Rabu, 19 Februari 2014

Petualang Asmara 24

Petualang Asmara Jilid 024

<--kembali

“Aku tidak ingin kawin. Harap Ayah dan Ibu jangan bicara tentang itu?itu saja. Muak aku mendengar tentang kawin!” Pernah dia berkata demikian kepada ayah bundanya yang hanya dapat saling pandang dengan melongo.

“Nah, lihat. Betapa dia manja dan membawa kehendak sendiri!” Keng Hong mengomel.

“Sabarlah, suamiku. Kalau memang dia belum ingin, apakah kita harus memaksanya?”
Cia Keng Hong hanya dapat menarik napas panjang dan diam?diam dia makin merasa rindu kepada Cong San dan Yan Cu, ingin sekali dia dapat bertemu dengan mereka yang hilang tak tentu rimbanya itu untuk membicarakan tentang jodoh anak mereka.

Pada suatu hari lewat tengah hari keadaan di Cin?ling-san sunyi dan nyaman. Matahari yang bersinar terang tidak terhalang awan tebal seperti biasanya mendatangkan hawa yang hangat mengusir dingin yang biasanya membuat orang kedinginan. Kenyamanan hawa di siang hari itu dimanfaatkan oleh Pendekar Sakti Cia Keng Hong dan isterinya. Pada waktu itu, Cia Keng Hong telah berusia empat puluh tahun sedangkan isterinya sudah tiga puluh tujuh tahun. Mereka berdua yang telah mendengar akan banyaknya tokoh kaum sesat yang lihai, biarpun makin tua mereka tidak pernah lalai untuk berlatih ilmu silat dan menjaga daya tahan tubuh dan kekuatan sin-kang dengan bersamadhi setiap hari.

Pada siang hari itu pun mereka memanfaatkan hawa yang hangat nyaman dengan duduk bersamadhi berdua di dalam kamar mereka. Putera mereka, Bun Houw, sedang tidur di dalam kamarnya sendiri yang berdekatan dengan kamar mereka, sedangkan Giok Keng, seperti biasa di saat seperti itu, sedang berlatih seorang diri di lian?bu?thia (ruangan berlatih silat) yang berada di samping rumah.

Pada waktu itu, para penduduk dusun di lereng Puncak Cin?ling?san yang juga dikenal sebagai anggauta?anggauta Cinling?pai, telah mendapat latihan keras sehingga tingkat kepandaian mereka memperoleh kemajuan pesat selama tiga tahun ini. Pada siang hari itu, sebagian dari mereka bekerja di sawah ladang, dan sebagian pula ada yang berlatih di bawah pohon?pohon rindang. Seperti yang diajarkan oleh pimpinan mereka, para anggauta ini berlatih berpasangan, baik laki?lakinya, wanitanya, maupun anak?anaknya. Gerakan mereka cepat?cepat dan terutama kaum dewasanya, mereka memiliki sin?kang yang kuat yang merupakan ilmu khas dari para anggauta Cin?ling?pai. Untuk para anggauta ini, Cia Keng Hong menurunkan ilmu silatnya yang ampuh dan lihai sekali, yaitu San?in?kun?hoat (Ilmu Silat Awan Gunung) dan menggembleng mereka dengan cara?cara bersamadhi untuk menghimpun sin?kang yang kuat. Isterinya, Sie Biauw Eng, menurunkan ilmu meringankan tubuh yang disebut Hui?niau-coan?in (Burung Terbang Menerjang Awan) sehingga rata?rata para anggauta Cin?ling?pai memiliki kecepatan gerak yang mengagumkan. Gabungan ilmu dari suami isteri pendekar ini yang masing-masing merupakan ilmu?ilmu pilihan yang tinggi nilainya, dikombinasikan dan menjadi landasan ilmu silat para anggauta Cin?ling?pai. Tentu saja di samping ilmu ini, Keng Hong masih mengajarkan ilmu silat yang lebih tinggi, akan tetapi hanya kepada beberapa orang yang dianggapnya telah cukup matang ilmunya dan mereka ini berjumlah sebelas orang merupakan anggauta?anggauta pimpinan atau murid-murid tertua. Betapapun juga, tidak ada seorang di antara mereka yang diwarisi dua macam ilmu yang jarang tandingannya di dunia persilatan, yaitu Thai?kek-sin?kun dan Thi?khi?i?beng. Yang pertama adalah karena ilmu itu merupakan ilmu rahasia dari Kun?lun?pai dan karena dia bukan murid Kun?lun?pai, tentu saja dia tidak berani mengajarkan ilmu rahasia itu kepada orang lain. Yang ke dua, Thi-khi?i?beng, adalah ilmu mujijat yang pernah diperebutkan para jagoan di dunia kang-ouw (baca ceritaPedang Kayu Harum ) dan di dunia ini hanya dia seorang yang memilikinya. Ilmu ini amat ganas, merupakan sin?kang yang dapat menyedot habis tenaga sakti lawan, membuat lawan kehabisan tenaga, lumpuh bahkan bisa tewas. Kalau belum memiliki dasar yang amat kuat, berbahayalah memiliki ilmu ini. Karena itu, Keng Hong tidak berani menurunkan kepada orang lain bahkan belum berani mengajarkan kepada puterinya sendiri karena dia menganggap puterinya belum kuat menerima ilmu mujijat itu.

Pada siang hari itu, serombongan pemuda Cin?ling?san sedang berlatih silat berpasangan, dipimpin oleh dua orang kakak beradik yang menjadi murid?murid kepala dari Cin?ling?pai. Mereka berdua ini adalah Kwee Kin Ta, berusia tiga puluh lima tahun, dan Kwee Kin Ci, adiknya berusia tiga puluh tahun. Keduanya adalah dua orang pemuda ketika Cin-ling-pai mula-mula berdiri, dan telah belajar ilmu silat cukup lama di bawah pimpinan Cia Keng Hong, maka boleh dibilang mereka adalah dua orang yang paling tinggi tingkat kepandaiannya di antara para anggauta Cin-ling-pai. Kedua orang ini tidak pernah menikah dan hidup membujang di cin-ling-san, merupakan wakil-wakil dari Ketua Cin-ling-pai, bersama sembilan orang adik-adik seperguruannya, murid-murid kepala yang kesemuanya berjumlah sebelas orang itu. Dengan penuh ketekunan kedua orang ini mewakili ketua mereka mengawasi para pemuda sebanyak lima belas orang yang sedang berlatih di siang hari itu.

Tiba-tiba kedua orang saudara Kwee ini terkejut ketika mendengar suara orang tertawa, juga para pemuda yang sedang berlatih berhenti bersilat dan menoleh ke arah dua orang kakek berjenggot panjang yang tertawa-tawa dan tahu-tahu telah berada di dekat mereka. Yang mengejutkan kedua orang saudara Kwee itu adalah karena hadirnya dua orang kakek ini sama sekali tidak mereka ketahui dan hal ini saja sudah membuktikan bahwa dua orang tua itu bukan orang sembarangan!

“Ha?ha?ha, nama Cin?ling?pai dan ketuanya memang setinggi awan, akan tetapi mengapa para anggautanya hanya begini saja?” Seorang di antara mereka, kakek yang mukanya merah berkata sambil menyeringai lebar.

“Ahh, Ang?kui (Setan Merah), tentu saja karena mereka ini tentu hanya orang?orang rendahan dari Cin?ling?pai. Betapapun jugat kurasa orang Cin?ling?pai bukan dewa?dewa yang berkepala tiga berlengan enam dan pandai terbang, ha-ha!!”

Para anggauta Cin?ling?pai itu adalah pemuda?pemuda yang biarpun sudah banyak digembleng selain ilmu silat juga kesabaran, tetap saja naik darah mendengar ucapan~ucapan yang nadanya mengejek itu. Dua orang di antara mereka tak dapat menahan kemarahan lagi, meloncat ke depan dua orang kakek itu sambil berteriak hampir berbareng,

“Orang tua sombong, berani engkau menghina Cin?ling?pai?”

“Kalau kau menantang, terimalah seranganku!”

Dua orang muda itu segera menerjang dengan pukulan keras ke arah kedua orang kakek itu dan dua orang bersaudara she Kwee tidak sempat lagi mencegah mereka. Akan tetapi kakek-kakek asing yang diserang hanya tersenyum, sama sekali tidak gugup melainkan mengangkat kedua tangan mereka dengan gerakan lambat, satu tangan menangkis dan tangan ke dua menampar dari samping. Biarpun gerakan mereka kelihatan lambat, namun aneh sekali, dua orang pemuda itu tidak mampu menghindar lagi. Mereka mengaduh dan terpelanting tak dapat bangun kembali. Melihat dua orang teman mereka roboh dengan muka di bagian pipi terdapat tanda telapak tangan hitam dan mereka itu pingsan, para pemuda menjadi marah sekali dan serta?merta dua orang kakek itu mereka terjang dan keroyok! Sambil tertawa-tawa, kedua orang kakek itu bergerak dan terjadilah pertempuran yang seru, akan tetapi baru beberapa jurus saja, kembali empat orang pemuda terpelanting dengan tanda telapak tangan hitam di tubuh mereka dan mereka itu pingsan.

“Mundur kalian!” Kwee Kin Ta dan Kwee Kin Ci berteriek nyaring, kemudian mereka berdua meloncat ke depan, tanpa banyak cakap lagi sudah menyerang dengan pukulan?pukulan berat. Kwee Kin Ta menyerang kakek muka merah dengan kedua lengan dilonjorkan ke depan, yaitu jurus dari Ilmu Silat San?in?kun?hoat yang disebut Siang?in?twi?san (Sepasang Awan Mendorong Gunung), jurus yang ke tiga.

Dua orang kakek itu ketika tertawa-tawa tadi bukan semata?mata sengaja hendak mengejek melainkan karena mereka memang kecewa dan terheran melihat pemuda?pemuda itu berlatih dengan gerakan yang mereka anggap terlampau rendah. Akan tetapi, ketika kakek muka merah itu menghadapi serangan yang dilakukan oleh Kwee Kin Ta, dia terkejut bukan main. Dari kedua tangan yang didorongkan itu menyambar hawa pukulan yang dahsyat sekali! Memang, Ilmu Silat San?in?kun?hoat yang diajarkan oleh Cia Keng Hong kepada para anggauta Cin-ling-pai, dan yang telah dikuasai dengan baik oleh dua orang saudara Kwee, adalah ilmu tingkat tinggi yang hebat. Ilmu silat ini hanya terdiri dari delapan jurus, namun jurus?jurus itu dahsyat sekali dan dapat dikembangkan dengan hebat sesuai dengan bakat masing?masing. Kini, menghadapi jurus Siang-in-twi-san, kakek muka merah cepat-cepat membuang diri ke samping dan balas menyerang dari samping. Namun, jurus Siang-in-twi-san telah dilanjutkan sebagai jurus bertahan, tangan yang tadinya mendorong itu membalik ke bawah, lengannya dipergunakan untuk menangkis pukulan tangan kakek yang selalu meninggalkan tanda telapak tangan hitam itu.

“Plakkk!” Kakek Muka Merah kembali berseru kaget. Tangkisan itu membuat dia terhuyung mundur, biarpun lawannya juga terpental ke belakang dengan kaget. Mereka segera bertanding kembali dan kali ini mereka bergerak lebih hati?hati, maklum bahwa lawan amat tangguh.

Demikian pula dengan Kin Ci yang bertanding melawan kakek muka putih, pertandingan di antara mereka juga seru dan ramai sekali. Para anggauta Cin-ling-pai yang muda telah maklum bahwa dua orang kakek yang telah melukai enam orang teman mereka itu tidak boleh dipandang ringan, maka mereka tidak sembrono membantu suheng-suheng mereka, melainkan menolong enam orang teman yang masih pingsan, ada pula yang segera memanggil suheng-suheng dan suci-suci mereka yang lebih pandai dan ada pula yang lari melapor kepada nona Cia Giok Keng.

“Siocia... Siocia (Nona)... lekas! Ada dua orang kakek jahat mengacau, melukai enam orang anggauta kita...!”

Cia Giok Keng yang berlatih seorang diri, kaget mendengar laporan ini. Dia cepat meloncat dan lari ke luar setelah menyarungkan pedangnya yang tadi dipakai untuk berlatih. Ketika tiba di tempat pertandingan, Giok Keng melihat betapa dua orang saudara Kwee yang sudah dibantu oleh tiga orang sute-sutenya, masih juga belum dapat mendesak dua orang kakek itu, apalagi merobohkan. Merah wajah Giok Keng. Sungguh memalukan sekali. Murid?murid kepala Cin-ling-pai sampai harus mengeroyok dua orang kakek itu! Dan ada enam orang murid yang terluka. Dengan sudut matanya dia melihat betapa anggauta Cin-ling-pai yang terluka itu masih pingsan dan ada tanda telapak tangan hitam di tubuh mereka, di pipi, di leher, bahkan pukulan yang mengenai pundak atau dada membuat baju hangus terbakar dan kulitnya juga ternoda hitam berbentuk telapak tangan. Diam?diam dia terkejut dan marah. Tak salah lagi, tentulah itu pukulan beracun, kalau bukan Hek-tok-ciang (Tangan Beracun Hitam) tentu semacam itu.

“Paman Kwee berdua mundurlah!”

Teriakan Giok Keng ini membuat hati Kwe Kin Ta dan empat orang sutenya dan mereka segera meloncat ke belakang. Dua orang kakek itu membalik dan memandang Giok Keng penuh perhatian.

Mereka itu lalu menjura dan kakek yang bermuka putih bertanya, “Apakah Nona ini Cia-siocia (Nona Cia) yang terhormat? Kami berdua adalah Siang-lo-kui (Dua Setan Tua) dari...”

“Tidak peduli kalian ini sepasang setan, sepasang iblis atau siluman dari neraka, kalian sudah bosan hidup. Mampuslah!" Tiba-tiba Giok Keng menggerakkan kedua tangannya dan segulung sinar merah muda menyambar ke depan, ke arah kedua orang kakek itu.

Dua orang kakek yang mengaku berjuluk Sepasang Setan Tua itu terkejut sekali. Sinar merah muda itu adalah ujung sabuk sutera merah muda yang menyambar cepat bukan main, kedua ujung sabuk itu telah menyambar seperti ular-ular hidup mengarah jalan darah kematian di leher kedua orang kakek itu. Dari angin sambaran ujung sabuk itu mengertilah mereka bahwa kalau totokan ujung sabuk itu mengenai sasaran, mereka benar-benar terancam bahaya maut! Cepat keduanya meloncat dan mengelak, akan tetapi betapa kaget hati mereka ketika kedua siner merah muda itu seolah?olah hidup dan mengejar mereka, tetap menghujankan totokan-totokan maut bertubi-tubi! Dengan kaget sekali terpaksa mereka membuang diri ke belakang dan bergulingan di atas tanah membuat totokan-totokan itu sukar untuk mengenai sasaran. Melihat ini, dalam kegemasannya, Giok Keng merobah serangan, kini menggunakan kedua ujung sabuknya bukan untuk menotok jalan darah yang tidak mungkin berhasil lagi karena kedua orang kakek itu terus menggerakkan tubuh, melainkan untuk melecut! Sabuk sutera merah muda itu dipegang di bagian tengah dan gerakan kedua tangannya membuat kedua ujung sabuk itu melecut-lecut dan mengeluarkan suara ledakan-ledakan keras.

“Tar?tar?tat?tar...!!”

Kedua orang kakek itu berusaha mengelak, namun tetap saja tubuh mereka terkena hujan cambukan, membuat pakaian mereka robek?robek dan kulit tubuh mereka luka-luka. Walaupun hanya luka di bagian luar yang ringan, namun mengeluarkan darah dan rasanya cukup nyeri dan pedih!

“Tar?tar... wuuuuttt! Aihhh!” Giok Keng berteriak kaget dan marah ketika tiba?tiba ujung sabuk suteranya terhenti di udara. Ketika dia membalik, tahu-tahu kedua ujung sabuk itu telah dipegang oleh seorang pemuda yang berwajah tampan dan gagah sekali! Dia terkejut. Sabuk sutera di tangannya adalah senjata yang hebat, dengan ilmu yang ia pelajari dari ibunya. Ibunya terkenal sekali dengan Ilmu Pek?in?sin?pian (Cambuk Lemas Awan Putih) yang dimainkan dengan sabuk sutera putih. Dia tidak menyukai warna putih seperti ibunya, melainkan lebih suka menggunakan sabuk warna merah muda. Biarpun ilmu cambuknya belum semahir dan sehebat ibunya, namun menurut ibunya, sudah cukup untuk menghadapi senjata lawan yang bersifat keras. Kini tahu?tahu kedua ujung sabuknya dapat dipegang oleh seorang lawan, hal ini membuktikan bahwa lawan ini tentu amat lihai!

Pemuda itu sudah berkata kepada kedua orang kakek dengan nada suara memerintan, “Kalian mundurlah! Sungguh tak tahu diri berani melawan Cia-siocia!” Setelah kedua orang kakek itu mundur, pemuda itu menjura kepada Giok Keng dengan sikap menghormat sekali sambil berkata dengan wajah berseri, bibir tersenyum dan suara halus.

“Saya mohon dengan hormat sudilah Cia?siocia memaafkan kedua orang paman ini. Sesungguhnya kedatangan kami bukan dengan niat buruk. Saya Liong Bu Kong den bersama kedua Paman Siang-lo-kui datang hendak menghadap Ketua Cin?ling?pai, Yang Mulia Cia Keng Hong Locianpwe...”

“Cukup!” Giok Keng memotong ucapan pemuda itu dengan bentakan nyaring. “Tidak membawa niat buruk akan tetapi melukai enam orang anggauta Cin-ling-pai. Ditebus nyawa pun masih belum impas!” Setelah berkata demikian, dengan tangan kiri dara itu menggulung sabuknya dan menyimpannya, tangan kanannya bergerak mencabut pedang.

“Singggg!” Sinar putih menyilaukan mata berkelebat ketika pedang yang terbuat dari perak murni itu tercabut. Itulah pedang Gin?hwa?kiam (Pedang Bunga Perak), terbuat dari perak yang diukir bunga-bunga, pedang pemberian ibunya. Biarpun dia tidak suka akan warna puth seperti ibunya, namun pedang itu amat indah buatannya, pula merupakan sebuah pusaka yang ampuh, maka Giok Keng sayang sekali kepada pedangnya ini.

“Eiiitt, Nona, tunggu... saya bukan hendak bermusuh...”

“Wuuuuttt... singggg!!” Sinar putih itu menyambar laksana kilat dan andaikata tidak dielakkan cepat?cepat oleh pemuda yang mengaku bernama Liong Bu Kong itu, tentulah leher itu akan terbabat putus dan kepala dengan wajah ganteng itu akan berpisah dari tubuhnya!

Liong Bu Kong terpaksa harus berloncatan ke kanan dan kiri, ke atas dan dua kali terpaksa menggulingkan tubuhnya ke atas tanah, terus dikejar sinar putih menyilaukan mata itu.

“Nanti dulu, Nona... brettt!” Ujung lengan baju yang dipakai pemuda itu terbabat buntung. Nyaris tangannya yang buntung!

“Srattt!” Pemuda itu mencabut sebatang pedang yang mengeluarkan sinar kebiruan dan terpaksa menggunakan pedangnya menangkis.

“Tringgg... cranggg... tranggg!” Bunga api berpijar-pijar ketika berkali-kali dua batang pedang itu bertemu di udara. Giok Keng merasa betapa telapak tangannya panas dan pedangnya tergetar, tanda bahwa selain lawan memiliki sin-kang yang kuat, juga pedangnya yang bersinar biru itu adalah sebatang pedang yang baik dan hebat pula.

“Nona... sabarlah, saya tidak ingin bertanding...”

“Singgg... trangggg!” Kembali pemuda itu menangkis dan tangan Giok Keng gemetar dan terasa panas telapak tangannya.

“Tak usah banyak cakap!” bentak Giok Keng yang kembali telah menerjang dengan ganas. Maklum bahwa lawannya lihai dan memiliki pedang pusaka pula, Giok Keng menyerang dengan pengerahan tenaga dan menggunakan jurus-jurus pilihan. Namun dia terkejut dan diam-diam kagum sekali karena pemuda itu selain memiliki tenaga sin-kang amat kuat, juga memiliki kecepatan gerak mengagumkan sehingga setiap serangannya dapat dihindarkan dengan tangkisan atau elakan. Para anggauta Cin?ling?pai dan dua orang kakek tadi menonton dengan mata terbelalak penuh kagum menyaksikan betapa dua gulung sinar pedang putih dan biru saling belit, saling desak dan saling dorong. Demikian terang sinar kedua pedang itu sehingga menyelimuti bayangan kedua orang yang memainkannya.

“Tahan senjata!” Bentakan ini menggetarkan jantung kedua orang muda yang sedang bertanding, membuat tangan mereka menggigil beberapa detik dan gerakan mereka tertahan. Detik-detik ini cukup bagi Keng Hong untuk menangkap kedua tangan yang memegang pedang dan mendorong Giok Keng dan pemuda itu sampai terhuyung ke belakang. Selagi pemuda itu terhuyung, Keng Hong sudah menggerakkan tangannya, jari-jari tangannya menangkap ujung pedang bersinar kebiruan tenaga sin-kang mujijat dia keluarkan, jari-jari tangan membuat gerakan menekuk.

“Krakkk!” Ujung pedang pusaka yang mengeluarkan sinar kebiruan itu patah!

Pemuda itu terbelalak dengan muka pucat sekali. Matanya memandang pedang di tangannya yang telah menjadi pedang buntung. Hampir dia tidak dapat percaya. Begitu mudahnya Ketua Cin-ling-pai itu mematahkan pedang pusakanya, seolah-olah pedang itu sama dengan sebatang lidi kering saja! Padahal pedangnya adalah sebatang pedang pusaka yang ampuh! Diam?diam dia bergidik ngeri membayangkan betapa kuatnya jari-jarl tangan orang setengah tua yang berdiri tenang di depannya itu, lebih ngeri lagi ketika mendengar suara Cia Keng Hong yang halus dan penuh kesabaran dan ketenangan, namun juga penuh wibawa, “Orang muda, siapapun adanya engkau, seorang tamu yang datang dengan pedang terhunus tentu bukan seorang yang beriktikad baik!”

“Engkau masih beruntung bukan aku yang turun tangan, kalau demikian halnya jangan harap engkau masih dapat bernapas!” Ucapan ini keluar dari mulut seorang wanita yang usianya sudah setengah tua akan tetapi masih tampak cantik jelita dan gagah perkasa. Mudah saja bagi Liong Bu Kong untuk menduga bahwa tentu nyonya itulah isteri Ketua Cin-ling-pai yang bemama Sie Biauw Eng, yang dahulu berjuluk Song-bun Siu?li!

Dengan jantung berdebar dan keringat dingin membasahi lehernya, pemuda itu cepat menyarungkan pedang buntungnya dan menjura penuh hormat kepada Cia Keng Hong dan Sie Biauw Eng sambil berkata, “Mohon Ji?wi?locianpwe (Kedua Orang Tua Sakti) sudi mengampunkan saya yang lancang berani mendatangi Cin-ling-san. Saya bernama Liong Bu Kong dan sengaja dari tempat jauh sekali datang ke sini bersama kedua orang Paman Ang-kui Tung Sek dan Pek-kui Gak Song.”

Cia Keng Hong melirik ke arah dua orang kakek itu yang juga sudah menjura dengan hormat. Melihat bahwa mereka adalah orang-orang yang usianya sudah enam puluh lebih, dia pun membalas penghormatan mereka dengan sikap dingin. Dua orang itu berjuluk Ang-kui (Setan Merah) dan Pek-kui (Setan Putih), tentu termasuk golongan hitam atau kaum sesat, maka dia cepat bertanya,

“Setelah tahu bahwa engkau lancang, mengapa masih berani? Ada keperluan apakah?”

Pemuda itu dengan sikap hormat dan kedua tangan di depan dada melirik ke arah Giok Keng. Dara itu juga sedang memandang kepadanya. Dua pasang mata bertemu pandang dan jantung Giok Keng berdebar, mukanya berubah merah. Pemuda itu benar?benar tampan dan gagah, juga sikapnya begitu halus dan penuh hormat! “Harap Locianpwe sudi memaafkan, sebetulnya kedatangan kami... yaitu kedua paman ini... dengan maksud... eh, Paman Gak, harap Totiang menjelaskan kepada Cia?locianpwe.” Agaknya sukar sekali bagi pemuda itu untuk melanjutkan kata-katanya, beberapa kali dia harus menelan ludah dan lehernya serasa tercekik.

Kini kedua orang kakek itu yang melangkah maju menghadap Keng Hong sambil menjura, kemudian Pek-kui Cak Song berkata, “Tidak perlu kiranya kami membohong kepada Pai-cu (Ketua). Sesungguhnya telah lama sekali Liong-kong-cu (Tuan Muda Liong) mendengar akan nama besar Pai?cu dan akan kehebatan puteri Pai?cu, yaitu Nona Cia Giok Keng. Harap Pai?cu ketahui bahwa Liong-kongcu adalah putera tunggal dari pangcu kami di Kwi-ouw (Telaga Setan).”

“Hemmm... bukankah di Kwi?ouw adalah serang Kwi-eng-pang dan ketuanya adalah Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio, datuk kaum sesat?” Biauw Eng memotong.

Dua orang kakek itu tersenyum. “TIdak salah dugaan itu, pangcu kami adalah Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio.” Tentu saja mereka merasa bangga menyebut nama yang sudah tersohor itu. “Dan kami berdua adalah pembantu?pembantu utamanya, juga termasuk murid?murid pangcu kami yang setia.”

“Coba kalian lanjutkan, apa keperluan kalian dan Liong Bu Kong ini datang ke sini?” Keng Hong mendesak, hatinya tidak enak.

Melihat sikap tuan dan nyonya rumah, Pek-kui Gak Song juga kelihatan gugup dan jerih. “Sesungguhnya kami ditugaskan Pangcu kami untuk mengiringkan kongcu kami untuk... untuk dapat bertemu muka dengan Cia-siocia... dan hal ini sudah terlaksana... tentu tidak lama lagi pangcu kami akan segera resmi mengajukan pinangan, melamar Nona Cia Giok Keng untuk menjadi jodoh kongcu kami...”

“Keparat!” Tiba-tiba Biauw Eng membentak marah, “Hendak melamar setelah mengacau di Cin-ling-san dan melukai enam orang anggauta Cin-ling-pai dengan pukulan Hek-tok-ciang?”

Dua orang kakek itu menjadi pucat wajahnya. “Ini... ini... hanya kesalahpahaman... hanya keinginan menguji kepandaian... bukan berniat buruk... kami mohon maaf dan biarlah kami mengobati mereka yang terluka...”

“Siapa butuh bantuan kalian? Tidak perlu memberi obat, pukulan Hek-tok-ciang macam itu saja apa sih artinya? Biarlah aku menukarnya dengan pukulanku. Terimalah!” Biauw Eng memberi kesempatan kepada dua orang kakek itu untuk “menjaga diri” lebih dulu sebelum dia bergerak. Biarpun dua orang kakek itu jauh lebih tua daripadanya, namun dia adalah isteri Ketua Cin-ling-pai sedangkan dua orang kakek itu hanya utussan dan murid Ketua Kwi-eng-pai, maka kedudukannya jauh lebih tinggi. Karena ini, dia tidak mau menggunakan kecepatannya menyerang dua orang yang belum siap. Setelah dua orang kakek itu yang maklum akan dipukul berjaga?jaga, barulah ia menggerakkan tubuhnya sambil berseru, “Robohlah!”

Dua orang kakek yang di dunia kang-ouw sudah amat terkenal dengan julukan Siang-lo-kui (Sepasang Setan Tua) ini cepat menggerakkan tangan menangkis.

“Des! Dess! Plak?plak!”
Kedua tangan Biauw Eng yang menampar itu memang dapat tertangkis oleh mereka, namun lengan mereka yang menangkis terdorong dan terpental sedangkan kedua buah tangan halus itu tetap saja menyambar terus dan menampar dada mereka. Tamparan yang tidak begitu kuat,akan tetapi akibatnya hebat karena kedua orang kakek itu roboh, muntah darah dan pingsan. Kiranya mereka telah menderita luka dalam yang cukup hebat, dan juga pukulan Biauw Eng itu beracun, tidak kalah dahsyatnya dibandingkan dengan Hek-tok-ciang. Tidaklah aneh kalau Sie Biauw Eng mampu menggunakan ilmu pukulan beracun yang biasanya hanya dikuasai oleh kaum sesat karena dia adalah puteri mendiang Lam-hai Sin-ni (Wanita Sakti Laut Selatan).
Pukulannya tadi adalah Ngo-tok-ciang (Tangan Panca Racun) yang mengandung inti sari lima macam hawa beracun dan tentu saja jauh lebih berbahaya daripada Hek-tok-ciang, apalagi dilakukan oleh seorang yang tingkat kepandaiannya sudah setinggi nyonya itu!
Liong Bu Kong terkejut sakali. Dia tadi sudah menyaksikan kehebatan ilmu kepandaian Cia Keng Hong Ketua Cin-ling-pai yang dengan amat mudahnya mematahkan ujung pedang pusakanya. Kini dia menyaksikan kelihaian nyonya ketua itu yang dalam segebrakan saja mampu merobohkan Siang-lo-kui, padahal dua orang kakek itu adalah murid-murid kelas satu dari ibunya! Pemuda yang amat cerdik ini tidak memperlihatkan perasaan menyesal di mukanya, bahkan dia menjura kepada Sie Biauw Eng sambil berkata, “Hukuman bagi kedua paman yang lancang ini memang sudah sepantasnya. Saya menghaturkan terima kasih kepada Locianpwe yang telah menghajarnya dan mengampuni nyawa mereka.”
Biarpun Bu Kong mengambil sikap sabar, sopan dan manis budi, namun dalam pandangan Cia Keng Hong, pemuda itu amat tidak menyenangkan, maka dia pun berkata, “Sudahlah, bawa mereka pulang dan jangan sekali?kali berani menginjakkan kaki di daerah Cin?ling?san. Adapun soal jodoh, tidak perlu lagi dibicarakan dan tidak perlu datang meminang karena bagaimanapun juga, kami tidak suka berbesan dengan golongan hitam. Nah, pergilah!”
Bu Kong merasa betapa jantungnya seperti ditusuk oleh kekecewaan dan putus harapan. Sudah lama dia mendengar akan kecantikan puteri Ketua Cin-ling-pai, dan setelah bertemu dengan orangnya, apalagi setelah menyaksikan kelihaian Giok Keng, sekaligus dia tergila?gila dan jatuh cinta. Akan tetapi dia pun tahu bahwa kedua orang tua dara itu menentang keras. Kembali pemuda itu menjura dan berkata, “Maafkan saya, Ji-wi?locianpwe. Saya mengaku bahwa kami bertiga telah lancang, mudah?mudahan saja kelak saya akan dapat menghadap Ji-wi dalam keadaan yang lebih baik dan menyenangkan. Selamat tinggal dan sekali lagi terima kasih atas semua pelajaran yang kami terima.” Dia menjura, membungkuk, mengempit tubuh kedua orang kakek yang masih pingsan, kemudian turun dari puncak sambil berlari cepat. Semua orang, termasuk Cia Keng Hong, Sie Biauw Eng, dan Cia Giok Keng, memandang dengan hati kagum. Pemuda itu benar?benar lihai!
Setelah mengobati luka keenam pemuda akibat pukulan Hek-tok-ciang, Keng Hong dan anak isterinya kembali ke dalam rumah. Setelah berada di dalam, Keng Hong berkata kepada puterinya, “Nah, kaulihat sendiri betapa tidak baiknya bagi seorang dara yang sudah dewasa kalau tidak segera menikah. Tentu banyak godaan dan penolakan-penolakan hanya akan mendatangkan permusuhan.”
“Ayahmu benar, Anakku. Sebaiknya kalau engkau segera menentukan pilihan hatimu dan mendapatkan jodoh.”
Giok Keng cemberut. “Ayah dan Ibu tentu akan memaksaku, soal jodoh tak perlu dibicarakan lagi karena aku tidak mau! Dalam penolakan lamaran Ayah dan Ibu bertindak tanpa persetujuanku, tentu kelak Ayah dan Ibu pun akan menerima lamaran orang tanpa mengajukan persetujuanku pula! Karena itu, aku tidak mau menikah!”
Keng Hong dan isterinya saling pandang dan Keng Hong berkata agak keras, “Tentu saja kita tolak lamaran seorang pemuda dari golongan hitam itu. Apalagi kalau dia putera Iblis Betina Kwi-eng Niocu yang tersohor!”
Giok Keng tetap cemberut. Sedikit banyak hatinya telah tertarik oleh sikap pemuda tampan tadi, dan biarpun hal itu bukan berarti bahwa dia jatuh cinta dan menerima pinangan, akan tetapi dia tersinggung juga menyaksikan betapa ayah bundanya menolak mentah-mentah tanpa mempedulikan perasaannya sendiri!
“Menolak atau menerima lamaran bukan soal, yang menjadi soal adalah bahwa saya seorang manusia, yang berperasaan pula dan patut menentukan hidup dan masa depan saya sendiri. Hal ini harap Ayah dan Bunda tidak lupa! Sudahlah, siapa sih yang ingin menikah?” Setelah berkata demikian Giok Keng meninggalkan ayah bundanya, memasuki kamarnya sendiri dan menangis!
Keng Hong menggeleng?geleng kepalanya. Isterinya menghibur, “Sabarlah. Dia baru berusia tujuh belas tahun, belum lenyap sama sekali sifat kekanak-kanakannya!”
“Kekanak-kanakan apa? Itulah kalau anak manja!” Akan tetapi Keng Hong tidak melenjurken kemarahannya ketika melihat pandang mata isterinya yang mengalah, bahkan dia lalu memeluk isterinya dan berkata, “Biarlah kita serahkan jodoh anak kita kepada nasib.”
“Perlu apa dipusingkan? Biarlah dia memilih sendiri dan kita hanya mengawasi dari belakang agar dia jangan salah pilih.”
Semenjak terjadinya pengacauan yang dilakukan oleh orang?orang Kwi-eng-pai itu dan mendapat kenyataan bahwa kepandaiannya masih jauh dari cukup sehingga ketika dia menyerang pemuda bernama Liong Bu Kong itu dia sama sekali tidak berhasil, Giok Keng makin tekun berlatih silat. Hal ini menggirangkan hati Keng Hong dan pendekar ini pun melatih puterinya dengan sungguh-sungguh sehingga akhirnya dia menurunkan juga Ilmu Silat Thai?kek Sin?kun kepada puterinya itu dengan janji agar dara itu tidak membocorkannya kepada orang lain! Dua tahun lamanya Giok Keng berlatih dengan tekun siang malam sehingga setelah dia berusia sembilan belas tabun, ilmu kepandaiannya meningkat dengan hebatnya. Bahkan dia berhasil pula mempelajari Ngo-tok-ciang dari ibunya yang memesan agar puterinya jangan sembarangan menggunakan ilmu ini, kecuali kalau menghadapi golongan hitam karena ilmu ini adalah ilmu keji dari kaum sesat. Betapapun juga, Keng Hong masih belum berani mengajarkan Thi-ki-i-beng kepada puterinya. Kalau puterinya mendesak agar ayahnya menurunkan ilmu itu, dia menjawab, “Kaukira mudah saja menguasai Thi-khi-i-beng? Kalau belum kuat benar dasarnya, ilmu ini bisa mencelakakan diri sendiri. Ayahmu mendapatkan ilmu ini secara kebetulan saja, akan tetapi ketahuilah, dahulu seorang tokoh golongan hitam yang tinggi ilmu kepandaiannya bernama Kiu?bwe?toanio Lu Sian Cu, yang berhasil memaksaku memberikan Thi-khi-i-beng, telah mati karena ilmu itu sendiri. Mempelajari ilmu ini kalau belum memiliki kekuatan yang melebihi ukuran sin?kang biasa, berarti menghadapi bahaya maut. Ilmu-ilmu yang kaupelajari sudah cukup, Keng-ji, kalau semua itu kaukuasai dengan baik disertai latihan dan ketenangan, kiranya sukar sekali akan dapat dikalahkan lawan, biarpun engkau tidak menggunakan Thi-ki-i-beng.”

lanjut ke Jilid 025-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar