Jumat, 31 Januari 2014

Si Tangan Sakti Jilid 14

Si Tangan Sakti Jilid 14

14

“Seng Bu, apakah engkau sudah sarapan pagi dan dari mana engkau sepagi ini sudah berkeringat?”
“Teecu baru saja berlatih silat, Suhu, nanti setelah mandi teecu akan sarapan di dapur,” jawab Seng Bu dengan sikap hormat.
“Bagus, engkau memang rajin. Kalau engkau mencontoh suci-mu Lu Sek rajinnya dalam berlatih silat, kurasa engkau akan mampu mencapai tingkatnya.”
“Teecu tidak berani, Suhu. Tidak mungkin mengejar Lu-suci yang amat lihai.”
Lauw Kang Hui tersenyum. Muridnya ini selalu bersikap rendah diri dan sopan, selalu menyenangkan hati orang lain.
“Seng Bu, apakah dua ilmu simpananku yang terakhir kuajarkan padamu, sudah dapat kau kuasai dengan baik?”
“Suhu maksudkan Tok-jiauw-kang (Cengkeraman Beracun) dan Kiam-ciang (Tangan Pedang)? Setiap hari teecu sudah berlatih diri dengan tekun dan mohon petunjuk Suhu.”
Lauw Kang Hui menghela napas panjang.
“Aku sudah terlalu tua untuk dapat berlatih dengan kedua ilmu itu denganmu, Seng Bu. Sebaiknya engkau minta kepada Lu Sek untuk latihan bersama agar engkau dapat memperoleh banyak kemajuan.”
“Baik, Suhu. Teecu (murid) akan mohon bantuan Lu-suci.”
“Aku ingin sekali lagi mengingatkanmu, Seng Bu. Hanya kepada Lu Sek dan engkau dua orang sajalah aku mengajarkan dua ilmu simpananku itu. Oleh karena itu, jangan dilupakan bahwa kedua macam ilmu itu adalah ilmu yang amat berbahaya dan mematikan lawan. Kalau engkau tidak terancam maut dan terpaksa sekali, jangan engkau menggunakan ilmu-ilmu itu untuk menyerang lawan. Mengerti?”
“Teecu mengerti, Suhu”
Lauw Kang Hui menghela napas panjang.
“Sampai sekarang kalau teringat aku masih merasa menyesal bukan main karena dahulu aku pernah mempergunakan kedua ilmu secara sembarangan sehingga menjatuhkan banyak korban yang tidak semestinya kubunuh. Sekarang aku menghendaki agar seluruh murid Thian-li-pang, selain menjadi patriot-patriot yang menentang penjajah Mancu, juga menjadi pendekar-pendekar yang membela kebenaran dan keadilan, dan tidak mempergunakan ilmu untuk memaksakan kehendak dan berbuat kejahatan.”
“Teecu mengerti.”
“Ingat, kalau sampai terjadi penyelewengan oleh siapapun juga, andaikata aku yang sudah tua tidak mampu lagi menghukum, kelak kalau Sin-ciang Tai-hiap Yo Han datang berkunjung, dia tentu akan turun tangan dan menindak mereka yang melakukan penyelewengan.”
“Teecu mengerti, Suhu.” Seng Bu menunduk menyembunyikan senyum mengejek yang mendesak keluar ke mulutnya. Lalu dia bersikap biasa dan hormat kembali, mengangkat mukanya yang jujur dan bertanya kepada suhunya, “Suhu, apakah Sin-ciang Tai-hiap itu luar biasa lihainya? Apakah Suhu sendiri tidak akan mampu menandinginya?”
Lauw Kang Hui tersenyum.
“Ha-ha-ha, Seng Bu, jangan samakan aku dengan dia! Bahkan kedua orang kakek gurumu sekalipun, yaitu mendiang Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong, tidak akan mampu menandingi Pendekar Tangan Sakti Yo Han.”
“Luar biasa sekali! Bukankah usianya masih sangat muda, Suhu? Hanya beberapa tahun lebih tua dari teecu? Teecu masih ingat ketika masih kanak-kanak, dia tidak banyak lebih tua dari teecu.”
“Benar, dia hanya beberapa tahun lebih tua darimu. Akan tetapi, dia telah mewarisi ilmu yang mujijat dari kakek paman gurumu, mendiang supek Ciu Lam Hok di sumur bawah tanah.”
“Maaf, Suhu. Teecu mendengar bahwa kakek itu buntung kaki dan tangannya. Dalam keadaan seperti itu, ilmu silat macam bagaimanakah yang dapat beliau ajarkan kepada Sin-ciang Tai-hiap?”
Lauw Kang Hui menghela napas panjang.
“Ilmu yang mujijat, ilmu yang luar biasa dan tiada keduanya di dunia ini. Ilmu itu disebut Bu-kek-hoat-keng dan hanya Sin-ciang Tai-hiap seorang saja yang menguasainya. Sukar dicari tandingannya.”
“Suhu maksudkan bahwa kalau memiliki ilmu Bu-kek-hoat-keng itu, orang akan dapat menjadi jagoan nomor satu di dunia persilatan?”
Lauw Kang Hui mengangguk-angguk.
“Mungkin saja. Akan tetapi, Yo Han Taihiap bukan orang semacam itu. Tidak, dia tidak mau menonjolkan diri, bahkan menjadi ketua Thian-li-pang saja dia menolaknya. Karena dia maka Thian-li-pang harus menjaga diri menjadi perkumpulan yang gagah dan menegakkan kebenaran dan keadilan.”
“Teecu mengerti, Suhu. Bolehkah teecu mengundurkan diri sekarang untuk pergi mandi?”
“Nanti dulu, ada satu hal lagi ingin kubicarakan denganmu, Seng Bu.”
“Urusan apakah itu, Suhu? Teecu siap mendengarkan.”
“Engkau tentu tahu bahwa mengurus Thian-li-pang tidaklah mudah, selain harus ketat mengawasi sepak terjang anak buah Thian-li-pang, juga harus mampu menghadapi ancaman dari luar. Aku sekarang sudah semakin tua dan lemah, kurang bersemangat. Coba katakan, siapakah di antara para anggauta Thian-li-pang yang waktu ini memiliki ilmu kepandaian silat paling tinggi sesudah aku, Seng Bu?”
Siapa lagi kalau bukan aku, bisik hati pemuda itu. Bahkan suhunya sendiri pun tidak akan mampu menandinginya! Akan tetapi mulutnya menjawab tanpa ragu,
“Tentu saja Lu-suci, Suhu.”
“Tepat sekali Seng Bu. Oleh karena itu, kurasa engkau pun akan setuju kalau aku mengangkat suci-mu itu menjadi calon penggantiku, menjadi calon ketua Thian-li-pang, bukan?”
“Teecu setuju, Suhu.” katanya sambil menunduk, karena dia harus menyembunyikan lagi tarikan sinis pada mulutnya.
“Melihat hubungan suci-mu dengan suhengmu Lauw Kin, kurasa mereka akan menjadi pasangan yang akan mampu memimpin Thian-li-pang. Dan engkaulah yang kuharapkan akan dapat membantu mereka. Maukah engkau berjanji untuk membantu mereka sekuat tenagamu, Seng Bu? Karena engkaulah orang ke dua yang kupercaya setelah suci-mu.”
“Teecu berjanji akan membantu Lusuci, Suhu.”
“Bagus! Legalah hatiku sekarang dan besok kita mengadakan upacara besar, mengumpukan seluruh anggauta untuk mengumumkan pengangkatan Lu Sek menjadi calon ketua Thian-li-pang, Lauw Kin menjadi wakil ketua dan engkau menjadi pembantu utama. Nah, sekarang engkau boleh pergi.”
Pada keesokan harinya, pagi-pagi seluruh anggauta Thian-li-pang telah berkumpul di ruangan besar yang biasa dipergunakan untuk rapat dan juga berlatih silat.
Dibawah bimbingan Lauw Kang Hui, Thian-li-pang dalam lima tahun lebih ini sejak kematian Ouw Ban, telah kembali ke jalan benar. Akan tetapi, banyak anggauta yang dikeluarkan dan disaring sehingga kini hanya mempunyai sedikit saja. Namun, seluruh anggauta itu merupakan orang-orang gagah yang berwatak pendekar dan juga yang berjiwa patriot.
Para anggauta yang langsung menjadi murid-murid Lauw Kang Hui hanya ada belasan orang. Yang terutama di antara mereka tentu saja adalah Lu Sek, Lauw Kin, dan Seng Bu. Para murid lain memiliki tingkat yang lebih rendah dari tiga orang ini, walaupun tentu saja mereka jauh lebih lihai daripada para anggauta biasa yang hanya mempelajari ilmu silat Thian-li-pang dari para murid ini. Selama ini, Lauw Kin yang mewakili pamannya, juga gurunya dan ketuanya, untuk membimbing para angauta dalam berlatih silat. Lu Sek mewakili ketua untuk urusan luar Thian-li-pang. oleh karena itu, desas-desus tentang akan diangkatnya kedua orang ini menjadi ketua dan wakil ketua, diterima oleh para anggauta Thianli-pang dengan wajar dan gembira karena memang selama ini kedua tokoh itulah yang aktif mewakili sang ketua yang sudah lanjut usia itu mengurusi Thian-li-pang bagian luar dan bagian dalam.
Ketika Lauw Kang Hui keluar dari dalam, seluruh anggauta Thian-li-pang sudah berkumpul dan tiga belas orang murid ketua itu pun sudah berada di situ, paling depan dan mereka semua segera bangkit berdiri ketika Lauw-pangcu muncul. Setelah menerima penghormatan semua murid dan anggauta Thianli-pang, Lauw Kang Hui duduk di kursi yang sudah disediakan untuknya. Setelah duduk, dia pun memberi isyarat kepada tiga belas orang muridnya yang mengambil tempat duduk di bangku yang tempatnya lebih rendah, sementara itu para anggauta Thian-li-pang tetap berdiri dengan rapi. Suasana menjadi hening karana semua anggauta tidak berani mengeluarkan suara, siap menanti untuk mendengarkan apa yang akan dikatakan oleh ketua mereka. Juga para murid duduk dengan sikap tenang dan patuh.
“Para murid dan anggauta Thian-li-pang semua, dengarlah baik-baik apa yang kukatakan dan laksanakan dengan patuh. Seperti kalian ketahui, lebih lima tahun sejak Sin-ciang Tai-hiap Yo Han menyerahkan kepemimpinan Thian-li-pang kepadaku, telah terjadi banyak perubahan.
Biarpun dalam hal perjuangan kita belum dapat berbuat banyak, namun kita telah mampu membelokkan arah kemudi dan kembali ke jalan benar sebagai perkumpulan yang membela kebenaran dan keadilan, sesuai dengan apa yang diinginkan Pendekar Tangan Sakti. Akan tetapi, sekarang aku telah semakin tua, usiaku sudah tujuh puluh empat tahun sudah kekurangan semangat. Sudah lama kita, menanti-nanti datangnya Yo-taihiap, akan tetapi dia tidak kunjung datang. Oleh karena itu, sekarang aku akan menentukan pilihanku, untuk mengangkat calon-calon pimpinan Thian-li-pang sehingga kalau sewaktu-waktu aku mati, tidak akan terjadi kekacauan karena tidak ada pimpinan. Sementara itu, andaikata nanti Yo-taihiap datang dan tidak setuju dengan pilihanku, maka tentu saja calon yang kupilih dapat saja diganti sesuai dengan kehendak Yo-taihiap. Setujukah kalian semua?”
Serentak seratus orang lebih itu menyambut dengan suara penuh semangat,
“Setujuuuuu....!!”
Sambil tersenyum gembira atas sambutan meriah itu, Lauw-pangcu mengangkat tangan minta agar semua orang diam, lalu dia melanjutkan dengan suara gembira.
“Bagus! Nah, sekarang hendak kuumumkan siapa yang kupilih menjadi calon pimpinan Thian-li-pang yang akan menggantikan aku sewaktu-waktu kukehendaki atau sewaktu-waktu aku meninggalkan dunia. Pertama, yang akan menjadi ketua adalah muridku Lu Sek. Biarpun ia seorang wanita, namun tingkat kepandaiannya adalah yang paling tinggi di antara kalian semua. Pula, ia sudah berpengalaman dan sudah biasa mewakili aku. Adapun yang menjadi wakilnya kutetapkan murid dan juga keponakanku Lauw Kin. Sedangkan pembantu utama mereka adalah muridku Ouw Seng. Kalau memang kelak dibutuhkan, ketua boleh mengangkat para pembantu lainnya. Setujukah kalian? Kalau ada yang tidak setuju, boleh mengajukan pendapatnya!”
Akan tetapi, tak seorang pun yang menolak dan kembali mereka berseru menyatakan persetujuan mereka. Upacara sembahyang untuk mengesahkan pengangkatan calon pimpinan Thian-li-pang segera dilakukan seperti yang telah menjadi kebiasaan perkumpulan itu.
Setelah upacara sembahyang dilakukan, para anggauta dipersilakan bubaran dan kembali ke tempat masing-masing melakukan tugas sehari-hari. Akan tetapi, tiga orang pimpinan baru itu masih ditahan oleh Lauw Kang Hui untuk diberi pengarahan dan nasihat-nasihat.
Dalam kesempatan ini, Lauw Kang-hui minta kepada tiga orang muridnya itu untuk mulai membawa Thian-li-pang pada cita-cita semula, yaitu menggulingkan pemerintah penjajah Mancu.
“Pemerintah penjajah Mancu amat kuat, tentu saja dengan jumlah anggauta kita yang hanya seratus orang lebih, tidak mungkin kita akan mampu melawan bala tentara Mancu. Kita harus dapat menghimpun kekuatan dengan mengajak rakyat jelata untuk menentang penjajah, dan terutama sekali harus bersatu dengan para perkumpulan pejuang lain. Aku ingin sekali mendengar berita dari Thio Cu yang kuutus sebagai wakil Thian-li-pang mengunjungi pertemuan yang diadakan oleh Pao-beng-pai karena kalau benar Pao-beng-pai merupakan perkumpulan anti penjajah, kita boleh bersekutu dengan mereka. Akan tetapi kalau Paobeng-pai hanya merupakan perkumpulan penjahat yang berkedok perjuangan seperti Pek-lian-pai, Pat-kwa-pai, kita tidak perlu mendekati mereka.”
Mendengar ucapan gurunya itu, Lu Sek dan Lauw Kin mengangguk-angguk setuju, akan tetapi diam-diam Ouw Seng Bu tidak senang hatinya. Dia berpendapat bahwa itulah kekeliruan Thian-li-pang maka sampai sekarang tidak memperoleh kemajuan, seperti ketika masih dipegang pimpinannya oleh mendiang ayahnya. Dahulu, Thian-li-pang terkenal dengan keberaniannya, bahkan beberapa kali mencoba untuk membunuh kaisar dan para pangeran Mancu sehingga Thian-li-pang ditakuti dan terkenal sebagai perkumpulan pejuang yang gigih. Akan tetapi sekarang, Thian-li-pang hanya tinggal namanya saja. Yang penting adalah menggulingkan pemerintah Mancu, dan untuk itu, semua kekuatan harus dikerahkan, tidak peduli dari golongan manapun juga. Biar penjahat, maling dan perampok sekalipun, kalau memang mau harus diajak untuk menentang penjajah, harus dianggap kawan seperjuangan. Juga dia mempunyai pendapat bahwa sesungguhnya, dialah yang paling berhak untuk memimpin Thian-li-pang, bukan saja karena dia memiliki kepandaian paling tinggi di antara mereka semua, melainkan terutama sekali karena dialah keturunan ketua yang dulu. Kalau dia yang menjadi ketua, dia akan membuat Thianli-pang menjadi perkumpulan pejuang yang paling hebat. Siapa tahu di tangan dialah penjajah Mancu dapat digulingkan, dan bukan mustahil pula, kalau dia telah menjadi jagoan nomor satu di dunia, yang paling lihai di antara semua tokoh persilatan, memiliki pengikut yang paling besar, setelah penjajah roboh, dia yang akan diangkat menjadi kaisar baru! Cita-cita ini muncul dalam hati Ouw Seng Bu semenjak dia mempelajari ilmu rahasia di dalam gua bawah tanah.
Selagi empat orang pimpinan Thianli-pang itu berbincang-bincang, muncullah Thio Cu yang baru saja pulang dari perjalanan mengunjungi Pao-beng-pai bersama beberapa orang saudaranya. Kedatangannya tentu saja disambut oleh para anggauta Thian-li-pang.
Thio Cu sendiri setelah mendengar bahwa Lauw Pangcu berada di ruangan besar bersama tiga orang yang baru saja dipilih menjadi calon pimpinan baru, segera pergi menghadap, sedangkan kawan-kawannya sibuk menceritakan apa yang mereka alami dalam pertemuan yang diadakan Pao-beng-pai.
Lauw Kang Hui gembira sekali ketika melihat Thio Cu datang menghadap.
“Aih, baru saja aku membicarakan engkau, Thio Cu,” kata kakek itu kepada Thio Cu yang menjadi seorang di antara murid-muridnya. “Cepat ceritakan bagaimana keadaan Pao-beng-pai, siapa ketuanya dan bagaimana keadaannya. Kuatkah mereka? Apakah mereka itu perkumpulan pejuang aseli seperti kita? Dan apa yang terjadi dalam pertemuan itu?”
“Banyak hal menarik yang terjadi di sana, Suhu, juga hal yang aneh-aneh. Ketua Pao-beng-pai bernama Siangkoan Kok, kabarnya dia keturunan dari keluarga kaisar Kerajaan Beng-tiauw. Isterinya bernama Lauw Cu Si, nama keturunaannya sama dengan Suhu, dan kabarnya ia adalah keturunan dari partai Beng-kauw yang telah hancur. Ilmu kepandaian mereka tinggi sekali, Suhu. Teecu (murid) menyaksikan sendiri betapa ketua Pao-beng-pai itu dalam beberapa jurus saja mengalahkan Thian Ho Sianjin bersama tiga orang tokoh lain yang maju berbareng mengeroyoknya....”
“Wahhh....! Maksudmu Thian Ho Sianjin ketua Pat-kwa-pai?” tanya Lauw Kang Hui terkejut.
“Benar, Suhu!”
Lauw Kang Hui terbelalak. Dia sendiri tidak akan mampu mengalahkan ke tua Pat-kwa-pai itu, dan sekarang, Thian Ho Sianjin dibantu tiga orang kawannya kalah oleh Siangkoan Kok dalam beberapa jurus saja!
“Bahkan kemudian, Kui Thian-cu, tokoh Pek-lian-kauw yang terkenal pandai bermain pedang itu, dikalahkan dengan mudah oleh puteri ketua Pao-beng-pai yang bernama Siangkoan Eng. Beberapa orang tokoh yang maju menguji kepandaian pimpinan Pao-beng-pai, semua juga dikalahkan dengan mudah.”
“Bukan main!” seru Lu Sek yang juga tertegun seperti gurunya mendengar kehebatan pimpinan Pao-beng-pai. Diam-diam Ouw Seng Bu juga kagum sekali dan timbul keinginan hatinya untuk mengenal lebih dekat keluarga Siangkoan yang amat lihai itu.
Mampukah dia menandingi mereka?
“Bagaimana dengan para wakil perguruan-perguruan silat besar seperti Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai, Go-bi-pai, Bu-tong-pai dan lain-lain?” tanya pula Lauw Pangcu semakin tertarik.
“Empat partai besar itu dianggap sebagai tamu kehormatan dan dipersilakan duduk di kursi-kursi kehormatan sejajar dengan ketua Pao-beng-pai. Perkumpulan itu mengajak semua aliran baik dari partai bersih maupun golongan sesat, untuk bersama-sama menggulingkan pemerintah penjajah Mancu....”
“Tepat sekali!” tiba-tiba Ouw Seng Bu berseru nyaring sehingga mengejutkan semua orang yang mengenalnya sebagai seorang pemuda yang biasanya pendiam.
“Apanya yang tepat, Seng Bu? Apa maksudmu?” tanya Lauw Kang Hui dan wajah Seng Bu berubah merah. Dia menyesali diri sendiri kenapa tidak dapat menahan diri. Akan tetapi berkat kecerdikannya yang luar biasa, dia sudah mampu menguasai dirinya dan menyediakan jawaban yang tepat.
“Maksud teecu, perkumpulan yang kuat seperti Pao-beng-pai itu tepat sekali untuk dijadikan sekutu menentang penjajah, bukankah begitu Lu-suci dan Suheng?”
Lu Sek dan Lauw Kin mengangguk, akan tetapi Lauw Kang Hui menarik napas panjang.
“Belum tentu. Kita harus mengenal benar keadaan mereka. Lalu apa pula yang terjadi di sana, Thio Cu?”
“Ada peristiwa yang pasti akan mengejutkan hati Suhu. Teecu melihat Sinciang Tai-hiap Yo Han berada pula di sana.”
“Ahhh....!!” Seruan ini keluar dari mulut keempat orang itu. Berita ini benar-benar merupakan kejutan besar.
“Apa yang dilakukan Pendekar Tangan Sakti di sana? Ceritakan, Thio Cu, ceritakan!” kata Lauw Kang Hui, tertarik sekali.
“Yo-taihiap termasuk mereka yang ingin menguji kepandaian pimpinan Paobeng-pai. Kui Thian-cu dari Pek-liankauw mengenalnya dan memaki Yo-taihiap sebagai iblis dari Thian-li-pang. Teecu lalu maju membelanya, mengatakan bahwa Yo-taihiap adalah pemimpin Thianli-pang. Kemudian, Yo-taihiap memperkenalkan diri kepada pimpinan Pao-bengpai bahwa dia memusuhi pemerintah Mancu, juga dia memusuhi tiga keluarga para pendekar Pulau Es, Gurun Pasir dan Lembah Siluman. Juga dia mencela empat partai besar sebagai para pendekar yang tak bersemangat, tidak mau menentang penjajah.
Celaannya memarahkan Ciong Tojin dari Kun-lun-pai dan Lo Kian Hwesio dari Siauw-lim-pai, akan tetapi Yo-taihiap menantang mereka.
Dua orang pendeta itu mengeroyoknya, akan tetapi mereka kalah! Kemudian Hoat Cinjin dari Go-pi-pai mengenal Yo-taihiap sebagai Sin-ciang Tai-hiap. Ketua Pao-beng-pai tertarik dan dia sendiri turun tangan menguji kepandaian Yo-taihiap. Mereka mengadu sin-kang dan agaknya mereka sama-sama kuat, sehingga Siangkoan Kok menerima Yo-taihiap sebagai tamu agung dan sahabat yang akan bekerja sama.”
Semua orang mendengarkan cerita itu dengan hati tertarik. Kalau tadi mereka kagum terhadap keluarga ketua Pao-beng-pai, kini mereka kagum dan bangga pula terhadap Yo Han yang mereka anggap sebagai pemimpin besar Thian-li-pang.
“Kalau begitu, Yo-taihiap hendak membawa Thian-li-pang agar bekerja sama dengan Pao-beng-pai?” tanya Lauw Kang Hui.
“Teecu tidak mengerti, Suhu. Ada yang aneh dalam sikap Yo-taihiap. Ketika teecu pada waktu semua tamu berpamitan, bertanya kepadanya kalau teecu dapat membantunya dia menyuruh teecu cepat-cepat pergi dan mengatakan agar teecu tidak mencampuri urusan pribadinya di sana.”
“Urusan pribadi?” Lauw Kang Hui bertanya heran.
“Suhu, kalau begitu, tentu Yo-taihiap tidak bermaksud untuk bergabung dengan Pao-beng-pai untuk urusan perjuangan. Mungkin dia hendak minta bantuan Paobeng-pai untuk menghadapi musuh-musuhnya, dan kalau teecu tidak salah dengar, tadi Thio-suheng mengatakan bahwa dia memusuhi para pendekar dari tiga keluarga besar.” kata Seng Bu.
“Hemmm, mungkin pendapatmu itu benar, Seng Bu. Bagaimana pendapatmu, Thio Cu? Engkau melihat semua peristiwa di sana, tentu lebih tahu.”
“Teecu kira pendapat sute Seng Bu tadi benar. Ketika memperkenalkan diri, Yo Taihiap juga menyatakan bahwa dia amat membenci dan memusuhi dua orang, yaitu Pendekar Suling Naga Sim Houw dan isterinya yang bernama Can Bi Lan, masih bibi-guru sendiri dari Yo-taihiap. Dia mengatakan bahwa ayah ibunya tewas karena kedua orang itu dan dia mendendam kepada mereka.”
“Jelas bahwa Yo-taihiap memang hendak mengurus persoalan pribadi maka kita pun tidak boleh tergesa-gesa bekerja sama dengan Pao-beng-pai,” kata Lauw Kang Hui.
“Akan tetapi, Suhu, bukankah kalau kita bekerja sama dengan perkumpulan yang kuat itu, maka perjuangan kita akan menjadi lebih berhasil?” Seng Bu bertanya dengan nada memrotes.
“Sute, engkau tahu apa? Kita harus mentaati Suhu dan juga menunggu isyarat dari Yo-taihiap.” Lu Sek menegur sutenya dengan alis berkerus.
Seng Bu menghela napas.
“Baik maafkan aku, Suci. Oya, Suci, kemarin Suhu memberi petunjuk agar aku mengajak Suci untuk menjadi lawan berlatih agar ilmu-ilmu yang sedang kulatih dapat memperoleh kemajuan.” Dia mengalihkan perhatian.
“Aih, Sute. Thio-suheng sedang bercerita tentang pengalamannya, engkau malah membicarakan urusan latihan.”
“Maaf, aku takut lupa....”
Lauw Kang Hui tertawa.
“Ha-ha-ha, memang benar, Lu Sek. Aku sudah terlalu tua untuk menjadi pasangannya berlatih. Dan hanya engkau yang dapat melayaninya.”
Lu Sek mengangguk dan mengerti. Ia tahu apa yang dimaksudkan oleh sutenya dan suhunya. Memang, dua macam ilmu silat guru mereka, yaitu Tok-jiuaw-kang dan Kiam-ciang, hanya diajarkan kepada dia dan sutenya saja. Selain guru mereka, hanya mereka berdua yang dapat memainkan ilmu itu, maka tentu saja hanya mereka berdua yang dapat menjadi pasangan berlatih.
“Baik, kita bicarakan soal latihan itu lain hari saja, Sute.” katanya kepada Seng Bu yang mengangguk sambil tersenyum.
Thio Cu melanjutkan ceritanya tentang pengalamannya di pertemuan yang diadakan Pao-beng-pai itu. Akan tetapi tidak ada yang menarik lagi bagi para pendengarnya karena yang menarik bagi mereka hanyalah tentang Yo Han dan tentang keluarga Siangkoan.
Tentu saja Thio Cu sama sekali tidak tahu bahwa pemuda bernama Cia Ceng Sun yang dia ceritakan itu sesungguhnya adalah seorang pangeran Mancu! Kalau saja dia tahu dan menceritakan hal itu, sudah pasti peristiwa dan kenyataan ini akan menarik perhatian para pendengarnya.
Demikianlah, mulai hari ini, walaupun mereka belum ditunjuk sebagai ketua dan wakil ketua secara resmi, baru dicalonkan, namun Lu Sek dan Lauw Kin makin berkuasa di Thian-li-pang, sedangkan Lauw Kang Hui hanya menjadi penasihat saja, walaupun dia masih disebut dan dianggap sebagai ketua.
***
Ouw Seng Bu menyelinap ke dalam hutan di kaki Bukit Naga itu, lalu dia duduk di atas batu besar. Belum sepuluh menit dia duduk, terdengar gerakan orang dan dia pun cepat menoleh ke arah suara itu. Muncul seorang laki-laki berusia lima puluh tahunan yang bertubuh tinggi kurus dan mukanya penuh brewok.
“Paman Su, engkau sudah datang? Bagaimana kabarnya?” tanya Seng Bu tanpa turun dari batu besar. Laki-laki itu adalah seorang anggauta Thian-li-pang dan dia pun cepat maju menghampiri dan memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depan dada.
“Ouw Kongcu (Tuan Muda Ouw), aku membawa kabar baik. Pek Sim Siansu sendiri yang mengirim salam untuk Kongcu dan sebagai tanda persahabatan beliau mengirimkan benda ini kepada Kongcu, dengan harapan agar pertengahan bulan depan Kongcu suka memenuhi undangannya. Kunjungan Kongcu akan disambut dengan gembira.”
Tiba-tiba Seng Bu melirik ke arah kanan. Dia mendengar gerakan orang, walaupun gerakan itu hampir tak bersuara. Dia tahu bahwa ada orang mengintai dan mendengarkan percakapannya dengan orang itu. Jantungnya berdebar tegang. Celaka, pikirnya. Su Kian adalah bekas kepercayaan mendiang ayahnya, dan sampai sekarang tetap setia kepada ayahnya, walaupun dia telah menjadi anggauta Thian-li-pang yang ikut bersumpah untuk kembali ke jalan benar dan taat kepada ketua Lauw. Su Kian merupakan satu-satunya orang yang dipercayanya, dan yang siap membantu agar dia dapat menguasai Thian-li-pang dan memimpin perkumpulan ini seperti mendiang ayahnya dahulu, melanjutkan perjuangan ayahnya menentang kerajaan Mancu secara kekerasan. Dan dia telah mengutus Su Kian untuk menghubungi Pek-lian-kauw dan menceritakan kepada pimpinan Pek-lian-kauw akan niatnya untuk bekerja sama setelah dia dapat menguasai Thian-li-pang seluruhnya.
Biarpun dia tahu bahwa ada orang yang memiliki kepandaian tinggi mengintai dan menyaksikan pertemuannya dengan Su Kian, juga mendengar percakapan mereka tadi, namun Seng Bu bersikap tenang dan mendengarkan laporan Su Kian sampai habis, bahkan dia menerima benda pemberian ketua Pek-lian-kauw kepadanya. Ketika buntalan kain kuning itu dibuka isinya adalah sebuah mainan terbuat dari batu giok yang berbentuk seekor naga! Indah sekali dan tentu berharga mahal bukan main.
Tiba-tiba Seng Bu melemparkan benda indah dan mahal itu ke atas tanah dan dia menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Su Kian sambil memaki dengan suara nyaring dan marah.
“Su Kian, berani engkau membujuk aku untuk menerima uluran tangan Pek-lian-kauw? Engkau pengkhianat, sepantasnya engkau dibunuh!” Tangannya bergerak cepat sekali dan Su Kian yang terbelalak matanya dan ternganga mulutnya itu tidak sempat mengelak, menangkis atau bahkan mengeluarkan suara apa pun. Totokan itu cepat datangnya dan dia pun terpelanting lemas.
Pada saat itu, muncul sesosok bayangan berkelebat. dan Lu Sek sudah berdiri di sana, diikuti Lauw Kin dan di belakang mereka masih nampak bayangan beberapa orang berkelebat. Seng Bu hanya mengerling saja dan melihat bahwa yang muncul adalah belasan orang saudara seperguruannya dipimpin oleh Lu Sek, tangannya kembali bergerak ke depan, mencengkeram ke arah kepala Su Kian dan orang itu pun tewas seketika terkena cengkeraman Tok-jiauw-kang. Mukanya membiru.
“Sute, kenapa engkau membunuhnya?” Lu Sek melompat dekat dan menegur Seng Bu.
Seng Bu mengerutkan alisnya, nampak marah sekali.
“Pengkhianat ini layak dibunuh seratus kali!” katanya. “Suci, dia mengkhianati kita, mengadakan hubungan dengan Pek-lian-kauw, bahkan membujuk aku untuk bekerja sama dengan Pek-lian-kauw. Lihat, dia hendak menyampaikan pemberian ketua Pek-lian-kauw kepadaku!” Dia membungkuk dan mengambil mainan berbentuk naga dari batu giok tadi dan sekali mengerahkan tenaga menjempit benda itu di antara kedua tangannya, benda itu pun remuk berkeping-keping dan dilemparkan ke atas tanah dengan pandang mata muak.
Lu Sek masih mengerutkan alisnya dan kini semua murid ketua Thian-lipang sudah berada di situ, menghadapi Seng Bu dengan setengah lingkaran.
“Aku sudah mendengarnya. Akan tetapi, kenapa engkau membunuhnya padahal tadi engkau sudah merobohkannya dengan totokan?” tanya pula Lu Sek dengan sinar mata penuh selidik, sedangkan para tokoh Thian-li-pang lainnya memandang kepada pemuda itu.
---lanjut ke jilid 15---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar