Kamis, 30 Januari 2014

Kisah Si Bangau Merah Jilid 2

Kisah Si Bangau Merah Jilid 2

2

"Suhu....!" kata Yo Han memberi hormat dengan membungkuk karena kedua tangannya berlepotan lumpur tanah liat. Sejak tadi Sin Hong mengamati wajah Yo Han, kini melihat wajah muridnya itu biasa-biasa dan wajar saja, dia melirik ke arah bongkahan tanah liat di tangan anak itu dan dia terkejut, juga kagum. Dalam waktu singkat itu, jari-jari tangan anak itu telah mampu membentuk sebuah boneka anak-anak yang ukurannya demikian sempurna. Kepala, kaki, tangan sudah terbentuk dan demikian serasi. Hanya wajah kepala itu yang belum dibuat.
"Suhu, ada apakah Suhu mencari teecu?" tanya Yo Han.
Suara dan sikap yang amat wajar itu membuat Sin Hong menjadi bingung dan tak tahu harus berbuat apa.
"Apa yang kaubikin itu?" akhirnya dia bertanya.
"Boneka tanah, Suhu, hadiah teecu untuk adik Sian Li," kata Yo Han. Keharuan menyelinap di hati Sin Hong, Juga sedikit iri hati. Tidak ada hadiah yang lebih indah dan memuaskan hati melebihi benda buatan tangan sendiri. Kalau saja dia mampu membuat boneka tanah seindah yang sedang dibuat Yo Han, dia pun akan senang membuatkan sebuah untuk puterinya!
Akan tetapi, renungan Sin Hong buyar seketika karena dia teringat lagi akan ular tadi.
Suatu kesempatan yang amat baik untuk menguji muridnya, untuk mengetahui rahasia yang menyelimuti diri muridnya. Tiba-tiba saja, dengan tenaga terukur, kecepatan yang hampir menyamai kecepatan gerakan ular tadi, tangannya meluncur dan jari tangannya menotok ke arah leher muridnya, seperti ular yang mematuk tadi, dari arah yang sama pula dengan gerakan ular tadi. Gerakannya ini pun tiba-tiba selagi Yo Han tidak mengira, kiranya presis seperti keadaannya ketika diserang ular hijau tadi.
Dan satu-satunya gerakan yang dilakukan Yo Han adalah gerak refleks atau reaksi yang umum. Dia terkejut dan menarik kepalanya sedikit ke belakang. Tentu saja serangan itu akan dapat mengenai leher Yo Han kalau Sin Hong menghendaki. Sin Hong merasa kecelik. Kenapa Yo Han sama sekali tidak menangkis atau mengelak, sama sekali tidak ada gerakan seorang ahli silat yang mahir? Kalau dia bersikap seperti itu tadi ketika dipatuk ular, tentu dia sudah celaka, mungkin sekarang sudah tewas oleh racun ular!
Ataukah Yo Han sudah tahu bahwa dia diuji dan sengaja tidak mau menangkis atau mengelak untuk mengelabuhi gurunya? Ah, tidak mungkin! Seorang ahli silat tinggi memang dapat menangkap gerakan serangan dengan cepat, akan tetapi tidak mungkin dapat menduga secepat itu. Serangannya tadi terlalu cepat untuk diterima dan dirancang pikiran. Jadi jelas bahwa muridnya ini memang tidak tahu ilmu silat sama sekali. Akan tetapi ular tadi?
"Apakah maksud gerakan Suhu tadi?" tanya Yo Han dengan sikap masih tetap tenang seolah tidak terjadi sesuatu. Kekagetannya ketika diserang tadi pun hanya merupakan reaksi saja, bukan kaget lalu disusul rasa takut. Ini saja sudah amat mengagumkan hati Sin Hong.
"Yo Han, engkau ini muridku, bukan?" tiba-tiba Sin Hong bertanya dan dia pun duduk di atas akar pohon, di sebelah Yo Han.
Anak itu menoleh dan memandang wajah suhunya dengan sinar mata mengandung penuh pertanyaan.
"Tentu saja, kenapa Suhu bertanya?"
"Dan sejak lima tahun yang lalu, sejak engkau kehilangan orang tuamu, engkau hidup dengan aku, bukan?"
Sepasang mata anak itu bertemu dengan pandang mata Sin Hong dan pendekar ini merasa seolah sinar mata anak itu menembus dan menjenguk isi hatinya! Dia tahu bahwa muridnya memiliki mata yang tajam dan lembut, akan tetapi baru sekarang dia merasa betapa sinar mata itu seperti menjenguk ke dalam lubuk hatinya.
"Teecu tahu dan teecu selalu ingat akan kebaikan Suhu dan Subo. Selama hidup, teecu akan ingat kebaikan itu, Suhu, dan Suhu bersama Subo, bagi teecu bukan hanya guru, akan tetapi juga pengganti orang tua teecu."
Sin Hong terheran. Anak ini luar biasa, karena memang itulah yang dipikirkannya tadi.
Dia merasa penasaran karena anak itu dianggapnya seperti anak sendiri, namun menyimpan rahasia dirinya dan masih berpura-pura lagi!
"Nah, karena itu, Yo Han. Hubungan antara murid dan guru, atau antara anak dan orang tua, sebaiknya tidak menyimpan rahasia, bukan?"
"Memang benar, Suhu. Apakah Suhu mengira teecu menyimpan rahasia? Kiraan itu tidak benar, Suhu. Teecu tidak pernah menyimpan rahasia terhadap Suhu atau Subo."
Anak seperti ini tidak mungkin dibohongi, pikir Sin Hong kaget. Lebih baik berterus terang.
"Yo Han, memang terus terang saja, aku dan subomu merasa heran melihat sikap dan pendirianmu. Engkau menjadi murid kami akan tetapi tidak mau berlatih silat. Lalu apa artinya kami menjadi gurumu?"
"Bukan hanya ilmu silat yang telah diajarkan Suhu dan Subo kepada teecu. Teecu menerima pelajaran sifat yang gagah berani, adil dan menjauhi perbuatan jahat dari Suhu dan Subo, juga selama ini banyak yang telah teecu pelajari. Sastra, seni, dan banyak lagi. Terima kasih atas semua bimbingan itu, Suhu."
"Engkau benar-benar tidak dapat bermain silat sama sekali, Yo Han?" pertanyaan ini tiba-tiba saja karena Sin Hong memang bermaksud hendak bertanya secara terbuka.
Yo Han menggeleng kepala, sikapnya tenang saja dan wajahnya tidak membayangkan kebohongan.
"Yo Han, aku tadi telah melihat betapa engkau dapat menghindarkan ancaman maut ketika engkau menangkap leher ular yang mematukmu dengan cepat. Ular hijau berbisa, mematukmu secara tiba-tiba dan engkau mampu menangkapnya. Gerakan apa itu kalau bukan gerakan silat?"
"Ahhh....? Itukah yang Suhu maksudkan? Ular itu tadi? Teecu juga tidak tahu sama sekali bahwa teecu diserang ular, dan teecu juga tidak menggerakkan tangan teecu. Tangan itu yang bergerak sendiri menangkap ular, Suhu."
Sin Hong mengerutkan alisnya, hatinya bimbang. Kalau orang lain yang bicara demikian, tentu akan dihardiknya dan dikatakan bohong. Akan tetapi, sukar membayangkan bahwa Yo Han membohong!
"Engkau tidak mempelajari ilmu silat lain kecuali yang kami ajarkan?"
Sin Hong menatap tajam wajah Yo Han, dan anak itu membalas tatapan mata gurunya dengan tenang. Dia tidak menjawab, melainkan menggeleng kepala. Gelengan kepala yang amat mantap dan jelas menyatakan penyangkalannya.
"Engkau tidak mempunyai seorang guru silat lain kecuali kami?"
Kembali Yo Han tidak menjawab, hanya menggeleng kepala.
"Lalu.... gerakan tangan menangkap ular tadi?"
"Bukan teecu yang menggerakkan maksud teecu, teecu tidak sengaja dan tangan itu bergerak sendiri."
"Ahhh....!" Ingin dia menghardik dan mengatakan bohong, akan tetapi sikap anak itu demikian meyakinkan. "Coba.... kau ulangi gerakan tanganmu ketika menangkap leher ular itu, Yo Han. Anggap saja lengan tanganku ini ular itu tadi." Dan Sin Hong menggerakkan tangannya seperti ular mematuk. Akan tetapi Yo Han hanya menggeleng kepalanya.
"Teecu tidak dapat, Suhu. Sama sekali teecu tidak ingat lagi, karena ketika tangan teecu bergerak, teecu sama sekali tidak memperhatikan dan tahu-tahu ular itu telah tertangkap oleh tangan teecu."
"Hemmmm....!" Sin Hong mengamati wajah muridnya dengan pandang mata tajam menyelidik. Namun muridnya itu tidak berbohong!
"Pernahkah engkau mengalami hal-hal sepertl itu? Ada gerakan yang tidak kau sadari dan yang membantumu?"
Di luar dugaan Sin Hong, anak itu mengangguk! Tentu saja Sin Hong menjadi tertarik sekali.
"Eh? Apa saja? Coba kauceritakan kepadaku, Yo Han,"
"Seringkali teecu merasa terbimbing, tahu-tahu sudah bisa saja. Misalnya kalau membaca kitab, menghafal dan sebagainya. Kalau teecu merasa kesukaran lalu menghentikan semua usaha, bahkan tertidur, begitu bangun teecu sudah bisa! Padahal sebelumnya teecu mengalami kesulitan besar."
"Kau merasa seperti.... seperti ada sesuatu yang membimbingmu, melindungimu?"
Yo Han mengangguk perlahan, alisnya berkerut karena dia sendiri tidak tahu dengan jelas.
"Kira-kira begitulah, Suhu. Teecu hanya dapat bersukur dan berterima kasih kepada Tuhan.”
Sin Hong mengerutkan alisnya, pikirannya diputar. Kalau anak ini memiliki sin-kang, yaitu hawa murni yang membangkitkan tenaga sakti, dia tidak merasa heran karena tenaga sakti itu juga melindungi tubuh, walaupun perlindungan itu bangkit kalau dikehendaki. Akan tetapi, tenaga mujijat yang melindungi Yo Han ini lain lagi. Lebih dahsyat, lebih hebat karena bergerak atau bekerja justeru kalau tidak ada kehendak!
Semacam nalurikah? Atau kekuasaan Tuhan yang ada pada setiap apa saja di dunia ini, terutama dalam diri manusia dan pada diri Yo Han kekuasaan itu bekerja dengan sepenuhnya? Dia tidak tahu, juga Yo Han tidak tahu! Bagaimanapun juga, dia tahu bahwa muridnya ini mendapatkan berkah yang luar biasa dari Tuhan Yang Maha Kuasa, maka diam-diam dia memandang muridnya dengan hati penuh kagum dan juga segan.
Seorang manusia, biarpun masih bocah, yang menerima anugerah sedemikian besarnya dari Tuhan patut dikagumi dan disegani. Pantas saja kadang-kadang anak ini mengeluarkan kata-kata yang sesungguhnya terlampau tinggi bagi seorang kanak-kanak.
Kiranya kalau sedang demikian itu, yang bekerja di dalam dirinya bukan lagi hati dan akal pikirnya yang dikemudikan nafsu badan!, melainkan badan, hati dan akal pikiran yang digerakkan oleh kekuasaan Tuhan!
Ada pula pikiran lain menyelinap dalam benaknya. Apakah bimbingan gaib yang dirasakan Yo Han itu datang dari.... roh ayah dan ibunya? Dia tidak dapat menjawab. Apa pun dapat saja terjadi pada seorang anak yang telah dapat mencapai tingkat seperti itu, kebersihan batin dari kekerasan!
Sin Hong tidak mau mengganggu muridnya membentuk boneka yang sedang dibuatnya.
Di sini pun dia dibuat tertegun. Pernah dia melihat ahli-ahli pembuat patung di kota raja, baik ahli-ahli memahat patung, maupun juga ahli pembuat patung dari tanah liat. Mereka adalah orang-orang yang sudah belajar kesenian itu selama bertahun-tahun, di bawah pimpinan guru-guru yang ahli. Keahlian mereka itu setidaknya masih terpengaruh oleh ilmu pengetahuan, oleh latihan dan belajar. Akan tetapi, Yo Han tidak pernah mempelajari seni membuat patung. Dan lihat! Jari-jari tangan itu demikian trampil, demikian cekatan dan pembentukan patung itu seolah-olah tidak disengaja. Akan tetapi dia mulai melihat bentuk muka puterinya, Sian Li, pada patung boneka tanah liat itu!
Diam-diam dia bergidik. Bocah macam apakah muridnya ini? Sungguh tidak wajar, tidak umum! Dia pun meninggalkan muridnya dengan perasaan yang bercampur aduk. Ada kagum, ada heran, ada pula ngeri!
Setibanya di rumah, dia menceritakan apa yang didengarnya dari jawaban Yo Han, juga tentang pembuatan patung boneka, kepada isterinya yang mendengarkan dengan alis berkerut. Akan tetapi Kao Hong Li diam saja, walaupun hatinya merasa gelisah pula.
Gelisah mengingat akan puterinya, karena hubungan puterinya dengan Yo Han amat dekatnya. Puterinya amat sayang kepada Yo Han, dan ibu ini khawatir kalau-kalau kelak anaknya akan meniru segala kelakuan Yo Han yang aneh-aneh dan tidak wajar.
Ketika hari ulang tahun ke empat dari Tan Sian Li tiba, ulang tahun itu dirayakan dengan sederhana. Hanya keluarga dari empat orang itu, Tan Sin Hong dan Kao Hong Li, murid dan puteri mereka Yo Han dan Tan Sian Li, ditambah dengan tiga orang pembantu rumah tangga yang merayakan pesta kecil yang mereka adakan.
Ketika Yo Han menyerahkan hadiahnya yang dibungkus rapi, Tan Sian Li bersorak gembira. Apalagi ketika bungkusan itu dibuka dan isinya sebuah patung tanah liat yang indah, anak kecil itu tertawa-tawa gembira. Ia tidak tahu betapa ayah ibunya, juga tiga orang pembantu rumah tangga itu, menjadi bengong melihat sebuah patung tanah liat yang merupakan seorang anak perempuan kecil dengan wajah presis Tan Sian Li!
Demikian halus buatan patung itu sehingga, nampak seperti hidup saja!
Suami isteri itu saling pandang dan kembali Kao Hong Li merasa tidak enak sekali.
Makin jelas buktinya bahwa Yo Han bukan orang biasa, bukan anak biasa. Mana mungkin ada anak berusia dua belas tahun yang tidak pernah mempelajari seni membuat patung dapat membuat patung sedemikian indahnya, dan mirip sekali dengan wajah Sian Li? Diam-diam ia bergidik ngeri, seperti juga suaminya, Akan tetapi tiga orang pembantu rumah tangga itu memuji-muji penuh kagum.
Selain patung kanak-kanak itu, yang membuat Sian Li gembira sekali adalah pakaian yang dipakainya, hadiah dari ibunya. Pakaian yang serba merah! Dasarnya merah muda, kembang-kembangnya merah tua. Indah sekali. Memberi pakaian serba merah kepada anak yang dirayakan ulang tahunnya, merupakan hal yang wajar dan lajim. Namun, tidak demikian halnya dengan Sian Li. Semenjak ia menerima hadiah pakaian serba merah itu, sejak dipakainya pakaian merah itu, ia tidak membiarkan lagi pakaian itu dilepas! Ia tidak mau memakai pakaian lain yang tidak berwarna merah! Ketika dipaksa, ia menangis terus, dan baru tangisnya terhenti kalau Yo Han menggendongnya, akan tetapi ia masih merengek.
"Baju merah.... huuu, baju merah....!"
Tan Sin Hong dan Kao Hohg Li menjadi bingung. Anak mereka itu memang agak manja dan kalau sudah menangis sukar dihentikan, kecuali oleh Yo Han. Kini, biarpun tidak menangis setelah dipondong Yo Han, tetap saja merengek minta pakaian merah!
"Suhu dan Subo, kasihanilah Adik Sian Li. Beri ia pakaian merah, karena warna itulah yang menjadi warna pilihan dan kesukaannya. Dalam pakaian merah, baru akan merasa tenang, tenteram dan senang! Tadi ketika Subo memberinya pakaian serba merah, ketika ia memakainya, ia merasakan kesenangan yang luar biasa, maka kini ia tidak mau lagi diberi pakaian yang tidak berwarna merah."
Suami isteri itu saling pandang. Karena mereka tahu bahwa ucapan Yo Han itu bukan ucapan anak-anak begitu saja, mempunyai makna yang lebih mendalam, maka mereka lalu terpaksa membelikan pakaian-pakaian serba merah untuk Sian Li. Dan benar saja.
Begitu ia memakai pakaian merah, ia nampak gembira dan bahagia sekali! Dan sejak hari itu, Sian Li tidak pernah lagi memakai pakaian yang tidak berwarna merah?
***
Malam itu kembali hujan lebat. Hawa udara amat dinginnya. Sian Li sudah tidur nyenyak dan suasana sunyi bukan main. Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li, masih belum tidur. Lilin di atas meja kamar mereka masih menyala dan mereka masih bercakap-cakap, Hong Li duduk di atas pembaringan dan suaminya duduk di atas kursi dalam kamar itu.
Mereka biasanya bersikap hati-hati, apalagi malam itu mereka membicarakan tentang murid mereka, Yo Han. Akan tetapi, karena murid mereka sudah masuk kamar, biarpun andaikata belum pulas juga tidak mungkin dapat mendengarkan percakapan mereka.
Hujan di luar kamar amat derasnya. Takkan ada orang lain yang mendengarkan percakapan mereka dari luar kamar.
"Bagaimanapun juga, aku merasa tidak enak sekali," kata Hong Li setelah beberapa lamanya mereka berdiam diri. "Sian Li demikian dekat dengan dia. Sukar untuk mencegah anak kita itu tidak mengikuti jejak Yo Han. Tidak mungkin pula kita menjauhkan anak kita dari Yo Han karena Sian Li sudah menjadi manja sekali dan paling suka kalau bermain-main dengan Yo Han. Bagaimana jadinya kalau anak kita itu kelak tidak mau belajar ilmu silat, dan mengikuti jejak Yo Han menjadi anak.... aneh, anak ajaib tidak seperti manusia! Ih, aku merasa ngeri membayangkan anak kita kelak menjadi seperti Yo Han!"
"Hemm, tentu saja aku pun menginginkan anak kita menjadi seorang manusia biasa, dan terutama menjadi seorang pendekar wanita seperti engkau, ibunya. Akan tetapi bagaimana caranya untuk menjauhkannya dari Yo Han?" kata Sin Hong.
"Tidak ada cara lain kecuali memisahkan mereka!” kata Hong Li.
“Memisahkan?" Sin Hong berkata dengan suara mengandung kekagetan. "Akan tetapi, bagaimana? Yo Han adalah seorang yatim piatu yang tidak mempunyai sanak keluarga lagi, dan dia juga murid kita!"
“Soalnya hanya ini. Kita lebih sayang Sian Li ataukah lebih sayang Yo Han. Keduanya memang kita sayang, akan tetapi mana yang lebih berat bagi kita?"
Sin Hong menarik napas panjang. Isterinya mengajukan pertanyaan yang jawabannya hanya satu. "Tentu saja kita lebih memberatkan Sian Li. Bagaimanapun juga, ia adalah anak kita, darah daging kita. Akan tetapi aku pun tidak ingin melihat Yo Han terlantar, aku tidak mau menyia-nyiakan anak yang tidak mempunyai kesalahan apapun itu."
"Tentu saja! Kita bukan orang-orang jahat yang kejam demi kepentingan anak sendiri lalu membikin sengsara orang lain. Sama sekali tidak. Maksudku, bagaimana kalau kita mencarikan tempat baru untuk Yo Han? Memberi dia kesempatan untuk mendapatkan guru yang baru, atau melihat bakatnya, bagaimana kalau kita menitipkan dia di kuil, dimana terdapat orang-orang pandai dan saleh? Tentu saja kita dapat membayar biaya pendidikannya setiap bulan atau setiap tahun."
Sin Hong mengangguk-angguk. Dia pun tahu bahwa isterinya cukup bijaksana. Isterinya adalah seorang pendekar wanita tulen, cucu dari Naga Sakti Gurun Pasir! Ayahnya putera Naga Sakti Gurun Pasir, dan ibunya cucu Pendekar Super Sakti! Ia pun setuju dengan usul isterinya itu. Memang, jalan terbaik adalah memisahkan Yo Han dari Sian Li, dan cara pemisahan yang sebaiknya adalah menyingkirkan Yo Han dari rumah mereka dengan memberi jaminan terhadap kehidupan Yo Han selanjutnya. Paling baik kalau dititipkan di kuil agar dapat belajar lebih lanjut. Siapa tahu dibawah pimpinan para pendeta kuil, ketidak wajarannya itu akan berubah dan Yo Han akan menjadi seorang anak yang biasa. Kalau sudah begitu tentu tidak ada halangannya bagi Yo Han untuk kembali kepada mereka.
"Ah, aku teringat sekarang! Bagaimana kalau kita minta tolong kepada Thian Sun Totiang?" dia berkata.
"Maksudmu, kepala kuil di lereng Pegunungan Heng-san itu? Bukankah Thian Sun Tosu itu seorang tokoh Kun-lun-pai?" kata Hong Li mengingat-ingat.
"Benar sekali. Selain ilmu silatnya tinggi juga beliau adalah seorang pendeta yang hidup saleh dan tentu dia dapat membimbing Yo Han dalam ilmu kerohanian. Juga beliau adalah sahabatku. Tentu saja kita dapat memberi sumbangan untuk kuilnya sebagai pengganti biaya yang dikeluarkan untuk keperluan Yo Han."
"Bagus, aku pun setuju sekali!" kata Hong Li. Keduanya merasa lega dengan keputusan itu dan Sin Hong meniup padam lilln di atas meja, tanda bahwa keduanya akan tidur.
Di dalam hujan yang lebat, dalam udara yang amat dingin itu. Yo Han keluar dari dalam kamarnya. Dia sendiri tidak mengerti mengapa dia keluar dari dalam kamarnya. Akan tetapi dia tidak peduli dan hanya menyerah dorongan yang membuat kakinya berjalan keluar dari dalam kamar, keluar melalui pintu belakang ke dalam hujan! Tentu saja rambut dan pakaiannya basah kuyup, namun dia tidak peduli karena kakinya terus melangkah. Bahkan hawa dingin itu tidak dirasakannya sama sekali, kalau pun ada perasaan di tubuhnya, maka yang ada bahkan perasaan sejuk segar dan nikmat! Seperti dituntun, kedua kakinya menuju ke jendela kamar suhunya! Jejak kakinya tentu akan terdengar oleh suhu dan subonya kalau saja malam itu tidak ada hujan. Suara hujan jatuh ke atas genteng dan tanah, juga ke atas daun-daun pohon, jauh lebih berisik daripada jejak kakinya, maka biar andaikata suami isteri pendekar itu memiliki ketajaman pendengaran sepuluh kali lipat, belum tentu akan mampu mengetahui bahwa ada orang melangkah di luar jendela kamar mereka.
Dan Yo Han mendengar semua percakapan mengenai dirinya itu! Dia memejamkan matanya, dan setelah lilin dalam kamar itu tertiup padam, dia pun kembali ke kamarnya dengan tubuh terasa lemas. Dia mendengar percakapan suhu dan subonya. Dia tidak sengaja ingin mendengarkan percakapan mereka. Entah bagaimana kedua kakinya bergerak membawa dia ke dalam hujan dan mendekati kamar mereka sehingga dia mendengar percakapan mereka. Suhu dan subonya tidak menghendaki dia tinggal lebih lama di rumah mereka! Mereka ingin memisahkan dia dari Sian Li! Dia akan dititipkan di sebuah kuil!
Setelah memasuki kamarnya, dia duduk di atas kursi seperti patung. Rambut dan pakaiannya yang basah kuyup tidak dipedulikannya. Dia merasa sedih bukan main. Dia harus meninggalkan mereka yang dia kasihi. Harus meninggalkan Sian Li! Tak terasa lagi, dua titik air mata turun ke atas pipinya, mencair dan menjadi satu dengan kebasahan air hujan. Tidak, dia tidak boleh menangis! Menangis tidak ada gunanya, bahkan hanya membuat hatinya menjadi semakin sedih! Ketika mendengar kematian ayah bundanya dahulu, lima tahun yang lalu, dia pun mengeraskan hatinya, tidak membiarkan diri menangis berlarut-larut.
Pada keesokan harinya, dengan muka agak pucat dan rambut agak kusut, pagi-pagi sekali Yo Han sudah memondong Sian Li yang sudah dimandikan ibunya.
"Subo, teecu hendak mengajak adik Sian Li bermain di kebun," kata Yo Han kepada subonya yang sudah keluar dari dalam kamar bersama suhunya. Kedua orang suami isteri itu saling pandang. Mereka merasa tidak tega untuk sepagi itu menyatakan keinginan mereka menitipkan Yo Han ke kuil. Biarkan anak itu bermain-main dulu dengan Sian Li.
"Ajaklah ia bermain-main, akan tetapi nanti kalau waktu sarapan pagi, ajak ia pulang," kata Hong Li dan Sin Hong mengangguk setuju.
“Baik, Subo,” kata Yo Han. Dia menurunkan Sian Li, menggandeng tangan anak itu dan keduanya berlari-lari meninggalkan rumah, menuju ke belakang rumah. Melihat betapa gembiranya Sian Li diajak bermain-main oleh Yo Han, suami isteri itu saling pandang lagi dan keduanya menghela napas panjang. Mereka maklum betapa mereka semua, terutama sekali Sian Li, akan merasa kehilangan Yo Han kalau anak itu pergi meninggalkan rumah mereka. Akan tetapi apa boleh buat. Demi kebaikan Sian Li, mereka harus menegakan hati, Yo Han harus dipisahkan dari anak mereka.
Biasanya, pagi-pagi sekali Yo Han sudah rajin bekerja. Bekerja pagi-pagi sebelum matahari terbit menjadi kesukaannya. Bekerja apa saja, menyapu pekarangan, membersihkan jendela-jendela rumah dari luar. Bekerja apa saja asal di luar rumah karena yang dinikmatinya bukan hanya pekerjaan itu, melainkan terutama sekali suasana di pagi hari. Pagi hari baginya merupakan saat yang paling indah, munculnya matahari seolah-olah membangkitkan semangat, gairah dan tenaga kepada segala makluk di permukaan bumi. Akan tetapi, pagi hari itu dia ingin sekali mengajak Sian Li bermain-main. Dia sudah mengambil keputusan untuk pergi, seperti yang dikehendaki suhu dan subonya. Dia mengerti betapa beratnya bagi mereka untuk menyuruh dia pergi. Maka dia harus membantu mereka. Dialah yang akan berpamit sehingga tidak memberatkan hati mereka. Pula, dia tidak mau kalau dititipkan di kuil mana pun juga. Kalau dia harus berpisah dari suhu dan subonya, dari Sian Li yang dikasihinya, lebih baik dia berkelana dengan bebas daripada harus berdiam di dalam kuil seperti seekor burung dalam sangkar.
Dan sebelum pergi, dia ingin mengajak Sian Li bermain-main, ingin menyenangkan hati adiknya itu untuk yang terakhir kalinya.
Dia mengajak Sian Li ke tepi sungai, tempat yang paling disenanginya karena tempat itu memang indah sekali. Sunyi dan tenang. Mendengarkan burung berkicau dan air sungai berdendang dengan riak kecil, sungguh amat merdu dan menyejukkan hati. Duduk di atas rumput di tepi sungai, menatap langit yang amat indah, langit di timur yang mulai kemerahan, mutiara-mutiara embun di setiap ujung daun. Tak dapat digambarkan indahnya.
Dia duduk dan memangku Sian Li yang memandang ke arah air di sungai dengan wajah berseri. Dia menunduk dan mencium kepala anak itu. Betapa dia amat menyayang adiknya. Dicium kepalanya, Sian Li memandang dan merangkulkan kedua lengannya yang kecil di leher Yo Han. Sejak kecil dia diajar menyebut suheng (kakak seperguruan) kepada Yo Han. Melihat kakaknya itu memandang kepadanya dengan sepasang mata penuh kasih sayang, anak itu tersenyum.
“Aku sayang suheng....” katanya lucu, Yo Han mencium pipinya. “Aku pun sayang kepadamu, adikku....” hatinya terharu sekali karena dia dapat merasakan kasih sayang di antara mereka yang menggetarkan hatinya. Dan dia harus berpisah dari anak ini! Bahkan karena adiknya inilah dia harus meninggalkan rumah suhunya! Suhu dan subonya tidak ingin kelak Sian Li mencontoh sikap dan wataknya! Begitu burukkah sikap dan wataknya? Dia mengerti bahwa guru dan subonya amat kecewa karena dia tidak suka berlatih silat. Dan membayangkan betapa adik yang bersih ini kelak menjadi seorang gadis yang perkasa, seperti ibunya dahulu, hidupnya penuh bahaya dan acaman musuh, hidup selalu waspada, membunuh atau dibunuh, ingin dia menangis. Adiknya akan menjadi pembunuh! Akan memenggal leher orang dengan pedangnya, atau menusukkan pedang menembus dada dan jantung orang. Atau sebaliknya, disiksa dan dibunuh orang!
“Ihhh, Suheng.... menangis?” anak itu memandang ketika dua titik air mata turun ke atas pipi kakaknya, dan tangannya menyentuh air mata di pipi itu sehingga runtuh. Sentuhan lembut yang menggetarkan hati Yo Han.
“Sian Li....” Dia merangkul, menyembunyikan mukanya di atas kepala anak itu.
“Suheng, Ayah dan Ibu melarang kita menangis....” kata anak itu lagi. “Apakah Suheng menangis?” Suaranya masih belum jelas dan terdengar lucu, namun justeru mengharukan sekali.
Yo Han mengeraskan hatinya dan diam-diam mengusap air matanya, lalu dia membiarkan adiknya dapat memandang mukanya yang tadi disembunyikan di rambut kepala Sian Li. Dia menggeleng.
“Aku tidak menangis, sayang.”
Anak itu tertawa dan alangkah manis dan lucunya kalau ia tertawa,
“Hore Suheng tidak menangis. Suheng gagah perkasa!”
Yo Han merasa jantungnya seperti ditusuk. Sekecil ini sudah menghargai kegagah perkasaan! Sekecil ini sudah menjadi calon pendekar wanita, seorang calon hamba kekerasan! Sudah terbayang olehnya Sian Li menjadi seorang gadis yang selalu membawa pedang di belakang punggungnya.
Dia cepat dapat menguasai kesedihan dan keharuannya, dan teringat bahwa dia mengajak adiknya pagi ini ke tepi sungai untuk bermain-main dan menyenangkan hati adiknya.
“Sian Li, sekarang katakan, engkau ingin apa? Katakan apa yang kauinginkan dan aku akan mengambilnya untukmu. Katakan, adikku sayang.” Yo Han membelai rambut kepala adiknya.
Sian Li berloncatan girang dan bertepuk tangan.
“Betul, Suheng? Kau mau mengambilkan yang kuingini? Aku ingin itu, Suheng....” Ia menunjuk ke arah pohon yang tumbuh dekat situ.
“Itu apa?” Yo Han memandang ke arah pohon itu. Pohon itu tidak berbunga. Apa yang diminta oleh Sian Li? Daun?”
“Itu yang merah ekornya....”
“Hee? Merah ekornya? Apa....”
“Burung itu, Suheng. Cepat, nanti dia terbang lagi. Aku ingin memiliki burung itu....”
Yo Han menggaruk-garuk kepalanya. Bagaimana mungkin dia dapat menangkap burung yang berada di pohon? Sebelum ditangkap, burung itu akan terbang.
“Aku tidak bisa, Sian Li. Burung itu punya sayap, pandai terbang, sedangkan aku.... lihat, aku tidak bersayap!” Yo Han melucu sambil berdiri dan mengembangkan kedua lengannya, seperti hendak terbang.
“Uhh! Kalau Ayah atau Ibu, mudah saja menangkap burung di pohon. Suheng kan muridnya, masa tidak bisa?”
Yo Han merangkul adiknya.
“Sian Li, terang saja, aku tidak bisa, dan juga, untuk apa burung ditangkap? Biarkan dia terbang bebas. Kasihan kalau ditangkap lalu dimasukkan sangkar. Itu menyiksa namanya, kejam. Kita tidak boleh menyiksa mahluk lain, adikku seyang....”
“Uuuuu.... Suheng....! Kalau begitu, ambilkan saja itu yang mudah. Itu tuh, yang kuning dan biru....”
Melihat adiknya menunjuk ke arah serumpun bunga yang berwarna merah, dia mengerutkan alisnya. Yang diminta yang berwarna kuning dan biru. Itu bukan warna bunga, melainkan warna beberapa ekor kupu-kupu yang beterbangan di sekeliling rumpun bunga itu. Adiknya minta dia menangkapkan seekor kupu kuning dan seekor kupu biru! Memang mudah, akan tetapi dia pun tidak suka melakukan itu. Dia tidak suka menyiksa manusia maupun binatang, apalagi kupu-kupu, binatang yang demikian indah dan tidak pernah melakukan kesalahan apa pun. Akan tetapi, untuk menolak lagi permintaan Sian Li, dia pun tidek tega. Maka dia pun pura-pura mengejar kupu-kupu yang beterbangan dengan panik, pura-pura mencoba untuk menangkap dengan kedua tangannya namun tak berhasil dan sebagai gantinya, dia memetik beberapa tangkai bunga merah dan memberikan itu kepada adiknya.
“Wah, kupu-kupunya terbang. Ini saja gantinya, Sian Li. Kembang ini indah sekali. Kalau dipasang di rambutmu, engkau akan bertambah manis.”
“Tidak mau....! Aku tidak mau kembang. Aku ingin burung dan kupu-kupu. Aihh.... Suheng nakal. Aku mau kupu-kupu dan burung....” Sian Li membanting-banting kaki dengan manja lalu menangis.
Yo Han menjatuhkan diri berlutut dan merangkul adiknya.
“Dengar baik-baik, adikku sayang. Apakah engkau mau dikurung dalam kurungan, dan apakah engkau mau kalau kaki tanganmu dibuntungi?”
Mendengar ini, Sian Li terheran, dan dengan pipi basah air mata ia memandang kakaknya, tidak mengerti.
“Kau tentu tidak mau bukan?”
Sian Li menggeleng kepala, masih terheran-heran mengapa kakaknya yang biasanya amat sayang kepadanya dan memanjakannya, kini hendak mengurung dan bahkan membuntungi kaki tangannya!
“Bagus kalau engkau tidak mau! Nah, sama saja, adikku sayang. Engkau tidak mau ditangkap dan dikurung, burung itu pun akan susah sekali kalau kau tangkap dan kau masukkan sangkar, dikurung dan tidak boleh terbang bermain-main dengan teman-temannya. Engkau tidak mau dibuntungi kaki tanganmu, juga kupu-kupu itu tidak suka dan merasa kesakitan dan susah kalau sayapnya dipatahkan, kakinya dibuntungi. Kita tidak boleh menyiksa binatang yang tidak bersalah apa-apa, adikku sayang. Kubikinkan boneka tanah liat saja, ya?”
selanjutnya ---->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar