Rabu, 12 Februari 2014

Pedang Kayu Harum 86

Pedang Kayu Harum Jilid 086

<--kembali

Maka dia lalu menghampiri dan membungkuk di depan wanita itu sambil berkata diiringi senyum,

"Maaf, Toanio. Toanio memerlukan apakah? Sebenarnya, restoran kami belum buka dan belum siap, maka jika Toanio menghendaki sesuatu lebih baik.."

"Keluarkan arak hangat dan nasi serta masakan seadanya..." Wanita itu mengerling ke arah meja tujuh orang laki-laki lalu menyambung, "Seperti yang kau hidangkan kepada mereka itu!" Biarpun suara wanita ini merdu dan halus, namun mengandung tekanan mengancam dan nadanya keras serta terdengar dingin, membuat pemilik restoran itu menggigil.

"Akan tetapi... kami..."

"Brukkkkk!" Wanita itu menjatuhkan sebuah pundi-pundi di atas meja, membuka talinya dan mengambil sepotong perak yang besarnya cukup untuk membeli masakan tiga meja penuh! "Apa kau kira aku tidak akan membayar? Nih uangnya, sisanya untukmu!"

Melihat sepotong perak besar itu, sepasang mata si gendut terbelalak berseri-seri. Cepat dia mengambil uang itu dan tersenyum-senyum sambil membongkok-bongkok, "Baik-baik... Toanio... tunggu sebentar, akan saya sediakan masakan paling lezat untuk Toanio."

Tujuh orang laki-laki itu dengan terang-terangan memandang kepada wanita cantik ini dan mereka kagum bukan main.

"Aduhhhhh... bukan main... putihnya!" Si juling berkata, tidak lirih dan memang dia sengaja bicara agar terdengar oleh wanita itu yang duduk sambil menundukkan mukanya, sikapnya tidak peduli sama sekali.

"Bukan putihnya yang membuatku terpesona, halusnya kulit itu...! bukan main...!" kata seorang kawannya.

"Dan harumnya tercium dari sini.. apalagi kalau dekat... waduhhh, mimpi apa kita semalam...?" kata si brewok yang biar pun tidak semata keranjang si codet atau si juling, namun sekali ini dia benar-benar tertarik dan timbul berahinya menyaksikan wanita luar biasa itu.

"Amboiiiii.. bidadari dari mana gerangan yang muncul menghibur kita?" kata si codet, mengendus-endus dengan hidungnya seperti seekor anjing mencium tahi.

Wanita itu tetap diam saja, bergerak pun tidak, melirik pun tidak. Ketika seorang kacung membawa arak hangat, cepat seperti orang kehausan ia menuangkan arak dalam cawan terus diminumnya sekali tenggak. Melihat ini, tujuh orang laki-laki kasar itu menjadi makin berani. Sikap minum arak seperti yang diperlihatkan wanita itu bukanlah sikap seorang nona simpanan, maka si juling segera berkata,

"Minum arak sendirian mana enak? Kami siap menerima bidadari kesepian untuk bersama-sama minum dan makan sambil mengobrol!"

Akan tetapi wanita itu tetap tidak peduli, malah sampai tiga kali ia menenggak habis cawan arak sekali teguk. Kemudian ia menarik napas panjang, agaknya merasa lega dan dirabanya pundak yang terluka dengan bibir agak terbuka seperti menahan rasa nyeri.

"Ssttt, biarkan dia makan dulu," Si brewok berbisik kepada teman-temannya. "Dia kelihatan luka, lelah dan kelaparan, mana akan mampu melayani kita bertujuh? Kalau sudah makan kenyang tentu pulih kembali tenaganya..."

Mendengar bisikan pimpinan mereka ini, mereka tertawa-tawa dan menyatakan setuju, bahkan keenam orang kasar itu mulai mengadu untung dengan jari tangan untuk menentukan siapa yang menang dulu berhak mendapatkan wanita itu setelah sang pemimpin yang tentu saja mempunyai hak pertama! Biar pun mereka itu bicara perlahan, namun karena sikap mereka, wanita yang luka itu mendengar dan mengetahui semua perbuatan mereka, namun ia sama sekali tidak memperlihatkan sikap mengacuhkan, malah ketika hidangan datang ia lalu mulai makan dengan lahapnya.

Tujuh orang laki-laki yang sudah selesai lebih dahulu, kini semua memutar kursinya menghadap ke arah si wanita sambil memandang dengan sikap terbuka, terang-terangan menjadikan wanita itu seperti tontonan sampai wanita itu selesai menghabiskan hidangannya dan menenggak arak lagi.

"Tanpa dipameri emas pun dia tentu mau melayani kita," kata si codet. Si brewok tertawa, mengangguk dan mulai melangkah ke arah meja wanita itu diikuti enam orang kawannya.

Tiba-tiba wanita itu mengangkat muka memandang mereka. Si brewok tiba-tiba berhenti melangkah. Baru sekali ini wanita itu langsung memandang mereka dan melihat sinar mata yang berkilat seperti halilintar menyambar itu, si brewok kaget sekali.

"Inikah yang kalian cari-cari?" Wanita ini berkata lirih namun jelas terdengar dan biar pun suaranya merdu, penuh dengan ejekan. Tangannya bergerak merobek pundi-pundi uang di atas mejanya dan berhamburan potongan perak dan emas di atas meja itu karena kantung itu telah pecah terobek.

Tujuh orang itu memandang dengan mata terbelalak ke arah potongan perak dan emas yang berserakan itu. Kiranya wanita itu yang mencopet kantung uang mereka dari atas kuda! Bukan main marahnya hati ketujuh orang itu. Mereka adalah pimpinan bajak Sungai Fen-ho dan tidak ada orang yang berani main gila terhadap mereka. Kini, kantung berisi emas dan perak itu dicuri seenaknya oleh seorang wanita terluka, diambilnya dari depan hidung mereka begitu saja!

Adapun si pemilik restoran, isterinya dan dua orang kacung mereka, begitu mendengar disebutnya nama Fen-ho Chit-kwi, telah menggigil ketakutan dan cepat-cepat keluar dari dalam restoran mereka karena maklum bahwa tentu akan terjadi huru-hara di restoran mereka itu! Mereka hanya menonton dari luar melalui pintu dengan muka pucat dan tubuh gemetar.

"Perempuan rendah! Berani engkau main gila dengan Fen-ho Chit-kwi? Untung engkau cantik molek, kalau tidak tentu kubunuh sekarang juga. Akan tetapi kami akan mempermainkan tubuh sampai engkau mampus!" bentak si brewok dan mereka bertujuh sudah melangkah maju dengan sikap penuh ancaman.

Tiba-tiba wanita itu tertawa. Suara ketawanya merdu akan tetapi nyaring melengking seperti suara ketawa kuntilanak dari dalam kuburan, membuat tujuh orang itu kembali menghentikan langkah dan bulu tengkuk mereka meremang, terasa dingin.

"Kalian hendak mengambil kembali emas dan perak ini? Nah, terimalah!' Tangan kiri wanita itu meraih ke atas meja, gerakannya cepat sekali dan begitu tangannya bergerak, tampak sinar putih dan kuning berkelebatan dibarengi suara bercuitan. Potongan-potongan emas dan perak tadi telah menyambar ke arah tujuh orang itu seperti peluru-peluru dengan kecepatan mengejutkan dan mengarah bagian-bagian tubuh yang mematikan!

"Aihhh...!"

"Hiaaattt...!"

"Hayaaa...!"

Tujuh orang Fen-ho Chit-kwi bukan orang sembarangan. Ilmu silat mereka tinggi, bahkan mereka adalah orang-orang yang ahli dalam penggunaan senjata rahasia. Akan tetapi kini menyaksikan perak dan emas beterbangan meyambar mereka sedemikian cepatnya, benar-benar membuat mereka terkejut bukan main. Hanya dengan membuang diri, berloncatan ke kanan kiri dan atas, ketujuh orang itu dapat menghindarkan diri dari ancaman maut.

"Cet-cet-cettt...!" Semua perak dan emas itu menyambar lewat dan menancap masuk ke dalam dinding restoran sampai tidak kelihatan lagi, hanya kelihatan tembok tebal itu berlubang-lubang!

Wanita itu masih duduk dan sambil menenggak arak dari cawannya, ia menaruhkan tangan kanan yang terluka pundaknya di atas meja. Kemudian ia mengangguk-engguk dan berkata lirih, "Kalian lumayan juga, dapat mengelak dan masih hidup. Biarlah kumaafkan."

Melihat sikap wanita cantik itu, si brewok menjadi marah bukan main. Ketika mengelak tadi, kedua tangannya dapat menangkap dua potong perak yang menyambar, kini dia meremas dua potong perak itu di tangannya sehingga menjadi hancur!

***

Ia membuka kedua tangan, memperlihatkan hancuran perak kepada wanita itu sambil membentak,

"Perempuan sombong! Kalau belum menghancurkan tubuhmu seperti ini, aku belum mau sudah!"

Perempuan itu menghela napas panjang dan tersenyum. Senyumnya manis sekali, senyum penuh memikat yang dapat meruntuhkan hati setiap orang pria. "Begitukah? Kalau begitu berarti kalian minta mati sendiri."

"Perempuan sombong!" Teriakan ini terdengar dari semua mulut ketujuh orang itu. Mereka adalah Fen-ho Chit-kwi dan selamanya belum pernah dipandang rendah orang, apalagi hanya oleh seorang wanita terluka seperti ini! Bahkan Mo-kiam siauw-ong (Raja Muda Pedang Iblis) yang menjadi "datuk" kaum hitam di daerah Fen-ho dan yang bertempat tinggal di kota Sun-ke-bun, sudah menaruh kepercayaan kepada mereka untuk menguasai Sungai Fen-ho dan mengirimkan semua hasil kepada datuk itu untuk kemudian mereka mendapat bagian. Mo-kiam Siauw-ong sendiri tidak memandang rendah kepada mereka, akan tetapi kini perempuan ini sama sekali tidak memandang mereka sebagai jagoan-jagoan yang jarang tandingnya!

"Cuat! Cuat! Sing! Sing!" Tampak sinar golok dan pedang berkelebat ketika tujuh orang itu menyambar senjata mereka dari atas meja dan mencabutnya. Mereka tertegun menyaksikan betapa wanita itu sama sekali tidak mengacuhkan, bahkan melihat mereka mencabut senjata, wanita itu kini malah menuangkan lagi arak ke dalam cawannya sambil tersenyum-senyum, dan minum arak itu tanpa melirik ke arah mereka! Kesombongan yang melewati takaran ini tak dapat mereka tahan lagi. Tadinya mereka memang timbul gairah dan berahi menyaksikan wanita yang berwajah cantik manis dan bertubuh denok itu, akan tetapi kini kemarahan mengalahkan berahi mereka dan nafsu satu-satunya yang berkobar di dalam dada mereka hanyalah mencincang hancur tubuh wanita itu!

"Hiaaaaattt!" Tujuh orang itu menerjang berbareng dengan teriakan dahsyat, pedang dan golok menyambar dari tujuh jurusan ke arah tubuh si wanita yang sedang minum arak.

"Crok-crok-krak-kerakkk!" Kursi yang tadinya diduduki wanita itu hancur berkeping-keping, bahkan mejanya terbang diterjang tujuh orang yang marah itu. Akan tetapi mereka terbelalak kaget karena si wanita itu sendiri lenyap dari atas kursi, hanya tampak bayangannya berkelebat ke atas dengan kecepatan yang mentakjubkan.

"Hi-hi-hik!"

Mendengar suara ketawa terkekeh itu ketujuh orang yang kehilangan lawan mengangkat muka memandang dan ternyata wanita itu telah berada di langit-langit sambil tetap minum araknya! Tiba-tiba wanita itu menyemburkan arak dari mulutnya ke bawah. Tujuh orang Fen-ho Chit-kwi cepat mengelak akan tetapi tetap saja tubuh mereka terkena percikan arak yang rasanya seperti jarum-jarum menusuk. Mereka memekik kaget dan makin marah, biar pun maklum bahwa wanita cantik itu memiliki kepandaian yang hebat, mereka tidak menjadi jerih malah dengan serentak tubuh mereka melayang ke atas didahului senjata mereka yang semua menusuk ke arah tubuh yang menempel di langit-langit ruangan itu.

"Cep-cep-cep-ceppp!" Tujuh batang senjata runcing itu menancap pada langit-langit.

"Celaka..!" Si brewok berseru akan tetapi seruannya disusul jerit mengerikan dan tubuhnya roboh ke bawah, disusul jerit kawan-kawannya dan berjatuhanlah enam tubuh di antara mereka dalam keadaan tak bernyawa lagi karena punggung mereka kena tampar tangan kiri wanita itu yang berloncatan seperti gerakan seekor burung terbang. Hanya seorang di antara mereka yang dapat meloncat turun dan tidak terpukul, yaitu laki-laki berwajah tampan. Dia meloncat turun setelah mencabut pedangnya yang menancap di langit-langit, matanya terbelalak memandang mayat keenam orang kawannya yang telah tewas, kemudian memandang kepada wanita yang telah berdiri di depannya dan memandangnya sambil tersenyum-senyum.

"Perempuan siluman!" Si wajah tampan berseru marah dan menerjang dengan tusukan pedang ke arah tenggorokan wanita itu. Namun sambil tersenyum-senyum wanita ini menggerakkan tangan kirinya dan tahu-tahu kedua jari kiri, telunjuk dan jari tengah, telah menjepit ujung pedang. Laki-laki tapan itu kaget sekali, berusaha mencabut pedangnya, namun sedikit pun tidak bergeming! Sampai terbelalak dia saking kagetnya menyaksikan kelihaian yang selama hidupnya belum pernah dilihatnya ini.

"Hi-hi-hik, tampan, apa kaukira engkau masih dapat hidup sampai saat ini, kalau tadi aku menghendaki kau mampus bersama kawan-kawanmu? Aku kesepian, terluka, aku perlu kawan yang baik dan mesra. Hemmm, kalau kau ingin mati apa sukarnya bagiku?" Berkata demikian, wanita itu mengerahkan tenaganya dan..."krakkk!" pedang itu patah!

Sebelum laki-laki itu lenyap kagetnya tahu-tahu tangan kiri wanita itu telah menyambar ke depan, ke arah dadanya. Laki-laki itu mengeluh dan maklum bahwa dia tentu akan mati, maka dia sudah menyerah untuk mati menyusul keenam orang kawannya. Akan tetapi tangan kiri yang berjari kecil meruncing dan halus itu tidak memukulnya, melainkan mencengkeram bajunya dan sekali tarik... "brettttt!" baju laki-laki itu terobek dan terlepas dari tubuhnya berikut baju dalam sehingga tubuh atasnya telanjang sama sekali!

Wanita itu membuang baju tadi, kini tangannya meraba-raba dan mengelus-elus dada laki-laki yang bidang dan berotot itu, dada yang penuh kejantanan dan pandang mata wanita itu berseri, mulutnya yang main tersenyum dan berkata lirih,

"Hemmm... engkau mengairahkan... engkau temani aku hari ini dan kau bantu merawat lukaku, Tampan!"

Laki-laki yang tadinya sudah yakin akan kematiannya itu, terbelalak. "Aku... aku tidak bisa mengobati.."

"Hi-hi-hik, bodohnya! Hanya mencuci dan menaruh obat lalu membalut dan hemmm, mengusir kesepian yang mencekam hatiku. Aku mempunyai obatnya. Lihat lukaku ini, apakah engkau tidak kasihan melihat seorang wanita terluka seperti ini?"

Berkata demikian, wanita itu menggunakan tangan kirinya merenggut pakaiannnya sendiri bagian pundak kanan yang bernoda darah. "Bretttttt!" Robeklah pakaian di bagian pundak kanan, robek lebar bukan hanya membuka pakaian luar dalam memperlihatkan pundak yang terluka lebar, akan tetapi juga memperlihatkan sebagian besar buah dada kirinya yang membusung penuh!

Laki-laki tampan itu melongo, menatap bagian yang menarik itu dan menelan ludah!

"Hi-hi-hik! Bagaimana, kau memilih mati atau menjadi teman baikku?"

Laki-laki itu mengangguk-angguk. "Engkau lihai dan cantik, aku lebih suka menemanimu."

Tangan itu menyambar ke depan dan mengelus dagu laki-laki itu. "Tampan, kau pondonglah aku, bawa ke kamar dalam restoran ini, lukaku perlu dirawat."

Laki-laki itu kini sudah tunduk benar, karena dia maklum bahwa wanita yang cantik jelita ini benar-benar memiliki ilmu kepandaian yang amat luar biasa dan dia tahu bahwa selain lihai, wanita ini pun kejam bukan main dan juga agaknya gila laki-laki. Kalau kini dia berkenan di hati wanita itu, hemmm, bukan hal yang merugikan. Maka dia lalu memondong tubuh itu yang terasa ringan sekali, ringan hangat dan tercium olehnya bau harum yang amat aneh, harum yang memabukkan dan sekaligus membakar hati jantannya, membuat jantungnya berdebar tidak karuan dan seluruh tubuhnya menjadi panas.

"Heh, babi gendut!" Wanita yang dipondong dan merangkul leher laki-laki itu dengan sikap manja dan mesra, berseru kepada si pemilik restoran yang masih berdiri di luar pintu dengan wajah pucat.

Diam-diam dia tadi telah menyuruh seorang kacungnya pergi berlari untuk melaporkan peristiwa itu kepada Siauw-ong karena dari percakapan tadi dia dapat menduga bahwa tujuh orang yang amat terkenal sebagai pimpinan bajak Sungai Fen-ho itu tentulah anak buah atau sekutu Siauw-ong. Kini mendengar panggilan si wanita yang lihai seperti iblis itu, dengan tubuh menggigil dia terpaksa memasuki restoran, hati-hati malangkah menghindari enam buah mayat yang bergelimpangan di dalam restorannya.

"Toanio hendak memerintah apakah ?" tanyanya dengan suara gemetar.

"Malam ini sewa kamarku, dan jangan ganggu kami. Sekarang, lempar enam ekor anjing itu keluar, kemudian suruh orangmu memasakkan air sepanci untuk mencuci lukaku. Cepat Emas dan Perak memenuhi dindingmu boleh kau ambil kalau kau mentaati kalau tidak, perutmu yang gendut itu akan kurobek dan kukeluarkan isi perutmu!"

Dengan seluruh tubuh menggigil si gendut ini menganggu-angguk, kerongkongannya sampai terasa kering saking takutnya sehingga dia tidak dapat mengeluarkan jawaban.

Wanita itu tersenyum, kemudian mendekatkan mukanya, mencium mulut laki-laki tampan yang memondongnya dengan mesra dan tanpa malu-malu sehingga laki-laki itu menjadi merah mukanya dan seperti diayun di sorga ke tujuh.

"Tampan, lekas bawa aku ke kamar.." Bisik wanita itu.

Setelah laki-laki tampan yang memondong wanita itu menghilang ke dalam kamar pemilik restoran, barulah si pemilik restoran, barulah si pemilik restoran dapat bergerak lagi. Dia cepat berlari keluar, menyeret isterinya, kacungnya dan beberapa orang tetangganya untuk menyingkirkan enam buah mayat dan dia sendiri cepat-cepat memasak air di dapur dengan tubuh masih menggigil dan kadang-kadang matanya melirik ke arah kamarnya dari mana dia mendengar suara ketawa terkekeh wanita itu.

***

Dengan hati kebat-kebit pemilik restoran yang gendut itu membawa air yang sudah mendidik ke dalam kamar.

"Ini airnya, Toanio.." katanya tanpa berani mengangkat muka.

"Letakkan di atas meja, kemudian engkau siapkan arak guci dan masakan-masakan yang paling lezat, antarkan ke kamar ini, kemudian jangan ada yang berani memasuki kamar ini. Mengerti?'

Si gendut mengangkat muka dan dia melihat betapa wanita yang mengerikan hatinya itu duduk di atas tempat tidurnya, membelai-belai dan menciumi laki-laki tampan yang dipangku oleh wanita itu.

"Baik, Toanio." Ia tergesa-gesa keluar dari kamar dan di dalam hatinya dia terheran-heran. Bukan main, gerutunya dalam hati. Seorang wanita yang demikian lihai dan kejam membunuh orang seperti membunuh ayam saja, dan... dalam bercumbu, malah memangku seorang pria! Celaka, tentu dia itu sebangsa siluman! Sering dia mendengar dongeng dan membaca cerita bahwa ada siluman rase yang menjelma menjadi manusia, menjadi seorang wanita cantik. Kalau bukan siluman rase tentu siluman ular dan laki-laki yang tampan itu tentu akan disedot habis darah dan sum-sumnya! Mengerikan! Besok pagi-pagi tentu dia akan mendapatkan laki-laki itu sudah menjadi mayat yang kering di atas pembaringan! Celaka! Siapa mau berbelanja di restorannya lagi? Dia bakal bangkrut! Akan tetapi.. Emas dan perak yang tertanam di dinding restorannya itu banyak sekali. Dia akan mengambil harta itu dan mengajak isterinya pindah, pindah kota.

Kurang lebih satu jam kemudian, terdengar suara hiruk-pikuk di depan restoran dan tampak lima orang lebih berkerumun di depan restoran di pimpin oleh seorang laki-laki berusia lima puluhan tahun yang berpakaian mewah, dibantu oleh lima orang yang agaknya menjadi pembantu-pebantu utamanya.

Si gendut cepat keluar dan serta merta menjatuhkan diri berlutut di depan laki-laki berpakaian mewah itu. "Ong-ya... tolonglah saya.. Harap Ong-ya suka bekuk siluman rase itu..."

Laki-laki itulah yang berjuluk Mo-kiam Siauw-ong. Dia adalah seorang tokoh kang-oow yang berilmu tinggi dan di daerah lembah Sungai Fen-ho, dia terkenal sebagai datuk golongan hitam yang dianggap seperti "raja" oleh kaum petualang dan penjahat. Setelah dia menjadi sekutu para pembesar di kota Sun-ke-bun, dia hidup makmur dan biar pun semua urusan pemerintahan dijalankan oleh para pembesar daerah, namun sesungguhnya dialah yang berkuasa karena para pebesar tunduk kepadanya. Apa lagi ketika Mo-kiam Siauw-ong yang hidup sebatangkara dan tidak beristeri itu oleh pembesar setempat diambil mantu sebagai taktiknya, untuk mengambil hati orang pandai ini, kedudukan Mo-kiam makin menanjak. Dia menikah dengan puteri kepala daerah yang baru berusia delapan belas tahun hidup mewah dan terhormat, akan tetapi sebagai imbalan kebaikan sang kepala daerah, Mo-kiam Siauw-ong yang menjamin kekuasaan sang mertua, bahkan karena datuk golongan hitam ini selalu menerima semacam upeti dari perampok dan bajak sungai, sebentar saja dia menjadi kaya raya, bahkan sang mertua juga ikut ambil bagian! Dengan adanya Mo-kiam Siauw-ong sebagai mantu, kedudukan kepala daerah menjadi makin kuat sehingga dia tidak khawatir lagi kalau-kalau kedudukannya akan ada yang berani menggulingkan dalam masa peralihan pemerintahan itu.

Mo-kiam Siauw-ong memang bukan orang sembarangan. Dia adalah murid dari tiga orang datuk hitam yang amat terkenal dengan julukan Thian-te Sam-lo-mo (Tiga Iblis Tua Bumi Langit) yang pernah menggegerkan dunia kang-ouw. Mereka itu berjuluk Kai-ong Lo-mo, Bun-ong Lo-mo dan Thian-te Lo-mo, tiga orang yang berilmu tinggi sekali. Ketika Thian-te Sam-lo-mo ini akhirnya tewas di dalam tangan pendekar sakti Cia Keng Hong, kepandaian mereka diwarisi oleh Mo-kiam Siauw-ouw inilah.

Dapat dibayangkan betapa marah Mo-kiam Siauw-ong ketika dia mendengar kacung restoran tentang tewasnya Fen-ho Chit-kwi yang dia tahu tentu datang untuk menyerahkan hasil pembajakan. Fen-ho Chit-kwi merupakan anak buahnya yang paling kuat dan boleh diandalkan. Kini mendengar bahwa mereka itu roboh di tangan seorang wanita cantik, dia menjadi penasaran dan marah sekali. Namun, di samping kepandaiannya yang tinggi dan yang membuatnya jumawa, Mo-kiam Siauw-ong adalah seorang yang cerdik dan hati-hati. Oleh karena itu, dia tidak sembrono turun tangan seorang diri menurutkan kemarahannya, melainkan minta kepada ayah mertuanya untuk membawa sepasukan penjaga kota untuk menangkap penjahat yang mengacau kota Sun-ke-bun! Dengan bantuan lima puluh orang pasukan, apa sukarnya menangkap seorang wanita? Dia mendengar wanita itu cantik sekali, maka sudah dia bayangkan betapa akan senangnya menangkap wanita itu hidup-hidup dan sebelum membunuhnya, akan mempermainkan lebih dulu sepuasnya. Dengan demikian, baru impaslah kematian Fen-ho Chit-kwi yang merupakan sebuah pukulan dan kerugian baginya.

Penduduk banyak yang datang melihat dari jauh. Restoran itu sudah ditinggalkan pemiliknya, dan di dalam restoran yang kelihatan kosong itu kini tinggallah si wanita bersama laki-laki tampan, seorang di antara Fen-ho Chit-kwi yang menjadi "tawanannya"!

"Siluman betina! Keluarlah menghadap Mo-kiam Siauw-ong!" Tiga kali Mo-kiam Siauw-ong berteriak dari pintu restoran, menantang wanita yang sedang dibalut lukanya oleh tawanannya.

"Celaka.. Dia.. dia datang...." Laki-laki tampan yang selesai membalut pundak yang sudah diobati itu berkata dengan muka pucat.

"Ihhh... takutkah engkau, Tampan?" Wanita ini merangkul dan menciumi pipinya.

Akan tetapi, laki-laki itu kini tidak membalas ciumannya seperti tadi, bahkan tidak tampak lagi gairahnya. "Dia.. Dia berbahaya sekali, amat lihai.., celakalah kita.."

Wanita itu mengerutkan alisnya yang hitam kecil dan melengkung panjang lalu menghentikan belaiannya. "Siapakah dia?"

"Dia... Mo-kiam Siauw-ong, kiam-hoatnya (ilmu pedangnya) luar biasa lihainya.. dan tentu membawa pasukan yang banyak jumlahnya."

"Hi-hi-hik! Tikus-tikus busuk macam itu perlu apa ditakuti? Jangan hiraukan mereka, kita mempunyai urusan yang lebih penting, hi-hi-hik! Ayolah!" Wanita itu merangkul lagi dan membawa muka laki-laki itu ke dadanya. Akan tetapi, tubuh atas yang tak berpakaian itu, yang tadi membuat pria itu bergelora darahnya oleh gairah dan nafsu berahi, kini agaknya tidak menarik lagi, tertutup oleh rasa takutnya.

Melihat betapa laki-laki itu sama sekali tidak terangsang, wanita itu menghentikan usaha menggumulinya, bangkit duduk, menggelung rambutnya dan wajahnya keruh.

"Apa kau lebih senang kubunuh?"

Laki-laki itu menggigil dan berusaha memeluk wanita itu, berusaha membangkitkan lagi gairahnya, akan tetapi sia-sia dan akhirnya dia terisak seperti orang akan menangkis, "Maafkan aku... aku... takut sekali.."

"Pengecut!"

Pada saat itu, Mo-kiam Siauw-ong yang sudah tak sabar lagi, menggapai dan menyuruh sepuluh orang anggauta pasukan menyerbu ke dalam. Sepuluh orang itu mencabut golok lalu memasuki restoran, kemudian mereka menyerbu kamar karena sudah mendapat keterangan dari si gendut pemilik restoran bahwa "siluman rase" itu berada dalam kamar bersama laki-laki tampan seorang di antara Fen-ho Chit-kwi.

Ketika laki-laki tampan melihat sepuluh orang anggauta pasukan menyerbu, dia tidak berani bergerak karena maklum bahwa mereka adalah anak buah Mo-kiam Siauw-ong yang amat ditakutinya. Akan tetapi, dia melihat wanita itu menggerakkan tangan kiri.

Tampaklah sinar merah berkelebat dan terdengar jerit-jerit mengerikan disusul robohnya sepuluh orang itu bertumpang tindih di pintu kamar. Tepat di dahi mereka, di antara kedua mata, ditembusi jarum merah yang dilepas oleh wanita itu!

"Hi-hi-hik! Engkau masih takut? Lempar-lemparkan bangkai mereka keluar!" Wanita itu terkekeh.

Bukan main kagetnya hati laki-laki tampan menyaksikan kelihaian si wanita melepas jarum merah yang dia tahu merupakan jarum-jarum beracun yang amat lihai. Ia bergidik. Belum pernah selama hidupnya dia melihat orang dapat melepas jarum setepat itu, sekali gerak merobohkan sepuluh orang dan semua jarum tepat mengenai dahi di antara kedua mata! Hatinya menjadi besar. Berteman dengan seorang wanita secantik dan selihai ini, agaknya memang tidak perlu lagi takut terhadap Mo-kiam Siauw-ong! Ia melangkah maju dan kedua tangannya yang kuat sekaligus menyeret empat orang yang sudah menjadi mayat, kemudian dia melemparkan mereka itu keluar. Tiga kali dia melemparkan sepuluh buah mayat itu melayang keluar rumah makan! Kemudian dia embalik dan matanya terbelalak melihat bahwa wanita itu telah membuka semua pakaiannya dan mengembangkan kedua lengan yang berkulit putih halus. Ia mengeluarkan suara seperti gerengan harimau, lalu menubruk maju disambut oleh wanita itu yang tertawa cekikikan.

Dapat dibayangkan betapa kaget dan ngeri hati mereka yang melihat sepuluh buah mayat orang melayang keluar. Mo-kiam Siauw-ong cepat menghampiri dan mengerutkan alisnya ketika melihat luka di dahi para anak buahnya, luka merah sekali dan masih tampak ujung merah yang menancap sampai hampir tidak kelihatan lagi.

"Ong-ya, biar saya membawa semua pasukan menyerbu ke dalam!" Seorang pembantunya mengajukan usul. Marah melihat betapa anak buahnya tewas sedemikian mudahnya.

Akan tetapi Mo-kiam Siauw-ong mengenal bekas tangan orang pandai dan mengangkat tangan kiri mencegah.

***

lanjut ke Jilid 087-->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar