Rabu, 15 Januari 2014

Jodoh Rajawali Jilid 4.

Jodoh Rajawali Jilid 4.
Jodoh Rajawali Jilid - 4 Bu Kek Sian Su (10) Jodoh Rajawali Jilid - 4 “Siapa kau....?” Syanti Dewi bertanya suaranya halus nyaring. Panglima Mohinta menengok kaget dan pada saat itu, dara jelita itu melirik ke arah sebuah arca batu sebesar manu¬sia di dekat empang, lalu tangannya yang agak tergetar bergerak ke arah Panglima Mohinta. Syanti Dewi terbelalak pucat melihat sesuatu yang amat luar biasa. Dia me¬lihat Panglima Mohinta memandang se¬perti orang bingung, kemudian panglima itu bangkit berdiri, menghampiri arca batu dan mencumbu-rayu arca itu, me¬nyebutnya “Adinda Syanti Dewi”! Jelas bahwa Panglima Mohinta menganggap arca itu adalah dia dan kini panglima itu merayu arca, merangkul dan menciumi Wajah Syanti Dewi yang pucat menjadi merah sekali dan kembali dia memandang dara yang cantik dan aneh itu. Dara itu melangkah dekat menghampirinya, lalu mengedip-ngedipkan mata sambil ter¬senyum manis, berbisik, “Puteri, lupakah engkau padaku?” Syanti Dewi memandang penuh selidik dan kini dia merasa pernah bertemu dengan dara cantik yang bersikap jenaka ini, akan tetapi dia tidak ingat lagi ka¬pan dan di mana. “Aku Siang In.... eh, yang dulu per¬nah membantumu.... guruku adalah See-¬thian Hoat-su yang pernah menolong¬mu “ Berseri wajah Syanti Dewi. “Aihhh, Si tukang sulap itu....?” teriaknya. “Sssttttt....!” Dara itu tersenyum dan memberi isyarat ke arah Panglima Mo¬hinta yang masih merayu arca. “Mari kita bicara di dalam. Aku sengaja datang untuk menjengukmu, Puteri Syanti Dewi.” Siang In, dara itu, menggandeng ta¬ngan Syanti Dewi dan mereka berdua lalu melangkah keluar dari taman. Di pintu gerbang taman itu yang menghu¬bungkah taman dengan gedung istana tempat yang ditinggali Syanti Dewi, nampak beberapa orang penjaga. Melihat ini, Syanti Dewi agak khawatir, akan tetapi kembali Siang In memberi isyarat dengan kedipan mata, kemudian dara yang masih menggandeng tangan Syanti Dewi sambil mengempit payung di bawah ketiak itu memegang ujung rambutnya yang panjang dan memasang sedikit ujung rambut itu melintang di bawah hidungnya, seolah-¬olah dia hendak memakai kumis seperti Panglima Mohinta. Kemudian, dengan lenggang gagah dan lucu sambil meng¬gandeng Syanti Dewi, dia lewat di pintu. “Heh, semua penjaga jangan lengah! Jaga yang baik dan teliti, mengerti?” bentaknya dengan suara dibesarkan dan menurut pendengaran Syanti Dewi, suara dara itu persis suara Panglima Mohinta! Tujuh orang penjaga berdiri dalam barisan, tegak dan membusungkan dada. Pemimpin mereka menjawab “perintah” dara itu, “Siap, Panglima!” Setelah mereka memasuki kamar Syanti Dewi, Siang In tertawa-tawa geli dan Syanti Dewi yang juga tersenyum geli akan tetapi keheranan itu bertanya, “Eh, apa yang telah kaulakukan tadi? Mengapa Panglima Mohinta merayu pa¬tung dan para penjaga itu menyebut engkau panglima?” Siang In melempar payungnya ke atas meja, lalu menjatuhkan diri di atas dipan rendah yang penuh bantal dan meneliti kamar yang amat indah itu. “Aaahhhhh, nyamannya di kamar ini!” Dia mengeluh panjang dan memejamkan matanya se¬jenak, dipandang oleh Syanti Dewi yang masih tersenyum karena sikap lucu dara jelita itu. “Hi-hik, masih mending merayu arca batu yang dingin daripada merayu se¬orang gadis yang bersikap dingin seperti engkau, Puteri! Dan para penjaga itu tentu saja mengira bahwa aku adalah pang¬lima perayumu itu, hik-hik. Lucu, ya?” “Tapi.... tapi mengapa bisa begitu? Bingung aku.... apa sih yang sebetulnya telah terjadi?” “Aihhhhh.... kau tadi bilang sendiri bahwa guruku tukang sulap! Aku sebagai muridnya tentu saja pandai main sulap juga.” Syanti Dewi terbelalak, kemudian tertawa dan merangkul dara cantik itu. Terdengar suara ha-ha-hi-hi keduanya tertawa dan baru sekarang selama ber¬tahun-tahun ini Syanti Dewi dapat tertawa segembira itu karena hatinya geli bukan main. “Ah-he-heh-hi-hik, jadi kau.... hi-hik, kau tadi menggunakan sihir dan dia itu, panglima itu.... hik, hik, dia menganggap arca tadi?” “Disangkanya engkau, maka dipeluk dan diciumnya, ah, dia tampan dan gan¬teng juga, eh!” Syanti Dewi bersungut-sungut. “Huh, siapa sudi? Kalau aku yang dibegitukan, kutampar dia! Kusuruh tangkap pengawal dan kusuruh gantung....!” “Ee-eeeiiiiittt, mengapa begitu? Puteri Syanti Dewi, aku mendengar dari luaran bahwa Panglima Mohinta itu adalah tu¬nanganmu, bukan?” Tiba-tiba hati puteri itu menjadi nelangsa lagi, diingatkan akan kenyataan yang tidak disukanya itu. Dia menjatuh¬kan diri di atas pembaringan, menelung¬kup dan menyembunyikan muka di bantal. Siang In meloncat dan duduk men¬dekatinya, merangkul dan menariknya bangun. Pipi yang halus itu basah. Siang In tersenyum, menghibur dan menghapus air mata itu. Dua orang dara ini me¬mang sama-sama cantik jelita, hanya bedanya, bagaikan bunga, Syanti Dewi adalah bunga halus yang terpelihara di dalam taman, kelihatan lembut dan lu¬nak, sebaliknya Siang In seperti setangkai bunga di hutan, cantik jelita kuat, bebas, liar dan memiliki daya tarik tersendiri. Melihat kemesraan yang diperlihatkan Siang In, Syanti Dewi teringat akan adik angkatnya, yaitu Candra Dewi atau Ceng Ceng, yang amat dicintanya maka dia merangkul leher Siang In. “Engkau cantik sekali, Puteri,” Siang In berkata. Syanti Dewi mengambung pipi dara itu. “Terima kasih, Siang In, engkau pun manis sekali dan engkau mengingatkan aku kepada adik angkatku yang tercinta, Ceng Ceng.” Sejenak mereka saling pandang, me¬ngagumi kecantikan masing-masing. Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali telah diceritakan bahwa puteri itu mem¬punyai seorang adik angkat yang bernama Lu Ceng atau Ceng Ceng, atau juga di¬sebut Candra Dewi. Ceng Ceng kini te¬lah menjadi isteri dari pendekar sakti yang terkenal sebagai Naga Sakti Gurun Pasir, yaitu Kao Kok Cu putera sulung dari Jenderal Kao Liang. Dan siapakah dara cantik jelita, je¬naka dan aneh yang bernama Teng Siang In itu? Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali juga diceritakan dengan jelas tentang dara ini yang pada waktu it baru berusia lima belas tahun. Teng Siang In adalah seorang dara berasal dari Lembah Pek-thouw-san (Gunung Kepala Putih), dan dia adalah puteri dari mendiang Yok-sian (Dewa Obat), seorang ahli peng¬obatan yang amat terkenal. Dalam keadaan sebatangkara, karena orang tuanya telah meninggal, dan juga encinya yang merupakan satu-satunya keluarganya juga mati terbunuh (baca Kisah Sepasang Rajawali), akhirnya dara jelita ini bertemu dengan seorang kakek aneh yang ber¬ilmu tinggi dan pandai ilmu sihir. Kakek itu bernama See-thian Hoat-su dan Siang In lalu diambilnya sebagai murid. Selama empat tahun lamanya Siang In digembleng oleh gurunya itu, tidak hanya menerima pelajaran ilmu silat tinggi, melainkan juga menerima pelajaran ilmu sihir sehingga kini Siang In muncul se¬bagai seorang dara yang dewasa, cantik jelita, lihai ilmu silatnya dan lebih hebat lagi ilmu sihirnya! Demikianlah sedikit riwayat Teng Siang In, dara cantik yang menggegerkan Bhutan karena begitu dia muncul, ter¬jadilah geger dan tersiar berita bahwa Kerajaan Bhutan kemasukan siluman can¬tik! Tidak lama setelah Syanti Dewi dan Siang In meninggalkan taman, sedikit demi sedikit buyarlah pengaruh sihir yang dilakukan oleh dara itu atas diri Pang¬lima Mohita. Dapat dibayangkan betapa terkejut dan heran rasa hati panglima muda ini ketika dia sadar dan mendapat¬kan dirinya memeluk dan menciumi arca batu, sedangkan ketika dia menengok ke arah bangku, Puteri Syanti Dewi telah tidak berada di tempat itu lagi! Dia merasa serem dan ngeri, juga bingung. Sejenak dia memandang ke kanan kiri, mengingat-ingat dan tengkuknya terasa dingin, bulu tengkuknya meremang karena dia teringat akan berita tentang siluman! Tadi jelas bahwa Syanti Dewi duduk di bangku itu, dan dia berusaha untuk me¬rayu tunangannya yang bersikap dingin itu. Entah bagaimana, dia tadi melihat seolah-olah Syanti Dewi menyambut cumbu rayunya, bahkan membalas peluk¬annya, dan membalas pula ciuman-ciuman¬nya penuh gairah. Akan tetapi ternyata bahwa yang dipelukciumnya itu adalah arca batu yang kotor dan Syanti Dewi sudah lenyap! “Uhhhhh....!” Panglima Mohinta meng¬gigil dan meraba tengkuknya. Dia adalah seorang panglima muda yang berani, namun sekarang dia merasa ngeri dan takut juga berada seorang diri di dalam taman yang sepi itu. Penerangan di da¬lam taman itu yang hanya datang dari dua buah lentera yang tergantung di bawah pohon, tertiup angin bergerak¬-gerak, menghidupkan bayang-bayang di sekelilingnya, menambah serem keadaan. Suara belalang, jengkerik dan burung malam yang mengasyikkan bagi mereka, menambah serem suasana dan Panglima Mohinta yang pemberani itu kini ber¬gegas setengah lari melangkah keluar dari taman. “Siap....!” Teriakan dan gerakan tu¬juh orang penjaga taman itu membuat Panglima Mohinta hampir menjerit dan panglima muda ini terloncat kaget memandang kepada tujuh orang itu. Akan tetapi sebaliknya, tujuh orang penjaga itu pun memandang kepadanya dengan mata terbelalak penuh keheranan. Panglima Mohinta mengerutkan alis¬nya. Mengapa mereka memandang ke¬padanya seperti itu? Adakah sesuatu yang aneh pada mukanya? Dia meraba-¬raba mukanya dan menghapus-hapus muka itu, kalau-kalau ada coreng-moreng di situ. Akan tetapi tujuh orang itu tetap saja memandang kepadanya dengan mata aneh dan bingung. “Heh, kalian melihat apa?” bentak¬nya marah, hampir memukul kepala pen¬jaga yang menjadi ketakutan. “Ah, maaf, Panglima.... eh, kapan¬kah Panglima masuk lagi ke taman? Baru saja kami melihat Panglima keluar“ “Heh, apa maksudmu? Bicara yang benar!” Panglima Mohinta membentak. “Kami bertujuh baru saja melihat Panglima keluar, menggandeng Puteri memasuki istana dan.... dan panglima menggandeng Puteri dengan mesra, dan mengempit payung“ “Mengempit payung? Gilakah ka¬lian?” Panglima Mohinta membentak, akan tetapi kembali tengkuknya terasa dingin karena dia sudah merasa ngeri. Pada saat itu terdengar teriakan me¬ngerikan dari istana. Panglima Mohinta dan para penjaga terlonjak kaget, akan tetapi, mereka dipimpin oleh panglima segera lari cepat ke arah istana dan di jalan mereka bertemu dengan para pen¬jaga dan pengawal yang juga sudah ber¬lari-larian menuju ke arah datangnya teriakan itu. “Tolong.... aduhhh, tolooonggg.... si.... siluman.... ssssetannnnn....!” terdengar teriakan itu. Ketika mereka semua tiba di tempat suara, ternyata yang berteriak-teriak itu adalah Pendeta Nalanda, pendeta tinggi besar yang tidak mengenakan jubah lagi, juga kopyahnya hilang dan sebagai ganti¬nya, mukanya coreng-coreng hitam. Dia berteriak-teriak ketakutan, matanya ter¬belalak memandang ke kanan kiri. Seorang pengawal cepat mengambil air, dan ketika pendeta yang akan diberi minum itu masih berteriak-teriak dan tidak mau minum, air itu disiramkan ke atas kepalanya yang gundul. Pendeta Nalanda gelagapan dan sadar. “Ah.... eh.... ya ampun.... ada.... setan.... wanita cantik....” dia lalu men¬ceritakan munculnya siluman cantik yang membuatnya tidak berdaya, merampas jubah dan kopyahnya, dan mencoreng mukanya dengan pedang kayu yang di¬lumuri abu pendupaan. Seorang siluman cantik yang memegang payung. “Membawa payung?” Panglima Mohin¬ta bertanya dengan mata terbelalak dan punggungnya terasa dingin. Tidak salah lagi, tentu ada siluman yang membawa payung, karena tadi pun para penjaga melihat dia membawa payung. Tentu si¬luman itu! Dan siluman itu menyamar sebagai dia menggandeng tangan Syanti Dewi! “Celaka, kita harus melapor kepada Sri Baginda!” teriaknya dan dia bergegas memasuki istana. Sementara itu, di dalam kamar Syanti Dewi, puteri itu masih tertawa-tawa bersama Siang In yang menceritakan betapa dia telah menggoda para penjaga. “Apakah mereka di pintu gerbang tidak menyerangmu?” tanya Syanti Dewi dengan senyum lebar selalu menghias bibirnya, senyum yang selama ini hampir dilupakannya. Berdekatan dengan Siang In, mendengar penuturan dara itu, telah membuat Sang Puteri timbul kembali kegembiraannya dan membawa dia kem¬bali ke alam bebas, alam liar seperti ketika dia berkelana dahulu. “Tentu saja mereka mengejarku, dan aku cepat mengenakan sesuatu dan ke¬tika mereka sudah dekat, aku membalik seperti ini....“ “Ihhhhh....!” Syanti Dewi menjerit, terbelalak menatap wajah yang tadinya begitu cantik manis, akan tetapi sekarang telah berubah menjadi wajah yang luar biasa mengerikan, wajah yang halus polos tanpa tonjolan, tanpa mata hidung atau mulut! “Hik-hik, kau juga ngeri!” Siang In melepaskan kedoknya dan Syanti Dewi terkekeh-kekeh saking geli hatinya, meng¬ambil kedok itu dari tangan Siang In dan memandanginya. Kedok itu hanya sehelai penutup muka seperti karet yang halus sekali, entah dibuat dari apa. “Dan pendeta gundul yang lucu itu, hi-hik.” “Kaumaksudkan Pendeta Nalanda? Kauapakan pula dia?” Syanti Dewi makin tertarik dan bertanya. “Tidak apa-apa, hanya kucoreng-moreng mukanya.” Siang In lalu menceritakan pertemuannya dengan pendeta itu dan berderailah suara ketawa Syanti Dewi. Dua orang dara yang sedang bergem¬bira itu sama sekali tidak tahu bahwa pada saat itu, Sri Baginda Raja Bhutan sendiri sedang berdiri di luar kamar Syanti Dewi dengan mata terbelalak, terheran-heran mendengar suara ketawa puterinya. Tentu saja hati raja ini senang mendengar suara ketawa puterinya, suara yang beberapa tahun lamanya tidak per¬nah didengarnya lagi. Akan tetapi karena suara ketawa ini dilakukan puterinya yang berada sendirian di dalam kamar, tentu saja menimbulkan perasaan bim¬bang dan khawatir, juga ngeri. Hanya seorang gila saja yang tertawa-tawa geli seperti itu seorang diri saja di dalam kamar. Empat orang pengawal Sri Baginda, dua orang kepala pendeta, dan Panglima Mohinta yang menemani raja juga ter¬belalak dan saling pandang penuh ke¬ngerian. Jelaslah bagi mereka yang se¬dang panik oleh berita siluman, bahwa Sang Puteri tentulah diganggu siluman! “Syanti....! Buka pintu....!” Ketukan pintu dan suara Sri Baginda ini membuat Syanti Dewi terlonjak ka¬get. Mukanya menjadi pucat ketika dia memandang kepada Siang In. Akan tetapi Siang In hanya tenang-tenang saja, ma¬lah tersenyum dan berbisik, “Bukalah pintu dan anggap saja aku tidak ada di kamar ini.” Syanti Dewi bimbang. Dia khawatir sekali karena tentu Siang In akan di¬tangkap dan dihukum karena dianggap mengacau istana. Akan tetapi dengan gerakan kepala dan tangan Siang In men¬desaknya untuk membuka pintu karena ketukan pada pintu makin gencar dan suara Sri Baginda makin mendesak. Syanti Dewi melangkah, menghampiri pintu dan sekali lagi dia menengok dan dia melihat Siang In sudah duduk bersila di atas lantai dekat pembaringannya. Gadis itu tersenyum dan kelihatan tenang saja sehingga mau tak mau Syanti Dewi menjadi kagum dan juga terheran-heran. Dia menurunkan ganjal pintu dan membuka daun pintu. Serentak masuklah Sri Baginda yang ditemani oleh Panglim Mohinta, empat orang pengawal dan dua orang pendeta. Semua mata memandang ke seluruh kamar dan Syanti Dewi sudah menanti dengan hati berdebar akan seruan mereka melihat Siang In yang duduk bersila di lantai. Akan tetapi, aneh bin ajaib! Tidak ada seorang pun yang menyinggung-nyinggung kehadiran gadis asing itu di dalam kamarnya. Padahal dia melihat sendiri betapa semua mata tentu dapat melihat gadis itu yang masih duduk tersenyum setelah tadi tangan kiri nya diangkat dan digerakkan seperti memberi salam kepada mereka yang baru memasuki kamar! “Syanti, dengan siapa engkau di kamarmu ini?” Sri Baginda bertanya sedangkan Panglima Mohinta berjalan hilir mudik dengan mata mencari-cari, bahkan kakinya lewat dekat sekali dengan tubuh Siang In. “Tidak dengan siapa-siapa, Ayah. Saya sedang tidur, mengapa Ayah dan semua orang ini datang mengganggu dan memb¬angunkan saya?” Syanti Dewi berkata engan nada suara tidak senang. “Hemmm.... tidur? Akan tetapi tadi dari luar kami mendengar engkau ter¬tawa-tawa, Syanti. Jangan engkau mem¬hongi Ayahmu.” “Sungguh saya sedang tidur dan kalau saya tertawa, agaknya itu terjadi dalam mimpi.” “Ah, engkau mimpi? Mimpi apa? Ber¬temu dengan silum...., dengan siapa?” Sri Baginda yang sudah dicekam rasa ngeri yang meliputi seluruh istana itu bertanya. Syanti Dewi menjadi bingung dan melirik ke arah Siang In. Gadis ini men¬udingkan telunjuknya ke arah Panglima Mohinta yang masih hilir mudik. “Saya mimpi bertemu dengan.... Pang¬lima Mohinta....“ “Ah, jadi Adinda mimpi bertemu de¬ngan saya?” Panglima muda itu bertanya dengan wajah berseri. Syanti Dewi mengangguk. “Di dalam mimpi, saya melihat.... Kakanda Mohinta menjadi seorang badut yang sangat lucu, maka saya tertawa....“ Wajah yang tadinya berseri itu ber¬ubah merah, dan Panglima Mohinta lalu menghampiri Siang In yang sedang duduk bersila, memandang penuh perhatian. Sri Baginda juga menujukan pandang matanya kepada Siang In sehingga jantung Syanti Dewi berdebar tegang. Agaknya mereka kini telah dapat melihat gadis itu, pikir¬nya khawatir. “Syanti Dewi, sejak kapan ada kursi bagus ini di dalam kamarmu?” Sri Bagin¬da tiba-tiba bertanya sambil menuding ke arah Siang In yang duduk bersila. Syanti Dewi terkejut dan terheran, akan tetapi segera dia teringat bahwa dara cantik itu adalah seorang ahli sulap agaknya, seperti gurunya, maka dia dapat men¬duga bahwa tentu Siang In menggunakan sihirnya pula sehingga orang melihatnya seperti sebuah kursi! “Kursi....? Eh, inikah, Ayah? Ini ada¬lah kursi hadiah yang saya terima dari seorang pelayan, katanya kursi antik.... “ “Memang bagus sekali, tentu enak di¬duduki....“ Panglima Mohinta kini meng¬hampiri Siang In, siap untuk duduk di atas kepala gadis itu! Pantatnya su¬dah dipasang hendak duduk. Tentu saja Syanti Dewi menjadi cemas sekali dan Siang In tidak sudi membiarkan kepalanya diduduki orang. Cepat dia meng¬gerakkan payungnya yang tadi telah di¬sambarnya dari atas meja ketika rom¬bongan raja masuk dan ujung payungnya digerakkan menyambut datangnya pantat yang hendak menduduki kepalanya. “Cusssss.... aduhhhhh....!” Panglima Mohinta terloncat kaget ketika merasa betapa pantatnya ditusuk ujung payung. “Ehhh, kursimu ada pakunya, Adinda Syanti Dewi!” Akan tetapi diam-diam panglima ini bergidik ngeri karena dia tidak melihat ada paku di kursi itu! Setelah melihat jelas bahwa kamar puterinya itu biasa saja dan tidak terdapat siluman di situ, Sri Baginda lalu berkata, “Syukurlah kalau tidak ada apa¬apa, anakku. Tidurlah dengan tenang.” Dia lalu keluar lagi dari kamar Puteri Syanti Dewi, diikuti oleh rombongannya setelah dua orang pendeta membaca doa untuk melindungi puteri dari gangguan siluman. Setelah Syanti Dewi menutupkan kem¬bali daun pintu kamarnya, dia dan Siang In tertawa-tawa lagi, akan tetapi Syanti Dewi menutupi mulutnya dan memberi isyarat kepada nona itu agar jangan ter¬tawa keras. Kemudian, puteri yang kini sudah menemukan kembali kegembiraan hidupnya itu lalu menggandeng tangan Siang In, diajak duduk bersanding di atas pembaringan. Dia makin kagum melihat gadis ini yang masih amat muda akan tetapi sudah cantik sekali, berilmu tinggi dan aneh. “Siang In, engkau sungguh hebat. Apakah engkau tadi mengubah diri dalam pandangan mereka, menjadi sebuah kursi?” tanya puteri itu, memandang kagum. Siang In mengangguk dan cemberut. Mulutnya diruncingkan akan tetapi dia masih saja kelihatan manis, “Hampir sial aku, kepala ini hampir di duduki orang, biarpun orangnya tunanganmu yang tam¬pan dan ganteng itu, Puteri....“ “Hushhh, jangan berkata demikian, aku.... aku benci padanya!” “Eihhhhh? Aku mendengar bahwa Pu¬teri Syanti Dewi kini bertunangan dengan Panglima Mohinta, dan melihat tadi ra¬yuan maut di taman....“ “Sudahlah, Siang In.” Syanti Dewi menghela napas panjang. “Aku tidak ingin bicara tentang dia. Sekarang katakan, apakah kehendakmu maka engkau ber¬susah payah menggunakan kepandaian menempuh bahaya mencari aku di sini?” “Aku sedang mencari seseorang, Pu¬teri. Dan karena aku merasa bahwa aku telah mengenalmu, juga mengenal Pang¬lima Jayin, maka aku lalu mampir. Aku mencari keterangan dulu dan mendengar bahwa engkau masih belum menikah, Puteri akan tetapi sudah bertunangan de¬ngan Panglima Mohinta. Tentu saja aku tadinya merasa bingung dan heran, karena bukankah.... eh, pemuda aneh dan lihai bernama Ang Tek Hoat itu da¬hulu....“ Siang In tidak melanjutkan kata-kata¬nya karena dia melihat betapa wajah yang cantik dari puteri itu menjadi pu¬cat, matanya redup dan membayangkan kedukaan hebat dia menyebut nama pe¬muda itu. “Adik yang baik.” Syanti Dewi kini memandang dara itu. “Apakah yang telah kaudengar tentang Ang Tek Hoat?” “Aku dahulu mendengar bahwa Ang Tek Hoat berjasa besar di Bhutan, bah¬kan diangkat menjadi panglima dan di¬jadikan calon suamimu. Di mana dia sekarang dan mengapa engkau sekarang menjadi tunangan Panglima Mohinta?” Ditanya begini, tiba-tiba Puteri Syan¬ti Dewi menangis! Sudah terlalu lama dia tidak pernah menangis lagi, seolah-olah air matanya sudah mengering akan tetapi kegembiraan tadi, tertawa-tawa bersama Siang In tadi, agaknya juga mengem¬balikan pula kemampuannya untuk me¬nangis. Melihat puteri yang keadaan hidup¬nya dilimpahi kemuliaan itu agaknya menderita kesengsaraan batin, Siang In memegang tangannya dengan sikap meng¬hibur dan berkata lembut, “Puteri, ja¬ngan terlalu membiarkan diri terseret oleh arus kesedihan. Segala kesukaran di du¬nia ini dapat diatasi dan untuk itu kita harus berusaha, tidak hanya cukup untuk ditangisi dan disedihkan belaka. Cerita¬kanlah kepada adikmu ini, apakah yang terjadi sehingga engkau terpisah dari Ang Tek Hoat dan menjadi tunangan pang¬lima yang tidak kau cinta itu?” Dia mengangguk-angguk meyakinkan. “Ceritakan dan aku akan menolongmu sedapat mungkin, Puteri.” Karena baru sekarang dia bertemu dengan seorang yang memperhatikan nasibnya, yang tidak akan mungkin di¬lupakannya itu, timbul pula semangat Syanti Dewi dan berceritalah dia tentang kepergian Ang Tek Hoat dari Bhutan. Betapa kemudian dia dipaksa untuk men¬jadi tunangan Panglima Mohinta dan betapa sampai saat ini, setelah lewat empat tahun, dia selalu menolak kalau hendak dinikahkan karena sampai kini dia masih menanti Tek Hoat dan percaya akan cinta kasih pemuda itu. “Aku tidak percaya kalau dia pergi begitu saja meninggalkan aku. Aku yakin pasti ada sesuatu terjadi. Kalau saja dia pergi berpamit, kalau saja aku tahu apa yang terjadi, dan andaikata dia memutus¬kan cinta secara terus terang, tentu aku tidak akan menderita dalam keadaan yang serba tidak menentu ini. Adik Siang In“ Puteri mengakhiri ceritanya. Siang In mengerutkan alisnya. Dia adalah seorang dara yang sejak kecil¬nya biasa hidup bebas, tidak pernah ter¬kekang, seperti seekor burung di udara. Boleh jadi, seperti juga burung yang bebas, kadang-kadang dia harus men¬derita kekurangan makan, menderita kepanasan dan kehujanan, namun semua itu tidak mengurangi kebahagiaan dari keadaan bebas. Tidak seperti Syanti Dewi yang andaikata seekor burung hidup di dalam sangkar, biarpun sangkar itu ter¬buat daripada emas dan dihias permata, biarpun di dalam sangkar itu penuh dengan makanan berlimpah. “Puteri....“ “In-moi (Adik In), setelah semua isi hatiku kuceritakan padamu, engkau sudah kuanggap sebagai adikku sendiri, sebagai pengganti adik angkatku Ceng Ceng, maka janganlah kau menyebut Puteri lagi padaku. Sebut saja Enci (Kakak).” “Baiklah Enci Syanti Dewi,” jawab Siang In sambil tersenyum dan wajahnya berseri. “Aihhhhh, siapa sangka aku akan mempunyai enci seorang puteri kerajaan! Begini, Enci Syanti Dewi. Terus terang saja, engkau terlalu lemah dalam hal ini. Mengapa selama bertahun-tahun ini eng¬kau diam saja, menenggelamkan diri dalam air mata dan kedukaan? Mengapa engkau tidak mau bertindak?” “Bertindak? Tindakan apa yang dapat dilakukan seorang wanita seperti aku? Dan Ayah mengambil keputusan itu tentu demi cintanya kepadaku, bagaimana aku dapat membantah kehendak Ayah?” “Hemmm.... mencintamu? Terus te¬rang saja, Enci, maafkan kata-kataku yang jujur dan mungkin tidak enak di¬dengar ini. Akan tetapi.... jelas bahwa Ayahmu, Sri Baginda Raja itu, tidak mencintamu, Enci.” Dengan wajahnya yang agak pucat dan matanya yang masih basah Syanti Dewi mengangkat mukanya memandang wajah Siang In penuh selidik. Kerut di keningnya menunjukkan bahwa dia sama sekali tidak setuju dengan pendapat nona itu. “Bagaimana kau bisa mengatakan demikian, In-moi? Ayahku mencintaku karena aku anaknya dan seperti juga semua ayah di dunia ini, dia melakukan semua itu demi cintanya kepadaku.” “Hemmm, pendapat yang kolot dan keliru, Enci Syanti. Tidak, Ayahmu, se¬perti juga kebanyakan ayah di dunia ini, pada hakekatnya hanya mencinta dirinya akan tetapi cinta pada dirinya sendiri ini tersembunyi dan ditutup-tutupi oleh dalih mencinta anak-anaknya! Semua tindakan¬nya terhadap dirimu itu sama sekali bukan karena cintanya kepadamu, me¬lainkan karena cintanya kepada diri sen¬diri!” “Eh, bagaimana kau bisa bilang begitu Siang In?” “Coba saja renungkan. Orang yang mencinta tentu selalu menunjukkan tin¬dakan-tindakannya untuk membahagiakan dan menyenangkan orang yang dicinta, bukan?” Syanti Dewi mengangguk. “Nah, tindakan Ayahmu memisahkan engkau dengan Tek Hoat dan memaksa¬mu berjodoh dengan Mohinta ini, apakah tindakan ini membahagiakan dan me¬nyenangkan hatimu?” “Tidak, akan tetapi dia maksudkan demi kebaikanku.” “Itulah kepalsuanya, itulah tutup-¬tutupnya untuk menyembunyikan pamrih yang sesungguhnya. Sebetulnya semua itu dilakukan untuk menyenangkan hatinya sendiri! Betapa banyaknya, bahkan ham¬pir semua, orang-orang tua yang menuju¬kan segala tindakan demi untuk me¬menuhi kehendaknya sendiri, demi untuk menyenangkan diri sendiri. Akan tetapi mereka menggunakan dalih membahagia¬kan anak, pada si anak hanya dijadikan alat untuk dia mencapai keinginan hati¬nya itulah! Si anak tidak penting lagi, yang penting adalah rencananya untuk membahagiakan anak, sungguhpun pada hakekatnya si anak tidak bahagia dengan rencananya itu!” “In-moi....!” Syanti Dewi berseru dengan mata terbelalak. “Apakah kau hendak mengatakan bahwa Ayahku ja¬hat....?” Dara itu menggeleng kepala, “Siapa¬pun adanya dia itu, kalau dia masih be¬lum sadar akan kepalsuan-kepalsuan yang dilakukan, dia tentu akan menganggap bahwa tindakanya itu benar belaka dan semua tindakan yang dianggap benar itu hanya akan mengakibatkan kesengsaraan dan kedukaan, seperti yang kau alami ini. Kau menganggap bahwa Ayahmu penuh cinta kasih terhadapmu. Enci, apa¬kah tindakan cinta kasih menimbulkan kesengsara dan kedukaan?” Syanti Dewi memegangi kedua pelipis kepalanya, dan menggeleng-geleng ke¬palanya. “Ah, aku tidak tahu.... semua kata-katamu membuat aku bingung se¬kali, Adik In! Habis, apa yang harus kulakukan?” “Mengapa engkau menyiksa diri seper¬ti ini? Kalau memang Enci mencinta Tek Hoat, dan kalau memang Enci yakin bahwa dia mencintamu....“ “Aku yakin benar akan cintanya!” “Kalau begitu, tentu ada sesuatu yang memaksa dia meninggalkan Enci tanpa pamit!” “Kalau begitu, mengapa Enci tidak pergi meninggalkan sangkar ini dan mencari kekasih Eci itu, daripada me¬nerima nasib dan makan hati karena harus menerima calon jodoh yang tidak Enci cinta?” “Pergi....? Kaumaksudkan minggat dari istana?” Syanti Dewi berkata dengan nada suara sedih. “Aihhh, In-moi, engkau tidak tahu. Betapa sudah sering kali aku ingin lolos saja dari sini, akan tetapi sungguh tidak mungkin. Ayah selalu men¬jagaku dan istana ini siang malam di¬kepung oleh ratusan orang pengawal.” “Hal itu tidak penting. Yang penting, maukah engkau meninggalkan tempat ini dan pergi mencari Tek Hoat?” “Tentu saja aku mau!” “Meninggalkan kedudukan Enci se¬bagai puteri raja, meninggalkan semua kemuliaan dan kemewahan ini, mungkin menempuh kesukaran dan kesengsaraan di jalan....?” “Tentu aku mau dan aku berani meng¬hadapi segala kesukaran, demi cintaku kepada Ang Tek Hoat.” “Bagus!” Siang In berseru girang. “Itulah cinta! Kalau begitu, aku akan membantumu keluar dari sangkar emas ini, Enci.” Syanti Dewi girang sekali dan dia merangkul dara itu. Sejenak mereka be¬rangkulan, lalu Siang In berkata, “Harap engkau berkemas dan karena engkau belum berpengalaman dalam perantau¬an “ “Siapa bilang belum berpengalaman? In-moi, agaknya engkau lupa bahwa aku dahulu sudah merantau dan menghadapi segala macam kesukaran di dunia timur. Dan aku sama sekali tidak takut meng¬hadapi kesukaran-kesukaran seperti itu.” “Bagus, akan tetapi betapapun juga, engkau harus berkemas dan membawa bekal untuk biaya perjalananmu ke timur. Besok aku akan mencari akal untuk mem¬bawamu keluar dari sini dengan aman.” Syanti Dewi lalu berkemas, hatinya girang sekali, wajahnya yang masih agak pucat itu berseri. Membayangkan betapa dia akan mengalami kesengsaraan dan kesukaran dalam mencari kekasihnya, mendatangkan semangat baginya. Ia rela menghadapi apa pun demi pertemuannya kembali dengan Tek Hoat! Dan malam itu, tidak seperti malam yang sudah, puteri ini tidur nyenyak dengan mulut tersenyum di samping Siang In. Mereka tidak tahu bahwa setelah keluar dari kamar Syanti Dewi, Panglima Mohinta yang merasa curiga lalu menge¬rahkan jagoan-jagoan istana untuk me¬ngurung dan menjaga kamar sang puteri. Panglima muda ini mendapat firasat bahwa ada bahaya mengancam diri tu¬nangannya itu, maka dia mengerahkan pengawal-pengawal pilihan, bahkan dia sendiri pun melakukan pen jagaan di se¬kitar istana tunangannya. Oleh karena penjagaan yang diperke¬tat ini, tidaklah mengherankan ketika Siang In yang hendak memeriksa keadaan keluar dari kamar dan memasuki taman di waktu pagi sekali pada keesokan hari¬nya, secara tiba-tiba berkelebat bayangan dua orang yang membentak nyaring, “Si¬luman jahat!, jangan lari!” Siang In terkejut. Tak disangkanya bahwa di taman itu ternyata terdapat penjaga-penjaga yang bersembunyi dan tahu-tahu dua orang penjaga yang agak¬nya memiliki kepandaian lumayan dan melihat pakaiannya berpangkat perwira, telah meloncat keluar dari semak-semak dan kini menodongkan pedang tajam run¬cing dari kanan kiri ke arah lambungnya! Siang In tersenyum manis sekali sam¬bil menoleh ke kanan kiri memandangi kedua orang perwira itu yang menjadi bengong juga ketika mendapat kenyataan bahwa yang mereka todong adalah se¬orang dara remaja yang sedemikian can¬tik jelitanya. Akan tetapi mereka telah mendapat pesan keras dari Mohinta dan dari Pendeta Nalanda bahwa mereka tidak boleh sekali-kali terbujuk dan ter¬tipu oleh seorang dara remaja yang cantik, karena dia itu adalah siluman! “Eh-eh, kalian ini mau apakah?” Siang In bertanya sambil tersenyum dan dari sepasang matanya yang indah jeli itu menyambar keluar sinar yang amat kuat dan aneh, sedangkan tangannya bergerak¬-gerak. “Menyerahlah engkau, siluman, kalau tidak, pedang kami akan menembus tu¬buhmu!” bentak di sebelah kirinya. “Berlututlah engkau!” perwira di sebe¬lah kanannya membentak pula sambil menempelkan ujung pedangnya pada ping¬gang yang ramping itu. Siang In tertawa dan berkata dengan suara meyakinkan, “Ihhh, kalian berdua ini apakah sudah gila? Mana pedang kali¬an? Dan mengapa kalian berdua me¬megang dan bermain-main dengan ular? Awas, kalian akan digigit oleh ular-ular itu!” Dua orang perwira itu terkejut dan memandang pedang mereka. Wajah mere¬ka menjadi pucat sekali, mata mereka terbelalak ketakutan dan mulut mereka berteriak-teriak ketika mereka melihat bahwa yang mereka pegang dan dipakai menodong tadi ternyata benar-benar bu¬kanlah sebatang pedang melainkan se¬ekor ular cobra! Mereka memegang ular itu pada ekornya dan kini ular itu membalik kepada mereka, lehernya menggem¬bung dan mulutnya mengeluarkan desis mengerikan, matanya bersinar-sinar, siap untuk mematuk. “Ihhhhh.... ularrrrr....!” “Hiiiiihhhhh.... aih, celaka....!” Mereka berdua berusaha untuk mem¬buang ular-ular itu, akan tetapi celaka¬nya, ekor ular yang mereka genggam itu agaknya sudah melekat di tangan mereka dan tidak dapat dilepaskan lagi! Tentu saja mereka menjadi makin ketakutan, apalagi ketika ular-ular itu makin men¬dekati muka mereka. Keduanya segera lari pontang-panting meninggalkan taman itu, diikuti suara ketawa merdu dari Siang In yang cepat kembali ke dalam istana Syanti Dewi. Mata mereka terbelalak ketakutan dan mu¬lut mereka berteriak-teriak ketika mereka melihat bahwa yang mereka pegang adalah seekor ular cobra! “Siapakah yang berteriak-teriak itu dan mengapa engkau tertawa-tawa?” Syanti Dewi menyambut kedatangan dara itu dengan hati tegang. “Dua orang pengawal. Wah, benar seperti yang kauceritakan, Enci, tempat ini penuh dengan penjagaan pengawal.” “Habis, bagaimana kita dapat lolos dari sini? Apakah engkau tidak bisa mempergunakan ilmu sihirmu itu, In-¬moi?” Syanti Dewi makin gelisah ketika mendengar suara ribut-ribut di luar dan agaknya dua orang pengawal yang ber¬teriak-teriak tadi sudah menyebarkan cerita tentang siluman cantik yang mempermainkan mereka. Siang In duduk dan menopang dagunya yang manis itu, kedua alis matanya yang hitam kecil dan panjang melengkung se¬perti dilukis itu berkerut merut. Dia menggeleng kepala menjawab pertanyaan puteri itu. “Aku dapat mempengaruhi belasan orang dengan permainan sihir, akan tetapi sukar sekali mempengaruhi ratusan orang pengawal sekaligus, Enci. Pula di antara mereka terdapat banyak orang-orang yang berkemauan dan berbatin kuat sehingga belum tentu usahaku akan berhasil. Bagi aku sendiri, tentu saja dapat lolos dengan mudah. Akan tetapi kalau membawamu, kurasa akan sukar sekali hasilnya. Sebaiknya diatur begini saja, Enci. Aku akan menimbulkan geger, menggoda dan mempermainkan mereka, memancing mereka agar seluruh pengawal yang berjaga di sini akan ter¬tarik ke suatu jurusan. Dalam saat itu, selagi semua pengawal ribut mengurung¬ku, engkau meloloskan diri dari istana ini. Kemudian kita bertemu di luar is¬tana dan aku selanjutnya akan membawa¬mu melarikan diri. Bagaimana?” Syanti Dewi mengangguk-angguk, ke¬mudian dua orang dara itu mengatur ren¬cana pelarian itu yang akan mereka la¬kukan malam nanti, Syanti Dewi meng¬gambar peta dari istana itu dan memberi tahu di mana letaknya pintu rahasia dari mana dia akan meloloskan, dan Siang In mengatur rencana untuk menarik semua pengawal menjauhi pintu rahasia itu. Sehari itu Siang In tidak lagi pernah keluar dari kamar sang puteri dan me¬mang sudah lama Syanti Dewi tidak per¬nah membolehkan pelayan-pelayannya untuk menemaninya di dalam kamar. Se¬menjak Tek Hoat lolos dari istana, puteri ini lebih suka menyendiri sehingga pe¬layan-pelayannya hanya memasuki kamar¬nya di waktu perlu saja. Dengan demi¬kian, lebih leluasalah bagi Siang In untuk bersembunyi di dalam kamarnya. Malam itu hawanya masih dingin se¬perti malam-malam yang lewat. Udara yang dingin ditambah cuaca yang gelap membuat suasana yang sudah seram ka¬rena dongeng-dongeng yang tersiar ten¬tang gangguan siluman, dongeng yang dari mulut ke mulut mengalami perubahan dan penambahan banyak sekali, menjadi makin menyeramkan. Hampir seluruh penghuni Kota Raja Bhutan yang semua telah mendengar akan gangguan siluman itu, tidak ada yang berani keluar dari rumah masing-masing. Mereka menerima dengan penuh kepercayaan berita angin yang mengatakan bahwa malam itu iblis, setan dan siluman-siluman berkeliaran mencari mangsa! Demikian pula para penghuni istana sendiri juga sejak senja hari sudah menyembunyikan diri di dalam kamar masing-masing. Tentu saja keadaan para penghuni itu sebaliknya dengan keadaan para pengawal yang bertugas berjaga. Setelah malam tiba penjagaan diperketat dan mereka lebih waspada lagi menjaga daripada di waktu siang, karena mereka semua mem¬punyai dugaan bahwa di waktu malam tentu siluman akan lebih mengganas lagi. Kini bahkan Panglima Mohinta sendiri mengatur dan mengepalai penjagaan, se¬olah-olah istana menghadapi ancaman serbuan musuh yang besar jumlahnya. Keadaan di sekeliling istana itu seperti dalam perang saja karena sedikitnya ada tiga ratus orang pengawal dikerahkan oleh Mohinta untuk menjaga seluruh is¬tana, terutama sekali sekeliling istana kecil yang menjadi tempat tinggal Syanti Dewi. Keadaan sunyi sekali di sekeliling istana. Suasana yang sunyi dan men¬cekam hati ini membuat para penjaga juga merasa ngeri dan mereka bahkan tidak berani membuat suara keras untuk memecahkan kesunyian malam, seolah-¬olah suara keras hanya mengundang da¬tangnya siluman! Mereka bicara bisik¬-bisik dan membuat api unggun sebesar¬nya, karena selain api unggun itu dipergunakan untuk mengusir hawa dingin dan menimbulkan kehangatan, juga menurut kata para pendeta, api dapat menjauh¬kan segala macam siluman. Juga mereka berusaha untuk membicarakan urusan lain tanpa menyebut-nyebut tentang siluman, karena ada kepercayaan di antara mereka bahwa setan tidak boleh disebut¬-sebut, karena kalau disebut-sebut biasa¬nya suka datang! Demikian hebatnya dongeng tentang gangguan setan dan ke¬percayaan tentang tahyul menghimpit hati mereka sehingga para pengawal yang biasanya galak dan pemberani itu, kini berubah menjadi seperti sekelompok anak kecil yang ketakutan. Panglima Mohinta sendiri, diiringkan oleh dua orang pendeta, yaitu Pendeta Nalanda dan seorang pendeta lain yang terus berkemak-kemik membaca doa, dan empat orang perwira pengawal, tiada hentinya hilir mudik dari gardu ke gardu, untuk memberi semangat kepada para pengawal yang berjaga. Malam makin larut dan keadaan ma¬kin serem. Dari balik pintu kamar, Siang In yang sudah siap melakukan siasatnya untuk meloloskan Puteri Syanti Dewi dari istana, mengintai ke luar. Dilihatnya banyak sekali pengawal berjaga di luar dalam keadaan terpencar. Dia mengintai dari balik jendela. Sama saja. Taman di luar kamar itu pun penuh dengan penga¬wal-pengawal yang menjaga ketat. Tidak mungkin dia dapat keluar dari pintu atau jendela tanpa diketahui orang. Dan menggunakan sihirnya pun akan berbahaya karena tentu ada di antara mereka yang tidak terpengaruh dan akan dapat me¬lihatnya. Dia tidak boleh memperlihatkan diri di dekat kamar Sang Puteri karena hal itu akan menimbulkan kecurigaan dan akan mempersulit lolosnya Syanti Dewi karena tentu kamar itu tidak akan ditinggalkan para penjaganya. “Bagaimana....?” Syanti Dewi men¬dekati dan berbisik ketika melihat Siang In yang telah mengintai dari jendela itu berdiri termenung. Puteri ini sudah ber¬pakaian ringkas dan sebuah buntalan terisi bekal pakaiannya sudah dia siapkan di atas meja. “Sssttttt,.... banyak penjaga di luar. Aku akan keluar melalui genteng,” bisik Siang In. Dara ini masih mengempit payungnya dan dia lalu menjejakkan kakinya di atas lantai dan tubuhnya mencelat ke atas, ke arah langit-langit dan dengan payungnya dia menusuk langit-langit dan bergan¬tungan di situ. Dari bawah, Syanti Dewi memandang penuh kagum dan dia ter¬ingat kepada Ceng Ceng, adik angkatnya yang juga memiliki kepandaian hebat seperti Siang In. Sementara itu, Siang In telah berhasil membobol langit-langit, kemudian setelah dia menoleh ke bawah dan memberi kedipan mata yang lucu kepada Syanti Dewi, tubuhnya menyelinap ke atas dan lenyap. Dengan hati-hati sekali Siang In membuka genteng dan menyelinap ke luar. Kemudian dia mempergunakan ilmunya dan berkelebat cepat sekali di atas gen¬teng. “He.... apa itu....?” terdengar seruan dari bawah. Agaknya ada seorang penga¬wal yang sempat melihat bayangan ber¬kelebat cepat. Siang In segera mendekam di wu¬wungan yang tinggi, bersembunyi sambil memasang telinga mendengarkan. Ada gerakan-gerakan kaki orang di bawah. “Mana? Tidak ada apa-apa!” terdengar orang lain mencela. “Akan tetapi aku melihat bayangan orang berkelebat di atas genteng. Sung¬guh aku berani sumpah!” “Hemmm, mana ada orang mampu menghilang? Kecuali setan.... ihhhhh....!” “Sssttttt, jangan bicara yang bukan-¬bukan. Kita harus waspada.” Siang In terus mendekam. Maklumlah dia bahwa kalau dia muncul begitu saja, betapapun cepatnya dia menggunakan ginkang untuk meloncat, para pengawal yang sudah memasang mata penuh per¬hatian di atas genteng itu akan dapat melihatnya. Dia mencari akal dan tersenyumlah gadis yang cerdik ini. Dipa¬tahkannya sepotong genteng dan dia lalu menyambitkan tiga patahan genteng ber¬turut-turut ke arah belakangnya. Potong¬an-potongan genteng itu menimbulkan suara berisik ketika menimpa pot-pot bunga di bagian depan bangunan itu. Tentu saja semua pengawal terkejut dan semua orang menoleh ke tempat itu sehingga tidak ada seorang pun yang memperhatikan atau melihat ketika Siang In cepat sekali meloncat dan terus ber¬lari dan akhirnya melayang turun ke dalam taman. Dengan hati lega Siang In menyelinap di antara pohon-pohon dan semak-semak di dalam taman itu. Dia telah berhasil meninggalkan kamar Syanti Dewi tanpa diketahui orang dan kini akan menuju ke kandang kuda seperti yang telah direnca¬nakan di dalam kamar Sang Puteri. Dari peta yang dibuat oleh Syanti Dewi, kini dia telah hafal akan keadaan dan lorong-¬lorong di kompleks istana itu. “Heiiiii, berhenti....!” Siang In terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa ada dua orang penga¬wal yang bersembunyi di belakang batang pohon besar sehingga hampir saja dia bertumbukan dengan mereka. “Srat! Srattt!” Dua orang pengawal itu telah mencabut pedang masing-masing. “Aihhhhh, mengapa kalian demikian galak? Mengagetkan orang saja!” Si¬ang In tersenyum manis bukan main, suaranya pun merdu dan genit, matanya bersinar-sinar sehingga kedua orang pe¬ngawal itu terpesona dan dalam waktu beberapa detik tidak mampu bergerak hanya menatap wajah yang cantik jelita itu dengan bengong. Waktu yang hanya beberapa detik ini cukuplah sudah bagi Siang In. Dua kali payungnya bergerak dan dua orang itu roboh tanpa dapat mengeluarkan suara atau berkutik lagi karena mereka telah tertotok secara tepat sekali oleh ujung payung di tangan Siang In yang cepat sudah menyelinap maju. Kini dia berlaku hati-hati sekali sehingga dia tidak sampai ketahuan oleh para penjaga lain. Akhir¬nya tibalah dia di bagian kandang kuda dan gudang rumput, di sebelah belakang istana. Dia menyelinap dan mengintai. Dilihatnya ada empat orang penjaga di dalam gudang rumput, maka dia lalu menyambar lampu minyak yang tergan¬tung di samping gudang, kemudian dia bersenandung! Tentu saja empat orang penjaga yang sedang melewatkan malam dingin dengan bermain kartu, karena mereka ini pun menerima perintah agar malam itu me¬reka tidak tidur, menjadi terheran-heran mendengar senandung yang merdu itu. Suara wanita di tempat itu? Sungguh aneh. “Aih, kiranya di antara kalian ada yang mempunyai simpanan wanita di sini, ya?” penjaga yang gendut tertawa. “Ha¬yo, siapa yang menyimpan wanita yang sekarang bersenandung itu?” “Aih, suaranya begitu merdu....” kata penjaga yang kurus. “Aku tidak mempunyai kenalan wanita di sini,” kata yang ke tiga. “Aku pun tidak....“ kata yang ke empat. “Kalau begitu.... siapa....“ Mereka saling pandang dan mata mereka terbe¬lalak karena teringatlah mereka akan dongeng tentang siluman cantik. “Jangan-jangan dia....?” “Ahhhhh, mana ada siluman pandai bersenandung semerdu itu. Apapun ada¬nya dia, mari kita ke luar menyelidiki. Suaranya terdengar dekat, agaknya di depan gudang,” kata Si Gendut yang menjadi pemimpin dan keluarlah empat orang itu, berindap-indap keluar dari gu¬dang, tangan mereka memegang tombak garpu yang biasanya dipakai untuk me¬numpuk rumput kering. Akan tetapi baru saja mereka tiba di luar pintu gudang dan celingukan karena tidak melihat sesuatu, dari jendela gu¬dang itu ada lentera yang dilemparkan ke dalam gudang. Lentera menimpa tum¬pukan rumput kering dan tentu saja da¬lam sekejap mata rumput kering itu ter¬bakar! Empat orang itu terkejut men¬dengar suara api di belakang mereka. Cepat mereka menengok ke dalam gu¬dang dan melihat api sudah berkobar besar di dalam gudang itu. Mereka ter¬kejut dan juga merasa ngeri. Kalau saja mereka tadi belum keluar, agaknya akan sukar meloloskan diri dari api yang tentu mudah berkobar memakan rumput kering itu. “Kebakaran....!” “Tolonggg.... kebakaran....!” Segera mereka memukul kentongan sambil berteriak-teriak dan sebentar saja suara kentongan dan berita kebakaran di gudang kandang kuda itu sudah terdengar di seluruh kompleks istana. Apalagi ke¬tika semua kuda telah terlepas dari kan¬dangnya dan kini berlarian ke sana-sini karena ketakutan melihat api. Tentu Siang In pula yang telah melepaskan kuda-kuda itu dengan membuka pintu¬-pintu kandang dan mencambuki binatang¬-binatang itu ke luar kandang mereka. Panik dan gegerlah seluruh istana! Orang-orang berlari ke sana-sini, ber¬serabutan dan bingung. “Jangan panik! Jangan tinggalkan tempat penjagaan masing-masing!” Panglima Mohinta dibantu oleh beberapa orang perwira berlari ke sana-sini menenangkan para pengawal. Akan tetapi tetap saja terjadi ke¬panikan hebat, bukan hanya karena ke¬bakaran itu, melainkan kepanikan lain yang terjadi mulai dari taman di bela¬kang kamar Syanti Dewi. Selagi para pengawal di sekitar taman itu yang jum¬lahnya paling banyak ada lima puluh orang yang tadinya berada di mana-mana dan kini berkumpul, menjadi agak bi¬ngung mendengar teriakan-teriakan ke¬bakaran dan bunyi kentongan, tiba-tiba di tempat gelap muncul seorang wanita muda yang amat cantik, yang tersenyum¬senyum kepada mereka dari jauh dan melambaikan tangan. “Itu dia.... siluman itu!” teriak se¬orang diantara mereka yang pernah ber¬temu dengan Siang In. “Lihat dia mem¬bawa payung!” Mendengar ini, para pengawal yang merasa tabah karena terdiri dari banyak orang itu berlari menghampiri. Akan tetapi Siang In tertawa terkekeh lalu membalikkan tubuhnya dan lari menyelinap di antara pohon-pohon dan semak-semak. Gerakannya amat ringan dan cepat, lincah bukan main sehingga untuk beberapa lamanya dia dapat bermain kucing-kucingan dengan mereka, kadang-kadang menghilang bersembunyi di balik semak-semak atau di balik pohon-pohon, bahkan kadang-kadang dia meloncat seperti seekor burung terbang ke dalam pohon dan ketika beberapa orang pengawal yang mencarinya lewat di bawah pohon, dia melempari mereka dengan buah-buah mentah lalu melompat ke lain pohon dan berlari lagi. Dengan gangguan-gangguan ini, Si¬ang In berhasil membikin kacau lima puluh orang itu dan kini mereka semua tercurah perhatiannya kepada Siang In yang sebentar muncul sebentar lenyap itu. Bahkan Siang In kini lari tidak begitu cepat meninggalkan taman, tentu saja dikejar oleh semua pengawal yang seolah-olah kini berlumba untuk menangkap siluman yang amat cantik jelita itu. Siang In sengaja memperlam¬bat larinya dan membiarkan dirinya ham¬pir tersusul. Setelah dia mendengar suara derap para pengawal itu dekat di belakangnya, tiba-tiba dia berhenti, membalik sambil mengeluarkan suara melengking nyaring yang tidak menyerupai suara manusia. Begitu dia membalik, semua pengejarnya terbelalak ngeri melihat wajah yang putih polos, wajah setan tanpa mata hidung mulut! Dan selagi mereka bengong dengan muka pucat, Siang In menubruk ke depan, menggerak¬kan payungnya dan robohlah enam orang sambil mengaduh-aduh karena ujung pa¬yung itu secara nakal sekali telah me¬nusuk pundak dan paha mereka, tidak membahayakan namun cukup mendatang¬kan rasa nyeri. “Hi-hi-hik!” Siang In tertawa lagi sambil membalikkan dan melanjutkan larinya, makin menjauhi taman. Tentu saja para pengawal segera mengejarnya dengan marah. Berhasiliah Siang In mengacaukan para pengawal dan Syanti Dewi yang sudah siap dan mendengar keributan kebakaran, maklum bahwa saat baginya sudah tiba. Memang tanda kebakaran itu merupakan isyarat baginya untuk mulai meloloskan diri. Maka puteri ini lalu cepat keluar dari kamarnya melalui jen¬dela dan hal ini bukanlah merupakan hal yang sukar baginya karena Syanti Dewi bukanlah seorang puteri yang lemah, melainkan seorang yang telah mempelajari ilmu silat pula sehingga lolos dari jen¬dela merupakan pekerjaan yang mudah. Dia mendengar suara ribut-ribut di ta¬man itu, maka tahulah dia bahwa Siang In sedang “mengerjakan” para pengawal yang berjaga di taman. Maka dia lalu menyelinap di belakang pohon, mengintai dari tempat gelap dan setelah suara teri¬akan para pengawal makin menjauhi ta¬man, tanda bahwa Siang In yang cerdik itu sudah berhasil memancing mereka ke luar dari taman, Sang Puteri cepat ber¬lari menyelinap di antara kegelapan po¬hon-pohon di taman, membawa buntalan¬nya dan terus menuju ke luar taman melalui jalan rahasia yang menembus ke pinggir tembok kota raja! Sementara itu, Siang In dengan lin¬cahnya mempermainkan para pengawal yang kini makin banyak berdatangan dan mengepungnya. Ketika para pengejarnya belum begitu banyak, dia dapat meng¬gunakan sihirnya yang mempengaruhi para pengejarnya. Kadang-kadang dia berdiri begitu saja di dekat pohon dan mereka yang mengejarnya tidak melihat¬nya karena mereka melihat gadis itu se¬perti sebatang pohon dan melewatinya begitu saja. Kadang-kadang ketika mere¬ka sudah mengepung gadis itu, tiba-tiba saja gadis itu lenyap berubah menjadi asap atau “terbang” begitu saja ke ang¬kasa di depan mata mereka! Tentu saja semua ini hanyalah pengaruh sihir yang dikerjakan oleh Siang In dan menguasai pikiran mereka semua. Akan tetapi ke¬tika yang mengejarnya makin banyak, sihir Siang In tidak begitu manjur lagi! Ada sebagian yang melihat dia “terbang” sehingga menjadi bengong, akan tetapi sebagian lagi yang tidak terpengaruh, melihat gadis itu sebetulnya hanya me¬nyelinap saja untuk melarikan diri dan mereka ini terus mengejar, dan tentu saja perbuatan mereka ini sekaligus me¬nyadarkan mereka yang terkena pengaruh sihir. Mulai sibuklah Siang In berlari ke sana ke mari dikejar oleh para pengawal yang dipimpin oleh Panglima Mohinta sendiri. “Kejar! Tangkap dia!” Mohinta berteriak-teriak ketika melihat betapa gadis itu kadang-kadang melawan dan merobohkan para pengeroyok dengan gerakan silat yang amat hebat. Mulailah Siang In mencari kesempatan untuk meloloskan diri. Menurut perhitung¬annya, saat ini Syanti Dewi tentu telah lolos. Akan tetapi celaka baginya, kini tiga ratus orang pengawal memusatkan kekuatan untuk mengurungnya dan tidak memberi kesempatan baginya untuk ke¬luar dari dalam lingkungan istana! Ke¬manapun dia lari, tentu dia bertemu dengan pasukan pengawal yang amat banyak jumlahnya! Dan dia tidak akan mungkin terus bermain kucing-kucingan seperti itu, karena kalau sampai malam berganti pagi dan dia masih berada di istana, dia akan celaka! Ilmu silatnya dan ilmu sihirnya tidak mungkin dapat dia pergunakan menghadapi bala tentara Bhutan yang tentu akan dikerahkan untuk menangkapnya! Kemarin masih ada Syanti Dewi yang melindungi dan menyembunyi¬kannya, akan tetapi sekarang, para pengawal sudah menduga bahwa dia hanyalah seorang manusia biasa yang pandai ilmu sihir. Bahkan kini Mohinta telah mengundang jago-jago ilmu sihir yang banyak terdapat di Bhutan untuk menandinginya sehingga ketika dia mencoba menggunakan sihirnya ketika dia ber¬temu dengan sepasukan pengawal yang ditemani seorang pendeta, sihirnya me¬lempem dan tidak berhasil sama sekali! Hanya berkat ilmu silatnya yang cukup tinggi sajalah dia mampu lolos! Napasnya agak terengah dan keringat¬nya sudah membasahi seluruh tubuhnya ketika Siang In menyelinap ke dalam sebuah ruangan kosong untuk beristirahat sejenak mengumpulkan kekuatan dan mencari akal. Akan tetapi baru saja dia masuk dan menghapus peluh dengan sapu¬tangan, muncul seorang laki-laki tinggi besar berpakaian panglima yang gagah sekali. Orang ini sudah setengah tua, usianya kurang lebih empat puluh lima tahun, tubuhnya tegap dan gagah, ta¬ngannya memegang sebatang golok. Me¬lihat laki-laki ini, Siang In terkejut, akan tetapi juga girang dan wajahnya berseri. “Paman Jayin....!” Panglima itu memang Panglima Jayin, seorang panglima yang setia kepada Ke¬rajaan Bhutan dan di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali telah diceritakan be¬tapa panglima ini yang telah berhasil membawa pulang Syanti Dewi dari timur, dan panglima ini masih terhitung suheng dari Ceng Ceng karena dia pernah me¬nerima gemblengan dari kakek pendekar wanita itu. Panglima Jayin terkejut dan heran mendengar dara muda yang cantik, yang disangka siluman dan dikejar-kejar ratus¬an orang pengawal itu, menyebutnya paman. Panglima ini baru saja tiba dari tugasnya ke luar kota raja dan begitu mendengar bahwa istana dikacau oleh seorang gadis lihai yang disangka silu¬man, dia bergegas pergi ke istana dan ikut pula mencari “siluman” itu. Panglima ini adalah seorang yang sudah ber¬pengalaman. Tentu saja dia tidak per¬caya bahwa istana diganggu siluman. Dia menduga bahwa tentulah yang menggang¬gu atau mengacau itu seorang tokoh kang-ouw atau seorang penjahat. Bahkan tadinya dia menduga bahwa yang mengacau adalah Ang Tek Hoat, akan tetapi dugaan ini dilenyapkan oleh berita bahwa pengacau atau siluman itu adalah wanita. Dengan kecerdikannya, Panglima Jayin tidak ikut mengejar-ngejar dengan ribut, melainkan dia menyelinap ke tempat¬tempat sunyi karena dia mempunyai per¬hitungan bahwa orang jahat itu yang dikejar-kejar tentu akan mencari tempat¬-tempat sunyi untuk beristirahat. Per¬hitungannya itu ternyata cocok sekali, dan dengan girang dia melihat seorang dara menyelinap masuk ke dalam ru¬angan kosong itu. Akan tetapi terkejut dan terheranlah dia ketika dara asing yang dia yakin tentulah si pengacau itu langsung saja menyebutnya paman! Sejenak mereka berpandangan dan dara itu tersenyum manls, senyum ke¬kanak-kanakan yang manis akan tetapi penuh dengan sifat menggoda seperti seorang anak nakal. “Eh, Paman Pang¬lima Jayin, sudah lupa lagikah engkau kepadaku?” kembali dara itu berkata ramah sambil tersenyum. Kini ada sesuatu pada diri dan sikap lucu dan nakal dari dara itu yang meng¬ingatkan kepada panglima ini bahwa dia memang pernah bertemu dengan dara ini, akan tetapi dia sudah lupa lagi kapan dan di mana. “Nona, siapakah engkau?” “Aku adalah Teng Siang In, murid dari See-thian Hoat-su. Kami pernah membantu kalian ketika dahulu mengawal Syanti Dewi ke Bhutan. Jayin teringat dan dia mengangguk¬-angguk. “Ah, kiranya Nona! Akan tetapi apakah Nona pula yang menggegerkan istana dan dianggap sebagai siluman?” “Hi-hik, inilah yang disangka siluman!” Siang In mengeluarkan kedok dan sekali tangannya mengusap muka, mukanya berubah menjadi polos mengerikan. Jayin terbelalak lalu tersenyum. “Aih, Nona sungguh nakal sekali! Apa perlunya Nona mempermainkan kami dan menga¬cau istana?” Siang In sudah melepaskan kedoknya lagi dan kini dengan sikap serius, sung¬guh tidak pantas bagi wajahnya yang cantik namun jenaka sifatnya itu, dia berkata, “Paman Jayin, apakah engkau tidak kasihan kepada Puteri Syanti Dewi? Apakah dulu Paman bersusah payah membawanya pulang ke Bhutan hanya untuk menyiksanya sehingga dia akan mati tenggelam dalam kedukaan seperti seekor burung dalam sangkar?” “Eh, apa maksudmu berkata seperti itu, Nona?” Jayin bertanya marah dengan alis berkerut. “Hemmm, jangan kau pura-pura tidak tahu, Paman. Tidak tahukah engkau bah¬wa Puteri Syanti Dewi setiap hari ber¬duka, bahwa Sang Puteri masih mencinta Tek Hoat dan sama sekali tidak men¬cinta Mohinta? Tidak tahukah Paman akan hal itu?” Jayin terkejut dan sejenak dia tak dapat menjawab. Akhirnya dia menghela napas dan berkata, “Tentu saja aku tahu, Nona. Aku tidak buta, akan tetapi apa¬kah yang dapat kulakukan?” “Paman Jayin, dahulu engkau adalah seorang gagah perkasa yang budiman, yang amat sayang kepada Syanti Dewi. Apakah sekarang Paman sudah berubah? Apakah Paman tidak ingin melihat dia berbahagia?” “Bagaimana saya dapat membuat dia berbahagia?” “Dengan membiarkan dia lolos dari istana untuk pergi mencari dan berkum¬pul kembali dengan kekasihnya, yaitu Ang Tek Hoat. “Hemmm.... apakah kau menganjur¬kan aku berkhianat?” “Siapa yang suruh kau berkhianat? Terus terang saja Paman Jayin, dahulu aku menganggapmu sebagai teman. Akan tetapi sekarang, aku sedang berusaha meloloskan Puteri Syanti Dewi dari is¬tana. Bahkan sekarang pun dia sudah lolos. Kalau engkau hendak menghalangi, hemmm.... terpaksa aku akan mengang¬gap engkau sebagai musuh!” Berkata dengan demikian, gadis yang cerdik itu sudah siap dengan payungnya, akan tetapi sesungguhnya ini hanya aksi belaka, kare¬na dia sama sekali tidak ingin melukai panglima ini, dan yang dla persiapkan adalah kekuatan sihirnya karena kalau perlu dia akan menguasai panglima ini dengan sihirnya. Panglima Jayin tercengang. Tahulah dia sekarang mengapa gadis ini mengacau istana. Dan semenjak Tek Hoat pergi tanpa pamit dari Kota Raja Bhutan, kemudian melihat keadaan Sang Puteri, memang di dalam hati panglima yang setia ini sudah timbul penyesalan hebat. Akan tetapi tentu saja dia tidak berdaya untuk membantu Syanti Dewi. Dan se¬karang, secara tidak terduga-duga, mun¬cul nona ini yang hendak menolong Syan¬ti Dewi. Kalau dia menghalangi, sama saja artinya dengan dia hendak memaksa Syanti Dewi hidup menderita selamanya! Pada saat itu, terdengar suara hiruk¬-pikuk dari jauh yang makin lama makin mendekati tempat itu. “Dia tadi berkelebat ke sini!” “Cari sampai dapat!” “Geledah semua tempat, semua tem¬pat kosong!” Jayin dan Siang In masih saling ber¬pandangan. “Kau yakin Puteri telah lolos dari istananya?” tiba-tiba Jayin bertanya. “Sudah pasti!” “Kalau begitu, aku akan memancing mereka menjauhimu menuju ke istana Syanti Dewi di utara dan kau dapat me¬larikan diri ke bagian selatan. Cepat kau temani Sang Puteri dan bantulah dia agar bertemu dengan kekasihnya agar dia hidup berbahagia.” Siang In tersenyum dan menjura. “Sungguh engkau habat, Paman! Sudah kusangka bahwa engkau memang seorang yang gagah perkasa dan budiman.” “Sudahlah selamat berpisah....!” kata Jayin. “Mari selidiki di dalam sini!” terde¬ngar suara Mohinta tiba-tiba. “Heiiiii, siluman! Kau hendak lari ke mana?” Tiba-tiba Jayin membentak ma¬rah, dengan golok terhunus dia menyerbu ke luar, mengejutkan Mohinta dan para anak buahnya. “Eh, Paman. Panglima!” Mohinta ber¬seru. “Mohinta! Cepat, siluman itu lari ke sana! Eh, kenapa kalian mengejar-ngejar di sini? Celaka! Tentu siluman itu akan menculik Sang Puteri! Dan kalian meninggalkan istana Sang Puteri! Celaka aku melihat siluman itu tadi lari ke arah istana Sang puteri!” Jayin mendahului yang lain-lain, melompat dan lari ke arah istana Syanti Dewi. Mohinta ter¬kejut dan baru teringat, maka dia pun lalu berlari cepat mengejar Jayin, diikuti oleh para pengawal. “Ini adalah pancingan!” Sambil berlari Panglima Jayin berseru. “Siluman itu memancing kalian meninggalkan penjaga¬an di istana Sang Puteri. Betapa bodoh¬nya kalian!” “Celaka....!” Mohinta menjadi pucat dan mempercepat larinya ke arah istana kecil itu. Seperti berlomba lari saja me¬reka menuju ke istana, langsung ke ka¬mar Sang Puteri dan memang semua pe¬ngawal yang menjaga di situ telah lari tadi mengejar Siang In. Mohinta bernapas lega melihat pintu kamar Sang Puteri masih terkunci dari dalam. “Ah, syukur Adinda Syanti Dewi ma¬sih di dalam, tentu masih tidur nyenyak,” katanya sambil tersenyum lega. “Bodoh! Coba ketuk, buka! Siapa ta¬hu....!” Jayin melangkah maju dan me¬ngetuk pintu perlahan-lahan sambil me¬manggil. Akan tetapi tidak ada jawaban dari dalam. Ketukan diperkeras dan akhir¬nya pintu itu digedor-gedor oleh Mohinta yang sudah menjadi pucat sekali muka¬nya. Namun tetap saja tidak ada jawaban. “Bongkar pintunya!” Jayin yang ber¬sikap seperti orang kebingungan itu me¬merintah. Pintu kamar dibongkar, dipaksa terbuka dan mereka menyerbu ke dalam Kosong! “Celaka....! Adinda.... Adinda Syanti Dewi....!” Panglima Mohinta mencari-¬cari dalam kamar itu, lalu menjenguk keluar jendela, akan tetapi keadaan di luar jendela pun sunyi. “Nah, apa kataku tadi!” Panglima Ja¬yin marah-marah. “Sungguh tolol kalian semua, dapat dipancing meninggalkan tempat ini oleh penjahat. Jelas bahwa penjahat itu menyamar sebagai siluman, mengacau dan membakar kandang agar semua pengawal terpancing ke sana, kemudian dia dengan leluasa telah masuk ke dalam kamar ini dan menculik Sang Puteri.” “Aduh, Paman Panglima Jayin, bagaimana baiknya sekarang?” Panglima Mo¬hinta yang merasa cemas dan duka itu mengeluh. “Agaknya tidak mungkin penjahat, dapat melarikan Sang Puteri keluar dari lingkungan istana. Mohinta, kauper¬kuat penjagaan di sekitar istana, ja¬ngan sampai ada orang dapat keluar atau masuk. Aku sendiri akan melaporkan hal ini kepada Sri Baginda sekarang juga!” Mohinta cepat mengerahkan semua pasukan untuk berjaga-jaga dan mencari¬-cari, akan tetapi tentu saja tanpa hasil karena pada saat itu, Syanti Dewi dan Siang In telah pergi jauh meninggalkan tembok tebal yang mengurung Kota Raja Bhutan. Gegerlah istana Bhutan. Sri Baginda menjadi marah sekali dan juga amat geli¬sah memikirkan puterinya yang untuk kedua kalinya diculik orang. Dahulu, kurang lebih lima tahun yang lalu, Sang Puteri bersama Ceng Ceng juga lenyap, sampai setahun lebih baru berhasil ditemukan. Sekarang, Sang Puteri lenyap pula, bahkan sekarang lenyap dari dalam kamarnya! Maka, ketika Panglima Mo¬hinta mohon perkenan Sri Baginda untuk pergi mencari Sang Puteri, Sri Baginda menyetujuinya. Panglima Mohinta lalu mengumpulkan jagoan-jagoan dari Bhutan, tokoh-tokoh yang berilmu tinggi untuk menemaninya pergi mencari jejak Sang Puteri Syanti Dewi. Keadaan Syanti Dewi benar-benar se¬perti seekor burung yang tadinya ter¬kurung dalam sangkar kini terlepas dari kurungan, terbang bebas di udara. Kesehatannya pulih kembali, dalam waktu satu bulan saja melakukan perjalanan, wajahnya sudah menjadi segar kemerah¬an, sepasang matanya yang tadinya sayu kini bersinar-sinar penuh semangat dan gairah hidup dan biarpun pakaiannya tidak seindah dan semewah ketika dia berada di istana, namun hal ini sama sekali tidak mengurangi kecantikannya, bahkan dia kelihatan segar dan cantik sekali, dengan mata bersinar, mulut tersenyum dan wajah berseri-seri. Dia telah berhasil menyelinap keluar dari tembok kota raja setelah bertemu dengan Siang In di tempat yang telah dijanjikan oleh mereka, dan berkat ke¬lihaian Siang In, Sang Puteri dapat di¬bawa keluar tembok kota dan dengan cepat mereka melarikan diri ke timur. Memang bukan perjalanan yang mudah yang mereka tempuh selama sebulan ini. Naik turun gunung-gunung yang tinggi dan liar, masuk keluar hutan-hutan yang amat besar dan gelap. Namun, karena di sampingnya ada Siang In, pula karena memang puteri ini pernah mempelajari ilmu silat dan telah banyak mengalami hal-hal yang hebat, maka perjalanan ini tidaklah terlalu sukar dan sengsara bagi¬nya. Sebaliknya malah, dia benar-benar merasa seperti hidup baru, merasa gembira dan penuh harapan yang muluk¬-muluk, yaitu harapan untuk dapat ber¬temu kembali dengan pria yang dicinta¬nya, ialah Ang Tek Hoat. Makin akrab saja hubungan di antara dua orang dara yang sifat dan wataknya bagaikan bumi dan langit itu. Syanti Dewi adalah seorang wanita yang ber¬watak lembut, halus budi, halus perasaan, pandai mengekang perasaan, dan memiliki keagungan seseorang puteri. Sebaliknya, Teng Siang ln adalah seorang wanita yang berwatak periang jenaka, bahkan bengal dan suka menggoda orang, suka tertawa, jujur, polos dan tidak begitu mempedulikan tentang peraturan dan sopan santun, perasaannya mengeras oleh gemblengan hidup, dan biarpun dia ter¬masuk seorang dara yang suka berpakaian indah dan suka pula bersolek, namun pada dasarnya dia amat sederhana. Betapapun besar perbedaan watak antara mereka, namun mereka dapat segera menjadi sahabat yang akrab se¬kali. Syanti Dewi benar-benar merasa seolah-olah dia mendapatkan pengganti Ceng Ceng! Memang ada persamaan an¬tara Ceng Ceng dan Siang In, persamaan dalam hal watak periang, agak binal dan jujurnya. Akan tetapi Ceng Ceng tidak¬lah sebinal Siang In! Betapapun juga, dengan adanya Siang In di sampingnya, perjalanan yang amat sukar itu tidak terasa oleh Syanti Dewi dan dia dalam waktu sebulan itu saja sudah mengenal benar-benar watak Siang In. Biarpun kelihatan binal dan terpengaruh oleh keindahan yang membawa keanehan, ka¬dang-kadang kelihatan keras, namun pada hakekatnya dara ini memiliki watak yang amat baik, setia dan jujur! “Enci Syanti, ajari aku nyanyian yang kemarin kaunyanyikan ketika kita mandi di telaga itu! Kau sudah berjanji“ Mereka duduk beristirahat di sebuah hutan yang amat indah. Hutan itu berada di pegunungan yang jauh dari dusun-dusun, hutan yang liar dan tentu amat jarang terinjak kaki manusia. Akan tetapi ter¬nyata alam memiliki daya cipta yang tak dapat terukur oleh otak manusia. Pohon¬-pohon besar kecil tumbuh dengan subur dan amat nyeni seolah-olah diatur saja, berkelompok dan memiliki keindahan sendirl-sendiri yang khas, namun juga merupakan suatu kesatuan yang amat indah, yang tak terpisahkan. Agaknya, sebatang pohon saja dipindahkan, akan hambarlah keindahan kesatuan itu. Kem¬bang-kembang dan rumput-rumput seolah-¬olah tumbuh di tempat yang memang sudah semestinya, begitu serasi, begitu cocok sehingga suasana di hutan itu men¬jadi indah membahagiakan hati. Dua orang dara yang sadar atau tidak terpengaruh oleh keindahan yang mem¬bahagiakan itu dan yang kini beristirahat melepaskan lelah di bawah sebatang po¬hon besar, merasa gembira pula dan ber¬cakap-cakap dengan asyiknya sampai terdengar Siang In minta diajari nyanyi¬an. “Adikku yang manis, engkau sudah begini pandai, mempunyai banyak macam ilmu-ilmu yang aneh-aneh, akan tetapi kulihat engkau masih selalu haus akan pelajaran-pelajaran. Betapa rajinnya eng¬kau, In-moi.” Syanti Dewi memuji sambil meletakkan tangannya ke atas pundak dara itu. Siang In tersenyum. “Selama ini, aku hanya mempelajari hal-hal yang kasar saja, Enci. Ilmu silat, ilmu memukul orang. Huh! Dan ilmu sihir, ilmu menipu orang. Wah, tidak ada yang baik dan hanya bisa menyusahkan orang lain saja. Akan tetapi engkau sebagai seorang pu¬teri benar-benar memiliki banyak kepan¬daian yang dapat menyenangkan orang lain, dan aku ingin sekali mempelajari¬nya, Enci.” “Akan tetapi, aku mempelajari segala macam kepandaian nyanyi, tari, bermain musik dan lain-lain itu bukan untuk me¬nyenangkan sembarang orang, adikku. Aku bukannya ingin menjadi seorang penari atau penyanyi umum“ “Aku tahu, Enci. Tentu engkau hanya mau bernyanyi atau menari di depan orang yang kaucinta. Bukankah begitu?” Dengan kedua pipinya berubah merah, Syanti Dewi mengangguk. “Aku pun demikian, Enci. Aku minta diajar bernyanyi, karena. aku suka mendengar senandungmu kemarin itu, dan aku.... hemmm, aku pun tidak akan sembarangan memamerkan nyanyian di depan orang lain!” Wajah itu berseri dan mata yang halus pandangnya itu menatap wajah Siang In penuh selidik. Akan tetapi yang dipandang hanya tersenyum saja. “Aihhh, kalau begitu engkau juga sudah mempunyai seorang pilihan hati, seorang kekasih, adikku!” Siang In menggeleng kepala. “Belum, Enci. Pilihan hati.... hemmm, ya, mung¬kin saja, siapa tahu.... akan tetapi ke¬kasih? Belum! Enci dengan Ang Tek Hoat, nah, itu baru namanya kekasih, karena saling mencinta.” Tiba-tiba pandang mata Syanti Dewi berubah, penuh kekhawatiran. “Adikku yang manis, apakah.... apakah cintamu hanya sepihak....?” Kembali Siang In menggeleng dan ter¬senyum. “Tidak ada cinta, baik dari fihak mana pun, Enci. Aku sendiri tidak tahu benar apakah aku telah mencinta se¬seorang. Banyak memang pria yang me¬nyatakan cinta padaku, baik melalui pan¬dangan matanya, melalui rayuannya....“ “Aku percaya. Engkau sungguh cantik jelita seperti bidadari!” “Tidak ada sepersepuluhmu dalam kecantikan, Enci. Akan tetapi kalau ha¬nya seperti itu cinta yang diagung-agung¬kan itu, seperti para pria yang menyata¬kan cinta melalui pandang mata atau rayuan mulut penuh nafsu itu, hihhh....“ Siang In bergidik. “Lebih baik aku tidak mengenal cinta!” Syanti Dewi memandang tajam. “Hemmm.... jangan engkau berkata be¬gitu, In-moi. Kalau benar engkau belum mempunyai kekasih, habis siapa yang kaucari-cari itu? Dulu di Bhutan engkau pernah bilang bahwa engkau datang ke Bhutan mencari seseorang siapakah dia itu yang kaucari-cari?” Terjadi perubahan, akan tetapi hanya pada sinar mata dara itu yang tiba-tiba menjadi bersinar-sinar seperti orang gem¬bira, akan tetapi juga bisa jadi seperti orang marah. Dia mengangguk. “Memang aku mencari seseorang yang tadinya kusangka berada di Bhutan atau sekitarnya. Akan tetapi mungkin aku salah sangka dan dia mungkin tidak berada di barat. “Siapakah dia, In-moi? Mungkin saja aku mengenalnya dan tahu di mana dia berada.” “Enci mengenalnya, tentu. Dia adalah Suma Kian Bu“ “Ehhh....? Dia....?” Sejenak puteri itu termenung teringat akan pemuda gagah perkasa, putera Majikan Pulau Es yang jatuh cinta kepadanya itu! Seorang pemuda hebat dan andaikata di dunia ini tidak ada Ang Tek Hoat, betapa akan mudahnya jatuh cinta kepada seorang sepertli Suma Kian Bu! “Tahukah Enci di mana adanya dia?” Syanti Dewi dalam keadaan masih termenung menggeleng kepalanya. “Aku tidak tahu, tentunya di Pulau Es, di ternpat tinggal orang tuanya, In-moi, Suma Kian Bu adalah seperti kakakku sendiri, seperti saudaraku sendiri. Kata¬kanlah mengapa engkau mencari dia? Ku¬harap saja tidak ada permusuhan antara kalian“ Siang In menggeleng kepalanya. “Ti¬dak ada permusuhan apa-apa “ “Kalau begitu kalian saling mencinta! Wah, syukurlah !” “Juga tidak, Enci. Tidak ada per¬musuhan, juga tidak ada ikatan itu kare¬na selama ini kami tidak pernah saling jumpa, hanya ada sedikit penasaran dan aku ingin sekali bertemu dengan dia untuk menanyakan suatu hal agar rasa penasaran di hatiku dapat lenyap.” “Syanti Dewi mengerutkan alisnya dan merasa khawatir. “Penasaran? Urusan apakah itu yang membuat engkau pena¬saran, adikku? Bolehkah aku mengetahui¬nya? Aku khawatir sekali....” “Ah, tidak apa-apa, Enci Syanti. Ha¬nya rasa penasaran karena suatu per¬buatan yang dia lakukan kepadaku, lima tahun yang lalu.” jawab Siang In dan tiba-tiba wajahnya berubah merah. Tentu saja puteri itu menjadi makin penasaran. “In-moi, perbuatan apakah yang dia lakukan kepadamu sampai mem¬buatmu penasaran? Atau.... engkau ku¬rang percaya kepadaku untuk memberitahu....“ “Ah, mengapa tidak percaya, Enci Syanti Dewi?” Siang In merangkul. “Tidak ada rahasia perbuatan itu hanyalah.... eh, lima tahun yang lalu dia.... eh, dia pernah mencium bibirku.” “Ihhh....!” Syanti Dewi terkejut bu¬kan main! Dara ini menceritakan hal seperti itu demikian jujurnya, seolah¬-olah itu “bukan apa-apa”! “Kenapa kau terkejut, Enci?” Siang In memandang penuh selidik. “Tidak apa-apa....“ Syanti Dewi meng¬atur napasnya yang agak memburu. “Ha¬nya.... kalau sudah begitu.... berarti kalian saling mencinta.” Siang In menggeleng kepala. “Bagai¬mana engkau dapat memastikan begitu?” “Ya.... karena.... pria yang mau mencium seperti itu, berarti dia men¬cinta, dan kau kalau kau mau menerima ciuman itu, berarti engkau pun mencintanya.” “Hemmm.... aku tidak tahu apakah aku cinta padanya, dan aku tidak tahu pula apakah dia cinta padaku. Akan te¬tapi, terus terang saja, ciuman itu mem¬buat aku sering kali tidak bisa tidur, Enci Syanti.” Syanti Dewi menutupi mulutnya, me¬nahan ketawa. Anak ini benar-benar ju¬jur bukan main, pikirnya dengan hati terharu. Jujur dan polos, murni bagai¬kan setangkai mawar hutan yang mulus tak pernah ternoda. “Itulah tandanya bahwa kau jatuh cinta kepada Kian Bu koko, adikku.” “Ah, tidak. Belum tentu. Aku tidak yakin apakah aku cinta padanya. Aku sering kali membayangkan ciuman itu, memang, akan tetapi dengan hati pena¬saran. Maka aku ingin sekali bertemu dengan dia untuk menanyakan artinya, untuk bertanya kepadanya mengapa lima tahun yang lalu itu dia menciumku se¬perti itu!” NEXT--->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar