Rabu, 19 Februari 2014

Petualang Asmara 36

Petualang Asmara Jilid 036

<--kembali

Murid-murid kepala dari Si Bayangan Hantu Ang Hwi Nio ada belasan orang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Tentu saja kedudukan mereka lebih tinggi daripada lima orang pelayan itu, akan tetapi karena lima orang itu adalah kepercayaan subo mereka, apalagi mereka berlima itu adalah orang-orang dalam, mereka pun hanya bertanya. Ketika mendengar bahwa Si Gundul itu katanya hendak bertemu dan sikapnya mencurigakan, mereka membenarkan tindakan lima orang pelayan itu dan memutuskan bahwa pemuda itu ditahan sampai ketua mereka pulang.

Akan tetapi, mereka tidak tahu bahwa peristiwa itu menarik perhatian seorang gadis yang mereka segani, yaitu Yo Bi Kiok, murid Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci yang tinggal di pulau kecil! Yo Bi Kiok kini telah menjadi seorang dara yang cantik sekali akan tetapi sikapnya pendiam dan dingin, dan ilmu kepandaiannya tinggi. Memang dara ini memiliki bakat yang amat baik sehingga Bu Leng Ci yang merasa sayang kepadanya telah menggemblengnya sampai tingkat kepandaian gadis itu tidak berselisih banyak dari tingkat gurunya, dan tentu saja jauh lebih lihai daripada murid-murid kepala Si Bayangan Hantu. Bagi penghuni Pulau Telaga Setan itu, dara ini lebih dikenal dengan julukannya, yaitu Giok-hong-cu (Burung Hong Kemala) yang diambil dari mainan burung hong dari kemala yang dahulu dia terima sebagai hadiah dari Si Bayangan Hantu dan yang selalu dipakai di rambutnya.

Ketika Yo Bi Kiok atau Giok-hong-cu mendengar bahwa para pelayan Si Bayangan Hantu berhasil menawan seorang laki-laki gundul yang bukan hwesio, yang didengarnya dari para anak murid Kwi-eng-pang perempuan, dia merasa tertarik sekali. Maka dia lalu menemui lima pelayan itu dan menyatakan keinginannya untuk melihat Si Tawanan dari lubang rahasia.

“Hi-hi-hik, mau apa kau melihatnya, Nona? Dia tampan sekali, akan tetapi sayang kepalanya telanjang!”

“Telanjang...?” Giok-hong-cu Yo Bi Kiok berseru heran.

“Hi-hik, maksudku tidak ada selembar rambut pun menutupi kepalanya. Bersih dan bagus sekali kepalanya!”

Bi Kiok mengerutkan alisnya. Para pelayan ini adalah wanita-wanita yang genit dan tak tahu malu. Akan tetapi karena dia ingin membuktikan apakah tawanan ini benar orang yang disangkanya, dia mendesak dan akhirnya dia diperbolehkan mengintai dari lubang rahasia.

“Kun Liong...!” Hati Bi Kiok berseru kaget ketika dia mengintai dan mengenal pemuda gundul yang rebah telentang kelihatannya lemas dan lemah itu.

Bi Kiok maklum bahwa di pulau itu, biarpun bibi gurunya, Si Bayangan Hantu tidak ada, amatlah sukar dan berbahaya untuk menolong Kun Liong seperti yang pernah dia lakukan dahulu. Kalau ketahuan tentu terjadi ribut dan kalau sampai gurunya mendengar tentu dia akan dimarahi dan tentu Kun Liong takkan tertolong lagi. Sebaiknya menggunakan akal. Setelah memutar otak, Bi Kiok bergegas mendayung perahunya kembali ke pulaunya sendiri di mana dia tinggal bersama Bu Leng Ci dan hanya ditemani oleh beberapa orang pelayan waniia.

“Subo, ada kabar penting sekali dan kalau Subo tidak cepat-cepat turun tangan selagi Ang-su-i (Bibi Guru Ang) tidak ada, tentu kita didahului orang.”

“Hemm, ceritakanlah.”

“Akah tetapi, sebelumnya teecu minta supaya Subo suka mengampunkan kesalahan teecu yang pernah teecu lakukan kepada Subo.”

“Bi Kiok, engkau tidak pernah berbuat salah kepadaku, muridku.”

“Memang sesudah itu teecu menyesal sekali, apalagi mengingat akan segala kebaikan Subo. Hal itu lalu menjadi ganjalan hati teecu dan sekarang tiba saatnya teecu menebus kesalahan itu. Sesungguhnya, dahulu ketika Subo membunuh orang-orang Pek-lian-kauw dan mengalahkan Kiang-pangcu murid Ang-su-i, Subo bertemu dengan seorang anak laki-laki yang berkepala gundul. Ingatkah Subo?”

Bu Leng Ci mengerutkan alisnya. Sudah terlalu banyak orang dibunuhnya, dan peristiwa itu baginya biasa saja, maka dia tidak dapat mengingat lagi. Dia menggeleng kepalanya. “Aku sudah tidak ingat lagi, muridku.”

“Biarpun begitu, teecu mengakui kesalahan teecu yang amat besar kepada Subo. Ketahuilah bahwa bocah gundul dahulu itu adalah Yap Kun Liong yang dahulu menemukan bokor emas.”

Bu Leng Ci meloncat bangun. “Mengapa baru kauceritakan sekarang? Di mana dia?” Siluman betina itu membentak.

“Teecu memang merasa bersalah, karena dahulu teecu diam-diam menginginkan bokor itu sendiri. Setelah melihat betapa Subo amat sayang kepada teecu, amat baik kepada teecu, maka teecu tahu bahwa tiada bedanya kalau bokor itu terjatuh ke tangan Subo atau teecu sendiri. Maka teecu merasa menyesal bukan main. Dan sekarang... sekarang Yap Kun Liong itu telah berada di Pulau Telaga Setan, menjadi tawanan para pelayan Bibi Guru Ang!”

“Apa?”

“Subo, teecu merasa bersyukur sekali bahwa Subo tidak marah kepada teecu. Sekarang sebaiknya kalau Subo pergi ke sana dan minta tawanan itu dengan alasan bahwa tawanan itu amat penting dan khawatir kalau-kalau dirampas orang karena Ang-su-i tidak berada di pulau. Kalau sudah berada di tangan kita, akan kubujuk agar dia suka memberi tahu di mana adanya bokor emas itu.”

“Bagus! Dan kalau dia tidak bisa dibujuk, dapat saja kupaksa dia! Mari kita pergi sekarang juga, Bi Kiok!” Kegirangan hati Bu Leng Ci dengan timbulnya harapan akan mendapatkan bokor emas membuat hatinya ringan dan dia tidak marah kepada muridnya yang pernah menyembunyikan adanya pemuda penemu bokor itu.

Ketika Bu Leng Ci dan muridnya tiba di Pulau Telaga Setan itu, mereka terkejut melihat keadaan yang ribut di situ, bahkan ada pertempuran terjadi di depan rumah Kwi-eng-pangcu. Kelihatan tiga orang laki-laki tua sedang dikeroyok oleh anak buah Kwi-eng-pang dan mereka itu lihai sekali, terutama orang tua yang tubuhnya tinggi kurus. Anak buah Kwi-eng-pang laki perempuan seperti puluhan ekor semut mengeroyok tiga ekor jangkerik saja, kadang-kadang tampak tubuh beberapa orang pengeroyok terlempar atau terbanting roboh.

“Mundur semua!” Bu Leng Ci berteriak. Karena kakak angkatnya tidak ada, maka boleh dibilang dialah yang mewakilinya. Melihat ada orang-orang luar datang mengacau Kwi-eng-pang, tentu saja dia marah. Para anak buah Kwi-eng-pang segera mundur ketika melihat munculnya Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci dan Giok-hong-cu dan timbul kembali harapan mereka karena tadi mereka benar-benar dibikin repot oleh tiga orang tamu yang lihai itu.

Sekali menggerakkan kakinya, Bu Leng Ci sudah berkelebat dan berdiri di depan tiga orang itu. Si Kakek tinggi kurus dan yang mukanya seperti orang mengantuk saking sipitnya kedua matanya, sejenak memandang wanita itu penuh selidik dan melihat pedang panjang melengkung yang tergantung di pinggang Bu Leng Ci, dia menjura sambil bertanya, “Apakah aku berhadapan dengan Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci?”

“Kalau sudah tahu mengapa kalian berani main gila dan mengacau di sini? Apakah kalian sudah bosan hidup?” Bu Leng Ci tidak segera turun tangan karena dia tadi telah melihat gerakan mereka, terutama Si Tinggi Kurus ini dan maklum bahwa dia berhadapan dengan orang pandai.

“Maaf, aku tidak mempunyai urusan denganmu, Siang-tok Mo-li. Aku bernama Tio Hok Gwan dan ini kedua orang temanku Song Kin dan Kwi Siang Han, kami hanya melaksanaken tugas mencari sesuatu, maka kami datang untuk menemui Kwi-eng-pangcu dan menanyakan tentang benda yang kami cari itu. Sayang bahwa Kwi-eng-pangcu tidak berada di sini dan anak buahnya agaknya ingin mencoba-coba kami!”

“Kalian utusan siapa?”

“Utusan Panglima Besar The Hoo...”

“Hemm, kalau begitu engkaukah yang berjuluk Ban-kin-kwi (Setan Bertenaga Selaksa Kati)?”

“Benar.”

“Dan yang kaucari itu, bukankah bokor emas milik The-ciangkun yang hilang?”

Tio Hok Gwan kelihatan kaget dan curiga. “Kau tahu...?”

“Siapa yang tidak mendengar tentang itu? Engkau percuma saja mencari di sini, dan kedatanganmu ini menunjukkan bahwa engkau tidak memandang kepada kami, mengira kami mencuri bokor itu. Hemm, orang she Tio, apa kaukira kami takut kepadamu? Majulah, aku ingin melihat sampai di mana kebenaran julukanmu itu!”

Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan mengerutkan alisnya. Dia tidak ingin bermusuhan dengan para datuk sesat dan dia tahu bahwa wanita yang masih cantik ini adalah seorang di antara lima datuk kaum sesat. Akan tetapi, sebagai seorang tokoh besar dunia kang-ouw, terutama sekali sebagai seorang pengawal Panglima Besar The Hoo yang tentu saja mempertahankan nama dan kehormatannya, dia pun tidak mungkin menolak tantangan orang karena hal itu akan merendahkan namanya sendiri.

“Dukk!” Dia menangkis dan keduanya terkejut. Bu Leng Ci merasa betapa lengan yang menangkisnya itu kokoh kuat seperti baja sedangkan Tio Hok Gwan merasa betapa lengan wanita itu berubah lunak ketika ditangkis, tanda bahwa wanita itu telah memiliki tenaga sakti yang kuat, dan tadi menghadapi kckuatannya dengan tenaga lemas sehingga lengan itu tidak terasa nyeri atau terluka.

“Siang-tok Mo-li, aku hanya menjadi utusan mencari keterangan tentang bokor. Aku tidak ingin bermusuhan denganmu. Akan tetapi kalau kau menantang, silakan, mau satu lawan satu atau mau mengeroyok!”

Tio Hok Gwan adalah seorang tokoh besar yang sudah mempunyai banyak sekali pengalaman, maka biarpun dia tidak pandai bicara dan wataknya pendiam, sekali mengeluarkan suara tentu ada hasilnya! Dia tadi sengaja menantang untuk dikeroyok dan tentu saja hal ini menyinggung perasaan Bu Leng Ci sebagai seorang datuk! Maka dengan muka merah wanita itu membentak, “Manusia sombong! Perlu apa mengeroyokmu? Kedua tanganku sudah cukup untuk membunuhmu!”

Bentakan ini ditutup dengan serangannya yang dahsyat, kedua lengannya meluncur seperti dua ekor ular, yang kiri menusuk mata lawan, yang kanan mencengkeram ke arah pusar, sedangkan kepalanya digerakkan dan rambutnya yang panjang itu menyambar pula ke arah leher!

“Hemm... perempuan ganas!” Tio Hok Gwan berseru, memangkis kedua tangan lawan dan sambil mengelak ke samping dia cepat menggunakan tangan yang baru saja menangkis untuk menyambar rambut hitam itu. Akan tetapi Bu Leng Ci sudah cepat menarik kembali rambutnya.

Terjadilah pertandingan yang amat hebat antara kedua orang tokoh itu. Semua pukulan dilakukan dengan pengerahan tenaga sin-kang, gerakannya cepat bukan main dan pukulan itu mengeluarkan angin mendesir, akan tetapi selalu dapat dielakkan atau ditangkis dengan kecepatan kilat pula. Mereka saling serang dan sukar dikatakan siapa yang lebih unggul karena Bu Leng Ci juga membalas setiap serangan lawan dengan serangan balasan yang tidak kalah dahsyatnya.

Diam-diam Yo Bi Kiok menonton dengan hati kagum terhadap ilmu kepandaian Si Pengantuk itu. Gerakannya demikian mantap dan dari setiap pertemuan lengan, dia dapat melihat dengan hati kaget bahwa subonya masih kalah setingkat dalam hal kekuatan sin-kang melawan kakek itu! Para anak buah Kwi-eng-pang tidak ada yang berani bergerak dan mereka memandang dengan mata kabur dan kepala pening karena gerakan kedua orang itu bagi mereka terlalu cepat untuk dapat diikuti oleh pandang mata. Juga kedua orang pembantu Tio Hok Gwan tidak berani bergerak, hanya menonton dengan hati tegang.

Pertandingan itu benar-benar amat menegangkan dan kedua pihak maklum bahwa tingkat mereka tidak banyak selisihnya, sungguhpun gaya limu silat mereka jauh sekali bedanya, seperti bumi dan langit. Hanya bedanya, kalau Tio Hok Gwan sebagai seorang gagah menganggap pertandingan itu semata-mata untuk mengukur kepandaian, sebaliknya Bu Leng Ci setiap kali menyerang didasari niat membunuh sehingga hanya jurus-jurus maut saja yang dia keluarkan.

“Plak-plak-desss... aihhh...!” Pertemuan dua pasang tangan yang bertubi-tubi itu akhirnya membuktikan bahwa tenaga sin-kang Tio Hok Gwan memang lebih kuat. Bu Leng Ci menjerit ketika tubuhnya terlempar ke belakang. Dari mulut wanita ini keluar darah yang mengalir dari ujung bibir.

“Singgg...!” Tampak sinar berkilat ketika pedang samurai telah dicabutnya dan kini dengan kedua tangan memegang gagang pedang panjang itu, Bu Leng Ci menerjang sambil memekik nyaring mengerikan, “Haaiiittt...!”

Terpaksa Tio Hok Gwan meloncat amat cepatnya menggunakan gin-kang untuk menyelamatkan diri dari pedang samurai yang menyambar-nyambar ganas itu. Ketika melihat betapa lawannya yang galak dan marah sekali itu mengejarnya dengan samurai diangkat tinggi-tinggi di atas kepala, Tio Hok Gwan cepat melolos sabuknya. Kelihatannya seperti sabuk, akan tetapi sebetuinya bukan sembarang sabuk, karena itu adalah sebuah senjata joan-pian (ruyung lemas atau semacam pecut) yang terbuat dari baja biru yang amat kuat! Pengawal Panglima Besar The Hoo ini mengikuti panglima sakti itu berlayar mengelilingi dunia menjelajah ke negeri-negeri asing di selatan dan barat dan dia pandai memainkan segala macam senjata. Joan-pian itu didapatkannya ketika dia mengikuti rombongan pahglima besar menjelajah ke negeri Sailan dan menjadi sebuah di antara senjata yang disenanginya karena selain dapat dipergunakan dengan baiknya, juga dapat dibawa dengan mudah dan tidak kentara karena dililitkan di pinggang seperti sebuah sabuk!

“Trang-trang-cring...!”

Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika berkali-kali samurai itu tertangkis oleh joan-pian di tangan Tio Hok Gwan. Biarpun pendekar pengantuk itu selalu dapat menangkis, namun dia membarengi dengan elakan karena joan-piannya masih kurang kuat menangkis samurai yang gerakannya amat kuat itu. Dan Bu Leng Ci memang seorang ahli bermain samurai. Kepandaian dari bekas suaminya yang tua, seorang pendekar samurai kenamaan di Jepang telah diwarisinya dan samurai di tangannya berkelebat ke sana-sini amat mengerikan, seperti halilintar menyambar-nyambar di angkasa.

Namun Tio Hok Gwan yang sudah pernah beberapa kali bertanding melawan jagoan samurai Jepang, sudah mengenal sifat ilmu pedang dari Jepang itu, maka dia dapat mengimbanginya dengan permainan joan-piannya yang lihai. Bahkan kalau senjatanya itu kalah kuat dan kalah berat, dia dapat menutup kerugiannya ini dengan kemenangan dalam kecepatan.

“Tringgg... tringg...!”

Cepat sekali pertemuan senjata yang disusul berkelebatnya samurai dan joan-pian itu sehingga sukar diikuti pandang mata. Tubuh Tio Hok Gwan terhuyung ke belakang sedangkan tubuh Bu Leng Ci terlempar dan terbanting miring, akan tetapi wanita ini dapat memcelat bangun kembali, mukanya agak pucat dan darah yang mengalir dari mulutnya lebih banyak lagi. Adapun Tio Hak Gwah yang terluka pundaknya oleh ujung samurai, cepat merobek ujung baju dan membalutnya dibantu oleh Song Kin. Lukanya hanya luka kulit yang ringan saja, akan tetapi Bu Leng Ci mengalami luka yang lebih berat, karena selain tadi sebelum menggunakan senjata dia telah terkena hantaman angin pukulan lawan, baru saja pinggangnya kena disambar joan-pian sehingga di dalam dadanya terasa sakit, tanda bahwa sin-kang yang ia pergunakan untuk melindungi tubuh masih kalah kuat sehingga membalik dan melukai dirinya sendiri. Maklumlah Bu Leng Ci bahwa kalau dilanjutkan, dia tidak akan menang.

Adapun Tio Hok Gwan yang memang tidak ingin menanam permusuhan, sudah menjura dan berkata, “Kepandaian Siang-tok Mo-li memang hebat dan namamu bukan kosong belaka. Aku orang she Tio merasa kagum. Harap kau suka berbaik hati untuk memberi tahu tentang bokor agar aku mempunyai bahan untuk dilaporkan kepada The-tai-ciangkun.”

“Ban-kin-kwi, apakah kau masih tidak percaya omonganku? Aku sudah mengatakan bahwa kami tidak tahu-menahu tentang bokor emas yang hilang, apalagi melihatnya! Kalau kau tidak percaya, mari kita lanjutkan pertempuran sampai seorang di antara kita menggeletak tak bernyawa!”

Tio Hok Gwan menjura. “Kalau begitu, terima kasih dan selamat berpisah.” Ia inemberi isyarat kepada dua orang pembantunya, lalu dengan langkah lebar meninggalkan tempat itu, menuiu ke perahu kecil mereka di pantai pulau. Kemudian mereka mendayung perahu meninggalkan pulau itu menuju ke darat.

Bu Leng Ci sambil menahan rasa nyeri di dadanya lalu memanggil para murid kepala dan lima orang pelayan Kwi-eng Niocu dan berkata, “Pemuda yang kalian tawan itu adalah seorang yang amat penting sekali bagi Pangcu dan aku. Karena itu, untuk menjaga agar dia tidak sampai lolos dan ditolong orang, selagi Enci Ang Hwi Nio tidak berada di rumah, aku yang akan menjaganya dan membawanya ke pulau. Hayo bawa aku kepadanya!”

Tentu saja para murid dan anak buah Kwi-eng-pang tidak ada yang berani membantah. Mereka percaya penuh kepada wanita iblis ini, apalagi baru saja mereka melihat sendiri betapa wanita ini mati-matian membela Kwi-eng-pang ketika datang lawan yang amat lihai tadi. Segera guru dan murid ini dibawa ke kamar tahanan di mana Kun Liong masih rebah telentang dalam keadaan lemah dan setengah pingsan.

Bu Leng Ci cepat menotok beberapa jalan darah di tubuh pemuda itu, kemudian mengempit tubuh yang selain tertotok juga sudah dibelenggu kaki tangannya itu dan bersama muridnya dia membawa Kun Liong ke atas perahu dan mendayung perahu kembali ke pulaunya sendiri.

Ketika Kun Liong siuman, ia mengeluh dan membuka matanya. Dia masih ingat betapa tadi dia ditawan oleh lima orang wanita pelayan Kwi-eng-pangcu yang cantik. Kemudian dia setengah ingat dengan samar-samar betapa dia dibawa orang naik perahu. Kini tahu-tahu dia telah rebah di atas sebuah dipan kayu dan di dalam kamar itu duduk dua orang wanita memandangnya penuh perhatian. Kun Liong mengangkat muka memandang wajah dua orang itu dan diam-diam dia mengeluh ketika mengenal wajah wanita pendek yang tersenyum mengejek kepadanya itu. Wajah Siang-tok Mo-li! Dan di sebelah iblis betina itu duduk seorang dara cantik yang bersikap dingin.

“Mengapa aku dibawa ke sini...?” Dia berkata dan menahan ingin memanggil nama Yo Bi Kiok. Tentu saja dia mengenal Bi Kiok dan hampir dia memanggilnya kalau saja dia tidak ingat bahwa dara itu bersikap tidak mengenalnya di depan gurunya yang kejam.

Akan tetapi betapa kaget dan herannya ketika dia mendengar suara Bi Kiok berkata kepadanya, “Yap Kun Liong, Subo telah mengenalmu sebagai anak yang menemukan bokor emas. Lebih baik engkau segera mengatakan di mana kau simpan bokor itu agar Subo dapat mempertimbangkan keampunan bagi nyawamu!”

Berkerut alis Kun Liong. Hemmm, dara ini telah berubah banyak sekali, pikirnya. Wajahnya memang makin cantik menarik, tubuhnya makin padat dan matang setelah dewasa, akan tetapi wataknya sudah berubah. Dia tidak mengharapkan dara ini membantunya atau menolongnya. Satu kali Bi Kiok menolongnya sudah cukup baginya dan tidak mengharapkan terus-menerus ditolong. Akan tetapi, bukan karena dara itu tidak menolongnya yang membuat hatinya kecewa, melainkan melihat perubahan itu. Agaknya Bi Kiok bukan hanya mewarisi kepandaian gurunya, akan tetapi juga wataknya. Siapa lagi kalau bukan dara ini yang membuka rahasianya tentang bokor emas itu kepade Bu Leng Ci? Hanya Bi Kiok seoranglah yang tahu bahwa dia yang menemukan bokor emas dan yang mungkin melarikan bokor itu ketika Phoa Sek It, bekas Pengawal Panglima The Hoo, dibunuh oleh Bu Leng Ci.

Kun Liong tersenyum lebar. “Bi Kiok, engkau makin cantik dan manis saja.”

“Ihhh...!!” Bu Leng Ci membentak dan memandang penuh kebencian.

Wajah Yo Bi Kiok menjadi merah sekali dan sekilas tampak oleh Kun Liong sepasang hibir itu tergetar. “Kun Liong, harap kau jangan main-main. Harap kau mengingat akan persahabatan kita dan mengingat pula bahwa kau telah menjadi tawanan Subo. Katakan saja di mana adanya bokor itu atau bawa kami ke sana...”

“Katakan saja, kalau tidak kuhancurkan kepalamu!” Bu Leng Ci cepat memotong usul Bi Kiok agar Kun Liong mengantar mereka ke tempat di mana bokor disembunyikan.

Sedikit sinar mata Kun Liong bertemu dengan pandang mata Bi Kiok, dan ini cukup bagi Kun Liong. Hampir dia bersorak girang! Kiranya Bi Kiok sama sekali tidak berubah. Masih Bi Kiok yang dulu, biarpun kini lebih cantik manis, lebih dewasa dan kelihatan dingin pendiam, namun hatinya masih seperti dulu. Mengertilah dia sekarang mengapa dara itu membujuknya. Kiranya dara itu melihat bahwa dia berada di dalam cengkeraman Bu Leng Ci, dan dia tentu akan dibunuh, maka dara itu mengemukakan persoalan bokor untuk mencegah Bu Leng Ci membunuhnya, dan untuk memberi kesempatan kepadanya untuk dapat membebaskan diri, maka dara itu mengusulkan agar dia membawa mereka ke tempat bokor disembunyikan. Jelas semuanya! Dalam keadaan tertotok dan terbelenggu seperti itu, memang tak mungkin dia melepaskan diri. Akan tetapi kalau sudah dikeluarkan dari pulau, agaknya akan muncul kesempatan! Ingin dia, kalau bisa, bangkit merangkul dan mencium gadis itu!

Kun Liong tertawa makin keras dan dengan suara sengaja dibuat bernada mengejek dia berkata, “Bi Kiok, biarpun kau cantik manis dan bujukanmu halus merayu, biarpun gurumu bengis dan kejam, jangan kira bahwa bujukanmu dan ancaman Siang-tok Mo-li akan dapat membujukku atau menakutkan aku!”

“Kun Liong...!” Bi Kiok berseru, benar-benar kaget.

“Bedebah, apa kauminta kusiksa dulu?” Bu Leng Ci sudah bangkit menghampiri.

“Ha-ha-ha-ha! Kiranya bokor berada di tangan bocah gundul ini, pantas saja kau bergegas memindahkannya dari tangan para pelayan Kwi-eng Niocu!” Tiba-tiba terdengar suara halus dan tahu-tahu, seperti hantu saja layaknya, di situ telah muncul seorang kakek tinggi kurus dan kakek itu lalu terbatuk-batuk. Melihat kakek ini, Kun Liong terkejut sekali. Itulah kakek yang dia jumpai dalam badai di hutan semalam! Kakek di dekat api unggun yang bernyanyi tentang kematian dan yang kemudian hendak membunuhnya. Kakek yang aneh dan amat lihai, yang dianggapnya orang gila! Kiranya kakek itu terus mengikutinya dan agaknya tahu akan semua pengalamannya, betapa dia ditawan pelayan-pelayan Kwi-eng Niocu dan betapa dibawa ke pulau ini oleh Bu Leng Ci, semua telah diketahuinya karena agaknya kakek itu memang terus mengikutinya!

Sementara itu, ketika Bu Leng Ci menoleh dan melihat kakek di ambang pintu kamar itu, seketika wajahnya berubah pucat. “Toat Beng Hoatsu...!” teriaknya dan tangannya meraba gagang samurai.

Mendengar disebutnya nama ini, Kun Liong makin terkejut. Dia sudah mendengar nama ini, nama datuk nomor satu dari sekalian datuk kaum sesat! Kiranya kakek yang dianggapnya orang gila itu adalah datuk nomor satu! Maka dia memandang penuh kekhawatiran karena dia maklum bahwa sebagai datuk nomor satu, tentu kakek itu memiliki keanehan dan kekejaman nomor satu pula!

“Bagaimana kau bisa masuk ke sini...?” Bu Leng Ci bertanya dan matanya mengerling ke luar pintu. Ke mana perginya para pelayannya?

“Ha-ha-ha, kau mencari ini?” Tangan kakek itu merogoh jubahnya dan melemparkan benda hitam ke atas lantai. Benda itu berserakan dan Kun Liong menelan ludahnya saking ngeri dan tegang ketika melihat bahwa benda-benda itu adalah rambut kepala manusia, agaknya rambut wanita dan rambut itu masih melekat pada kulit kepala yang berdarah. Agaknya rambut-rambut itu dijebol berikut kulit kepalanya dari kepala tujuh orang wanita!

“Ihhh...!” Bi Kiok sendiri yang sudah memiliki ketabahan luar biasa menjadi pucat dan ngeri membayangkan betapa tujuh orang pelayan wanita itu telah mengalami kematian yang amat mengerikan, dijebol rambutnya berikut kulit kepala sampai terkupas dari kepalanya.

“Singggg...!” Bu Leng Ci mencabut samurainya. “Toat-beng Hoat-su, mengapa kau melakukan ini? Apakah antara kita sekarang ada pertentangan dan menjadi musuh?”

“Ha-ha-ha, sama sekali tidak, Siang--tok Mo-li. Terserah kepadamu... heh- heh, terserah kepadamu mau berkawan atau berlawan dengan aku. Aku hanya menghendaki agar bocah gundul ini bersama bokornya diserahkan kepadaku, barulah kau pantas kusebut kawan.”

“Keparat! Singggg...!” Samurai itu menyambar, akan tetapi dengan amat mudahnya Toat-beng Hoat-su mengelak.

“Hemm, sabar dan tenanglah, Tio Hok Gwan tadi terlalu berat dan lihai bagimu, engkau sudah terluka parah, perlu apa melawanku?”

“Aku masih cukup kuat untuk melawan seribu orang macam engkau!” Bu Leng Ci menyerang lagi dengan samurainya, akan tetapi karena dia memang sudah terluka di sebelah dalam tubuhnya, ketika dia menggerakkan samurai dengan pengerahan sin-kang dan serangannya itu dielakkan, hampir saja dia terhuyung roboh.

“Toat-beng Hoat-su, akulah lawanmu!”

Tiba-tiba Bi Kiok menerjang dengan pedangnya. “Subo, mengasolah!”

Serangan pedang di tangan Bi Kiok ini hebat sekali berdesing menyambar ke arah leher kakek itu. Toat-beng Hoat-su terkejut dan maklum bahwa gadis itu ternyata lebih lihai daripada Bu Leng Ci yang sudah terluka parah.

“Hemm, siapa kau?”

“Orang menyebutku Giok-hong-cu!” jawab Bi Kiok sambil menerjang lagi.

“Ha-ha-ha, kiranya murid Bu Leng Ci? Gurumu saja tidak mampu menandingiku, apalagi engkau? Ha-ha, bocah kurang ajar macam engkau harus dihajar!” Ketika pedang Bi Kiok menusuk dada, gadis itu girang sekali melihat betapa gerakan mengelak dari kakek itu kurang cepat sehingga pedangnya masih mengenai pinggir dada. Akan tetapi betapa kagetnya ketika tiba-tiba jubah itu terlepas dari tubuh Toat-beng Hoat-su dan sekali kakek itu menggerakkan jubah, pedangnya yang tadi menusuk jubah itu dipaksa terlepas dari tangannya! Inilah kelihaian Toat-beng Hoat-su yang memang tidak pernah menggunakan senjata kecuali jubahnya. Jubahnya merupakan senjata yang amat ampuh, bahkan selagi jubahnya dipakai, dia dapat menipu Bi Kiok yang kalah pengalaman itu. Pedang gadis itu tadi memang sengaja “diterimanya” dengan jubahnya yang tertusuk dan sekaligus jubahnya itu dipergunakan untuk merampas pedang!

“Aihhh...!” Bi Kiok berseru kaget.

Pada saat itu, Bu Leng Ci sudah menyerang lagi dengan samurainya. Akan tetapi, jubah itu menyambar, menyambut samurai dan dari balik jubah, tangan Toat-beng Hoat-su memukul.

“Dukkk!” Bu Leng Ci yang sudah terluka dan gerakannya menjadi lambat itu terpukul lehernya dan dia roboh tak dapat bangkit kembali, hanya memandang kepada kakek itu dengan mata mendelik penuh kebencian.

Melihat gurunya roboh, Bi Kiok marah dan berlaku nekat, menyerang dengan tangan kosong. Akan tetapi serangannya disambut oleh sambaran jubah yang mendatangkan angin keras dan gadis itu terlempar dan terbanting ke kanan.

“Ha-ha-ha, kau bocah nakal, mukamu terlalu cantik untuk menjadi murid seorang datuk, harus dibikin buruk!” Dengan tangan kirinya Toat-beng Hoat-su memegang pedang rampasan tadi dan melangkah maju untuk mcrusak muka Bi Mok. Gadis itu sudah tidak berdaya, hanya mengangkat kedua tangan melindungi mukanya.

“Tahan, Toat-beng Hoat-su!” Kun Liong berteriak dari tempat dia berbaring. “Engkau menghendaki bokor emas pusaka Panglima The Hoo, bukan?”
Pedang itu berhenti bergerak dan Si Kakek menoleh ke arahnya.
“Kalau kau membunuh atau melukai nona itu, biar aku kaupukul mampus, aku tidak akan sudi memberitabukan tentang bokor. Bokor itu kusimpan dan kau akan kuantar ke tempat itu kalau kau membebaskan nona itu!”

lanjut ke Jilid 037-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar