Minggu, 09 Februari 2014

Pedang Kayu Harum 75

Pedang Kayu Harum Jilid 075

<--kembali

"Terima kasih, Nona. Engkau sugguh amat baik hati......." Cong San berkata dengan suara gemetar.

"Sudahlah, yap-twako. Maafkan saja aku tadi tidak mengenalmu maka menganggapmu musuh. Tak perlu terima kasih-terima kasih! Sekarang mari bantu aku membebaskan suheng!" Sambil berkata demikian, Yan Cu sudah menarik tangan pemuda itu dan diajak lari cepat. Tentu saja Cong San girang sekali, akan tetapi dia pun bingung. Terpaksa dia berlari cepat mengimbangi dara jelita yang aneh ini.

"Eh, Nona...... di manakah dia? Di mana Keng Hong, dan siapa yang menangkapnya?"

Sambil berlari-lari cepat Yan Cu menjawab, "Ditangkap seorang gadis dan dibawa pergi!"

Tidak enak bicara sambil berlarian cepat itu. Akan tetapi karena heran Cong San bertanya lagi, "Mengapa? Siapa gadis itu?"

"Gadis yang dicintainya....... dia menyerahkan diri, tidak melawan......." karena sedang mengerahkan tenaga untuk berlari cepat, tentu saja ketika bercakap-cakap, banyak angin memasuki mulut membuat suara Yan Cu terputus-putus dan napasnya megap-megap.

Cong San makin heran dan penasaran. Mendengar Keng Hong ditangkap orang saja sudah merupakan hal mengejutkan dan juga mengherankan. Siapa yang dapat menangkap pemuda sakti itu? Kini dia mendengar bahwa yang menangkapnya adalah seorang gadis yang dicintanya! Dan dia menyerah tidak melawan! Tentu saja mendengar ini dia menjadi penasaran.

"Dicinta mengapa menangkap? Mengapa pula dia ditangkap? Apa salahnya?"

Tiba-tiba Yan Cu berhenti berlari dan memandangnya dengan mata marah, mulutnya mengomel, "Wah, kau ini amat cerewet seperti seorang nenek-nenek pikun!"

***

Cong San juga berhenti. Mereka saling berpandangan. Kini pemuda itu mulai mengerti atau sedikitnya mengenal watak Yan Cu, maka dia tidak kaget melihat gadis yang tadi mengobati pangkal lengannya dengan lemah lembut itu kini marah. Ia malah tersenyum dan berkata, "Nona, aku seorang laki-laki, mana mungkin seperti nenek-nenek yang cerewet ?"

"Kalau tidak seperti nenek-nenek yang cerewet, kenapa bertanya saja? Lari-lari sambil bicara mana enak?"

"Kalau begitu, kenapa kita tidak berhenti dulu dan bicara yang enak di bawah pohon yang teduh?"

Yan Cu menghapus keringatnya di leher dengan ujung lengan baju. "Kita harus cepat mengejar suheng, engkau ini memperlambat saja."

"Maaf, Nona. Aku pun ingin sekali segera menolong Keng Hong, akan tetapi aku ingin mendengar dulu siapa yang menangkapnya, dan kenapa dia ditangkap?"

"Baiklah, baiklah. Kalau tidak kuturuti, engkau tentu akan rewel seperti anak kecil minta kembang gula dan mengganggu terus. Nah, dengarkan baik-baik!" Yan Cu terpaksa ikut duduk di bawah pohon ketika melihat Cong San memberi isyarat dengan tangan kepadanya, mempersilahkan duduk di atas akar-akar pohon yang menonjol ke luar dari tanah. Akan tetapi setelah mereka berdua duduk berhadapan, keduanya hanya saling pandang dan diam saja.

"Eh, bagaimana ceritanya, Nona?"

"kau dulu ceritakan keadaanmu dan bagaimana engkau bisa menjadi sahabat suheng."

Cong San menghela napas. Agaknya gadis ini masih belum percaya benar kepadanya. Ia lalu menceritakan pertemuannya dengan Keng Hong ketika dia menyerbu ke Phu-niu-san untuk membalas dendam Siauw-lim-pai kepada Ang-kaim Bu-tek Bhe Cui Im dan betapa Keng Hong menyelamatkannya, kemudian mengembalikan dua buah kitab Siauw-lim-pai.

"Ketika aku menyerahkan dua buah kitab itu kepada suhu, suhu lalu memerintahkan aku agar pergi mencari Cia-taihiap dan membantunya menghadapi Ang-kiam Bu-tek yang lihai sebagai pembalas jasa. Nah, sekarang harap kau suka ceritakan keadaan Cia Keng Hong taihiap, Nona."

"Dia ditawan oleh gadis yang dicintanya."

"Mengapa? Dicinta mengapa malah menawannya?"

"Justeru karena suheng mencintanya, maka dia menyerahkan diri. Kalau tidak, mana mungkin Sie Biauw Eng itu dapat menawannya?"

"Sie Biauw Eng? Nona maksudkan Song-bun Siu-li puteri mendiang Lam-hai Sin-ni?" Cong San bertanya, kaget karena nama Sie Biauw Eng amat terkenal.Apalagi kalau diingat bahwa Song-bun Siu-li adalah sumoi dari Bhe Cui Im musuh besarnya!

Yan Cu mengangguk. "Bukan dia saja, masih ada seorang lagi yang begini!" Kembali ketika berkata "begini" Yan Cu melintangkan telunjuk di depan dahinya yang berkulit putih halus.

"Gila? Siapakah dia? Mengapa..........?"

Yan Cu cemberut. "Mengapa? Pertanyaanmu tak masuk akal dan bodoh. Mana bisa aku tahu mengapa dia gila?"

"Bukan gilanya yang kumaksudkan, Nona. Mengapa Cia-taihiap sampai ditawan?"

"karena dia dituduh memperkosa si gila itu dan oleh Biauw Eng, dia ditawan untuk dipaksa menikah dengan perempuan gila itu!"

Cong San sedang terpesona memandang wajah itu. Kini setelah dia mengenal sifat baik dara ini, wajah jelita itu makin menarik. Sepasang mata indah yang kini bersinar-sinar penuh semangat, dengan alis yang hitam kecil menjelirit, bulu mata yang panjang melengkung dan tebal sehingga membentuk garis hitam di seputar matanya. Hidung yang kecil mancung, yang cupingnya dapat bergerak-gerak kembang-kempis kalau sedang marah. Dan bibirnya! Ketika bicara bergerak-gerak demikian manisnya, seolah-olah bertetesan madu dari bibir itu, dan sepasang bibir itu bergerak demikian indahnya, seindah seekor kupu-kupu menggerak-gerakan sepasang sayapnya yang beraneka warna, ataukah seperti setangkai bunga mawar jambon tertiup angin, seperti cahaya keemasan bulan purnama bermain di permukaan air telaga? Entah seperti apa, namun yang sudah pasti, amat manis menarik, amat indah mempesona.

"Heeeiiii!" Kenapa kau mengangguk-angguk?" Yan Cu membentak heran.

Cong San yang sedang tenggelam dalam hikmat keindahan yang menyentuh perasaannya, bagaikan mabuk arak simpanan yang amat halus kerjanya, tadi mendengar penuturan Yan Cu, akan tetapi hanya setengah-tengah menangkap inti dan artinya. Kini dibentak dia menjadi kaget sekali dan menjawab sekenanya, "Memang betul! Sudah semestinya mengawini perempuan yang diperkosa!"

Yan Cu meloncat berdiri, kedua tangannya dikepal, matanya mengeluarkan sinar berapi-api! Cong San terkejut sekali dan dia pun memandang dengan melongo, masih duduk dan menengadahkan kepalanya seperti orang tersadar dari mimpi.

"Apa kau bilang? Hati-hati engkau menjaga mulut, sembarangan saja bicara!"

"Eh...... aku bicara apakah, Nona? Apa yang salah?"

"Engkau percaya bahwa suheng Cia Keng Hong memperkosa perempuan gila itu?"

Barulah Cong San sadar bahwa yang dibicarakan adalah Keng Hong. Tentu saja dia tidak percaya. Setelah sadar kini dia menjadi pemuda murid Siauw-lim-pai yang tenang dan gagah perkasa kembali. Perlahan dia bangkit berdiri dan menjura, "Maaf, seribu kali maaf, Nona. Demi tuhan, aku tidak percaya bahwa Cia-taihiap melakukan perbuatan sekeji itu. Kalau tadi aku bicara seperti itu, hemmm......... aku lupa dan aku hanya mengatakan bahwa siapapun juga, kalau betula dia sudah memprkosa orang, harus bertanggung jawab! Akan tetapi............"

"Suheng tidak diperkosa wanita itu! Itu fitnah belaka!"

Cong San mengangguk. "Tentu begitu. Siapa sih wanita gila itu yang menjatuhkan fitnah keji terhadap Cia-taihiap?"

"Namanya Tan Hun Bwee, suci dari....."

"Tan Hun Bwee........? Ah, aku tahu! Bukan Cia-taihiap yang memperkosa, melainkan orang lain!"

Bukan main kaget dan girangnya hati Yan Cu. Seketika kemarahannya terhadap Cong San lenyap seperti api disiram air, bahkan saking gembiranya ia memegang tangan pemuda itu dan menariknya lari lagi! "Lekas! mari kita susul mereka!"

Kembali keduanya berlari-larian cepat sekali. "Nona, nanti dulu....."

"Ssttt.....! Jangan cerewet lagi!" Yan Cu memotong.

Cong San terpaksa menelan kembali kata-katanya. Akan tetapi dia tidak tahan. Sepuluh menit kemudian dia memaksa diri bertanya, "Aku hanya ingin mengetahui siapa Nona yang menyebut suheng kepada Cia-taihiap. Siapakah namamu, Nona?"

"Namaku Gui Yan Cu, guruku bernama Tung Sun Nio, dahulu isteri Sin-jiu Kiam-ong. Sudah, cukup!"

Cong San melongo. Mendengar bahwa gadis ini murid bekas isteri Sin-jiu Kiam-ong, dia terheran-heran. Sin-jiu Kiam-ong mempunyai isteri? Baru sekarang dia mendengarnya. Karena melongo memandang wajah gadis itu sambil berlari cepat, kakinya tersandung akar pohon dan dia roboh terguling! Yan Cu berteriak dan cepat menyambar lengannya sehingga pemuda ini tidak sampai terguling ke dalam jurang di sebelah kirinya. Karena tarikannya yang tiba-tiba ini, padahal Cong San tadi ketika akan jatuh sudah menggerakan tubuh, maka tubuhnya bertumbukan dengan tubuh Yan Cu sehingga kedua lengan Cong San merangkul pinggang yang ramping itu sedangkan kedua tangan Yan Cu juga memeganginya, yang satu memegang lengannya yang ke dua memegang pundaknya!

"Ihhh! Yan Cu melepaskan pegangannya dan meronta.

"Maaf! Maaf!" Cong San cepat melepaskan "pelukannya" dan keduanya menjadi tersipu-sipu dengan muka merah sekali.

"Matamu kau taruh di mana sih?" Yan Cu mengomel, akan tetapi melihat wajah gadis itu, Cong San maklum bahwa Yan Cu tidak marah, karena gadis ini pun mengerti bahwa peristiwa itu terjadi diluar kesengajaan Cong San.

"Aku...... aku sedang memandangmu, Gui-moi-moi!"

Yan Cu mengerling akan tetapi juga tidak marah disebut moi-moi oleh pemuda itu. "Sudahlah, hayo cepat!"

Mereka berlarian lagi, cepat sekali. Wajah Cong San berseri-seri dan ia sendiri merasa heran sekali mengapa mendadak dia merasa amat gembira, mengapa daun-daun dan rumput di sepanjang jalan yang dilaluinya tampak lebih segar dan lebih hijau dalam pandang matanya, langit tampak begitu cerah, sinar matahari yang terik terasa hangat dan pemandangan alam tampak jauh lebih indah daripada biasanya. Belum pernah selama hidupnya Cong San merasa begitu gembira. Betapa nikmat dan bahagianya hidup ini, pikirnya sambil lari mengimbangi kecepatan Yan Cu.

Memang demikianlah Cinta! Amat besar kuasanya atas perasaan manusia. Sekali Cinta menyentuh hati sanubari insan, Cinta merupakan titik terang satu-satunya yang meniadakan segala persoalan hidup, menjadi satu-satunya tujuan hidup penuh dengan hasrat dan harapan, melambungkan cita-cita setinggi angkasa, membuat yang terkena terapung muluk dan satu-satunya hal yang penting dalam hidup hanyalah tercapainya hasrat dan harapannya. Cinta memang indah, namun keindahan yang cemerlang menyilaukan hati sehingga terlupakan orang bahwa di dalam keindahan itu terdapat lika-liku yang ruwet dan rumit, lika-liku yang mudah menyesatkan dan sekali terpeleset, segala kemanisan berubah kepahitan, madu berubah empedu, keindahan berubah keburukan dan kebahagiaan terbang pergi, kegembiraan berganti kedukaan! Cinta! Bagaikan pohon kembang, indah sekali, namun sesungguhnya mengandung duri, mengandung ular yang mudah pula layu. Kalau pandai merawatnya, menghindarkan durinya, pandai memupuknya, barulah akan subur dan semakin indah!

"Tar-tar-tar!" Ujung sabuk sutera di tangan Biauw Eng melecut tiga kali dan mengenai kedua pipi dan leher Keng Hong. Pemuda ini menerima lecutan ujung cambuk itu dengan mata terbuka dan bibir tersenyum, sedikitpun tidak mengerahkan sinkangnya sehingga kulit pipi dan lehernya pecah berdarah!

"Sumoi jangan pukul dia!" Tiba-tiba Hun Bwee menubruk maju dan memukul Biauw Eng. Biauw Eng cepat mengelak dan berkata,

"Suci, aku hanya hendak memaksa dia mengakui perbuatannya yang keji terhadap dirimu. Engkau diperkosa olehnya, bukan?"

Hun Bwee berhenti menyerang, sejenak memandang Keng Hong dengan mata liar namun membayangkan kemesraan. Dia maju berlutut dan menggunakan saputangannya mengapus darah yang mengalir di pipi dan leher pemuda itu.

"Koko........, sakitkah.......? Ah, kasihan kau." Hun Bwee mengusap kedua pipi Keng Hong dengan sentuhan jari tangan mesra. Diam-diam Keng Hong menjadi terharu sekali dan dia mengutuk Lian Ci Tojin dalam hatinya.

Hun Bwee bangkit berdiri menghadapi Biauw Eng. Gadis ini terkejut melihat sinar mata sucinya, maklum bahwa sucinya itu sedang kumat lagi gilanya! Namun ia menjadi terharu pula menyaksikan sikap Hun Bwee tadi terhadap Keng Hong, dan anehnya, di samping rasa haru terhadap Hun Bwee, ada pula rasa marah yang luar biasa terhadap Keng Hong dan ketika menyaksikan mesranya sentuhan-sentuhan tangan Hun Bwee pada pipi dan leher Keng Hong, ia hampir menjerit dan menangis!

"Sumoi, kalau kau memukulnya lagi, kubunuh kau!"

***
Biauw Eng menghela napas panjang. Kalau sucinya sedang kumat begini, dia harus mengalah. "Baiklah, Suci. Aku tidak akan memukulnya, akan tetapi dia harus mengaku bahwa dia telah memperkosamu." Ia lalu menghadapi Keng Hong yang berdiri sambil tersenyum dan memandang Biauw Eng dengan sinar mata penuh kemesraan. Diam-diam Keng Hong merasa kasihan dan terharu sekali terhadap Biauw Eng. Dia mengerti betapa tersiksanya hati kekasih hatinya itu, seolah-olah dia dapat merasakan kepedihan hati gadis itu, jauh lebih pedih dari pada pipi dan lehernya.

"Cia Keng Hong, engkau seorang laki-laki, mengapa begini pengecut? Engkau telah melakukan banyak hal memalukan dengan banyak wanita, mengapa sekarang engkau tidak mau mengaku bahwa engkau telah memperkosa Suci? Hayo mengakulah bahwa engkau telah memperkosanya!"

"Biauw Eng, di dalam hati nuranimu engkau pun tentu tidak percaya bahwa aku telah memprkosa nona Tan Hun Bwee. Aku tidak melakukannya, bagaimana harus mengaku?"

"Bohong!" Biauw Eng membentak. "Siapa tidak mengenalmu? Engkau seorang laki-laki mata keranjang, seorang laki-laki hidung belang! Dan engkau seorang laki-laki cabul! Engkau bermain gila dengan wanita manapun juga! Hayo berlutut dan mohon ampun kepada Suci!"

Keng Hong tersenyum dan menggeleng kepala. "Aku tidak merasa bersalah terhadap wanita mana pun juga, kecuali kepadamu, Biauw Eng. Kalau disuruh minta ampun kepadamu, biar harus berlutut selamanya aku bersedia melakukannya! Akan tetapi, tidak kepada wanita lain karena aku tidak merasa bersalah."

"Oooohhhh.....!" Jeritan ini keluar dari mulut Hun Bwee dan gadis ini menjatuhkan diri berlutut, menutupi mukanya dengan kedua tangan dan menangis. Agaknya ucapan Keng Hong membuat dia sadar dan ucapan penyangkalan itu menusuk perasaannya.

Biauw Eng marah sekali. "Tar-tar.....!" Dua kali ujung sabuk menotok jalan darah di kedua pundak Keng Hong dan pemuda ini terguling roboh. Mukanya berkerut-kerut menahan rasa nyeri, akan tetapi mulutnya tetap berusaha untuk tersenyum dan pandang matanya tetap ditujukan kepada Biauw Eng dengan sinar penuh cinta kasih.

Karena maklum bahwa kini Hun Bwee sudah sadar dan tidak akan menghalanginya, Biauw Eng melangkah maju. "Pengecut! Kalau engkau tidak mengaku, aku akan menyiksa dan memaksamu!" Ujung sabuk di tangannya tergetar dan sekali tarik, ia membuat tubuh Keng Hong terseret dekat kakinya.

Keng Hong berlutut dan menengadah, memandang wajah Biauw Eng. Apapun yang akan dilakukan baiuw Eng terhadap dirinya, akan diterimanya dengan senang hati. IA telah melakukan banyak kesalahan terhadap gadis ini dan tidak ada hukuman baginya yang cukup berat untuk menebus kesalahannya itu. Kalau dia ingat betapa gadis ini amat mencintainya, telah melakukan pengorbanan-pengorbanan sungguhpun hatinya telah dibikin sakit oleh hubungan cintanya dengan gadis-gadis lain, betapa Biauw Eng membelanya di Kun-lun-pai, mengorbankan dirinya sendiri. Betapa gadis ini masih terus mencinta dan menantinya sampai bertahun-tahun ketika dia menghilang dalam tempat rahasia gurunya. Kemudian betapa semua cinta kasih yang amat mendalam itu, semua pengorbanan gadis itu dia balas dengan penghinaan-penghinan!

"Biauw Eng, jangankan hanya menyiksa, biar kau membunuhku, aku akan rela mati di tanganmu, hitung-hitung menebus dosaku kepadamu, Biauw Eng!"

"Desssss! Sebuah tendangan mengenai dada Keng Hong, membuat pemuda itu terjengkang dan sejenak tak dapat bernapas. Biarpun dia tidak mengerahkan sinkang, namun hawa sakti di tubuhnya yang amat kuat telah secara otomatis bergerak sendiri melindungi rongga dada sehingga tendangan itu tidak mendatangkan luka berat di dalam dadanya.

Ujung sabuk sudah diputar-putar di tangan Biauw Eng. "Mengakulah! Mengakulah...... dan nyatakan kesediaanmu mengawini Suci atau........ hemmmm......kuhancurkan kepalamu.........!"

Keng Hong yang sudah berlutut lagi menggeleng kepala dan tersenyum. "Hanya engkau di dunia ini satu-satunya wanita yang kucinta, Biauw Eng. Mana mungkin aku menikah dengan wanita lain?"

"Wuuuuut.......! Plakkk!" Ujung sabuk yang sudah menyambar ke arah kepala Keng Hong itu tertangkis oleh pedang hitam di tangan Hun Bwee.

Dua orang gadis itu saling pandang. Hun Bwee sudah tidak kumat lagi, kini mukanya agak pucat akan tetapi matanya bersinar-sinar. "Sumoi, engkau tidak berhak membunuhnya! Kalau ada orang yang akan membunuhnya, maka satu-satunya orang itu adalah aku sendiri!"

Biauw Eng menghela napas panjang dan memaki Keng Hong, "Laki-laki tidak setia, pengecut dan tidak tahu malu. Lihat betapa Suci yang telah kaurusakkan hatinya itu masih selalu melindungimu? dan engkau...... engkau...... ahhh!" Biauw Eng membalikan tubuh, cepat menggunakan ujung sabuknya menghapus dua titik air mata yang meloncat ke luar.

Sementara itu, Hun Bwee yang kini sudah sadar, memandang Keng Hong yang masih berlutut lalu berkata,

"Cia Keng Hong, engkau menjadi tawanan kami, tahukah engkau mengapa kami menawanmu dan hendak menyeretmu ke depan kaki guru kami?"

Keng Hong bangkit berdiri, kedua tangannya masih dibelenggu oleh ujung sabuk sutera putih yang kini sudah dilepaskan ke tanah ujung lainnya oleh Biauw Eng setelah tadi dipakai menghapus air matanya. Dia memandang gadis baju merah itu, diam-diam dia terheran karena seingatnya Tan Hun Bwee dahulu berpakaian hijau.

"Aku tidak tahu, nona Tan. Siapakah gurumu?"

"Subo Go-bi Thai-houw disakitkan hatinya oleh Sin-jiu Kiam-ong. Karena sekarang Sin-jiu Kiam-ong gurumu telah meninggal dunia, maka engkau sebagai muridnya harus kami bawa kepada subo."

"Hemmmm, sungguh tidak adil. Urusan antara guruku dan gurumu tidak ada sangkut-pautnya dengan aku, mengapa aku yang harus dibawa menghadap?"

"Demikianlah kehendak guruku. Akan tetapi urusan guruku itu tidaklah berapa penting kalau dibandingkan dengan urusanku sendiri. Kita sama tahu apa yang telah terjadi pada pertemuan kita pertama kali. Sejak dulu engkau menyangkal, dan dahulu aku tidak berdaya melawanmu. Akan tetapi sekarang lain lagi! Aku telah mewarisi ilmu subo dan kalau kau tetap menyangkal, terpaksa aku akan membunuhmu di sini juga dan tidak akan membawamu kepada subo. Cia Keng Hong, masihkah engkau hendak menyangkal bahwa engkau dahulu telah........ memperkosaku?"

Berbeda ketika dia menghadapi tuduhan Biauw Eng tadi, kini Keng Hong memandang Hun Bwee dengan mata bersinar penuh penasaran dan suaranya lantang ketika menjawab,

"Tan-siocia! Biar aku bersumpah demi Tuhan dan disaksikan Bumi dan Langit bahwa aku tidak pernah memperkosamu! Kalau aku melakukan hal itu, perlu apa aku harus menyangkal?"

"Hemmmm....., kalau bukan engkau, siapa lagi?"

Keng Hong menggeleng kepala, tidak menjawab. Dia dapat menduga bahwa tentu Lian Ci Tojin yang melakukan perbuatan terkutuk itu, akan tetapi karena dia tidak menyaksikan dengan mata sendiri, bagaimana dia akan menuduh orang lain?

Tan Hun Bwee menjadi marah. "jadi engkau tetap menyangkal?'

"Aku tidak melakukannya!"

"Dan engkau tidak mau mempertanggungjawabkannya dan menikah dengan aku?"

"Aku tidak akan menikah dengan orang lain kecuali Biauw....." Keng Hong menghentikan kata-katanya karena sinar hitam pedang Hun Bwee sudah menyambar ke dadanya dengan sebuah tusukan kilat. Cepat pemuda yang kedua tangannya masih terbelenggu ke belakang ini mengelak dengan loncatan ke kiri. Pedang hitam itu tidak mengenai dadanya, akan tetapi dengan gerakan aneh, cepat dan kuat sekali Hun Bwee melanjutkan serangannya, nenubruk dan mengirim tusukan-tusukan dan bacokan-bacokan secara bertubi-tubi. Pedang Hek-sin-kiam berubah menjadi gulungan sinar hitam yang ganas sekali, bagaikan seekor naga hitam menyambar-nyambar dan terus mengejar ke manapun Keng Hong meloncat untuk menghindarkan diri. Dalam keputusasaan dan kemarahannya, Hun Bwee mnyerang dengan niat membunuh pemuda itu. Biauw Eng yang mendengar suara pedang sucinya bercuitan, sudah membalikkan tubuh lagi dan hanya berdiri memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Dia tidak tahu harus berbuat apa, tidak tahu harus berkata apa, bahkan dia tidak tahu apa yang tergerak di hati dan pikirannya. Ia menjadi bingung dan gelisah!

***

lanjut ke Jilid 076-->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar