Rabu, 12 Februari 2014

Petualang Asmara Jilid 011

Petualang Asmara Jilid 011

<--kembali

“Lepaskan aku...! Lepaskan...! Kongkong...!” Dia menjerit-jerit sampai suaranya menjadi parau.

“Diam! Anak bodoh! Engkau sudah untung sekali tidak kubunuh, tahu? Apakah minta kubunuh?” Dia mendekatkan golok yang berlepotan darah ke depan muka Bi Kiok sehingga anak itu terbelalak dengan muka pucat, hampir pingsan ketika hidungnya mencium bau darah yang memuakkan.

“Katakan di mana adanya bocah iblis gundul itu?”

Bi Kiok menggeleng kepala dan menelan ludah karena sukar sekali dia mengeluarkan suara, lehernya seperti tercekik dan mulutnya tiba-tiba menjadi kering saking takutnya.

“Ti... tidak tahu...” Akhirnya dapat juga dia bersuara.

“Bukankah dia tidur di kamar kakekmu?” kembali Si Gemuk menghardik dan kini dia merenggut penutup mukanya. Semua pembantunya telah dibunuhnya, tidak perlu lagi menyembunyikan muka.

“Aku tidak tahu... tadi dia masih bercakap-cakap dengan Kong-kong... uhu-hu-huuu... !” Bi Kiok menangis lagi, teringat akan kakeknya yang telah tewas.

“Diam! Kalau menangis terus dan kesabaranku habis, golok ini akan minum darahmu! Hayo kita pergi!”

“Tidak mau... hu-hu-huhhh... tidak mau...!”

“Plakkk!” Pipi anak perempuan itu ditampar dan tubuhnya terguling ke atas lantai. “Engkau membandel, ya? Baik, lebih baik begitu, kau mampus sekalian agar kelak tidak merepotkan. Akan tetapi sebelum mati, sayang kalau dibunuh begitu saja. Engkau masih kecil, akan tetapi sudah manis sekali!”

Seperti seekor harimau yang buas menubruk seekor anak domba yang ketakutan, Phoa Sek It menubruk Bi Kiok, tangannya merenggut, terdengar kain terkoyak ketika dengan penuh nafsu binatang buas dia merenggut pakaian gadis cilik itu.

“Breetttt...!! Aihhhh... tolong...!!” Bi Kiok menjerit, tidak mengerti bahaya apa yang mengancam dirinya, hanya mengira bahwa Phoa Sek it tentu hendak membunuhnya.

“Babi gendut memuakkan!! Plakkk!!”

Phoa Sek It terkejut bukan main. Pundaknya seperti akan remuk menerima sebuah tamparan yang datangnya tiba-tiba dan tak mungkin dapat dielakkannya tadi, apalagi karena dia sedang diamuk nafsu. Ketika dia menyambar golok yang, tadi diletakkan di atas tanah ketika dia hendak memperkosa gadis cilik itu, melompat sambil membacokkan golok dengan tubuh diputar, dia melihat seorang wanita berdiri dengan sikap tenang. Wanita itu pakaiannya indah dan bersih, rambutnya yang panjang tersisir rapi dan digelung seperti model puteri bangsawan, di punggungnya tampak sebatang pedang yang panjang melengkung dan aneh, tubuhnya kecil pendek dan biarpun usianya sudah tiga puluh tahun lebih, namun masih cantik menarik, dan kerling matanya serta senyumnya kelihatan genit sekali. Dia berdiri memandang Phoa Sek It sambil mengerling dan tersenyum-senyum!

“Iblis betina!” Phoa Sek It membentak marah. “Siapa engkau berani main gila dengan Golok Maut?”

“Babi kotor, anjing hina yang hendak memperkosa anak kecil! Aku tahu engkau Phoa Sek It bekas pengawal Laksamana The Hoo! Sudah lama kuawasi engkau dan setelah malam ini kau membunuhi anak buahmu, tentu engkau telah menemukan bokor itu! Hayo keluarkan bokor itu dan serahkan kepada Nona Bu!”

Seketika pucat wajah Phoa Sek It mendengar ucapan itu. Bukan hanya rahasianya telah bocor, bahkan wanita ini adalah seorang yang tak disangka-sangkanya akan pemah berhadapan dengan dia.

“... kau... kau... Siang-tok Mo-li...?”

Wanita itu menjebikan bibirnya yang merah segar dengan lagak genit sekali, dan mengulur tangan kiri minta bokor tanpa bicara lagi. Tentu saja Phoa Sek It kaget dan merasa ngeri karena wamta cantik yang biasanya menyebut dirinya sendiri “Nona Bu” ini bukan lain adalah Bu Leng Ci yang berjuluk Siang-tok Mo-li (Iblis Betina Racun Wangi), yang pada waktu itu merupakan datuk ke lima di dunia persilatan, amat terkenal bukan hanya karena kesaktiannya akan tetapi juga karena sepak terjangnya yang menggegerkan dan kekejamannya terhadap lawan-lawannya!

“Aku... eh siauwte... tidak tahu tentang bokor… harap Nona yang sakti mengampuni…” Phoa Sek It berkata dengan suara gemetar, akan tetapi sepasang matanya bergerak-gerak mencari akal. Biarpun nama perempuan ini menggegerkan dunia kang-ouw, akan tetapi dia belum begitu percaya apakah seorang wanita yang cantik dan kelihatan lemah ini tidak dapat dilawannya.

“Bohong! Lekas serahkan!” Wanita itu melangkah maju, kini dekat sekali dan lengan kirinya masih terulur ke depan, untuk menerima bokor yang agaknya dia merasa yakin pasti akan diserahkan oleh Phoa Sek It kepadanya.

Karena dia sudah mendengar akan keganasan dan kekejaman wanita iblis ini, Phoa Sek It yang sejak tadi sudah siap, begitu tangan wanita itu berada dekat sekali sehingga tidak mungkin menghindar lagi, secepat kilat dia menyabetkan golok besarnya ke arah lengan yang terulur itu!

“Siuuuuttt...!” Golok lenyap berubah menjadi sinar saking cepat gerakannya.

“Capppp!!”

Mata Phoa Sek It terbelalak. Dia merasa seperti dalam mimpi dan tak percaya dia memandang, biarpun dia sudah melotot dan melihat jelas betapa jari tangan yang halus kecil dengan kuku meruncing terpelihara bagus itu “menjemput” goloknya tadi dan kini jari-jari tangan itu menangkap mata goloknya seperti lagak seorang dara jelita menangkap seekor kupu-kupu pada sayapnya! Dengan hati penuh rasa tidak percaya sehingga perasaan ini mengalahkan kegentarannya, Phoa Sek It mengerahkan tenaganya menarik untuk membetot lepas goloknya dari jepitan jari-jari tangan yang kecil mungil itu.

“Hemmm…!” Suara ini keluar sebagai ejekan dari tenggorokan wanita itu dan tiba-tiba terdengar suara “krekkkk!!” dan golok itu telah diremasnya patah-patah menjadi tiga potong!

Phoa Sek It menjadi bengong, kemudian dia bergidik, bulu tengkuknya berdiri dan dia mengeluarkan suara “…ihhhh…” penuh rasa gentar dan ngeri, kemudian membalikkan tubuhnya dan melarikan diri seperti seorang anak kecil takut melihat bayangan setan.

“Wuuuuttt…! Krekkk….!!”

Tubuh Phoa Sek It yang gendut dan sedang melarikan diri itu tiba-tiba terhenti gerakannya, matanya mendelik karena tiba-tiba dia tidak dapat bernapas lagi lehernya tercekik. Ketika dia meraba lehernya, temyata lehernya telah terlibat benda yang lemas sekali. Tiba-tiba ada tenaga raksasa yang menarik tubuhnya ke belakang, tidak dapat dilawannya dan akhirnya dia terbanting ke belakang, terjengkang ke depan kaki wanita itu. Ketika dia melihat, ternyata rambut wanita ini telah terurai lepas, panjang halus dan harum, dan rambut itulah yang tadi menangkapnya dengan membelit lehemya. Tanpa menggunakan kaki tangan, hanya menggunakan rambutnya yang halus panjang itu saja, Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci telah berhasil merobohkannya! Seketika lenyap nyali Phoa Sek It dan dia merangkak, berlutut di depan kedua kaki yang kecil dan bersepatu baru itu.

“Ampunkan nyawa hamba...” Suaranya seperti orang merengek dan menangis.

“Crottt! Augghhh...!!” Phoa Sek It mendekam dan tubuhnya menggigil saking nyerinya. Pundaknya telah berlubang dan tulang pundaknya remuk ketika wanita ltu menggunakan jari telunjuknya menusuk pundak itu. Jari yang tadi meremas patah golok itu dengan mudah sekali menembus kulit daging, bahkan meremukkan tulang pundaknya!

“Katakan di mana bokor itu dan serahkan kepadaku!” Kembali Bu Leng Ci berkata, suaranya masih merdu dan kerling mata serta senyumnya masih genit, justeru itulah yang membuat dia amat menyeramkan.

Biarpun diancam maut akan tetapi tentu saja tidak mudah buat Phoa Sek It untuk melepaskan bokornya. Bertahun-tahun dia dengan susah payah mencari benda pusaka itu dan bahkan sampai saat ini pun kiranya belum dapat ia temukan kalau tidak kebetulan bocah gundul itu datang membawa pusaka itu. Mana mungkin sekarang diberikan begitu saja kepada wanita iblis ini?

“Ham... hamba... tidak tahu...”

“Adduuuhhh... am… ampuuuunnnn…!” jerit yang keluar dari mulut Phoa Sek It mengerikan sekali, melengking atau melolong seperti serigala menangis dan rasa nyeri yang dideritanya membuat dia hampir tidak kuat bertahan. Wanita iblis itu dengan masih tersenyum sudah menggerakkan jari tangannya yang amat kuat dan sebelum Si Gendut tahu apa yang terjadi, tahu-tahu jari tangan itu dengan kukunya yang runcing telah mencubit dan merobek kulit kepalanya bagian pelipis, terus merobek ke atas sehingga kulit kepalanya dari pelipis ke atas, sepanjang sepuluh senti, terkupas dari kepala. Bukan main hebat kenyerian yang dideritanya, sulit dilukiskan, perih dan panas, kiut-miut rasanya sampai ke jantung yang seperti ditusuk-tusuk, isi kepala seperti diremas-remas, seluruh tubuhnya menggigil.

Dengan sepasang mata terbelalak dan muka pucat sekali penuh kengerian Bi Kiok melihat siksaan ini. Sambil memegangi bajunya yang koyak-koyak menutupi tubuh bagian depan yang terbuka, gadis cilik itu melihat Phoa Sek It dan lenyaplah segala kebenciannya terhadap orang gendut itu. Lupa lagi dia betapa Si Gendut itu telah membunuh kakeknya secara keji dan biadab, betapa semua pembantunya telah dibunuh pula, dan betapa tadi Phoa Sek It akan membunuhnya juga. Dia lupa akan semua itu, kebenciannya berubah menjadi perasaan tidak tega dan kasihan menyaksikan Si Gendut itu mengalami penyiksaan yang mengerikan itu.

“Paman Phoa Sek It, mengapa kau tidak mengaku? Engkau telah membunuh Kakek dan semua pembantumu, engkau telah menyembunyikan bokor itu. Katakan saja di mana!” Bi Kiok berkata.

Mendenga ini, Phoa Sek It terkejut dan dia masih sempat memandang ke arah Bi Kiok dengan mata mendelik penuh kemarahan, dan saking marahnya dia sampai lupa diri dan keadaan, memaki, “Anjing kecil, tutup mulutmu...!”

Akan tetapi kembali dia meraung karena jari-jari tangan yang seperti ujung-ujung pisau runcing itu telah mencengkeram dadanya, menghunjam ke dalam kulit daging, akan tetapi gerakan itu tidak dilanjutkan dan terdengar suara wanita itu,

“Di mana bokor itu?”

“Di... dalam perahu... di tepi sungai…” Kata-katanya disusul suaranya melengking, berkelojotan. Bi Kiok menutupi muka dengan kedua tangannya. Terlampau hebat dan mengerikan apa yang dia lihat dan saksikan itu. Wanita itu menggerakkan tangannya yang mencengkeram dan lima jari tangan berikut lengannya telah memasuki rongga dada Phoa Sek It, kemudian setelah tangan dicabut kembali, jari-jari tangan itu telah menggenggam sebuah benda merah yang berlepotan darah dan terus benda itu dimakannya! Itulah jantung yang masih hangat dan agak bergerak menggelepar yang dicabutnya dari dalam rongga dada Phoa Sek It. Dan beginilah satu di antara cara-cara Bu Leng Ci membunuh lawan. Tidak mengherankan apabila dia menjadi tokoh atau datuk ke lima dari dunia persilatan, dan dijuluki Mo-li (Iblis Betina) karena memang dia berhati keras dan ganas seperti iblis!

“Mari kita cari bokor itu.”

Bi Kiok yang merasa betapa pundaknya disentuh tangan halus dan mendengar suara yang merdu ramah, menurunkan kedua tangan dan memandang. Wanita itu kelihatan ramah dan cantik sekali, tersenyum kepadanya dan kedua tangan wanita itu bersih putih, entah ke mana perginya darah yang tadi membasahi tangannya.

Seperti dalam mimpi, Bi Kiok melangkah dan menurut saja diajak oleh wanita itu, digandeng tangannya. Wanita itu melangkahi mayat Phoa Sek It dan Bi Kiok terpaksa meloncatinya juga tanpa memandangnya.

“Di sini hanya ada empat buah perahu... eh, mengapa hanya ada tiga? Mana yang sebuah lagi?” Bi Kiok berkata ketika mereka tiba di tepi sungai.

“Mari kita mencari bokor itu,” kata Bu Leng Ci. Mereka memeriksa tiga buah perahu, akan tetapi tentu saja mereka tidak dapat menemukan bokor yang telah terbawa ke dalam perahu yang dilarikan Kun Liong!


“Hemm, tentu berada di dalam perahu ke empat yang tidak ada lagi di sini. Anak yang baik, siapakah di antara kalian yang tidak mati terbunuh oleh Phoa Sek It, kecuali engkau sendiri?”

Bi Kiok menggeleng kepala dan mengerutkan alisnya, “Semua sudah mati, termasuk kakekku. Aku melihat sendiri semua berjumlah empat belas orang dengan kakekku, dibunuh Paman Phoa... eh, agaknya dia yang membawa perahu! Aihhh! Benar, aku sampai lupa! Tentu Liong-twako dan dia sudah selamat. Syukurlah! Dia berhasil menyelamatkan diri, membawa perahu dan…” Tiba-tiba Bi Kiok berhenti bicara dan memandang wanita itu dengan kaget.

“Dan bokor itu dibawanya pula?” Wanita itu mendesak.

“Aku tidak tahu…”

“Siapa itu Liong-twako?”

“Liong-twako adalah anak laki-laki yang telah menemukan bokor...”

“Ehh? Coba ceritakan yang jelas!”

Bi Kiok lalu menuturkan bagaimana dia dan kakeknya secara kebetulan menolong Yap Kun Liong yang hanyut di sungai dan betapa tanpa disengaja Kun Liong telah menemukan bokor itu di dasar sungai. Semua dia tuturkan dengan jelas dan didengarkan oleh Bu Leng Ci dengan penuh perhatian.

“Demikianlah. Malam tadi dia masih bercakap-cakap dengan Kakek, kemudian aku tertidur dan entah ke mana perginya Liong-twako. Ketika aku terbangun tahu-tahu dia telah lenyap, Kakek terbunuh oleh Paman Phoa dan aku ditariknya keluar dari kamar.”

Iblis betina itu mengangguk-angguk. “Aku yakin sekarang. Tentu Yap Kun Liong itu yang membawa bokor. Entah bagaimana dia dapat mengambilnya dari tangan Phoa Sek It, akan tetapi seorang bocah seaneh dia, yang telah menemukan bokor dan selama sehari hanyut di sungai yang banjir dalam keadaan selamat, bukan tidak mungkin dapat melakukan hal-hal yang luar biasa. Mari kita cari dia!”

“Aku... apakah aku... harus ikut?”

“Anak baik. Siapa namamu?”

“Namaku Yo Bi Kiok.”

“Hemmm, nama yang manis seperti orangnya. Engkau hanya berdua dengan kakekmu, bukan? Sudah lama kulihat engkau bersama rombongan itu.”

Bi Kiok mengangguk. “Aku yatim, piatu.”

“Bagus!”

“Mengapa bagus?” Bi Kiok memandang dengan penasaran. Yatim piatu, tak berayah tak beribu sekarang kehilangaan kakek pula, dikatakan bagus!

“Jadi engkau sebatangkara, tiada sanak kadang, hidup seorang diri di dunia?”

Bi Kiok masih memandang penasaran, akan tetapi dia mengangguk juga.

“Bagus!”

Bi Kiok merenggut lepas tangannya yang digandeng wanita itu, kepalanya ditegakkan dan suaranya nyaring penuh keberanian ketika dia berkata, “Bibi, engkau sungguh kejam sekali, mengejek dan mempermainkan seorang anak-anak seperti aku! Aku memang yatim piatu, tiada sanak kadang, hidup seorang diri di dunia, akan tetapi tidak ada sangkut pautnya dengan Bibi. Tidak perlu Bibi mengejek dan mengatakan bagus!”

Sepasang mata wanita cantik itu bersinar-sinar, kemudian dia mengangkat kedua tangan ke atas, dibentuk seperti sepasang cakar garuda, agaknya siap untuk mencengkeram kepala Bi Kiok. Gadis cilik itu menatap tajam, sedikit pun tidak takut!

“Hi-hik, engkau tidak takut? Kalau tanganku ini turun, kepalamu akan pecah-pecah!”

“Aku tidak takut! Aku tidak takut mati, tidak takut padamu!” Bi Kiok berkata lantang.

“Heh-heh-heh, bagus!” Wanita itu kembali memuji dan menurunkan kedua tangannya lagi.

“Lagi-lagi bagus! Apanya yang bagus!” Bi Kiok membentak, kini marah sekali, kedua tangannya dikepal seolah-olah dia hendak menyerang iblis betina itu!

“Tentu saja bagus, anak baik. Engkau hidup seorang diri di dunia, seperti aku! Tadinya kukira engkau penakut, tidak tahunya tadi engkau kelihatan takut karena dilanda duka dan ngeri, sebenarnya engkau seorang pemberani yang bernyali besar. Orang seperti engkau ini sungguh sudah pantas sekali menjadi muridku.”

“Muridmu?”

“Ya, muridku, murid Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci, hal yang belum tentu terjadi di antara selaksa orang anak perempuan!”

Bi Kiok seorang yang cerdik sekali. Biarpun usianya baru delapan tahun, akan tetapi dia maklum bahwa keadaannya yang sebatang kara itu akan sukar sekali, dari mana-mana akan muncul bahaya yang mengancamnya. Kini muncul wanita cantik ini, yang biarpun kejam seperti iblis akan tetapi memiliki ilmu kepandaian yang menakjubkan, sehingga orang seperti Phoa Sek It dibuat permainan, dan wanita ini mengambilnya sebagai murid. Serta-merta dia menjatuhkan diri berlutut dan berkata,

“Teecu (murid) senang sekali menjadi murid Subo (Ibu Guru)!”

Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci tertawa gembira, menarik bangun muridnya, menggandeng tangan muridnya sambil meloncat ke atas sebuah di antara tiga perahu itu sambil berkata, “Mari kita kejar bocah she Yap itu!”

Perahu Kun Liong sudah memasuki sungai Huang-ho. Hatinya merasa tenteram karena telah lama dia berlayar, tidak ada yang tampak mengejarnya. Hari telah siang dan sinar matahari yang terik membuat seluruh tubuhnya berpeluh. Akan tetapi dia tidak berhenti dan terus melayarkan perahunya. Pagi tadi ada empat orang ikut dengan perahunya dan untuk itu dia telah menerima sedikit uang dan makanan. Perutnya tidak lapar lagi dan sewaktu-waktu dia dapat berhenti untuk membeli makanan.

Menjelang sore, tampak dua orang di tepi sungai yang memanggilnya. “Harap minggir! Kami hendak menumpang!” Demikian teriakan laki-laki itu. Yang seorang lagi, wanita masih muda, berdiri di dekat laki-laki itu.

Kun Liong meminggirkan perahunya. Lumayan, pikirnya. Makin banyak penghasilannya makin baik karena melakukan perjalanan tanpa bekal sungguh berbahaya, kadang-kadang dia menderita kelaparan. Pula, melihat bahwa yang ingin menumpang perahunya adalah sepasang suami isteri, dia merasa kasihan. Hari amat panas dan membiarkan seorang wanita kepanasan menanti perahu, amat tidak patut.

“Bisakah engkau mengantar kami ke kota Liok-ek-tung? Perahumu hendak ke sana, bukan?” tanya laki-laki itu dengan ramah.

Kun Liong hanya mengangguk. Dia tidak tahu di mana itu Liok-ek-tung, akan tetapi karena laki-laki itu menudingkan telunjuknya ke depan, berarti arah yang mereka tuju sama karena dia pun tidak mempunyai tujuan tertentu, asal menurutkan ke mana air Sungai Huang-ho mengalir!

“Silakan, Ji-wi naik,” kata Kun Liong tanpa banyak komentar. Laki-laki itu kelihatan galak, wajahnya biasa saja, mungkin pedang yang tergantung di punggung itulah yang membuat dia kelihatan galak. Akan tetapi isterinya, yang paling banyak berusia dua puluh tahun, sepuluh tahun lebih muda daripada suaminya, amat cantik dengan pakaian sederhana namun tidak menyembunyikan bentuk tubuhnya yang bagus. Si suami dengan sikap penuh kasih sayang membantu isterinya melangkah naik ke dalam perahu. Setelah isterinya naik dan duduk di bangku perahu, barulah dia sendiri naik sambil membawa buntalan besar yang agaknya bekal pakaian mereka. Setelah mereka duduk, Kun Liong menggerakkan dayungnya, hendak mendayung perahu ke tengah. Kini dia sudah mulai biasa mengemudikan perahu, setelah beberapa kali dia terpaksa menjadi tukang perahu, semenjak membantu para nelayan, sampai terpaksa melarikan perahu dua kali!

“Heeei, bung cilik gundul tukang perahu! Tunggu dulu aku mau ikut!” Tiba-tiba terdengar teriakan dan Kun Liong menghentikan dayungnya, menoleh dan melihat seorang laki-laki berpakaian sastrawan naik ke atas perahunya. Sekali pandang saja, dia merasa tidak suka kepada sastrawan muda itu, dan mungkin sekali rasa tidak suka ini timbul ketika mendengar sebutan “gundul”. Pula, seorang sastrawan semestinya tahu aturan, tidak sekasar itu, apalagi kalau melihat bahwa di dalam perahu itu sudah ada seorang wanita yang menumpang. Dia melihat bahwa sastrawan itu lebih muda daripada orang yang membawa pedang. Usianya antara dua puluh lima dan tiga puluh tahun. Pakaiannya indah, dari kain halus, wajahnya tampan dengan kulit muka putih, sepasang matanya selalu bersinar-sinar. Akan tetapi mulut yang agak terlalu lebar dan selalu tersenyum itu menimbulkan rasa tidak suka di hati Kun Liong. Gerak senyum pada mulut lebar itu mengandung ejekan, bahkan kekejaman! Akan tetapi dia tidak peduli dan bertanya,

“Tuan hendak ke mana?”

“Ke mana saja perahumu menuju, heh-heh!”

Kun Liong tidak bertanya lagi, terus mendayung perahunya ke tengah dan memasang layar. Setelah perahunya meluncur, dia segera duduk memegang kemudi, mengambil sikap seolah-olah tidak memperhatikan tiga orang penumpangnya itu.

Si Sastrawan itu sudah menghadapi suami isteri yang duduk di atas papan, membungkuk dan mengangkat kedua tangan depan dada, akan tetapi matanya mengerling tajam ke arah dada membusung yang tertutup pakaian sederhana wanita itu. “Harap Ji-wi (Kalian Berdua) sudi memaafkan saya kalau kehadiran saya mengganggu Ji-wi.”

Wanita itu dengan muka merah dan malu-malu hanya menunduk membiarkan suaminya yang menjawab. Tidak biasa dia berhadapan dengan laki-laki asing, apalagi seorang laki-laki muda dan tampan menarik seperti sastrawan ini!

“Ahh, harap Kongcu jangan bersikap sungkan. Kita sama-sama hanya penumpang perahu ini. Kami suami isteri hendak pergi ke Liok-ek-tung, tidak tahu Kongcu hendak pergi ke manakah?” Laki-laki berpedang itu membalas penghormatan dan menjawab dengan suara ramah pula.

“Ah, saya hanya seorang pelancong, ke mana pun baik saja. Dan kalau perahu ini pergi ke Liok-ek-tung, ke sanalah saya pergi. Sungguh merupakan keuntungan dan kehormatan besar sekali bagi saya dapat bersama Ji-wi naik perahu. Sungguh menyenangkan sekali!”

Isteri itu mencuri pandang, mengangkat mata yang tadinya menunduk dan kebetulan siucai (sastrawan) itu pun mengerling ke arahnya sehingga dalam waktu satu dua detik, dua pasang mata itu bertemu pandang. Wanita itu makin merah mukanya dan cepat melempar pandang ke bawah lagi, memandangi lantai perahu kemudian ke luar perahu, seolah-olah dia dia tertarik oleh bayangan ikan-ikan yang berenang di pinggir perahu, bibimya yang tipis merah itu tersenyum-senyum dikulum.

“Kami yang merasa terhormat sekali dapat melakukan perjalanan bersama Kongcu,” Si Suami berkata lagi. “Silakan duduk, Kongcu.”

“Terima kasih.” Sastrawan itu mengambil tempat duduk di atas papan, berhadapan dengan suami isteri itu. “Congsu (Tuan) sungguh baik hati. Perkenalkan, saya Ouw Ciang Houw, tinggal di Nam-cu di selatan dan sekarang setelah selesai menempuh ujian dengan hasil baik, sebelum pulang, saya melancong dulu.

“Ahh, kiranya seorang siucai (sastrawan lulus ujian), harap maafkan kalau kami berlaku kurang hormat, Ouw-siucai. Nama saya Gui Tiong, dan ini isteri saya. Kami tinggal di Liok-ek-tung dan di sana saya membuka perguruan silat.” Ouw-siucai membelalakkan matanya, kelihatan terkejut. “Wah, kiranya saya berhadapan dengan seorang ahli silat yang lihai dan menjadi guru! Maaf, maafkan saya, Gui-kauwsu (Guru Silat Hui).”

“Aah, Ouw-siucai terlalu merendah. Saya hanya membuka perguruan silat kecil-kecilan saja karena kebisaanku pun tidak seberapa. Pula, kata orang, sekarang ini kepandalan bun (sastra) lebih berharga daripada bu (silat), dan gerakan sebatang pit (alat tulis) jauh lebih berbahaya daripada gerakan sebatang pedang!” Yang dimaksudkan dengan kata-kata ini adalah bahwa kepandaian menulis lebih berbahaya daripada pedang, karena dengan kepandaian menulis seorang dapat menjatuhkan fitnah yang lebih berbahaya daripada serangan pedang, pula kepandaian menulis dapat membawa orang kepada kedudukan yang lebih tinggi.

Ouw-siucai tertawa, sengaja dibuat-buat agar terdengar enak dan gagah, dan tentu saja ini dimaksudkan untuk mendatangkan kesan di hati wanita cantik yang duduk menunduk di depannya. “Ha-ha-ha, Gui-kauwsu bisa saja! Akan tetapi, mungkin benar juga kata-kata itu. Saya sih tidak mempunyai kepandaian apa-apa kecuali sedikit coret-coret dan kesenanganku yang lain adalah bermain dadu dan minum arak”

“Wah, kesenangan itu cocok dengan kesenanganku. Sayang tidak ada dadu dan kalau ada tentu kita berdua dapat melewatkan waktu dengan gembira sambil menanti sampainya perahu ini ke Liok-ek-tung…”
“Jangan khawatir, Gui-kauwsu. Saya selalu membawa bekal!” Seperti orang main sulap saja, siucai itu mengeluarkan seguci besar arak dan sebuah dadu dengan mangkoknya dari dalam saku jubahnya yang lebar. Melihat ini, guru silat itu tertawa bergelak dan dengan gembira mereka lalu bermain dadu. Mula-mula mereka bermain dengan taruhan minum arak, dan dalam hal ini, peruntungan mereka agaknya seimbang karena mereka yang menang menerima secawan arak hampir bergantian. Karena kemasukan arak, mereka berdua menjadi makin gembira dan seringkali terdengar suara mereka tertawa bergelak. Isteri guru silat itu hanya menonton dan kadang-kadang dia pun ikut tersenyum sehingga tampak deretan giginya yang putih dan kadang-kadang juga tampak ujung lidah kecil merah. Beberapa kali dia bertemu pandang dengan Si Siucai, tadinya secara tidak sengaja, akan tetapi lambat laun terjadi permainan mata di antara keduanya, sungguhpun nyonya muda itu bersikap malu-malu dan hal ini baru pertama kali dia lakukan selama hidupnya. Kesempatan memang merupakan penggoda yang amat kuat dan berbahaya. Kalau tidak ada kesempatan seperti ini, agaknya sampai mati pun nyonya muda itu tidak ada pikiran untuk bermain mata dan bertukar senyum dengan seorang laki-laki muda!
Arak telah habis, kegembiraan mereka berdua memuncak sehingga akhirnya, atas persetujuan berdua, mereka melanjutkan permainan dadu dengan taruhan uang ! Kun Liong yang mengemudikan perahu hanya menonton dari jauh, dari ujung perahu dan dia pun terbawa oleh kegembiraan mereka berdua itu. Akan tetapi setelah mereka berdua mempertaruhkan uang, dia mengerutkan alisnya dan diam-diam merasa tidak senang. Wajah kedua orang itu kini sungguh-sungguh dan tegang, tidak segembira tadi, dan bagaimana kalau seorang di antara mereka kalah dan kehabisan uang? Tentu tidak akan mampu membayar upah kepadanya!
Setelah kini permainan dadu disertai taruhan uang, agaknya bintang peruntungan siucai itu lebih terang dan dia lebih sering menarik uang guru silat itu sampai-sampai Si Guru Silat kehabisan uang dari saku bajunya dan mengambil bekal dari buntalan pakaian. Sementara itu, sore telah mendatang dan sungai mulai sunyi karena perahu-perahu telah kembali ke pelabuhan masing-masing. Hanya ada tampak beberapa buah perahu nelayan agak jauh.
Permainan dadu itu dilakukan dengan sederhana saja. Biji dadu yang hanya sebuah, yang mempunyai enam permukaan, diisi tulisan yang berarti jumlah satu sampai enam. Mereka mengocok biji dadu itu ke dalam mangkok, menutupi mangkok dengan telapak tangan, kemudian meletakkannya di atas lantai perahu dan membuka tangan yang menutup. Siapa yang mendapatkan angka sebanyak ketika mangkok dibuka, dialah yang menang.

lanjut ke Jilid 012-->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar