Rabu, 19 Februari 2014

Petualang Asmara 21

Petualang Asmara Jilid 021

<--kembali

Arak dan bakmi yang dipesan Kun Liong tiba, dan pemuda ini segera mulai makan tanpa mempedulikan tiga orang tamu itu. Orang ke tiga di antara tamu itu sudah tua, kurus dan lucu sekali karena kelihatan selalu mengantuk. Biarpun kadang-kadang dia mengangkat cawan araknya, akan tetapi matanya seperti terus tidur melenggut dan tidak pernah ikut bicara dengan kedua orang temannya, bahkan sama sekali tidak mempedulikan Kun Liong.

“Benarkah bahwa setiap ada anak murid yang melanggar, Siauw?lim?si bertindak keras sekali dengan hukumannya?” tanya pula Si Muka Pucat yang disebut Kui?suheng oleh Si Jenggot Pendek tadi.

“Kabarnya demikian. Bahkan seorang murid tidak akan diijinkan keluar sebelum lulus dari ujian yang diadakan. Apakah Suheng tidak mendengar betapa ketuanya yang lama, Tiang Pek Hosiang yang terkenal di seluruh dunia kang?ouw itu, terpaksa harus mengundurkan diri karena pelanggaran?”

“Ya, kabarnya begitu. Bahkan murid Siauw-lim?pai yang paling lihai, Yap Cong San yang kabarnya mewarisi ilmu kepandaian kakek sakti itu, terpaksa pula harus meninggalkan keanggautaannya dari Siauw?lim?pai karena pelanggaran.”

“Urusan apakah?”

“Entahlah, Sute. Aku sendiri pun tidak tahu jelas. Tentu Tio?taihiap (Pendekar Besar Tio) yang lebih tahu,” jawab Si Muka Pucat sambil memandang kepada teman yang sejak tadi seperti orang mengantuk itu. Kedua orang itu kini memandang kepadanya dan diam?diam Kun Liong juga memperhatikan dengan kerling matanya kepada Si Pengantuk yang disebut Pendekar Besar Tio itu.

“Sudahlah, perlu apa bicara tentang urusan orang lain? Yang penting malam ini kita mengaso di losmen dan baru besok pagi kita naik ke Siauw-lim?si. Mudah?mudahan saja perjalanan jauh kita akan berhasil.”

Mendengar ini, timbul kecurigaan di dalam hati Kun Liong. Tiga orang ini sikapnya mencurigakan dan mereka ini besok mau nalk ke Siauw?lim?si! Mau apakah mereka? Apakah ada hubungan mereka dengan Kwi?eng?pai yang telah mencuri pusaka Siauw-lim?si?

“Ucapan Tio?taihiap benar,” kata Si Jenggot Pendek. “Kita harus menghormati para pendeta Siauw?lim?pai yang terhormat, akan tetapi bagaimana mungkin aku dapat menghormat pendeta munafik yang terang?terangan melanggar pantangan di depan umum?” Setelah berkata demikian, Si Muka Merah yang berjenggot pendek ini mengangkat cawan araknya melirik ke kiri ke arah Kun Liong sambil mengerahkan tenaga sinkang di tubuh bagian bawah.

Kun Liong terkejut bukan main ketika tiba?tiba bangku yang didudukinya itu bergetar dan bergerak terangkat naik! Maklumlah dia bahwa Si Muka Merah ini sengaja main gila hendak mempermainkan dia yang tentu dianggap seorang hwesio yang melanggar pantangan makan daging dan minum arak. Perutnya terasa panas, akan tetapi dia bersikap tenang saja seolah?olah tidak tahu apa yang terjadi, akan tetapi dia pun lalu mengerahkan sin?kang sehingga ujung bangku yang didudukinya itu, yang tadinya sudah terangkat sampai sejengkal lebih dari lantai, kini turun kembali! Si Muka Merah terbelalak dan heran, lalu menjadi penasaran. Sin?kangnya dikerahkan dengan sekuatnya, dan andaikata Kun Liong bukan seorang yang telah memiliki sin?kang kuat, tentu dia akan terlempar jauh oleh getaran ujung bangku yang didudukinya! Akan tetapi, tubuh pemuda ini sama sekali tidak berguncang, bahkan ketika dia mengerahkan tenaganya, terdengar suara “krakkk!” bangku itu patah pada tengahnya dan tubuh Si Muka Merah itu terlempar ke atas seperti dilontarkan oleh tenaga raksasa yang tidak tampak! Cawan araknya terlepas dari tangannya dan tentu akan terbanting tumpah di atas meja kalau saja Si Pengantuk yang disebut Tio?taihiap itu tidak mengulur tangan menyambar cawan itu dan aneh sekali... arak yang tumpah itu seakan-akan tersedot dan melayang kembali ke dalam cawan itu! Sedangkan Si Muka Merah sudah berjungkir?balik dan tidak sampai terbanting. Dia sudah mengepal tinju dan memandang kepada Kun Liong dengan mata mendelik, melihat pemuda gundul itu tetap enak?enak duduk di ujung bangku yang sudah patah tengahnya, menghabiskan sisa arak dalam cawannya!

“Pendeta palsu hayo lawan aku orang she Song kalau kau ada kepandaian!” Si Muka Merah itu membentak marah.

Kun Liong menghabiskan sisa arak dalam cawan, kemudian meletakkan cawan kosong di atas meja dan bangkit berdiri. Tentu saja bangku yang sudah patah tengahnya itu terguling roboh ketika dia bangkit, mengeluarkan bunyi nyaring memecah kesunyian yang menegangkan itu. Dia merogoh saku dan menggapai kepada pelayan yang datang membungkuk?bungkuk dengan ketakutan, kemudian membayar harga makanan dan minuman setelah menanyakan harganya. Setelah pelayan bergegas pergi, dia berpaling kepada Si Muka Merah dan berkata, “Semenjak tadi aku makan dan minum di sini dengan aman, tidak pernah mengganggu orang baik dengan ucapan atau dengan tingkah laku. Engkau hampir jatuh oleh tingkah sendiri, mengapa sekarang ribut?ribut hendak menantang orang?”

“Pendeta palsu, tak usah banyak cakap. Keluarlah kalau kau berani!”

“Saudara Song, duduklah!” Tiba?tiba Si Pengantuk itu berseru nyaring dan Kun Liong melihat betapa Si Muka Merah itu, biarpun bersungut?sungut, mengangguk tak berani membantah, sudah duduk di sudut dengan muka merah. Si Pengantuk itu lalu berdiri menghadapi Kun Liong, mengangkat tangan ke depan dada sambil berkata, “Siauw?suhu, harap suka memaafkan kekasaran kawanku. Akan tetapi aku pun tidak dapat terlalu menyalahkannya karena dia memang paling tidak suka menyaksikan sesuatu yang ganjil, misalnya seorang pendeta yang melanggar pantangan di depan umum, makan daging dan arak.”

Kun Liong tersenyum lebar dan memandang Si Pengantuk itu dengan wajah berseri. Dia tidak marah lagi, bahkan merasa betapa lucunya keadaan. Sambil balas menjura dia menjawab, “Sudahlah, tidak ada apa?apa yang harus diributkan kalau hanya karena kesalahpahaman diakibatkan oleh kepalaku yang gundul Tai?hiap, aku bukanlah seorang hwesio dan tidak ada seorang manusia pun di dunia ini yang berhak melarang aku berkepala gundul, minum arak dan makan daging!”

SI MUKA PUCAT tertawa dan sungguh aneh. Biarpun dia kelihatan mengantuk, setelah tertawa wajahnya yang tua kurus itu berseri dan sepasang mata yang sipit itu mengeluarkan sinar mata yang menyambar amat tajamnya, membuat Kun Liong terkejut sekali dan diam-diam pemuda ini maklum bahwa dia berhadapan dengan orang pandai.

“Ha?ha?ha, Song?laote, kaulihat betapa lucunya dan betapa merugikan kalau kau tidak teliti, menyangka orang yang bukan?bukan dan sudah tergesa?gesa turun tangan sebelum yakin akan kesalahan orung. Saudara muda ini sama sekali bukan hwesio, tentu saja bukan merupakan hal aneh kalau dia makan daging dan minum arak.”

Orang she Ong itu kini berubah sikapnya. Dia cepat bangkit dan menjura ke arah Kun Liong sambil berkata, “Aihh, mataku seperti buta! Harap suka memaafkan kecurigaan saya tadi, Siauw?eng-hiong. Semuda ini engkau telah memiliki kepandaian hebat, sungguh mengagumkan hatiku. Pertemuan ini harus dilanjutkan dengan persahabatan dan sudilah engkau menjadi tamu kami!”

Kun Liong cepat menjura, “Maaf, saya tidak dapat menerima kehormatan itu. Saya adalah seorang petualang biasa yang tidak ada artinya, dan saya lelah sekali ingin mengaso. Maaf!” Dia lalu melangkah keluar dari warung itu, memasuki losmen sederhana, memesan kamar dan merebahkan dirinya di atas dipan di dalam kamar yang sempit itu, melupakan lagi urusan tadi, akan tetapi diam?diam dia masih menaruh hati curiga terhadap ketiga orang yang hendak naik ke Siauw-lim?si. Kecurigaannya ini membuat Kun Liong gelisah dan pada keesokan harinya, pagi?pagi sekali, dia mendahului tiga orang itu naik ke puncak, kembali ke Siauw?lim?si. Sedikitnya dia harus memberitahukan Thian Kek Hwesio akan tiga orang aneh yang hendak mengunjungi kuil dan yang keadaannya mencurigakan agar Siauw?lim?pai dapat berjaga?jaga.

Biarpun kini Kun Liong melalui jalan yang jauh lebih sukar daripada ketika dia meninggalkan puncak, yaitu jalannya terus mendaki, namun karena dia tergesa?gesa dan mempergunakan ilmu berlari cepat, maka menjelang senja sampai juga dia ke puncak dan memasuki halaman kuil Siauw?lim?si yang amat luas.

Heran hati pemuda ini menyaksikan kesibukan anak murid Siauw?lim-pai, dan setelah dia berhadapan dengan ketua dan para tokoh Siauw-lim?pai di ruangan depan, dapat dibayangkan betapa kagetnya mendengar berita bahwa Thian Lee Hwesio telah tewas terbunuh orang dan baru saja kemarin jenazahnya tiba, dibawa oleh rombongan piauwsu yang kemarin dijumpai di tengah jalan. Kiranya yang berada di dalam kereta adalah sebuah peti yang terisi jenazah Thian Le Hwesio!

Di dalam ruangan itu terdapat dua buah peti mati dan Kun Liong segera berlutut memberi hormat di depan kedua peti mati itu setelah dia mengetahui bahwa dua peti mati itu berisi jenazah sukongnya, Tiang Pek Hosiang, dan jenazah Thian Le Hwesio!

“Bukan pinceng tidak mentaati pesan terakhir dari Suhu,” kata Thian Kek Hwesio kepada Kun Liong setelah mempersilakan pemuda itu duduk. “Akan tetapi sebelum kami dapat melaksanakan perintah Suhu dan memperabukan jenazahnya, telah datang jenazah Sute. Maka biarlah kita sekarang mengadakan upacara kepada dua jenazah, apalagi karena sudah sepatutnya kalau jenazah Suhu memperoleh kehormatan dan menerima penghormatan para tokoh kang?ouw yang tentu akan berdatangan mendengar berita kematian Suhu dan Sute. Pinceng harap Sicu akan suka menunggu di sini sampai kedua jenazah disempurnakan.”

Kun Liong mengangguk. “Tentu saja, teecu akan menanti di sini karena teecu juga ingin sekali bertemu dengan tokoh-tokoh kang?ouw. Sudah menjadi kewajiban teecu pula untuk menunggu jenazah Sukong sampai diperabukan. Akan tetapi yang sangat mengherankan hati teccu, bagaimanakah Thian Lee?losuhu yang katanya mencari pusaka yang hilang, tahu?tahu kembali dalam keadaan telah tewas dan siapa pula yang mengantar dengan kereta piauw?kiok itu?”

“Yap?sicu telah kami beri tugas untuk mencari kembali pusaka sesuai dengan pesan Suhu, sekarang dengan terjadinya kematian Sute, tugas Sicu menjadi lebih berat. Agar jelas, baiknya Sicu mendengar sendiri penuturan para piauwsu yang mengawal jenazah Sute,” kata Ketua Siauw?lim?pai yang segera memanggil enam orang piauwsu itu ke ruangan, sedangkan dia sendiri melanjutkan memimpin para anak murid melakukan upacara sembahyangan terhadap dua peti mati terisi jenazah.

Enam orang piauwsu itu tercengang juga ketika diperkenalkan kepada Kun Liong yang mereka kenal sebagai pemuda gundul yang kemarin berjumpa dengan mereka di tengah jalan. Ketika mendengar bahwa pemuda itu adalah sahabat baik Ketua Siauw?lim?pai, mereka segera memberi hormat, apalagi ketika Ketua Siauw-lim?pai minta agar mereka menceritakan semua kepada Kun Lion, pimpinan piauwsu yang bermuka hitam segera mulai dengan penuturannya.

Sam?to?piauw?kiok adalah sebuah perusahaan pengawalan dan pengiriman barang di kota Lam?san?bun yang sudah amat terkenal karena perusahaan ini dipimpin tiga orang kakak beradik yang tinggi ilmu silatnya, terutama sekali ilmu golok mereka yang sukar dicari tandingannya, sehingga terkenallah sebutan Sam?to?eng (Tiga Pendekar Golok). Karena itu, perkumpulan yang juga memakai nama Tiga Golok ini amat dipercaya orang untuk mengawal pelancong atau barang?barang berharga.

Pada suatu hari, seorang pemuda tampan datang berkereta dan membawa sebuah peti yang panjang besar, menyerahkan peti itu kepada Sam?to?piauw-kok dan minta agar peti itu dikirimkan secepatnya ke Siauw?lim?pai dengan biaya mahal dan dibayar kontan pula!

“Karena pada waktu peti itu datang tiga orang pimpinan kami sedang tidak ada di rumah, maka kami sebagai pembantu?pembantunya menerima barang itu dan kami tidak mengutus anak buah, melainkan kami mengawalnya sendiri mengingat akan baiknya hubungan antara tiga orang pemimpin kami dengan Siauw?lim?pai. Karena barang kiriman itu untuk Siauw-lim?si, maka harus kami jaga agar jangan sampai terjadi sesuatu di tengah jalan. Sama sekali kami tidak pernah menyangka bahwa peti itu berisi... berisi...”

“Jenazah Thian Le?losuhu?” Kun Liong melanjutkan karena pemimpin para piauwsu yang bermuka bitam itu kelihatan gagap.

“Benar, Yap-sicu. Kalau kami tahu apa isinya, hemmm... tentu kami akan menahan dia!”

“Siapakah dia yang mengirim peti itu?”

“Seorang pemuda tampan, dan sekarang, melihat bahwa peti itu berisi jenazah wakil Ketua Siauw-lim?pai, timbul dugaan kami babwa agaknya pemuda itu adalah penyamaran dari dia...” Si Muka Hitam yang biasanya bersikap gagah itu kelihatan ragu?ragu dan jerih, tampak dari matanya yang otomatis melirik ke kanan kiri, seolah?olah dia merasa takut kalau?kalau suaranya terdengar orang lain!

“Siapakah dia yang kaumaksudkan?”

“Giok... hong... cu...”

Kun Liong mengerutkan alisnya karena dia sama sekali tidak mengenal nama julukan Giok?hong?cu (Si Burung Hong Kemala) itu. “Hemmm, dia itu orang apakah?”

Pemimpin rombongan piauwsu itu memandang dengan heran, kemudian dia dapat menduga bahwa pemuda gundul yang diakui sebagai sahabat oleh Ketua Siauw?lim?pai itu agaknya adalah seorang yang sama sekali belum mengenal keadaan dunia kang?ouw, maka dengan penuh gairah seorang yang suka bercerita dia berkata, “Dia adalah seorang wanita muda yang namanya tersohor di seluruh dunia kang?ouw selama dua tahun ini. Ilmu kepandaiannya hebat dan mengerikan, sepak terjangnya ganas sekali dan melihat betapa banyaknya tokoh?tokoh golongan putih yang menjadi korban keganasan tangannya, agaknya dia adalah seorang tokoh baru golongan hitam, sungguhpun ada pula golongan hitam yang dibasminya. Dia seorang tokoh penuh rahasia dan melihat bahwa isi peti adalah jenazah wakil Ketua Siauw-lim?pai, kami terus saja ingat kepadanya.”

“Hemm, sungguh tidak baik kalau menuduh orang tanpa bukti, siapapun juga orang itu.” Kun Liong membantah, hatinya merasa tidak rela ada orang menuduh seorang wanita muda yang melakukan pembunuhan keji terhadap Thian Le Hwesio.

“Kami tidak menuduh sembarangan!” Si Muka Hitam membantah. “Biarpun dia berpakaian seperti seorang pemuda, akan tetapi wajahnya demikian tampan dan suara serta gerak?geriknya demikian halus. Dia pasti seorang wanita muda yang menyamar.”

“Tapi bagaimana kau dapat memastikan dia itu tokoh wanita yang berjuluk Giok?hong?cu?”

“Karena Giok?hong?cu juga seorang dara muda yang cantik jelita, dan... di baju pemuda itu, di bagian dada kiri, terdapat sebuah hiasan burung hong terbuat dari batu kemala. Kabarnya, kami sendiri belum pemah bertemu dengan Giok?hong?cu, tokoh itu pun selalu menghias rambutnya dengan burung hong batu kemala, maka benda itu dijadikan julukannya karena tidak ada seorang pun tahu siapa namanya.”

Kun Liong mengerutkan alisnya makin dalam. Blarpun dia tidak yakin benar akan tuduhan ini, namun dia mencatat semua itu di dalam hatinya untuk bahan penyelidikannya kelak. Dia bertugas dan ini perintah mendiang sukongnya, untuk mendapatkan kembali dua buah benda pusaka Siauw?lim?pai yang dicuri orang. Dan karena Thian Le Hwesio tewas dalam usahanya mencari pula pusaka itu, maka agaknya pembunuh hwesio tua itu tentulah orang yang mempunyai hubungan dengan pencurian pusaka itu. Dahulu pun orang yang memimpin pencurian, yang telah melukainya, adalah seorang pemuda yang amat lihai sehingga tidak dapat tertangkap oleh tokoh?tokoh Siauw-lim?pai. Akan tetapi, pemuda itu dahulu berkedok saputangan, dan tubuhnya memang kecil namun tegap dan gagah. Menurut penuturan Ketua Siauw?lim?pai, dua orang pencuri yang tertangkap kemudian membunuh diri, mungkin sekali adalah anggauta Kwi?eng?pai di Kwi?ouw, melihat dari duri yang mereka pakai membunuh diri.

“Apakah Giok?hong?cu yang kausebut itu seorang anggauta Kwi?eng?pai?” tanyanya.

Kembali piauwsu itu kelihatan kaget dan jerih, menggeleng kepala dengan kuat. “Ah, saya rasa tidak ada hubungannya dengan Kwi?eng?pai... akan tetapi entahlah, sepanjang pendengaran kami, Giok?hong?cu selalu bergerak sendiri. Kwi?eng?pai terlalu besar untuk hanya diwakili oleh satu orang saja yang tidak pernah menyebut nama perkumpulan itu.”

Kun Liong mengangguk?angguk. “Jadi orang yang mungkin sekali menyamar Giok?hong?cu itu mendatangi Sam?to-piauwkiok di Lam?san?bun? Apakah memang dia tinggal di Lam?san?bun?”

“Yap?sicu, siapakah yang dapat mengetahui di mana tempat tinggalnya? Akan tetapi memang pada bulan?bulan terakhir ini sepak terjangnya berbekas di antara Lam?san?bun sampai ke kota raja.”

Kun Liong merasa lega mendengar keterangan ini. Biarpun dia belum yakin benar bahwa tokoh wanita terkenal itu yang membunub wakil Ketua Siauw?lim-pai, namun sedikitnya dia dapat menyelidikinya dan mencarinya antara Lam-san?bun dan kota raja.

Para piauwsu Sam?to?piauwkiok itu tidak lama berada di Siauw?lim?si. Mereka segera berpamit untuk kembali ke Lam-san?bun dan melaporkan peristiwa hebat itu kepada tiga orang pimpinan mereka. Setelah para piauwsu itu pergi, teringatlah Kun Liong akan tiga orang yang ditemuinya di warung, dan kecurigaannya bertambah. Dalam keadaan seperti pada waktu itu, setelah peristiwa hebat yang menimpa diri wakil Ketua Siauw-lim?pai, maka setiap orang yang datang ke Siauw?lim?si tentu mengandung niat yang meragukan. Siapa tahu kalau-kalau tiga orang yang dijumpainya itu, yang jelas bukanlah orang?orang biasa, adalah anak buah Kwi?eng?pai atau setidaknya mempunyai hubungan dengan pembunuh Thian Le Hwesio.

Pikiran ini mendorong Kun Liong untuk meninggalkan kuil dan menghadang di depan kuil, menanti munculnya tiga orang yang dicurigai itu. Dia tidak menanti lama, karena segera tampak olehnya tiga orang yang ditunggu?tunggu itu berlari mendaki puncak dengan gerakan cepat. Diam?diam dia terkejut juga. Dia memang tahu bahwa mereka itu adalah orang?orang berkepandaian, terutama sekali Si Pengantuk yang telah ia saksikan kelihaiannya ketika Si Pengantuk yang disebut Tio?taihiap itu menyambar cawan arak yang terlempar dan menyedot arak yang tumpah keluar kembali ke dalam cawan, membuktikan tenaga sin?kang yang amat kuat. Akan tetapi melihat tiga orang itu menaiki puncak sambil berlari sedemikian cepatnya, dia benar?benar tercengang dan kecurigaannya bertambah. Siauw-lim?pai telah kedatangan tiga orang lawan berat, pikirnya. Lebih baik dia menghalangi mereka itu di luar agar tidak mengacaukan dalam kuil di mana sedang diadakan upacara sembahyang terhadep dua jenazah dalam peti?peti mati.

Hari masih pagi di waktu itu. Kun Liong berdiri di tengah lorong kecil yang menuju ke kuil, membelakangi pintu kuil yang terbuka sebelah. Keadaan di luar kuil sunyi karena semua hwesio sibuk di sebelah dalam, melayani ketua dan para pimpinan yang melakukan sembahyangan. Dari luar terdengar bunyi liam?keng (doa) mereka dan suara ketukan?ketukan mengiringi doa sembahyang seperti nyanyian puji?puji yang penuh khidmat.

Tiga orang itu menghentikan gerakan kaki mereka dan berdiri berhadapan dengan Kun Liong. Si Pengantuk berusaha melebarkan matanya yang sipit ketika melihat Kun Liong, sedangkan Si Muka Merah dan yang seorang lagi memandang dengan penuh keheranan dan juga mereka kelihatan marah ketika mengenal bahwa yang menghadang di tengah jalan itu bukanlah seorang hwesio yang menyambut kedatangan mereka, melainkan pemuda gundul yang pernah ribut dengan Si Muka Merah di dalam warung! Kalau tadinya mereka itu sudah menghabiskan kecurigaan mereka setelah mendengar bahwa pemuda itu bukan seorang hwesio, kini mereka menjadi curiga lagi melihat pemuda itu menghadang mereka di depan pintu gerbang kuil Siauw-lim?si!

Orang she Tio yang tinggi kurus dan seperti mengantuk, sudah mendahului dua orang kawannya, maju dan menjura kepada Kun Liong sambil berkata, “Kiranya sahabat muda yang menghadang kami di sini. Harap kau orang muda suka minggir dan membiarkan kami pergi memasuki kuil Siauw?lim?si, dan kalau ada urusan dengan kami, biarlah akan kita bicarakan kelak kalau urusan kami di Siauw?lim-si sudah selesal.”

Kun Liong bersikap tenang akan tetapi dia menggeleng kepalanya. “Pada saat ini Siauw-lim?si tidak menerima kunjungan orang?orang asing. Harap Sam?wi kembali saja dari mana Sam?wi datang dan jangan memasuki kuil karena para suhu sedang sibuk.”

“Eh, eh, omongan apa ini?” Orang she Song yang bermuka merah menegur dengan suaranya yang galak. Dia memang termasuk orang yang wataknya berangasan. “Engkau bilang bahwa kau bukan seorang hwesio biarpun kepalamu gundul. Sekarang engkau menghalangi kami hendak memasuki Siauw-lim?si. Sebenarnya siapakah engkau dan apa kehendakmu terhadap kami?”

“Aku adalah seorang sahabat baik dari para pimpinan Siauw?lim?pai, karena itu aku harus mencegah kalian melakukan pengacauan di Siauw-lim?si.”

“Manusla sombong! Apakah ehgkau menantang berkelahi?” Si Muka Merah membentak.

Kun Liong menggeleng kepalanya. “Aku tidak menantang siapa pun, akan tetapi aku tidak ingin melihat orang-orang menggunakan kepandaian untuk melakukan kejahatan, apalagi terhadap Siauw?lim?pai. Karena itu, harap Sam-wi (Tuan Bertiga) suka pergi lagi dan jangan mengganggu para pimpinan Siauw-lim?pai yang sedang sibuk.”

“Bocah lancang! Kau tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa! Manusia sombong seperti engkau layak dlhajar!” Si Muka Merah sudah mengepal tinju dan hendak menerjang maju, akan tetapi Si Pengantuk melarangnya,

“Saudara Song, jangan!”

Si Muka Merah itu mundur kembali, akan tetapi mukanya menjadi makin merah karena dia marah bukan main. Kini Si Pengantuk melangkah maju menghadapi Kun Liong dan memandang penuh selidik, kemudian berkata, “Sahabat muda, engkau dengan tegas melarang kami memasuki kuil Siauw-lim?si dan menuduh kami hendak mengadakan pengacauan. Agaknya engkau salah sangka. Kami bukan berniat melakukari kekacauan, karena itu harap engkau jangan menghalangi kami.”

Kun Liong menggeleng kepalanya. “Melihat sikap kalian, aku tidak dapat percaya dan aku menduga bahwa tentu engkau tidak mempunyai niat baik. Akan tetapi, kalau engkau suka memberi tahu kepadaku apa niat kedatangan kalian bertiga, aku akan melaporkan kepada Ketua Siauw-lim?pai dan kalian menanti dulu di sini.”

Akan tetapi Si Pengantuk masih kelihatan tenang dan sabar. “Orang muda, kami memang ada urusan penting dengan Ketua Siauw?lim?pai, akan tetapi urusan ini tidak dapat kuberitahukan kepada siapapun juga.”

“Kalau begitu menyesal sekali, harap kalian suka pergi lagi saja.” Kun Liong berkata tegas.

“Kalau kami tidak mau dan hendak terus memasuki kuil?”

“Terpaksa aku mencegah kalian.”

“Orang muda, engkau menantang kami?”

“Nah, lagi?lagi aku dituduh menantang!” Kun Liong tersenyum. “Engkau ini orang tua disebut tai?hiap yang berarti pendekar besar dan dengan sendirinya tentu seorang pendekar maklum akan duduknya perkara. Sam?wi datang hendak memaksa memasuki kuil, aku sebagai seorang yang merasa pula bertanggung jawab akan keselamatan kuil Siauw-lim-si, menolak kedatangan Sam?wi dan minta agar Sam?wi pergi lagi saja, akan tetapi Sam?wi hendak memaksa. Tentu saja kalau Sam?wi memaksa aku akan mencegah. Eh, kini Sam?wi menuduh aku menantang! Benarkah pendapat seperti itu?”

Si Pengantuk she Tio berkata, kini suaranya dingin dan tegas. “Orang muda, agaknya engkau memiliki sedikit kepandaian dan terlalu mengandalkan kepandaian itu sehingga berani bicara main?main dengan kami. Minggir dan jangan mencari perkara!”

“Kalian yang terlalu, aku tidak mau minggir.”

“Kalau begitu bersiaplah kau, orang muda. Mari kita memutuskan urusan ini dengan mengadu kepandalan.”

“Aku tidak mau berkelahi.”

Si Pengantuk tercegang dan bingung juga bagaimana harus bersikap terhadap pemuda gundul yang aneh ini. Si Muka Merah sudah membentak lagi, “Dia pengecut!”

“Aku tidak takut kepada kalian bertiga, pasti bukan pengecut,” bantah Kun Liong yang tersinggung juga disebut pengecut.

“Kalau berani, majulah!” tantang Si Muka Merah.

“Tentu saja berani, akan tetapi aku tidak suka berkelahi!”

“Eh, orang muda! Engkau bersikap menantang kami akan tetapi menyatakan tidak suka berkelahi, sebenarnya apakah maksudmu!”

“Maksudku sudah jelas, Tai?hiap. Aku minta agar kalian bertiga tidak memasuki kuil dan suka pergi dengan aman dan damai. Nah, bukankah kita tidak saling mengganggu dan urusan dapat dihabiskan sampai di sini saja?”

“Bocah sombong! Tio?taihiap, biar aku menghajarnya!” orang she Song yang bermuka merah tak dapat menahan kemarahannya lagi karena merasa bahwa pemuda gundul itu sengaja mempermainkan mereka. Teriakannya ini disusul dengan gerakan tubuhnya yang sudah menerjang maju dan mengirim pukulan tangan kanannya ke arah dada Kun Liong.

Pukulan kasar ini biarpun dilakukan dengan pengerahan sin?kang dan cepat serta keras sekali datangnya, bagi Kun Liong yang sudah dapat mengukurnya bukan merupakan serangan berbahaya. Karena itu, pemuda ini sama sekali tidak mau mengelak atau menangkis, melainkan dia menerima pukulan dengan dadanya sambil mengerahkan tenaga sin?kang yang dahulu dipelajarinya dari Bun Hwat Tosu.

Dengan sin?kang yang sama, Bun Hwat Tosu dahulu pernah menerima pukulan Hek?tok?ciang (Tangan Beracun Hitam) dari Ketua Ui?hong?pang tanpa terluka, bahkan Si Ketua itu sendiri yang terluka tangannya oleh pukulan sendiri yang membalik hawanya.

“Bukkkk!”

Keras sekali datangnya pukulan itu, mengenai dada Kun Liong dan membuat tubuh pemuda gundul itu terguncang, namun berkat tenaga sin?kang yang menolak dan membetot, tangan yang memukul itu meleset seolah?olah memukul karet yang amat keras dan Si Muka Merah itu meringis ketika tangannya menyeleweng dan tubuhnya terpental sampai terhuyung ke kiri! Ketika dia melihat ke arah tangan kanannya, tangannya itu telah bengkak?bengkak! Dan ketika dia melirik ke arah pemuda gundul itu, Si Pemuda masih berdiri tegak dengan sikap tenang dan mulut tersenyum.

“Hemm, tukang pukul orang! Masih ada lagikah pukulanmu yang lunak seperti tahu tadi?” Kun Liong mempermainkan Si Muka Merah yang menjadi marah sekali. Dengan tangan kirinya, Si Muka Merah sudah meraba punggung dan tampaklah sinar berkilauan ketika dia telah mencabut pedangnya.

“Saudara Song, jangan main senjata!” Si Pengantuk menegur.
“Sute, mundurlah!” Orang bermuka pucat she Kui yang menjadi suheng dari Si Muka Merah sudah meloncat ke depan. Gerakannya lincah, ringan dan cepat bukan main. Sekaii pandang saja, tahulah Kun Liong bahwa kepandaian Si Muka Pucat ini lebih lihai darlpada Si Muka Merah yang kasar. Begitu menyerang, Si Muka Pucat she Kui itu telah mengirm totokan halus yang cepat sekali ke arah leher dan pundak Kun Liong.
Biarpun dia sama sekali belum berpengalaman, namun berkat bimbingan dua orang sakti yang berilmu tinggi, pandang mata Kun Liong menjadi awas sekali. Dia maklum bahwa amat berbahayalah untuk melindungi tubuhnya dengan sin?kang seperti yang dilakukannya tadi karena kini yang menjadi sasaran serangan lawan adalah jalan darah yang lemah dan totokan lawan itu selain cepat juga mengandung hawa pukulan yang amat kuat. Maka dia pun lalu menggerakkan tubuh mengelak dan begitu dia bergerak, Si Pengantuk menahan seruannya saking kagum. Gerakan Kun Liong jauh lebih cepat daripada gerakan Si Muka Pucat dan serangan bertubi?tubi yang dilanjutkan oleh orang she Kui itu selalu tak dapat berhasil, kalau tidak dielakkan tentu kena ditangkis secara tepat sekali oleh Kun Liong. Tidaklah mengherankan kalau semua serangan itu gagal karena Kun Liong sudah melindungi dirinya dengan gerakan Ilmu Silat Sakti Im?yang-sin?kun bagian pertahanan.
Si Pengantuk yang memperhatikan dengan teliti gerakan Kun Liong, terkejut menangkap dasar?dasar Ilmu Silat Siauw-lim?pai, akan tetapi ilmu silat yang dimainkan pemuda itu hanya mempunyai dasar ilmu silat Siauw?lim?pai, sedangkan perkembangan dan gerakannya sama sekali tidak dia kenal! Padahal, biasanya dia boleh berbangga bahwa jarang ada ilmu silat yang tidak dikenalnya, apalagi ilmu silat yang berdasar Siauw?lim?pai.

lanjut ke Jilid 022-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar