting. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kun Liong untuk meloncat ke dekat Mei Lan dan berbisik, “Lan-ji, kau cepat menyelinap dan bebaskan tiga orang itu!”

Mei Lan memang cerdik. Dia mengangguk karena dia tahu apa yang dimaksudkan oleh ayahnya. Tentu tiga orang itu perlu cepat dibebaskan agar dapat membantu mereka menghadapi musuh yang demikian banyaknya. Diam-diam gadis cilik ini merasa menyesal sekali mengapa bibinya, Yap In Hong, yang baru sekali itu dilihatnya, berada dalam kamar tahanan bersama Cia Bun Houw dan keduanya seolah-olah tidak memperdulikan apa-apa lagi, melainkan “bermesraan” berdua di dalam kamar! Tentu saja gadis cilik ini tidak tahu apa artinya ketika dia berhasil sampai di tempat tahanan tadi dan mengintai, melihat betapa In Hong dan Bun Houw duduk berhadapan sambil bersila, memejamkan mata dan kedua telapak tangan mereka saling menempel dengan mesra! Maka setelah dia memanggil-manggil tanpa hasil, kemudian dia meninggalkan pesan yang harus ia sampaikan menurut apa yang dikatakan oleh Tio Sun kepadanya.

Kini Mei Lan cepat meloncat, menyelinap ke belakang ayahnya sehingga dia terlindung oleh gerakan ayahnya dan dengan cepat dia menggunakan gin-kang, lari meninggalkan gelanggang pertandingan menuju ke tempat di mana Tio Sun, Kwi Beng, dan Lie Seng terbelenggu dan terikat pada tonggak kayu salib. Dengan tergesa-gesa dia mencoba untuk melepaskan ikatan kedua tangan Kwi Beng. Makin tergesa-gesa, makin sukarlah bagi gadis cilik ini untuk melepaskan tali yang amat kuat itu.

“Terima kasih, adik yang baik, terima kasih...” suara Kwi Beng ini makin menggugupkan Mei Lan.

“Jangan berterima kasih dulu! Kau belum bebas!” Akhirnya Mei Lan berkata karena suara yang penuh keharuan itu benar-benar membikin dia gugup. Dia sendiri tidak mengerti mengapa dia lebih dulu menghampiri pemuda berambut keemasan ini untuk dibebaskan lebih dulu!

Akan tetapi pada saat itu, terdengar bentakan-bentakan dan empat orang anak buah Lembah Naga sudah menerjang maju ketika mereka melihat usaha Mei Lan untuk membebaskan tawanan. Mei Lan terpaksa melepaskan tali pengikat kedua lengan Kwi Beng yang belum sempat dilepaskannya untuk menghadapi serangan empat orang itu. Sebatang golok menyambar ke arah kepalanya. Mei Lan cepat membuang diri ke kiri dan ketika golok itu menyambar lewat, dia mengetuk dengan tangan kanan dimiringkan ke arah pergelangan tangan pemegang golok. Orang itu mengeluh, goloknya terlepas dan cepat Mei Lan menyambar golok itu dan membacok ke arah punggung lawan. Teringat bahwa mungkin dia dapat membunuh orang itu, Mei Lan mengurangi tenaga bacokannya sehingga sasarannyapun berobah ke bawah.

“Crokk! Aduhhh...!” Orang itu menjerit-jerit dan celananya basah oleh darah karena yang terbacok adalah daging tebal dari pinggulnya.

“Trang-trang...!” Berturut-turut Mei Lan menangkis tombak dan pedang dari tiga orang pengeroyoknya, akan tetapi karena golok yang dirampas oleh Mei Lan adalah sebatang golok yang besar tebal dan berat sekali, maka tangkisan yang ketiga kalinya melawan pedang seorang anak buah Lembah Naga yang bertenaga kuat, goloknya terlepas dari tangannya. Dan tiga orang itu menubruk maju dengan senjata mereka! Mei Lan cepat melempar tubuhnya ke belakang, ke atas tanah dan ketika tiga orang pengeroyoknya itu menghujankan senjata mereka, gadis cilik ini bergulingan dan terus mengelak dengan cepat. Melihat ini, Kwi Beng memejamkan mata, tidak tega menyaksikan gadis cilik itu terancam bahaya maut tanpa dia mampu menolong sama sekali.

Tio Sun dan Lie Seng juga memandang dengan mata terbelalak penuh kegelisahan. Tio Sun sendiri tahu bahwa gadis cilik itu kecil sekali harapannya untuk dapat terhindar dari serangan bertubi-tubi dari tiga orang kasar yang seperti harimau-harimau kelaparan dan haus darah itu.

Pemegang tombak itu menjadi gemas melihat betapa gadis cilik itu selalu mampu menghindarkan diri. Dengan teriakan buas dia meloncat dan menghunjamkan tombaknya ke arah perut Mei Lan ketika gadis cilik ini bergulingan. Mei Lan maklum akan bahaya yang mengancamnya, maka tiba-tiba saja dia meloncat ke atas, membiarkan tombak itu lewat dekat perutnya dan dengan lincahnya dia lalu miringkan tubuh dan menangkap tombak itu dengan kedua tangannya, memutar tombak itu sedemikian rupa sehingga tangan pemegang tombak itu terpuntir, lalu kakinya yang kecil menendang bawah pusar.

“Bocah setan!” teriak pemegang pedang yang menusukkan pedangnya, akan tetapi Mei Lan menarik tombak itu secara tiba-tiba kemudian ketika si pemegang tombak mendoyong ke depan, dia menyelinap ke belakang tubuh si pemegang tombak sehingga nyaris pedang itu mengenai si pemegang tombak sendiri.

Pada saat itu, pemegang ruyung menghantamkan ruyungnya dan dengan kakinya, Mei Lan mengait belakang lutut pemegang tombak sambil melepaskan tombaknya secara tiba-tiba.

“Desss!” Pundak si pemegang tombak itu menggantikannya menerima pukulan ruyung sehingga orangnya gelayaran.

“Bagus! Enci Mei Lan, bagus! Lawan terus, jangan menyerah terhadap monyet-monyet itu!” Lie Seng berteriak-teriak gembira melihat sepak-terjang Mei Lan dan mendengar ini, Kwi Beng membuka matanya. Akan tetapi terpaksa dia memejamkan matanya lagi karena pada saat itu, enam orang anak buah Lembah Naga telah datang mengeroyok Mei Lan!

Sekali ini keadaan Mei Lan benar-benar terancam bahaya besar. Dia terhuyung dan roboh terlentang ketika pahanya kena tendangan dan agaknya orang-orang kasar itu sambil menyeringai bermaksud menubruk dan memperebutkan gadis cilik yang cantik itu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara melengking yang amat luar biasa dan akibatnya, enam orang kasar itu terguling roboh semua! Mereka itu roboh bukan hanya mendengar suara melengking yang amat hebat itu, melainkan karena sambaran angin yang seperti badai mengamuk.

“Suhu...!” Lie Seng berteriak girang. “Suhu, lekas tolong enci Mei Lan!”

Ternyata yang muncul itu adalah Kok Beng Lama! Dengan kedua lengannya yang besar, didahului oleh lengan bajunya yang lebar dan setiap digerakkan mendatangkan angin yang amat kuat, Kok Beng Lama mengamuk. Setiap kali dia menggerakkan tangan, tentu ada dua tiga orang anak buah Lembah Naga yang terpelanting, dan kakek gundul ini tertawa-tawa seperti seorang raksasa mempermainkan sekumpulan anak-anak nakal!

“Kok Beng Lama, bagus engkau datang menyerahkan nyawa!” tiba-tiba terdengar bentakan keras dan muncullah Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li yang langsung saja menerjang kepada Kok Beng Lama dengan hebat. Agaknya sekali ini dua orang kakek dan nenek itu tidak hanya mengandalkan dua tangan mereka yang ampuh, melainkan langsung mereka menggunakan sebatang tongkat butut untuk menyerang Kok Beng Lama yang mereka tahu amat sakti, bahkan mereka pernah dihajar jatuh bagun oleh pendeta Lama jubah merah ini. Tongkat butut mereka adalah senjata mereka yang amat berbahaya dan begitu kedua orang kakek dan nenek ini menyerang, Kok Beng Lama hanya mengeluarkan suara ketawa satu kali karena dia harus menggerakkan kedua lengannya dengan pengerahan tenaga sepenuhnya untuk membendung banjir serangan dari dua orang kakek dan nenek yang lihai itu.

“Enci Mei Lan, lekas bebaskan aku. Aku harus membantu suhu!” Lie Seng berteriak dan sekali ini Mei Lan lari menghampiri Lie Seng dan akhirnya, karena ikatan kedua tangan Lie Seng tidak sekuat ikatan di tangan dua orang pemuda itu, dia dapat membebaskan Lie Seng. Bocah ini bersorak dan lalu menyerbu ke depan, ikut mengamuk melawan anak buah Lembah Naga!

Akan tetapi, Mei Lan merasa sukar untuk dapat membebaskan Tio Sun dan Kwi Beng karena kini dari pusat Lembah Naga, agaknya mengikuti munculnya Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko, muncul pula sisa anak buah Lembah Naga yang amat banyak sehingga jumlah mereka kini ada seratus orang, dikurangi mereka yang sudah roboh oleh amukan Cia Giok Keng dan Yap Kun Liong. Mei Lan harus membela diri pula karena sudah ada beberapa orang yang mengurungnya dan menyerangnya.

Pertandingan itu berlangsung hebat bukan main, terutama sekali antara Kok Beng Lama yang dikeroyok dua oleh Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li. Beberapa kali pukulan Thian-te Sin-ciang yang menjadi pukulannya paling ampuh, berhasil mengenai tubuh dua orang pengeroyoknya. Pukulan ini pula yang dulu pernah dia pergunakan untuk menghajar dua orang manusia iblis itu. Akan tetapi sekali ini, Kok Beng Lama terkejut bukan main. Setiap kali terkena tamparan Thian-te Sin-ciang, kakek atau nenek itu memang terpelanting dan bergulingan sampai jauh, akan tetapi cepat meloncat bangun kembali dan agaknya sama sekali tidak terluka!

“Ha-ha-ha, Lama yang hampir mampus! Pukulanmu tidak dapat melukai kami lagi!” Pek-hiat Mo-ko berseru sambil tertawa mengejek, lalu menyerang lagi dengan hebatnya.

Tentu saja Kok Beng Lama menjadi terkejut dan heran, juga penasaran. Dia mengerahkan semua tenaganya dan kembali menggunakan Thian-te Sin-ciang. Dua orang kakek dan nenek itu berusaha mengelak dan beberapa kali mereka berbasil, akan tetapi akhirnya mereka terkena juga oleh pukulan sakti itu dan keduanya seperti daun kering tertiup angin, terlempar dan terguling-guling. Akan tetapi, kembali mereka bangkit sambil tertawa-tawa tanpa menderita luka sedikitpun. Kini mengertilah Kok Beng Lama bahwa dua orang lawannya itu benar-benar telah menciptakan ilmu yang amat mujijat dan tubuh mereka telah terlindung oleh kekebalan yang bahkan tidak dapat ditembus oleh tenaga Thian-te Sin-ciang. Kok Beng Lama yang melihat betapa kini mata kiri Hek-hiat Mo-li telah rusak dan buta, maklum bahwa agaknya hanya di bagian mata saja dari dua orang itu yang tidak kebal, maka dia kini selalu mengarahkan serangannya kepada mata mereka. Akan tetapi, tentu saja dua orang itu sudah melindungi mata mereka dan amat sukarlah bagi Kok Beng Lama kalau hanya menyerang ke arah mata saja sedangkan dua orang lawannya membalas dengan serangan-serangan tongkat mereka yang ampuh ke seluruh bagian tubuhnya. Dan kakek raksasa dari Tibet ini harus mengakui bahwa bagi dia, yang kebal dan berani menerima senjata pusaka lawan hanyalah kedua lengannya, sedangkan tubuh bagian lain tentu saja tidak berani menerima totokan-totokan tongkat yang amat berbahaya itu. Dengan sendirinya, karena kurang sasaran, dia mulai terdesak hebat oleh kakek dan nenek iblis itu.

Juga Kun Liong dan Giok Keng terdesak hebat saking banyaknya fihak lawan yang mengeroyok. Bahkan Kun Liong sendiri yang sudah amat tinggi ilmunya, menjadi kewalahan menghadapi pengeroyokan banyak orang pandai dan pendekar ini makin khawatir menyaksikan keadaan yang berbahaya itu, apalagi setelah dia melihat bahwa di situ terdapat puterinya dan Lie Seng yang bagaimanapun juga harus dapat diselamatkan keluar dari tempat itu.

Tiba-tiba terdengar sorak-sorai yang gegap gempita dan muncullah pasukan yang langsung menyerbu tempat pertempuran dan menyerang anak buah Lembah Naga. Kiranya itu adalah pasukan pengawal dari kota raja, dipimpin oleh komandan pasukan pengawal Kim-i-wi (Pasukan Pengawal Berbaju Emas), yaitu Lee Cin, dan dibantu pula oleh seorang tokoh pengawal tua yang dahulu amat terkenal, yaitu Tio Hok Gwan ayah dari Tio Sun!

Tentu saja Tio Sun dan Kwi Beng girang bukan main melihat datangnya pasukan ini, apalagi Tio Sun yang juga melihat ayahnya datang membantu. Dua orang pemuda ini terharu juga ketika melihat bahwa pasukan itu mempunyai seorang penunjuk jalan yang bukan lain adalah gadis cantik yang buntung lengan kirinya sebatas pergelangan tangan, yaitu Liong Si Kwi!

Memang sesungguhnya Si Kwi yang menjadi penunjuk jalan. Gadis ini bertemu dengan rombongan pasukan itu di luar Padang Bangkai dan segera dia menemui komandan pasukan itu, menceritakan tentang keadaan Lembah Naga dan tentang bahayanya melalui Padang Bangkai. Maka dia sendiri lalu menjadi penunjuk jalan sehingga semua pasukan dapat melalui Padang Bangkai dengan selamat dan tiba di Lembah Naga sewaktu di situ terjadi pertempuran hebat itu. Andaikata tidak ada penunjuk jalan ini, agaknya akan banyak perajurit yang menjadi korban keganasan tempat-tempat berbahaya di Padang Bangkai.

Hek I Siankouw marah sekali melihat bahwa muridnya yang menjadi penunjuk jalan bagi pasukan pemerintah itu, akan tetapi dia tidak dapat melampiaskan kemarahannya karena kini keadaannya menjadi berubah sama sekali. Jumlah pasukan pemerintah itu seratus lima puluh orang dan mereka adalah pesukan Kim-i-wi yang yang terdiri dari perajurit-perajurit pengawal pilihan dan rata-rata memiliki kepandaian yang tinggi. Maka begitu mereka menyerbu, pasukan anak buah Lembah Naga segera terdesak hebat.

Kini, dengan bantuan Si Kwi, Mei Lan berhasil membebaskan Tio Sun dan Kwi Beng, dan dua orang pemuda itu segera terjun ke dalam gelanggang pertempuran, mengamuk dengan hebatnya! Juga Mei Lan tidak tinggal diam, mendampingi Lie Seng mengamuk pula. Hanya Si Kwi yang menjauh dan tidak ikut dalam pertempuran, karena bagaimanapun juga, dia merasa sungkan kepada subonya, dan menjauhkan diri, hanya menonton dengan hati tegang.

Munculnya pasukan Kim-i-wi membuat pertandingan antara tokoh-tokoh kedua fihak menjadi seimbang dan makin seru. Kun Liong yang tahu akan kelihaian Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, sudah menerjang dan membantu ayah mertuanya, Kok Beng Lama sehingga kakek dan nenek itu terpecah menjadi dua. Kun Liong melawan Hek-hiat Mo-li sedangkan Kok Beng Lama melawan Pek-hiat Mo-ko. Bouw Thaisu dihadapi oleh Giok Keng yang dibantu Kwi Beng, sedangkan Hek I Siankouw berhadapan dengan Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan yang dibantu oleh puteranya sendiri, Tio Sun. Sedangkan Ang-bin Ciu-kwi dan isterinya, Coa-tok Sian-li, mengamuk dikeroyok oleh pasukan Kim-i-wi.

Perang kecil antara anak buah Lembah Naga melawan pasukan Kim-i-wi terjadi berat sebelah dan fihak anak buah Lembah Naga mulai berjatuhan. Hanya pertandingan antara para tokoh masih berlangsung seru dan ramai sekali karena keadaan mereka seimbang. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara yang halus namun amat berwibawa dan suara ini menembus semua suara hiruk pikuk pertempuran itu, seolah-olah datang dari angkasa. “Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, tahan senjata! Para cu-wi sekalian, harap mundur dan biarkan saya menyelesaikan urusan pribadi dengan mereka!”

Mendengar suara yang penuh wibawa dan halus ini, Kok Beng Lama sudah meloncat mundur dan terdengar suaranya yang mengguntur, “Semua mundur, biarkan ketua Cin-ling-pai bicara dengan mereka!”

Suara Pendekar Sakti Cia Keng Hong tadi ditambah dengan suara Kok Beng Lama ini cukup berpengaruh untuk membuat semua yang bertanding mundur dengan sendirinya, terbagi menjadi dua kelompok. Cia Keng Hong yang sudah berada di situ kini melangkah maju dan berkata dengan suara lantang, “Pek-hiat Mo-ko, bukankah engkau dan Hek-hiat Mo-li mengharapkan kedatanganku?”

Dari fihak Lembah Naga muncul Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, membawa tongkat butut mereka dan memandang kepada pendekar sakti itu dengan sinar mata marah karena kedua orang kakek dan nenek ini memang marah sekali menyaksikan betapa fihaknya menderita banyak kerugian dalam pertempuran tadi.

“Ketua Cin-ling-pai, engkau mau bicara apa?” bentak Pek-hiat Mo-ko.

Cia Keng Hong dengan sekilas pandang saja sudah melihat bahwa fihaknya sebetulnya lebih kuat, apalagi di situ terdapat Kok Beng Lama dan Yap Kun Liong, juga terdapat pasukan Kim-i-wi yang kuat dan banyak jumlahnya. Akan tetapi, dia tidak ingin melihat banyak orang menjadi korban dan terlibat dalam urusan ini, maka dia lalu berkata, “Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, tadinya, mendengar bahwa kalian telah menahan Siang-bhok-kiam sebagai pusaka Cin-ling-pai, saya menganggap bahwa kalian sengaja hendak menentang dan menantang kami dari fihak Cin-ling-pai. Akan tetepi, kalian kemudian menculik Yap In Hong dari kota raja. Apakah sesungguhnya maksud hati kalian? Kalau hanya untuk urusan Siang-bhok-kiam dan kalian maksudkan untuk menantang kami, tidak perlu kita mengorbankan banyak orang, cukup hal ini diselesaikan di antara kita saja. Oleh karena itu, sebelum pertempuran berlarut-larut, saya datang dan minta agar engkau suka membebaskan Yap In Hong dan tentang Siang-bhok-kiam, mari kita perebutkan dengan adu kepandaian.”

“Hemm, orang she Cia! Memang sesungguhnya kami sudah lama mengharapkan kedatanganmu! Memang kami menahan Siang-bhok-kiam untuk mencoba sampai di mana kelihaian ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi bukan untuk itu saja! Kami menahan nona Yap untuk menentang semua pembantu mendiang The Hoo, musuh besar kami. Karena dia sudah mati, maka biarlah semua bekas pembantu dan sahabatnya mewakilinya untuk menyerahkan nyawa kepada kami!”

“Mo-ko dan Mo-li!” Cia Keng Hong membentak. “Caramu amat curang! Kalau kalian menantang mendiang Panglima The Hoo, biarlah saya sekalian yang menjadi wakilnya. Kaubebaskan Yap In Hong dan mari kita selesaikan dengan kepandaian antara kita.”

“Kong-kong! Dua iblis itu juga menahan paman Cia Bun Houw!” Tiba-tiba terdengar suara Lie Seng berteriak.

Mendengar ini berkerut kening ketua Cin-ling-pai. Sungguh dia belum tahu bahwa puteranya juga tertawan. Kini dia memandang tajam kepada mereka dan bertanya, “Benarkah itu?”

“Benar, dan engkau hanya dapat membebaskan puteramu melalui mayat kami!” kata Hek-hiat Mo-li dan langsung nenek ini menerjang dengan tongkatnya.

“Bagus, kalau begitu terpaksa hari ini aku melenyapkan kalian!” Cia Keng Hong berkata sambil mengelak dan balas menyerang. Maka berlangsunglah pertandingan yang amat seru dan mengagumkan antara ketua Cin-ling-pai dan kedua orang kakek dan nenek iblis itu.

Cia Keng Hong adalah scorang pendekar sakti yang amat tinggi kepandaiannya. Biarpun usianya sudah kurang lebih enam puluh lima tahun, namun kehidupan yang bersih membuat tubuhnya masih tegap dan kuat, kesehatannya baik sekali sehingga biarpun sudah lama dia tidak pernah terjun ke dunia kang-ouw, namun gerakan-gerakannya ketika bertanding tidak kelihatan kaku karena dia selalu berlatih diri di puncak Cin-ling-pai. Dengan ilmunya yang amat tinggi, yaitu Ilmu Silat Thai-kek-sin-kun, dia menghadapi tongkat kakek dan nenek itu dan selalu dapat menghindarkan diri dengan mudah, sebaliknya dia telah mendesak dua orang lawannya dengan pukulan-pukulan sakti dari Thai-kek-sin-kun.

Akan tetapi, seperti juga dengan Kok Beng Lama, ketika pendekar sakti ini berhasil “memasukkan” pukulannya dan dengan tepat berhasil menghantam mereka, baik Mo-ko maupun Mo-li hanya terpelanting dan bergulingan saja, kemudian meloncat bangun lagi sambil tertawa dan menyerang lebih hebat lagi! Cia Keng Hong menjadi terkejut sekali. Sebagai seorang ahli silat kelas tinggi, maklumlah dia bahwa dua orang lawannya itu telah memiliki ilmu kekebalan yang mujijat! Biasanya, ilmu kekebalan yang mujijat seperti itu diperoleh dengan cara yang tidak lumrah, dengan ilmu yang mendekati ilmu hitam yang mengerikan dan biasanya hanya dapat dipecahkan kalau orang menguasai rahasianya. Setiap ilmu kekebalan yang didapat secara tidak wajar melalui ilmu hitam pasti ada rahasia kelemahannya, dan tanpa mengetahui akan rahasia kelemahan itu, sukarlah melukai mereka!

Pada saat itu, Pek-hiat Mo-ko menghantamkan tongkatnya ke arah kepala Cia Keng Hong dari samping kanan, sedangkan dari kiri Hek-hiat Mo-li menusukkan ujung tongkat dengan totokan-totokan maut ke arah lambung. Cia Keng Hong cepat menggerakkan kakinya, menggeser kedudukan tubuhnya dan secepat kilat dia menangkis dengan lengannya, bukan menangkis tongkat melainkan langsung menangkis lengan Pek-hiat Mo-ko dengan mendorongkan tubuhnya ke depan.

“Plakk!” Cia Keng Hong terpaksa menggunakan ilmunya yang paling dirahasiakan dan yang jarang dikeluarkan karena limu ini memang amat mujijat, yaitu Thi-khi-i-beng! Seperti kita ketahui, di dunia pada waktu itu hanya ada dua orang saja yang menguasai Thi-khi-i-beng, yaitu pertama Cia Keng Hong dan kedua adalah Yap Kun Liong, karena, hanya kepada Yap Kun Liong saja ketua Cin-ling-pai ini menurunkan ilmu mujijat itu. Bahkan dua orang anaknya, Giok Keng dan Bun Houw, tidak diwarisi ilmu itu. Tentu saja dibandingkan dengan Thi-khi-i-beng yang dimiliki Kun Liong, tenaga Cia Keng Hong jauh lebih kuat. Maka begitu kedua lengan bertemu, Pek-hiat Mo-ko terkejut bukan main karena lengannya melekat dan ada tenaga sedot yang luar biasa dari lawan, yang menyedot tenaga sin-kangnya. Akan tetapi, kakek bermuka putih ini segera menghentikan pengerahan tenaga sin-kangnya dan sebagai gantinya, dia mengeluarkan ilmu kebalnya dan... daya sedot dan tempel itu lenyaplah!

Cia Keng Hong terkejut bukan main! Tadinya dia tahu bahwa di dunia hanya ada tiga orang tokoh yang mampu menghadapi Thi-khi-i-beng, bahkan mampu membuyarkan tenaga Thi-khi-i-beng. Pertama adalah mendiang Tiang Pek Hosiang yang telah meninggal dunia, kedua adalah Bun Hwat Tosu, dan ketiga adalah Kok Beng Lama. Siapa tahu, kini agaknya kakek dan nenek inipun menguasai ilmu kekebalan yang dahsyat membuyarkan tenaga Thi-khi-i-beng pula!

Tidak ada seorangpun yang berani maju membantu Cia Keng Hong karena dalam hal pertandingan mengadu ilmu seperti itu, bantuan merupakan penghinaan bagi yang dibantu. Akan tetapi Kok Beng Lama yang sejak tadi menonton dengan penuh perhatian, maklum bahwa ilmu kekebalan dua orang kakek dan nenek iblis itu agaknya juga membuat ketua Cin-ling-pai yang lihai itu kewalahan. Dia sendiri tadi sudah merasakan kehebatan kakek dan nenek iblis itu, maka dia dapat menduga bahwa tanpa dibantu, agaknya ketua Cin-ling-pai itu mungkin sekali akan kalah!

“Ha-ha-ha!” Kok Beng Lama tertawa. “Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li agaknya bukan hanya mengandalkan ilmu kekebalan dari iblis itu, akan tetapi juga mengandalkan kecurangan dan sifat pengecut mereka. Mereka maju berdua menghadapi seorang lawan, sungguh kakek dan nenek tua bangka hampir mampus yang tidak tahu malu sama sekali!” Suara raksasa dari Tibet ini memang keras dan nyaring sekali, terdengar sampai jauh dan memasuki telinga kakek dan nenek itu seperti ratusan jarum yang menusuk langsung ke jantung. Pek-hiat Mo-ko yang cerdik maklum bahwa pendeta Lama itu sengaja hendak membakar hati mereka, maka dia menulikan telinga dan diam saja tidak menjawab, melainkan mendesak Cia Keng Hong dengan tongkatnya. Akan tetapi tidak demikian dengan Hek-hiat Mo-li. Nenek ini merasa bahwa ilmu kekebalannya cukup dapat diandalkan dan sudah dibuktikan ketika dia menghadapi lawan-lawan tangguh seperti Kok Beng Lama dan Cia Keng Hong. Memang, dalam hal ilmu silat, agaknya dia dan Pek-hiat Mo-ko tidak dapat menandingi ketua Cin-ling-pai atau pendeta Tibet itu, akan tetapi dengan perlindungan ilmu kekebalan mereka, musuh-musuh itu dapat berbuat apakah? Hal ini membesarkan hatinya dan mendengar ejekan dan penghinaan Kok Beng Lama, dia tidak dapat menahan kemarahannya.

“Pendeta gundul! Siapa takut padamu? Majulah kalau sudah bosan hidup!” tantangnya.

“Ha-ha-ha! Ketua Cin-ling-pai, aku sama sekali bukan membantumu, akan tetapi aku malu karena aku ditantang oleh nenek gila itu, ha-ha.” Kok Beng Lama sudah melangkah lebar dan memasuki gelanggang pertempuran. Tentu saja Cia Keng Hong tidak bisa melarang dan biarpun dia merasa kurang senang karena masuknya Kok Beng Lama seolah-olah menurunkan kehormatannya, seolah-olah dia telah kewalahan, namun sesungguhnya memang harus diakui bahwa tanpa dibantu oleh Kok Beng Lama, agaknya tidak mungkin dia dapat mengalahkan kakek dan nenek yang kebal dan tidak dapat terluka ini.

Pada saat itu, terdengarlah suara keras disusul suara bangunan roboh dan debu mengebul tinggi! Suara hiruk-pikuk ini datangnya dari perkampungan Lembah Naga dan semua orang menengok dan otomatis pertempuran itupun terhenti. Dan di antara debu-debu yang mengebul tinggi, muncullah dua orang laki-laki dan wanita. Mereka ini ternyata adalah Cia Bun Houw dan Yap In Hong yang datang sambil bergandengan tangan! Wajah mereka berseri-seri dan agak kemerahan, dua pasang mata itu mencorong aneh.

“Omitohud...! Mereka berhasil menyatukan Thian-te Sin-ciang sampai di puncaknya!” seru Kok Beng Lama dengan kagum dan juga heran. Dari pandang mata dua orang muda itu pendeta Lama ini tentu saja dapat mengenal pancaran Ilmu Thian-te Sin-ciang. Dan memang benarlah apa yang disangkanya itu. Seperti telah kita ketahui, Cia Bun Houw dan Yap In Hong setelah terbebas dari malapetaka yang akan mencemarkan nama dan kehormatan mereka, lolos dari racun pembangkit nafsu berahi di dalam kamar tahanan, Cia Bun Houw lalu menyalurkan tenaga Thian-te Sin-ciang, melatih dan memperkuat tenaga yang telah dimiliki In Hong. Ketika diam-diam Yap Mei Lan datang ke kamar tahanan, mereka berdua masih melatih diri dan menghimpun tenaga Thian-te Sin-ciang dengan duduk berhadapan dalam keadaan bersila dan kedua telapak tangan mereka saling bertemu dan menempel, Mei Lan dapat menyelinap ke tempat tahanan karena semua anak buah Lembah Naga sudah keluar dan siap menghadapi musuh yang datang menyerbu. Karena Mei Lan tidak berhasil menyadarkan mereka dari luar pintu kamar tahanan, maka terpaksa Mei Lan lalu meninggalkan sehelai daun yang sudah dia tulisi dan meninggalkan tempat itu.

Ketika itu, sudah sehari semalam Bun Houw dan In Hong menghimpun tenaga dan akhirnya mereka merasa bahwa tenaga Thian-te Sin-ciang telah mencapai tingkat yang amat tinggi, terasa sampai ke ubun-ubun kepala mereka. Maka, mereka menghentikan latihan itu dan begitu mereka sadar, mereka mendengar suara ribut-ribut di luar kamar tahanan. Suara itu terdengar agak jauh, namun kini pendengaran mereka ternyata menjadi jauh lebih tajam sehingga seolah-olah mereka mendengar semua yang terjadi di luar itu seperti di dekat mereka saja, bahkan Bun Houw mengenal hawa pukulan ayahnya yang bertanding melawan dua orang kakek dan nenek iblis itu.

“Eh, lihat ini...!” kata In Hong sambil memungut daun yang berada di kamar itu. Kiranya itulah daun yang ditinggalkan oleh Mei Lan dengan menyelipkannya di antara celah di bawah pintu kamar tahanan yang kokoh kuat itu.

Mereka cepat membaca tulisan di atas daun yang dilakukan dalam keadaan tergesa-gesa, namun cukup jelas untuk dibaca.

“Kelemahan Hek Pek berada di antara lutut ke bawah.”

Hanya itulah kata-kata yang tercoret di atas daun, akan tetapi sudah cukup bagi Bun Houw dan In Hong. “Entah siapa yang menulis ini dan entah benar ataukah hanya bohong, akan tetapi kita harus keluar dari sini sekarang juga, Hong–moi!”

Hek I Siankouw juga menghadapi lawan yang terlalu berat baginya, yaitu pendekar Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai! Biarpun dia telah memainkan pedang hitamnya dengan sekuat tenaga, juga kadang-kadang dia menipersiapkan Hek-tok-ting (Paku Beracun Hitam) yang berbahaya itu, namun dia tidak banyak berdaya menghadapi ketua Cin-ling-pai ini. Padahal pendekar sakti ini sama sekali tidak mempergunakan senjata, hanya menggerakkan kedua tangan dan kaki untuk menghadapi nenek berpakaian hitam ini. Pcdang hitam di tangan Hek I Siankouw mengeluarkan suara berdesing ketika menyambar-nyambar ganas, namun semua sambaran itu dapat dielakkan oleh Cia Keng Hong dengan mudah, dan kalau sekali-kali ada sinar hitam paku beracun menyambar, paku itu tahu-tahu sudah dapat dijepit oleh jari-jari tangan ketua Cin-ling-pai itu dan dikembalikan kepada pemiliknya, membuat Hek I Siankouw terkejut dan hampir termakan oleh senjata rahasianya sendiri sehingga setelah tiga kali selalu berakibat membahayakan dirinya sendiri, dia tidak berani lagi menggunakan paku-paku beracun dan hanya mainkan pedang hitamnya dengan mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya.

Ang-bin Ciu-kwi juga menghadapi lawan yang terlalu tangguh bagiriya, yaitu Yap Kun Liong, dan isterinya, Coa-tok Sian-li diserang dengan hebat oleh Cia Giok Keng yang dibantu oleh Tio Sun. Tentu saja suami isteri ini menjadi repot sekali dan hanya mampu menangkis dan mempertahankan diri saja tanpa dapat membalas sedikitpun juga.

lanjut ke Jilid 44-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar