Kamis, 30 Januari 2014

Kisah Si Bangau Merah Jilid 25

Kisah Si Bangau Merah Jilid 25

25

Semua orang terdiam memandang orang yang mengeluarkan bentakan nyaring itu. Yang membentak adalah Bantok Mo-ko. Biarpun kakek yang usianya sudah delapan puluh tiga tahun ini biasanya halus dan ramah, namun bentakannya mengandung getaran kuat sehingga semua orang terdiam dan suasana menjadi hening sehingga suaranya terdengar cukup jelas walaupun suara itu lembut.
"Ouw Ban," kata Ban-tok Mo-ko dengan suara yang berpengaruh. "Sebelum engkau mengemukakan usul baru, sebaiknya kalau kita membicarakan tentang kedudukanmu sebagai ketua. Tahukah engkau mengapa sekali ini aku sampai ikut menghadiri pertemuan ini, bahkan Suheng Thian-te Tok-ong juga keluar dari guhanya?"
Ouw Ban memandang wajah gurunya dengan alis berkerut dan sinar mata penuh pertanyaan.
"Teecu tidak mengerti apa yang Suhu maksudkan."
"Ouw Ban, apakah engkau masih belum menyadari kesalahanmu? Sebagai ketua engkau tidak becus! Semua langkah yang kauambil telah gagal, bahkan merugikan Thian-li-pang yang kehilangan banyak murid. Dan sekarang engkau malah hendak membunuh lebih banyak murid Thian-li-pang lagi dengan menyuruh mereka menyerbu istana?"
Ouw Ban nampak penasaran sekali.
"Akan tetapi, Suhu. Semua ini teecu lakukan demi perjuangan!"
"Hemm, perjuangan bukan sekedar menuruti dendam dan kemarahan. Harus dengan perhitungan. Akan tetapi sepak terjangmu ngawur. Sejak engkau menyelundupkan Ciang Sun ke istana, menghubungi Siang Hong-houw, engkau banyak melakukan kesalahan yang merugikan perjuangan kita. Dan sekarang engkau akan menyuruh banyak murid bunuh diri dengan menyerbu istana yang terjaga kuat sekali? Ouw Ban, karena engkau muridku, aku menjadi malu. Engkau tidak patut menjadi Ketua Thian-li-pang!"
Wajah Ouw Ban menjadi merah. Dia sedang berduka karena kematian putera tunggalnya, karena kegagalan usahanya membunuh para pangeran, dan kini gurunya bahkan mamarahinya di depan semua ketua cabang dan kepala ranting, bahkan di depan dua orang tokoh Pek-lian-kauw!
Dia teringat bahwa dialah Ketua Thian-li-pang sehingga di dalam perkumpulan itu, dia orang pertama yang paling tinggi kedudukannya, bahkan lebih tinggi dari kedudukan gurunya dan supeknya yang hanya merupakan penasihat!
"Suhu lupa bahwa akulah Ketua Thian-li-pang!" katanya. Suaranya kini kasar dan penuh kemarahan. "Aku berhak memutuskan apa yang harus dilakukan oleh Thian-li-pang, dan aku sudah mengambil keputusan untuk menyerbu istana, membunuh Kaisar Kian Liong! Tidak ada seorang pun yang boleh menghalangi rencanaku ini!"
Semua orang terkejut dan memandang dengan hati tegang melihat timbulnya pertentangan antara guru dan murid ini. Ouw Ban memandang kepada gurunya dengan mata bersinar-sinar.
“Ouw Ban, engkau hanya menuruti perasaan hatimu yang penuh dendam sakit hati karena kematian anakmu! Engkau sudah bertindak demi kepentingan diri pribadi, bukan lagi untuk kepentingan Thian-li-pang!"
"Ha-ha-ha-ha, Sute Ban-tok Mo-ko, muridmu ini memang sudah tidak patut lagi menjadi Ketua Thian-li-pang. Singkirkan saja dia dan ganti dengan murid lain!" kata Thian-te Tok-ong.
Mendengar ini, Ouw Ban menjadi semakin marah. Biarpun dia menghormati suhu dan supeknya, akan tetapi sekarang dia adalah seorang ayah yang mendendam karena kematian puteranya. Dia memang maklum akan kelihaian suhu dan supeknya, dan takut kepada mereka. Akan tetapi sekarang, melihat keinginannya membalas dendam kematian puteranya dihalangi, bahkan kedudukannya sebagai Ketua Thian-li-pang akan digeser, dia tidak mengenal takut lagi. Apa pula suhu dan supeknya adalah dua orang kakek yang sudah tua renta, betapa pun lihainya, tentu sekarang sudah lemah, pikirnya. Bangkitlah dia dari tempat duduknya dan dia menghadapi suhu dan supeknya.
"Aku diangkat menjadi Ketua Thian-li-pang oleh semua ketua cabang dan kepala ranting, juga oleh semua anggauta setelah aku menunjukkan bahwa akulah yang paling kuat dan paling tepat menjadi ketua. Kalau sekarang ada yang ingin mencopot aku dari kedudukan ketua siapapun juga dia, harus dapat mengalahkan dan merobohkan aku!"
"Heh-heh-heh-heh, muridmu ini memang bejat, Sute! Biar aku yang menghajarnya!"
Wajah Ban-tok Mo-ko menjadi pucat, lalu merah sekali. Dia adalah seorang datuk yang biasanya bersikap halus dan ramah, akan tetapi saat ini dia benar amat marah. Dia melangkah maju menghadapi muridnya dan berkata kepada suhengnya,
"Suheng, dia muridku, maka akulah yang bertanggung jawab atas penyelewengannya. Aku yang harus menghajarnya. Ouw Ban, engkau murid murtad, cepat berlutut dan menerima hukuman!"
Akan tetapi Ouw Ban yang sudah marah sekali tidak mau berlutut, bahkan menatap wajah suhunya dengan berani. Suhunya sudah berusia delapan puluh tiga tubuhnya sudah nampak kurus dan lemah sehingga dia sama sekali tidak merasa gentar. Apalagi dia tahu bahwa hampir seluruh ilmu yang dikuasai suhunya sudah dipelajarinya.
"Memang, aku adalah murid Suhu, akan tetapi di Thian-li-pang, bahkan Suhu harus tunduk terhadap perintah Ketua Thian-li-pang!"
"Ouw Ban, berani engkau menentang dan melawan gurumu?" sekali lagi Ban-tok Mo-ko membentak.
"Kalau terpaksa, siapa pun akan kulawan. Aku harus mempertahankan kedudukanku sebagai ketua dengan taruhan nyawa!"
"Kalau begitu, engkau akan mati di tanganku sendiri, Ouw Ban!" kata kakek itu dan tiba-tiba dia menyerang dengan tamparan tangan kirinya. Ouw Ban memang sudah siap siaga, maka dia pun menangkis dan balas menyerang!
Semua orang memandang dengan hati tegang. Tak ada seorang pun berani mencampuri atau melerai karena kedua orang itu adalah guru dan murid, bahkan Ketua Thian-li-pang dan seorang tokoh tua perkumpulan itu. Namun, jelas nampak bahwa usia tua membuat Ban-tok Mo-ko kewalahan menghadapi muridnya. Muridnya itu pun sudah tua, usia Ouw Ban sudah tujuh puluh tiga, akan tetapi gurunya sepuluh tahun lebih tua dan kalau Ouw Ban masih giat bergerak dan berlatih silat, Ban-tok Mo-ko, lebih banyak bersamadhi dan tidak pernah berlatih. Oleh karena itu, walaupun dalam hal tenaga sin-kang Ban-tok Mo-ko masih kuat, namun dia kehilangan kegesitannya dan kalah cepat oleh muridnya sehingga tak lama kemudian dia terdesak oleh muridnya itu!
Ketika untuk kesekian kalinya Ban-tok Mo-ko meloncat ke belakang menghindar dari desakan muridnya, Ouw Ban mengeluarkan bentakan nyaring, kedua tangannya berubah merah den dia pun memukul ke depan dengan dorongan kedua tangan terbuka. Itulah ilmu pukulan Ang-tok-ciang (Tangan Racun Merah) yang amat dahsyat! Melihat ini, Ban-tok Mo-ko juga mengerahkan sin-kangnya dan menggunakan ilmu pukulan yang sama, menyambut dorongan, kedua tangan itu.
"Plakkk!" Dua pasang tangan itu saling bertemu dan telapak tangan mereka saling melekat. Keduanya mengerahkan tenaga sin-kang, saling dorong dan sebentar saja nampak uap mengepul dari kepala mereka, tanda bahwa mereka telah mengerahkan seluruh tenaga sinkang mereka. Suasana menjadi semakin tegang karena semua orang tahu bahwa guru dan murid ini sedang mati-matian mengadu sin-kang yang berarti mereka mengadu nyawa. Yang kalah kuat akan roboh den tewas!
Akan tetapi tiba-tiba Thian-te Tok-ong bergerak ke depan dan tangan kirinya menepuk punggung sutenya.
"Murid macam itu tidak perlu diampuni lagi!"
Begitu punggung Ban-tok Mo-ko kena ditepuk tangan kiri Thian-te Tok-ong, serangkum tenaga dahsyat membantu kedua telapak tangan Ban-tok Mo-ko dan tiba-tiba saja tubuh Ouw Ban terlempar ke belakang dibarengi gerengannya dan dia pun roboh terbanting dan muntah darah, matanya mendelik dan nyawanya putus seketika!
Ban-tok Mo-ko memejamkan kedua matanya, lalu duduk bersila dan menarik napas panjang beberapa kali untuk memulihkan tenaganya. Sementara itu, Thian-te Tok-ong tertawa dan berkata kepada para murid Thian-li-pang,
"Singkirkan mayat murid murtad itu agar kita dapat bicara dengan tenang."
Beberapa orang murid maju dan mengangkat mayat Ouw Ban dibawa ke belakang. Jenazahnya akan dikubur tanpa banyak upacara lagi karena dia dianggap sebagai seorang murid murtad.
Ban-tok Moko lalu berkata kepada semua orang dengan suaranya yang lembut.
“Para anggauta Thian-li-pang, murid-murid yang setia. Karena Ouw Ban telah murtad dan disingkirkan, maka sekarang yang memimpin pertemuan ini adalah wakil ketua, yaitu Lauw Kang Hui. Kang Hui, kaupimpin pertemuan ini dan sebaiknya kalau diadakan pemilihan ketua baru lebih dulu, baru kita akan mengambil langkah-langkah selanjutnya.”
Lauw Kang Hui memberi hormat kepada suhunya dan supeknya, kemudian menghadapi semua orang,
“Saya merasa menyesal sekali dengan sikap terakhir yang diambil mendiang Suheng Ouw Ban. Hendaknya peristiwa ini dijadikan contoh bagi semua murid Thian-li-pang agar jangan ada yang mementingkan urusan pribadi di atas urusan perkumpulan. Sekarang saya persilakan saudara sekalian untuk mengajukan usul-usul bagaimana sebaiknya untuk memilih seorang ketua baru.”
Ramailah sambutan para ketua cabang dan kepala ranting. Banyak yang mengusulkan agar masing-masing kelompok besar mengajukan seorang calon ketua baru, kemudian diadakan pemilihan di antara para calon itu.
Akan tetapi, Lauw Kang Hui merasa tidak setuju. Dia mengangkat kedua tangan ke atas dan menggeleng kepalanya.
“Saudara sekalian, kurasa perkumpulan kita Thian-li-pang membutuhkan bimbingan orang yang berpengalaman dan berilmu tinggi. Kalau diserahkan kepada yang muda-muda, aku khawatir akan terjadi penyelewengan yang akan melemahkan perkumpulan kita. Maka, aku mengusulkan agar pimpinan Thian-li-pang kita persembahkan saja kepada tokoh-tokoh utama yang kita junjung tinggi, yaitu Supek Thian-te Tok-ong atau Suhu Ban-tok Mo-ko!”
Semua orang yang berada di situ menyambut usul ini dengan sorak-sorai gembira.
Memang, mereka akan merasa lega kalau yang memimpin langsung adalah dua orang kakek yang sakti itu. Hal itu akan membuat mereka berbesar hati.
Dua orang kakek itu saling pandang dan mereka menggeleng kepala. Ban-tok Mo-ko dapat membaca isi hati suhengnya maka dia pun bangkit dan berkata,
“Kami berdua adalah orang-orang tua renta yang sudah tidak ada semangat lagi untuk merepotkan diri mengurus hal-hal yang memusingkan. Tugas kami hanya mengawasi agar semua murid melakukan tugasnya dengan baik. Kami berdua tidak dapat menerima kedudukan ketua karena kami merasa sudah terlalu tua. Oleh karena itu, kami mempunyai usul agar jabatan ketua dipegang oleh murid kami Lauw Kang Hui. Dia boleh memilih wakilnya dan para pembantunya. Apakah semua setuju?”
Tepuk tangan dan sorakan menyambut usul ini sebagai tanda bahwa sebagian besar dari para anggauta Thian-li-pang menyetujui pengangkatan Lauw Kang Hui sebagai ketua itu.
Selama ini, sebagai wakil ketua, Lauw Kang Hui telah menunjukkan jasa-jasanya, bahkan untuk urusan luar yang mengandung bahaya, dia lebih aktip dibandingkan suhengnya Ouw Ban yang telah tewas itu.
Akan tetapi, tiba-tiba semua orang merasa heran melihat Lauw Kang Hui mengangkat kedua tangan ke atas, memberi isarat kepada semua orang untuk tenang. Setelah semua orang menjadi tenang kembali, Lauw Kang Hui lalu berkata dengan suara lantang, sambil memberi hormat lalu berdiri menghadap ke arah suhu dan supeknya.
“Harap Suhu dan Supek suka memaafkan teecu. Apa yang akan teecu katakan ini bukan berarti bahwa teecu tidak mentaati perintah Jiwi (Anda Berdua), melainkan untuk mengeluarkan semua perasaan penasaran yang telah lama menekan hati teecu.”
“Lauw Kang Hui, dalam pertemuan besar seperti ini, memang sebaiknya kalau kita bicara secara jujur, mengeluarkan semua isi hati kita. Bicaralah!” kata Ban-tok Mo-ko.
Lauw Kang Hui lalu menghadapi semua anggauta yang mencurahkan perhatian kepadanya. “Saudara-saudara sekalian. Terima kasih bahwa Cuwi (Anda Sekalian) telah menerima saya sebagai ketua baru. Akan tetapi untuk menerima kedudukan itu, saya mempunyai satu syarat, yaitu agar semua sepak terjang Thian-li-pang kita tentukan sendiri. Selama ini, sepak terjang Thian-li-pang seolah-olah dikendalikan oleh Pek-lian-kauw, dan ternyata banyak kegagalan kita alami. Oleh karena itu, saya mau memimpin Thian-li-pang sebagai ketua kalau mulai saat ini, kerja sama dengan Pek-lian-kauw ditiadakan. Biarlah Thian-li-pang mengenal Pek-lian-kauw sebagai rekan seperjuangan melawan penjajah Mancu, akan tetapi kita mengambil jalan dan cara masing-masing, tidak saling mencampuri.”
Kini terjadi perpecahan di antara para murid Thian-li-pang. Ada sebagian yang setuju dengan pendapat Lauw Kang Hui, ada pula yang tidak setuju. Mereka yang tidak setuju itu tentu saja para murid yang sudah menikmati keuntungan dari kerja sama mereka dengan Pek-lian-kauw. Ada yang menganggap bahwa kerja sama dengan Pek-lian-kauw itu baik, ada pula yang sebaliknya. Tentu saja pendapat baik atau buruk ini timbul karena adanya penilaian, dan penilaian selalu berdasarkan kepentingan diri sendiri. Apa saja yang menguntungkan diri sendiri akan dinilai baik, dan yang merugikan dinilai buruk. Karena itulah maka timbul pertentangan, yang diuntungkan menganggap baik dan yang tidak diuntungkan menganggap buruk.
Dua orang tokoh Pek-lian-kauw yang hadir sebagai tamu tentu saja saling pandang dengan alis berkerut mendengar ucapan calon ketua baru itu. Kwan Thian-cu yang gendut dan pandai bicara segera bangkit berdiri dan suaranya terdengar lantang.
“Siancai....! Pendapat dari Lauw-pangcu (Ketua Lauw) sungguh membuat kami merasa penasaran sekali! Bukankah selama ini Pek-lian-kauw merupakan kawan seperjuangan yang setia? Kami pun sudah mengorbankan banyak anak buah dalam membantu Thian-li-pang. Bahkan kami sekarang siap membantu apabila Thian-li-pang hendak menyerbu istana dan membunuh Kaisar Mancu! Kenapa tiba-tiba saja Lauw-pangcu mengatakan bahwa pihak kami hanya menggagalkan sepak terjang Thian-li-pang? Sungguh penasaran sekali dan kami tidak dapat menerimanya.”
“Hemm, Kwan Thian-cu Totiang (Pendeta) harap tenang dan suka mempertimbangkan ucapan kami. Selama ini, mendiang Suheng Ouw Ban selalu mendengarkan nasihat Pek-lian-kauw, bahkan kegagalan yang baru saja kami alami juga atas prakarsa Pek-lian-kauw. Kami hanya minta agar Pek-lian-kauw tidak mencampuri urusan kami dan mengenai perjuangan, biarlah kita mengambil jalan dan cara masing-masing tanpa saling mencampuri. Oleh karena itu, mengingat bahwa pertemuan ini adalah pertemuan pribadi perkumpulan kami, maka dengan hormat kami harap agar jiwi Totiang (Anda Berdua Pendeta) suka meninggalkan pertemuan ini.”
Dua orang pendeta Pek-lian-kauw itu menjadi marah bukan main. Mereka baru saja kehilangan Ang I Moli yang merupakan andalan mereka. Wanita itu dihukum mati sebagai akibat kegagalan kerja sama mereka untuk membunuh para pangeran. Dan sekarang, mereka diusir begitu saja oleh ketua baru Thian-li-pang.
“Sungguh keterlaluan! Thian-li-pang tidak mengenal budi,” teriak Kui Thian-cu yang bertubuh kecil kurus dan pendek. Mukanya yang keriputan itu nampak semakin tua.
Banyak anggauta Thian-li-pang yang mendukung kerja sama dengan Pek-lian-kauw juga nampak gelisah dan penasaran sehingga nampak sikap permusuhan antara dua kelompok yang mendukung sikap Lauw Kang Hui dengan mereka yang menentang.
“Hemm, agaknya ketua yang baru hendak membawa Thian-li-pang menjadi pengkhianat, membantu pemerintah penjajah untuk memusuhi Pek-lian-kauw yang selamanya anti penjajah?” teriak pula Kwan Thian-cu, sikapnya sudah menantang sekali.
“Jiwi Totiang! Kalian adalah tamu, apakah hendak menantang tuan rumah?” bentak Lauw Kang Hui yang sudah marah. Agaknya, perkelahian takkan dapat dihindarkan lagi, sedangkan dua orang kakek sakti dari Thian-li-pang yang masih duduk, hanya menonton saja dengan sikap tenang.
Pada saat yang gawat itu, tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di antara mereka berdiri seorang pemuda yang bermata tajam mencorong dan sikapnya tenang namun lembut. Tubuhnya yang sedang namun tegap itu mengenakan pakaian yang bersih namun sederhana. Pemuda ini bukan lain adalah Yo Han!
Agaknya, Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong masih mengenal pemuda itu, demikian pula Lauw Kang Hui. Thian-te Tok-ong terbelalak dan berseru,
“Heii, bukankah engkau Yo Han....?”
Yo Han menghampiri Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong, memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depan dada dan membungkuk sambil berkata,
“Jiwi Supek (Kedua Uwa Guru), saya Yo Han memberi hormat, dan harap maafkan karena melihat keadaan, terpaksa saya ingin ikut bicara sedikit.” Tanpa menanti jawaban dua orang kakek yang memandang bengong itu, Yo Han segera menghadapi semua orang Thian-li-pang. Dua orang kakek itu bengong karena merasa terheran-heran. Bukankah Yo Han telah tewas di dalam sumur bersama Ciu Lam Hok? Bagaimana mungkin anak itu kini muncul kembali sebagai seorang pemuda yang tampan dan gagah, dengan pakaian yang pantas pula? Suara Yo Han terdengar lantang ketika dia bicara.
“Saudara-saudara sekalian, para murid dan anggauta Thian-li-pang, dengarkan baik-baik. Seluruh dunia kang-ouw tahu belaka bahwa dahulu Thian-li-pang adalah perkumpulan orang-orang gagah yang selain menentang kejahatan dan menentang penjajahan, juga menegakkan kebenaran dan keadilan. Akan tetapi, akhir-akhir ini, semua orang tahu belaka bahwa telah terjadi penyelewengan-penyelewengan dan penyimpangan dari jalan benar yang dilakukan Thian-li-pang. Nama baik Thian-li-pang tercemar dan terkenal sebagai perkumpulan yang menentang pemerintah penjajah akan tetapi juga yang suka berbuat jahat! Langkah yang diambil Thian-li-pang mengikuti jejak langkah Pek-lian-kauw yang sejak dahulu terkenal menyeleweng daripada kebenaran dan banyak orang Pek-lian-kauw melakukan kejahatan dengan dalih perjuangan. Betapa pun mulia cita-citanya, namun kalau pelaksanaan atau cara mengejar cita-cita itu kotor, maka hasilnya akan menjadi kotor pula. Yang penting sekali adalah pelaksanaannya. Kalau pelaksanaannya bersih, maka yang dicapai juga bersih. Pelaksanaan adalah benihnya, dan tidak ada benih buruk mendatangkan buah yang baik. Saya menghormati dan setuju sekali pendapat Suheng Lauw Kang Hui tadi, yang bertekat untuk menegakkan kembali Thian-li-pang sebagai perkumpulan orang-orang gagah, perkumpulan pendekar pahlawan!”
Mereka yang tadi mendukung Lauw Kang Hui, bersorak menyambut ucapan ini, walaupun mereka kini juga terheran-heran mengenal Yo Han, yang lima tahun yang lalu pernah mereka melihat sebagai seorang anak yang diambil murid oleh Thian-te Tok-ong.
Lauw Kang Hui sendiri pun terheran, akan tetapi karena ucapan Yo Han sejalan dengan pendapatnya, dia pun diam saja dan hendak melhat perkembangan selanjutnya.
Kwan Thian-cu dan Kui Thian-cu, dua orang tosu Pek-lian-kauw itu, segera mengenal Yo Han sebagai anak laki-laki yang pernah mereka tawan ketika mereka membantu Ang I Moli. Melihat sikap dan mendengar ucapan Yo Han, dua orang tosu ini marah bukan main. Keduanya sudah melangkah maju dan memandang kepada Yo Han dengan mata melotot. Mereka ingat bahwa anak ini dahulu kebal terhadap sihir, maka mereka pun tidak mau mempergunakan ilmu sihir.
“Pemuda sombong! Berani engkau menjelek-jelekkan Pek-lian-kauw seperti itu? Siapa pun yang berani menghina Pek-lian-kauw, tak berhak hidup dan kami akan membunuhmu sekarang juga!” Dua orang tosu itu sudah siap untuk menyerang Yo Han. Pemud itu bersikap tenang saja dan dia menatap kedua orag tosu itu secara bergantian.
“Jiwi Totiang (Kalian Berdua Pendeta) mengaku sebagai pendeta-pendeta dan berpakaian sebagai pendeta. Namun, baik buruknya seseorang bukan tergantung dari pakaian atau sikapnya, melainkan dari perbuatannya. Jiwi Totiang sudah banyak melakukan kejahatan, maka jubah dan sikap Jiwi sebagai pendeta itu hanya kedok belaka. Apa yang saya katakan tadi hanya kebenaran, bukan bermaksud menjelek-jelekkan atau menghina siapapun.”
“Keparat, kau makin kurang ajar! Rasakan pukulanku!” bentak Kwan Thian-cu yang marah sekali dan tiba-tiba tokoh Pek-lian-kauw yang gendut ini menerjang dengan pukulan maut dari kedua telapak tangannya.
“Desss....!” Pukulan kedua tangan tosu Pek-lian-kauw yang gendut itu disambut oleh kedua tangan Lauw Kang Hui yang meloncat ke depan melindungi Yo Han. Dua pasang tangan itu bertemu dengan tenaga sin-kang sepenuhnya, dan akibatnya, Kwan Thian-cu yang kalah kuat terdorong, terjengkang dan tubuh yang gendut itu terguling-guling sampai beberapa meter jauhnya. Kui Thian-cu cepat menghampiri saudaranya dan membantunya bangkit. Masih untung bagi Kwan Thian-cu bahwa Lauw Kang Hui tidak berniat membunuhnya, maka tadi ketika menangkis, tidak menggunakan serangan balasan. Namun karena tosu Pek-lian-kauw itu memang kalah kuat, begitu kedua tangannya bertemu dengan calon ketua baru Thian-li-pang, tubuhnya seperti diterjang gajah dan terjengkang ke belakang.
“Totiang, kalau kami tidak memandang Pek-lian-kauw sebagai rekan seperjuangan, tentu saat ini engkau sudah tak bernyawa lagi. Kami hanya menghendaki agar Pek-lian-kauw tidak mencampuri urusan rumah tangga kami. Silakan meninggalkan tempat ini,” kata Lauw Kang Hui dengan tegas.
Dua orang tosu itu bangkit, memberi hormat dan pergi tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Mereka merasa malu akan tetapi juga maklum bahwa melawan tidak ada gunanya.
Dan mereka tahu pula bahwa para pimpinan Pek-lian-kauw pasti tidak menghendaki mereka mencari permusuhan dengan Thian-li-pang yang jelas menentang pemerintah penjajah.
Setelah dua orang tosu itu pergi tak kelihatan lagi bayangannya, Thian-te Tok-ong berkata dengan nada suara yang penuh kemarahan.
“Yo Han, engkau ini anak masih ingusan sudah berani berlagak di Thian-li-pang! Di sini ada aku, ada sute, ada pula Lauw Kang Hui, dan angkau membikin malu kami dengan sepak terjangmu seolah-olah engkau yang paling hebat di sini!”
“Maaf, sebelumnya teecu sudah minta maaf kepada Jiwi Susiok (Uwa Guru Berdua),” kata Yo Han sambil menghadapi dua orang kakek itu dan memberi hormat.
“Bocah lancang, engkau berani memandang rendah kepada kami, ya?” Ban-tok Mo-ko juga membentak. “Tanpa perintah kami, engkau telah berani mencari gara-gara dengan Pek-lian-kauw atas nama Thian-li-pang. Engkau tidak berhak bertindak atas nama Thian-li-pang. Kelancanganmu ini meremehkan kami dan harus kuhukum kau!” Setelah berkata demikian Ban-tok Mo-ko menerjang maju menyerang Yo Han. Melihat serangan gurunya itu, Lauw Kang Hui terkejut. Gurunya telah melancarkan serangan pukulan maut kepada Yo Han. Biarpun dia membenarkan tindakan Yo Han tadi, namun karena Yo Han bukan apa-apa baginya, dia tidak berani lancang melindunginya dari serangan gurunya yang hebat. Dia hanya memandang dengan mata terbelalak, juga semua anggauta Thian-li-pang memandang dan mereka semua merasa yakin bahwa Yo Han pasti akan roboh tewas karena mereka semua mengenal kesaktian Ban-tok Mo-ko yang merupakan seorang sesepuh atau locianpwe dari Thian-li-pang.
“Maaf, Supek!” kata Yo Han ketika melihat serangan yang mendatangkan angin pukulan dahsyat itu menyambar dirinya dan dia pun menggerakkan kedua tangannya yang mula-mula menyembah ke atas, terus turun ke bawah melalui depan dahi, hidung, mulut terus ke ulu hati, lalu kedua lengan dikembangkan dan tangan ke kanan kiri, terus ke bawah membentuk lingkaran, bertemu di bawah dalam keadaan menyembah lagi dan kedua tangan ini dengan kedua telapak tangan terbuka lalu menghadap ke depan dan lengannya diluruskan.
Tidak ada hawa pukulan keluar dari kedua tangan Yo Han ini, akan tetapi tiba-tiba Ban-tok Mo-ko mengeluarkan seruan kaget karena dia merasa betapa hawa pukulan kedua tangan membalik dan biarpun dia sudah bertahan, tetap saja dia terpelanting oleh kuatnya hawa pukulannya sendiri yang membalik!
“Ho-ho, anak ini memang perlu dihajar!” kata Thian-te Tok-ong, kaget dan juga tertarik sekali melihat betapa sutenya yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian yang hanya di bawah tingkatnya, sampai terpelanting jatuh. Dia pun mengebutkan lengan baju kanannya. Dia memukul dari jauh, menggunakan hawa pukulan yang amat dahsyat, kemudian tongkat di tangan kirinya menyusul, menotok ke arah pusar Yo Han.
“Maaf, Supek!” kata pula Yo Han. Dia tahu betapa dahsyatnya serangan ini, maka kembali dia menggerakkan kedua tangannya sesuai dengan ilmu yang baru saja dilatih di bawah petunjuk kakek Ciu Lam Hok, yaitu ilmu yang disebut Bu-kek-hoat-keng. Begitu kedua tangannya membuat gerakan memutar dan menyambut tamparan dan totokan tongkat, seperti yang terjadi pada Ban-tok Mo-ko tadi, tiba-tiba Thian-te Tok-ong juga berseru kaget dan biarpun dia tidak terpelanting seperti sutenya, namun dia terhuyung ke belakang dan dua serangannya tadi membalik, tangan kanan menampar kepala sendiri dan tongkatnya membalik ke arah pusarnya sendiri!
“Hemm, Bu-kek-hoat-keng....!” seru kakek bertubuh pendek kecil ini setelah mampu mengembalikan keseimbangannya, mukanya agak pucat karena dia tadi merasa kaget bukan main ketika kedua serangannya membalik secara aneh sekali
“Yo Han!” bentak Ban-tok Mo-ko. “Berani engkau mencampuri urusan pribadi Thian-li-pang?”
Yo Han memberi hormat kepada dua orang kakek itu.
“Jiwi Supek (Uwa Guru Berdua), harap maafkan saya. Sebagai murid Suhu Ciu Lam Hok, maka saya pun berhak mencampuri urusan Thian-li-pang dan apa yang saya lakukan ini adalah untuk memenuhi pesan dari Suhu. Thian-li-pang sejak dahulu adalah perkumpulan para pendekar yang berjiwa patriot. Akan tetapi semenjak Thian-li-pang dibawa bersekutu dan bersahabat dengan Pek-lian-kauw, apa jadinya? Thian-li-pang melupakan sumbernya, dan anak buahnya banyak yang mengikuti jejak Pek-lian-kauw, tidak segan melakukan kejahatan dengan berkedok perjuangan. Suhu pesan kepada saya untuk mengembalikan Thian-li-pang ke jalan benar.”
“Ciu Lam Hok itu.... di mana dia sekarang? Engkau dapat keluar, tentu dia pun dapat. Katakan, di mana Ciu Lam Hok?” Thian-te Tok-ong bertanya.
Yo Han menarik napas panjang, teringat betapa suhunya itu hidup menderita karena perbuatan dua orang kakek yang menjadi supeknya ini.
“Suhu telah meninggal dunia dalam keadaan tubuh menderita namun batinnya bahagia.”
“Ahhhh....!” Thian-te Tok-ong berseru, juga Ban-tok Mo-ko mengeluarkan seruan kaget.
“Jiwi Supek yang membuat Suhu hidup tersiksa!” kata pula Yo Han dengan suara mengandung teguran dan memandang tajam kepada dua orang kakek itu. Dua orang kakek itu menundukkan muka. Agaknya baru mereka kini melihat betapa kejam mereka terhadap sute sendiri. Mereka telah menyiksa sute mereka dan berlaku curang hanya karena iri hati dan ingin menguasai ilmu sute mereka yang lebih tinggi daripada ilmu mereka.
Entah bagaimana, ketika Ciu Lam Hok masih hidup dan merana di dalam sumur, dua orang kakek ini sama sekali tidak pernah menyesali perbuatan mereka bahkan raungan dan teriakan Ciu Lam Hok yang mereka dengar, membuat mereka semakin penasaran dan membenci karena sute itu tidak mau membagi ilmu-ilmunya kepada mereka. Akan tetapi kini mendengar bahwa sute itu sudah meninggal dunia, mendadak mereka kehilangan, dan merasa menyesal. Karena tidak ada lagi harapan untuk mendapatkan ilmu-ilmu dari orang yang sudah mati, maka kini seolah-olah yang teringat hanya perbuatan mereka terhadap sute itu, dan betapa mereka bertiga merupakan pendiri Thian-li-pang yang dahulu hidup rukun dan saling setia.
“Aih, Sute, kami telah berdosa kepadamu....” Tiba-tiba saja Thian-te Tok-ong berseru dan kakek ini menangis! Dan Ban-tok Mo-ko juga menangis. Melihat dua orang kakek yang menjadi sesepuh Thian-li-pang itu menangis seperti anak kecil, semua anggauta Thian-li-pang terheran-heran, dan Lauw Kang Hui menundukkan kepalanya. Wakil ketua ini pun menyadari betapa Thian-li-pang memang telah menyeleweng, anak buahnya banyak yang tidak segan melakukan perbuatan jahat bersama anak buah Pek-lian-kauw yang menjadi guru mereka dalam hal penyelewengan.
Tiba-tiba Ban-tok Mo-ko menghampiri suhengnya dan menudingkan telunjuknya ke arah muka suhengnya.
“Suheng, semua ini gara-gara engkau! Engkau telah membuntungi kaki tangannya, engkau telah berlaku kejam kepada Sute! Sekarang Sute telah meninggal, tentu arwahnya akan menuntut kepada kita! Suheng, engkaulah penyebab semua ini. Aihhhh, Sute.... maafkan aku, Sute. Semua ini Suheng kita yang menjadi biang keladinya!”
selanjutnya ---->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar