Rabu, 19 Februari 2014

Petualang Asmara 83

Petualang Asmara Jilid 083

<--kembali

Seorang pendeta Pek-lian-kauw yang tua ditugaskan memimpin upacara sembahyang untuk meresmikan pernikahan itu. Hio telah dipasang, dupa telah dibakar, den pendeta tua itu siap membaca doa liam-keng. Akan tetapi, baru saja hio dibakar dan hendak diberikan kepada sepasang mempelai, tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring. Lengking yang panjang mengerikan, dan tampak sinar berkelebat diikuti pekik pendeta tua. Hio-hio terlepas dari tangannya karena dupa-dupa biting itu sudah patah semua. Tersusul suara keras dan meja sembahyang itu terguling berantakan!

Gegerlah semua orang, apalagi ketika tiba-tiba muncul seorang laki-laki gagah perkasa dan yang berdiri tegak, kedua tangan di pinggang, matanya mengeluarkan sinar berapi-api dan meja sembahyang tadi terguling oleh dorongan tangannya dari jarak jauh! Semua orang terkejut apalagi ketika banyak diantara mereka yang mengenal laki-laki setengah tua yang gagah perkasa itu.

“Cia Keng Hong Taihiap...!”

“Ketua Cin-ling-pai...!”

Bisikan-bisikan ini menjadi berantai dan semua orang memandang dengan mata terbelalak. Kiranya pendekar sakti ini yang muncul, ayah dari pengantin wanita yang kelibatan marah bukan main.

Belasan orang anggauta Pek-lian-kauw yang bertugas jaga di situ, tentu saja menjadi marah. Mereka ini tidak mengenal siapa adanya laki-laki yang datang mengacau ini dan mereka pun tidak menerima perintah sesuatu. Maka, melihat ada orang mengacau pesta, bahkan sudah menggulingkan meja sembahyang, belasan orang anggauta Pek-lian-kauw sudah menyerbu dan mengeroyok dengan senjata golok mereka.

Terdengar suara berkerontangan disusul pekik mereka dan seorang demi seorang robohlah delapan belas orang pengeroyok itu, roboh pingsan dan golok mereka terlempar ke sana-sini. Ketika mereka semua roboh, pendekar sakti itu masih berdiri bertolak pinggang di tengah-tengah antara mereka seolah-olah dia tadi tidak bergerak sama sekali dan para pengeroyoknya berjatuhan sendiri tanpa dia bergerak!

Adapun sepasang pengantin kini sudah bangkit berdiri dan memandang dengan wajah pucat kepada laki-laki perkasa yang bukan lain adalah Cia Keng Hong Ketua Cin-ling-pai itu! Cia Giok Keng sudah menyingkap tirai dari mukanya, dan memandang kepada ayahnya dengan mata terbelalak penuh kemarahan!

Sementara itu, melihat bahwa yang menjadi pengantin adalah Giok Keng, dan melihat munculnya Cia Keng Hong, tentu saja Kun Liong menjadi terkejut bukan main. Sungguh seujung rambut pun dia tidak pernah menyangka bahwa sepasang pengantin yang dirayakan di Pek-lian-kauw dan sejak tadi ditontonnya itu adalah Cia Giok Keng dan Liong Bu Kong! Kalau supeknya tidak muncul, tentu dia tidak akan pernah tahu bahwa pengantin wanita adalah Giok Keng, gadis manis galak yang indah bentuk hidungnya itu! Melihat betapa Hong Khi Hoatsu juga terkejut dan terheran-heran karena kakek ini pernah mendengar nama besar Cia Keng Hong, Kun Liong berbisik, “Dia adalah supekku Cia Keng Hong, dan ternyata yang menjadi pengantin wanita itu adalah puterinya. Tentu ada sesuatu yang tidak beres di sini, dan aku takkan dapat mendiamkannya saja...”

Hong Khi Hoatsu mengangguk-angguk dan menjawab dalam bisikan, “Lebih baik kita melihat gelagat lebih dulu. Seorang sakti seperti supekmu itu belum tentu membutuhkan bantuan kita, dan tanpa permintaannya berarti lancang kalau kau turun tangan, Sicu.” Kakek ini memandang Kun Liong dengan kagum. Baru dia tahu bahwa pemuda yang dia sudah duga amat lihal ini adalah murid keponakan dari Ketua Cin-ling-pai yang terkenal sekali itu.

Kun Liong mengangguk maklum. Memang tepat sekali pendapat kakek ini. Supeknya adalah seorang pendekar sakti yang memiliki nama besar dan kedudukan tinggi sekali di dunia kang-ouw. Kini urusan yang dihadapi supeknya adalah urusan pribadi yang menyangkut puterinya, maka sudah semestinya kalau dibereskan oleh pendekar besar itu sendiri. Kalau dia lancang turun tangan membantu tanpa diminta, hal ini tentu akan menyinggung kehormatan supeknya. Akan tetapi dia merasa khawatir sekali. Dia maklum akan kekerasan hati Giok Keng yang tentu akan melawan siapa pun, bahkan ayahnya sendiri, untuk mempertahankan pendiriannya sendiri. Dan dia terheran-heran mengapa Giok Keng memilih Liong Bu Kong sebagai suami! Benar-benar wanita berwatak aneh sekali, wanita mendatangkan hal-hal yang luar biasa di dunia ini! Lauw Kim In, dara yang manis dan... hemmm, indah sekali tubuhnya, telah mengorbankan diri menjadi isteri seorang laki-laki berotak miring seperti Ouwyang Bouw! Dan sekarang, Giok Keng, puteri Pendekar Sakti Cia Keng Hong, seorang dara yang cantik jelita, memilih Liong Bu Kong, putera datuk sesat yang amat jahat Ketua Kwi-eng-pang, menjadi jodohnya! Betapa anehnya kelakuan dara-dara cantik itu! Akan tetapi di samping ketegangan hatinya, diam-diam dia merasa girang bahwa tanpa disengajanya, dalam mengikuti Hong Khi Hoatsu hendak menolong seorang gadis dari sarang Pek-lian-kauw, dia telah bertemu dengan Cia Keng Hong dan Cia Giok Keng.

Setelah secara luar biasa delapan belas orang anggauta Pek-lian-kauw yang berani lancang menyerang Cia Keng Hong roboh terbanting dan pingsan, keadaan menjadi sunyi dan menegangkan. Terdengar bisik-bisik di antara para tamu yang semua memandang penuh perhatian.

“Giok Keng...!” Bentakan ini mengandung tenaga khi-kang yang amat hebat dan terasa menggetarkan jantung semua orang yang mendengarnya.

Akan tetapi pengantin wanita itu berdiri tegak memandang ayahnya dengan mata terbuka lebar penuh tantangan!

“Ayah, kau tidak berhak berbuat begini...” terdengar Giok Keng berkata, suaranya penuh duka namun juga penuh sesalan.

“Giok Keng, aku melarang engkau menikah di sini dan dengan seorang tokoh sesat!”

“Cia Locianpwe...!” Liong Bu Kong meloncat ke depan.

“Wuuuuttt... plakkkk! Bruuukk...!”

Tubuh Bu Kong terlempar dan terbanting roboh terdorong oleh hawa pukulan dahsyat yang keluar dari telapak tangan pendekar sakti itu. Akan tetapi karena dia telah memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi, bantingan itu tidak membuat Liong Bu Kong pingsan seperti delapan belas orang anggauta Pek-lian-kauw, hanya membuat dia pening dan dia sudah meloncat berdiri dengan muka pucat dan mata merah. Akan tetapi pemuda ini tentu saja maklum akan kelihaian “calon mertua” yang tidak mau mengakuinya itu, maka dia tidak berani bergerak lagi, melainkan mulai menengok dan mencari-cari Thian Hwa Cinjin dengan pandang matanya karena untuk menghadapi Cia Keng Hong yang sakti, dia hanya mengandalkan Ketua Pek-lian-kauw wilayah timur itu. Namun dia melihat betapa Thian Hwa Cirijin tersenyum kepadanya dan menggelengkan kepala, memberi isyarat agar dia jangan lancang turun tangan!

“Ayah, kau tidak berhak memukul calon suami pilihanku! Karena engkau telah menolak dan mengusir kami, kau tidak berhak mencampuri!” Cia Giok Keng berseru keras dan dengan penuh kemarahan kepada ayahnya. Hatinya masih sakit karena teringat olehnya betapa dia diusir oleh ayahnya karena jatuh cinta kepada Liong Bu Kong dan melihat ayahnya datang mengacaukan pernikahannya.

“Cia Giok Keng! Kau menikah dengan seorang penjahat di Pek-lian-kauw pula? Kau hendak menodai nama keluarga kita? Lebih baik kau mati!” pendekar itu membentak marah.

“Locianpwe, harap Locianpwe sudi bersikap sabar dan tenang!” Tiba-tiba terdengar suara lantang dan di depan pendekar sakti itu berdiri dengan tegak dan dengan sikap gagah seorang pemuda tinggi besar yang tampan dan gagah.

Kun Liong terkejut sekali ketika mengenal pemuda itu yang bukan lain adalah Lie Kong Tek! Ketika dia menoleh kepada Hong Khi Hoatsu, dia melihat kakek ini mula-mula juga terkejut, akan tetapi kakek itu lalu tersenyum dan mengangguk-angguk, kelihatan bangga sekali atas sikap muridnya. Namun Kun Liong merasa khawatir sekali dan menganggap pemuda itu terlampau lancang.

Cia Keng Hong juga kaget dan memandang pemuda itu dengan mata bernyala dan alis berkerut. “Siapa, kau? Mau apa kau mencampuri?” bentaknya, suaranya penuh tenaga khi-kang yang amat kuat. Namun Lie Kong Tek tidak mundur setapak pun, wajahnya yang tampan gagah itu masih tetap tenang dan sinar matanya tajam menentang pandang mata pendekar yang sedang marah itu.

“Nama saya Lie Kong Tek, saya tidak pernah mengenal Locianpwe maupun puteri Locianpwe. Dan saya juga tidak hendak mencampuri urusan pribadi Locianpwe. Akan tetapi, karena sudah lama mendengar nama besar Locianpwe sebagai Ketua Cin-ling-pai, seorang pendekar besar yang selalu bersikap gagah perkasa, dan pula karena timbul rasa iba hati saya melihat puteri Locianpwe, maka saya memberanikan diri untuk mengingatkan Locianpwe bahwa dalam urusan ini jika Locianpwe tidak menggunakan kesabaran dan ketenangan, akan menimbulkan urusan yang memalukan.”

Muka Cia Keng Hong sebentar menjadi merah. Kemarahannya membuat dadanya seperti dibakar.

“Kau... kau manusia lancang...!!” Keng Hong yang sudah marah sekali itu menggerakkan tangannya mendorong. Lie Kong Tek maklum bahwa dia diserang dengan pukulan jarak jauh, maka biarpun sikapnya tetap tenang, dia mengangkat kedua tangannya juga untuk menangkis. Sambaran hawa pukulan dahsyat menyambar ke arqhnya dan blarpun sudah dia tangkis dengan pengerahan sin-kang sekuatnya, tetap saja tubuhnya terlempar dan terjengkang, seperti sehelai daun kering tertiup angin. Lie Kong Tek bergulingan dan ketika dia meloncat hangun lagi, mukanya pucat sekali, ujung bibirnya berdarah, akan tetapi dengan tenang dan gagah pemuda ini sudah mencelat ke depan Cia Keng Hong lagi!

Cia Keng Hong terbelalak heran. Biarpun dia tadi tidak memukul sampai mati pemuda itu, namun hanya sedikit selisihnya. Dan pemuda itu masih berani maju lagi!

“Apa kau telah gila? Apa kau minta mati?” bentaknya marah.

“Kalau betul apa yang saya dengar tentang diri Locianpwe, saya tidak khawatir akan dipukul mati. Andaikata dipukul mati sekalipun saya lebih beruntung daripada Locianpwe yang tentu akan menjadi jatuh nama secara hebat,” kata Lie Kong Tek dengan tenang.

“Kau...! Kau...!” Cia Keng Hong marah dan jengkel sekali, kembali dia mengayun tangannya.

Pada saat itu, Hong Khi Hoatsu memegang lengan Kun Liong ketika melihat pemuda itu hendak meloncat maju. Memang Kun Liong merasa penasaran dan ingin melindungi Lie Kong Tek dari pukulan maut supeknya. Akan tetapi kakek ahli sihir itu melarangnya dan menggelengkan kepalanya. “Pendekar sehebat dia, tidak akan membunuh orang sembarangan saja,” bisik kakek itu.

“Desss...!” Tubuh Lie Kong Tek kembali terlempar dan terbanting keras, bergulingan sampai jauh. Ketika dia meloncat bangun dan terhuyung-huyung maju lagi, dahinya benjol dan bibirnya pecah-pecah.

“Locianpwe tidak boleh membenci puteri sendiri. Menikah harus mendapatkan restu orang tua, dan memilih jodoh adalah hak si anak.” Lie Kong Tek berkata.

“Jahanam bermulut besar! Kau mau ikut-ikut? Kalau anakku menikah dengan seorang penjahat, dirayakan di tempat penjahat dan pemberontak, apakah aku harus diam saja?” Dada Cia Keng Hong seperti akan meledak rasanya dan matanya kini memandang kepada Giok Keng seperti hendak menelan puterinya itu bulat-bulat!

“Ayah, kau terlalu!” Giok Keng kini berteriak, air matanya bercucuran akan tetapi sikapnya sama sekali tidak lemah, bahkan telunjuk kanannya menuding ke arah mata ayahnya. “Tidak saja Ayah menolak pilihan hatiku, malah telah mengusir kami dan sekarang setelah kami berusaha sendiri untuk menikah, Ayah datang menghalang dan mengacau. Begitukah sikap seorang pendekar? Ayah, ingat bahwa aku menjadi anakmu bukan atas permintaanku! Aku adalah manusia tersendiri, bukan boneka yang harus taat atas segala kehendak Ayah demi kesenangan hati Ayah sendiri!”

Hebat bukan main kata-kata yang keluar dari mulut dara yang sedang marah itu. Lebih hebat dari pukulan dahsyat yang mana pun, lebih tajam meruncing daripada pedang pusaka yang bagaimana pun.

“Bressss!” Kedua kaki pendekar itu menghantam tanah di depannya. Tanah terlindung lantai tembok itu ambrol dan kedua kakinya amblas sampai selutut. “Kau...! Kau...! Anak durhaka... auh...!” Pendeker itu terkulai lemas dan roboh terguling!

“Ayah...!” Glok Kehg menjerit, namun ternyata ayahnya telah roboh pingsan saking marahnya.

Keadaan menjadi kacau, akan tetapi tiba-tiba Thian Hwa Cinjin menyuruh dua orang pembantunya mengangkat tubuh Cia Keng Hong masuk ke dalam dan pada para tamu dia berkata lantang, “Harap Cuwi sekalian tenang saja. Urusan ini adalah urusan antara ayah dan puterinya, kita semua tidak boleh mencampurinya. Biarlah Cia-taihiap beristirahat di dalam dan harap Cuwi duduk kembali. Upacara pernikahan akan dilanjutkan.” Suaranya terdengar halus dan ramah dan mengandung kekuatan gaib yang membuat para pendengarnya tunduk dan taat.

Kun Liong merasa betapa lengan tangannya dicengkeram tangan Hong Khi Hoatsu dan terdengar kakek itu berbisik, “Celaka... Cia-taihiap dipengaruhi hoat-sut dan... dan kulihat puterinya juga berada dalam keadaan tidak wajar... tentu ada yang main sihir di sini...!”

Mendengar ini, Kun Liong terkejut sekali dan dia menjadi marah. “Kalau begitu, aku harus turun tangan...”

“Sssttt, sabarlah, Sicu. Kulihat persiapan Pek-lian-kauw sudah dibuat dengan baik, kedudukan mereka kuat. Biarpun banyak juga orang gagah di sini, akan tetapi tanpa adanya Cia-tai-hiap, kita akan kalah kuat. Harap kauusahakan agar keadaan di sini kacau atau setidaknya perhatian mereka tertarik di sini. Aku sendiri akan mencoba untuk menyadarkan Cia-taihiap di dalam.”

Percaya akan kesaktian kakek itu, Kun Liong mengangguk dan kakek itu telah menyelinap dan pergi dari situ di antara meja-meja tamu yang penuh dengan tamu dari berbagai golongan. Sebentar saja kakek itu sudah lenyap, entah menyelinap ke mana, Kun Liong teringat akan pesan kakek itu, maka dia lalu memandang ke depan.

Ternyata di ruangan itu, di depan meja sembahyang yang sudah porak poranda itu, terjadi kegaduhan dan keributan baru, Liong Bu Kong, dengan pakaian pengantin yang kusut karena tadi dia dibuat jatuh bangun oleh Cia Keng Hong, berdiri dengan muka merah dan mata melotot, bertolak pinggang lalu menudingkan telunjuknya ke arah muka Lie Kong Tek sambil membentak nyaring, “Manusia rendah tak tahu malu! Berani engkau menjual lagak di sini dan membela isteriku?”

Lie Kong Tek mengusap darah dari ujung bibir dan peluh dari dahi dan lehernya. Dia berdiri tegak dan tenang, memandang kepada Liong Bu Kong yang marah-marah itu seperti seorang dewasa memandang seorang kanak-kanak. Memang perawakan pemuda ini tinggi besar sehingga berhadapan dengan dia, Bu Kong kelihatan kurus kecil. Padahal Bu Kong tak dapat dikatakan seorang pemuda yang bertubuh pendek. Pandang mata Lie Kong Tek penuh selidik, karena memang dia sedang menyelidiki pengantin pria yang dinyatakan sebagai seorang penjahat oleh Pendekar Sakti Cia Keng Hong, pemuda yang telah menjatuhkan cinta kasih puteri pendekar itu, hal yang membuat dia ikut pula merasa penasaran dan heran. Kemudian terdengar dia menjawab, suaranya tenang dan halus, “Aku tidak membela isteri siapa pun, melainkan membela seorang gadis yang menerima perlakuan buruk dari ayahnya sendiri.”

Lie Kong Tek meraba benjol di dahinya, diam-diam mencela diri sendiri mengapa mendadak timbul rasa iba yang amat hebat pada diri pengantin puteri sehingga tadi mati-matian dia membelanya. Kini perbuatannya yang tadi memarahkan ayah pengantin wanita, sekarang menimbulkan kemarahan pengantin pria!

“Keparat! Kau hendak mengambil hati isteriku, ya? Engkau hendak mencari muka?” Liong Bu Kong yang merasa cemburu dan marah-marah itu lupa diri, lupa bahwa di situ terdapat banyak sekali tamu dan timbullah wataknya yang kasar dan kotor.

“Saudara pengantin!” Lie Kong Tek membentak, marah melihat betapa pengantin wanita memandang dengan muka pucat. Wajah Giok Keng yang cantik dan pucat itu mengundang rasa ibanya yang luar biasa. “Mengapa kau begini tak tahu malu, mencemarkan nama isteri sendiri?”

“Tutup mulutmu!” Liong Bu Kong yang sudah marah itu menerjang dan mengirim pukulan maut.

“Desss...!” Kong Tek menangkis, akan tetapi dia kalah tenaga sehingga tubuhnya terlempar dan terbanting. Namun dia sudah bangkit berdiri lagi dan memandang dengan penasaran, sedikit pun tidak merasa takut.

“Liong-koko, jangan pukul orang!” Giok Keng berseru ketika melihat Bu Kong sudah menerjang maju lagi.

“Mundurlah, Moi-moi, orang ini harus dihajar sampai mampus!” Bu Kong berseru makin marah karena menganggap, bahwa calon isterinya itu membela pemuda gagah dan ganteng itu.

“Liong-sicu, tidak boleh membikin ribut pada hari baik ini!” Tiba-tiba terdengar suara Thian Hwa Cinjin. “Orang muda itu berniat baik, dan sebagai tamu tidak boleh diperlakukan kasar. Marilah, upacara pernikahan agar dapat dilanjutkan sampai selesai.”

Para pendeta Pek-lian-kauw kini sibuk membereskan meja sembahyang yang sudah kocar-kacir tadi dan suasana menjadi berisik, Giok Keng berdiri dengan muka pucat dan bingung, Bu Kong bersungut-sungut, kadang-kadang melirik marah ke arah Lie Kong Tek yang sudah duduk kembali diantara para tamu. Kun Liong menarik tangan pemuda tinggi besar itu agar duduk di tempat agak belakang, kemudian berbisik-bisik menceritakan dugaan guru pemuda itu yang membuat Kong Tek terkejut sekali dan memandang kepada Kun Liong dengan mata terbelalak lebar.

Meja sembahyang telah dibereskan sekadarnya dan lilin-lilin yang tadi padam telah dipasang. Sepasang pengantin telah disuruh mendekat meja, dan penganten wanita sudah menutupkan lagi kerudungnya. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara nyaring setelah muncul seorang laki-laki berusia empat puluhan tahun yang berdiri di depan rombongan tamu, “Kauwcu (Ketua Agama), harap tahan dulu!”

Thian Hwa Cinjin, para pendeta Pek-lian-kauw, dan sepasang pengantin terkejut dan menengok. Laki-laki itu bersikap gagah, pakaiannya ringkas dan jelas tampak bahwa dia adalah seorang kangouw yang biasa bersikap tegas, jujur, dan menjunjung tinggi kegagahan.

Dengan suara harus dan tenang Thian Hwa Cinjin melangkah maju. “Mengapa Sicu menahan dilakukannya upacara dan apakah kehendak Sicu?”

Laki-laki itu mengangkat kedua tangan di depan dada, sambil menjura dengan hormat. “Saya Phoa Lee It sama sekali bukan berniat mencampuri urusan orang lain. Akan tetapi karena saya termasuk seorang undangan yang mewakili Go-bi-pai, untuk dijadikan saksi pernikahan ini, maka saya melihat sesuatu yang ganjil dan tidak sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, saya mengusulkan agar upacara ditunda lebih dulu.”

Suasana menjadi berisik. Para tamu saling berbisik, ada yang pro dan ada yang kontra pendapat ini. Ketua Pek-lian-kauw mengerutkan alisnya, akan tetapi suaranya masih halus ketika dia bertanya, “Apakah maksud Phoa-sicu yang mengatakan bahwa ada yang ganjil dan tidak sebagaimana mestinya?”

Phoa Lee It adalah seorang tokoh perguruan Go-bi-pai, seorang yang biarpun tidak amat terkenal di dunia kang-ouw, namun sebagai utusan Go-bi-pai tentu saja memiliki ilmu kepandalan tinggi, maka kini menjadi perhatian semua tamu.

“Kauwcu, ketika kami melihat bahwa pengantin wanita tidak ada yang menjadi walinya, kami sudah merasa heran karena bukankah dikabarkan bahwa pengantin wanita adalah puteri Ketua Cin-ling-pai? Akan tetapi karena tidak ada ketua itu hadir, tadinya kami mengira bahwa perwaliannya dipegang oleh Pek-lian-kauw. Kiranya Ketua Cin-ling-pai muncul dan terjadi keributan antara ayah dan anak. Setelah ayah dari pengantin wanita hadir, upacara ini tentu saja tidak sah kalau tidak disaksikan oleh ayah pengantin wanita itu. Maka saya harap upacara ini ditunda dan ayah pengantin wanita dipersilakan keluar.”

Makin berisikiah para tamu mendengar ini. Tokoh Go-bi-pai itu bernyali besar, berani mengusulkan hal yang merupakan protes dan pencelaan terhadap kebijaksanaan Pek-lian-kauw. Namun, melihat bahwa pendapat itu mengandung ceng-li (aturan), banyak tokoh kang-ouw yang menganggukkan kepala tanda setuju. Tentu saja banyak pula yang tidak setuju, terutama yang pro kepada Pek-lian-kauw. Keadaan makin berisik ketika para tamu saling mengeluarkan pendapat masing-masing dan terjadi perbantahan kecil di antara mereka. Di dalam hatinya, Thian Hwa Cinjin marah sekali, akan tetapi karena menghadapi banyak tamu dan dasar tujuannya adalah untuk menarik sebanyak mungkin orang kang-ouw agar bersahabat dengan Pek-lian-kauw, dia menahan sabar, lalu mengangkat tangan sebagai isyarat agar para tamu suka tenang. Kemudian dia membalik dan menghadapi Phoa Lee It sambil tersenyum.

“Phoa-sicu, kami mengerti akan maksud hati Sicu yang baik. Akan tetapi hendaknya Sicu mengetahui bahwa Pek-lian-kauw melaksanakan upacara pernikahan ini atas permintaan sepasang calon suami isteri yang baru ini menjadi pengantin. Urusan keluarga mereka adalah urusan pribadi, kami sendiri tidak mencampurinya dan tugas kami hanyalah melaksanakan upacara pernikahan. Dan tugas ini akan kami laksanakan juga, apa pun yang terjadi dan kami tidak menghendaki campur tangan pihak luar.”

“Kalau begitu, aku tidak berani mewakili Go-bi-pai menjadi tamu!” Phoa Lee It berseru marah karena dia merasa curiga sekali. Mana mungkin pengantin ditemukan dan dilakukan upacara sembabyang pengantin tanpa persetujuan ayah pengantin wanita?

Tanpa diketahui orang lain, Ketua Pek-lian-kauw sudah memberi isyarat kepada seorang pembantunya. Yang ditunjuknya untuk menanggulangi halangan ini adalah seorang pendeta tua yang tadi hadir di sebelah dalam, tidak tampak dari ruangan tamu. Dia merupakan seorang utusan dari Pek-lian-kauw pusat dan termasuk rombongan para tokoh Pek-lian-kauw yang dipersiapkan untuk menghadapi segala rintangan yang timbul.

Pendeta yang diberi isyarat oleh Thian Hwa Cinjin itu usianya sudah tujuh puluh tahun lebih, pakaiannya sederhana, tangannya memegang sebatang tongkat pendek terbuat dari bambu, gerakannya lambat dan seperti tidak memiliki tenaga, akan tetapi begitu kakinya bergerak, tubuhnya melayang dan sudah menghadang di depan Phoa Lee It dan tongkatnya yang tiga kaki panjangnya itu melintang di depan dada.

Melihat munculnya pendeta ini, para tamu yang mengenalnya menjadi kaget. Pendeta itu adalah seorang tosu yang murtad dan masuk menjadi anggauta Pek-lian-kauw, bahkan merupakan seorang tokoh Pek-lian-kauw yang terkenal kejam terhadap musuh-musuh Pek-lian-kauw, juga terkenal sebagai seorang tosu yang memiliki kepandaian tinggi. Diam-diam dia dijuluki sebagai algojo Pek-lian-kauw karena sudah biasa membunuh orang-orang yang menentang Pek-lian-kauw tanpa mengenal kasihan. Dia bukan lain adalah Loan Khi Tosu!

Di bagian depan cerita ini sudah dituturkan tentang Loan Khi Tosu. Dia adalah seorang tokoh Pek-lian-kauw kawakan yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Biarpun dia sudah tua, dan matanya yang kelihatan putih itu lamur semenjak muda, namun tosu tua ini amat lihai dan juga hatinya kejam sekali terhadap musuh-musuh Pek-lian-kauw. Selain lihai ilmu silatnya, juga dia adalah seorang ahli Sai-cu Ho-kang yaitu ilmu menggereng seperti singa yang disertai tenaga khi-kang. Penggunaan Sai-cu Ho-kang itu saja sudah cukup untuk merobohkan lawan yang kurang kuat sin-kangnya. Selain itu, juga dia amat terkenal dengan ilmu pukulan atau ilmu totokan jari tangan beracun yang disebut Pek-tok-ci (Ilmu Jari Tangan Racun Putih), semacam ilmu menotok yang dilakukan oleh jari tangan yang mengandung racun!

Tosu ini sudah menghadang di depan Phoa Lee It tokoh Go-bi-pai, menjura dan berkata sambil tersenyum, “Phoa Sicu dari Go-bi-pai sungguh memandang rendah Pek-lian-kauw! Sebagai tamu, semestinya Sicu tunduk terhadap tuan rumah. Apakah setelah minum arak pengantin Sicu akan dapat menghina kami begitu saja? Kalau begitu, Sicu benar-benar tidak memandang sebelah mata kepada Pek-lian-kauw.”

Phoa Lee It yang sudah merasa penasaran itu menegakkan kepala dan membusungkan dadanya. Dengan tangannya dia memberi isyarat kepada empat orang pengikutnya, yaitu para sutenya, murid-murid Go-bi-pai yang menyertainya, untuk minggir agar dia dapat menghadapi tosu Pek-lian-kauw itu sendiri.

“Memandang rendah atau tidak hanyalah soal penilaian. Kami dari Go-bi-pai tidak memandang rendah siapa pun, akan tetapi juga tidak menghendaki kebebasan kami ada yang menghalanginya.”

“Siancai...! Omongan Phoa-sicu sungguh keras! Kalau memang Go-bi-pai tidak memandang persahabatan dengan Pek-lian-kauw, mengapa Sicu sekalian suka datang menghadiri undangan kami?”

“Karena tadinya Go-bi-pai menganggap bahwa Pek-lian-kauw benar-benar hendak berkeluarga dan bersahabat dengan Cin-ling-pai, maka kami berlima mewakili Go-bi-pai untuk hadir. Akan tetapi, melihat betapa keadaan sesungguhnya tidak demikian yang baru kami ketahui setelah Ketua Cin-ling-pai muncul, kami tidak lagi mau mencampuri urusan ini. Kiranya para tamu yang berpikiran waras pun akan sependirian dengan kami.”

“Ho-ho, Sicu benar-benar bicara besar. Pendeknya, kami sebagai tuan rumah berhak menentukan semua peraturan dan para tamu sudah sepatutnya tunduk kepada peraturan kami. Silakan Sicu berlima duduk kembali dan jangan menimbulkan keributan.” Berkata demikian, Loan Khi Tosu melintangkan tongkatnya seolah-olah hendak menghadang dan mencegah lima orang tokoh Go-bi-pai itu meninggalkan ruangan pesta.

KINI marahlah Phoa Lee It. Dia mengerti akan pendirian para pimpinan Go-bi-pai, yaitu tidak hendak mencampuri urusan Pek-lian-kauw yang terkenal sebagai perkumpulan pemberontak. Kalau tidak sangat terpaksa, tentu dia tidak mau bermusuhan dengan Pek-lian-kauw. Akan tetapi sekarang, melihat betapa dia dan empat orang sutenya hendak diikat kebebasannya, betapa Pek-lian-kauw hendak menghina Go-bi-pai, maka hal ini tentu saja akan ditentangnya mati-matian.

“Loan Khi Tosu, aku mengenal siapa engkau! Akan tetapi, jangan dikira bahwa aku takut kepadamu. Hanya karena kami menjadi utusan Go-bi-pai, kami masih menahan sabar dan tidak hendak mengikatkan Go-bi-pai dengan Pek-lian-kauw. Minggirlah dan biarkan kami pergi.”

“Ha-ha, tidak semudah itu, Phoa Lee It. Pinto juga mengenalmu, dan kebetulan sekali bertemu di sini, pinto sudah lama ingin sekali mencoba betapa lihainya ilmu pedangmu yang membuat kau dijuluki orang Go-bi Kiam-hiap (Pendekar Pedang dari Go-bi).”

“Bagus! Kau menantang? Secara pribadi ataukah atas nama perkumpulan? Kalau atas nama perkumpulan, aku tidak sudi melayani, akan tetapi kalau tantanganmu mengenai pribadi, tentu saja tidak akan kutolak!” jawab Phoa Lee It dengan sikap gagah. Semua tamu menjadi tegang hatinya. Dua orang itu, Loan Khi Tosu dan Phoa Lee It keduanya sudah terkenal sebagai tokoh besar dalam dunia persilatan dan sebagai orang-orang yang amat lihai. Kini mereka saling menantang. Tentu saja hal ini amat menarik hati dan menegangkan.

Tiba-tiba terdengar suara ketawa dari tempat para tamu dan seorang kakek yang sudah ompong mulutnya tertawa-tawa, kemudian mendengus dan dengan suara sombong sekali berkata, “Totiang, mengapa banyak cakap menghadapi dia ini? Aku mendengar bahwa makin besar julukannya, makin rendahlah kepandaiannya. Kurasa Go-bi Kiam-hiap ini belum tentu benar-benar mampu mainkan Ilmu Pedang Go-bi Kiam-sut. Heh-heh-heh!” Kakek itu mengurut-urut kumisnya dan semua orang memandang dengan alis berkerut. Mereka itu sebagian besar mengenal kakek ini, seorang tokoh dunia hitam yang tentu saja sejak lama menjadi sahabat Pek-lian-kauw. Dia berjuluk Hwa I Lojin (Kakek Baju Kembang) karena memang pakaiannya selalu rapi dan terbuat dari kain berkembang. Kakek yang usianya enam puluh tahun ini pesolek sekali selain pakaiannya rapi dan baru dengan kembang-kembang berwarna mencolok, juga kumis dan jenggotnya terpelihara rapi dan rambutnya selalu mengkilap oleh minyak! Kiranya kakek yang tua badannya ini masih muda hatinya! Karena kakek ini selalu berlagak sombong, biarpun dia terkenal lihai sebagai seorang ahli pedang yang jarang bertemu tanding, maka para tamu memandangnya dengan hati tak senang. Akan tetapi karena maklum akan kelihaiannya, tidak ada yang berani memperlihatkan ketidaksenangan hatinya secara berterang.

lanjut ke Jilid 084-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar