Kamis, 30 Januari 2014

Kisah Si Bangau Merah Jilid 11

Kisah Si Bangau Merah Jilid 11

11

Suma Ciang Bun mengerutkan alisnya. "Yo Han tarjatuh di tangan orang-orang jahat, nyawanya terancam bahaya dan aku hendak mengejar dan menolongnya. Kenapa engkau mencegahku, Gangga Dewi?"
"Kenapa engkau hendak menolong Yo Han?"
Tentu saja! Aku sayang padanya. Dia pernah tinggal di sini, dititipkan oleh gurunya, Tan Sin Hong. Biar anak lain yang tidak kukenal sekalipun, sudah sepatutnya kubebaskan dari tangan orang-orang jahat itu. Apalagi Yo Han!" Suma Ciang Bun hendak meloncat lagi, akan tetapi Gangga Dewi menghadangnya.
"Nanti dulu, Suma Ciang Bun. Tenanglah dan mari kita bicara dengan kepala dingin. Kaukira aku tidak sayang kepada Yo Han? Biarpun belum lama kami saling berkenalan, namun anak itu sudah kuanggap sebagai keluarga sendiri, bahkan aku suka dan ingin mengambilnya sebagai murid. Justeru karena kita sayang kepadanya, kita tidak boleh melakukan pengejaran secara langsung, karena hal ini bahkan akan membahayakan dirinya. Kalau Ang I Moli yang jahat itu melihat kita melakukan pengejaran, ia tidak akan ragu untuk segera membunuh Yo Han! Kautahu, Ciang Bun, perkenalanku dengan Yo Han justeru ketika aku merampasnya dari cangkeraman Ang I Moli. Tak kusangka hari ini ia merampas anak itu kembali dari tanganku, dibantu dua orang tosu Pek-lian-kauw itu. Jadi, kalau hendak menyelamatkan Yo Han, kita harus menggunakan siasat, tidak boleh sembarangan saja!”
Suma Ciang Bun mengangguk-angguk dan meraba jenggotnya yang terpelihara rapi. Dia berada dalam pemainan gelombang perasaan. Ketika tadi mendengar bahwa Gangga Dewi sekarang hidup seorang diri, sudah menjadi janda, dia merasakan suatu kegembiraan luar biasa di hatinya, kegembiraan yang muncul dengan adanya suatu harapan baru. Akan tetapi kegembiraan ini terganggu oleh kekhawatiran tentang diri Yo Han. Kini menghadapi sikap Gangga Dewi yang demikian tegas dan tenang, dia merasa tak berdaya, seperti seorang bawahan menghadapi atasannya!
"Kurasa engkau benar, Gangga Dewi. Baiklah, aku menurut saja bagaimana baiknya untuk dapat menolong Yo Han."
"Kita membayangi mereka dari jarak jauh dan menjaga agar mereka, jangan sampai tahu bahwa kita membayangi mereka. Kita mendekati mereka dan mencari kesempatan baik untuk turun tangan, suatu penyerbuan mendadak sehingga mereke tidak mempunyai kesempatan untuk membunuh Yo Han."
"Akan tetapi, kalau kita berlambat-lambat, aku khawatir mereka akan mengganggu dan membunuh Yo Han dan kita akan terlambat."
Gangga Dewi menggeleng kepalanya.
"Engkau, tidak mengenal betul siapa Yo Han. Aku sendiri pun masih terheran-heran dan takjub melihat keadaan anak itu. Dia mampu menjaga dirinya sendiri. Dia memiliki kekuatan yang ajaib. Mari kita mulai membayangi mereka dan akan kuceritakan semua tentang keanehan Yo Han dalam perjalanan."
"Karena pengejaran ini mungkin memakan waktu lama, biarlah aku akan membawa bekal pakaian dulu, Gangga. Tempat tinggalku tidak jauh dari sini. Mari!"
Keduanya lalu berlari mendaki lereng dan tak lama kemudian mereka tiba di sebuah pondok sederhana yang kokoh dan yang terletak di dataran dekat puncak, sebuah tempat yang amat indah pemandangan alamnya, dan sejuk hawanya.
"Alangkah indahnya tempat ini...." Gangga Dewi memuji dan dengan wajah berseri ia memandang ke empat penjuru dari tempat ketinggian itu den menghisap hawa udara yang jernih, sejuk dan harum karena di sekitar tempat itu terdapat banyak sekali pohon dan tumbuh-tumbuhan yang sedang berkembang.
Suma Ciang Bun hanya tersenyum girang dan mencatat ucapan Gangga Dewi itu di dalam hatinya. Dia membawa pakaian dalam buntalannya dan tak lama kemudian, mereka berdua sudah menuruni puncak dengan ilmu berlari cepat mereka. Biarpun tidak mengeluarkan suara, keduanya merasa betapa ada kebahagiaan besar menyelubungi hati mereka ketika mereka melakukan perjalanan bersama seperti itu. Tanah dalam hati mereka yang tadinya hampir mengering itu seolah tersiram embun pagi yang sejuk, menerima siraman air yang membuat tanah itu hidup kembali dan bunga-bunga cinta yang tadinya seperti layu kini mekar kembali. Mereka melakukan pengejaran dan mencari jejak Ang I Moli yang melarikan Yo Han dan di sepanjang perjalanan ini, mereka saling menceritakan pengalaman mereka semenjak mereka saling berpisah kurang lebih tiga puluh tahun yang lalu!
Setelah mendengarkan Ciang Bun menceritakan semua pengalamannya, Gangga Dewi merasa terharu sekali. Kini ia merasa yakin bahwa Ciang Bun memang mencinta dirinya, bukan mencintanya sebagai seorang pemuda yang dulu memakai nama samaran Ganggananda, melainkan mencintainya dengan tulus walaupun sudah tahu bahwa ia seorang wanita, bukan pria seperti yang disangkanya semula. Ciang Bun rela hidup menyendiri, tidak lagi mau mencari pasangan, baik pria maupun wanita. Ia merasa terharu, akan tetapi tidak memperlihatkannya.
"Gangga, sekarang giliranmu untuk bercerita. Aku ingin sekali mendengar tentang semua pengalamanmu sejak kita saling berpisah sampai sekarang."
Mereka bercakap-cakap di dalam sebuah guha di mana mereka terpaksa melewatkan malam. Jejak Ang I Moli yang mereka dapatkan melewati bukit itu dan karena malam itu gelap, mereka tidak dapat melanjutkan perjalanan dan terpaksa melewatkan malam di guha itu. Mereka membuat api unggun, dan setelah makan malam, makan roti dan daging kering yang dibawa oleh Ciang Bun dan minum air jernih yang dibawa Gangga sebagai bekal, mereka lalu bercakap-cakap.
"Baiklah, Ciang Bun. Pengalamanku jauh lebih menyenangkan daripada pengalamanmu, walaupun berakhir dengan perasaan kesepian juga." Ia lalu menceritakan tentang pernikahannya dengan seorang panglima Bhutan, hidup berbahagia sampai mempunyai dua orang anak. Akan tetapi setelah kedua orang anaknya berumah tangga, dan suaminya tewas di dalam medan perang, ia merasa kesepian sekali.
"Sudah bertahun-tahun ayahku meninggalkan Bhutan, sejak ibu meninggal. Aku ingin sekali bertemu dengan ayah, maka aku lalu meninggalkan Bhutan dan mencarinya di timur. Dalam perjalanan, aku bertemu dengan Yo Han yang sedang terancam keselamatannya oleh Ang I Moli itu. Aku menolong Yo Han dan berhasil mengusir Ang I Moli. Ketika mendengar bahwa guru Yo Han yang pertama yang bernama Tan Sin Hong itu adalah murid ayahku, tentu saja aku menganggap Yo Han seperti warga sendiri. Dia yang mengajak aku ke sini untuk menemuimu, karena menurut Yo Han, engkau tentu tahu di mana ayahku berada. Nah, sekarang katakan, di mana ayahku, Ciang Bun? Engkau tahu siapa ayahku, bukan?"

Suma Ciang Bun menarik napas panjang dan wajahnya yang tampan itu nampak muram.
"Tentu saja aku tahu siapa ayahmu, Gangga. Ayahmu dahulu terkenal dengan Julukan Si Jari Maut, bernama Wan Tek Hoat dan sekarang menjadi hwesio dengan Julukan Tiong Khi Hwesio. Benarkah?"
"Benar, dan ayahku selalu memuji-muji keluarga Pulau Es. Di mana dia sekarang?"
"Ketahuilah, Gangga Dewi. Kurang lebih lima tahun yang lalu, ayahmu pergi ke Istana Gurun Pasir, dan tinggal di sana bersama Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu dan isterinya...."
"Bibi Wan Ceng, saudara seayah dari ayahku?" Gangga Dewi memotong.
"Benar, Gangga. Tiga orang tua itu tinggal di Istana Gurun Pasir, hidup dengan tenteram dan bahagia, bahkan mereka bertiga mengambil Tan Sin Hong sebagai murid. Beruntung sekali pendekar itu, sekaligus menjadi murid mereka bertiga."
"Ahhh! Kalau begitu, ayahku kini masih di sana?"
Ciang Bun menarik napas panjang dan sampai lama tidak dapat menjawab, karena dia merasa ragu untuk menerangkan keadaan yang sesungguhnya.
"Ciang Bun, jawablah! Aku bukan anak kecil lagi, aku siap untuk mendengar berita apa pun. Masih hidupkah ayahku? Dan apakah dia masih berada di Istana Gurun Pasir?"
Setelah beberapa kali menarik napas panjang, Suma Ciang Bun berkata,
"Terjadi hal yang menyedihkan dan juga menggemaskan, Gangga. Tiga orang tua itu sudah mengasingkan diri di tempat sunyi itu dan tidak lagi mencampuri urusan dunia, hidup dengan tenang tenteram. Akan tetapi, agaknya orang-orang yang dahulu pernah mereka basmi atau kalahkan, orang-orang sesat dari dunia hitam, agaknya masih menaruh dendam. Orang-orang Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw, dan beberapa orang datuk sesat lainnya, menyerbu Istana Gurun Pasir dan mengeroyok tiga orang tua itu. Akibatnya, biarpun pihak pengeroyok itu banyak yang terluka dan tewas, namun tiga orang Locianpwe itu juga tewas.... ah, maafkan aku, Gangga Dewi, telah menyampaikan berita duka ini."
Akan tetapi Gangga Dewi sama sekali tidak nampak berduka atau terkejut, bahkan ia mengepal tinju dan bangkit berdiri. Wajahnya yang tertimpa api unggun itu kemerahan dan cantik sekali, gagah pula, dan matanya bersinar-sinar.
"Bukan berita duka, Ciang Bun! Aku bangga mendengar ayah tewas seperti itu. Sungguh sesuai dengan wataknya yang gagah. Apalagi tewas dalam menentang para datuk sesat bersama Bibi Wan Ceng dan suaminya, Naga Sakti Gurun Pasir. Tidak, aku tidak berduka, apalagi ayah memang telah berusia lanjut. Aku bangga karena dia mati secara gagah perkasa! Akan tetapi aku penasaran kepada mereka yang melakukan penyerbuan itu. Sungguh pengecut dan curang! Mengeroyok tiga orang yang sudah tua dan yang sudah mengasingkan diri dari dunia persilatan!"
"Begitulah watak orang-orang jahat dari dunia sesat, Gangga."
"Siapakah mereka itu? Kalau engkau tahu, sebutkan namanya satu demi satu, aku akan pergi mencarinya dan membunuh mereka!" kata Gangga Dewi dengan marah.
"Tenanglah, Gangga. Mereka itu sudah tidak ada lagi. Seorang demi seorang telah tewas oleh para pendekar muda, termasuk Tan Sin Hong."
"O ya, mengapa Tan Sin Hong diam saja ketika tiga orang gurunya dikeroyok? Apakah dia tidak membantu, dan kalau demikian, mengapa, dia dapat lolos dan hidup? Apakah dia melarikan diri?"
"Sama sekali tidak. Ketika peristiwa penyerbuan itu terjadi, baru saja Sin Hong menerima sebuah ilmu dari ketiga orang gurunya, bahkan menerima pengoperan tenaga gabungan mereka. Selama setahun Sin Hong harus memperdalam ilmu itu dan dia sama sekali tidak boleh mempergunakan sin-kang, karena kalau hal itu dilanggar, dia akan tewas oleh tenaganya sendiri! Itulah sebabnya dia tidak mampu membela ketika tiga orang gurunya dikeroyok. Dia ditawan, akan tetapi mampu meloloskan diri dan bersembunyi untuk menyelesaikan ilmu baru itu selama setahun. Setelah itu, baru dia pergi mencari mereka yang membunuh tiga orang gurunya, dan akhirnya setelah bekerja sama dengan para pendekar muda lainnya, dia berhasil menewaskan para penjahat itu. Dia bekerja sama dengan para pendekar muda keturunan Istana Pulau Es dan Istana Gurun Pasir."
Gangga Dewi mengangguk-angguk.
"Ah puaslah rasa hatiku. Kematian ayah telah dibersihkan dari penasaran oleh para pendekar keluarga Istana Pulau Es dan Istana Gurun Pasir! Sungguh merupakan suatu kehormatan besar sekali dan aku ikut merasa bangga dan berbahagia. Tentu arwah dari ayah akan merasa bangga dan puas pula. Ingin aku bertemu dan mengucapkan terima kasihku kepada Tan Sin Hong. Dia masih terhitung suteku (adik seperguruanku) sendiri. Akan, tetapi, bagaimana aku dapat bertemu dengan dia tanpa membawa Yo Han, muridnya yang terculik penjahat? Mari, Ciang Bun, kita percepat usaha kita mencari jejak iblis betina itu."
Mereka lalu berlari cepat dan tiga hari kemudian baru mereka mendapatkan jejak Ang I Moli. Mereka mendapatkan keterangan dari penduduk sebuah dusun di kaki bukit. Tidak begitu sukar mencari jejak Ang I Moli dan dua orang tosu itu. Ang I Moli adalah seorang wanita cantik yang selalu menggunakan pakaian merah. Keadaannya menyolok sekali dan orang yang berjumpa dengannya tidak mudah melupakannya.
Jejak itu menuju ke Propinsi Hu-nan di sebelah selatan. Mereka melakukan pengejaran terus dan hubungan mereka menjadi semakin akrab. Dua orang setengah baya ini merasa seperti menjadi muda kembali dan mereka terkenang akan masa lalu ketika mereka masih sama muda dan juga melakukan perjalanan bersama. Akan tetapi sekarang perasaan mereka lebih mendalam dibandingkan dahulu karena sekarang agaknya Suma Ciang Bun telah sembuh dari kelainan yang dideritanya. Atau mungkin juga dia tidak berubah, hanya karena sifat Gangga Dewi yang gagah perkasa, keras dan bahkan "jantan" itu yang membuat Ciang Bun semakin jatuh cinta. Andaikata sikap Gangga Dewi lunak dan penuh kewanitaan, belum tentu dia akan merasa demikian tertarik dan jatuh cinta untuk ke dua kalinya. Kalau dahulu dia mencinta Ganggananda, kini dia benar-benar mencinta Gangga Dewi sebagai wanita.
Ketika Gangga Dewi menceritakan tentang keadaan Yo Han yang aneh, Suma Ciang Bun termenung. Mereka menghadapi api unggun di sebuah kuil kosong di luar sebuah dusun di mana mereka terpaksa melewatkan malam karena di dusun itu tidak ada rumah penginapan.
"Sungguh luar biasa sekali anak itu," katanya termenung. "Dahulu ketika dia kepadaku oleh Sin Hong, aku hanya melihat dia sebagai seorang anak yang luar biasa cerdiknya, berwatak halus dan berpemandangan terlalu dewasa dan luas bagi seorang anak berusia tujuh tahun. Memang sudah menonjol dan aku amat sayang kepadanya, akan tetapi belum memperlihatkan sesuatu yang aneh. Dia tidak pernah berlatih silat akan tetapi luka beracun dan kekuatan sihir tidak mempengaruhinya? Hebat!"
"Aku melihat sesuatu yang mujijat pada diri anak itu, Ciang Bun. Akan tetapi dia tidak mau menceritakan riwayatnya. Sebetulnya, anak siapakah dia?"
Suma Ciang Bun menghela gapas panjang dan sejenak menatap wajah wanita yang amat dicintanya itu.
"Aihhh, dunia ini penuh dengan penderitaan. Bahkan orang yang baik hati nampaknya lebih banyak menderita ketimbang orang yang menyeleweng dari pada kebenaran. Mungkin memang demikianlah keadaannya yang wajar. Orang jahat menjadi hamba nafsu, dan penghambaan nafsu ini nampaknya mendatangkan kesenangan. Tentu saja kesenangan duniawi yang palsu. Ayah kandung Yo Han adalah seorang laki-laki bernama Yo Jin, seorang petani yang jujur dan tidak pandai silat. Akan tetapi juga seorang laki-laki sejati, seorang jantan yang tidak berkedip takut menghadapi ancaman maut, berani menentang kejahatan. Bahkan sikapnya yang jantan itulah yang menjatuhkan seorang tokoh sesat, seorang iblis betins cantik yang terkenal dengan sebutan Bi Kwi (Setan Cantik). Bukan hanya menjatuhkan hatinya, akan tetapi setelah mereka menjadi suami isteri, Bi Kwi yang tadinya terkenal sebagai seorang tokoh sesat yang amat jahat dan kejam itu menjadi sadar sama sekali! Ia ikut suaminya menjadi seorang petani di dusun yang mencuci tangannya dari segala macam kekerasan."
"Luar biasa dan menarik sekali!"
"Nah, mereka menikah dan lahirlah Yo Han! Suami isteri itu telah bersepakat untuk tidak memperkenalkan putera mereka dengan kekerasan dan kehidupan dunia persilatan. Mereka tidak mengajarkan ilmu silat kepada Yo Han. Tentu saja hal ini terpengaruh oleh sikap Yo Jin yang tidak suka akan kekerasan, dan juga oleh pengalaman-pengalaman pahit dari Bi Kwi selama ia menjadi tokoh sesat dalam dunia kang-ouw."
"Keputusan yang bijaksana." Gangga Dewi memuji.
"Akan tetapi, latar belakang kehidupan Bi Kwi tidak membiarkan ia hidup tenang dan tenteram. Ada saja penjahat yang menginginkan tenaganya dan orang-orang jahat menculik Yo Han yang baru berusia tujuh tahun, bahkan menculik Yo Jin pula. Karena suami dan puteranya diculik penjahat yang memaksa ia membantu golongan sesat, terpaksa Bi Kwi terjun lagi ke dunia kang-ouw. Suami isteri itu berhasil menukar diri mereka dengan putera mereka yang dibebaskan dan Yo Han diserahkan kepada Tan Sin Hong oleh ayah dan ibunya. Sin Hong menitipkan Yo Han kepadaku, dan dia sendiri bersama para pendekar membasmi penjahat di mana terdapat pula pembunuh-pembunuh yang membunuh kakek dan nenek penghuni istana Gurun Pasir dan juga ayahmu itu. Dan dalam pertempuran itu, ayah dan ibu Yo Han yang juga membalik dan membantu para pendekar menentang golongan sesat yang tadinya mereka bantu demi menyelamatkan putera mereka, tewas sehingga Yo Han menjadi seorang yatim-piatu."
Gangga Dewi berulang kali menghela napas panjang.
"Omitohud....! Betapa penuh kekerasan kehidupan manusia di dunia ini. Sekarang aku mengerti mengapa Yo Han tidak pernah mau melatih ilmu silat walaupun dia memiliki suhu dan subo yang berkepandaian tinggi seperti Tan Sin Hong dan Kao Hong Li itu. Hanya yang tetap membuat aku heran, bagaimana dia dapat memiliki kekuatan aneh yang dapat menolak pengaruh racun dan ilmu sihir. Sungguh aneh sekali!"
"Hal itu tentu akan dapat kita ketahui kelak kalau kita berhasil membebaskannya dari tangan Ang I Moli," kata Suma Ciang Bun.
"Mudah-mudahan saja kita tidak akan terlambat," kata Gangga Dewi. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka sudah meninggalkan kuil tua itu dan melanjutkan perjalanan mereka dengan cepat untuk melakukan pengejaran dan mencari Yo Han yang diculik Ang I Moli dan dua orang suhengnya dari, Pek-lian-kauw itu.
***
Siang itu cuaca cerah sekali di Bukit Naga. Matahari amat teriknya. Bahkan hutan di puncak bukit itu yang biasanya gelap karena rindangnya pohon-pohon besar yang sudah puluhan tahun umurnya, kini nampak terang ditembusi cahaya matahari yang kuat. Di langit tidak ada mendung, hanya awan-awan putih berserakan di sana sini, tidak menghalangi kecerahan sinar matahari, bahkan menjadi hiasan langit yang indah.
Tepat pada tengah hari, nampak bayangan-bayangan orang berkelebat memasuki hutan itu. Hutan yang biasanya amat sepi itu tiba-tiba saja diramaikan oleh kunjungan orang-orang yang memiliki gerakan yang amat ringan dan cekatan. Mula-mula nampak seorang tosu yang usianya sekitar lima puluh tahun, dengan sebatang pedang di punggung. Tosu tinggi kurus itu muncul dengan loncatan yang ringan, berada di atas lapangan rumput yang dikurung pohon-pohon tinggi dan dia memandang ke sekeliling. Pandang matanya yang tajam sudah melihat adanya beberapa sosok bayangan orang yang bergerak dengan cepat dan kini suasana nampak sunyi kembali. Bayangan-bayangan itu agaknya sudah menyelinap dan bersembunyi di balik pohon-pohon besar atau semak belukar.
Setelah memandang ke sekelilingnya, tosu ini tersenyum mengejek, dan dia pun berseru dengan suara lantang karena dia mengerahkan khi-kangnya sehingga suaranya langsung keluar dari perut dan terdengar melengking nyaring.
"Sejak kapankah orang-orang Go-bi-pai menjadi pengecut? Setelah orang yang diundang datang memenuhi tantangan, kenapa malah bersembunyi-sembunyi? Keluarlah, orang-orang Go-bi-pai. Pinto (aku) dari Kun-lun-pai sudah datang memenuhi tantanganmu!"
Belum lenyap gema suara itu, nampak sesosok tubuh melayang turun dari puncak sebuah pohon besar. Dengan ringan sekali tubuh itu berjungkir balik beberapa kali dan seorang kakek berusia enam puluh tahun berpakaian seperti seorang petani sederhana telah berdiri di depan tosu Kun-lun-pai itu. Tubuhnya tegap dan kaki tangannya kokoh kuat seperti biasa tubuh seorang petani yang biasa bekerja keras. Kulitnya juga coklat terbakar matahari.
"Siancai....!" Tosu Kun-lun-pai itu berseru dan matanya bersinar penuh kemarahan.
"Kiranya Go-bi Nung-jin (Petani Gobi) yang muncul! Hem, engkau petani yang biasa berwatak jujur, katakan, sejak kapan Go-bi-pai memusuhi Kun-lun-pai dan mengirim tantangan? Pinto (aku) mewakili Kun-lun-pai untuk menyambut tantangan Go-bi-pai itu!"
"Ciang Tosu, apa artinya kata-katamu itu? Kami tidak pernah dan tidak akan memusuhi Kun-lun-pai. Kedatanganku kesini pada saat ini bukan sebagai penantang, bahkan aku mewakili Go-bi-pai untuk menyambut tantangan Bu-tong-pai!" Kemudian kakek petani itu memandang ke sekeliling dan dengan lantang dia pun berteriak, "Di mana orang-orang Bu-tong-pai yang telah berani mengirim tantangan kepada Go-bi-pai? Nah, aku datang mewakili Go-bi-pai untuk menerima tantangan itu!"
Tentu saja Ciang Tosu dari Kun-lun-pai merasa heran bukan main, akan tetapi sebelum dia dapat berkata sesuatu, nampak bayangan berkelebat keluar dari balik semak belukar dan di situ telah berdiri seorang laki-laki gagah perkasa berusia empat puluh tahun lebih.
Orang ini berpakaian seperti seorang pendekar dan di pinggangnya tergantung sebatang pedang. Tubuhnya tinggi kurus dan sikapnya gagah, matanya tajam memandang kepada kakek petani yang tadi menantang Bu-tong-pai. Sikap orang ini hormat, mungkin karena dia merasa lebih muda. Dia mengangkat kedua tangan di depan dada menghadapi kakek petani Go-bi Nung-jin.
"Go-bi Nung-jin adalah seorang pendekar Go-bi-pai yang gagah. Dan selama ini Bu-tong-pai selalu memandang hormat dan menganggap Go-bi-pai sebagai saudara. Kami tidak pernah menantang Go-bi-pai, bahkan saya datang ke sini sebagai wakil Bu-tong-pai untuk menghadapi tantangan yang kami terima dari Siauw-lim-pai! Kami tidak pernah menantang Go-bi-pai atau partai persilatan mana pun juga." Setelah berkata demikian kepada Go-bi Nung-jin yang menjadi terheran-heran, wakil Bu-tong-pai itu pun kini memandang ke sekeliling lalu berseru dengan pengerahan khi-kangnya.
"Orang-orang Siauw-lim-pai dengarlah baik-baik! Kalian telah menantang Bu-tong-pai dan inilah aku, Phoa Cin Su murid Bu-tong-pai mewakili partai kami untuk menerima tantangan kalian!"
Mendengar ucapan wakil Bu-tong-pai ini, Go-bi Nung-jin dan Ciang Tosu saling pandang dengan heran. Dan pada saat itu terdengar suara halus namun terdengar jelas dan menggetarkan, "Omitohud....! Agaknya dunia sudah akan kiamat! Apa yang terjadi sungguh aneh!" Dan muncullah seorang hwesio berusia lima puluhan tahun.
Phoa Cin Su murid Bu-tong-pai segera memberi hormat.
"Kiranya Loan Hu Hwesio yang datang untuk mewakili Siauw-lim-pai yang menantang Bu-tong-pai. Nah, saya yang mewakili Bu-tongpai untuk menerima tantangan yang membuat kami merasa penasaran sekali itu!" Karena Phoa Cin Su agaknya sudah mengenal benar siapa hwesio Siauw-lim-pai ini, dia pun segera meloloskan pedangnya dari pinggang dan siap untuk bertanding!
Akan tetapi hwesio Siauw-lim-pai itu merangkap kedua tangan di depan dadanya.
"Omitohud....! Phoa-sicu harap bersabar dulu. Ketahuilah bahwa Siauw-lim-pai selalu memandang Bu-tong-pai dengan hormat dan sebagai rekan, bagaimana Siauw-lim-pai dapat mengirim tantangan? Pinceng (aku) datang ini pun sebagai wakil Siauw-lim-pai yang menerima tantangan dari Kun-Lun-pai!"
Tentu saja wakil-wakil dari empat perkumpulan atau partai persilatan terbesar di seluruh negeri itu menjadi terheran-heran mendengar ini. Kun-lun-pai menerima tantangan dari Go-bi-pai, Go-bi-pai menerima tantangan dari Bu-tong-pai, Bu-tong-pai menerima tantangan dari Siauw-lim-pai dan kini Siauw-lim-pai menerima tantangan dari Kun-lun-pai Apa artinya semua ini?
"Siancai....!" Ciang Tosu berseru heran. "Bagaimana kami dapat menantang Siauw lim-pai yang kami anggap sebagai sahabat dan juga sumber segala ilmu yang kami miliki? Itu tidak mungkin sama sekali!”
“Omitohud, demikian pula Siauw-lim-pai tidak pernah menantang Bu-tong-pai," kata Loan Hu Hwesio dari Siauw-lim-pai.
"Saya juga berani memastikan bahwa Bu-tong-pai tidak pernah menantang Go-bi-pai," kata Phoa Cin Su.
"Dan Go-bi-pai juga tidak mungkin menantang Kun-lun-pai!" kata Go-bi Nung-jin.
"Omitohud...." Kini hwesio Siauw-lim-pai itu mengangkat kedua tangannya ke atas.
"Harap Cu-wi bersabar dulu. Para suhu pimpinan di Siauw-lim-pai tidak mungkin keliru. Ketika mengutus pinceng turun gunung memenuhi tantangan itu, pinceng sendiri melihat surat tantangan yang ditandai dengan cap dari Kun-lun-pai."
Ciang Tosu dari Kun-lun-pai, Phoa Cin Su dari Bu-tong-pai, dan Go-bi Nung-jin dari Go-bi-pai serempak menyatakan. Bahwa mereka pun melihat keaselian surat tantangan yang diterima pimpinan masing-masing, surat-surat tantangan itu pun memakai tanda cap dari partai yang menantang.
"Omitohud....! Kalau begitu, tentu ada pemalsuan. Ada pihak lain yang sengaja mengirim surat-surat tantangan itu untuk mengadu domba atau hendak mengacau keadaan. Kita harus waspada!"
Tiba-tiba terdengar suara ketawa bergelak. Suara ini bergema ke empat penjuru sehingga sukar diketahui dari mana asal suara itu. Empat orang wakil dari empat perkumpulan silat besar itu maklum bahwa ada orang pandai muncul, maka mereka pun sudah siap siaga.
Ciang Tosu sudah mencabut pedang dari punggungnya. Phoa Cin Su juga sudah mencabut pedang. Gobi Nung-jin menyambar senjatanya yang istimewa, yaitu sebatang cangkul yang gagangnya lurus seperti toya, dan hwesio Siauw-lim-pai yang tidak pernah bersenjata itu siap dengan pengerahan sin-kang dan setiap urat syarafnya menegang.
Mereka adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi, orang-orang yang memiliki tingkat kedua dari perguruan masing-masing.
"Ha-ha-ha-ha-ha....!" Suara ketawa yang bergema di empat penjuru itu disusul oleh kata-kata yang juga mengandung getaran kuat. "Kalian berempat seperti tikus-tikus yang terjepit!" Tiba-tiba saja muncullah seorang kakek berusia enam puluhan tahun, bertubuh tinggi besar bermuka merah dan dia mengenakan jubah lebar yang berwarna merah pula.
Pakaiannya seperti seorang pendeta, akan tetapi rambutnya digelung rapi dan mengkilap bekas minyak, dan jepitan rambutnya merupakan perhiasan dari emas permata yang mahal. Akan tetapi di balik jubah merah itu nampak baju ketat sulaman benang perak yang gemerlapan. Di antara empat orang tokoh partai-partai persilatan besar itu, hanya Loan Hu Hwesio yang mengenal orang ini. Hwesio ini menjura dengan sikap hormat kepada kakek tinggi besar bermuka merah itu.
"Ah, kiranya Lauw Eng-hiong (Orang Gagah she Lauw) yang datang. Tidak tahu apa alasannya engkau datang-datang memaki kami empat orang wakil partai-partai persilatan?"
"Huh!" kakek tinggi besar itu mendengus dengan sikap mengejek. "Apalagi kalian ini kalau bukan tikus-tikus pengkhianat bangsa, atau anjing-anjing penjilat penjajah Mancu?"
Phoa Cin Su, jago dari Bu-tong-pai itu menjadi merah mukanya karena marah.
"Loan Hu Hwesio, siapakah orang yang sombong dan bermulut lancang ini?"
Sebelum hwesio Siauw-lim-pai itu menjawab, kakek tinggi besar itu sudah mendahuluinya.
"Kalian wakil-wakil Bu-tong-pai, Kun-lun-pai, dan Go-bi-pai. Ketahuilah bahwa kalian berhadapan dengan aku Lauw Kang Hui, wakil Ketua Thian-li-pang!"
Tiga orang itu terkejut. Tentu saja mereka sudah mendengar nama besar perkumpulan Thian-li-pang, sebuah perkumpulan orang-orang yang menamakan diri mereka patriot dan yang dengan gigih menentang pemerintah, yaitu penjajah Mancu dan memberontak di mana-mana untuk menjatuhkan pemerintah penjajah. Akan tetapi di antara para anak buah Thian-li-pang, banyak pula yang melakukan penyelewengan dan mereka itu melakukan kejahatan mengandalkan kekuatan mereka, mengganggu rakyat dengan perampokan dan pemerasan. Maka, dari empat buah perkumpulan persilatan besar itu, tentu sudah pernah murid-murid mereka bentrok dengan orang Thian-li-pang yang melakukan kejahatan.
"Siancai, kalau begitu agaknya Thian-li-pang yang membuat undangan palsu kepada kami empat perguruan tinggi. Benarkah begitu?" kata Ciang Tosu dari Kun-lun-pai.
"Ha-ha-ha, memang benar! Kami yang membuat undangan palsu. Empat perguruan silat seperti perkumpulan kalian hanyalah perkumpulan pengkhianat dan pengecut. Kalian tidak menentang penjajah, tidak mau bekerja sama dengan kami bahkan menentang kami dan banyak sudah anak buah kami yang tewas di tangan kalian!"
"Hemm, apa anehnya itu? Kami bukanlah perkumpulan pemberontak, kami tidak mempunyai urusan dengan pemberontakan. Kalau murid-murid kami menentang murid-murid Thian-li-pang, tentu bukan perkumpulannya atau pemberontakannya yang ditentang, melainkan perbuatan jahat yang dilakukan para murid Thian-li-pang. Kami adalah perkumpulan para pendekar yang menentang kejahatan, kapan saja, di mana saja dan dilakukan siapa saja!" kata Go-bi Nung-jin.
"Benar sekali itu!" kata Phoa Cin Su. "Murid-murid kami pernah menentang anggauta Thian-li-pang, bukan karena mereka memberontak terhadap pemerintah, melainkan karena mereka itu merampok dan memeras rakyat jelata!"
selanjutnya ---->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar