Minggu, 09 Februari 2014

Pedang Kayu Harum 64

Pedang Kayu Harum Jilid 064

<--kembali

Dia memang tahu bahwa pemuda itu memiliki sinkang yang hebat dan belum tentu kalah oleh kekuatannya sendiri, namun betapapun kuatnya, kalau tubuh lawan itu berada di udara tentu tidak akan mampu menandingi kekuatannya yang dapat dikerahkan dengan kedua kaki di atas tanah. Bumi merupakan pusat kekuatan dalam tubuh manusia, menjadi landasan pengerahan tenaga.

Akan tetapi, kakek ini tidak mengenal keanehan dan kelihaian Ilmu Silat San-in-kun-hoat yang hanya terdiri dari delapan jurus itu yang dicipatakan oleh Sin-jiu Kiam-ong dengan dasar gerakan-gerakan ilmu yang tinggi. Ketika Keng Hong melihat lawannya menangkis, dia tahu bagaimana harus mengembangkan jurusnya. Memang jurus-jurus ilmu silatnya mempunyai perkembangan yang banyak sekali, disesuaikan dengan sikap lawan menghadapi jurus itu. Tanpa menghentikan tendangannya, tubuhnya terus menerjang ke bawah, akan tetapi ketika dia sudah merasa sambaran angin tangkisan kedua tangan kakek itu yang mengerahkan tenaga yang amat kuat, seepat kilat Keng Hong menggerakkan kakinya ke bawah, menarik kembali kedua tendangan susul-menyusul itu akan tetapi melanjutkan serangan susulan yang kini dapat dia lakukan dengan kedua kaki menginjak tanah karena ketika memapaki tendangannya tadi, Thian-to Lo-mo sudah menaikkan tubuhnya.

"Celaka...!" Thian-to Lo-mo berseru kaget tahu-tahu kepalan tangan kiri Keng Hong sudah menghantam dadanya dengan kekuatan yang dahsyat sekali! Namun dia masih dapat cepat menggerakkan tangan yang tadi luput menangkis pukulan yang ketika kedua lengan beradu membuat seluruh tubuhnya terasa tergetar dan panas, dan pada detik itu, tangan kanan Keng Hong yang terbuka jari-jari tangannya menampar ke arah ubun-ubun kepalanya dengan kecepatan yang tak mungkin dapat ditangkis lagi karena terlalu dekat.

"Habis aku...!!" Thian-to Lo-o melempar tubuhunya ke belakang, akan tetapi maklum bahwa dia tetap kalah cepat dan sekali tangan pemuda yang amat lihai ini mengenai ubun-ubun kepalanya biarpun perlahan saja, sudah cukup membuat nyawanya melayang!

Akan tetapi Keng Hong masih dapat menguasai tangannya. Pemuda ini tentu saja tidak mau membunuh lawannya. Selagi dia masih dapat menguasai diri tentu dia masih dapat menguasai diri tentu dia akan menghindarkan pembunuhan. Betapapun juga, dia harus memperlihatkan bahwa dia menang dalam pertandingan ini, maka tangannya yang menampar ubun-ubun kepala itu itu dia ubah sedikit.

"Plakkk!" Bukan ubun-ubun kepala yang ditampar, melainkan pangkal leher dekat pundak. Namun cukup membuat Thian-to Lo-mo terbanting dan bergulingan. Napas kakek ini sesak dan setelah meloncat bangun, kakek ini cepat duduk bersila untuk mengerahkan sinkang agar tidak terluka di sebelah dalam tubuhnya.

"Hebat sekali! Cia Keng Hong, suteku sudah kalah. Mari kau berilah pelajaran kepadaku!"

Keng Hong maklum bahwa kalau dia hendak pergi dengan selamat dan aman membawa pusaka-pusaka itu, dia harus dapat mengalahkan tiga orang kakek itu. Dia sudah berhasil mengalahkan seorang di antara mereka dan dia tahu bahwa kakek sastrawan ini tentu lebih lihai atau paling tidak juga tidak kalah lihai oleh kakek pendeta. Membantah pun tiada guna, maka dia lalu melangkah mundur dan bersiap saja dengan sikap tenang. Seperti juga Thian-to Lo-mo, Bun-ong Lo-mo ini tidak mengeluarkan senjatanya, maka Keng Hong juga menghadapinya dengan tangan kosong. Kalau tidak terpaksa sekali, tentu dia tidak akan mau mengeluarkan Siang-bhok-kiam.

Bun-ong Lo-mo berseru, "Haaooowww!" dan tiba-tiba tubuhnya sudah membentuk kauda-kuda yang kuat dengan kedua kaki disilangkan dan tubuh tegak lurus, matanya memandang Keng Hong kemudian kedua tangannya bergerak, jari-jaari tangannya terbuka dan kedua tangan itu membuat gerakan di uadara depan mukanya, gerakan yang tidak karuan dan aneh tidak seperti gerakan memukul atau menangkis, pendeknya bukan gerakan silat. Mula-mula Keng Hong heran melihat ini. Dia tidak mengenal gerakan-gerakan itu akan tetapi akhirnya dia mengerti bahwa kakek sastrawan yang merupakan orang ke dua dari Thian-te Sam-lo-mo ini membuat gerakan-gerakan menulis huruf-huruf besar! Karena dari tempat dia berdiri huruf-huruf yang dicoret-coret di udara itu terbalik, maka sukar baginya untuk menduga, huruf-huruf apakah yang sedang ditulis secara aneh oleh calon lawannya ini!

Bun-ong Lo-mo terus menggerak-gerakkan kedua tangannya, akan tetapi sekarang yang dipakai "menulis" di udara itu hanya tinggal jari telunjuknya saja sedangkan jari yang lain menggenggam. Dua buah jari telunjuk kanan kiri itu masih membuat gerakan corat-coret di depan mukanya dan kedua kakinya mulai digeser dan secara cepat telah tiba di depan Keng Hong.

"Cuuuuuutttttt!" Tiba-tiba jari tangan kiri yang tadinya membuat gerakan mencoret ke atas itu dilanjutkan dengan "coretan" ke bawah menuju ke mata Keng hong! Tentu saja Keng Hong tidak membiarkan mata kanannya dicolok oleh jari telunjuk itu, maka dia cepat miringkan kepala mengelak. Terasa olehnya betapa angin yang dingin sekali lewat menyambar mukanya ketika tusukan telunjuk ke matanya yang masih terus mencorat-coret udara itu mencoret dengan telunjuk ke tenggorokan Keng Hong. Kembali Keng Hong mengelak.

"Cuuuuuussssss...brettt!"

"Ayaaaaa...!" Keng Hong cepat meloncar mundur saking kagetnya melihat betapa ketika dia mengelak tadi, ujung telunjuk lawan mampir ke baju di pundak dan... kain baju itu bagaikan disabet pedang yang amat tajam menjadi robek! Kiranya jari telunjuk itu berbahaya bukan main dan kukunya amat kuat dan tajam seperti pedang!

Sastrawan tua itu agaknya gembira dengan hasilnya merobek baju Keng Hong dan kini tubuhnya menerjang cepat sakali dengan serangan kedua ujung jari telunjuk yang dia maklum bahwa dua buah jari telunjuk itu dipergunakan sebagai sepasang senjata pit untuk menotok dan bahkan dapat dipakai untuk menusuk dan membacok menggunakan kuku, menjadi hati-hati sekali dan dia pun menggunakan ginkangnya untuk mengelak ke sana ke mari. Untuk mempelajari sifat ilmu silat aneh dari lawannya, terpaksa dia harus selalu mengelak sambil memandang penuh perhatian. Seperti juga ilmu silat dari Thian -to Lo-mo tadi, kini ilmu silat Bun-ong Lo-mo benar-benar hebat luar biasa dan amat aneh. Sukar bagi dia untuk mengenal ilmu silat ini, akan tetapi setelah lewat belasan jurus dan kadang-kadang meloncat tinggi di udara sambil meneliti, dia mengerti bahwa dasar ilmu silat yang menggunakan kedua telunjuk sebagai senjata penotok dan penusuk ini adalah ilmu Poan-koan-pit, akan tetapi gerakkannya dilakukan dengan coreatan-coretan seperti menulis huruf. Justeru gerakan inilah yang amat lihai dan membingungkan lawan. Gerakan corat-coret huruf ini menyembunyikan gerakan inti yang merupakan serangan!

Setelah maklum akan sifat ilmu silat lawan, Keng Hong mengerti bahwa penggunaan San-in-kun-hoat tidak akan menguntungkan. Sesuai dengan nama dan sifatnya, ilmu silat San-kun-in-kun-hoat (Ilmu Silat Awan Gunung) banyak menggunakan serangan dari atas, seperti jalannya awan yang bergerak setiap saat di puncak Kiam-kok-san.

Adapun ilmu silat Bun-ong Lo-mo justeru menggunakan coretan-coretann ke udara, maka amatlah berbahaya apabila dia menggunakan ilmu silatnya yang hebat, yang dia temukan di tempat rahasia gurunya, ilmu satu-satunya yang tidak dicuri Cui Im disamping ilmu penggunaan tenaga sinkang yang dia dapat secara mujijat ketika gurunya mengoperkan sinkang kepadanya, yaitu Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun,

"Wah-wah-wah,bocah ini bukan main hebatnya! Tidak kalah oleh mendiang gurunya!" Kakek jembel bertepuk-tepuk tangan dengan girangnya ketika menyaksikan sutenya bersama pemuda itu sudah mulai bergebrak, saling serang dengan gerakan yang kuat dan cepat sekali. Tubuh keduanya sampai lenyap dan yang tampak hanya bayangan mereka bergerak ke kanan kiri. Memang kakek sastrawan itu hebat sekali, selain memiliki sinkang yang kuat serta ginkang yang membuat tubuhnya seperti tidak menginjak tanah, juga gerakan kedua tangan yang selalu mencorat-coret itu amat berbahaya. Namun, Keng Hong bergerak dengan tenang dan membentuk lingkaran-lingkarang yang selain dapat memunahkan semua serangan lawan, juga dapat membalas dengan pukulan-pukulan yang tidak kalah hebatnya daripada serangan lawan.

Sratus jurus telah lewat dan Keng Hong merasa khawatir. Menghadapi kakek ini saja begini sukar mencapai kemenangan, apalagi kalau si jembel tua itu yang maju tentu lebih hebat lagi kepandaiannya dan lebih sukar baginya untuk mencapai kemenangan.

Sejak tadi, semenjak bajunya robek oleh serempetan kuku jari telunjuk, Keng Hong selalu menjaga agar jangan sampai tubuhnya terkena sepasang telunjuk lawan. Inilah sebabnya mengapa sampai lama dia tidak mampu mencapai kemenangan. Karena, dia terlalu berhati-hati, maka dia lebih memusatkan perhatian kepada pertahanan dan hanya membalas serangan lawan kalau tiba kesempatan dan ada lubang saja

***

Padahal, sifat ilmu silat lawan itu lebih diutamakan menyerang daripada bertahan, sehingga kini kehatian-hatian Keng Hong dipergunakan secara baik oleh Bun-ong Lo-mo yang terus mendesak dengan cepat sekali sambil membuat coretan-coretan yang membingungkan lawan sungguhpun Keng Hong tetap tenang.

Setelah memutar otak dan mengetahui kelamahannya, tiba-tiba Keng Hong berseru keras ketika untuk ke sekian kalinya telunjuk kiri lawan menusuk ke arah mata dan telunjuk kanan menotok jalan darah di dekat iga. Keng Hong mengangkat tangan menangkis tusukan ke arah matanya dan membiarkan saja telunjuk kanan lawan yang menotok iga. Keng Hong mengangkat tangan menangkis tusukan ke arah matanya dan membiarkan saja telunjuk kanan yang menotok iga. Ia sudah memperhitungkan dengan seksama, sengaja memperlambat gerakannya sehingga tidak kentara bahwa dia memang membiarkan totokan itu, akan tetapi diam-diam dia telah mempergunakan Ilmu I-kiong-hoan-hiat, yaitu ilmu memindahkan jalan darah yang dia pelajari dari kitab curian suhnya dari Siauw-lim-pai yang tadi dia berikan kepada Yap Cong San.

"Cusss...! Plakkkk!!"

Tepat pada saat telunjuk yang amat keras seperti baja itu mengenai kulit iganya, dimana jalan darahnya telah dipindahkan dengan Ilmu I-kiong-hoan-hiat, cepat sekali tangan kiri Keng Hong menyambar, membarengi totokan lawan, tangan yang terbuka itu telah mendorong dada Bun-long Lo-mo. Tubuh kakek itu terlempar sampai empat meter jauhnya, terbanting roboh dan terengah-engah, namun cepat dia bangkit bersila untuk mengerahkan sinkang memulihkan keadaan di tubuhnya yang mengalami gempuran hebat. "Luar biasa... Ha-ha-ha, baru sekaranglah kami dapat puas! Hebat bukan main kau Cia Keng Hong. Bereskan napasmu dulu dan bersiaplah engkau karena sekarang aku sendiri yang akan menguji kepandaianmu,"

Kakek jembel itu meloncat maju dan berhadapan dengan Keng Hong yang masih berdiri dan memejamkan mata, mengatur pernapasannya, karena biarpun dia tadi sudah memindahkan jalan darah sehingga yang kena ditotok hanyalah tempat yang kosong, namun kulit dagingnya terasa nyeri, tulang iga linu dan rongga dagingnya tergetar oleh hawa pukulan yang amat kuat tadi. Namun hanya sebentar saja dan pemuda perkasa ini sudah mampu memulihkan keadaannya dan dia kini menghadapi Kai-ong Lo-o yang sikap tenang dan waspada. Ujian ini tiba di puncak dan akhirnya, karena dia mengerti bahwa kakek jembel yang menjadi orang pertama dari Thian-te Sam-lo-mo ini tentu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi.

"Locianpwe, masih belum cukupkah Locianpwe bertiga menganggu aku, Keng Hong bertanya.

Kai-ong tertawa bergelak, "Ha-ha-ha, bocah bodoh! Engkau seorang tokoh muda yang luar biasa, mengapa menganggap kami menganggu? Pertandingan ini amat berguna, tidak saja bagi pengalaman kami, akan tetapi juga bagimu sendiri. Kelak kau akan berterima kasih kepada kami. Hebat memang kepandaianmu, engkau patut menjadi murid Sie Cun Hong. Aku sudah menyaksikan kepandaianmu silat tangan kosong yang hebat, kini aku ingin sekali menyaksikan kepandaianmu menggunakan senjata! Keluarkan senjatamu, Cia Keng Hong!"

Keng Hong menggeleng kepala. "Aku tidak memusuhi Sam-wi Locianpwe, mengapa harus menggunakan senjata? Senjata tidak bermata, sekali salah tangan aku mendatangkan bencana."

Kakek itu tertawa. "Ha-ha-ha, hendak kulihat apakah engkau berani menghadapi Kai-ong Lo-mo tanpa senjata!" Sambil tertwa-tawa kakek itu menerjang ke depan, tangan kirinya menampar ke arah pelipis Keng Hong. "Syuuuuuuttt... Cettt!"

"Ihhhhh!" Keng Hong berteriak kaget. Ketika dia mengelak tamparan itu dengan menggerakkan tubuh atasnya ke belakang sehingga tangan kakek itu menyambar lewat tidak mengenai sasaran, tiba-tiba ujung lengan baju kakek itu menyambar ke arah pundaknya dengan kecepatan yang amat hebat.

Hanya dengan menjatuhkan diri ke belakang saja Keng Hong dapat menyelamatkan pundaknya. Kiranya kakek ini selain memiliki tenaga yang hebat, juga kedua ujung lengan bajunya yang panjang itu merupakan sepasang senjata yang amat ampuh. Setiap pukulan tangannya tentu didahului atau diikuti oleh menyambarnya ujung lengan baju ke depan ke bagian tubuh lawan yang tak dapat disangka-sangka, maka tentu saja biarpun bertangan kosong, kakek jembel ini sama dengan memegang sepasang senjata. Malah lebih lagi. Kalau dia memegang senjata berati kedua tangannya tidak dapat dipakai menyerang. Kakek ini kedua tangannya dapat menyerang, dan dua senjata istimewa itu pun dapat menyerang sehingga dia seolah-olah mempunyai empat buah lengan tangan!

Ketika kakek itu terbahak sambil menubruk maju dan kini tangan kanannya mendorong, Keng Hong sengaja mengakhiri pertandingan ini secepatnya maka melihat tangan kakek itu mendorong, dia lalu menyambut dengan dorongan tangannya sambil mengerahkan sinkangnya.

"Desssss...!" Tak dapat di tahan lagi tubuh Keng Hong mencelat sampai lima meter lebih ke belakang sedangkan kakek jembel itu tertawa-tawa. Keng Hong terkejut dan menyesal mengapa dia tadi lupa akan "senjata" istimewa kakek itu. Ketika dia menyambut telapak tangan kakek itu dengan telapak tangannya sendiri, tiba-tiba tangan dan lengannya menjadi lumpuh seketika, dan ternyata pergelangan tangannya telah tertotok oleh ujung lengan baju kakek itu. Maka tentu saja dia tidak dapat menahan dan tubuhnya terlempat jauh ke belakang. Untung dia masih menguasai tubuhnya dan berjungkir-balik sehingga dia tidak sampai terbanting.

"Ha-ha-ha-ha-ha! Apakah sekarang engkau asih tidak mau mencabut senjatamu, Keng Hong? Jangan khawatir, biarpun engkau bersenjata, belum tentu engkau akan dapat menang dariku!" Kakek ini memang tidak senang kalau dia dapat mengalahkan pemuda itu tanpa melalui pertandingan yang seimbang dan ramai. Kalau pemuda itu tidak bersenjata, tentu dia akan dapat memperolah kemenangan dengan mudah dah hal ini amat tidak menyenangkan hatinya!

Keng Hong maklum bahwa memang kakek itu lihai sekali. Kalau dia memaksa diri melawan dengan tangan kosong sehingga kalah, bukankah dia akan menyia-nyiakan semua usahanya mendapatkan kembali pusaka-pusaka itu? Dan kalau pusaka-pusaka itu tidak cepat dikembalikan kepada partai-partai yang berhak, berarti dia akan selalu dimusuhi orang. Apalagi kalau sampai terjatuh ke tangan tiga orang kakek iblis yang lihai ini, sampai kapan dia akan mampu merampasnya kembali?

Berpikir demikian, dia mencabut Siang-bhok-kiam dan berseru, "Maaf, Locianpwe! Engkau terlalu mendesak dan memaksaku!" Tubuhnya mencelat ke depan, sinar hijau Siang-bhok-kiam didahului bau yang harum menyambar ke arah Kai-ong Lo-mo. Kakek ini terkejut bukan main, cepat mengelak dan kedua ujung lengan bajunya juga bergerak, yang kiri menyampok sinar hijau, yang kanan membantu tangan kanan menghantam lambung dan perut Keng Hong.

"Brettt! Plak-plak!" Kakek itu terkejut karena ujung lengan bajunya putus disambar Siang-bhok-kiam, sedangkan pukulannya dapat ditangkis oleh Keng Hong dengan pengerahan sinkang yang membuat tubuh kakek itu tergetar. "Siang-bhok-kiam...!!" Kakek jembel berteriak dan matanya berkilat. "Siang-bhok-kiam...!! Tiba-tiba Bun-ong Lo-mo juga berteriak dan tubuh kakek sastrawan ini pun menerjang maju, memukul dan mencoba merampas pedang.

"Siang-bhok-kiam...!!" Thian-to Lo-mo juga menarjang dan mencoba merampas Pedang Kayu Harum.

"Eitttttt...!!" Keng Hong menggerakkan pedangnya membabat ke arah enam buah lengan yang seperti ular-ular rakus kelaparan hendak merampas pedangnya itu. Sinar hijau menyambar dan tiga orang kakek itu cepat menarik kembali lengan mereka. Keng Hong menggunakan kesempatan ini untuk meloncat mundur dan dia menegur dengan suara nyaring dan marah.

"Apa pula ini? Apakah Sam-wi sebagai orang-orang gagah yang terkenal hendak melanggar janji? Tidak malukah hendak mengeroyok saya?"

"Tidak ada janji!" Teriak kakek jembel. "Kami sudah kalah. Bawalah semua pusaka itu, kami tidak peduli. Akan tetapi, tinggalkan Siang-bhok-kiam itu kepadaku!"

"Tidak! Berikan kepadaku!"teriak Bun-ong Lo-mo, matanya memandang pedang kayu itu dengan sinar berapi. "Harus diberikan kepada pinto!" Thian-to Lo-mo juga berteriak.

Keng Hong marah sekali. "Apa-apaan ini? Pedang pusaka peninggalan suhu yang diberikan kepadaku. Mengapa Sam-wi memintanya?"

Tiga orang itu saling pandang, "Dahulu kita berebut pedang itu dengan Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong dan kita kalah. Sekarang pedang itu dibawa muridnya, kita harus merampas kembali dan kita tidak perlu saling berebut. Pedang itu cukup untuk kita bertiga." Kemudian dia memandang Keng Hong dan berkata, "Orang muda. Pedang Siang-bhok-kiam itu hanya pedang kayu, apa gunanya bagimu? Berikanlah kepada kami. Kami amat membutuhkannya."

Keng Hong mengerutkan keningnya menduga-duga namun tidak tahu apa gunanya pedang itu bagi mereka bertiga? Untuk mencari pusaka? Tidak mungkin karena pusaka-pusaka itu telah diambilnya dan sekarang bertumpuk di bawah pohon itu, di atas saputangannya. Untuk apakah?

"Sam-wi membutuhkan pedang kayu untuk apakah?"

***

"Ketahuilah, orang muda. Pedang Siang-bhok-kiam mempunyai khasiat yang mujijat untuk memperpanjang usia manusia! kayunya mengandung khasiat, obat yang dapat menambah umur sampai puluhan tahun! Kami yang sudah tua renta ini amat membutuhkannya!"

Keng Hong menjadi geli. Selain dia tidak percaya, juga dia merasa geli betapa tiga orang kakek yang tadinya tidak membutuhkan apa-apa itu kini seperti orang-orang kelaparan melihat roti ketika melihat pedang yang khasiatnya mereka duga bisa memperpanjang umur mereka! Sungguh manusia ini lucu sekali. Ingin sekali berusia sepanjang-panjangnya, kalau mungkin tidak bisa mati! Dan tentu saja, andaikata mereka itu benar-benar dapat diperpanjang usia mereka dan menjadi seperti orang muda lagi, tentu akan timbul pula nafsu-nafsu yang membuat mereka melakukan hal-hal jahat seperti di masa muda mereka dahulu! Akan tetapi, Keng Hong tidak peduli akan hal itu. Yang membuat dia keberatan memberikan pedang Siang-bhok-kiam adalah karena pedang itu peninggalan gurunya dan mutlak menjadi hak pribadinya!

"Tidak mungkin dapat saya berikan pedang ini, Sam-wi Locianpwe."

"Kalau begitu engkau akan kami bunuh dulu!!" Teriak mereka dan seperti orang gila tiga orang itu menerjang maju. Beru memperebutkan pedang saja mereka kini sudah kumat sifat jahat mereka pikir Keng Hong. Apalagi kalau diberi kesempatan memperpanjang usia. Dia cepat menggerakkan pedangnya menyambut serangan mereka. Dia mainkan Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut dan pedangnya berubah menjadi sinar hijau yang bergulung-gulung seperti seekor naga hijau mengamuk di angkasa. Akan tetapi, tiga orang kakek itu masing-masing telah memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa, kini mereka maju bertiga, tentu saja dalam waktu lima puluh jurus saja Keng Hong sudah terdesak hebat!

"Serahkan pedang...!" Tiba-tiba Thian-to Lo-mo menggulingkan tubuh dan mencengkeram ke arah kedua kakinya! Keng Hong kaget dan meloncat ke atas, akan tetapi dua jari telunjuk Bun-ong Lo-mo sudah mencegatnya dengan totokan-totokan kilat yang mengeluarkan bunyi bercuit nyarung. Kini tiga orang kakek itu benar-benar berusaha untuk membunuhnya dalam kegairahan hati mereka untuk merampas pedang! Ia membabatkan pedangnya ke arah telunjuk kanan Bun-ong Lo-mo, akan tetapi pada saat itu, pinggangnya kena dipeluk oleh Kai-ong Lo-mo dan tubuhnya ditarik ke bawah sehingga mereka berdua terjatuh. Ketika Keng Hong dapat melompat bangun kembali. Ternyata tiga buah tangan kakek itu telah mencengkeram pedang Siang-bhok-kiam dan mereka berempat saling mempertahankan dan hendak membetot pedang! Lepaskan pedang! Kalau tidak terpaksa ku bunuh engkau!" Kakek jembel membentak.

Akan tetapi Keng Hong tidak ingin kehilangan pedang warisan gurunya! Ia mempertahankan dan diam-diam dia mengerahkan sinkangnya yang hebat, bersedia untuk melawan sampai titik darah terakhir mempertahankan Siang-bhok-kiam!

"Bu-buk-buk...!" Melihat Keng Hong tidak mau melepaskan pedang, tiga buah kepalan tangan menghantamnya, di leher, pungung dan lambung. Akan tetapi, ketiga tangan kakek itu sekaligus menempel di tempel di tempat yang di pukul, bahkan kini tangan mereka yang mencengkeram pedang juga melekat! Serentak mereka merasa betapa hawa sinkang mereka itu menerobos keluar melalui kedua tangan seperti balon-balon membocor! Ketiganya terkejut sekali dan berusaha melepaskan kedua tangan. Akan tetapi karena dalam usaha ini mereka mengerahkan lebih banyak tenagalagi, hawa sinkang mereka membanjir keluar sehingga mereka menjadi lemas!

"Celaka... Thi-khi-I-beng...!" Si kakek jembel berteriak kaget. Beru sekarang dia teringat, juga kedua orang sutenya. Tadinya mereka tidak menyangka karena memang ilmu itu dianggap sudah lenyap.

Rasa kaget ini membuat hawa sinkang mereka menerobos lebih hebat. Keng Hong yang menerima sinkang itu, menampungnya di pusar, namun hawa sinkang ketiga orang kakek itu benar-benar amat kuatnya sehingga tubuh pemuda ini terguncang hebat, menggigil dan mukanya merah matanya melotot!

"Pergilah...!!!" Keng Hong berteriak, usaha yang baru berhasil setelah dia sejak tadi mencoba untuk melepaskan mereka. Biarpun dia sudah dapat menguasai tenaga sedot itu, akan tetapi karena hawa sinkang yang masuk amat kuatnya, melebihi kekuatannya sendiri, maka sukarlah dia menguasainya dan setelah ketiga orang kakek itu hampir habis tenaganya, barulah dia berhasil menggerakkan tubuh mereka mencelat dan roboh tak dapat bangun kembali karena sebelum terlempar pun mereka itu sudah sekarat! Keng Hong juga terguling dan roboh dengan pedang Siang-bhok-kiam masih di tangan, dan dia pingsan!

Tiba-tiba sesosok tubuh berkelebat keluar dari balik semak-semak dibarengi ketawanya yang mengerikan. "Hi-hi-hik-heh-heh-hehhhhh!" Dan bayangan itu setelah berdiri di situ, memandang tiga sosok mayat Thian-te Sam-lo-mo, lalu memandang tubuh Keng Hong yang pingsan, kemudian memandang tumpukan pusaka dan pedang Siang-bhok-kiam di tangan Keng Hong, kembali tertawa terkekeh-kekeh, kelihatannya gembira sekali. Akan tetapi kalau ada orang melihatnya ini tidak akan ikut menjadi gembira seperti dia, melainkan ketakutan dan mungkin tidak bisa lari dan akan terkencing saking takutnya. Memang, nenek ini amat mengerikan, menyeramkan dan menjijikan. Usianya tentu tidak kalah jauh oleh Thian-te Sam-lo-mo, akan tetapi biar dia sudah amat tua, kulit mukanya masih berwarna merah sekali, malah terlalu merah seperti berlepotan darah!

Giginya masih lengkap, besar-besar dan meruncing seperti gigi gergaji, rambutnya riap-riapan seperti sarang burung dirusak angin, kuku tangannya panjang-panjang melengkung dan runcing. Akan tetapi, setua itu, hampir seratus tahun, pakaiannya terbuat dari sutera hitam yang baru dan tipis, membungkus tubuhnya dengan ketat sehingga kelihatan seperti telanjang sedangkan buah dadanya luar biasa besarnya.

"Hi-hi-hik! Dicari setengah mati tidak dapat, tidak dicari malah datang sendiri! Ha-ha-ha-heh-heh! Thi-khi-I-beng tadi benar hebat sekali, sampai tiga ekor anjing tua bangka itu tidak dapat menahan. Hebat! Tentu di sana kitabnya!"Nenek itu cepat memeriksa tumpukan kitab, perhiasan dan senjata, membalik-balik semua kitab lalu menyumpah-nyumpah! Sekali bergerak tubuhnya melesat dekat tubuh Keng Hong yang pingsan, menyambar Siang-bhok-kiam, kemudian ia mengayun pedang itu ke arah leher Keng Hong! Akan tetapi, tiba-tiba ia menahan sabetannya dan terkekeh lagi. "Hanya dia yang punya Thi-khi-I-beng! Ho-ho-hi-hi-hik, mungkin dia keras hati seperti Sie Cun Hong. Akan tetapi hendak kulihat sampai di mana kekerasannya!" Sabil tertawa-tawa mengikik nenek ini lalu mengambil sepasang golok emas pusaka Kong-thong-pai dan dengan mudahnya ia menekuk kedua golok emas itu sapai melengkung dan membentuk dua buah kaitan dari emas! Kemudian, sambil terkekeh-kekeh sehingga air ludah muncrat-muncrat melalui giginya yang besar-besar, nenek itu lalu menancapkan sepasang kaitan ke arah pundak Keng Hong.

"Plak-plak-plak...! Aiiihhhhh!!" Tubuh nenek itu terhuyung-huyung ke belakang dan sepasang golok yang sudah menjadi kaitan-kaitan emas itu terlepas dari tangannya. Ternyata bahwa hawa sinkang yang memenuhi tubuh Keng Hong sampai melewati takaran, yaitu hawa sinkang Thian-te Sam-lo-mo tadi, masih berputaran di tubuhnya, tidak menemukan jalan keluar sehingga ketika pundak itu tersentuh tenaga dari luar, otomatis tenaga sinkang itu menyambut dan menendang.

Nenek ini bukan lain adalah Ang-bin Kwi-bo, seorang di antara keempat datuk hitam yang terkenal disebut Bu-tek Su-kwi (Empat Iblis Tanpa Tanding). Dia memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi tingkatnya, memiliki pengalaman yang amat luas, maka setelah hilang kagetnya, ia mengangguk dan memandang ke arah pemuda itu yang masih pingsan. Ia mencelat maju lagi, kini kepalanya digerakkan dan ujung rambutnya melecut ke depan, dua kali menotok ke arah dua jalan darah Keng Hong di kedua pundak. Karena ujung rambut ini merupakan benda lemas, dan memang menjadi keistimewaan Ang-bin Kwi-bo untuk menggunakan rambutnya di samping kukunya sebagai senjata, maka jalan darah di kedua pundak itu kena ditotok sehingga tertutup dan hawa sinkang yang berputaran di tubuhnya itu tidak dapat menembus ke pundak. Setelah terkekeh girang Ang-bin Kwi-bo kembali menggerakkan sepasang kaitan emas itu dengan kedua tangannya.

"Cresss! Cresss!" Karena tangan Ang-bin Kwi-bo memang ahli dan tanaganya kuat sekali, dengan mudah saja kedua kaitan emas itu menancap di daging pundak, terus di putar sehingga kaitan-kaitan itu kini menancap dan mengait kedua tulang pundak Keng Hong!

"Auggghhh...!" Keng Hong bergerak, matanya terbuka dan mulutnya mengeluh. "Aduhhh... aduhhh..." Ia mencoba akan bangun namun terbanting kembali ketika Ang-bin Kwi-bo menarik ikat pinggangnya yang ujungnya ditalikan kepada dua gagang golok dan mengait kedua pundak Keng Hong itu. Tentu saja tarikan itu membuat sepasang kaitan itu mengait dan menarik tulang pundak Keng Hong dan Keng Hong terbanting roboh sambil mengeluh. Rasa nyeri di pundaknya bercampur dengan rasa uak yang timbul oleh gerakan sinkang yang berlebihan di tubuhnya.

"Hah-hah-hah-hi-hik! Cia Keng Hong, engkau murid Sin-jiu Kiam-ong, masih ingatkah kepadaku?"

***
lanjut ke Jilid 065-->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar