Rabu, 19 Februari 2014

Petualang Asmara 94

Petualang Asmara Jilid 094

<--kembali

“Hehhhh...” Keng Hong menghela napas. “Masih untung akhirnya. Untung bahwa di saat terakhir, anakmu itu masih tertolong dan dia tidak jadi menikah dengan bangsat Liong Bu Kong itu!”

“Apa? Giok Keng... menikah?”

“Hampir saja!” Keng Hong kini mendapat giliran menceritakan semua yang terjadi atas puteri mereka itu. Berkali-kali Biauw Eng mengeluarkan seruan tertahan karena merasa ngeri mendengar akan bahaya yang mengancam puterinya itu. Kemudian dia menarik napas lega, hatinya lega dan bersyukur, terutama sekali karena suaminya telah “berbaik kembali” dengan puteri mereka.

“Sekarang, di mana dia?”

“Dia mengejar-ngejar Liong Bu Kong.”

“Aihh, berbahaya kalau begitu.”

“Tidak, Kun Liong sudah menyusulnya.”

“Aahhh, kalau begitu, tak lama lagi tentu dia pulang. Mudah-mudahan bersama Kun Liong agar dapat kita ajak ke Tibet bersama. Memang sebaiknya kalau puteri kita itu berjodoh dengan Kun Liong...”

Kembali Keng Hong menghela napas. “Sebaiknya kita tidak mencampuri urusan jodoh anak kita. Biarlah dia yang memilih sendiri, karena kalau kita mencampurinya, tidak urung kita hanya akan kecewa. Agaknya Kun Liong dan Giok Keng tidak saling mencinta, dan di dalam peristiwa di Pek-lian-kauw itu, aku malah menghadapi pinangan orang lain.”

“Siapa?”

“Dari Hong Khi Hoatsu yang menolong aku dan Giok Keng untuk muridnya yang bernama Lie Kong Tek, seorang pemuda yang hampir kubunuh.” Dia lalu menceritakan betapa Lie Kong Tek membela Giok Keng.

Biauw Eng menggeleng-geleng kepalanya. “Memang sukar mengurus soal cinta-mencinta orang-orang muda. Padahal, di dalam cinta-mencinta antara pemuda-pemudi itu terdapat banyak sekali persoalan rumit dan banyak bahaya mengancam, terutama di pibak wanita. Wanita yang masih gadis remaja, masih hijau, mudah terkena bujuk rayu mulut pria, dan cintanya hanya berdasarkan ketampanan wajah dan kebaikan sikap belaka, padahal sangat boleh jadi bahwa semua itu palsu. Dahulu sudah kunasihati Keng-ji agar berhati-hati. Kuberi tahu bahwa seorang calon suami yang baik adalah seorang laki-laki yang dapat menjaga kehormatan sang kekasih, yang memperlakukan kekasihnya itu dengan penuh pengharapan dan penghormatan sebagai seorang calon suami yang ingin melihat calon isterinya itu dalam keadaan murni. Kalau ada seorang laki-laki yang membujuk pacarnya untuk melakukan perjinaan, maka jelas bahwa cintanya itu hanya cinta berahi belaka, dan dia tidak menghargai calon isterinya, tidak menghormatinya, tega menyeret calon isteri dan calon ibu anak-anaknya ke dalam lumpur perjinaan yang akibatnya selalu ditanggung oleh si wanita sebagai aib! Namun...betapa banyak gadis yang membutakan mata akan hal ini, setelah terlanjur dan terlambat, baru menyesal, penyesalan yang tidak ada gunanya sama sekali!”

Melihat isterinya bicara secara bersemangat itu, Keng Hong lalu merangkulnya dan mengajaknya masuk ke dalam.

Dia tahu betapa menderita batin isterinya memikirkan kedua orang anak mereka. “Memang kita harus tenang, Isteriku. Urusan Giok Keng sudah bebas dari bahaya, hanya tinggal Bun Houw. Kita harus mencari jalan yang sebaiknya untuk menolong anak kita itu.”

Pada saat itu, Kwee Kin Ta datang menghadap Suhu (Guru) dan Subonya (Ibu Gurunya), melaporkan bahwa ada utusan dari kota raja ingin bertemu dengan suhunya.

“Dari kota raja?” Keng Hong berseru dengan kaget.

“Mereka dipimpin oleh Tio-ciangkun.”

“Aih, tentu dari The-taiciangkun (Panglima Besar The)!” Keng Hong dan isterinya bergegas keluar dan cepat mereka menyambut dengan hormat dan gembira ketika melihat bahwa yang datang adalah Tio Hok Gwan, pengawal The Hoo yang telah lama menjadi sahabat mereka, seorang kakek pengantuk tinggi kurus yang terkenal dengan julukan Ban-kin-kwi (Iblis Bertenaga Selaksa Kati), bersama dua orang pengawal lain yang menjadi pembantu-pembantu tetapnya, yaitu Kui Siang Han dan Song Kin.

“Ahh, kiranya Tio-toako yang datang berkunjung! Selamat datang! Selamat datang!”

Tio Hok Gwan memberi hormat diikuti oleh Keng Hong dan isterinya. “Mudah-mudahan saja keadaan Tai-hiap dan Li-hiap selama ini baik-baik saia,” katanya. Suami isteri itu merasa tertusuk batinnya, akan tetapi sambil menekan batin mereka tersenyum dan mempersilakan tiga orang tamunya duduk di ruangan dalam dan para pelayan dan anak murid Cin-ling-pai segera mengeluarkan suguhan minuman sekadarnya.

“Kunjungan kami ini memenuhi perintah The-taijin untuk menyerahkan surat beliau kepada Tai-hiap. Silakan Tai-hiap membacanya dan baru kita dapat mengadakan perundingan.” Tio Hok Gwan berkata sambil menyerahkan sesampul surat dengan sikap hormat.

Karena surat itu mewakili Pembesar The Hoo, maka Keng Hong berlutut dan menerimanya dari tangan perwira pengawal itu. Kemudian dia duduk lagi dan membuka sampul surat dan membaca isi surat yang singkat itu.

“Ke Tibet...?” Serunya dengan suara terkejut dan juga girang.

Mendengar seruan ini, serentak Biauw Eng merampas surat dari tangan suaminya dan membacanya. Kiranya di dalam surat itu, Panglima The Hoo minta bantuan Keng Hong agar menemani Tio Hok Gwan yang dikuasai untuk menghubungi pemerintah di Tibet.

“Sungguh kebetulan!” Biauw Eng juga berseru setelah membaca surat itu. “Kami berdua pun merencanakan hendak pergi ke sana!”

“Ahhh! Begitukah? Agaknya ada urusan penting sekali maka Ji-wi hendak pergi ke barat.” Tio Hok Gwan berkata dengan heran juga karena keperluan apakah yang memaksa suami isteri itu akan pergi ke tempat asing dan penuh rahasia itu?

Suami isteri itu saling pandang dan keduanya mufakat untuk menceritakan urusan mereka kepada Tio Hok Gwan, dan mereka pun percaya kepada dua orang perwira pengawal yang menjadi pembantu Ban-kin-kwi itu. “Di antara sahabat baik tidak ada rahasia,” kata Keng Hong, “karena yakin bahwa Sam-wi tidak akan membocorkan urusan kami ini. Sesungguhnya, baru sepekan yang lalu, putera kami Cia Bun Houw yang baru berusia lima tahun telah diculik dan dibawa pergi oleh dua orang Lama Jubah Merah ke Tibet!”

Kini tiga orang pengawal itulah yang terkejut sekali. “Lama Jubah Merah? Sungguh aneh! Satu di antara tugas kita di Tibet nanti juga berkenaan dengan perkumpulan Agama Lama Jubah Merah itulah!”

Cia Keng Hong dan isterinya menjadi terheran-heran dan ingin sekali mendengar penuturan Tio Hok Gwan. “Harap Tio-toako cepat menceritakan apa gerangan yang akan menjadi tugas kita di Tibet.”

Tio Hok Gwan lalu bercerita. Kiranya Pemerintah Kerajaan Beng ingin berbaik dengan para negara tetangga yang terdekat, dan satu di antaranya tentu saja adalah Kerajaan Tibet yang sesunguhnya dikuasai oleh para Lama, sedangkan rajanya hanya boneka belaka. Untuk mempererat hubungan baik, Kaisar mengajukan lamaran kepada seorang puteri Kerajaan Tibet untuk menjadi isteri seorang pangeran putera Kaisar. Di samping urusan keluarga ini yang akan disampaikan oleh Tio Hok Gwan sambil membawa surat dan hadiah ke Tibet, juga urusan yang lebih penting lagi, yaitu Pemerintah Tibet diam-diam telah minta bantuan Pemerintah Beng, karena mendengar akan gerak-gerik perkumpulan Agama Jubah Merah yang makin kuat dan yang menurut penyelidikan mereka kini mulai mengadakan hubungan dengan perkumpulan Pek-lian-kauw. Mereka merencanakan persekutuan, untuk merobohkan dan merampas kekuasaan di Tibet yang kalau berhasil kelak akan dipegang oleh para Lama Jubah Merah, dan sebagai imbalannya Tibet akan mengerahkan pasukan membantu Pek-lian-kauw memberontak terhadap Kerajaan Beng.

“Sebetulnya, urusan pemberontakan inilah yang lebih penting,” Tio Hok Gwan menutup ceritanya.

“Akan tetapi, mengapa mengutus Toako dan dibantu oleh kami berdua? Mengapa The-taijin tidak mengirim pasukan saja yang kuat untuk menundukkan para calon pemberontak itu?”

“Tidak semudah itu, Taihiap. The-taijin ingin menjaga hubungan baik antara rakyat Tibet dengan kita. Rakyat Tibet amat peka terhadap penyerbuan tentara asing dan kalau sampai kita mengirim pasukan ke sana, biarpun pasukan itu akan membantu Pemerintah Tibet yang sah untuk menumpas gerombolan pemberontak, namun dapat menyinggung hati dan kehormatan rakyat di sana. Karena itu, penumpasan para pemberontak Lama Jubah Merah itu diserahkan kepada Pemerintah Tibet sendiri yang cukup kuat. Hanya atas permintaan Kerajaan Tibet, The-taijin mengirim bantuan tenaga yang sekiranya memiliki cukup kelihaian untuk menghadapi para Lama Jubah Merah yang kabarnya banyak yang lihai itu.”

“Memang mereka lihai, terutama dua orang yang datang menculik puteraku!” kata Biauw Eng. “Namanya adalah Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama!”

“Hemmm...” Tio Hok Gwan mengangguk-angguk. “Kalau tidak salah mereka adalah tokoh-tokoh besar, pembantu-pembantu ketuanya yang namanya Sin Beng Lama. Menurut cerita Ji-wi tadi, mereka menculik putera Ji-wi sebagai sandera untuk ditukar dengan Yap Kun Liong?”

“Benar demikianlah, dan kami pun belum tahu apakah yang terjadi antara mereka dengan Kun Liong. Karena itu, sebaiknya kalau Kun Liong dapat membantu dalam tugas kita ini, selain dia dapat menyelamatkan anak kami juga kepandaian anak itu sudah cukup tinggi untuk memperkuat tenaga kita menghadapi para Lama Jubah Merah.”

“Sebaiknya demikian, Taihiap. Akan tetapi di manakah adanya Yap-sicu?”

“Justeru ini yang membingungkan kami karena sampai sekarang dia belum juga muncul. Akan tetapi mudah-mudahan saja tidak lama lagi dia datang ke sini,” kata Keng Hong.

“Biarlah kami akan membantu dengan menyebar para penyelidik untuk mencari Yap-sicu, Taihiap.”

“Bila kita berangkat ke Tibet?”

“Menurut perintah The-taijin, jika Ji-wi setuju, sebulan lagi Ji-wi diharapkan datang ke kota raja dan kita berangkat bersama.”

Setelah mengadakan perundingan semalam suntuk, pada keesokan harinya tiga orang tamu itu meninggalkan Cin-ling-san dan agak legalah hati Cia Keng Hong dan isterinya. Tentu saja mereka mengharapkan bantuan Kun Liong yang dikehendaki oleh para Lama Jubah Merah untuk menukar putera mereka. Akan tetapi dengan adanya peristiwa yang kebetulan itu, andaikata tidak dapat mengajak Kun Liong pun, mereka memperoleh bantuan yang besar, bukan hanya datang dari tiga orang pengawal Panglima The Hoo, melainkan terutama sekali pasukan Pemerintah Tibet yang hendak membasmi Lama Jubah Merah yang hendak memberontak.

Bermacam perasaan mengaduk hati Kun Liong ketika dia berpisah dari Yo Bi Kiok dan adik kandungnya, Yap In Hong. Tentu saja dia merasa berduka dan kecewa, bahwa adiknya, satu-satunya keluarganya di dunia ini, menolak untuk pergi bersamanya. Akan tetapi di samping rasa kecewa dan duka ini, terdapat juga rasa lega dan girang karena hatinya boleh merasa tenteram mengingat bahwa adik kandungnya ternyata masih hidup dan aman berada di dalam perlindungan Yo Bi Kiok yang telah menjadi seorang wanita sakti karena mewarisi pusaka yang seharusnya tersimpan di dalam bokor emas. Dalam perlindungan Bi Kiok, adiknya tentu akan aman sentausa dan bahkan memperoleh pendidikan ilmu yang tinggi. Juga, andaikata adiknya itu memilih dia dan ikut bersamanya, tentu dia tidak akan dapat leluasa mencari Hong Ing! Andaikata demikian, agaknya dia pun akan terpaksa menitipkan In Hong kepada orang lain, tentu saja paling tepat menitipkannya ke Cin-ling-san, karena dia tidak mau membawa adik kandungnya yang masih kecil itu ke Tibet dan menempuh perjalanan yang penuh bahaya.

Di sepanjang perjalanan ke barat, yang terbayang di depan matanya hanyalah wajah Hong Ing dan adik kandungnya itu. Hanya dua orang itulah yang kini menjadi tangkai hidupnya, yang memberi dorongan semangat kepadanya.

“Hong Ing...semoga Tuhan melindungimu...” Dia menghela napas teringat akan kekasihnya itu dan dia mempercepat langkahnya. Kini baru terasa olehnya betapa mendalam cinta kasihnya terhadap dara itu. Kini baru terbayang seluruh pengalamannya di waktu dahulu, ketika dia memandang rendah cinta kasih, ketika dia bersikap sebagai seorang pemuda ugal-ugalan yang mempermainkan cinta kasih wanita terhadap dirinya. Teringat akan itu semua, dia merasa berduka. Terutama sekali mengingat akan dua orang wanita, yaitu Hwi Sian dan Bi Kiok. Mengingat Hwi Sian, terbayang hubungannya dengan gadis itu, perjinaan mereka di dalam kuil tua, dia merasa malu dan menyesal bukan main. Baru terasa olehnya betapa besar pengorbanan Hwi Sian, betapa dara itu telah menjadi korban cinta yang tidak dibalasnya. Betapa ganas dan kejinya dia, mau saja menerima tubuh dan kehormatan dara itu tanpa cinta kasih di hatinya! Betapa rendahnya dia, betapa kotor dan keji!

“Hwi Sian... kaumaafkanlah aku...”

Berkali-kali dia berbisik di dalam hatinya setiap kali dia teringat akan itu semua.

Dan Bi Kiok, gadis yang berwajah dingin itu pun cinta padanya. Sukar mengukur isi hati Bi Kiok, namun dia merasa bahwa cinta gadis itu tentu mendalam dan berbahaya. Bahkan Bi Kiok sudah mengeluarkan ancaman akan membunuh setiap orang wanita yang mencintanya, yang dipilihnya! Timbul kekhawatirannya apakah kelak hidupnya tidak akan selalu menghadapi kesulitan dari gadis bersikap dingin ini.

Kemudian Pek Hong Ing! Wajahnya berseri-seri dan matanya bersinar-sinar setiap kali dia teringat kepada Hong Ing, akan tetapi segera menyuram kalau dia teringat akan kebodohannya sendiri. Betapa dia sudah banyak merongrong hati dara yang halus budi itu. Terbayanglah kembali semua pengalamannya bersama Hong Ing semenjak pertemuannya dengan “nikouw” itu sampai perpisahan mereka di pulau kosong. Betapa sekarang tampak jelas olehnya cinta kasih dara itu terhadap dirinya yang tiada taranya! Dan dia, si tolol, si canggung dan dungu, selalu menyakiti hati dara itu dengan ketololannya dengan perantaraan kata-katanya, sikapnya! Bahkan dalam saat terakhir sebelum mereka berpisah, dia sudah menikam ulu hati kekasihnya itu dengan ujung pedang beracun yang amat menyakitkan, yang berupa kata-kata setolol-tololnya! Ingin dia menampar kepalanya sendiri, kepala yang kini sudah berambut panjang, hitam dan lebat itu, kalau dia teringat akan semua itu.

Bagaimanakah nasib Hong Ing? Dia tidak dapat mengira-ngira karena dia tidak tahu betul apakah dua orang pendeta Lama itu bermaksud buruk terhadap kekasihnya ataukah tidak. Betapapun juga, kalau dua orang pendeta itu mempunyai niat buruk, keselamatan kekasihnya terancam bahaya hebat. Dua orang pendeta Lama itu amat lihai. Akan tetapi, kalau benar mereka itu adalah para susiok Hong Ing, tentu tidak akan terjadi sesuatu atas diri kekasihnya itu. Apa pun yang akan terjadi, dia harus menemukan gadis itu dan melihat dengan mata sendiri bahwa Hong Ing berada dalam keadaan selamat. Hatinya agak lega kalau dia mengingat bahwa besar kemungkinan dua orang pendeta itu tidak ingin mengganggu Hong Ing, karena kalau berniat buruk, mengapa susah payah mengajak dara itu pergi? Siapa yang akan dapat mencegah mereka kalau mereka itu berniat buruk terhadap Hong Ing, ketika mereka tiba di pulau kosong dahulu itu dan setelah dia sendiri dirobohkan oleh mereka? Tidak, mereka pasti tidak akan berbuat buruk terhadap Hong Ing.

Kelegaan hatinya ini hanya sebentar saja membuat wajahnya berseri karena kembali dia teringat kepada Hwi Sian! Dia akan melewati Secuan, apa salahnya kalau dia singgah di tempat tinggal Hwi Sian? Kabarnya gadis itu bersama dua orang suhengnya tinggal bersama guru mereka, Pendekar Gak Liong yang terkenal sekali di Secuan. Mengapa tidak? Kalau belum bertemu dengan Hwi Sian dan melihat keadaan gadis itu baik-baik saja dan mendengar sendiri dari mulut gadis itu bahwa kesalahannya telah diampuni, tentu Hwi Sian akan merupakan pengganggu ketenangan hatinya di masa depan.

Karena kini merasa yakin bahwa Hong Ing pasti tidak akan dicelakakan oleh para pendeta Lama yang lihai itu, Kun Liong mengambil keputusan untuk mencari Hwi Sian di Secuan, karena perjalanannya memang melewati tempat itu jadi bukan berarti pembuangan waktu yang terlalu banyak.

Memang benar seperti dugaannya, tidaklah sukar mencari tempat tinggal Gak Liong di Secuan karena hampir semua orang mengenal, siapakah Gak-taihiap (Pendekar Besar Gak) yang telah banyak berjasa di Secuan, sejak dia membantu paman gurunya, yaitu Panglima The Hoo untuk membasmi para pemberontak dan para penjahat sehingga daerah itu menjadi aman dan penghuninya hidup makmur. Dia memperoleh keterangan bahwa Gak-taihiap tinggal di tepi sungai yang menjadi anak sungai Yang-ce-kiang di luar kota Mian-ning. Ternyata tempat itu sunyi sekali dan memang Gak Liong sekarang setelah tua tidak mencampuri lagi urusan dunia ramai sehingga setiap urusan selalu diselesaikan oleh tiga orang muridnya, bahkan jarang sekali pendekar tua ini menemui tamu. Tempat tinggalnya di tepi sungai itu hanya merupakan sebuah bangunan kayu yang sederhana namun suasananya di situ hening dan menyenangkan.

Setelah memperoleh keterangan jelas, pagi hari itu berangkatlah Kun Liong ke tempat yang ditunjukkan orang dan menjelang tengah hari tibalah dia di tepi sungai dan sudah tampaklah bangunan tempat tinggal Gak Liong itu. Tempat yang amat sunyi namun menyenangkan karena selalu terdengar bunyi percik air sungai dan kicau burung di pohon-pohon sepanjang sungai. Berdebar juga hati Kun Liong kalau membayangkan betapa dia akan bertemu dengan Hwi Sian yang tinggal di rumah itu. Sudahkah gadis itu menikah dengan suhengnya, Tan Swi Bu? Apakah bersama suheng yang kini menjadi suaminya itu tetap tinggal di situ? Ataukah sudah pindah? Dia hanya ingin melihat Hwi Sian sekali lagi, melihat betapa keadannya selamat dan baik-baik saja, dan melihat sinar mata yang telah memaafkannya. Barulah hatinya akan lega dan dia akan dapat melanjutkan perjalanannya ke Tibet mencari Hong Ing dengan hati tenang.

Akan tetapi sunyi sekali di luar pondok itu. Kun Liong yang berada di seberang sungai melihat sebuah jembatan kecil yang terbuat daripada bambu di sambung-sambung. Tidak semua orang akan berani melewati jembatan macam itu, karena sekali terpeleset, akan terjungkal ke dalam sungai yang permukaannya amat dalam, merupakan tebing yang curam dan banyak batu-batu yang runcing tajam mengerikan. Kun Liong tidak ragu-ragu lagi, segera melintasi jembatan penyeberangan itu dengan langkah ringan tanpa berpegang kepada bambu melintang di atas jembatan itu.

Begitu dia tiba di seberang, di depan rumah yang menghadap ke tebing sungai itu, tiba-tiba muncul sesosok bayangan dari belakang sebatang pohon dan sinar pedang yang menyilaukan menyambar ke arah lehernya!

“Singggg... ehhhh...!” Kun Liong cepat mengelak dan meloncat ke belakang, memandang kepada penyerangnya yang memegang sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya. Orang itu adalah seorang laki-laki yang usianya sudah mendekati lima puluh tahun, sikapnya gagah, tubuhnya tinggi kurus dan sepasang matanya bersinar tajam.

“Iblis dari Pek-lian-kauw, sudah lama aku menanti kedatanganmu! Suruh Tok-jiauw Lo-mo keluar, tidak usah dengan Suhu, cukup dengan aku...”

“Heiii, bukankah Toako adalah Poa Su It, Twa-suheng dari Hwi Sian?” Tiba-tiba Kun Liong memotong kata-kata penuh tantangan dari orang itu.

Orang itu memandang terbelalak, akan tetapi karena dia tidak mengenal Kun Liong, dia menjawab dengan kaku, “Benar! Aku Poa Su It, mewakili Suhu untuk menghadapi manusia-manusia jahat macam...”

“Nanti dulu, Poa-toako! Aku sama sekali bukan iblis Pek-lian-kauw, apalagi teman Tok-jiauw Lo-mo!”

Orang itu menarik kembali pedangnya yang sudah bergerak hendak menusuk Kun Liong, melangkah mundur tiga kali dan memandang penuh perhatian, matanya masih menyorotkan keraguan dan kecurigaan. Melihat sikap Kun Liong bukan seperti seorang musuh, dia menjadi heran lalu bertanya, “Siapakah engkau...?”

Kun Liong mengelus rambut di atas telinga kanannya, tersenyum. “Poa-toako, beberapa tahun yang lalu, kepalaku gundul dan aku pernah bertemu dengan Toa-ko, sutemu Han Swi Bu dan sumoimu Liem Hwi Sian. Aku Yap Kun Liong.”

“Aihhh...!” Poa Su It teringat dan menghela napas panjang sambil menyarungkan pedangnya, lalu menjura, “Maafkan aku, Yap-enghiong (Orang Gagah she Yap)!

”Biarpun baru satu kali bertemu, aku sudah banyak mendengar tentang engkau dari kedua adik seperguruanku.”

“Tidak mengapa, Toako. Karena lupa, maka Toako menyangka aku musuh. Akan tetapi, mengapakah di tempat yang damai dan aman ini Toako agaknya menanti datangnya musuh?”

Orang tinggi kurus itu kembali menarik napas panjang, “Mari kita masuk ke dalam, Yap-enghiong, dan akan kuceritakan apa yang telah terjadi.”

Karena memang dia hendak mencari Hwi Sian, Kun Liong mengangguk dan mengikuti twa-suheng (kakak seperguruan pertama) dari Hwi Sian itu memasuki pondok yang kelihatan amat sunyi itu. Setelah mempersilakan Kun Liong duduk, Poa Su It lalu bercerita, “Memang tidak keliru dugaanmu tadi, Yap-enghiong. Aku menyangka engkau adalah seorang di antara musuh-musuh yang sudah mengancam akan menyerbu tempat ini. Beberapa hari yang lalu, selagi Suhu bersamadhi seperti biasa, lapat-lapat aku mendengar suara orang yang diteriakkan dari jauh mempergunakan tenaga khi-kang sehingga terdengar jelas dari tempat ini. Suara itu mengaku suara Tok-jiauw Lo-mo yang mengancam Suhu, akan datang membunuh Suhu dalam beberapa hari ini. Nah, ketika engkau muncul, tentu saja aku mengira bahwa engkau adalah musuh itu.”

“Dan bagaimana keputusan Gak-locianpwe tentang ancaman itu?”

Poa Su It menghela napas panjang, “Suhu tenang-tenang saja bahkan menjawab dengan sabar, mempersilakan musuh itu datang. Suhu hanya berpesan kepadaku agar aku menjaga datangnya musuh dan melaporkan kepada Suhu kalau musuh itu datang. Tentu saja aku tidak bisa bersabar seperti Suhu menghadapi musuh yang mengancam nyawa Suhu.”

“Hemmm, Tok-jiauw Lo-mo memang bukan orang baik-baik,” kata Kun Liong.

“Yap-enghiong pernah bertemu dengan dia?”

Kun Liong mengangguk dan berkata lagi, “Kalau dia datang bersama kawan-kawannya, tentu berniat buruk sekali. Oleh karena itu, setelah mendengar ini, aku akan membantumu, Poa-toako. Aku akan ikut menanti mereka dan membantumu menghadapi mereka.”

Wajah Poa Su It yang tadinya muram itu kini berseri dan dia memegang lengan Kun Liong. “Aku memang amat mengharapkan bantuanmu! Yap-enghiong! Terima kasih!”

Kun Liong menoleh ke kanan kiri karena merasa heran mengapa pondok itu demikian sunyi, dan mengapa pula Tan Swi Bu, terutama Liem Hwi Sian, tidak muncul.

“Kenapa Toako berjaga seorang diri? Di manakah Sute dan Sumoimu?”

“Suami istri itu pergi ke barat mewakili Suhu yang sekarang sudah tidak suka lagi mencampuri urusan dunia. Dahulu Suhu terkenal sekali di Secuan ketika Suhu masih membantu Susiok-kong (Paman Kakek Guru) Panglima The Hoo membasmi para pemberontak dan penjahat di daerah Secuan ini. Akan tetapi sekarang Suhu sudah mengundurkan diri, maka ketika datang perintah dari Susiok-kong yang minta bantuannya menyelidiki ke barat, Suhu mewakilkan tugas itu kepada Sute dan Sumoi”

Lega rasa hati Kun Liong. Inilah yang ingin didengarnya, jadi ternyata Hwi Sian telah menikah dengan ji-suhengnya (kakak seperguruan ke dua), Tan Swi Bu seperti yang dia dengar dari Hwi Sian dahulu. Bagus, kalau demikian keadaan Hwi Sian baik-baik saja dan dia yakin bahwa gadis yang pernah menyerahkan tubuhnya kepadanya itu tentu telah memaafkannya. Sayangnya dia tidak dapat bertemu sendiri dan melihat sinar pengampunan itu dari mata gadis itu sendiri.

“Kalau boleh aku bertanya, tugas penyelidikan apakah itu, Toako?”

“Menyelidiki ke Tibet.”

Jawaban ini mengejutkan hati Kun Liong karena dia sendiri pun akan ke Tibet. “Ada terjadi apakah di Tibet?”

“Panglima The menugaskan Suhu untuk menyelidiki perkumpulan Agama Lama Jubah Merah yang kabarnya mengadakan persekutuan dengan Pek-lian-kauw dan kedua perkumpulan ini merencanakan pemberontakan kepada Kerajaan Tibet dan juga Kerajaan Beng.”

Kun Liong mengangguk-angguk dan berpikir keras. Mengapa ada hal begini kebetulan? Kalau terjadi huru-hara di Tibet, dia makin mengkhawatirkan keselamatan Hong Ing. Apakah sangkut-pautnya penculikan atas diri Hong Ing dengan pemberontakan ini?

“Memang Tok-jiauw Lo-mo seorang tokoh sesat yang berbahaya. Aku ingin sekali dapat berhadapan dengan dia, karena dahulu pernah aku ditangkap oleh kakek itu bersama teman-temannya.”

Poa Su It menghela napas. “Itulah yang menggelisahkan hatiku, Yap-enghiong. Suhu berpesan bahwa kalau Tok-jiauw Lo-mo datang, beliau sendiri yang hendak menghadapinya karena di antara mereka terdapat urusan pribadi, demikian kata Suhu.”

“Urusan pribadi?”

“Ya, dan aku sendiri tidak tahu urusan apakah itu. Kata Suhu, aku hanya boleh menghadapi kaki tangan kakek itu kalau memang ada, sedangkan kakek itu sendiri akan dihadapi Suhu, padahal Suhu sudah tua dan kesehatannya kurang baik, aku khawatir sekali.”

“Hemm, seorang gagah perkasa seperti suhumu itu, tidak perlu dikhawatirkan karena apa pun yang dilakukannya, tentulah berdasarkan kegagahan dan beralasan. Dan agaknya kakek iblis itu tidak akan datang sendiri. Orang seperti dia itu, apalagi menghadapi lawan berat seperti suhumu, tentu tidak akan datang sendiri dan hendak mengandalkan jumlah banyak untuk memperoleh kemenangan. Maka kalau dia datang dengan banyak teman, berarti engkau sendiri sudah sibuk menghadapi kaki tangannya, Toako.”

“Benar, dan sungguh untung bagiku engkau datang berkunjung, Yap-enghiong, karena dengan adanya bantuanmu di sini, hatiku menjadi lebih lega dan tenteram.”

Mereka bercakap-cakap sambil berjaga-jaga dan makin larut hari, makin besar rasa kagum dan suka di hati Kun Liong terhadap murid tertua dari pendekar Secuan itu. Selain luas pengalamannya, juga laki-laki yang tidak pernah menikah selamanya ini memiliki dasar watak pendekar tulen. Karena itu, Kun Liong juga menjadi terbuka sikapnya, dan dia dengan terus terang menceritakan niat perjalanannya, yaitu menuju ke Tibet karena kekasihnya diculik oleh tiga orang Lama Jubah Merah. Mendengar ini, Poa Su It terkejut sekali.

“Kalau tidak salah dugaanku, tiga orang Lama Jubah Merah yang kauceritakan itu adalah pucuk pimpinan dari perkumpulan Agama Lama Jubah Merah itu! Sungguh berbahaya sekali! Aku mendengar bahwa ilmu kepandaian mereka bertiga itu seperti iblis, amat sakti. Karena itu, Suhu juga memberi peringatan kepada Sute dan Sumoi yang menyelidik ke sana agar berhati-hati dan menghindarkan bentrokan, menyamar sebagai penduduk biasa, yang hendak bersembahyang dan minta berkah.”

lanjut ke Jilid 095-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar