Jumat, 21 Februari 2014

Pendekar Sadis Jilid 017

Pendekar Sadis Jilid 017

<---Kembali

Mendengar ucapan dua orang pemuda Lembah Naga itu, Bun Hong dan Lian Hong menjadi girang sekali.

"Kami akan berhati-hati, ayah!" kata Lian Hong.

"Kami hanya akan menonton Sin-ko dan Tiong-ko menundukkan penjahat, dan kalau perlu membantu," sambung Bun Hong.

Akhirnya, keluarga itu merasa tidak enak kalau menolak terus. Dua orang pemuda Lembah Naga itu siap untuk menghadapi penjahat, bahkan berjanji untuk melindungi dua orang anak mereka. Kalau mereka berkeras tidak membolehkan, bukankah hal itu membayangkan bahwa mereka takut kalau-kalau terjadi sesuatu menimpa diri anak mereka? Dan sikap seperti itu jelas tidak membayangkan kegagahan seorang pendekar!

"Baiklah, baiklah..." Akhirnya Ciu Khai Sun berkata dan dua orang anaknya itu girang sakali.

Mereka lalu berkemas karena dua orang pemuda Lembah Naga itu akan berangkat besok pagi-pagi sekali. Kebetulan sekali, Bun Hong pernah ikut rombongan piauwsu melakukan perjalanan ke selatan, maka dia tahu di mana adanya lembah Sungai Luai itu dan dapat bertindak sebagai penunjuk jalan.

***

Dua belas orang itu duduk melingkari api unggun yang besar. Malam itu amat dingin mereka lebih suka duduk di luar mengelilingi api unggun besar daripada tidur di dalam pondok-pondok di mana mereka tidak dapat membuat api unggun besar. Biarpun mereka itu tidak dapat tidur karena hawa dingin, namun mereka bergembira, minum-minum arak sampai sepuas mereka dan makan daging panggang dan roti yang halus.

"Ha-ha-ha, sungguh sayang, di malam sedingin ini kita terpaksa harus tinggal sendirian di tempat dingin ini."

"Alangkah senangnya kalau kita bisa berada di kota ditemani oleh wanita cantik!"

Macam-macam ucapan keluar dari mulut mereka, diseling suara ketawa ringan, akan tetapi juga ucapan mereka bernada kecewa karena mereka agaknya terpaksa bersembunyi di tempat sunyi dalam hutan di tepi sungai itu. Dua orang yang berusia kurang lebih empat puluh tahun, yang bersikap penuh wibawa dan jelas merupakan pimpinan mereka, sedang menggerogoti paha kijang yang mereka panggang tadi.

"Hemm, mengapa kalian ini cerewet seperti nenek-nenek bawel saja?" tegur seorang di antara dua orang pemimpin itu, yang tubuhnya tinggi besar seperti raksasa dan mukanya hitam.

"Taijin (pembesar) hanya menyuruh kita bersembunyi selama tiga hari tiga malam, dan kalian masih terus mengomel. Tinggal semalam ini dan besok kita boleh pergi sesuka hati."

"Dengan hadiah uang yang memenuhi kantong, kalian akan dapat hidup seperti raja di kota, setiap malam ditemani wanita cantik dan membeli apa saja yang kalian inginkan. Untuk semua itu, kita hanya diharuskan menyembunyikan diri tiga hari, apa susahnya?" kata orang ke dua, yaitu pemimpin yang mukanya penuh brewok, akan tetapi tubuhnya kecil kurus, sungguh tidak sepadan dengan mukanya yang menyeramkan.

"Maaf, kami tidak mengomel, hanya kedinginan," kata seorang anak buah.

"Ha-ha-ha, sungguh lucu kalau diingat tingkah piauwsu gendut itu. Kenapa twako (kakak tertua) tidak membunuhnya saja seperti para piauwsu lainnya?"

Si Tinggi Besar itu minum araknya, lalu mengusap bibir dengan lengan baju dan berkata, "Enak saja kau bicara! Si Gendut itu memiliki ilmu golok Go-bi-pai yang lumayan dan kita dikeroyok jumlah yang lebih besar. Sudah untung kita berhasil melarikan kereta dan tidak seorangpun di antara kita yang terluka parah."

"Kalau tidak dikeroyok banyak, Si Gendut itu tentu telah mampus di tanganku!" kata pemimpin ke dua yang bertubuh kecil dan mukanya brewok.

"Akan tetapi mengapa taijin menyuruh kita bersembunyi? Takut apa sih?" seorang anak buah bertanya.

"Orang bodoh macam engkau ini tahu apa? Barang-barang itu harus diselamatkan dulu sampai ke Sin-yang tanpa ada yang tahu. Kalau sudah selamat, barulah keadaan benar-benar beres dan berhasil, dan kita boleh pergi meninggalken tempat persembunyian ini. Sebelum lewat tengah malam ini, kita masih bertugas sebagai perampok-perampok lembah Sungai Luai, ha-ha-ha!" Si Muka Hitam tinggi besar yang merupakan pimpinan pertama itu tertawa dengan gembira sekali.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dengan penuh kegembiraan dua belas orang itu meninggalkan hutan. Akan tetapi ketika tiba di tepi hutan, tiba-tiba mereka berhenti karena mereka melihat empat orang muda, yaitu tiga orang pemuda dan seorang dara, berjalan memasuki hutan itu.

"Ah, dara itu cantik sekali, seperti bidadari!" kata Si Muka Hitam raksasa. "Patut kalau malam nanti menemani aku, ha-ha-ha!"

"Twako, ingat, mulai hari ini kita sudah bukan perampok-perampok lagi!" kata pemimpin ke dua memperingatkan kawannya.

"Sute, kau bodoh! Justeru sebelum kita meninggalkan hutan, berarti kita masih perampok dan munculnya mereka itu sungguh kebetulan sekali. Kita serang dan lukai mereka, rampok pakaian dan bekal mereka, dan tentang gadis itu... ha-ha, jangan khawatir, aku yang akan membawanya. Dengan demikian, tiga orang muda itu akan mengabarkan bahwa kita memanglah perampok-perampok lembah Sungai Luai. Ha-ha, dan mereka boleh mencari-cari sampai mati perampok-perampok itu yang tentu saja akan lenyap."

Semua orang setuju dan tertawa-tawa, dan mengikuti Si Tinggi Besar itu keluar dari hutan, dengan langkah lebar menyambut empat orang muda yang datang dari luar hutan itu.

Empat orang muda ini bukan lain adalah Han Tiong, Thian Sin, Bun Hong dan Lian Hong! Melihat belasan orang yang menyeringai dan bersikap kasar itu keluar dari dalam hutan, Han Tiong memberi isyarat kepada saudara-saudaranya dan mereka berhenti dan menanti dengan sikap tenang. Matahari pagi telah menerobos masuk melalui celah-celah daun pohon dan biarpun cuaca belum terlalu terang, akan tetapi mereka sudah dapat melihat dengan jelas dua belas orang pria yang keluar dari dalam hutan itu.

Yang berjalan di depan sendiri adalah seorang pria tinggi besar seperti raksasa yang bermuka hitam bersama seorang laki-laki kecil kurus yang tingginya sampai di pundak orang pertama, akan tetapi muka pria ke dua ini penuh brewok dan kelihatan menyeramkan sekali. Akan tetapi yang mengherankan hati Han Tiong dan Thian Sin adalah kenyataan yang nampak oleh pandang mata mereka yang tajam bahwa mereka itu bersikap kasar yang dibuat-buat agar mendatangkan kesan bahwa mereka itu orang-orang kasar!

"Agaknya merekalah orang-orangnya," kata Thian Sin lirih.

"Mungkin, akan tetapi kita harus hati-hati dan jangan salah turun tangan terhadap orang lain," kata Han Tiong.

Kini dua belas orang itu telah tiba di depan mereka dan Si Tinggi Besar yang sejak tadi menatap dengan pandang mata penuh kekurangajaran kepada Lian Hong, kini berdiri sambil bertolak pinggang, memandang mereka berempat itu dan kembali pandang matanya berhenti pada wajah Lian Hong, kemudian tertawa bergelak.

"Ha-ha-ha, empat orang muda sungguh bernyali besar berani lewat di wilayah kekuasaan kami! Hayo cepat keluarkan pajak jalan kalau kalian ingin selamat!" Si Tinggi Besar ini, walaupun lagaknya agak dibuat-buat, mencoba untuk menirukan lagak seorang kepala rampok tulen.

Akan tetapi Ciu Bun Hong, sebagai putera seorang kepala piauwsu yang sudah sering juga ikut mengawal barang-barang bersama para piauwsu dan sudah mengenal perampok-perampok dan lagak serta kebiasaan mereka, memandang agak ragu-ragu kepada belasan orang itu. Sikap orang-orang ini bukan seperti sikap perampok-perampok yang berkeliaran di hutan-hutan dan biasa dengan kehidupan yang keras dan sukar. Kulit mereka tidak kasar, rambut dan pakaian mereka terawat, hanya sikap mereka saja yang kasar dan seperti lagak para perampok, akan tetapi sikap ini dapat ditiru atau dibuat-buat.

"Mereka bukan perampok," bisiknya kepada Thian Sin yang berdiri di dekatnya.

Sementara itu, Han Tiong yang mewakili rombongannya, sudah menghadapi Si Tinggi Besar itu, sikapnya tenang dan dia memandang penuh selidik, meragu apakah gerombolan di depannya ini yang telah merampok barang-barang kawalan Kui Beng Sin.

"Saudara-saudara yang gagah, kami tidak tahu apa yang kalian maksudkan. Kami adalah empat orang muda yang sedang melancong, tidak mempunyai apa-apa yang berharga. Harap kalian suka membiarkan kami lewat."

Mendengar ucapan Han Tiong itu Si Tinggi Besar tertawa bergelak, diikuti oleh teman-temannya karena ucapan pemuda yang kelihatan lemah itu mereka anggap sebagai tanda ketakutan, sungguhpun pada sikap empat orang muda itu sama sekali tidak nampak tanda-tanda takut.

"Ha-ha-ha, kamipun tahu bahwa kalian hanyalah empat muda yang sederhana dan agaknya tidak memiliki apa-apa. Akan tetapi kami melihat bahwa kalian membawa sesuatu yang amat berharga, yang tak dapat disamakan dengan barang berharga apapun dan tak dapat terbeli dengan uang. Nah, kami menginginkan kalian meninggalkannya kepada kami."

Han Tion mengerutkan alisnya. "Benda berharga? Apa yang kalian maksudkan? Kami tidak membawa apapun kecuali sedikit uang untuk bekal membeli makan..."

Akan tetapi dua belas orang itu tertawa-tawa dan Si Tinggi Besar menudingkan telunjuknya ke arah Lian Hong sambil berkata, "Apakah yang lebih berharga daripada nona manis ini? Kami tidak butuh uang, kami sendiri sudah mempunyai cukup banyak, akan tetapi nona manis ini amat menarik hatiku, kalian harus meninggalkannya untukku...!"

"Keparat bermulut busuk!" Tiba-tiba Thian Sin sudah meloncat ke depan dan berdiri dekat sekali di depan Si Tinggi Besar itu, sepasang mata pemuda ini mengeluarkan sinar mencorong dan melihat ini, Si Tinggi Besar itu terkejut juga.

Akan tetapi karena dia memandang rendah kepada empat orang muda itu, maka diapun tidak menjadi gentar, sebaliknya mentertawakan sikap Thian Sin.

"Engkau ini bocah kemarin sore hendak berlagak? Pilih saja, kalian tiga pemuda ini dapat melanjutkan perjalanan dengan selamat akan tetapi meninggalkan gadis ini kepadaku, atau kami harus bunuh dulu kalian bertiga dan merampas gadis ini dengan paksa."

"Iblis yang layak mampus!" Thian Sin sudah hendak menerjang dan menyerang dengan serangan maut, karena hatinya telah dibakar oleh kemarahan hebat mendengar betapa orang kasar itu menghina Lian Hong, akan tetapi lengan kirinya sudah dipegang dengan halus oleh Han Tiong.

Thian Sin menoleh dan melihat sinar mata kakaknya, kemarahannyapun lenyap, dan dia menarik napas panjang lalu melangkah mundur.

"Sobat," kata Han Tiong dengan tenang, "terus terang saja, kami berempat ini melancong sambil ingin mencari gerombolan yang beberapa hari yang lalu telah merampas barang-barang yang dikawal oleh Pouw-an-piauwkiok di Su-couw.

Melihat tempat perampokan yang terjadi di hutan ini, apakah sobat sekalian yang telah melakukan perampokan itu?"

Si Tinggi Besar mengangkat alisnya, memandang dengan mata terbelalak lalu bertukar pandang dengan para anak buahnya. Akan tetapi, karena dia memang memandang rendah kepada empat orang itu, dia malah memberi isyarat dengan tangannya dan belasan orang itu lalu mengepung empat orang muda ini dari berbagai penjuru karena pertanyaan Han Tiong tadi membuktikan bahwa empat orang muda itu adalah musuh-musuh yang datang berhubungan dengan perampokan itu.

"Ha-ha-ha, kiranya kalian datang untuk barang-barang itu? Wah, kalau begitu kalian tak boleh pergi lagi dari sini dan menjadi tawanan kami!" kata Si Tinggi Besar.

"Sobat, kalian telah melakukan sesuatu yang keliru besar. Bukankah Kui-piauwsu yang memimpin Pouw-an-piauwkiok selalu bersikap baik terhadap orang-orang kang-ouw?

Kenapa kalian telah mengganggunya dan dengan demikian merusak perhubungan baik antara para piauwsu dan orang-orang di kalangan liok-lim? Harap kalian suka menyerahkan kembali barang-barang itu kepada kami dan tentu kami akan membalas budi itu dan Pouw-an-piauwkiok akan kami anjurkan untuk mengirim sumbangan kepada kalian."

Han Tiong bersikap tenang dan sabar. Hal ini amat menjengkelkan hati Thian Sin yang menganggap tidak semestinya kakaknya bersikap demikian mengalah dan lunaknya terhadap orang-orang jahat seperti perampok-perampok ini yang bukan hanya telah merampas barang-barang kawalan Pouw-an-piauwkiok, akan tetapi bahkan telah menghina Lian Hong. Akan tetapi diam-diam Bun Hong dan Lian Hong merasa kagum akan sikap Han Tiong itu. Sebagai putera puteri ketua piauw-kiok, tentu saja mereka tahu betapa pentingnya sikap Han Tiong itu.

Betapapun juga, akan jauh lebih baik bagi para piauwsu untuk mengikat semacam hubungan yang baik dengan orang-orang di kalangan liok-lim (perampok dan bajak) dan kang-ouw, karena kalau sampai terjadi ikatan permusuhan, tentu pekerjaan mereka tidak akan pernah aman lagi. Tentu saja kalau sudah tidak dapat ditempuh jalan damai, barulah mengandalkan kepandaian untuk menundukkan para penjahat itu.

"Ha-ha-ha, kami telah mengambil barang-barang itu dengan tenaga dan kepandaian. Apakah kalian empat orang muda ini datang hendak mengambilnya begitu mudah, dengan kata-kata manis belaka? Kami telah mengambil dengan kepandaian, dan siapapun jangan harap dapat mengambil dari kami tanpa lebih dulu mengalahkan kami!" kata Si Tinggi Besar dengan sikap congkak.

"Aku akan merampasnya dengan kepandaianku!" Tiba-tiba Thian Sin berseru lagi dengan suara penuh tantangan.

"Tentu saja kalau kau berani melawanku, manusia busuk!"

Mendengar tantangan ini, tentu saja kepala perampok itu menjadi marah sekali. Dia menganggap Thian Sin amat lancang, tidak seperti pemuda pertama yang bersikap halus dan sopan kepadanya.

"Keparat, engkau bocah kemarin sore sungguh bermulut besar. Tentu saja aku berani melawanmu, dan bagaimana kalau dalam beberapa jurus engkau kalah?" tanyanya dengan nada mengejek.

Thian Sin tersenyum untuk menekan kemarahannya. Dia sudah tenang lagi sekarang, dan dia merasa betapa bodohnya dapat dipancing kemarahannya tadi. Akan tetapi diapun maklum bahwa kemarahannya itu terutama sekali adalah karena mendengar betapa Lian Hong dihina oleh orang itu.

"Kalau aku kalah, aku menyerahkan nyawaku kepadamu."

"Ha-ha, tidak begitu mudah. Aku bukannya orang yang suka membunuh orang muda. Kalau kau kalah, engkau akan menjadi tawananku, juga dua orang muda lainnya itu, sedangkan gadis ini... hemm, biarlah dia menjadi tamuku yang baik, ha-ha-ha!"

"Majulah dan jangan banyak bicara!" Thian Sin membentak karena dia sudah marah lagi mendengar betapa kepala rampok itu kembali telah menghina Lian Hong.

Sambil ketawa kepala perampok itu sudah menggulung lengan bajunya, memperlihatkan dua buah lengan yang besar dan berotot tanda bahwa dua batang lengan itu kuat sekali. Akan tetapi sebelum mereka bergerak, Lian Hong sudah berkata dengan suara nyaring, "Sin-ko, karena dia telah menghinaku, biarkan aku menghadapinya!"

Thian Sin juga maklum bahwa gadis itu telah memiliki kepandaian yang lumayan karena ayahnya yang melatihnya sendiri adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai yang lihai. Pula, dia tidak ingin mengecewakan hati Lian Hong, maka diapun melangkah mundur dan membiarkan gadis itu maju untuk menghadapi kepala perampok itu.

Han Tiong mengerutkan alisnya, merasa khawatir, akan tetapi diapun merasa tidak enak kalau melarang, karena melarang akan bisa menimbulkan salah faham dan bisa disangka memandang rendah dan tidak percaya kepada gadis itu. Maka diapun hanya berkata, "Hati-hatilah Hong-moi."

Sementara itu, kepala perampok tinggi besar itu girang bukan main melihat majunya gadis yang sejak tadi telah membuat dia tergila-gila itu.

"Bagus, engkau hendak menyerahkan diri ke dalam pelukanku sekarang juga? Mari, mari... nona manis, ha-ha-ha!"

Dengan marah Lian Hong sudah menerjang maju dan mengirim pukulan ke arah leher orang tinggi besar itu. Pukulan dara ini cukup mantap dan keras sehingga Si Tinggi Besar yang memiliki kepandaian tinggi itu maklum akan bahayanya pukulan lawan dan biarpun sikapnya memandang ringan, akan tetapi ternyata gerakannya cepat sekali, dan sambil mengelak, kakinya telah menyambar dan menendang ke arah lutut Lian Hong. Sungguh gerakan yang cukup bagus, cepat dan berbahaya sehingga mengejutkan hati Bun Hong yang mengkhawatirkan keselamatan adiknya. Akan tetapi, dengan cekatan Lian Hong dapat meloncat dan menyelamatkan lututnya, dan membalas dengan pukulan berbahaya ke arah lambung dari samping. Akan tetapi dengan mudahnya kepala rampok itu menangkis dan menggerakkan tangan untuk mengubah tangkisan menjadi cengkeraman untuk menangkap lengan gadis itu. Akan tetapi, dengan memutar pergelangan tangannya, gadis itu mampu menghindarkan lengannya untuk ditangkap.

Perkelahian itu terjadi semakin seru dan Liang Hong yang maklum akan kepandaian kepala perampok yang telah mengalahkan dan melukai Kui Beng Sin dan anak buahnya ini, mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan seluruh kepandaian silat yang pernah dipelajarinya dari ayahnya.

Akan tetapi, tiga puluh jurus kemudian, nampaklah bahwa Lian Hong bukan lawan kepala perampok itu. Jelas bahwa dia kalah tenaga dan biarpun dalam hal kecepatan dara ini tidak kalah, namun kekalahan tenaga itu membuat ia repot sekali. Setiap kali lengan mereka beradu, tubuh dara itu terhuyung dan kedua lengannya terasa nyeri dan di balik bajunya, kulit lengannya telah menjadi matang biru semua!

Melihat adiknya terdesak hebat seperti itu, Bun Hong tak dapat tinggal diam lagi dan diapun meloncat dan menyerang kepala rampok itu. Melihat ini, si kepala rampok tertawa dan berseru kepada kawan-kawannya, "Hayo tangkap mereka semua, ha-ha-ha!"

Akan tetapi, sungguh ia terkejut bukan main ketika melihat betapa empat orang teman-temannya yang maju hendak menerjang Thian Sin dan Han Tiong, tiba-tiba saja terjengkang ke belakang begitu dua orang muda itu menggerakkan tubuh mereka!

"Hong-moi, tinggalkan babi hutan ini, biar aku yang menghajarnya." kata Thian Sin yang sudah meloncat ke depan dan menghadapi Si kepala perampok.

"Bun Hong-te, hadapi saja anak buahnya, babi ini bagianku!" katanya pula kepada Bun Hong.

Karena melihat betapa kepala perampok itu memang lihai sekali, Bun Hong dan Lian Hong lalu meloncat mundur dan mereka siap untuk menghadapi para anak buah perampok yang sudah mengepung mereka.

Kepala perampok itu kini maklum bahwa empat orang muda yang datang ini adalah orang-orang muda yang lihai dan agaknya memang mereka berempat itu merupakan jagoan-jagoan yang didatangkan oleh pihak Pouw-an-piauwkiok untuk merampas kembali barang-barang kawalan itu. Maka diapun lalu mencabut sebatang golok besar dari punggungnya dan perbuatannya ini ditiru oleh semua anak buahnya yang masing-masing kini telah memegang sebatang golok yang tajam.

Kepala perampok itu tidak mau main-main lagi sekarang, maklum akan keadaan lawan yang tangguh, maka diapun berteriak, "Bunuh tikus-tikus muda ini, tapi sedapat mungkin tangkap yang wanita!"

Akan tetapi dia tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena Thian Sin yang sudah marah itu kini telah menerjangnya dengan dahsyat sekali. Si Tinggi Besar itu cepat menyambut serangan lawan yang bertangan kosong dengan goloknya, menyambut dengan bacokan golok ke arah kepala Thian Sin sambil berteriak menyeramkan.

"Plakkkkk! Dess...!" Si Tinggi Besar berseru kaget karena tangkisan Thian Sin yang disertai tamparan itu telah membuat dia terhuyung dan hampir saja goloknya terlepas dari pegangannya.

Hampir dia tidak dapat percaya akan hal ini! Mana mungkin pemuda itu menangkis golok besarnya dengan tangan kosong saja malah berbalik menamparnya dengan sedemikian dahsyatnya sehingga sekali gebrakan saja hampir membuatnya roboh? Sementara itu, belasan orang itu telah mengepung dan menyerang, akan tetapi mereka berhadapan dengan Han Tiong yang begitu menggerakkan kaki tangannya telah menahan mereka, merobohkan mereka dan golok-golok mereka terpelanting ke sana-sini.

Rata-rata belasan orang itu memiliki kepandaian yang cukup tangguh, akan tetapi, menghadapi Han Tiong tentu saja mereka ini merupakan lawan yang terlalu lunak. Hanya dua orang kakak beradik Ciu itu yang merupakan lawan seimbang dan mereka sudah melawan dua orang perampok yang berusaha untuk merobohkan mereka, namun dua orang muda ini telah mengeluarkan sebatang pedang dan melawan dengan pedang mereka dengan gigih.

Perkelahian antara kepala perampok dan Thian Sin tidak berlangsung terlalu lama. Kalau saja dia tidak sungkan kepada kakaknya yang telah meneriakinya agar dia jangan membunuh orang, tentu dalam satu gebrakan saja Thian Sin akan mampu merobohkan lawan dan menewaskannya. Dia membiarkan kepala perampok itu menghujaninya dengan serangan golok bertubi-tubi, setelah lewat beberapa jurus, barulah dia membiarkan golok itu lewat dekat kepalanya dan dia hanya sedikit miringkan tubuhnya kemudian sekali tangan kirinya menyambar, dia sudah berhasil menangkap siku tangan kanan lawan yang memegang golok. Tangkapannya itu seperti sepasang jepitan baja yang amat kuat sehingga si kepala perampok berteriak kesakitan karena tiba-tiba saja lengannya terasa lemas dan lumpuh dan sambungan tulang sikunya seperti remuk.

Namun dia masih menggerakkan tangan kiri untuk mencengkeram ke arah kepala Thian Sin. Pemuda ini membiarkan tangan lawan sampai dekat, kemudian tangan kanannya menyambut dan dua tangan itu saling cengkeram. Terdengar suara berkerotokan, dan akibatnya, tulang-tulang jari tangan kiri kepala perampok itu ketika dicengkeram jari-jari tangan kanan Thian Sin, menjadi patah-patah. Rasa nyeri seperti ujung pedang karatan menusuk jantung, membuat kepala perampok itu menjerit-jerit seperti babi disembelih! Terdengar bunyi "krek-krekk!" dan ketika Thian Sin mendorong tubuh kepala perampok itu terguling dan dia bergulingan dan berkelojotan karena rasa nyeri yang amat sangat terasa oleh kedua tangannya. Jari-jari tangan kirinya remuk-remuk dan sambungan tulang siku kanannya terlepas! Goloknya terlempar entah ke mana.

Sementara itu, biarpun dengan lebih lunak, Han Tiong juga sudah merobohkan enam orang perampok yang tidak mungkin dapat melawan lagi karena mereka itu roboh dengan kaki atau tangan yang patah tulangnya. Empat orang masih mengeroyoknya dan dua orang lagi masih bertanding melawan Bun Hong dan Lian Hong, akan tetapi keadaan dua orang inipun sudah terdesak hebat.

Thian Sin yang baru saja merobohkan si kepala rampok, kini cepat bergerak membantu dan dengan dua kali tendangan saja dia sudah merobohkan dua orang lawan Bun Hong dan Lian Hong, sedangkan bersama Han Tiong dia merobohkan empat orang sisa perampok. Kini, dua belas orang perampok itu sudah rebah semua tak dapat bangkit kembali.

Peristiwa ini terlalu cepat dan mengejutkan sehingga di samping rasa nyeri yang mereka derita, juga mereka itu masih belum pulih dari rasa kaget dan heran sehingga mereka memandang kepada empat orang muda itu dengan mata terbelalak, juga dengan sikap takut-takut!

Tahulah mereka bahwa mereka berhadapan dengan empat orang pendekar muda, dan terutama dua orang pendekar yang sakti!

"Hemm, sudah kami katakan bahwa perbuatan kalian merampok barang kawalan Pouw-an-piauwkiok adalah perbuatan bodoh. Nah, sekarang di mana adanya barang-barang itu?"

Han Tiong berkata kepada kepala perampok yang masih merintih-rintih kesakitan itu. Akan tetapi kepala perampok itu hanya mendelik saja dan tidak menjawab. Agaknya dia sudah nekad dan hendak menebus kekalahan itu dengan tutup mulut dan tidak mau menyerahkan kembali barang-barang rampasan itu!

"Biar kupaksa dia, Tiong-ko!" Thian Sin melangkah maju menghampiri kepala perampok itu, akan tetapi kembali Han Tiong mencegahnya.

"Sin-te, orang nekad seperti dia percuma juga dipaksa bicara. Bukankan dia sudah cukup tersiksa dan tetap saja dia tidak mau bicara?"

Thian Sin maklum juga akan hal ini. Kalau tadi dia memilih si kepala rampok untuk disiksanya adalah karena hatinya masih panas mengingat betapa kepala rampok itu tadi menghina Lian Hong dengan kata-kata kotor. Maka diapun lalu menghampiri para anak buah perampok dan memilih di antara mereka seorang perampok yang mukanya pucat ketakutan, tubuhnya sudah menggigil ketika Thian Sin menghampirinya.

Perampok ini tadi roboh oleh tendangan kaki Thian Sin yang membuat tulang kering kakinya patah dan membuat dia tidak mampu bangkit berdiri lagi.

"Nah, katakan di mana barang-barang rampokan itu kalau kau tidak ingin kakimu yang sebelah lagi juga kupatahkan tulangnya!" kata Thian Sin dengan suara dingin dan sinar matanya mencorong menyeramkan.

"Tapi... tapi..." orang itu berkata denga ketakutan dan menoleh kepada kepala rampok yang mendelik kepadanya itu.

Tahulah Thian Sin bahwa anak buah perampok itu takut kepada kepalanya, maka diapun tersenyum mengejek dan berkata, "Dengar baik-baik, perlu apa kau takuti dia yang sudah tak berdaya itu? Dia tidak dapat mengganggumu lagi, akan tetapi aku dapat! Dan ingat apa yang akan kulakukan padamu. Tidak hanya mematahkan dua batang tulang kakimu, juga dua tulang lenganmu, kemudian kupatahkan kedua tulang pundakmu, kubuntungi dua telingamu dan hidungmu. Lihat, sesudah itu apakah engkau masih dapat disiksa yang lebih hebat lagi."

Dan Thian Sin meraba kaki kanan orang itu yang belum patah tulangnya, mengerahkan sin-kangnya sehingga tampak tangannya terasa dingin menembus celana kaki kanan itu. Orang itu menarik kakinya seperti disengat binatang berbisa dan mukanya menjadi lebih pucat lagi.

"Tidak... jangan..."

"Katakan di mana barang-barang itu! Jangan kira kalau tidak diberi tahu kami tak dapat mencari dan menemukannya!"

"Di dalam... gua... di dalam hutan ini..."

"Di mana letaknya itu?" bentak Thian Sin.

"Sin-ko, aku tahu di mana letak gua dalam hutan ini. Mari!" kata Bun Hong.

Thian Sin mengangguk dan memandang kepada Han Tiong.

"Pergilah, Sin-te. Kau dan Bun Hong pergi mencari barang-barang itu dan aku akan menjaga dan mengurus mereka ini."

"Aku akan membantumu, Tiong-ko." kata Lian Hong.

Thian Sin memandang kecewa karena dia ingin agar gadis itu tidak pernah berpisah lagi dari sampingnya. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani membantah dan diapun mengajak Bun Hong mencari gua itu. Mereka memasuki hutan tak lama kemudian tibalah mereka di depan sebuah gua di mana terdapat dua orang penjaga. Dua orang perampok yang melihat munculnya dua orang pemuda itu, menjadi terkejut dan segera mereka mencabut golok.

Akan tetapi, hanya dengan dua kali gerakan saja, Thian Sin telah membuat mereka roboh dan pingsan. Melihat ini, Bun Hong kagum bukan main dan diam-diam dia merasa ngeri juga menyaksikan sepak terjang Thian Sin dan tahulah dia bahwa pemuda ini sungguh memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Akan tetapi diapun tahu bahwa pemuda ini juga seorang yang memiliki hati yang ganas terhadap penjahat, tanpa mengenal ampun, sungguh wataknya menjadi kebalikan dari watak Han Tiong yang selalu tenang, sabar dan penuh kebijaksanaan itu.

Setelah mereka memasuki gua, benar saja, di dalam gua yang besar itu terdapat dua gerobak barang-barang itu, dan mereka berdua bahkan berhasil menemukan beberapa ekor kuda tak jauh dari gua. Thian Sin dan Bun Hong lalu bekerja cepat. Mereka menangkap beberapa ekor kuda itu, lalu memasang mereka di depan kereta dan melemparkan tubuh dua orang perampok yang pingsan itu ke atas kereta, kemudian membawa dua buah kereta itu ke tempat di mana terjadi pertempuran tadi.

Ketika mereka tiba di situ, mereka melihat betapa Han Tiong dibantu oleh Lian Hong sibuk merawat para perampok itu! Dengan ilmunya yang tinggi, Han Tiong telah mengobati mereka dengan totokan-totokan dan bahkan menyambung tulang-tulang yang patah, dan membalut kaki dan tangan yang patah tulangnya.

Melihat ini, Thian Sin meloncat turun dari kereta dan menghampiri kakaknya dengan alis berkerut.

"Tiong-ko, mengapa kaulakukan itu? Bahkan minta kepada Hong-moi untuk membantumu? Sungguh tidak pantas manusia-manusia binatang ini ditolong, apalagi oleh tangan Hong-moi, Sepatutnya mereka ini dibasmi dan dibunuh saja!"

Han Tiong tersenyum dan bangkit berdiri. "Sin-te, jangan begitu. Bagaimanapun juga, mereka ini adalah manusia-manusia dan yang jahat hanyalah perbuatan mereka yang mereka lakukan karena kegelapan batin mereka. Merekapun dapat menderita seperti kita, mana mungkin aku dapat membiarkan saja mereka merintih dan mengeluh?"

Thian Sin makin tidak puas dengan jawaban itu. "Habis, mereka ini mau diapakan? Kalau kita yang kalah tadi, kiranya mereka tidak akan mau peduli kepada kita, bahkan mungkin mereka akan membunuh kita, dan Hong-moi... ah, mereka akan melakukan hal-hal yang lebih jahat lagi!"

Han Tiong menarik napas panjang. "Mungkin saja mereka lakukan itu, akan tetapi kita bukan mereka dan kita tidak akan melakukan hal-hal yang seperti mereka. Inilah yang membedakan antara orang-orang sadar dan orang tidak sadar, Sin-te, antara orang yang dikuasai nafsu kejahatan dan orang yang tidak membiarkan diri diseret nafsu."

"Lalu mereka ini mau diapakan?" desak Thian Sin.

"Kita bawa ke kota, kita serahkan kepada yang berwajib. Bukankah demikian semestinya? Biarlah yang berwajib yang akan menghukum mereka, bukan kita yang akan menghukum mereka."

Perdebatan antara dua orang muda itu diperhatikan oleh semua perampok, dan terutama sekali amat diperhatian oleh Lian Hong. Juga Bun Hong dapat melihat perbedaan besar antara dua orang muda yang memiliki kepandaian hebat itu.

Semua perampok digiring ke kota Su-couw. Yang hanya luka dan patah tulang tangannya, diharuskan berjalan kaki, akan tetapi yang tidak dapat berjalan karena tulang kakinya patah, dinaikkan ke atas gerobak yang ditarik oleh kuda-kuda itu dan empat orang muda itu mengawalnya dari depan dan belakang. Di sepanjang perjalanan, para penghuni dusun menyambut rombongan aneh ini dan sebentar saja tersiarlah berita bahwa empat orang muda itu telah menangkap segerombolan perampok dan merampas kembali barang-barang yang dirampok.

Di kota Su-couw, mereka menyerahkan para penjahat kepada pembesar setempat dan mereka disambut dengan penuh kehormatan dan kegembiraan oleh Kui Beng Sin yang mengerahkan semua anak buah Pouw-an-piauwkiok. Empat orang muda itu, terutama Han Tiong dan Thian Sin, disambut dengan sorak-sorai, dengan puji-pujian dan Kui Beng Sin seperti melupakan luka-luka di tubuhnya saking gembiranya melihat barang kawalan itu dapat dirampas kembali.

Apalagi ketika dia melihat dan mendapat keterangan bahwa yang menolongnya adalah putera Cia Sin Liong dan Ceng Han Houw, kegembiraannya membuat dia menitikkan air matanya dan dia merangkul Han Tiong dengan girang sekali.

"Ah, kiranya putera Sin Liong jugalah yang menyelamatkan aku dan keluargaku!" katanya dengan bangga sekali.

Ciu Khai Sun yang mendengar akan hasil dua orang pemuda bersama dua orang putera-puterinya itu segera menyusul ke Su-couw bersama isteri-isterinya dan pertemuan di antara mereka di rumah Kui Beng Sin sungguh merupakan pertemuan yang amat menggembirakan.

Malam itu juga, Kui Beng Sin mengadakan pesta keluarga untuk menyambut usaha yang amat berhasil dari empat orang muda itu, dan dalam kesempatan ini, Kui Beng Sin juga mengundang Phoa-taikin, yaitu pembesar di Su-couw yang mempunyai barang-barang berharga yang telah dirampok dan berhasil dirampas kembali itu. Undangan terhadap Phoa-taijin ini juga dimaksudkan untuk memberi selamat kepada pembesar itu yang memperoleh kembali barang-barangnya kembali, juga untuk menyerahkan kembali barang-barangnya karena belum sampai terkirim ke Sin-yang.

Ruangan lebar yang biasanya dipakai untuk tempat berlatih silat itu, di bagian belakang rumah Kui Beng Sing telah dihias dengan meriah dan tempat itu nampak bersih dan rapi. Beberapa meja ditempatkan di ruangan itu, mengelilingi sebuah meja besar yang merupakan meja pusat, di mana Kui Beng Sin akan menjamu tamu-tamunya yang terdiri dari keluarga Ciu dari Lok-yang, lalu dua orang pemuda pendekar yang telah berjasa itu, kemudian Phoa-taijin yang kedatangannya masih sedang ditunggu.

Para anak buah Pouw-an-piauwkiok juga ikut berpesta, dan mereka itu duduk melingkari meja-meja yang lain, dengan sikap gembira, akan tetapi juga hormat karena di tengah-tengah ruangan itu terdapat keluarga majikan atau ketua mereka sedang menjamu tamu-tamu agung itu.

Akhirnya, tamu yang ditunggu-tunggu, Phoa-taijin, datang juga, diiringkan oleh dua orang pengawalnya. Phoa-taijin adalah seorang pembesar yang terkenal di kota Su-couw, sebagai seorang pembesar yang kaya raya dan juga terkenal suka memberi sumbangan kepada semua golongan. Dia dikenal sebagai seorang pembesar kaya raya yang dermawan! Orang tidak mau lagi peduli dari mana pembesar itu memperoleh kekayaannya yang besar. Bagi orang-orang itu, apalagi yang menerima sumbangan langsung, tidak mau tahu lagi dari mana kekayaan si penyumbang didapatkan. Dari manapun datangnya harta yang disumbangkan, seorang penyumbang akan dipuji-puji sebagai seorang dermawan yang baik hati!

Padahal, kalau orang mau menaruh perhatian dan menyelidiki, tentu dia akan merasa heran bukan main bagaimana seorang yang menjadi pembesar dapat mengumpulkan kekayaan yang demikian melimpah, padahal kalau melihat dari hasilnya sebagai pejabat, biar dia bekerja sampai seratus tahun sekalipun, hasil dari gajinya belum dapat menyamai jumlah seperseratus jumlah kekayaannya yang terkumpul bukan dari hasil kerjanya itu.

Memang Phoa-taijin seorang yang pandai sekali, bukan hanya pandai mengumpulkan kekayaan, akan tetapi juga pandai mengambil hati orang-orang sehingga dia memperoleh nama sebagai seorang pembesar yang baik dan berhati dermawan. Dia muncul di ruangan itu dengan wajah cerah, mulutnya tersenyum lebar dan pandang matanya berseri-seri. Dia disambut dengan sopan dan gembira oleh Kui Beng Sin dan isterinya. Juga Ciu Khai Sun dan dua orang isterinya bangkit berdiri memberi hormat karena biarpun dia tinggal di Lok-yang, namun sebagai seorang ketua piauwkiok yang terkenal, tokoh Siauw-lim itu tentu saja mengenal pembesar yang cukup terkenal di daerah Propinsi Ho-nan ini.

Phoa-taijin membalas penghormatan mereka sambil tertawa gembira dan diapun memandang kepada Ciu Khai Sun, lalu berkata, "Ah, Ciu-piauwsu juga telah hadir di sini! Kami mendengar bahwa barang-barang kami itu berhasil dirampas kembali berkat keluarga Ciu-piauwsu di Lok-yang, benarkah itu?" Dia melirik ke arah Thian Sin dan Han Tiong, lalu disambungnya. "Kami mendengar dari Ji-ciangkun yang menerima dan menahan para perampok itu."

Yang disebut Ji-ciangkun adalah pembesar penjaga keamanan yang telah menerima penyerahan para perampok oleh empat orang muda itu.

"Ah, sesungguhnya saya tidak berjasa, dan kedua anak sayapun hanya ikut saja, taijin," kata Ciu Khai Sun merendah.

Kui Beng Sin tertawa. "Taijin, yang berjasa adalah dua orang keponakan kami inilah!" Dia menunjuk kepada Thian Sin dan Han Tiong yang tadi telah memberi hormat dan kini telah duduk kembali. "Ketahuilah, taijin, mereka ini adalah keponakan-keponakan saya yang gagah perkasa. Ini adalah Cia Han Tiong, putera dari saudara tiri saya yaitu Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong! Dan seorang ini adalah muridnya, yaitu bernama Ceng Thian Sin. Taijin tentu tidak tahu siapa dia ini! Dia adalah putera dari mendiang Pangeran Ceng Han Houw yang namanya pernah menggemparkan dunia persilatan itu!"

Baik Ciu Khai Sun maupun Han Tiong telah memberi isyarat kepada Beng Sin agar tidak memberitahukan hal itu, namun agaknya piauwsu gendut itu tidak sadar akan hal ini. Dia terlalu bersyukur, berterima kasih dan bergembira sehingga dia memperkenalkan dua orang muda yang dibanggakannya itu, lupa bahwa pembesar itu adalah "orang luar" dan bahwa nama Ceng Han Houw bukanlah sembarangan nama yang boleh diumumkan begitu saja, mengingat keadaannya ketika masih hidupnya. Pangeran itu adalah seorang yang bukan hanya menggegerkan dunia kang-ouw, akan tetapi bahkan menggegerkan pemerintah dan kota raja, dan sebagai seorang pemberontak malah! Maka, amat tidaklah enak untuk memperkenalkan putera pangeran itu!

Akan tetapi, Kui Beng Sin telah menceritakan hal itu, semua telah terjadi dan Thian Sin hanya duduk dengan tenang. Juga pembesar itu tidak memperlihatkan sikap lain, kecuali membelalakkan kedua matanya memandang kepada dua orang muda itu dan berseru.

"Ah, siapa kira dua orang muda remaja ini telah memiliki kepandaian yang demikian hebatnya."

Pesta itu berlangsung dengan gembira dan ketika Kui Beng Sin menyampaikan kembali barang-barang milik pembesar she Phoa itu, Phoa-taijin mengucapkan terima kasih dan biarpun barang-barang itu belum dikirim ke tempat tujuan, yaitu Sin-yang, namun pembesar itu merasa girang bahwa tidak ada sedikitpun di antara barang itu yang hilang. Phoa-taijin minta agar barang-barang itu besok dikembalikan ke gudangnya dan dia tidak lupa untuk memberi hadiah kepada Pouw-an-piauwkiok.

***

Beberapa hari kemudian, Han Tiong dan Thian Sin berpamit dari keluarga Ciu untuk pulang ke utara. Ciu Khai Sun telah mempersiapkan surat balasan untuk Cia Sin Liong dan menyerahkan surat itu kepada Han Tiong yang segera menyimpannya dalam bungkusan pakaiannya. Merekapun menerima pemberian kuda-kuda yang cukup baik dari keluarga Ciu dan mereka berdua diantar sampai ke tepi kota oleh Ciu Bun Hong dan Ciu Lian Hong.

"Hong-te dan Hong-moi, terima kasih atas semua kebaikan kalian. Selamat tinggal, cukup kalian mengantar sampai di sini saja," kata Han Tiong setelah mereka tiba di batas kota.

"Hong-te, terima kasih dan selamat berpisah, Hong-moi... kuharap... kita akan dapat saling bertemu kembali dalam waktu dekat..." kata Thian Sin sambil memandang wajah dara itu dan suaranya terdengar mengandung nada bersedih oleh perpisahan yang amat memberatkan hatinya itu.

"Tiong-ko, Sin-ko, selamat jalan dan selamat berpisah," kata kakak beradik itu dan ketika dua orang pemuda itu meloncat ke atas punggung kuda dan mulai menjalankan kuda mereka meninggalkan tempat itu, kakak beradik ini melambaikan tangannya sampai dua orang pemuda itu lenyap di sebuah tikungan.

Melihat adiknya masih melambaikan tangan seperti orang yang merasa sukar sekali untuk melepaskan mereka pergi, Bun Hong berkata sambil tersenyum,

"Tiong-ko tidak akan lama pergi, tentu akan segera ada kabar dari keluarga Cia."

Lian Hong terkejut dan sadar bahwa dia masih melambaikan tangannya. Mukanya yang cantik itu berubah merah sekali dan dia lalu mencubit lengan kakaknya. "Ih, siapa yang mengharap-harap kedatangannya?"

Bun Hong hanya tertawa akan tetapi dia tahu bahwa adiknya ini telah jatuh cinta kepada Han Tiong dan dia merasa setuju dan gembira sekali karena diapun lebih suka kalau adiknya menjadi isteri Han Tiong daripada kalau adiknya memilih Thian Sin.

Memang harus diakuinya bahwa dalam hal ketampanan wajah dan daya tariknya sebagai seorang pria, Thian Sin lebih tampan dan lebih menarik. Akan tetapi, dia melihat betapa Thian Sin berwatak ganas dan bahkan kejam terhadap musuh, sedangkan Han Tiong memiliki watak yang amat mengagumkan hatinya, watak seorang pendekar budiman tulen! Maka dia yang diberi tugas oleh ayah bundanya untuk mengamat-amati sikap Lian Hong terhadap dua orang pemuda itu, melaporkan apa adanya dan Ciu Khai Sun lalu memberi surat kepada Cia Sin Liong bahwa keluarga mereka menyetujui kalau Lian Hong dijodohkan dengan Cia Han Tiong.

Ketika mereka meninggalkan kota Lok-yang, di sepanjang jalan Thian Sin tiada hentinya membicarakan tentang kebaikan keluarga itu, terutama sekali kebaikan Lian Hong. Antara lain dia berkata, "Lian-moi sungguh seorang gadis yang amat hebat! Dia memiliki ilmu silat yang sudah cukup tinggi di antara gadis-gadis lainnya, dan diapun gagah berani. Ingat saja ketika kita menyerbu gerombolan di hutan itu!"

Han Tiong hanya tersenyum, akan tetapi diam-diam hatinya merasa agak gelisah. Harus diakuinya bahwa dia jatuh cinta kepada Lian Hong, dan dia melihat dengan jelas pula betapa adiknya inipun mencinta mati-matian kepada dara itu!

Melihat betapa kakaknya diam saja, Thian Sin segera menoleh, memandangnya dan berkata, "Bagaimana pendapatmu, Tiong-ko?"

Thian Si menatap tajam wajah kakaknya karena diam-diam diapun mempunyai dugaan bahwa kakaknya ini kelihatan tertarik dan amat kagum kepada dara itu.

"Maksudmu?" Han Tiong berbalik mengajukan pertanyaan karena sungguhpun dia sudah mengerti maksudnya, namun dia tidak dapat segera menjawab dan merasa gugup.

"Eh, kau sedang melamunkan apa sih, Tiong-ko sehingga tidak mengerti apa yang kutanyakan? Aku tadi bicara tentang Hong-moi dan aku menanyakan pendapatmu tentang Hong-moi."

"Apa? Hong-moi...? Ah, dia seorang gadis yang baik sekali, mengapa?"

"Tidak apa-apa, Tiong-ko, hanya aku membayangkan betapa akan bahagianya seorang pria kelak yang dapat menjadi suaminya."

Wajah Han Tiong menjadi merah karena ucapan itu dengan tepat menusuk hatinya. Tepat sekali seperti apa yang sering dia renungkan tentang diri Lian Hong.

"Ah, engkau ini aneh-aneh saja, Sin-te. Setiap orang suami dari wanita manapun juga tentu akan berbahagia sekali kalau dia menikah dengan wanita yang dicintanya dan juga yang mencintanya."

Agaknya karena ada sesuatu yang menahan perasaan hati mereka di Lok-yang, maka biarpun mereka melakukan perjalanan dengan kuda, namun perjalanan itu amatlah lambatnya. Mereka itu seperti dua orang pemuda yang sedang pesiar saja, menjalankan kuda mereka seenaknya, atau bahkan nampak seolah-olah mereka tidak rela meninggalkan Lok-yang. Dan memang sejak tadi, bayangan Lian Hong seolah-olah melambaikan tangan dan seperti terdengar suara merdu dara itu memanggil mereka agar kembali ke Lok-yang, atau agar tidak meninggalkannya.

Seperti orang kehilangan sesuatu, dua orang pemuda itu tidak begitu bersemangat melakukan perjalanan dan hari mulai sore ketika mereka berhenti di sebuah dusun dan bermalam di sebuah rumah penginapan sederhana. Setelah makan sore yang sederhana pula di dusun itu, mereka beristirahat. Padahal, bukan tubuh mereka yang lelah, melainkan semangat mereka yang padam atau seperti tertinggal di dekat Lian Hong. Bahkan tak lama kemudian merekapun nampaknya sudah tidur dan tidak terdengar bercakap-cakap lagi di dalam kamar mereka.

Akan tetapi sesungguhnya mereka itu belum tidur walaupun keduanya sudah memejamkan mata seperti orang pulas. Thian Sin bangkit dengan hati-hati dan pemuda ini lalu mengulurkan tangannya ke arah bungkusan pakaian mereka yang diletakkan di atas meja. Dengan hati-hati pula dikeluarkan surat titipan dari Ciu Khai Sun kepada Han Tiong ketika mereka berangkat tadi, dan dengan jantung berdebar dibukanya sampul surat dan dikeluarkannya sehelai surat itu dan dibacanya di bawah sinar lilin yang tidak begitu terang itu.

Kedua tangan yang memegang surat itu gemetar dan wajah Thian Sin menjadi pucat ketika dia membaca isi surat. Diulanginya lagi dan tetap isi surat itu antara lain bahwa keluarga Ciu menyetujui diikatnya perjodohan antara Lian Hong dan Han Tiong! Thian Sin memejamkan kedua matanya dan merasa seolah-olah semua isi kamar terputar-putar.

Dia berusaha menenangkan hatinya, akan tetapi makin lama hatinya menjadi semakin panas dan tidak enak. Dimasukkannya lagi surat itu ke dalam sampulnya dan disimpannya kembali ke dalam buntalan pakaian, kemudian dia melirik ke arah Han Tiong yang masih tidur nyenyak. Lalu dengan sikap aneh, dengan sepasang mata yang kadang-kadang bersinar-sinar kadang-kadang meredup, dia turun dari atas pembaringan, membuka daun pintu dan keluar dari kamar itu.

Han Tiong tahu akan semua perbuatan Thian Sin itu. Di dalam hatinya, dia terkejut dan merasa tidak senang sekali menyaksikan kelancangan adiknya yang berani membuka surat dari Ciu Khai Sun untuk ayahnya. Akan tetapi karena merasa heran dengan kelakuan adiknya ini, juga karena dia tidak tega untuk membikin malu adiknya dengan menegurnya pada saat itu juga, maka Han Tiong pura-pura tidak tahu dan pura-pura tidur nyenyak.

Ketika dia melihat Thian Sin mengembalikan surat lalu keluar dari kamar, dia mengira bahwa Thian Sin agaknya tidak dapat tidur dan hanya ingin mencari hawa sejuk di luar. Dan diapun tidak akan menegurnya tentang surat itu, karena dianggapnya bahwa Thian Sin tentu hanya ingin tahu saja dan tidak bermaksud buruk, buktinya surat itu dikembalikannya tanpa diganggu. Maka tidurlah Han Tiong, tidak menyangka sama sekali apa yang telah terjadi di luar.

Thian Sin sama sekali bukan seperti yang disangkanya berjalan-jalan di luar! Pemuda itu setelah tiba di luar rumah penginapan, lalu mengerahkan seluruh kepandaiannya dan gin-kangnya, lalu secepatnya kembali ke kota Lok-yang! Perjalanan yang dilakukannya ini jauh lebih cepat daripada ketika mereka berdua meninggalkan kota Lok-yang yang berkuda siang tadi karena Thian Sin menggunakan ilmu berlari cepat. Dia tidak mau menunggang kuda karena tidak ingin kakaknya mengetahui bahwa dia pergi ke Lok-yang. Dia harus pergi ke sana, harus menemui Lian Hong! Tekad inilah yang membuat dia lari secepat angin menuju ke kota itu.

Rumah keluarga Ciu sepi sekali malam itu. Agaknya semua orang telah tidur. Akan tetapi benarkah itu? Kiranya tidak semua penghuninya telah pulas. Lian Hong belum tidur dan dara ini masih duduk di atas pembaringannya. Sejak ia merebahkan diri tadi, hatinya terasa gelisah saja dan ia tidak dapat tidur. Bayangan dua orang pemuda yang siang tadi pergi, selalu terbayang olehnya. Dia tidak tahu bahwa ada bayangan berkelebat dengan kecepatan luar biasa di atas genteng rumahnya.

Bayangan itu adalah Thian Sin yang sudah mengenal benar di mana letak kamar Lian Hong dan ke situlah dia menuju. Setelah mengintai dari atas genteng dan melihat bayangan Lian Hong di dalam kesuraman cahaya lilin kecil itu masih duduk di atas pembaringan, Thian Sin menjadi girang sekali. Gadis itu belum tidur! Maka diapun lalu meloncat turun dengan hati-hati sekali dari atas genteng, menghampiri jendela kamar itu dan mengetuknya dengan lirih tiga kali. Hening sejenak, lalu terdengar suara Lian Hong,

"Siapa...?"

"Ssttt... aku, Hong-moi... aku Thian Sin..."

"Hehh...? Sin-ko...? Ada apa... mengapa...?"

"Hong-moi, keluarlah, kita bicara di luar. Aku ingin bicara denganmu, penting sekali!"

Bisik pula Thian Sin. Daun pintu kamar itupun dibuka dari dalam dan keluarlah Lian Hong. Dia terpesona memandang dara itu yang nampak lebih cantik daripada biasanya! Lian Hong telah mengenakan pakaian ringkas dan ditutupnya dengan mantel merah. Rambutnya agak kusut karena tadi sudah rebah untuk tidur. Sepasang matanya terbelalak penuh keheranan memandang wajah pemuda itu.

"Sin-ko, kau di sini...? Apa yang terjadi dan..."

"Ssttt... mari kita bicara di taman, Hong-moi. Jangan sampai mengagetkan keluargamu."

Thian Sin mendahului gadis itu berjalan keluar dari situ, menuju ke taman yang letaknya di samping kanan rumah. Dengan ragu-ragu dan heran akan tetapi tanpa bertanya atau membantah lagi, Lian Hong mengikutinya. Ia tentu saja tidak menaruh curiga apa-apa terhadap pemuda yang telah dipercayakan sepenuh hatinya itu.

"Duduklah, Hong-moi, aku mau bicara," kata Thian Sin dan melihat sikap pemuda itu begitu sungguh-sungguh, Lian Hong menjadi makin terheran-heran, akan tetapi diapun lalu duduk di atas bangku batu, berhadapan dengan pemuda itu, dipisahkan oleh meja batu yang bundar.

"Sin-ko, ada apakah? Mengapa engkau berada di sini? Bukankah kalian telah berangkat tadi? Dan di mana Tiong-ko?"

"Hong-moi, aku minta dengan sangat agar engkau suka bersikap jujur dan berterus terang kepadaku, karena hal ini sama saja dengan urusan mati hidup bagiku."

“Apa artinya ini, Sin-ko? Apa yang kaumaksudkan dengan ucapanmu itu? Aku sungguh tidak mengerti!"

”Hong-moi, bahwa aku... aku cinta padamu."

Lian Hong memandang bayangan pemuda itu dengan mata terbelalak. Tempat itu hanya diterangi oleh bintang-bintang di langit sehingga biarpun mereka duduk berhadapan, hanya terhalang sebuah meja batu, namun mereka hanya dapat melihat bayangan masing-masing. Lian Hong bukan terkejut mendengar pernyataan cinta dari penuda itu, karena memang sudah dapat menduganya, karena sinar mata, juga suara pemuda itu jelas membayangkan perasaan hatinya.

Ia hanya terheran-heran mendengar betapa Thian Sin yang sudah meninggalkan kota Lok-yang itu, kini datang pada malam hari untuk menyatakan cintanya! Melihat dara itu hanya diam saja dan agaknya memandang kepadanya dengan penuh keheranan, Thian Sin yang sudah dapat melampaui garis yang menggelisahkan hatinya, yaitu pengakuan cinta tadi, kini melanjutkan, suaranya lebih tenang.

"Hong-moi, lebih baik aku bicara terus terang, dan kuharap engkau juga suka bersikap jujur, Hong-moi, sejak aku bertemu denganmu, aku telah jatuh cinta padamu. Engkau tentu merasakan pula hal ini dan kalau aku tidak salah sangka, melihat sikapmu kepadaku, kalau belum boleh dikatakan mencinta. Hong-moi, benarkah ucapanku ini bahwa engkaupun mencintaku?"

Setelah didesak-desak, akhirnya Lian Hong yang sejak tadi belum dapat menghilangkan rasa terkejut dan herannya, kini menarik napas panjang. Ia merasa sukar untuk menjawab pertanyaan yang begitu tiba-tiba datangnya, apalagi pertanyaan tentang cinta!

"Sin-ko... bagaimana aku harus menjawabmu? Engkau adalah putera angkat dan juga murid Paman Cia Sin Liong, dan engkau bersama Tiong-ko sudah begitu baik kepada kami, bahkan kalian telah memperlihatkan kegagahan dengan merampas kembali barang-barang yang dirampok gerombolan itu. Tentu saja aku merasa kagum dan suka padamu..."

"Dan engkau bersedia untuk menjadi isteriku, Hong-moi?"

"Aihhh...!" Lian Hong setengah menjerit karena sungguh tidak mengira akan menerima pertanyaan semacam itu.

"Jawablah sejujurnya, kuminta kepadamu, berterus-teranglah..."

"Ah, Sin-ko, bagaimana aku harus menjawab pertanyaan seperti itu? Soal perjodohan... ah, itu adalah urusan orang tuaku, soal jodoh adalah urusan mereka... mana mungkin aku dapat menjawab sendiri...?"

"Hong-moi, mari kita bicara secara terbuka saja, karena jawaban-jawananmu yang berterus-terang amat penting bagiku. Dengarlah. Aku sudah tahu bahwa ayahmu telah menitipkan surat kepada Tiong-ko. Nah, sekarang katakanlah terus terang, apakah engkau mencinta Tiong-ko? Jawablah Hong-moi, apakah engkau lebih mencinta Tiong-ko daripada aku? Karena aku mempunyai keyakinan bahwa engkau cinta kepadaku, maka berita tentang ikatan jodoh antara engkau dan Tiong-ko itu sungguh mengejutkan hatiku. Aku harus mengetahui isi hatimu, Hong-moi. Siapakah yang kaupilih antara kami? Siapakah yang lebih kaucinta?"

Lian Hong menundukkan mukanya. Ia tentu saja sudah diberi tahu oleh kakaknya, Bun Hong, tentang ikatan jodoh itu dan memang ia sudah ditanya oleh kakaknya tentang itu dan ia sudah mengambil keputusan dan berterus terang kepada kakaknya bahwa ia memilih Han Tiong. Berdasarkan pilihannya itulah ayahnya mengirim surat kepada Pendekar Lembah Naga.

"Sin-ko, bagaimana harus kukatakan? Aku suka kepada kalian berdua, kagum dan juga bangga. Kalian adalah dua orang pemuda yang hebat."

"Tapi... tapi... kalau engkau dihadapkan pada pilihan ini, siapakah yang lebih kauberatkan, Hong-moi...? Aku ataukah Tiong-ko? Jawablah, agar hatiku tidak merasa penasaran lagi, Hong-moi!" Thian Sin mendesak.

LANJUT KE JILID 018--->
<---Kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar