Rabu, 12 Februari 2014

Perualang Asmara Jilid 008

Perualang Asmara Jilid 008

<--kembali

“Locianpwe adalah seorang mariusia, aku tidak percaya bahwa Locianpwe lebih sayang.kepada ular daripada kepada manusia, membela ular dan memusuhi manusia!” Kun Liong membantah lagi penuh penasaran.

“Ho-ho-ha-ha-ha! Aku disebut Coa-ong (Raja Ular), siapa lagi kalau bukan aku yang. --
membela ular-ular ini? Aku tidak sudi dimasukkan kelompok manusia! Ular-ular ini jauh lebih baik daripada manusia!”

“Locianpwe agaknya lupa bahwa ular-ular berbisa telah membunuh banyak manusia, dan merupakan binatang ganas yang berbahaya bagi manusia!” Kun Liong membantah, suaranya sama sekali tidak membayangkan rasa takut, bahkan terdengar nyaring penuh penasaran.

“Apa kau bilang?” Kakek itu. mencoba untuk melebarkan matanya, akan tetapi hasilnya, sepasang matanya itu bertambah sipit hampir terpejam sama sekali. Leherya yang panjang bergerak-gerak makin memanjang, dan kelihatannya lucu sekali. Lengannya yang panjang dan dapat bergerak seperti ular merayap itu menudingkan telunjuk tangan ke arah Kun Liong. “Jangan memutarbalikkan kenyataan, ya? Kau hanya mengingat manusia yang terbunuh oleh ular-ular, sama sekali tidak ingat akan ular-ular yang terbunuh oleh manusia! Mungkin perbandingannya tidak ada seratus lawan satu, seratus ekor ular telah dibunuh manusia dan baru seorang manusia yang terbunuh oleh ular! Itu pun terjadi karena si manusia mengganggu ular, kalau tidak, tak mungkin ada ular menyerang manusia, kecuali ular besar yang menyerang apa saja kalau sudah lapar karena membutuhkan penyambung hidup. Sedangkan manusia-manusia macam engkau ini, menangkap dan membunuh ular untuk apa? Tanpa makan ular kalian masih dapat hidup. Kau bilang ular-ular itu berbahaya bagi kehidupan manusia, bukankah itu terbalik dan sebetulnya, manusia-manusia macam kalian inilah yang amat berbahaya bagi kehidupan ular?”

Kun Liong menjadi merah sekali mukanya. Di dalam hati anak yang masih belum rusak benar oleh kepalsuan-kepalsuan seperti manusia dewasa dia dapat menerima pendapat kakek aneh itu dan dalam kewajarannya, dia mau tidak mau harus membenarkan pendapat itu. Akan tetapi maklum bahwa nyawa kepala dusun dan anak buahnya terancam bahaya maut, dia membantah,

“Biarpun pendapat Locianpwe tak dapat kusangkal kebenarannya, akan tetapi Locianpwe adalah seorang manusia, tidak mungkin hendak mengorbankan nyawa manusia untuk membela ular!”

“Memang aku raja ular! Bergaul dengan ular jauh lebih menyenangkan daripada bergaul dengan manusia-manusia yang palsu!” Kakek itu segera mendekatkan ujung terompetnya ke bibir dan terdengarlah suara melengking yang dahsyat sekali, yang membuat Kun Liong dan semua penduduk dusun itu menggigil kedua kakinya dan tidak dapat melangkah dari tempat mereka berdiri seolah-olah kaki mereka menjadi lumpuh! Temyata bahwa suara terompet itu bukanlah suara biasa, melainkan suara yang mengandung getaran dahsyat sekali dari tenaga khikang dan diam-diam Kun Liong terkejut bukan main. Pemah dia mendengar dari ayah bundanya akan kesaktian ini. Hanya orang yang sudah memiliki sin-kang amat kuat saja dapat mengerahkan tenaga dalam suara sehingga melumpuhkan lawan! Pemah dia merasakan getaran khi-kang dari suara nyanyian tosu Pek-lia-kauw, yaitu Loan Khi Tosu, akan tetapi getaran yang terkandung dalam suara tosu itu tidaklah sedahsyat suara terompet ini sehingga dia bahkan dapat mengacau nyanyian tosu itu dengan nyanyiannya. Pernah ayahnya mendemonstrasikan suara melengkingnya yang mengandung khi-kang, akan tetapi agaknya kekuatan ayahnya juga tidak sehebat dan sedahsyat suara yang terkandung dalam tiupan suling aneh ini!

Empat belas orang itu, Kun Liong, Kakek Lo, Akian, kepala dusun dan sepuluh orang anak buahya, hanya berdiri seperti arca dengan mata terbelalak lebar memandang ke arah ular-ular yang kini maju merayap menghampiri mereka! Dapat dibayangkan betapa ngeri dan takut rasa hati mereka, akan tetapi mereka tak dapat menggerakkan kaki untuk melarikan diri, bahkan bibir mereka yang bergerak-gerak tidak dapat mengeluarkan suara, hanya terdengar ah-ah-uh-uh dan ada di antara mereka yang mengeluarkan air mata saking takutnya. Hanya Kun Liong seorang yang berdiri tenang karena dia sama sekali lupa akan keadaan diri sendiri lupa akan bahaya yang mengancam nyawanya sendiri, dan yang menjadi perhatiannya hanyalah keadaan orang-orang yang terancam bahaya maut itu. Di dalam hatinya dia merasa menyesal bukan main. Semua ini terjadi gara-gara dia! Kalau dia tidak menangkap ular-ular itu agaknya kakek iblis Ban-tok Coa-ong tidak akan membunuh mereka!

Rasa penasaran dan penyesalan yang besar ini membuat dia sejenak lupa sama sekali akan suara melengking dari terompet sehingga dia terbebas dari pengaruh khi-kang dan berteriak keras,

“Kakek iblis! Jangan bunuh mereka! Kalau mau bunuh, bunuhlah aku karena akulah yang menangkap ular-ularmu. Mereka tidak berdosa!”

Kembali kakek itu tercengang. Dalam perantauannya di dalam dunia kang-ouw, sebagai seorang di antara lima datuk persilatan yang terkenal, sudah banyak dia bertemu dengan orang gagah, bukan hanya gagah karena tinggi ilmu kepandaiannya, akan tetapi gagah karena berjiwa satria, seorang yang tidak gentar menghadapi maut dan yang siap mengorbankan nyawa untuk orang lain. Akan tetapi, selama hidupnya belum pemah dia bertemu dengan seorang kanak-kanak yang usianya baru sepuluh tahun sudah memiliki jiwa satria seperti ini! Dia benar-benar tercengang, terheran, dan kagum bukan main. Aihhh, kalau saja puteranya bersikap seperti anak ini, pikirnya. Dia menarik napas panjang dan menjadi marah karena iri hati kepada ayah anak yang gagah perkasa itu.

Melihat betapa ular-ular itu telah tiba dekat sekali di depan kaki para penduduk dusun, Kun Liong yang sudah terbebas dari suara terompet, melompat ke depan kakek itu sambil membentak,

“Kakek iblis, tidak malukah engkau? Sungguh engkau pengecut hina!”

“Plakkk!” Secara tiba-tiba sekali tangan kiri kakek itu bergerak dan tubuh Kun Liong terguling dalam keadaan lumpuh karena dia telah tertotok secara aneh sekali. Dan kakek itu masih terus meniup terompetnya yang membuat ular-ular itu seperti mabok dan marah. Mulailah ular-ular itu menyerang dan menggigit empat belas orang itu dan pada saat itu, Ban-tok Coa-ong menghentikan tiupan terompetnya sehingga orang-orang itu kini dapat bergerak dan dapat berteriak-teriak. Mereka berusaha melawan, akan tetapi mana mungkin melawan ular yang demikian banyaknya? Sedikitnya ada sepuluh ekor ular besar kecil menggigit tubuh setiap orang dan setiap gigitan saja sudah mengandung racun yang cukup untuk mencabut nyawa!

Hanya Kun Liong seorang di antara empat belas orang itu yang tetap tidak bergerak biarpun tubuhnya juga digigit beberapa ekor ular. Tiga belas orang yang lain, selain menjerit-jerit dan makin lama suaranya menjadi rintih memilukan, juga mereka berkelojotan dan bergulingan ke sana-sini sampai akhirnya mereka diam tak bergerak, tubuh mereka bengkak-bengkak dan berwama biru kehitaman! Hal ini adalah karena di dalam tubuh Kun Liong sudah terdapat racun inti bisa ular. Ibunya yang amat sayang kepada puteranya ini telah memberi minum obat yang mengandung racun anti bisa ular itu kepadanya, semenjak kecil, sedikit demi sedikit sehingga kini Kun Liong telah menjadi kebal terhadap racun ular. Gigitan-gigitan itu memang membuat bagian tubuh yang tergigit menjadi bengkak dan merah, akan tetapi racun ular itu tidak dapat menjalar ke dalam tubuhnya, tertolak oleh darahnya yang mengandung racun penolak dan racun ular itu hanya terkumpul di tempat gigitan. Hal ini tidak diketahui oleh Ban-tok Coa-ong yang tertawa-tawa dan bergembira menyaksikan orang-orang yang disiksanya itu. Kalau saja tidak ada sedemikian banyaknya orang yang dikeroyok ular-ulamya, andaikata hanya Kun Liong seorang sebagai seorang ahli racun ular tentu saja Ban-tok Coa-ong akan dapat mengetahui keanehan ini.

Sekarang tidak terdengar suara lagi. Tubuh empat belas orang itu diam, tidak bergerak lagi dan ular-ular itu sudah merayap pergi setelah para korbannya tidak bergerak lagi. Mereka itu bukanlah ular-ular pemakan bangkai dan mereka hanya menyerang untuk membunuh, didorong dan dirangsang oleh suara terompet.

“Ayahhh... jangan bunuh dulu mereka...!” Tiba-tiba terdengar suara teriakan dan gema suara teriakan itu belum lenyap ketika tahu-tahu di situ telah berdiri seorang anak laki-laki berambut panjang sampai ke punggung dan dibiarkan terurai begitu saja. Anak ini paling banyak tiga belas tahun usianya, wajahnya tampan akan tetapi gerak matanya mengerikan, seperti gerak bola mata seorang yang tidak waras otaknya!

“Bouw-ji (Anak Bouw), mau apa kau?” kakek itu bertanya, suaranya penuh dengan kasih sayang.

Akan tetapi anak laki-laki ini tidak menjawab hanya tertawa ha-ha-hi-hi, berjalan melihat-lihat tubuh empat belas orang yang menggeletak tak bergerak dengan muka biru menghitam itu. Hanya muka Kun Liong seorang yang tidak menjadi biru menghitam, cuma bengkak dan merah sedikit di pipi kanan bekas gigitan ular. Akan tetapi seperti juga tiga belas orang yang lain, dia roboh pingsan setelah tujuh kali digigit ular berbisa. Kalau di dalam tubuh tiga belas orang itu, bisa ular mengamuk dan mulai menjalar ke arah jantung, di dalam tubuh Kun Liong terjadi hal lain lagi. Bisa ular bertemu dengan racun di dalam tubuhnya yang menolak sehingga terjadi pertempuran, namun bisa ular kalah kuat dan hanya berhenti di tempat gigitan.

“He-he-hi-hi, Ayah. Jarum-jarumku dengan racun baru belum pemah dicoba kehebatannya. Mereka ini hendak kujadikan kelinci percobaan, Ayah!” Anak berambut panjang itu sudah mengeluarkan sekepal jarum-jarum kecil yang berwama merah.

“Bodoh! Mereka sudah hampir mati, tidak ada gunanya. Untuk percobaan, harus memilih korban yang masih sehat,” Ayahnya mencela.

“Hi-hi-hi, mereka belum mati dan dalam keadaan keracunan bisa ular mereka merupakan kelinci-kelinci percobaan yang amat menarik. Racun di jarumku ini lebih hebat daripada racun ular, dan sekarang dapat dibuktikan, Ayah!” Tanpa menanti jawaban lagi, anak itu menggerak-gerakkan tangan kanannya dan tampaklah sinar-sinar kecil menyambar ke arah tengkuk empat belas orang yang roboh pingsan itu. Agaknya ia sengaja melempar dengan tenaga kecil terukur sehingga jarum-larum itu hanya menancap setengahnya di tengkuk empat belas arang itu. Kemudian sambil tertawa-tawa anak itu meloncat ke dekat ayahnya dan mereka berpelukan sambil memandang ke arah korban mereka, menanti apa yang akan terjadi.

Kun Liong siuman ketika merasa nyeri. Akan tetapi dia segera teringat akan keadaannya, maka dia diam saja tidak bergerak, apalagi karena tiba-tiba dari tengkuknya menjalar hawa panas ke arah kepalanya, kemudian seluruh tubuhnya terasa panas dan sakit-sakit semua, membuat dia tidak dapat bergerak dan hanya dapat memandang dengan mata setengah terpejam, mengintai dari balik bulu matanya, melihat betapa kakek mengerikan itu kini berpelukan sambil tertawa-tawa dengan seorang anak laki-laki kecil yang tampan akan tetapi menyeramkan, ketika ia mengerling ke arah tiga belas orang dusun, dia terkejut setengah mati dan bulu tengkuknya meremang, berdiri satu-satu saking ngerinya.

Apa yang terjadi dengan tiga belas orang itu. Benar-benar amat mengherankan dan mengerikan. Seperti mayat-mayat hidup, tiga belas orang itu satu demi satu bangkit berdiri dengan gerakan kaku! Mereka itu benar-benar seperti mayat-mayat hidup dalam dongeng penakut kanak-kanak, muka mereka kehitaman, mata mereka melotot tak pemah berkedip, mulut mereka penuh busa, berlepotan di sekeliling bibir, napas mereka terengah-engah mengeluarkan suara “ngaak-ngiik” seperti napas orang menderita penyakit mengi. Kemudian, seperti ada sesuatu yang mendorong mereka dari belakang, tiga belas orang itu berlari kaku ke depan seperti orang berlumba, akan tetapi agaknya mereka lari secara ngawur, gerakan mereka kaku sekali dan arahnya tidak sama!

“He-he-hi-hi-hi...! Racunku menang, Ayah! Mengalahkan racun ular! Mari kita mengikuti mereka dan melihat!”

Anak berambut panjang itu bersorak dan meloncat, mengikuti “mayat-mayat hidup” yang lari berpencar tidak karuan itu. Ban-tok Coa-ong menggeleng-geleng kepala dan terpaksa mengikuti puteranya. Untung bagi Kun Liong karena ayah dan anak yang agaknya berotak miring itu tidak memperhatikannya sehingga tidak melihat keanehan bahwa di antara empat belas orang itu, hanya Kun Liong seoranglah yang tidak terpengaruh oleh racun merah. Melihat ayah dan anak itu pergi mengikuti para korban yang berubah mengerikan itu, Kun Liong menggunakan sisa tenaganya untuk merangkak pergi dari situ, memasuki semak-semak dan terus merangkak-rangkak karena dia tidak kuat bangkit. Jauh juga dia merangkak, dan akhimya dia roboh terguling, pingsan di dalam semak-semak yang gelap.

Ban-tok Coa-ong adalah nama julukan yang diberikan oleh orang-orang kang-ouw kepada kakek itu. Namanya adalah Ouwyang Kok, seorang pendatang baru di dunia kang-ouw, akan tetapi biarpun baru kurang lebih sepuluh tahun dia terjun ke dunia kang-ouw, namanya telah dikenal sebagai seorang di antara para datuk persilatan yang ditakuti orang di waktu itu. Tidak ada orang lain yang mengetahui asal-usulnya, akan tetapi kurang lebih sepuluh tahun yang lalu, manusia aneh ahli ular ini turun dari pegunungan yang asing dan tak pemah dikunjungi orang, di perbatasan Nepal, masuk ke Tiongkok menggendong seorang anak laki-laki yang berusia tiga tahun, kemudian membuat nama besar di dunia kang-ouw karena kepandaiannya yang amat tinggi dan sepak terjangnya yang aneh. Namun, keganasannya terhadap mereka yang menantangnya, dan keahliannya bermain dengan ular, menghasilkan nama julukan Ban-tok Coa-ong (Raja Ular Selaksa Racun)! Anak yang dibawanya itu adalah putera tunggalnya, bemama Ouwyang Bouw yang semenjak kecil digemblengnya, namun karena cara hidup Ouwyang Kok tidak lumrah manusia dan penggemblengan terhadap anaknya pun terlalu hebat, maka anak itu memiliki watak yang aneh pula, seperti seorang yang agak miring otaknya! Ibu anak itu, isteri tercinta dari Ouwyang Kok, telah meninggal dunia di sebuah di antara puncak-puncak Pegunungan Nepal, tewas digigit ular beracun yang amat luar biasa sehingga tidak tertolong. Agaknya peristiwa inilah yang membuat Ouwyang Kok kini menjadi seorang “Raja Ular”!

Kini anak dan ayahnya itu berlari-lari sambil tertawa-tawa menyaksikan ulah para korban yang lari seperti mayat hidup. Suara tertawa mereka makin menjadi ketika mereka melihat beberapa orang di antara para korban yang lari kaku itu terjerumus ke dalam jurang, dan ada pula yang menabrak pohon terus memeluk pohon itu dan mati kaku dalam keadaan memeluk batang pohon, kedua kakinya melingkari batang pohon, sepuluh jari tangan mencengkeram pohon dan mulutnya menggigit kulit pohon. Mengerikan!

Ada pula dua orang di antara tiga belas orang dusun yang belum roboh ke dalam jurang dan belum menabrak pohon, setelah beberapa orang lagi raboh karena kakinya tersangkut akar kayu, roboh terus mencengkeram rumput-rumput dan mati dalam keadaan seperti itu. Dua orang ini adalah Akian dan kepala dusun. Agaknya mereka berdua memiliki tubuh yang lebih kuat maka dapat berlari kaku dan belum roboh. Kebetulan sekali mereka lari sejurusan, yaitu ke jurusan dusun mereka! Mungkin juga masih ada sedikit sisa ingatan mereka untuk lari pulang ke dusun mereka.

Ketika mereka tiba di luar dusun, beberapa orang penduduk dusun yang merasa khawatir dan siap menyusul ke hutan, dapat berlari menyambut dua orang itu. Setelah dekat mereka itu berdiri bengong dan penuh rasa heran dan ngeri melihat betapa kepala dusun dan Akian berlari kaku seperti itu, muka mereka biru kehitaman mata terbelalak tanpa berkedip dan kemerahan, mulut menyeringai penuh busa putih!

Keadaan menjadi geger dan terdengar jerit-jerit mengerikan ketika dua orang mayat hidup ini menubruk dan memeluk dua orang yang terdekat. Karena kaget dan heran, dua orang itu tidak sempat mengelak ketika mereka dipeluk oleh dua orang mayat hidup itu. Mereka hendak meronta, akan tetapi seluruh tubuh merasa panas, dan ketika jari-jari tangan mencengkeram mereka, ketika gigi yang kini mengandung racun itu menggigit leher, mereka berdua menjerit-jerit, jerit yang makin melemah dan akhimya meroka berdua roboh terguling bersama mayat hidup yang menyerang mereka, tewas dalam keadaan masih dalam berpelukan.

“Ha-ha-ha-ho-ho, lucu sekali...!”

“Hi-hi-hi, hebat bukan jarum-jarumku, Ayah?”

Para penduduk dusun terbelalak memandang ayah dan anak yang tahu-tahu telah berada di situ sambil tertawa-tawa. Melihat keadaan mereka, dan melihat peristiwa mengerikan yang menimpa diri kepala dusun, Akian, dan dua orang teman mereka yang menjadi korban, mereka menjadi ketakutan dan serta merta mereka melarikan diri masuk ke dalam dusun, menyeret keluarga mereka yang berada di luar rumah, memasuki rumah masing-masing, menutup pintu dan saling berpelukan dengan anak isteri dalam keadaan ketakutan sekali, kedua kaki mereka menggigil dan mata mereka terbelalak lebar seperti mata kelinci-kelinci yang mencium bau harimau, mata mereka memandang ke arah pintu dan muka mereka pucat sekali.

Akan tetapi, agaknya Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok dan puteranya sudah merasa puas, mereka bergandengan tangan dan pergi meninggalkan dusun itu. Tadinya mereka hanya berjalan dengan langkah perlahan, akan tetapi lambat laun gerakan mereka makin cepat dan akhimya mereka itu bergerak seperti terbang saja! Setelah lama menanti dan mengintai sampai berjam-jam dan merasa yakin bahwa siluman-siluman itu sudah tidak berada di luar dusun, barulah penduduk berani keluar dan berindap-indap berbondong-bondong karena mereka membutuhkan semua teman untuk memberanikan diri, mereka keluar dari dusun, Biarpun hati mereka merasa ngeri sekali, terpaksa mereka mengurus jenazah Akian dan kepala dusun bersama dua orang penduduk yang menjadi korban mereka, bahkan mereka memberanikan diri untuk mencari ke dalam hutan. Hanya tujuh orang mereka temukan, dalam keadaan mengerikan. Ada yang mati dalam keadaan masih memeluk batang pohon, ada yang mencengkeram rumput! Penuh rasa takut dan ngeri hati penduduk, namun mereka terpaksa mengangkut mayat-mayat itu ke dusun untuk diurus sebagaimana mestinya. Mayat empat orang lain tidak mereka temukan dan mereka tidak tahu ke mana perginya empat orang itu. Tentu saja mereka tidak tahu bahwa empat orang itu pun sudah menjadi mayat dengan tubuh remuk-remuk ketika mereka terjungkal ke dalam jurang.

Karena mereka tidak dapat menemukan Kun Liong, mereka menjadi curiga dan menghubung-hubungkan anak itu dengan siluman besar kecil yang mereka lihat di luar dusun. Timbul dugaan mereka bahwa anak yang tadinya datang sebagai penolong itu tentulah sebangsa siluman dan kedatangannya itu hanya pancingan belaka sehingga teman-temannya mendapatkan korban banyak orang! Teringat akan ini, mereka menjadi penasaran sekali mengapa tidak mereka keroyok dan bunuh saja anak kecil yang datang secara aneh itu sehingga mereka dapat terbujuk, belasan orang ikut memasuki hutan menjadi korban.

Kun Liong merintih dan membuka matanya. Melihat daun semak-semak belukar menyelimuti dirinya, ia teringat dan seketika ia menghentikan rintihannya, menahan derita yang amat hebat, yaitu rasa gatal-gatal pada kepalanya. Ia bangkit duduk dan mengintai dari dalam semak-semak, melalui celah-celah antara daun-daun. Tidak tampak sesuatu. Hari sudah menjelang senja dan suasana di hutan itu sunyi sekali. Kun Liong melupakan rasa gatal di kepalanya, lalu dengan hati-hati dia bangkit berdiri, keluar dari semak-semak, dan berindap-indap dia menuju ke tempat yang ditinggalkannya tadi. Sunyi di situ, dan tidak ada seorangpun, baik yang hidup maupun yang mati.

Semua penduduk dusun yang menjadi korban tadi tidak tampak lagi, dan kakek berjuluk Ban-tok Coa-ong yang mengerikan tadi pun tidak tampak lagi, demikian pula anak laki-laki berambut panjang yang melepas jarum.

Jarum! Teringat ini, Kun Liong meraba tengkuknya dan benar saja, di situ masih menancap sebatang jarum kecil, masuk ke dalam daging tengkuk sampai setengahnya. Cepat Kun Liong mencabut jarum itu, melihat jarum merah itu maklumlah dia bahwa jarum itu mengandung racun berbahaya. Dengan jijik dibuangnya jarum itu ke dalam semak-semak.

Ke mana perginya mereka? Rasa heran ini menambah gatal-gatal pada kepalanya dan Kun Lion tidak dapat nenahan lagi. Dengan kedua tangannya, digaruknya kepala yang amat gatal itu dan... dia terbelalak setelah mengeluarkan teriakan kaget, memandang rambut kepalanya yang kini berada di antara sepuluh jari tangannya! Begitu digaruk kepalanya, semua rambutnya tontok! Dirabanya kepalanya, dan bagian yang ada rambutnya, begitu dipegang, rambut-rambutnya rontok semua seperti tanaman layu yang sudah membusuk akamya. Dengan mata masih terbelalak lebar dia mengelus-elus kepala dengan kedua tangannya. Kepalanya menjadi licin bersih, tidak ada selembar pun rambut yang masih tumbuh, semua rontok. Dirabanya alisnya. Masih lengkap. Hanya rambut di kepala saja yang rontok semua.

“Ahhh... tidaaaakkk...!” Kun Liong berseru dan berlari-lari mencari air jernih. Setelah ia melihat air tergenang di bawah sebatang pohon, sisa air hujan kemarin, cepat dia berlutut dan melihat bayangannya sendiri. Matanya terpentang lebar dan dua titik air mata meloncat ke atas pipinya. Kepalanya sudah gundul pelontos! Lebih bersih daripada kepala seorang hwesio!

“Ahhhh... mengapa...?” Dia meraba-raba kepala dengan tangan kanan, dan mengusap air mata dengan tangan kiri.
Tentu, saja Kun Liong takkan mengerti karena peristiwa itu terjadi ketika dia masih pingsan, terjadi di dalam tubuhnya dan yang biarpun membawa akibat lenyapnya semua rambut kepala, akan tetapi sesungguhnya telah menyelamatkan nyawanya! Di dalam tubuhnya terdapat semacam racun anti racun ular yang dicampur obat dan semenjak dia kecil, oleh ibunya seringkali diminumkannya. Ketika dia digigit ular sampai di tujuh tempat, racun ular tidak mampu melawan racun di tubuhnya, dan ular racun ular itu berkumpul saja di tempat gigitan. Ketika Ouwyang Bouw, putera Bantok Coa-ong, menyambit tengkuknya dengan jarum merah sehingga racun jarum merah itu memasuki tubuhnya bertemulah tiga macam racun dan terjadi perang tanding antara tiga macam racun yang amat hebat. Sudah menjadi kenyataan bahwa betapa pun jahatnya, racun bertemu racun cepat berubah sifatnya, dapat menjadi obat, dan ketika tiga macam racun itu bertemu di dalam tubuh Kun Liong berubah menjadi ramuan yang dahsyat, menjadi semacam obat kuat tiada taranya dan tiada seorang pun manusia yang tahu karena bertemu secara kebetulan, dengan ukuran yang tepat, atau terlalu keras sedikit sehingga akibatnya, rambut kepala Kun Liong rontok semua, akan tetapi tubuhnya terbebas sama sekali dari pengaruh racun, bahkan di luar tahunya, tercipta semacam kekuatan dahsyat di dalam tubuh anak ini!

Hanya sebentar saja Kun Liong dilanda kekagetan dan penyesalan akan kehilangan rambut kepalanya. Dia sudah bangkit lagi dan teringat betapa dia telah menimbulkan malapetaka kepada penduduk dusun, Kun Liong tidak berani kembali ke dusun. Apalagi rambut kepalanya sudah menjadi habis seperti itu. Dia lalu melarikan diri, meninggalkan hutan itu dan mengambil jurusan timur, tidak berani ke utara di mana terletak dusun itu. Dia melarikan diri berlawanan dengan matahari yang sudah condong ke barat.

Sambil berjalan secepat mungkin, pikirannya penuh dengan peristiwa yang. telah dialaminya. Dia maklum bahwa Ban-tok Coa-ong adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian hebat sekali, jauh lebih lihai daripada kepandaian Loan Khi Tosu, memiliki watak yang lebih aneh lagi, aneh menyeramkan seperti orang gila! Akan tetapi, kalau dia teringat akan ucapan kakek itu ketika membandingkan watak ular dan watak manusia, diam-diam dia menjadi bingung karena mau tidak mau dia harus membenarkan bahwa watak ular atau binatang apapun juga jauh lebih wajar dan bersih daripada watak manusia. Bahkan ketika barisan ular itu menyerang penduduk, mereka bergerak bukan karena memang memusuhi manusia, melainkan karena terpaksa oleh pengaruh bunyi terompet yang ditiup oleh seorang manusia pula! Bukan ular-ular itulah yang berniat membunuh manusia, melainkan manusia yang berjuluk Ban-tok Coa-ong itulah. Betapa kejamnya manusia! Betapa kejinya!

Dan betapa anehnya pengalaman berturut-turut yang menimpa dirinya. Mula-mula bertemu dengan tosu Pek-lian-kauw, itu sudah hebat. Disusul dengan pengalamannya dikeroyok penduduk yang hampir merenggut nyawanya ketika dia tanpa sengaja menimbulkan kebakaran, pengalaman yang lebih hebat lagi di mana hampir dia mati. Kemudian, dia bertemu dengan Ban-tok Coa-ong dan pengalaman ini benar-benar amat luar biasa dan dia sendiri tidak tahu mengapa dia masih dapat hidup sampai detik ini, dan hanya rambut-rambutnya yang rontok.

“Hemm, masih untung!” Kun Liong berkata dan hatinya yang tadi terasa berat karena memikirkan rambutnya habis, kini menjadi ringan. “Rambut bukan nyawa dan tanpa rambut aku masih hidup!”

Pengalaman-pengalaman itu mempertebal keyakinannya bahwa manusia menjadi kejam karena kekuatannya. Makin kuat manusia, makin kejamlah dia, makin sewenang-wenang karena merasa berkuasa. Kalau begitu, apakah lebih baik menjadi orang lemah dan tidak memiliki kepandaian? Orang yang lemah hanya akan menjadi injakan yang kuat. Orang lemah mengalah karena tidak dapat melawan, dan yang demikian itu bukan mengalah namanya, melainkan pengecut. Yang kuat kejam, yang lemah pengecut! Pengecut demikian, kalau diberi kekuatan, diberi kekuasaan, tentu akan berubah menjadi orang kejam juga. Si kuat kejam dan si lemah pengecut tiada bedanya, keduanya adalah orang-orang yang belum mengenal dirinya, belum mengenal keadaan sebenarnya.

Biarpun masih kecil, Kun Liong sudah banyak dijejali pelajaran tentang hidup, banyak sudah membaca filsafat. Akan tetapi, karena dia masih kecil, maka dia belumlah terpengaruh benar oleh segala macam pelajaran kebatinan itu sehingga dia masih memiliki kebebasan, sehingga dia tidak menjiplak begitu saja melainkan membuka mata dan telinganya menghadapi kenyataan-kenyataan hidup yang dialaminya. Pikiran-pikiran itu tidak membuat dia menjadi bingung dan berat sebelah. Dia melihat kenyataan bahwa tidak semua orang berkepandaian dan kuat mempunyai watak kejam. Ayahnya dan ibunya adalah orang-orang gagah perkasa yang berkepandaian tinggi, akan tetapi mereka tidaklah kejam, apalagi jahat! Dan penduduk dusun itu, terutama Kakek Lo dan Akian, biarpun mereka itu orang-orang biasa yang tidak memiliki ilmu kepandaian, tidak memiliki kekuatan, mereka itu tak boleh dikatakan pengecut karena mereka berani mengikutinya untuk menentang ular besar yang sebenarnya amat mereka takuti karena sudah banyak menjatuhkan korban. Ternyata bukan kekuatan atau kelemahan yang menentukan baik buruknya seseorang!

Pada keesokan harinya, setelah matahari naik tinggi, Kun Liong tiba di sebuah kampung nelayan, di tepi Sungai Huang-ho. Semalam dia kurang tidur, biarpun dia tidak melakukan perjalanan semalam suntuk, namun dia sukar dapat tidur pula karena gangguan kepalanya yang masih terasa gatal-gatal. Dengan tubuh lelah, mata mengantuk, dan perut lapar sekali dia memasuki perkampungan nelayan. Dia harus mencari pengisi perutnya, kalau tidak, dia tidak akan dapat melanjutkan perjalanan. Ke mana dia akan pergi kelak bukan menjadi persoalan baginya. Ke mana saja, pokoknya tidak pulang ke Leng-kok. Apalagi setalah kini kepalanya menjadi gundul pelontos macam ini. Tentu ayahnya akan marah sekali, dan dia merasa malu. Dia ingin melanjutkan perjalanan, ke mana saja dan dia mulai merasa suka dengan cara hidup baru ini, sungguhpun dalam perantauan yang belum lama ini dia telah mengalami hal-hal yang membuat dia nyaris tewas.

Kun Liong mendekati sebuah perahu yang agak besar, melihat tiga orang nelayan sedang mempersiapkan jala dan alat-alat menangkap ikan lainnya. Melihat seorang anak laki-laki berkepala gundul pelontos yang sama sekali asing dan tak mereka kenal, tiga orang itu memandang penuh perhatian, kemudian seorang di antara mereka, yang kumisnya panjang, berkata dengan nada suara halus,

“Apakah Siauw-suhu (Guru Kecil) membutuhkan sedekah? Kami akan berangkat mencari ikan. Kalau Siauw-suhu suka mendoakan kami agar hari ini mendapatkan ikan banyak, aku akan mencarikan makanan untuk sedekah bagi Siauw-suhu.”

Kun Liong mengerutkan kedua alisnya. Hatinya terasa panas sekali. Dia disangka seorang hwesio kecil yang minta sedekah tunjangan makanan! Akan tetapi karena dia menganggap orang itu tidak berniat jahat, dan hanya berbuat karena kebodohannya, dia menjawab, suaranya tenang,

“Lopek (Paman Tua) telah membuat dua kesalahan dengan ucapan Lopek tadi.”

Melihat sikap yang tenang, kalimat yang teratur tidak seperti cara berbicara anak dusun, tiga orang nelayan itu makin tertarik dan makin keras dugaan mereka bahwa anak ini tentulah seorang pendeta kecil yang merantau. Akan tetapi, laki-laki setengah tua yang panjang kumis tadi, menjadi terheran dan bertanya,

“Dua kesalahan? Apa yang telah kulakukan?”

lanjut ke Jilid 009-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar