Kamis, 30 Januari 2014

Kisah Si Bangau Merah Jilid 29

Kisah Si Bangau Merah Jilid 29

29

Senja itu memang cerah dan indah. Sejak tadi sebelum Sian Li mancari, Sian Lun sudah duduk termenung seorang diri di lereng bukit yang berada di luar dusun Hong-cun itu.
Tempat ini merupakan tempat kesayangannya, di mana dia dan sumoinya seringkali bermain-main sejak Sian Li berusia dua belas tahun dan datang ke tempat itu. Bukit yeng tidak besar, namun berada di lereng bukit itu, pemandangan alamnya amat indah. Mereka dapat melihat dusun Hong-cun di kaki bukit dan mereka dapat menikmati keindahan senjakala di situ karena lereng bukit itu berada di sebelah barat.
Ketika tadi melihat keindahan senja yang cerah, melihat burung-burung bangau terbang melayang di angkasa melintasi matahari senja, agaknya hendak pulang ke sarang, teringatlah Sian Lun kepada sumoinya. Sumoinya itu diberi julukan Bangau Merah oleh suhu dan subonya. Julukan yang tepat sekali karena sumoinya selalu berpakaian merah, sumoinya puteri Pendekar Bangau Putih dan kalau sudah bersilat, gerakan sumoinya demikian indah, seindah gerakan burung bangau yang sedang terbang. Maka, keindahan dan lamunan membuat dia bersajak tentang bangau merah dan tentang keinginan hatinya untuk menjadi pelindung Sang Bangau Merah! Sajak ini merupakan cetusan hatinya karena diam-diam Liem Sian Lun telah jatuh cinta setengah mati kepada sumoinya, Si Bangau Merah!

Biarpun dia belum berani menyatakan isi hatinya secara berterang kepada Sian Li, namun dia sudah yakin bahwa sumoinya tentu tidak akan menolak cintanya. Dia bahkan sudah yakin bahwa kelak sumoinya pasti akan menjadi isterinya, dan diam-diam dia menganggap sumoinya telah menjadi tunangannya! Keyakinan ini diperkuat ketika secara tidak sengaja dia mendengar percakapan antara suhu dan subonya dari luar kamar mereka. Ketika itu, pada malam hari, dia lewat di depan kamar mereka dan suara mereka menembus jendela kamar, tertangkap oleh pendengarannya.
“Kebetulan nama mereka juga mirip. Sian Lun dan Sian Li! Akan tetapi bagaimana kalau orang tuanya tidak setuju?” terdengar suhunya berkata. Mendengar namanya disebut, Sian Lun memperlambat langkahnya dan mendengarkan dengan penuh perhatian.
“Aku percaya keponakanku tentu akan setuju. Apalagi kalau kita jamin bahwa Sian Lun adalah seorang anak yang baik sekali. Kulihat mereka itu berjodoh.”
“Aih, jodoh di tangan Tuhan. Jangan mendahului kehendak Tuhan,” kata suhunya dan mereka pun tidak bicara lagi. Sian Lun tidak berani berhenti, hanya memperlambat jalannya sehingga andaikata suhu dan subonya mendengar langkahnya, tentu tidak akan menduga bahwa dia ikut mendengarkan percakapan mereka. Dan semenjak mendengar percakapan itu, beberapa bulan yang lalu, dia merasa yakin bahwa Sian Li kelak pasti akan menjadi isterinya!
Akan tetapi, Sian Li amat manja dan lincah galak. Apalagi ia tahu betapa suhengnya amat menyayangnya, juga kakek dan nenek yang menjadi gurunya. Terhadap Sian Li, Sian Lun agak takut dan penurut, dan hal ini membuat Sian Li semakin manja. Sikap manja yang dalam pandangan Sian Lun bahkan membuat dara itu menjadi semakin menggemaskan dan menarik hati.
Cinta berahi kalau sudah mencengkeram hati seseorang, membuat orang itu menjadi badut. Ulah tingkah menjadi lucu dan tidak wajar lagi. Mulut cemberut seorang yang dicinta akan nampak semakin manis, bahkan ada kelakar yang kasar mengatakan bahwa kentut seorang kekasih berbau sedap! Sebaliknya, senyum ramah seorang yang dibenci akan nampak mencemoohkan dan dianggap senyum itu mengejek dan mentertawainya sehingga menimbulkan amarah!
Sian Lun terkejut ketika dia sedang melamun dan membaca sajak yang timbul di saat yang romantis itu, dia ditegur oleh Sian Li yang kemunculannya tidak diduga sebelumnya. Saking kagetnya dia hanya menoleh dan memandang kearah dara itu yang nampak lebih cantik daripada biasanya, segar habis mandi seperti setangkai bunga bermandikan embun. Melihat pemuda itu tidak menjawab pertanyaannya dan hanya bengong memandangnya, Sian Li cemberut.
“Heii, Suheng, engkau ini kenapa sih? Tadi menyebut-nyebut Bangau Merah berulang kali, sekarang engkau hanya bengong tanpa menjawab pertanyaanku!”
“Sumoi.... aih, engkau.... engkau demikian cantik.... indah sekali, ah, pantasnya engkau seorang dewi kahyangan yang baru turun melalui cahaya yang keemasan....”
Kalau saja tidak timbul kebanggaan oleh pujian ini, tentu Sian Li sudah tertawa geli.
“Ahhh, yang benar, Suheng!” katanya memancing pujian lebih banyak.
Sian Lun benar terpesona dan matanya menatap tak pernah berkedip, seolah takut kalau berkedip, keindahan di depannya itu akan lenyap. Dara itu berdiri menghadap matahari senja, sepenuhnya diselimuti cahaya keemasan.
“Sungguh, Sumoi.... rambutmu yang hitam itu kini dilingkari cahaya kekuningan, wajahmu mencorong oleh cahaya keemasan, engkau nampak begitu segar, begitu hidup, berkilauan, matamu bercahaya, senyummu.... duhai, Sumoi, betapa cantik jelita engkau....” Sian Lun tidak biasa merayu, akan tetapi sekali ini dia terpesona dan seperti dalam mimpi rasanya.
“Ah, masa....?” Sian Li berseru manja, haus pujian selanjutnya.
“Sumoi, engkau laksana dewi yang bermandikan cahaya keemasan, cantik jelita mempesona dan....”
“Aiih, sudah-sudah! Bisa terbang melayang ke angkasa aku oleh pujianmu. Mengapa sih tiba-tiba engkau memuji-mujiku seperti ini? Engkau tadi bersajak tentang Burung Bangau Merah, sekarang engkau merayuku setengah mati. Apa engkau mabok Suheng?”
Sian Lun menghela napas panjang. Sikap dan ucapan Sian Li membuyarkan suasana romantisnya, menariknya dengan kasar kembali ke bumi yang keras. Dia menarik napas panjang dan wajahnya berubah merah karena mengenangkan sikap dan kata-katanya tadi membuat dia merasa rikuh dan malu. Kalau dia masih terpesona seperti tadi, tentu akan dijawabnya bahwa dia memang mabok akan kecantikan sumoinya itu. Akan tetapi sekarang dia sudah sadar dan dia takut kalau-kalau sumoinya menjadi marah.
“Aku tidak mabok, Sumoi. Semua itu kulakukan saking sayangnya aku kepadamu.”
Sian Li tersenyum. Gadis berusia tujuh belas tahun yang sejak kecil digembleng ilmu silat dan kurang pengalaman ini masih belum sadar dan belum mengerti akan cinta kasih antara pria dan wanita. Yang dikenalnya hanya rasa sayang kepada orang-orang yang dekat dan akrab dengannya.
“Tentu saja engkau sayang padaku, Suheng. Bukankah aku ini sumoimu? Kalau tidak sayang, percuma engkau menjadi Suhengku.” Jawaban ini demikian wajar dan Sian Lun merasa betapa kecewa hatinya. Gadis ini belum tahu! Belum tahu bahwa sayangnya bukan seperti suheng terhadap sumoi, bukan seperti kakak terhadap adik, melainkan sayang yang disertai dendam rindu, disertai berahi seorang pria terhadap wanita!
“Aku sangat sayang padamu Sumoi, entah apakah engkau pun sayang padamu.”
“Tentu saja! Kenapa engkau masih bertanya lagi, Suheng? Kurasa engkau tidak begitu bodoh untuk mengetahui hal itu. Sejak lima tahun yang lalu kita bersama-sama latihan silat di sini, belajar sastra, dan bermain bersama-sama. Nah, sekarang kalau memang engkau sayang kepadaku....”
“Apa yang harus kulakukan? Katakanlah, Sumoi,” kata Sian Lun dengan penuh gairah dan harapan. Untuk menunjukkan rasa sayang, disuruh apa pun dia mau, apalagi kalau disuruh memondong tubuh, biar sehari penuh pun dia bersedia.
“Aku haus dan ingin makan buah leci, Suheng. Kaucarikan untukku, di lereng utara sana banyak pohon lecinya.”
“Baik, akan kucarikan, Sumoi. Kau tunggu saja sebentar di sini.” Sian Lun lalu meloncat jauh dan berlari cepat melintasi bukit menuju ke utara di mana terdapat kebun pohon leci yang luas, milik seorang hartawan yang tinggal di kota Cin-an. Dia sudah mengenal baik penjaga kebun itu dan pasti akan diberi kalau dia minta buah leci sekedar dimakan.
Setelah pemuda itu pergi Sian Li duduk sambil termenung dan tersenyum-senyum. Hatinya merasa gembira oleh pujian-pujian tadi. Ia merasa bangga. Suhengnya memang seorang kakak seperguruan yang amat baik kepadanya. Sejak ia berada di situ, lima tahun yang lalu, suhengnya selalu bersikap baik dan mengalah kepadanya. Suhengnya itulah yang membuat ia tidak merasa kesepian tinggal di rumah paman kakeknya, membuat ia tidak merasa bosan mempelajari ilmu silat dari suami isteri yang sakti itu. Bersama suhengnya ia dapat berlatih silat, mempelajari sastra, dan bermain-main. Suhengnya seorang pemuda yang tinggi besar, gagah dan tampan, dan selalu melindunginya. Bahkan pernah suhengnya itu mengejar beberapa orang pemuda kota yang berkunjung ke dusun Hong-cun dan bersikap kurang ajar kepadanya. Ia sendiri tidak mau melayani mereka, akan tetapi suhengnya marah-marah dan menghajar lalu melempar-lemparkan tujuh orang pemuda kota itu ke dalam air Sungai Kuning! Ia sama sekali tidak tahu bahwa perbuatan Sian Lun itu terdorong oleh cemburu!
Tiba-tiba perhatiannya tertarik kepada sesosok tubuh orang yang tertatih-tatih mendaki lereng itu. Seorang pria yang sudah tua sekali. Tadinya ia mengira paman kakeknya Suma Ceng Liong yang mencarinya. Akan tetapi setelah agak dekat, ternyata bukan. Dia seorang kakek yang usianya tentu sudah tujuh puluh tahun lebih, pakaiannya model pakaian sastrawan akan tetapi pakaian itu penuh tambalan walaupun bersih. Dia mendaki lereng itu dibantu sebatang tongkat. Rambut dan cambang serta kumis jenggotnya sudah putih semua, membuat dia nampak tua dan lemah.
Dalam jarak dua puluh meter, kakek itu berhenti, berdiri menekan tongkat dengan kedua tangan, mengangkat muka memandang ke arah Sian Li dan berkata dengan nada suara lembut gembira, “Ahh, tidak salah lagi. Engkau tentu Ang-ho-li (Nona Bangau Merah)!”
Sian Li mengerutkan alisnya. Tidak banyak orang tahu bahwa ia diberi nama julukan itu.
Yang mengetahuinya hanyalah ayah ibunya, paman kakeknya berdua, suhengnya.
Bagaimana kakek ini begitu muncul menyebutkan nama julukannya itu?
“Kek, siapakah engkau dan dari mana engkau tahu bahwa aku disebut Bangau Merah?” Suaranya terdengar galak dan pandang matanya penuh selidik.
“Siancai....! Dahulu engkau seorang bocah yang mungil lincah, sekarang telah menjadi seorang gadis yang lincah dan galak! Hei, Dewi Baju Merah, apakah engkau benar telah lupa kepadaku? Beberapa tahun yang lalu kita pernah saling jumpa di rumah kakekmu, di Pao-teng.”
Sian Li memandang penuh perhatian dan wajahnya berubah seketika. Wajahnya kini cerah dan berseri, senyumnya menghias wajah yang manis itu, membentuk lesung mungil di kedua pipinya.
“Aihh, kiranya Locianpwe Yok-sian Lo-kai....!” Ia bangkit dan cepat memberi hormat kepada kakek tua renta yang pakaiannya penuh tambalan itu.
“Ha-ha-ha, memang aku adalah Lo-kai (Pengemis Tua) itu! Dan aku telah mencarimu ke rumah ayah ibumu di Tatung, lalu menyusul ke Hong-cun. Kakek dan nenekmu yang kini menjadi guru-gurumu mengatakan bahwa engkau tentu berada di lereng bukit ini. Aku segera menyusul ke sini. Siancai.... engkau, telah menjadi seorang gadis yang lihai dan manis. Dan aku datang untuk menagih janji, ingat?”
“Tentu saja aku ingat, Locianpwe. Dan aku sudah siap sedia untuk menerima pelajaran ilmu pengobatan dirimu.”
Kakek itu tertawa gembira dan pada saat itu muncullah Sian Lun yang membawa buah leci yang sudah masak dan cukup banyak. Melihat sumoinya tertawa-tawa dengan seorang kakek yang tidak dikenalnya, dia mengerutkan alisnya.
“Sumoi, siapakah kakek jembel ini?” tanyanya tak senang. Entah mengapa, setiap kali melihat sumoinya beramah tamah dengan seorang laki-laki, tidak peduli laki-laki itu tua atau muda, dia merasa tidak senang, merasa cemburu!
“Hushhh, Suheng, jangan sembarangan engkau memanggil orang! Locianpwe ini adalah guruku, tahu engkau?” bentak Sian Li marah.
Sian Lun cepat memberikan buah-buah leci itu kepada sumoinya, lalu dia memberi hormat kepada kakek itu. Dia terkejut bukan main, juga heran mendengar ucapan sumoinya.
“Ah, harap Locianpwe suka memaafkan saya yang bersikap tidak sopan,” katanya.
Bagaimanapun juga, Sian Lun bukan hanya mempelajari ilmu silat, akan tetapi juga sastra dan tata susila.
Kakek itu tersenyum dan mengangguk-angguk.
“Siancai.... kiranya Taihiap (Pendekar Besar) Suma Ceng Liong dan isterinya yang gagah perkasa mempunyai seorang murid yang begini gagah. Tidak mengapa, orang muda. Hanya lain kali jangan terburu nafsu menyangka buruk kepada orang lain.”
Wajah Sian Lun berubah merah dan sekali lagi dia memberi hormat.
“Maafkan saya, Locianpwe. Sumoi, engkau tidak pernah bercerita kepadaku tentang suhumu ini. Siapakah beliau ini?”
Sian Li menyodorkan buah-buah leci itu kepada Yok-sian Lo-kai dan berkata,
“Suhu, silakan makan. Buah-buah leci ini baru saja dipetik, masih segar dan manis.”
Kakek itu tanpa sungkan lagi mengambil beberapa butir buah leci. Sian Li lalu menghadapi suhengnya.
“Suheng, Suhuku ini adalah Yok-sian Lo-kai. Lima tahun yang lalu Suhu ini berjanji akan mengajarkan ilmu pengobatan kepadaku dan hari ini dia datang memenuhi janjinya.”
Kembali Sian Lun terkejut. Dia tentu saja pernah mendengar nama besar Yok-sian Lo-kai (Pengemis Tua Dewa Obat) ini, yang terkenal bukan hanya karena pandai ilmu pengobatan, akan tetapi juga karena ilmu silatnya, terutama ilmu totok jalan darah, yang amat lihai.
“Sekali lagi maaf, Locianpwe, atas sikapku tadi. Sumoi, harap kau maafkan aku dan jangan sampaikan kepada Suhu dan Subo tentang sikapku yang tidak benar tadi.”
Sian Li cemberut.
“Tentu saja akan kuberitahukan kepada Kakek dan Nenek. Engkau telah berani menyebut Guruku kakek jembel!” Sian Li yang amat manja terhadap suhengnya itu mengancam. Yoksian Lo-kai tertawa.
“Ha-ha-ha-ha, engkau keliru, Sian Li. Engkau tidak boleh melapor kepada siapa pun juga. Suhengmu sudah mengakui kesalahannya dan minta maaf, hal itu menunjukkan bahwa dia berani bertanggung jawab dan menyesali dan menyadari kesalahannya. Selain itu, juga aku lebih suka disebut Jembel Tua daripada Dewa Obat, heh-heh-heh! Memang julukanku Jembel Tua, kenapa engkau harus marah mendengar aku disebut Jembel Tua oleh suhengmu? Ha-ha-ha!”
“Baiklah, melihat muka Suhu, aku mau menyudahi perkara ini sampai di sini saja. Nah, sekarang cepat kauberitahukan kepada Kakek dan Nenek bahwa aku sudah bertemu Suhu Yok-sian Lo-kai dan akan pulang belakangan.”
“Baik, Sumoi. Locianpwe, saya pergi dulu,” kata Sian Lun dengan hati lega. Kalau sumoinya mengadu kepada suhu dan subonya, tentu dia akan mendapatkan teguran keras.
Dia lalu berlari cepat turun dari lereng bukit, diikuti pandang mata kakek itu yang masih tersenyum.
“Suhengmu sudah memiliki kepandaian tinggi, ilmunya berlari cepat cukup hebat,” kakek itu memuji.
“Ah, dia masih terlalu lambat,” kata Sian Li. Jawaban ini menunjukkan bahwa gadis ini tentu dapat berlari lebih cepat dibandingkan suhengnya dan diam-diam kakek itu kagum.
Dia percaya bahwa di bawah gemblengan suami isteri sakti seperti Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng, apalagi mengingat bahwa ia puteri Pendekar Bangau Putih, tentu gadis berpakaian merah ini menjadi lihai bukan main. Dia pun bangga kalau dapat menurunkan ilmu-ilmunya kepada dara ini.
“Sian Li, aku ingin memberitahu sedikit kepadamu tentang suhengmu itu.”
Sian Li yang sedang makan leci, menghentikan gerakan mulutnya dan ia menoleh, memandang kepada kakek itu.
“Apa yang Suhu maksudkan? Suheng telah bersikap kasar, dan dia memang pantas ditegur dan....”
“Hal itu sudah lewat dan tidak perlu dibicarakan lagi, Sian Li. Hanya satu hal ingin kuperingatkan kepadamu tentang suhengmu itu. Engkau berhati-hatilah dengan sikapmu, karena dia amat sayang kepadamu.”
“Tentu saja dia sayang padaku, Suhu. Bukankah dia itu Suhengku? Kenapa aku harus berhati-hati dengan sikapku?”
“Dan bagaimana dengan engkau sendiri? Sayangkah engkau kepada suhengmu?”
Dara itu memandang Yok-sian dengan sinar mata heran. Pertanyaan yang aneh, pikirnya.
“Tentu saja aku sayang kepada Suheng, Suhu. Bukankah hal itu sudah sewajarnya? Dia berlatih bersamaku, belajar bersamaku dan bermain bersamaku sejak lima tahun yang lalu dan dia amat baik kepadamu.”
Kakek itu tersenyum maklum. Dara ini masih hijau, masih polos dan belum pernah mengalami cinta berahi, maka kasih sayangnya terhadap suhengnya itu adalah kasih sayang seorang adik terhadap kakaknya.
“Maksudku, dia pencemburu besar, Jangan bersikap terlalu ramah kepada laki-laki lain kalau tidak ingin melihat dia marah-marah.”
“Aih, itulah yang aneh, Suhu! Pernah ada beberapa orang pemuda menggodaku dan Suheng demikian marahnya sampai dia mengamuk dan hampir saja membunuhi orang-orang itu kalau tidak kularang....“
Kakek itu merasa heran. Dari sikap pemuda itu tadi saja dia sudah mengerti bahwa pemuda itu telah jatuh cinta pada sumoinya, dan agaknya cintanya berkobar-kobar panas sekali, membuat dia menjadi seorang pencemburu besar sehingga melihat sumoinya beramah tamah dengan seorang kakek seperti dia pun pemuda tadi sudah tidak senang.
Itu namanya cemburu, maka engkau harus dapat menjaga sikapmu.”
Sian Li mengangguk, padahal ia tidak mengerti mengapa suhengnya bersikap seperti itu.
”Mari kita pulang, Suhu.”
Mereka lalu menuruni lereng dan agaknya Yok-sian sengaja hendak menguji ilmu berlari cepat muridnya. Dia sendiri mengerahkan tenaganya, menggunakan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) dan larinya cepat sekali, sungguh tidak sesuai dengan usianya yang sudah demikian lanjut. Namun, biar ia baru berusia tujuh belas tahun, Sian Li sejak kecil digembleng dan ditangani orang-orang sakti, mula-mula oleh ayah ibunya sendiri, kemudian oleh Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng, suami isteri yang pernah menggegerkan dunia persilatan dengan kelihaian mereka. Maka tidak terlalu mengherankan kalau dara itu bukan saja mampu mengimbangi kecepatan lari Yok-sian Lo-kai, bahkan setelah tiba di rumah kakeknya, Dewa Obat itu tertinggal beberapa ratus meter di belakangnya!
Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng menyambut mereka di depan rumah sambil tertawa melihat dara dan kakek itu berlari-larian, juga Sian Lun telah berada di dekat gurunya.
Yok-sian Lo-kai terkekeh sambil terengah ketika tiba di depan mereka.
“Aihhh.... aku sudah tua, bagaimana mungkin dapat menandingi kecepatan Si Bangau Merah?”
“Aih, jangan merendahkan diri, Suhu!” kata Sian Li. “Suhu datang bukan untuk mengajarkan ilmu lari kepadaku, melainkan ilmu pengobatan!”
Semua orang tertawa mendengar ini, juga Sian Lun tersenyum. Baru terasa olehnya betapa dia tadi telah terburu nafsu, merasa iri hati atau cemburu melihat sumoinya beramah tamah dengan kakek itu.
Demikian, mulai hari itu, Yok-sian Lo-kai mulai mengajarkan ilmu pengobatan kepada Sian Li. Bukan saja pengetahuan tentang ramuan obat untuk berbagai penyakit, juga kakek itu mengajarkan pengobatan dengan tusuk jarum, dengan totokan dan pijatan, dan yang amat menggembirakan hati Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng, juga tentu saja Sian Li sendiri, kakek itu bahkan mengajarkan It-yang Sin-ci, yaitu ilmu totok dengan sebuah jari yang pernah membuat nama kakek itu terkenal di dunia persilatan.
Sian Li amat berbakat, dan sudah memlliki dasar yang kuat, maka dalam waktu tiga bulan saja dara ini telah dapat menguasai ilmu-ilmu yang diajarkan Yok-sian Lo-kai kepadanya.
Kakek itu merasa kagum dan juga girang bukan main melihat kecerdasan muridnya. Dia merasa puas bahwa akhirnya ada seorang murid yang cocok untuk mewarisi ilmunya.
Setelah memesan kepada muridnya kelak mempergunakan ilmu-ilmunya itu untuk kebaikan, menolong orang sakit di samping tugasnya sebagai pendekar wanita penentang kejahatan, Yok-sian Lo-kai lalu meninggalkan rumah Suma Ceng Liong untuk pergi bertapa ke Liong-san dan menghabiskan sisa hidupnya dalam ketenangan. Dia memberikan jarum emas dan peraknya kepada Sian Li. Suami isteri Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng mengantar kepergian Dewa Obat itu dengan perjamuan sederhana namun meriah, dan atas nama cucu keponakan mereka, suami isteri ini mengucapkan terima kasih mereka.
Biarpun ia sudah menguasai ilmu totok It-yang Sin-ci, namun tentu saja Sian Li hanya baru menguasai cara dan teori penggunaan ilmu itu saja, belum matang karena ia harus banyak berlatih untuk mematangkan ilmu totokan yang dahsyat itu. Demikian pula ilmu pengobatan dengan tusuk jarum dan pijatan jari tangan, harus ia latih. Namun, ia telah menguasai cara berlatih untuk ilmu-ilmu itu.
***
Liem Sian Lun harus mengerahkan seluruh tenaga, kecepatan gerak dan mengeluarkan semua kemampuannya untuk dapat mengimbangi sumoinya. Gerakan Sian Li luar biasa cepatnya, bagaikan seekor burung merah yang cekatan sekali berkelebatan bahkan kadang lenyap dan yang nampak hanya bayangan merah yang diselimuti gulungan sinar pedangnya.
Kalau orang lain melihat pertandingan pedang itu, dia tentu akan mengira bahwa pemuda dan dara itu berkelahi mati-matian. Demikian cepat permainan pedang mereka, dan kadang nampak bunga api berpijar kalau dua batang pedang itu bertemu di udara.
Namun, sesungguhnya mereka hanya berlatih ilmu pedang setelah tadi dalam berlatih silat tangan kosong Sian Lun terpaksa mengakui keunggulan sumoinya. Dalam ilmu pedang Sian Lun memang berbakat sekali maka dia mampu mengimbangi permainan pedang sumoinya.
Bagi dua orang muda yang sudah menguasai benar ilmu pedangnya, tidak mungkin mereka akan saling melukai.
Pedang yang mereka pegang itu seolah telah menjadi satu dengan tangan, seperti anggauta badan sendiri sehingga mereka sudah menguasai sepenuhnya. Setiap detik mereka akan mampu menghentikan tusukan atau bacokan pedang mereka sehingga tidak akan melukai lawan berlatih.
Keduanya berlatih ilmu pedang Liong-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Naga), yaitu gabungan ilmu pedang Suling Emas dan Naga Siluman yang mereka pelajari dari Kam Bi Eng. Ilmu pedang ini memang hebat. Dari gerakan-gerakan pedang di tangan mereka ternyata bahwa di situ terkandung gerakan yang lembut seperti tiupan suling namun dahsyat dan ganas seperti seekor naga mengamuk. Karena senjata suling adalah senjata yang khas dari keluarga Suling Emas, maka Kam Bi Eng mengganti suling dengan pedang dan mengajarkan mereka memainkan ilmu itu dengan sebatang pedang.
Kini Sian Li dalam kelebihannya dalam kecepatan gerakan, mulai mendesak suhengnya.
Andaikata mereka itu bertanding sungguh-sungguh dalam sebuah perkelahian, tentu Sian Li akan dapat merobohkan suhengnya karena ia memiliki beberapa ilmu yang tidak dipelajari Sian Lun, seperti ilmu totok It-yang Sin-ci dari Yok-sian Lo-kai, dan terutama sekali Ilmu Silat Bangau Putih yang sejak kecil dipelajarinya dari ayahnya, dan lain-lain.
Kini, karena mereka sengaja berlatih ilmu pedang Liong-siauw Kiam-sut, mereka menggunakan ilmu itu saja dan karena keduanya sudah menguasai ilmu pedang itu dengan baik, maka sukarlah untuk suling mengalahkan. Sian Li berhasil mendesak hanya mengandalkan kecepatannya, dan memang ia lebih cekatan sehingga akhirnya Sian Lun menjadi repot sekali, dan hanya mampu menangkis saja, tidak ada kesempatan lagi untuk membalas. Akan tetapi, dia mengenal semua jurus yang dlpergunakan sumoinya untuk menyerangnya, maka tentu saja dia tahu bagaimana caranya untuk menghindarkan diri.
“Cukup, Sumoi. Engkau terlalu cepat bagiku!” Akhirnya Sian Lun mengakui kekalahannya. Pemuda ini tidak merasa iri atau malu, bahkan merasa bangga bahwa sumoinya demikian hebatnya.
“Suheng, engkau memang kalah cepat akan tetapi kalau engkau mengerahkan seluruh tenagamu, tentu engkau akan dapat mengimbangi aku karena dalam hal penggunaan tenaga tulang dan otot, aku masih kalah.”
“Bagus sekali! Ilmu pedang yang hebat, orang-orang muda yang mengagumkan!” Tiba-tiba terdengar pujian orang dan cepat Sian Lun dan Sian Li membalikkan tubuh dan mereka melihat dua orang yang tahu-tahu telah berada di situ, di dalam taman di mana mereka berlatih ilmu pedang tadi. Kalau dua orang itu dapat muncul demikian tiba-tiba tanpa mereka ketahui, hal ini menunjukkan bahwa dua orang ini tentu bukan orang sembarangan. Sian Li memandang dengan teliti. Seorang kakek dan seorang nenek.
Kakek itu tentu sudah enam puluh tahun lebih usianya, namun masih tampak tampan dan jantan dengan kulit agak gelap dan muka bulat yang tidak asing bagi Sian Li. Di punggung kakek ini terdapat sepasang pedang dengan ronce biru. Nenek itu yang sama sekali asing bagi Sian Li. Seorang nenek yang usianya juga sekitar enam puluh, namun masih cantik dan anggun. Ia berpakaian serba kuning, dengan kerudung kepala kuning pula.
Rambutnya yang sudah bercampur uban itu terhias burung merak dari emas yang masih nampak di bawah kerudung suteranya yang tipis. Wajah wanita ini asing, bukan wajah seorang bangsa Han. Biarpun wajah kakek itu tidak asing bagi Sian Li, namun ia tidak tahu siapa kakek itu.
“Kakek dan Nenek yang baik, siapakah Jiwi (Anda Berdua)? Dan ada kepentingan apakah jiwi masuk ke dalam taman kami ini?” Sian Li bertanya dengan lembut.
Kakek itu menoleh kepada nenek di sebelahnya sambil tersenyum gembira.
“Kaulihat, bukankah ia mirip sekali dengan ibunya?” Lalu dia menghadapi Sian Li lagi dan berkata,
“Aku yakin bahwa engkau tentu Tan Sian Li, bukan? Engkau Si Bangau Merah, bukan?”
Sian Li membelalakkan mata.
“Bagaimana engkau bisa mengenalku, Kek? Siapakah engkau? Dan siapa pula Nenek ini?”
“Ha-ha-ha-ha,” kakek itu tertawa. “Pernah aku berkunjung ke rumah orang tuamu ketika engkau masih kecil, pernah pula engkau membasahi bajuku, ha-ha-ha. Engkau tentu lupa Sian Li. Aku adalah Suma Ciang Bun dan ini isteriku, Gangga Dewi.”
Sian Li membelalakkan matanya lagi dan mukanya berubah kemerahan mengingat ucapan kakek tadi bahwa ia pernah ngompol ketika masih kecil dipondong kakek itu sehingga membasahi bajunya. Kini ia teringat. Kakek ini adalah adik kandung neneknya, Suma Hui. Berbeda dengan paman kakeknya yang kini menjadi gurunya. Suma Ceng Liong yang hanya adik sepupu neneknya, kakek yang berada di depannya ini adalah adik kandung neneknya.
“Aih, kiranya Ku-kong (Paman Kakek) Suma Ciang Bun!” Sian Li berseru gembira.
“Selamat datang, Kakek. Dan Nenek ini, isteri Kakek.... namanya aneh. Nenek Gangga Dewi? Tentu bukan orang Han....” Sian Li lalu memberi hormat kepada dua orang tua itu.
“Suheng, ini adalah kakak sepupu dari Kakek Suma Ceng Liong!” Dara yang lincah itu memberi tahu Sian Lun yang cepat mengangkat tangan memberi hormat kepada Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi.
Gangga Dewi mendekati dan memeluk Sian Li.
“Anak manis, engkau cantik bukan main, Aku memang datang dari Bhutan, dan aku bukanlah orang lain. Seorang di antara guru ayahmu yang bernama Wan Tek Hoat atau Tiong Khi Hwesio adalah mendiang Ayah kandungku.”
selanjutnya ---->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar