Jumat, 21 Februari 2014

Pendekar Sadis Jilid 010

Pendekar Sadis Jilid 010

<---Kembali

"Hemm, ingin kulihat apakah engkau juga kebal terhadap api!" Tiba-tiba Tok-ciang Sian-jin berkata sambil tertawa. "Ha-ha-ha, mari kita melihat anak Pangeran Ceng Han Houw ini menjadi sate panggang seperti anak babi, ha-ha!"

Semua murid Jeng-hwa-pang tertawa dan mereka lalu mengumpulkan kayu-kayu kering, dibawa ke dalam ruangan itu dan ditumpuk di bawah tempat Thian Sin tergantung.

"Ha-ha-ha, Ceng Thian Sin, apa yang hendak kaukatakan sekarang? Apakah engkau hendak minta ampun?" Tok-ciang mengejek karena dia merasa marah sekali kalau melihat mayat-mayat para anak buah yang berserakan di tempat itu.

Pemuda remaja itu benar-benar telah mendatangkan kerugian besar sekali, bukan hanya kerugian karena kematian banyak anak murid, akan tetapi juga telah merusak nama besar Jeng-hwa-pang.

"Kakek iblis terkutuk! Mau bunuh lekas bunuh, siapa takut mampus? Kalau gagah, jangan gunakan kecurangan, lepaskan aku dan mari kita bertanding sampai seribu jurus!" Thian Sin memaki dan menantang.

"Lekas bereskan dia, pangcu (ketua). Dia itu bocah setan yang berbahaya sekali!" kata Kim Thian Seng-cu, masih teringat akan pengalamannya ketika tersedot oleh Ilmu Thi-khi-i-beng tadi.

Tentu saja dia maksudkan bahwa bocah itu terlalu lihai untuk dibiarkan hidup. Tok-ciang Sian-jin lalu mengambil sebatang obor dari tangan anak buahnya dan melemparkan obor itu di atas tumpukan kayu kering yang segera terbakar dan bernyala, makin lama makin tinggi.

Thian Sin sudah merasakan hawa panas dari bawah, dan dia mengumpulkan hawa murni untuk mempertahankan diri selama mungkin. Otaknya bekerja dan dia mengharapkan bahwa tubuhnya lebih kuat bertahan dari jala itu. Kalau jala itu lebih dulu terbakar daripada tubuhnya, tentu jala itu akan terobek dan dia dapat meloncat turun dan mengamuk. Akan tetapi kalau jala itu lebih kuat bertahan daripada tubuhnya terhadap api, dia akan mati, hal yang bukan apa-apa karena dia akan menyusul ayah bundanya!

Biarpun api belum menjilat tubuhnya, akan tetapi hawa panas telah membuat seluruh tubuhnya berkeringat dan pakaiannya menjadi basah semua, dan asap membuat dia sukar untuk bernapas pula. Akan tetapi sedikitpun tidak ada keluhan terdengar dari mulut pemuda itu. Suara tertawa dan ejekan orang-orang Jeng-hwa-pang tidak didengarnya lagi.

Tiba-tiba terdengar kegaduhan dan orang-orang yang berada di bawah itu menjadi kacau-balau. Thian Sin membuka matanya dan memandang ke bawah. Timbul pula semangatnya ketika dia melihat Han Tiong mengamuk di antara orang-orang Jeng-hwa-pang.

"Tiong-ko, lepaskan dulu aku agar dapat membantumu!" teriak Thian Sin dengan girang.

Han Tiong memandang ke atas dan cepat dia merampas sebatang pedang dan meloncat ke atas, pedangnya diayun membabat ke arah jala. Jala terobek dan terbuka. Thian Sin meloncat bersama kakaknya dan kini mereka berdua mengamuk. Thian Sin bersikap ganas bukan main. Setiap pukulannya tentu disertai tenaga sepenuhnya dan setiap orang yang kena pukulannya tentu roboh tak dapat bangun kembali karena kepalanya pecah atau tulang dadanya patah. Melihat sepak terjang adiknya ini, apalagi melihat bahwa di situ telah berserakan mayat belasan orang banyaknya, Han Tiong menjadi ngeri.

"Sin-te, jangan membunuh orang!" teriaknya lantang.

Mendengar teriakan kakaknya ini, Thian Sin membantah, suaranya halus akan tetapi juga penasaran.

"Koko, mereka hampir saja membunuhku!"

Mereka berdua menerjang sedemikian hebatnya sehingga para anak bua Jeng-hwa-pang terdesak keluar dari ruangan itu. Juga Tok-ciang Sian-jin dan dua orang pembantunya sudah berloncatan keluar karena ruangan itu penuh dengan tubuh berserakan dan asap yang menyerang mata. Dua orang muda itu berloncatan keluar mengejar.

"Sin-te, sudah terlampau banyak orang yang kaubunuh!" kembali Han Tiong menegur, suaranya kini terdengar tegas dan penuh nada teguran.

"Baiklah, Tiong-ko...!"

Tok-ciang Sian-jin sudah maju dengan pecut bajanya, disambut oleh Han Tiong, sedangkan Thian Sin kini dihadapi oleh kedua orang tosu Pek-lian-kauw. Pertempuran terjadi di luar rumah dan amat serunya. Akan tetapi para anak buah Jeng-hwa-pang tidak ada yang berani mendekat, karena setiap kali mendekat mereka tentu roboh oleh dua orang muda perkasa itu. Mereka sudah berusaha mempergunakan racun-racun, bahkan menaburkan bubuk beracun atas perintah Tok-ciang, akan tetapi semua itu tidak ada gunanya karena dua orang muda itu tidak roboh oleh penyebaran bubuk racun itu.

Senjata-senjata mereka tidak ada yang dapat mengenai tubuh mereka, bahkan kini Han Tiong mendesak Tok-ciang sedangkan Thian Sin membuat dua orang tosu Pek-lian-kauw itu kalang-kabut, mereka hanya mampu mempertahankan diri belaka dari desakan Thian Sin yang sudah marah sekali kepada mereka.

"Plak! Plakk!" Untuk pertama kalinya, dua orang tosu itu berkenalan dengan tamparan Thian-te Sin-ciang dan mereka menjerit dan roboh terpelanting.

Thian Sin mengejar dan dua kali kakinya menginjak. Terdengar bunyi "krek-krek!" tulang patah-patah dan dua orang tosu itu tewas dengan tulang iga dan tulang leher patah-patah!

"Sin-te...!" Han Tiong berteriak marah.

Tok-ciang Sian-jin sendiri sudah terdesak hebat dan melihat betapa dua orang pembantunya tewas dalam keadaan mengerikan itu, diapun lalu meloncat jauh dan melarikan diri, diikuti oleh para muridnya yang masih selamat.

"Tiong-ko, aku harus membunuh mereka. Mereka adalah kakek-kakek iblis yang jahat, dan kalau engkau tidak keburu datang, aku tentu telah menjadi babi panggang!" kata Thian Sin yang mencoba berkelakar, akan tetapi melihat pandang mata kakaknya yang tajam dan penuh teguran itu, dia menunduk.

Han Tiong memandang ke sekeliling tempat itu. Sunyi saja. Tidak nampak seorangpun anggauta Jeng-hwa-pang. Mereka semua telah lari dan meninggalkan mereka yang tewas atau terluka. Tidak kurang dari dua puluh orang yang rebah, kebanyakan telah tewas oleh tangan Thian Sin. Han Tiong bergidik dan menarik napas panjang.

"Sin-te, berapa banyak orang yang telah kaubunuh? Rombongan yang kaubunuh di hutan itu! Dan sekarang di sini! Ah, lupakah engkau akan semua pelajaran dari Paman Hong San Hwesio? Lupakah engkau akan semua pesan ayah bahwa kita tidak boleh membunuh orang? Dan engkau hari ini telah menyebar maut!"

Thian Sin mengangkat muka memandang kakaknya. Baru sekarang dia sadar akan semua perbuatannya dan dia merasa menyesal sekali. "Mereka... mereka membunuh ayahku... ibuku... dan mereka membunuh Hwi Leng! Ah... Tiong-ko, mereka... mereka merenggut nyawa orang-orang yang kucinta... aku menjadi mata gelap, kaumaafkanlah aku, Tiong-ko..." Dan Thian Sin lalu menutupi kedua mata dengan kedua tangan.

Pemuda remaja ini menangis! Han Tiong merasa terharu dan kasihan sekali. Dia amat sayang kepada adiknya ini dan diapun dapat merasakan betapa hancur hati adiknya itu melihat kematian Hwi Leng, apalagi karena yang membunuh dara itu adalah orang-orang Jeng-hwa-pang yang dahulu mengambil bagian dalam kematian ayah bunda pemuda itu.

Betapapun juga, ada alasan yang amat kuat mendorong adiknya itu menjadi mata gelap. Dan segalanya sudah terjadi, dan yang terbunuh itu, bagaimanapun juga, harus diakui adalah orang-orang jahat yang sudah sepatutnya ditentang karena mereka itu hanya mengotori dunia dengan perbuatan-perbuatan mereka yang kejam dan jahat.

Didekatinya adiknya dan dirangkulnya. "Sudahlah, segala hal sudah terlanjur. Hanya kuminta agar lain kali engkau jangan terlalu membiarkan dirimu hanyut dalam arus kemarahan dan dendam yang membutakan mata."

Thian Sin terisak dan balas merangkul kakaknya. "Terima kasih, Tiong-ko, akan kuperhatikan nasihatmu. Harap... harap kau... tidak melaporkannya kepada ayah... aku takut akan tegurannya..."

Han Tiong menahan senyum dan saat itu dia melihat luka di pangkal tangan adiknya. "Eh, engkau terluka? Parahkah lukamu?"

Thian Sin tersenyum, matanya masih basah, dan dia menggeleng kepala, "Terkena tusukan pecut baja ketua Jeng-hwa-pang. Memang mengandung racun akan tetapi telah kukeluarkan dengan dorongan tenaga sin-kang."

"Baik kalau begitu, nah, mari kita urus mereka."

"Urus mereka? Siapa?"

Han Tiong menuding ke arah orang-orang yang menggeletak di sana-sini. "Urus mayat-mayat itu, dan urus mereka yang terluka," katanya dengan nada suara agak dingin karena dia teringat betapa Thian Sin membunuh seluruh rombongan Jeng-hwa-pang dan membiarkan mayat-mayat mereka begitu saja di tengah hutan.

Thian Sin masih belum begitu mengerti, akan tetapi dia mengikuti kakaknya dan tanpa banyak cakap lagi dia membantu kakaknya ketika Han Tiong mulai membuat lubang besar untuk mengubur semua mayat, bahkan lalu mengobati mereka yang terluka parah. Menjelang senja, Han Tiong mengajak adiknya untuk kembali ke Lembah Naga. Di sepanjang perjalanan, Thian Sin nampak berwajah muram sekali.

"Jangan khawatir, adikku. Aku tidak akan melaporkan kepada ayah tentang pembunuhan-pembunuhan itu."

Thian Sin menarik napas panjang. "Aku percaya sepenuhnya kepadamu, koko. Akan tetapi, bukan itu yang menjadikan pikiran... aku... aku tak dapat melupakan Hwi Leng..."

Dan dia menarik napas panjang berulang-ulang. Diam-diam Han Tiong merasa kasihan sekali. Mengapa adiknya ini demikian lemah kalau menghadapi wanita cantik? Dia tahu bahwa adiknya telah merasa kehilangan dengan kematian Hwi Leng dan untuk kedua kalinya patah hati setelah dahulu kehilangan Cu Ing. Setelah keduanya tiba di Istana Lembah Naga dan berhadapan dengan ayah dan ibu mereka, Han Tiong menceritakan secara singkat betapa mereka berdua telah mengejar sampai ke sarang Jeng-hwa-pang dan berhasil mengobrak-abrik sarang itu dan ketua Jeng-hwa-pang melarikan diri bersama anak buah mereka.

"Engkau terluka, Thian Sin. Parahkah lukamu? Coba kau mendekat."

Cia Sin Liong memeriksa luka itu. "Hemm kau telah mendorong racunnya keluar. Bagus sekali. Eh, Thian Sin, berapa banyak orang yang telah kaubunuh?"

Ditanya secara tiba-tiba seperti itu, wajah Thian Sin berubah, akan tetapi ditekannya perasaan hatinya.

"Saya... saya tidak tahu, ayah..., mereka mengeroyok dan saya membela diri sedapat saya..."

"Ayah, Sin-te hampir saja celaka, sudah terjebak dalam jala dan digantung, nyaris dibakar hidup-hidup."

"Untung Tiong-ko segera datang sehingga dapat menolong saya dan kami berdua lalu mengamuk dan mengalahkan mereka..."

Cia Sin Liong menarik napas panjang. Tentu saja dia tahu akan semua itu. Tadi dia telah menyusul mereka dan diam-diam dia menonton semua yang terjadi. Dia sengaja tidak turun tangan dan membiarkan saja segala sepak terjang Thian Sin dan Han Tiong dan dia melihat pula perbedaan antara puteranya sendiri dan putera angkatnya itu. Hatinya khawatir menyaksikan keganasan Thian Sin dan diapun kagum melihat keberaniannya ketika telah tertawan namun masih amat berani itu. Dan melihat betapa Han Tiong amat melindungi dan membela adiknya, maka Cia Sin Liong diam saja tidak mau mendesak lebih jauh tentang pembunuhan yang dilakukan Thian Sin itu. Dia hanya bertanya tentang pertempuran itu. Thian Sin lalu menceritakan dengan panjang lebar tentang pertempuran itu, akan tetapi tentu saja tidak berani bercerita bahwa dia telah mempergunakan Thi-khi-i-beng. Kepada Han Tiong telah diceritakannya segala hal, bahkan juga tentang penggunaan Thi-khi-i-beng dan untuk itu, Han Tiong telah menegurnya.

Terhadap kakaknya, dia sama sekali tidak ingin dan tidak bisa menyembunyikan sesuatu, bahkan baru lega rasa hatinya kalau dia sudah menceritakan hal yang membuat hatinya tertekan kepada kakaknya. Semenjak terjadinya peristiwa itu, Cia Sin Liong makin tekun menyuruh dua orang muda itu berlatih silat di bawah pengawasannya. Dia melihat betapa semenjak terjadinya peristiwa itu, Thian Sin kelihatan banyak sekali duduk termenung dengan wajah yang membayangkan kedukaan dan kekecewaan. Maka sebagai seorang yang sudah banyak pengalaman, dia dapat menduga bahwa pemuda yang romantis itu tentu mengalami patah hati yang agak parah karena hal itu terjadi untuk kedua kalinya. Maka satu-satunya jalan sebagai pengobatan adalah menyuruhnya berlatih sebanyak mungkin, latihan ilmu silat dan berlatih siulian untuk menghimpun sin-kang.

Pada suatu hari, masih pagi-pagi sekali, Sin Liong telah mengamati dua orang puteranya yang sudah asyik berlatih silat di dalam lian-bu-thia (ruangan berlatih silat). Dua orang pemuda itu bertelanjang dada, hanya memakai celana dan sepatu. Tubuh mereka yang muda itu nampak padat kuat dan penuh dengan tenaga yang membayang pada otot-otot mereka. Sungguh amat menyenangkan dan mengagumkan menyaksikan kedua orang pemuda itu berlatih silat. Gerakan Thian Sin demikian cekatan, lincah dan indah, sebaliknya gerakan Han Tiong demikian mantap, tenang dan kokoh kuat seperti batu karang. Kalau dapat dibuat perbandingan, gerakan Thian Sin seperti gerakan ombak samudera yang gelombang dan tak kenal henti, sebaliknya Han Tiong bagaikan batu karang di tepi samudera yang kokoh kuat. Namun keduanya memiliki daya kekuatan masing-masing dan terasa sekali oleh Cia Sin Liong yang menonton dua orang puteranya yang sedang berlatih itu, menonton sambil berdiri dan memangku tangan.

Pada saat itu, sambil mengeluarkan pekik melengking, Thian Sin meloncat dan menyerang dengan tendangan yang disusul dengan cengkeraman tangan kanan, seperti seekor harimau yang menubruk mangsanya. Namun Han Tiong dengan tenangnya menangkis tendangan itu dan sudah siap menghadapi cengkeraman adiknya yang dielakkannya dengan merendahkan tubuh lalu tangan kanannya yang tadi menangkis tendangan kini memukul dari bawah ke arah pusar lawan. Thian Sin juga dapat menangkis dan selanjuthya dua orang pemuda itu saling serang dengan hebatnya. Angin pukulan berdesir-desir terasa di seluruh lian-bu-thia itu dan diam-diam Pendekar Lembah Naga menonton dengan hati puas dan bangga. Akan tetapi di samping kebanggaan ini juga timbul kekhawatiran di dalam hatinya melihat bahwa pada wajah Thian Sin masih jelas terbayang kedukaan yang mendalam itu. Dia melihat bahwa tidak percuma dia menggembleng dua orang muda itu karena ternyata semua ilmu silat yang mereka pelajari telah mendekati kesempurnaan dan agaknya tidak berselisih jauh dengan dia sendiri.

Tentu saja mereka itu masih belum memiliki kematangan pendekar dan masih membutuhkan banyak pengalaman. Akan tetapi jelaslah bahwa jarang ada tokoh kang-ouw yang akan mampu menandingi mereka! Tak lama kemudian, Bhe Bi Cu, isteri pendekar sakti ini, muncul dan menonton pula. Dan wanita yang cerdas inipun dapat melihat kedukaan yang membayang pada wajah tampan anak angkat mereka, maka diapun memberi isyarat kepada suaminya dan mereka berdua meninggalkan lian-bu-thia untuk duduk di ruangan dalam, di mana mereka membicarakan keadaan Thian Sin.

"Dia agaknya tidak dapat melupakan gadis itu," kata Bi Cu setelah mereka berdua saja di dalam kamar.

"Ah, dia amat lemah menghadapi wanita seperti mendiang ayahnya," kata Sin Liong.

"Dia amat mudah jatuh hati, mudah sekali sakit hati, mudah mendendam, akan tetapi juga mudah melupakan. Buktinya, dia dahulu juga berduka karena ditinggal Cu Ing, akan tetapi kini dia sudah melupakannya, dan dia jatuh hati kepada Hwi Leng. Aku yakin bahwa kalau dia bertemu dengan gadis lain yang dapat memikat hatinya, diapun akan lupa kepada Hwi Leng." kata Bi Cu dengan hati tidak puas.

Sin Liong menarik napas panjang, teringat dia akan mendiang Ceng Han Houw yang juga sudah biasa mempermainkan wanita dan berganti-ganti pacar. "Pemuda seperti dia itu sebaiknya cepat dicarikan jodoh dan dinikahkan."

Bi Cu mengerutkan alisnya. "Mungkinkah seorang pemuda seperti dia dicarikan jodoh begitu saja? Tanpa persetujuan dan kecocokan hatinya sendiri, agaknya hal itu tidak mungkin dilakukan, juga belum tentu akan menjadi sebuah perkawinan yang bahagia."

"Tentu saja harus atas persetujuannya. Ah, aku teringat sekarang. Bukankah Lan-moi mempunyai seorang anak perempuan? Siapa namanya? Ah, aku lupa lagi..."

"Namanya Ciu Lian Hong, akan tetapi dia masih kecil, masih kanak-kanak!" kata Bhe Bi Cu yang juga teringat, bahkan dia ingat pula akan nama anak itu, anak dari Kui Lan dan Ciu Khai Sun, seorang anak perempuan yang mungil dan lembut.

"Aihh, masih kanak-kanak kan ketika kita ke sana dulu. Semenjak itu, tujuh tahun telah lewat, apa kau sudah lupa? Tentu dia sudah belasan tahun usianya sekarang!"

"Benar, akan tetapi paling banyak hanya baru tiga belas tahun usianya, masih belum dewasa benar."

"Betapapun juga, usia belasan tahun tak dapat dinamakan anak-anak lagi dan kalau sudah berkenalan dengan anak itu, tentu dapat dirundingkan. Siapa tahu, seorang di antara mereka ada yang cocok dan suka..."

"Seorang di antara mereka?"

"Ya, bukankah kita harus pula mencarikan jodoh atau calon jodoh untuk Han Tiong? Dan andaikata seorang di antara mereka cocok dengan puteri Lan-moi, alangkah baiknya kalau kita berbesan dengan Ciu Khai Sun dan isterinya!"

"Hemm, lalu maksudmu bagaimana?"

"Tiong-ji dan Sin-ji sudah cukup dewasa dan kulihat ilmu silat mereka sudah cukup baik, hanya tinggal mematangkan dengan pengalaman saja. Untuk mengusir kedukaan yang menggoda hati Thian Sin, sebaiknya kalau mereka berdua itu kusuruh pergi melakukan perjalanan jauh. Mengunjungi kakek mereka di Cin-ling-san, berpesiar ke kota raja, dan kemudian mengunjungi bibi mereka di Lok-yang, berkenalan dengan anak-anak Lan-moi dan Lin-moi. Bukankah itu baik sekali?"

"Ah, dan membiarkan mereka itu menghadapi dunia yang begitu kejam, di mana banyak terdapat orang-orang jahat yang lihai? Ingat, di dunia kang-ouw kini muncul raja-raja kaum sesat seperti Pak-san-kui dan yang lain-lain..." kata Bi Cu khawatir.

"Ah, justeru karena keadaan di dunia banyak kekacauan dan banyak bahaya itulah, maka perlu mereka untuk meluaskan pengalaman mereka di dunia kang-ouw. Mereka bukan anak-anak kecil lagi, isteriku, agar kauingat ini. Mereka sudah dewasa dan ilmu kepandaian mereka sudah boleh diandalkan."

Demikianlah, Pendekar Lembah Naga itu memberi tahu kepada dua orang pemuda itu akan rencananya dan tentu saja Han Tiong dan Thian Sin menyambut rencana itu dengan kegembiraan. Mereka diperbolehkan melakukan perantauan ke kota raja malah! Mereka menerima banyak nasihat dari suami isteri pendekar itu, bahkan mendengar penuturan Sin Liong tentang datuk-datuk kaum sesat, tentang orang-orang gagah di dunia kang-ouw dan tentang bahaya-bahaya yang mungkin akan mereka jumpai di dalam perantauan.

"Ingat baik-baik," demikian antara lain pendekar itu memberi nasihat, "sebagai orang-orang yang membela keadilan dan kebenaran, di mana kalian berada, kalian harus membela orang-orang lemah tertindas. Akan tetapi, kalian tidak boleh mempergunakan ilmu untuk membunuh orang, betapapun jahat orang itu, karena perbuatan itu akan sama jahat dan kejamnya dengan perbuatan para penjahat itu sendiri. Kalian tentu saja dalam membela orang-orang lemah harus menentang tindakan sewenang-wenang dari mereka yang kuat, akan tetapi cukup kalau kalian memberi ingat, baik dengan kasar maupun halus agar mereka itu tidak melanjutkan perbuatannya. Sedapat mungkin, hindarkan perkelahian, hindarkan pemukulan untuk melukai orang, apalagi membunuhnya. Mengertikah kalian?"

Biarpun kata-katanya memperingatkan dua orang pemuda itu, namun pandang mata pendekar ini ditujukan terutama kepada Thian Sin. Dua orang muda itu mengangguk. Setelah membuat persiapan-persiapan, tiga hari kemudian berangkatlah Han Tiong dan Thian Sin meninggalkan Lembah Naga. Hati mereka diliputi kegembiraan dan senanglah Han Tiong melihat betapa wajah adiknya yang semenjak kematian Hwi Leng selalu membayangkan kemuraman itu kini berseri-seri penuh kegembiraan. Mereka berangkat dengan hati lapang, seperti dua ekor burung yang baru terlepas dari sarang, diikuti pandang mata Pendekar Lembah Naga dan isterinya sampai bayangan kedua orang muda itu lenyap di sebuah tikungan.

***

Melihat adiknya melakukan perjalanan dengan sikap gembira sekali Han Tiong ikut merasa gembira. Ketika mereka mengaso di tepi sebuah hutan karena senja mulai tiba dan mereka mengisi perut dengan roti kering yang mereka bawa sebagai bekal, kemudian bersama dengan datangnya malam gelap mereka membuat api unggun, keduanya duduk di dekat api unggun yang hangat sambil bercakap-cakap.

"Engkau senangkah melakukan perjalanan ini, Sin-te?"

"Tentu saja, apakah engkau juga tidak merasa senang, Tiong-ko? Aku merasa seperti seekor burung keluar dari sarang terbang bebas di udara. Melihat dunia di depan terbentang luas, hati siapa tidak menjadi gembira?"

Han Tiong tersenyum. Kalau pada hari-hari kemarin dia tidak mau mengusik urusan lampau karena adiknya itu sedang dalam duka, maka kini dia menganggap sudah waktunya untuk bertukar pikiran tentang segala peristiwa yang dialami adiknya itu.

"Selama beberapa pekan ini engkau di rumah nampak berduka dan kecewa. Apakah kematian Hwi Leng yang membuat engkau menjadi demikian berduka, adikku?"

Thian Sin menggeleng kepala, membuat kakaknya terheran. "Hwi Leng sudah mati, hal itu tidak mungkin berubah biar aku akan menangis air mata darah sekalipun. Aku hanya merasa menyesal melihat betapa semua pelajaran tentang kebaikan yang kita terima dari Paman Hong San Hwesio maupun dari ayah, atau dari kitab-kitab, ternyata tidak ada gunanya sama sekali."

"Eh? Apa maksudmu?" Han Tiong memandang tajam penuh selidik, terkejut mendengar ucapan itu.

"Maksudku? Aku bersusah payah menahan segala nafsu, bersusah payah menjadi orang baik menurut semua pelajaran itu, namun ternyata, akibatnya hanya merugikan diri sendiri belaka."

"Hemm, aku masih belum mengerti."

"Coba engkau ingat akan halnya Cu Ing dan Hwi Leng, Tiong-ko. Andaikata aku tidak mentaati semua pelajaran Paman Hong San Hwesio, andaikata dahulu aku tidak bersikap alim, andaikata aku tidak menahan nafsu dan aku mengajak Cu Ing pergi bersamaku, menjadikannya sebagai isteriku, tentu dia tidak akan dibawa pergi oleh orang tuanya dan dikawinkan dengan orang lain. Demikian pula dengan Hwi Leng, andaikata dia kuajak hidup bersama, tentu dia tidak sampai dapat disiksa sampai mati oleh penjahat-penjahat itu!"

"Ah, omongan apa yang kaukeluarkan ini, Sin-te?" Han Tiong memandang dengan sinar mata tajam dan sejenak mereka saling bertentangan pandang mata, akan tetapi akhirnya Thian Sin menunduk.

"Maafkan aku, Tiong-ko."

Han Tiong menyentuh lengan adiknya dan berkata, suaranya penuh kesabaran dan juga mengandung teguran halus, "Adikku, pendapatmu itu sungguh merupakan pendapat yang keliru sama sekali. Pendapatmu itu hanya didasarkan rugi untung, susah senang bagi dirimu sendiri belaka. Engkau kecewa karena Cu Ing dikawinkan dengan orang lain sehingga engkau kehilangan, demikian pula engkau menyesal karena dengan matinya Hwi Leng, engkau merasa dirugikan. Sesungguhnya engkau tidak mencinta dua orang dara itu, adikku, melainkan mencinta dirimu sendiri, ingin memuaskan nafsu sendiri, maka ketika hal itu tidak terjadi, engkau merasa kecewa dan menyesal."

Thian Sin kelihatan terkejut mendengar ucapan itu. "Apa... maksudmu? Tiong-ko, engkau tahu bahwa aku benar-benar mencinta mereka!"

Han Tiong menggeleng kepala. "Kalau engkau mencinta Cu Ing, engkau tentu harus bersyukur bahwa gadis itu tidak melakukan hal yang mendatangkan aib bagi keluarganya dan bahwa dia kini telah menikah dengan calon suami yang telah dipertunangkan dengan dia sejak kecil. Dan tentang Hwi Leng, dia matipun hanya sebagai akibat dari keadaan hidupnya. Ingat, dia adalah puteri seorang anggauta Jeng-hwa-pang, maka tentu saja dia dianggap pengkhianat dan dibunuh. Memang dia patut dikasihani karena menjadi korban keadaan, seperti juga Cu Ing patut dikasihani, karena menjadi korban adat-istiadat pula. Kalau engkau merasa kasihan kepada mereka, hal itu memang sewajarnya. Akan tetapi kalau engkau menyesal karena engkau merasa dirugikan dengan perginya mereka itu dari sampingmu, berarti engkau hanya memikirkan diri sendiri belaka."

Thian Sin mengangguk-angguk. "Aku mulai mengerti, Tiong-ko, dan aku mulai dapat menangkap kebenaran kata-katamu. Memang, agaknya aku terlalu mementingkan diri sendiri saja."

"Bagus, adikku. Berbahagialah orang yang dapat melihat kesalahan diri sendiri. Engkau agaknya terlalu peka, terlalu perasa sehingga engkau mudah jatuh cinta, mudah patah hati. Kuharap saja kelak engkau akan lebih berhati-hati, karena seorang pendekar tidak semestinya sedemikian lemahnya, Sin-te. Hidup ini memang mengandung lebih banyak seginya yang kelabu, akan tetapi hal itu tidak semestinya melemahkan hati seorang pendekar. Kita harus dapat menanggulangi segala persoalan yang betapa pahitpun dengan tabah. Bukankah demikian ajaran-ajaran yang selama ini kita terima?"

Thian Sin memegang lengan kakaknya dan memandang dengan wajah berseri. "Jangan khawatir, adikmu ini telah melihat kesalahannya dan tidak akan mengulang kebodohannya lagi."

Thian Sin lalu mengeluarkan suling dari buntalan pakaiannya dan tak lama kemudian, di malam yang sunyi itu terdengarlah alunan suara tiupan suling yang merdu. Han Tiong tersenyum girang dan dia seperti dibuai oleh suara suling itu sehingga akhirnya dia tertidur pulas di bawah pohon dekat api unggun.

Karena perjalanan itu melalui perbatasan di luar Tembok Besar yang menjadi sarang perkumpulan Jeng-hwa-pang, maka Han Tiong mengajak adiknya untuk singgah di tempat itu. Perkampungan Jeng-hwa-pang itu masih ada dan ketika mereka memasuki pintu gerbang, mereka melihat bahwa perkampungan itu ditempati oleh sedikitnya tiga puluh orang anggauta Jeng-hwa-pang. Sebaliknya, melihat munculnya dua orang pemuda ini, para anggauta Jeng-hwa-pang itu lari ketakutan.

"Harap kalian jangan lari! Kami datang dengan damai!" Han Tiong berseru nyaring dan mereka yang mendengarnya itu menjadi terheran-heran, akan tetapi dengan muka masih pucat dan sikap yang gentar mereka berhenti dan menghampiri dua orang muda yang amat mereka takuti itu.

Han Tiong dan Thian Sin tersenyum melihat sikap mereka. "Kami bukan datang sebagai musuh," kata Thian Sin.

"Kami hanya kebetulan lewat dan ingin melihat keadaan di sini." Tiba-tiba seorang di antara para anggauta Jeng-hwa-pang itu menjatuhkan diri berlutut ke arah dua orang muda itu dan semua orang yang berada di situ mengikuti contoh ini. Mereka semua berlutut.

"Ji-wi taihiap harap sudi memaafkan kami semua..." kata orang itu.

Han Tiong saling pandang dengan Thian Sin, dan tersenyum, "Bangkitlah, kalian tidak perlu berlutut. Kami datang hanya untuk menjenguk dan ingin tahu apa jadinya dengan tempat ini. Ternyata kalian masih tinggal di sini. Apakah Jeng-hwa-pang masih tetap berdiri di sini dan menggunakan tempat ini sebagai markas?"

"Tidak, tidak, taihiap. Para pimpinan telah meninggalkan kami. Kami adalah anggauta-anggauta yang tidak mempunyai tempat tinggal lain, maka terpaksa kami kembali ke sini dan tinggal di sini." jawab orang pertama.

Kini dua orang muda itu melihat wanita dan anak-anak bermunculan dari balik pondok-pondok itu. Tentu keluarga orang-orang Jeng-hwa-pang itu, pikir mereka. Kemudian orang itu menceritakan bahwa semenjak sarang Jeng-hwa-pang itu diobrak-abrik oleh dua orang pemuda Istana Lembah Naga itu, ketua mereka, Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam tidak pernah kembali lagi, entah telah lari ke mana. Dan karena para anak buah Jeng-hwa-pang banyak yang tidak mempunyai tempat tinggal, maka mereka itu berturut-turut kembali ke situ setelah melihat bahwa keadaan aman kembali. Akan tetapi banyak juga di antara anak buah Jeng-hwa-pang yang melarikan diri ke selatan. Hanya mereka yang mempunyai keluarga saja tidak berani untuk menyeberangi Tembok Besar ke selatan.

Setelah mendengar penuturan mereka itu, Han Tiong memandang ke sekeliling tempat itu. Keadaan mereka cukup baik dan tentu ketua Jeng-hwa-pang itu meninggalkan banyak juga harta benda untuk mereka.

"Saudara-saudara sekalian, dengarkanlah baik-baik. Kalian adalah manusia-manusia yang tiada bedanya dengan kami dan dengan manusia-manusia lain. Saudara-saudara juga memiliki anak isteri, berarti saudara-saudara mempunyai tanggung jawab. Oleh karena itu, kami harap mulai saat ini kalian semua suka mengubah cara hidup kalian, menjauhi pekerjaan yang jahat dan jangan sekali-kali mempergunakan ilmu kepandaian untuk mencelakakan orang lain. Kalian dapat bekerja sebagai petani, atau dengan modal yang ada, kalian dapat berdagang, atau dapat juga bekerja sebagai pengawal-pengawal para saudagar yang melewati Tembok Besar. Kalau kalian menjadi orang-orang yang bekerja sebagaimana mestinya, tidak lagi menjadi penjahat, tentu kalian akan dapat hidup dengan aman. Akan tetapi kalau kalian kembali kepada pekerjaan yang dulu dan suka mengganggu orang lain, kelak apabila kami lewat di sini lagi, sudah pasti kami akan turun tangan menghajar kalian dan mengusir kalian dari tempat ini."

Orang-orang itu segera memberi hormat dan dengan suara riuh mereka menyatakan taat akan pesan pendekar muda itu. Kemudian dua orang pemuda itu lalu meninggalkan sarang Jeng-hwa-pang, atau lebih tepat lagi, perkampungan baru itu karena mereka semua tentu tidak mau lagi mempergunakan nama Jeng-hwa-pang, dan melanjutkan perjalanan mereka menyeberangi Tembok Besar.

Melihat betapa wajah Thian Sin nampak tidak puas, Han Tiong bertanya, "Ada apakah, Sin-te?"

"Tiong-ko, aku tidak percaya bahwa mereka itu akan mau kembali ke jalan benar. Mereka adalah orang-orang jahat, dan di depan kita karena mereka merasa takut, tentu saja mereka berjanji akan mentaati pesanmu. Akan tetapi kelak, aku yakin bahwa mereka itu akan kembali menjadi penjahat, apalagi kalau ada yang memimpin mereka."

"Hemm, habis kalau menurut pendapatmu, bagaimana? Apa yang harus kita lakukan tadi?"

"Kurasa lebih baik menghajar agar mereka takut benar-benar, dan membubarkan mereka. Karena dengan berkelompok mereka itu akan menjadi lebih berani untuk melakukan kejahatan lagi. Orang-orang kejam dan jahat seperti mereka itu tidak boleh diberi hati, Tiong-ko!"

Han Tiong tersenyum, "Sin-te, mengapa engkau begitu keras terhadap orang-orang yang pernah melakukan penyelewengan dalam hidupnya? Lupakah engkau akan wejangan Paman Hong San Hwesio? Orang yang melakukan penyelewengan, yang kita namakan orang jahat, adalah seorang yang sedang menderita penyakit. Bukan tubuhnya yang sakit, melainkan batinnya. Nah, kalau kita menghadapi orang yang sakit, sebaiknya kita beri obat, bukan? Ingat, orang yang sedang menderita sakit itu dapat sembuh, adikku, sedangkan kita yang sekarang ini sedang sehat, bisa saja sewaktu-waktu jatuh sakit! Betapapun juga, manusia adalah mahluk yang amat lemah, baik badan maupun batinnya. Itulah sebabnya kita harus mengasihani mereka, adikku, bukan membenci mereka."

"Mengasihani orang jahat?"

"Tentu saja, karena mereka itu sedang menderita sakit..."

"Dan kalau ada orang jahat membunuh ayah bunda kita, kekasih kita, harus pula kita kasihani penjahat itu?"

Dibantah seperti ini, Han Tiong tidak mampu menjawab karena dia merasa tidak enak untuk membantah. Dia tahu bahwa pertanyaan itu timbul dari hati yang mendendam atas kematian ayah bunda adiknya ini, juga kematian kekasihnya. Tentu saja dia tidak mau mengingatkan adiknya bahwa ayahnya itu mati karena akibat daripada perbuatannya sendiri! Demikianlah pula Hwi Leng tewas karena keadaan lingkungan hidupnya. Akan tetapi, untuk diam saja pun tidak enak, maka dia memperoleh jawaban yang dianggapnya tepat.

"Adikku, apakah sesungguhnya yang aneh dari kematian orang-orang yang hidup sebagai pendekar? Baik mendiang ayah bundamu, maupun Hwi Leng, mereka adalah orang-orang yang sejak kecil berkecimpung di dunia kang-ouw dan karenanya sudah tentu mempunyai banyak musuh-musuh. Kurasa tidak ada yang harus menjadi penasaran. Andaikata kita sewaktu-waktu tewas di tangan orang yang memusuhi kita, bukankah hal itu sudah wajar dan tidak perlu dijadikan dendam?"

"Aku mengerti Tiong-ko. Akan tetapi agaknya engkau tidak dapat merasakan penderitaan seorang anak yang kehilangan kedua orang tuanya, terbunuh oleh orang-orang jahat."

Han Tiong tidak mau membantah lagi karena hal itu hanya akan mendatangkan perasaan yang tidak enak saja. Maka diapun mengajak adiknya bicara tentang hal-hal lain. Mereka segera melupakan bahan percakapan yang tidak menyenangkan itu dan melanjutkan perjalanan dengan gembira karena pemandangan di sepanjang perjalanan, melalui bukit-bukit itu amat mempesonakan. Biarpun mereka berdua pernah melakukan perjalanan ke kota raja pada tujuh tahun yang lalu bersama Cia Sin Liong dan isterinya ketika mereka kembali dari Kuil Thian-to-tang, namun ketika itu selain telah lewat lama sekali, juga mereka tidak begitu lama berada di kota raja. Dan Han Tiong sendiri yang pernah datang ke Cin-ling-pai bersama orang tuanya, adalah ketika dia baru berusia sebelas tabun. Oleh karena perjalanan itu amat jauh, dan dia sama sekali sudah tidak lagi ingat jalannya, sebelum mereka berangkat, Cia Sin Liong telah memberi petunjuk tentang tempat-tempat yang akan mereka lalui. Pertama-tama, mereka akan memasuki kota raja lebih dulu, melihat-lihat di kota besar itu dengan pesan dari Cia Sin Liong agar di kota raja mereka tidak sampai terlibat dalam perkelahian karena selain di tempat itu banyak terdapat orang pandai, juga jangan sampai mereka memancing perhatian para penjaga keamanan kota raja dan istana. Kemudian, mereka diharuskan pergi ke Cin-ling-san yang berada di Propinsi Shen-si selatan, setelah itu barulah mereka harus ke timur dari Propinsi Shen-si, memasuki Propinsi Ho-nan untuk pergi ke kota Lok-yang tempat tinggal Ciu Khai Sun.

"Kalian boleh pergi merantau sampai satu tahun," demikianlah pesan Cia Sin Liong.

"Waktu itu sudah lebih dari cukup bagi kalian untuk mengunjungi tiga tempat itu dan meluaskan pengetahuan kalian. Jangan terlalu lama di kota raja, yang penting mengunjungi keluarga kakek kalian di Cin-ling-san, kemudian mengunjungi bibi kalian di Lok-yang. Di sana kalian boleh tinggal agak lama."

Di antara banyak pintu gerbang yang memasuki kota raja, pintu gerbang utara merupakan pintu gerbang yang selain tebal dan kuat, juga terjaga paling ketat. Hal ini adalah karena sejak dahulu, pintu gerbang ini yang paling sering mengalami gempuran-gempuran dan serbuan-serbuan musuh yang datang dari utara dan bagi kerajaan itu, bahaya yang paling besar dan tak pernah dapat diabaikan adalah bahaya yang datangnya dari utara, dari luar Tembok Besar. Dan tidaklah aneh karena kota raja itu terletak paling dekat dengan perbatasan utara sehingga penyerbuan musuh dari utara akan dapat langsung memasuki kota raja, tidak seperti penyerbuan dari jurusan lain yang harus melampaui daratan luas, melalui propinsi-propinsi sehingga sebelum bahaya tiba di kota raja, sudah terlebih dahulu kota raja akan mendengar dan akan mempersiapkan diri.

Pada waktu itu, Kerajaan Beng-tiauw sedang mengalami masa jayanya. Perjalanan atau pelayaran Panglima The Hoo pada puluhan tahun yang lalu agaknya mendatangkan hubungan yang luas dan akrab dengan negara-negara lain di seberang lautan sehingga hubungan dagang dapat diperbesar, baik dengan negara-negara barat sampai ke India dan Arabia, juga dengan negara-negara di selatan, bahkan sampai ke Kepulauan Indoesia, yaitu Sumatera dan Jawa. Bukan hanya itu saja, bahkan kemakmuran dan kebesaran nama Kerajaan Beng-tiauw menarik pula minat orang-orang kulit putih yang mulai mempererat pula hubungan mereka. Terutama sekali bangsa Portugis yang memang sudah sejak puluhan tahun menjadi orang kulit putih pertama yang datang ke Tiongkok untuk berdagang.

Biarpun penjagaan di pintu gerbang utara amat ketat, namun dua orang muda yang masih remaja, berpakaian patut, bersikap sopan dan lebih pantas menjadi pelajar-pelajar yang kaya, seperti Han Tiong dan Thian Sin, tidak menimbulkan kecurigaan dan mereka dapat memasuki kota raja dengan mudah.

Cia Sin Liong adalah seorang pendekar yang pernah berjasa terhadap kerajaan. Bahkan secara resmi Kaisar Ceng Hwa telah mengangkat pendekar itu menjadi Pendekar Lembah Naga, julukan yang diberikan sendiri oleh kaisar dan oleh karena itu terkenal di seluruh dunia kang-ouw, bahkan pendekar itu dihadiahi Istana Lembah Naga oleh kaisar dan harta benda yang amat banyak. Hanya karena pendekar itu menolak saja maka dia tidak menjadi seorang panglima, karena andaikata Sin Liong mau, tentu dia sudah diangkat menjadi seorang panglima. Biarpun demikian, pendekar itu tetap saja tidak pernah mau menonjolkan diri, apalagi mendekatkan diri dengan kerajaan. Kepada dua orang puteranya yang juga tahu bahwa ayah mereka merupakan seorang yang ternama di kota raja, dia memesan agar jangan memperkenalkan diri sembarangan dan agar jangan sampai berhubungan dengan kerajaan.

Han Tiong mentaati pesan ayahnya, karena dia sendiripun adalah seorang pemuda yang sederhana batinnya, tidak suka akan nama besar dan kesohoran, maka diam-diam dia menyetujui sikap ayahnya yang menjauhkan diri dari kemuliaan dan kedudukan. Sudah banyak dibacanya dalam kitab-kitab sejarah betapa kemuliaan dan kedudukan itu hanya memancing datangnya permusuhan karena banyak yang merasa iri hati.

Akan tetapi tidak demikian dengan Thian Sin. Diam-diam pemuda ini merasa tidak puas. Betapapun juga, dia tahu bahwa mendiang ayah kandungnya adalah saudara kaisar! Biarpun berlainan ibu, akan tetapi seayah! Jadi, betapapun juga, dia adalah keponakan yang langsung dari kaisar yang sekarang, sedarah karena nama keturunannya masih sama! Akan tetapi, di samping ini, diapun tahu bahwa ayahnya tewas karena kaisar yang menjadi pamannya ini pula, mengirim pasukan untuk "menghukum" ayahnya sebagai pemberontak. Dia memang menyesalkan hal ini, kenyataan bahwa ayahnya menjadi pemberontak, dan dia tidak merasa sakit hati kepada kaisar yang menjadi pamannya itu, melainkan kepada mereka yang turun tangan membunuh ayah bundanya.

Biarpun di dalam hati mereka berdua terdapat perbedaan yang amat besar, namun keduanya memandang dengan wajah berseri gembira ketika mereka memasuki kota raja dan melihat bangunan-bangunan besar dan indah, jalan-jalan raya yang lebar dan ramai dengan lalu-lintas, toko-toko yang serba lengkap, restoran besar dan pakaian-pakaian orang yang serba indah. Mereka berdua adalah pemuda-pemuda yang sejak kecil tinggal di tempat sunyi, bahkan jarang berjumpa dengan orang lain, maka kini memasuki sebuah kota besar seperti kota raja, tentu saja mereka merasa kagum sekali.

"Sin-te, mari kita mencari tempat penginapan lebih dulu," kata Han Tiong kepada adiknya.

"Mengapa kita tidak putar-putar dan melihat-lihat dulu, Tiong-ko? Kita tidur di mana saja, di kuil juga boleh, kan? Lebih aman dan tidak menyolok," kata Thian Sin.

"Tidak, adikku. Justeru kalau bermalam di kuil tua atau sebagainya, lebih banyak kemungkinan bagi kita untuk bertemu dengan orang-orang kang-ouw dan bahkan menimbulkan kecurigaan karena pakaian kita seperti pelajar-pelajar yang melancong, bukan seperti orang kang-ouw. Pula, tidak enak kalau berjalan-jalan sambil menggendong buntalan pakaian seperti ini, menjadi perhatian orang saja. Kita cari kamar, menyimpan buntalan pakaian, baru kita jalan-jalan," jawab Han Tiong dan seperti biasa, Thian Sin menyetujui.

Memang pemuda ini selalu taat kepada Han Tiong, bukan taat secara terpaksa, karena dia selalu dapat melihat bahwa kakaknya itu benar dan tepat. Di dalam hatinya, Thian Sin amat sayang kepada Han Tiong, sayang dan tunduk, juga kagum karena kakaknya itu dianggap memiliki batin yang amat kuat sekali, tidak seperti dia yang mudah tunduk dan mudah terpengaruh. Juga dia tahu bahwa kalau mereka sama-sama mempergunakan ilmu simpanan mereka, dia tidak akan menang melawan kakaknya. Biarpun Pendekar Lembah Naga sendiri menyembunyikan dan menganggapnya sebagai rahasia, namun di antara dua orang kakak dan adik ini tidak ada rahasia apa-apa dan mereka saling menceritakan tentang ilmu-ilmu simpanan yang mereka pelajari dari ayah mereka. Mereka tidak merasa saling iri hati, karena mereka sudah tahu bahwa dua macam ilmu itu, yaitu Thi-khi-i-beng dan Cap-sha-ciang atau lengkapnya Hok-mo Cap-sha-ciang hanya boleh diturunkan kepada satu orang saja. Bahkan dengan terus terang Han Tiong menceritakan bahwa diapun diberi pelajaran ilmu totok It-sin-ci yang dapat menghadapi Thi-khi-i-beng itu kepada adiknya. Hal inipun tidak membuat Thian Sin menjadi kecil hati. Bagi dia, kalah oleh Han Tiong merupakan hal yang sudah wajar dan semestinya.

Mereka menyewa sebuah kamar di losmen sederhana dan setelah mandi dan berganti pakaian, mereka lalu pergi keluar berjalan-jalan meninggalkan buntalan pakaian di dalam kamar yang terkunci dan membawa semua uang bekal mereka dalam saku. Karena kini mereka tidak menggendong buntalan, maka keadaan mereka semakin tidak menarik perhatian karena mereka tiada bedanya dengan dua orang pemuda kota raja yang sedang berjalan-jalan makan angin di sore hari itu.

Setelah berputar-putar di tempat-tempat ramai, akhirnya mereka merasa lapar dan memasuki sebuah rumah makan dari mana keluar bau masakan yang amat gurih dan sedap.

Ketika mereka memasuki rumah makan itu, ternyata restoran itu mempunyai ruangan yang cukup luas, bahkan ada ruangan lain di loteng dari mana para tamu sambil makan dapat melihat lalu-lintas di depan restoran. Thian Sin mengajak kakaknya naik ke loteng.
Ternyata di ruangan atas itu sudah ada beberapa tamunya, ada yang sedang makan, ada pula yang agaknya masih menanti pesanan mereka, ada yang minum arak sambil makan gorengan-gorengan, sedangkan beberapa orang muda duduk di tepi loteng sambil minum-minum dan memandang ke arah jalan raya, tentu saja pandang mata mereka selalu diarahkan kepada wanita-wanita muda yang kebetulan lewat jalan itu.

Dua orang muda itu menyapu ruangan itu dengan pandang mata mereka. Hanya ada seorang tamu yang menarik perhatian mereka, yaitu seorang pria berusia kurang lebih dua puluh tahun yang duduk di sudut ruangan seorang diri, menghadapi seguci arak dan sebuah cawan dan beberapa piring gorengan dan kacang. Pemuda itu memakai topi bulu tebal, pakaiannya mewah dan melihat keadaannya, dia seperti seorang pemuda hartawan yang royal.

Wajahnya tampan dan sepasang matanya tajam. Akan tetapi yang menarik perhatian dua orang pemuda itu, terutama sekali perhatian Thian Sin, adalah sebuah alat musik yang-kim yang kecil dan terletak di atas meja. Thian Sin adalah seorang pemuda yang suka sekali akan seni suara, pandai bertiup suling dan pandai bernyanyi. Ketika dia berada di Kuil Thian-to-tiang, dari seorang hwesio dia pernah pula belajar memainkan yang-kim, maka kini melihat ada seorang pemuda tampan membawa yang-kim, dia tertarik sekali.

Ada sesuatu yang menarik pada yang-kim itu. Selain catnya yang merah darah, juga alat musik itu bentuknya berbeda dengan yang-kim biasa, karena kedua ujungnya berbentuk gagang seperti gagang pedang sedangkan ujung sebelahnya runcing sekali!

Pemuda tampan yang berpakaian mewah itupun melirik ke arah dua orang pemuda remaja itu dan pandang matanya sampai lama menatap wajah Thian Sin yang tampan sekali itu, bibirnya tersenyum dan pandang matanya tidak menyembunyikan rasa kagumnya. Sejenak pandang matanya bertemu dengan pandang mata Thian Sin dan keduanya merasa tertarik. Memang Thian Sin tertarik, bukan oleh ketampanan orang itu, bukan oleh pakaiannya yang mewah, melainkan oleh adanya alat musik yang-kim di atas meja itulah.

Seorang pelayan berjalan menghampiri meja mereka, akan tetapi begitu laki-laki tampan itu menggerakkan ibu jari dan jari tengah tangan kanannya, terdengar suara menyentrik dan pelayan itu menoleh, lalu tersenyum-senyum dan dengan sikap hormat dia menunda kepergiannya ke meja mereka berdua, sebaliknya dengan cepat menghampiri meja
pemuda tampan berpakaian mewah itu, membungkuk-bungkuk.

"Siangkoan-kongcu (tuan muda Siang-koan) hendak memesan apa lagikah?" tanya pelayan itu sambil tersenyum ramah dan penuh hormat.

Pemuda tampan itu sudah mencoret-coret sesuatu di atas kertas, lalu menyerahkan kertas bertulis itu kepada pelayan sambil berkata, nada suaranya halus seperti cara bicara seorang terpelajar.

"Sampaikan ini kepada pengurus restoran!"

Pelayan itu melirik ke atas kertas, kedua alisnya terangkat, lalu mengangguk-angguk sambil tersenyum dan memasukkan kertas itu ke dalam saku bajunya. Kemudian dia membalikkan tubuhnya dan hendak pergi meninggalkan ruangan loteng itu, tanpa menoleh kepada meja Thian Sin dan Han Tiong seolah-olah sudah lupa lagi akan datangnya dua orang tamu baru ini.

"Hei, pelayan!" Thian Sin memanggil, suaranya halus akan tetapi cukup nyaring sehingga pemuda mewah itu melirik dan tersenyum.

Pelayan itu cepat menghampiri dan membungkuk-bungkuk, sikapnya hormat. "Kongcu memanggil saya?" tanyanya.

"Tentu saja, kami sudah lapar dan kami hendak memesan makanan dan minuman." kata Thian Sin dan Han Tiong lalu memesan beberapa macam masakan dan nasi dan air teh.

Pelayan itu mengangguk-angguk, membungkuk dan tersenyum sopan, kemudian setelah menerima pesanan itu dia pergi turun dari loteng. Karena maklum bahwa pemuda mewah yang mempunyai yang-kim itu biarpun tidak langsung memandang kepada mereka akan tetapi memperhatikan, Thian Sin dan Han Tiong tidak banyak cakap dan hanya duduk memandang ke arah luar, menanti datangnya pesanan makanan.

Pada saat itu, semua tamu yang berada di loteng itu, tidak kurang dari sepuluh orang banyaknya, semua pria, menoleh dan memandang ke arah tangga yang menghubungkan loteng itu dengan tingkat bawah. Karena tertarik, Han Tiong dan Thian Sin juga mengerling ke arah tangga dan mereka melihat seorang wanita muda yang cantik dan berpakaian mewah pula memasuki loteng itu dengan mulut terseyum-senyum simpul amat manisnya. Wanita itu masih muda, takkan lebih dari sembilan belas tahun usianya, selain cantik manis, juga bentuk tubuhnya padat dan menggairahkan menonjol di balik pakaian yang terbuat dari sutera halus yang mewah. Rambutnya digelung ke atas model rambut puteri bangsawan, dihias dengan pengikat rambut emas permata berkilauan. Ketika tersenyum, sekilas nampak giginya yang putih berkilau, menyaingi hiasan rambutnya.

Semua pria yang berada di loteng itu memandang kagum dan melihat senyum mereka, agaknya mereka semua mengenal wanita ini. Akan tetapi wanita itu menoleh ke arah pemuda yang mempunyai yang-kim, lalu berlari kecil menghampiri lalu menjura dengan lemah lembut dan manis gayanya.

"Ah, maafkan kalau saya terlambat, kongcu." katanya dan dua orang wanita cantik berpakaian pelayan juga sudah naik ke loteng, mengiringkan wanita cantik itu.

"Kalian tunggu saja di bawah," kata wanita cantik itu kepada dua orang pelayannya.

"Siang Hwa, kau baru datang? Duduklah. Engkau hanya terlambat sedikit, wajar bagi seorang wanita cantik, tentu membutuhkan banyak waktu untuk berhias."

"Bukan begitu, Siangkoan-kongcu, akan tetapi ada seorang tamu yang hendak memaksa saya, padahal sudah diberi tahu bahwa saya tidak sempat menerima tamu dan ada keperluan penting. Eh, mungkin dia mengikuti aku ke sini, wah berabe orang itu...!"

Pemuda itu hanya tersenyum. "Duduklah, tenanglah. Nah, minumlah secawan arak untuk menenangkan hatimu."

Wanita muda itu menerima cawan arak dan meminumnya, kemudian tersenyum dan memandang kepada pemuda itu dengan manis. "Kongcu aneh, kenapa tidak datang ke sana, melainkan menyuruh aku datang ke tempat umum begini?"

"Aku ingin engkau bernyanyi dengan iringan yang-kimku di tempat ini..." Mereka lalu bicara lirih-lirih sambil kadang-kadang tersenyum.

Semua orang kini tidak berani lagi memandang ke arah wanita itu setelah melihat betapa wanita itu menjadi "tamu" atau sahabat dari pemuda yang mewah itu. Thian Sin dan Han Tiong mencium bau harum ketika wanita itu lewat di dekat mereka pada saat menghampiri meja pemuda tampan.

Thian Sin memandang kagum. Belum pernah dia melihat seorang wanita secantik ini! Dan dia kagum pula menyaksikan sikap pemuda tampan itu, demikian tenang, demikian penuh wibawa, akan tetapi juga halus dan manis terhadap wanita itu. Sikap seorang laki-laki tulen!

Han Tiong sudah tidak melihat lagi, akan tetapi Thian Sin masih terus memandang ke arah meja mereka dan ketika pemuda mewah itu menoleh dan melihat dia memandang, pemuda itu tersenyum lebar dan mengangguk sedikit. Menyaksikan keramahan ini, mau tidak mau Thian Sin juga menggerakkan sedikit kepalanya sebagai balasan, lalu diapun memutar leher dan menghadapi kakaknya.

Pada saat itu, kembali semua orang menoleh ke arah tangga karena dari situ muncul serombongan pelayan memanggul baki-baki terisi masakan-masakan. Ada empat orang pelayan membawa makanan dan diiringkan oleh pengurus restoran itu sendiri, seorang laki-laki gemuk pendek yang mulutnya terus-menerus tersenyum lebar seolah-olah mukanya pecah menjadi dua.

Tadinya Thian Sin dan Han Tiong mengira bahwa tentu makanan yang banyak itu dipesan oleh pemuda mewah itu untuk menjamu tamunya yang cantik.

Akan tetapi betapa heran rasa hati mereka ketika para pelayan itu, dipimpin oleh pengurus restoran, langsung menghampiri meja mereka dan mengatur semua hidangan itu, lebih dari dua belas mangkok besar banyaknya, ke atas meja di depan mereka.

"Hei, apa artinya ini?" Thian Sin berseru.

"Maaf, kalian tentu telah salah menghidangkan pesanan ini. Semua ini bukan pesanan kami, tentu pesanan orang lain." kata Han Tiong sambil bangkit berdiri.

Pengurus restoran itu menjura dan mulutnya menjadi semakin lebar seperti robek. "Memang benar makanan ini dipesan oleh Siangkoan-kongcu di sana, akan tetapi untuk ji-wi kongcu (tuan muda berdua). Silakan!"

"Tapi... tapi... kami tidak mengenal dia," kata Han Tiong.

Pengurus restoran itu masih tetap tersenyum. "Itu tandanya Siangkoan-kongcu menghargai ji-wi dan mengajak ji-wi untuk berkenalan. Beliau adalah seorang pemuda hartawan yang baik hati, mengenal semua pembesar di istana dan terkenal amat royal, membagi uang seperti pasir saja." Setelah mengangguk dan membungkuk, pengurus restoran itupun meninggalkan meja itu, diiringkan empat orang pelayan.

Han Tiong dan Thian Sin saling pandang, kemudian keduanya bangkit dan menghampiri meja pemuda mewah yang masih nampak mengobrol dengan wanita cantik tadi, seolah-olah tidak melihat sedikit keributan tadi. Akan tetapi ketika dua orang muda itu menghampiri mejanya, diapun cepat menoleh, lalu bangkit dan bersikap hormat, tersenyum ramah.

"Kami tidak mengerti apa maksud Anda dengan pemberian hidangan itu!" kata Han Tiong, sikapnya halus dan sopan, akan tetapi sinar matanya tajam penuh selidik menatap wajah orang.

Melihat pandang mata ini, pemuda mewah itu kelihatan agak gugup, akan tetapi dia menutupi kegugupannya dengan senyum lebar. ”Ah, saya tidak mempunyai niat buruk. Saya amat tertarik kepada ji-wi, dan melihat bahwa ji-wi bukan penduduk sini, maka saya memberanikan diri berlaku lancang menjadi tuan rumah untuk menjamu ji-wi dengan hidangan sekedarnya."

"Tapi... tapi kami tidak mengenal Anda..."

"Perkenalkanlah, saya bernama Siangkoan Wi Hong, seorang pendatang di kota raja yang seorang diri dan kesepian, akan tetapi saya mengenal banyak orang di sini dan akan menyenangkan sekali kalau menambah kenalan saya dengan ji-wi."

Melihat sikap yang demikian sopan, bicaranya lancar dan halus, Han Tiong tidak dapat menolak lagi. Thian Sin yang sejak tadi mendengarkan saja kini berkata. "Akan tetapi, hidangan itu terlalu banyak untuk kami berdua. Maka silakan Saudara Siangkoan untuk makan bersama dengan kami, juga kami tawarkan kepada nona..."

Orang yang bernama Siangkoan Wi Hong itu tersenyum dan mengangguk-angguk, memuji sikap Thian Sin yang ramah dan juga tidak pemalu seperti Han Tiong.

"Terima kasih kalau memang ji-wi menghendaki, kami akan suka sekali. Bukankah demikian, Nona Siang Hwa?" Dia menoleh kepada wanita itu yang juga sudah bangkit berdiri.

Nona itu menjura dengan tubuhnya yang padat menggairahkan, gerakannya amat lemah gemulai ketika membungkuk. "Ahhh, saya merasa amat terhormat sekali..." katanya, suaranya merdu, mulutnya tersenyum dan matanya mengerling tajam.

Di dalam hatinya, Han Tiong kurang setuju dengan penawaran adiknya, akan tetapi karena sudah terlanjur, tentu saja dia tidak dapat mengelak lagi. Entah bagaimana dia merasa kurang enak dan canggung menyaksikan sikap wanita cantik itu yang begitu memikat sikapnya, sikap genit sungguhpun kegenitan itu halus sekali dan nampaknya, melihat gerak-geriknya dan susunan kata-katanya, wanita itu juga seorang yang sopan terpelajar.

LANJUT KE JILID 011--->
<---Kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar