Jumat, 31 Januari 2014

Si Tangan Sakti Jilid 12

Si Tangan Sakti Jilid 12

12

“Diam! Jangan lagi berkata demikian atau aku akan lupa bahwa engkau sumoiku dan akan kuhajar kau!” tiba-tiba Siangkoan Eng membentak dan gadis itu memandang dengan wajah pucat.
“Maafkan aku, Suci....” Siangkoan Eng menghela napas panjang dan kembai ia memegang lengan gadis itu. “Engkaulah yang harus memaafkan aku. Aku begini bingung sehingga mudah tersinggung. Ketahuilah, sampai detik ini aku tidak dapat menghilangkan cintaku kepadanya, apalagi membencinya. Dan aku yakin bahwa dia bukan mata-mata, dan dia benar-benar mencintaiku. Aku menyesal sekali telah terburu nafsu sehingga menangkapnya.”
Diam-diam Siu Lan terkejut akan tetapi ia tidak berani menyatakan pendapatnya, takut salah. Ia terharu karena sucinya atau juga nonanya yang biasanya keras hati itu kini menjadi lemah oleh cinta!
“Akan tetapi, Suci telah terlanjur menangkapnya, lalu apa yang dapat kulakukan untukmu?”
“Engkau merupakan satu-satunya murid ayah yang dipercaya ayah, dan juga semua anggauta Pao-beng-pai tunduk kepadamu. Apalagi baru saja engkau berjasa dalam menjebak dan menangkan Pendekar Tangan Sakti Yo Han, pimpinan Thian-li-pang itu. Nah, karena Cia Sun ditahan dalam satu kamar tahanan dengan Yo Han, maka aku minta engkau suka berkunjung ke sana dan melihat keadaan Cia Sun.”
Sui Lan membelalakkan matanya.
“Malam-malam begini? Ini sudah tengah malam, Suci. Lalu apa alasanku tengah malam begini berkunjung ke tempat tahanan?”
“Katakan saja kepada penjaga bahwa engkau mendapat tugas dari ayah untuk mengamati penjagaan agar kedua orang tahanan itu tidak sampai lolos. Perhatikan apakah Cia Sun diperlakukan dengan baik oleh para penjaga seperti kuperintahkan kepada mereka, apakah dia mendapatkan makanan sepantasnya, bagaimana keadaannya. Kemudian, engkau harus dapat menyerahkan ini kepada Cia Sun tanpa diketahui penjaga.”
Siangkoan Eng menyerahkan sebuah surat yang dilipat-lipat menjadi kecil kepada sumoinya.
“Suci, engkau melibatkan aku dalam pekerjaan yang amat berbahaya, karena kalau suhu tahu tentu aku akan dibunuhnya. Setidaknya, aku berhak mengetahui, apa yang akan kau lakukan agar aku dapat menyesuaikan sikapku. Aku pasti akan membantumu, Suci. Akan tetapi, apakah maksudmu memberiku tugas ini? Apa artinya semua ini dan apa rencanamu?”
Siangkoan Eng merangkul sumoinya.
“Sumoi, kalau engkau berkhianat kepadaku dan melaporkan kepada ayah, aku akan celaka. Engkau saja yang dapat kupercaya. Aku memberi surat kepada Cia Sun, minta agar dia bersiap-siap menyambut rencanaku malam ini.”
“Dan apa rencanamu itu, Suci?”
Siangkoan Eng mengusir semua keraguannya. Memang berbahaya sekali. Kalau ia memberitahu kepada sumoinya dan gadis itu melaporkan kepada ayahnya, bukan saja rencananya gagal, akan tetapi bahkan amat membahayakan keselamatan Cia Sun dan ia sendiri. Akan tetapi, ia tidak melihat jalan lain.
“Sumoi, setelah larut malam nanti, aku akan membebaskan Cia Sun.”
Gadis itu terbelalak, kaget dan heran.
“Suci! Engkau yang menangkapnya dan melaporkannya kepada suhu, dan engkau pula yang kini akan membebaskannya. Bagaimana pula ini?”
“Sudahlah, Sumoi. Ini demi cinta dan untuk itu aku siap mempertaruhkan nyawaku. Maukah engkau membantuku? Atau engkau akan melapor kepada ayah?”
Sui Lan merangkul sucinya.
“Suci, engkau tahu bahwa aku menganggapmu seperti kakak sendiri. Aku hidup sebatang kara dan di dunia ini hanya engkaulah satu-satunya sahabatku, juga saudaraku. Percayalah, aku akan melaksanakan tugasmu dengan baik. Akan tetapi, dia satu kamar dengan orang she Yo itu. Bagaimana?”
“Justeru aku ingin memanfaatkan dia. Kita tahu, ilmu silat Si Tangan Sakti itu hebat. Kalau mereka berdua melarikah diri bersama, aku yakin ayah sendiri tidak akan mampu menangkap mereka dan Cia Sun tentu akan dapat bebas.” Siangkoan Eng lalu turun dari pembaringan. “Nah, lakukanlah tugasmu, Sumoi. Hati-hati, jangan ada yang melihat ketika engkau menyerahkan surat itu karena kalau ketahuan penjaga, semua rencanaku dapat gagal sama sekali!”
“Percayalah padaku, Suci.” Sui Lan meninggalkan kamar sucinya dan setelah Sui Lan pergi, Siangkoan Eng duduk termenung.
Sementara itu, Sui Lan dengan langkah biasa pergi ke sebuah bangunan khusus yang berada di perkampungan Paobeng-pai itu, bangunan yang dipergunakan sebagai tempat tawanan. Para penjaga tentu saja tidak melarang ia masuk, bahkan memberi hormat, apalagi ketika Sui Lan mengatakan bahwa ia mendapat tugas khusus dari ketua untuk memeriksa keadaan tawanan.
Juga para penjaga sebelah dalam yang berlapis-lapis, semua mengenal baik siapa gadis ini. Murid tersayang dari Siangkoan Kok, juga orang kepercayaan pimpinan Pao-beng-pai. Bahkan semua orang tahu bahwa Pendekar Tangan Sakti Yo Han tokoh Thian-li-pang dapat ditawan berkat pancingan nona ini. Diam-diam Sui Lan menyangsikan kemungkinan berhasilnya rencana sucinya. Bagaimana mungkin tawanan dapat lolos dari tempat ini? Selain penjagaan berlapis-lapis dan ketat, juga jalan keluar melalui rintangan-rintangan berupa jebakan-jebakan rahasia yang sukar ditembus.
Akhirnya tibalah ia di depan kamar tahanan yang berjeruji tebal itu. Dan ia melihat dua orang tawanan itu duduk bersila, saling berhadapan dan mengobrol! Kelihatan mereka demikian tenangnya! Pangeran itu bahkan nampak gembira dan mereka berdua menoleh dan memandang ketika ia berdiri di depan jeruji kamar itu.
Melihat Sui Lan, Yo Han tersenyum masam.
“Nah, itulah ia gadis lihai yang telah dipergunakan sebagai umpan sehingga aku terjebak,” kata Yo Han tanpa terdengar suara atau pandang mata membenci gadis itu.
Sesuai dengan perintah sucinya, Sui Lan memperhatikan keadaan kedua orang tawanan itu, terutama Cia Sun. Ia melihat betapa mereka dalam keadaan sehat, bahkan wajah mereka tidak memperlihatkan rasa takut atau murung. Jelas bahwa mereka diperlakukan dengan baik oleh para penjaga seperti diperintahkan sucinya.
Sui Lan memberi isyarat kepada para penjaga untuk menjauh. Mereka mentaati, akan tetapi tentu saja memandang dari jauh dan mendengarkan. Sui Lan mengambil sikap seperti orang mengejek.
“Hemmm, kalian sudah tertangkap seperti dua ekor tikus, masih berlagak. Akuilah saja bahwa kalian telah memata-matai Pao-beng-pai. Benar tidak? Kalian menyamar dan berpura-pura, sungguh licik dan pengecut!” Sui Lan sengaja mengejek dan memaki dengan suara nyaring sehingga terdengar oleh para petugas yang melakukan penjagaan di bagian terdalam tempat itu.
Yo Han tersenyum. Dia seorang yang cerdik dan dia melihat sikap yang tidak wajar dari gadis itu, bahkan dapat merasakan betapa suara gadis itu sengaja ditinggikan agar terdengar semua orang. Apa yang tersembunyi di balik sikap yang disengaja itu? Pasti ada! Karena itu, dia segera menanggapi, disesuaikan dengan sikap gadis itu yang sengaja menghina mereka. Kesengajaan ini dapat dia lihat dari suara dan sikapnya yang tidak sewajarnya.
“Aha, kiranya engkau gadis palsu, gadis licik dan curang! Bukan kami yang curang, melainkan Pao-beng-pai. Kalau tidak licik, pengecut dan curang, coba bebaskan kami dan mari kita bertanding sampai seribu jurus!”
Sui Lan semakin marah.
“Jahanam! Engkau telah merobek bajuku, engkau melepas sepatuku, engkau laki-laki mesum dan kurang ajar! Kalau tidak dihalangi suhu, tentu engkau sudah kubunuh!”
“Ha-ha-ha, engkau mampu membunuhku? Kita lihat saja!” kata Yo Han, dan Cia Sun memandang kakak angkatnya itu dengan mata terbelalak. Dia mengenal Yo Han tidak seperti itu! Begitu kasar kata-katanya terhadap seorang gadis!
“Keparat busuk, rasakan dan makan jarumku ini!” Tangan kiri gadis itu bergerak dan sinar lembut meluncur ke dalam kamar tahanan melalui celah-celah jeruji yang cukup lebar. Dipandang oleh para penjaga dari jauh, jelas bahwa gadis itu menyerang Yo Han dengan jarum rahasia yang ampuh! Akan tetapi, Yo Han menangkap sinar putih yang menyambarnya, dan menyimpannya ke dalam saku bajunya dengan kecepatan yang tidak dapat terlihat oleh para penjaga. Memang jarum yang disambikan Sui Lan, akan tetapi jarum yang membawa lipatan kertas kecil!
Melihat sambitannya tidak mengenai sasaran, Sui Lan memaki-maki lalu pergi meninggalkan tempat itu, memesan kepada para penjaga agar menjaga dengan ketat.
“Kecuali Suhu sendiri, suci Siangkoan Eng, dan aku sendiri, siapapun dilarang memasuki tempat ini! Mengerti?” bentaknya kepada para penjaga sebelum ia pergi dari situ.
“Dua jam kemudian, malam telah amat larut dan hawa yang dingin membuat semua orang mengantuk. Demikian pula para penjaga di bangunan tempat tahanan itu. Akan tetapi mereka tidak berani tidur dan melakukan penjagaan ketat secara bergantian.
Ketika Siangkoan Eng muncul dan membentak para penjaga yang agak mengantuk, mereka terkejut dan cepat mengambil sikap tegak dan siap. Sikap Siangkoan Eng galak terhadap para penjaga, dan memarahi setiap orang penjaga yang kelihatan mengantuk atau habis tidur.
“Kalian tidak boleh lengah sedikit pun! Dua orang tawanan ini amat lihai dan amat penting. Aku harus memeriksa segala kemungkinan, jangan sampai mereka lolos!” katanya dengan suara galak. Suaranya terdengar sampai kamar tahanan di mana dua orang pemuda itu duduk bersila. Mendengar suara ini, berubah wajah Cia Sun dan jantung kedua orang tawanan itu berdebar tegang.
Tak lama kemudian, setelah memeriksa di sepanjang jalan, tibalah Siangkoan Eng di lorong terakhir yang menuju ke kamar tahanan. Dua belas orang penjaga lorong itu, menyambut dengan sikap yang tegak dan siap.
“Tidak ada yang tertidur di antara kalian?” bentak Siangkoan Eng.
“Tidak, Nona.”
“Bagus! Siapa yang memegang kunci kamar tahanan? bentaknya pula. “Dia mempunyai tanggung jawab yang amat penting!”
“Saya, Nona!” kata seorang di antara para penjaga yang bertubuh tinggi besar, bermuka bopeng, yaitu kepala regu yang menjaga kamar tahanan dan lorong itu. “Sudah kauperiksa benar bahwa pintu itu terkunci rapat?”
“Sudah, Nona?”
“Berikan kuncinya kepadaku. Hendak kuperiksa sendiri!” kata Siangkoan Eng. “Awas kau kalau menguncinya tidak benar!”
“Silakan, Nona!” kata si bopeng sambil menyerahkan sebuah kunci yang besar.
Karena sikap Siangkoan Eng yang galak dan keras itu, para penjaga nampak takut kepadanya, tidak berani mendekat sehinga ketika gadis itu menghampiri pintu jeruji besi kamar tahanan, para penjaga hanya melihat dari jarak sepuluh meter. Pada saat gadis itu menghampiri pintu jeruji, mereka melihat betapa dua orang tawanan itu tidur di lantai, di tengah kamar, agak mendekat pintu. Mereka tidur mendengkur, dan Siangkoan Eng mencoba kunci pintu, apakah terkunci dengan benar atau tidak.
Pada saat itu, dua orang tawanan itu bergerak bagaikan kilat cepatnya dan Yo Han sudah menotok gadis itu melalui celah jeruji, lalu mencengkeram pundak dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya mengancam lehernya. Cia Sun juga cepat mencabut pedang yang terselip di pinggang Siangkoan Eng, lalu menghardik kepada para penjaga yang berloncatan mendekat.
“Semua berhenti dan jangan ada yang bergerak. Kalau ada yang bergerak, kami akan membunuh Siangkoan Eng!” Bentakan itu berpengaruh karena para penjaga yang dua belas orang banyaknya itu tidak berani berkutik, seperti berubah menjadi arca di tempat masing-masing. Tentu saja mereka tidak menghendaki nona mereka dibunuh dan nampaknya nona mereka memang sama sekali tidak dapat menyelamatkan diri, sudah ditotok, dicengkeram lagi dan mereka semua tahu atau sudah mendengar betapa lihainya dua orang tawanan itu, terutama sekali Yo Han yang mencengkeram nona mereka.
Cia Sun merampas kunci dan melalui celah jeruji, dia membuka kunci pintu, lalu mereka berdua keluar. Yo Han menelikung kedua lengan gadis itu ke belakang punggung, lalu membebaskan totokannya.
“Hayo antar kami keluar. Bergerak sedikit saja melawan, lehermu akan kupatahkan!” katanya geram.
Siangkoan Eng kelihatan terkejut dan marah, akan tetapi ia pun tahu bahwa ia tidak berdaya. Ketika melihat para penjaga memandangnya dengan bingung, ia pun berkata gemas,
"Biar mereka lewat. Lain kali masih ada kesempatan bagi kita untuk menangkap mereka kembali dan kalian akan mendapat bagian menyiksa mereka!” Para penjaga terpaksa membiarkan gadis itu digiring keluar oleh kedua tawanan. Demikian pula para penjaga di tengah dan di luar, tidak ada yang berani berkutik melihat nona mereka diancam seperti itu. Dan Siangkoan Eng juga menyuruh mereka mundur dan membiarkan dua orang tawanan itu lewat sambil mengeluarkan ancaman bahwa kelak mereka semua pasti akan dapat membalas dan menangkap kembali dua orang itu.
Karena menggiring Siangkoan Eng, tentu saja para penjaga tidak berani menggunakan alat rahasia untuk menjebak. Nona mereka terancam dan sekali menggerakkan tangan, kedua orang tawanan itu dapat membunuhnya dengan mudah. Tentu saja mereka tidak berani berkutik, bahkan membunyikan tanda bahaya pun tidak berani, apalagi nona mereka memerintahkan mereka tidak melawan dan membiarkan dua orang tawanan itu lewat.
Dengan amat mudahnya karena tidak ada penjaga yang berani menghalangi, Yo Han dan Cia Sun dapat keluar dari perkampungan Pao-beng-pai itu menggiring Siangkoan Eng.
Setelah mereka keluar dari pintu gerbang, barulah para penjaga berani berlari-lari untuk memberi laporan kepada Siangkoan Kok. Akan tetapi, ketika Siangkoan Kok terbangun dan terkejut, juga marah sekali mendengar betapa kedua orang tawanan itu lolos bahkan menggiring Siangkoan Eng yang dibuat tidak berdaya, kedua orang tawanan itu telah lari jauh.
Setelah tiba di luar pintu gerbang, agak jauh di tempat sepi, Yo Han melepaskan kedua tangannya.
“Eng-moi....” Cia Sun memegang kedua lengan gadis itu. Siangkoan Eng memandangnya dengan muka sedih, lalu berkata dengan suara lirih.
“Engkau pergilah....”
“Eng-moi, kenapa engkau tidak ikut kami saja pergi meninggalkan neraka itu?” bujuk Cia Sun.
“Neraka itu tempat tinggal ayah ibuku, Koko. Bagaimana aku dapat meninggalkan ibuku begitu saja? Tidak, kalian pergilah cepat sebelum ayah dan para anggauta Pao-beng-pai datang.”
“Eng-moi, aku bersumpah, akan kembali dan membawamu sebagai isteriku. Aku cinta padamu, Eng-moi.”
“Aku pun cinta padamu, tidak peduli engkau ini pangeran atau pengemis....” kata Siangkoan Eng terisak, akan tetapi isaknya terhenti ketika Cia Sun, tanpa sungkan dan malu di depan Yo Han, merangkul dan menciumnya.
Pada saat itu terdengar suara ribut-ribut yang datangnya dari perkampungan itu sehingga mereka berdua saling melepaskan rangkulan.
“Pergilah sebelum terlambat.” kata Siangkoan Eng.
“Benar, Cia-te, kita harus cepat pergi. Nona, maafkan kami, terpaksa aku harus menotokmu.”
“Silakan,” kata Siangkoan Eng. Yo Han cepat menotok gadis itu sehinga lemas tak mampu bergerak, bahkan dia pun menotok mulutnya sehingga gadis itu tidak dapat bersuara pula. Cia Sun menyambut tubuh yang lemas itu agar tidak terjatuh, lalu merebahkannya telentang di atas rumput. Setelah menciumnya sekali lagi, Cia Sun terpaksa melompat dan mengejar Yo Han yang sudah lari terlebih dahulu karena kini terdengar langkah kaki orang-orang berlari datang dan nampak pula mereka membawa obor.
Siangkoan Kok dan isterinya yang memimpin orang-orang mereka melakukan pengejaran, menemukan puteri mereka dalam keadaan telentang di atas rumput, tak dapat bersuara maupun bergerak. Dengan marah Siangkoan Kok memerintahkan anak buahnya mencari dan melakukan pengejaran sampai ke bawah bukit, sementara dia dan isterinya membebaskan totokan pada diri Siangkoan Eng.
Dengan muka merah dan mata berkilat menahan kemarahannya, Siangkoan Kok yang tidak mau ribut-ribut memarahi puterinya di tempat terbuka, lalu mengajak isteri dan puterinya kembali ke rumah mereka, dan memerintahkan semua anak buahnya untuk terus mencari.
Kini mereka bertiga berada di dalam rumah, di ruangan dalam di mana tidak ada pelayan yang boleh masuk. Semua pelayan diperintahkan untuk keluar dari ruangan itu, dan mereka menanti di luar dengan wajah pucat karena mereka maklum bahwa ketua mereka marah bukan main.
“Nah, sekarang katakan terus terang, apa yang telah kaulakukan!” Siangkoan Kok membentak puterinya yang telah duduk di samping ibunya.
Siangkoan Eng mengangkat muka menatap wajah ayahnya, sedikit pun tidak merasa takut walaupun ia tahu bahwa ayahnya marah sekali karena kedua orang tawanan itu dapat meloloskan diri.
“Apa yang harus kukatakan, Ayah? Tadi, untuk merasa yakin bahwa kedua orang tawanan itu tidak dapat melarikan diri, aku memeriksa tempat tawanan itu, mendadak ketika aku memeriksa kunci pintu kamar tahanan itu, Pendekar Tangan Sakti yang tadinya kukira tidur pulas, meloncat dan telah menyergapku melalui celah jeruji besi. Gerakannya tak terduga dan cepat sekali sehingga aku dapat ditotoknya.
Mereka membuka pintu dengan kunci setelah membuat aku tidak berdaya, dan mengancam para penjaga untuk membunuhku kalau mereka mencoba menghalangi larinya kedua orang tawanan itu. Nah, setelah berhasil keluar dari pintu gerbang, mereka lalu menotok dan meninggalkan aku, sampai Ayah menemukanku.”
“Kau bohong! Kau pembohong besar!!” Siangkoan Kok membentak dan matanya melotot lebar. Dalam kemarahannya, pria yang tinggi besar dan gagah ini kelihatan semakin besar dan garang menyeramkan.
Akan tetapi, Siangkoan Eng tenang-tenang saja.
“Ayah, kenapa Ayah mengatakan aku bohong? Untuk apa aku berbohong? Mengapa aku harus membohongi Ayah?”
“Mengapa? Karena engkau sudah jatuh cinta kepada pangeran Mancu itu! Karena engkau sudah tergila-gila padanya! Tak tahu malu, merendahkakn diri tergila-gila kepada seorang pangeran Mancu!”
“Hemmm, apa alasan Ayah menuduhku berbohong?”
“Apa alasannya. Bocah murtad, pengkhianat! Selama hidupku, belum pernah aku melihat engkau demikian penakut dan tolol sehingga dapat dikelabui musuh, dapat disergap dan ditundukkan dari dalam kamar tahanan, kemudian demikian penakut sehingga ketika engkau ditawan dan digiring keluar, engkau memerintahkan para anak buah kita untuk membiarkan dua orang itu pergi! Kau boleh mengelabui orang lain, akan tetapi tidak mungkin dapat membohongi aku! Aku sudah mengenal watakmu. Engkau tak mengenal takut, engkau cerdik, tak mungkin dapat ditundukkan dua orang tawanan semudah itu, kecuali kalau engkau memang sengaja hendak membantu mereka lolos!”
“Itu hanya dugaan Ayah belaka. Mana buktinya?” tantang Siangkoan Eng yang memang sejak kecil digembleng ayah ibunya tidak mengenal takut.“Bocah setan. Engkau masih menantangku untuk menunjukkan bukti? Kaukira aku belum melakukan penyelidikan dan belum membongkar rahasiamu yang busuk dan memalukan?” Siangkoan Kok membentak ke arah pintu memanggil pelayan dan ketika seorang pelayan wanita masuk dengan sikap takut-takut, dia membentak, “Panggil ke sini Sui Lan! Cepat!!”
Pelayan itu lari tunggang langgang dan diam-diam Siangkoan Eng terkejut. Apakah Sui Lan telah mengkhianatinya dan melapor kepada ayahnya? Rasanya hal itu tidak mungkin terjadi. Ia hampir yakin akan kesetiaan sumoinya itu kepadanya.
Tak lama kemudian Sui Lan masuk dan memberi hormat kepada suhunya, dengan suara biasa ia berkata seperti orang melapor,
“Maaf, Suhu. Sudah teecu (murid) dengar dari laporan anak buah bahwa pencarian itu tidak berhasil....”
Diam!” Siangkoan Kok membentak. “Jangan bicara kalau tidak kutanya, dan setiap jawaban harus kau jawab sejujurnya!”.
“Baik, Suhu.” Gadis itu pun duduk di atas bangku yang ditunjuk oleh gurunya. Berbeda dengan Siangkoan Eng yang masih nampak tenang, Tio Sui Lan kelihatan agak pucat dan matanya mengandung kegelisahan melihat kemarahan gurunya. Setelah melihat muridnya yang sesungguhnya merupakan murid yang paling disayangnya itu duduk, Siangkoan Kok lalu menghadapi puterinya lagi. Dia tetap berdiri, bagaikan gunung karang di depan puterinya yang duduk di samping ibunya. Lauw Cu Sin, wanita berusia empat puluh lima tahun yang masih cantik itu, mengerutkan alisnya dan hanya mendengarkan, pandang matanya juga gelisah.
“Nah, sekarang Sui Lan telah berada di sini. Eng Eng, apakah engkau masih tidak mau mengakui pengkhianatanmu terhadap Pao-beng-pai dan bahwa engkau telah membantu kedua orang itu membebaskan diri?”
“Ayah hanya menuduh tanpa bukti.” kembali Siangkoan Eng atau Eng Eng membantah, sikapnya tetap berani.
“Brakkkkk!!” Meja di samping kirinya dihantam tangan kiri Siangkoan Kok dan papan meja itu hancur berkeping-keping. “Engkau masih berani mengatakan aku menuduhmu tanpa bukti? Anak durhaka, dengar baik-baik. Aku telah menyelidiki dan menanyai para penjaga. Dua jam sebelum engkau muncul, si iblis cilik Sui Lan ini datang ke tempat tahanan, memasuki tempat tahanan dan mengatakan kepada para penjaga bahwa aku sengaja memerintahkan ia untuk menjaga para tawanan. Dan para penjaga melihat Sui Lan cekcok dengan para tahanan, lalu ia menyambitkan jarum ke arah para tahanan. Para penjaga melihat berkelebatnya sinar putih halus! Sui Lan, jawab. Benarkah itu?”
“Benar, Suhu. Teecu marah dan menyerang orang she Yo dengan jarum teecu dan....”
“Bohong! Ingin kau kurobek mulutmu? Mana mungkin jarum rahasiamu bersinar putih? Tentu bukan jarum yang kausambitkan, melainkan surat, gulungan kertas atau alat lain untuk mengirim pesan!”
“Suhu....”
“Diam!” Tangan Siangkoan Kok menyambar ke arah muridnya dan gadis itu terpelanting dari bangkunya dan bajunya robek lebar memperlihatkan sebagian dadanya. Sui Lan bangkit dan berlutut, sambil membetulkan letak bajunya. Untung gurunya tidak berniat membunuhnya sehingga ia tidak terluka.“Eng Eng, engkau masih hendak membantah? Engkau mengirim pesan lewat Sui Lan kepada pangeran Mancu itu. Kemudian, dua jam setelah itu, engkau sendiri yang datang berkunjung, pura-pura melakukan pemeriksaan dan sengaja engkau membiarkan dirimu dibuat tidak berdaya! Engkau bahkan membantu mereka lolos karena engkau sudah tergila-gila kepada seorang pangeran Mancu. Tak tahu malu!”
Kini tahulah Eng Eng bahwa Sui Lan tidak berkhianat. Rahasianya terbongkar semata-mata karena kecerdikan ayahnya yang memang luar biasa. Ia menghela napas panjang.
“Ayah, aku melakukan hal itu demi menjaga baik nama Ayah”
Mata itu melotot,
“Apa kau bilang? Menjaga nama baikku?” Karena heran, maka untuk sementara kemarahannya tertunda.
“Ayah adalah ketua Pao-beng-pai yang baru saja memperkenalkan diri kepada para tokoh kang-ouw, dikenal sebagai pemimpin perkumpulan patriot yang gagah perkasa. Akan tetapi, Ayah telah menawan Pendekar Tangan Sakti secara curang. Bagaimana kalau sampai terdengar dunia persilatan? Pula, aku yakin bahwa Pangeran Cia Sun bukan seorang mata-mata Mancu. Biarpun dia pangeran Mancu, akan tetapi dia bukan mata-mata, melainkan seorang pemuda yang ingin meluaskan pengetahuan dan pengalaman di dunia kang-ouw. Mana mungkin pangeran melakukan pekerjaan mata-mata yang berbabaya? Tentu keluarganya tidak akan menyetujuinya.”
“Cukup! Katakan saja engkau tergila-gila kepada pangeran Mancu itu!”
Dengan sama lantangnya Siangkoan Eng yang yakin bahwa ayahnya amat menyayangnya dan tidak mungkin ia sampai terancam malapetaka oleh tangan ayahnya, menjawab,
“Tidak kusangkal, Ayah. Memang aku mencinta Cia Sun dan dia mencintaku. Akan tetapi bukankah Ayah juga sudah menerima pinangannya, menerima pula tanda pengikat perjodohannya, dan bahkan Ayah mengajukan syarat yang sudah disanggupinya? Apakah Ayah ingin menarik kembali janji dan ucapan Ayah?”
“Jahanam kau! Kau ingin Ayah mempunyai mantu seorang pangeran Mancu?”
“Mengapa tidak, Ayah? Dia pangeran biasa, bukan calon kaisar!”
“Keparat, anak durhaka, engkau memang patut dihajar!” bentak Siangkoan Kok dan dia pun menerjang ke depan, tangannya terayun memukul ke arah kepala Eng Eng. Gadis itu terkejut, sama sekali tidak pernah menduga bahwa ayahnya akan sedemikian marahnya sehingga mau memukulnya, hal yang selama ini belum pernah dilakukan ayahnya. Yang mengejutkan hatinya adalah ketika melihat betapa tangan ayahnya itu memukul ke arah kepalanya. Pukulan maut! Kalau kepalanya terkena pukulan itu, tentu akan pecah dan ia akan tewas seketika! Otomatis, sebagai seorang ahli silat yang gerakannya otomatis, dengan cepat ia menggerakkan lengan ke atas untuk menangkis karena untuk mengelak, ia tidak berani dan hal itu tentu akan membuat ayahnya menjadi semakin marah.
“Desss....!!” Biarpun ia telah menangkis, karena ia tidak berani pula mengerahkan seluruh tenaganya, hantaman ayahnya itu tetap saja hebat bukan main. Tenaga dahsyat menerpa dan menerjang dirinya, membuat kursi yang didudukinya patah-patah dan tubuhnya terjengkang sampai berguling-guling. Sungguh hal ini tidak disangkanya sama sekali. Kepalanya terasa pening, dadanya nyeri karena hawa pukulan itu menerjang masuk lewat lengannya. Dari mulutnya keluar darah dan Eng Eng yang kemudian rebah menelungkup itu, menggerakkan tubuh telentang dan ia bertopang pada siku kanannya, kemudian tangan kirinya diangkat ke arah ayahnya, bibirnya berdarah dan matanya terbelalak.
“Ayah....?!!?” terkandung penasaran, keheranan dan kekagetan dalam suara itu.
Melihat keadaan Eng Eng, Siangkoan Kok bukan mereda kemarahannya, melainkan menjadi semakin marah karena tangkisan puterinya tadi dianggapnya sebagai perlawanan.
“Engkau memang patut dibunuh!” bentaknya lagi dan dia sudah mencabut pedangnya, menerjang ke depan dan mengayun pedangnya untuk memenggal leher Eng Eng yang masih bertopang pada sikunya.
“Singgg....! Tranggg....!!” Pedangnya tertangkis pedang lain dan dia cepat meloncat ke belakang, mukanya merah sekali ketika dia melihat bahwa yang menangkis pedangnya adalah isterinya sendiri, Lauw Cu Si! Wanita cantik itu berdiri dengan pedang di tangan, dan dengan mata mencorong ia menghadapi suaminya.
“Engkau harus melangkahi mayatku dulu kalau hendak membunuhnya!” katanya, suaranya tenang akan tetapi mengandung ancaman yang mengerikan. Kalau saja yang menantang itu orang lain, tanpa banyak cakap lagi tentu Siangkoan Kok akan membunuhnya. Akan tetapi, isterinya adalah keturunan Beng-kauw. Biarpun Beng-kauw telah hancur, namun di dunia persilatan masih terdapat banyak sekali bekas tokoh Beng-kauw yang lihai sekali. Kalau dia membunuh isterinya, apalagi tanpa sebab yang kuat, tentu dia akan berhadapan dengan banyak musuh yang amat berbahaya dan ini berarti akan melemahkan Pao-beng-pai. Melihat keraguan ayahnya, Eng Eng yang masih merasa sesak dadanya dan kini sudah bangkit duduk berkata memelas.
“Ayah, bukankah aku ini anakmu, darah-dagingmu? Seekor binatang buas sekalipun tidak akan membunuh anak sendiri....”
“Dia bukan ayahmu! Engkau bukan anaknya!” Tiba-tiba Lauw Cu Si berkata dan wajah Eng Eng seketika pucat sekali, matanya terbelalak dan hampir ia jatuh pingsan.
“Ibu.... dia....dia bukan ayahku....?” Ia berbisik-bisik berulang-ulang. Ibunya sudah berlutut dan merangkulnya.
“Tenanglah, tidak akan ada manusia di dunia ini dapat membunuhmu tanpa melangkahi mayatku!” kata ibu itu sambil merangkul puterinya dan memandang suaminya dengan sinar mata menantang.
Siangkoan Kok menjadi merah sekali mukanya.
“Baik, kalian ibu dan anak memang jahanam! Memang kau bukan anakku! Ibumu menjadi isteriku telah membawa engkau! Seorang gadis telah mempunyai anak tanpa ayah. Huh, perempuan macam apa itu! Dan sekarang, kalian hendak mengkhianati aku!” Setelah berkata demikian, Siangkoan Kok menyarungkan pedangnya lalu hendak melangkah keluar. Akan tetapi dia melihat Sui Lan yang masih berlutut dengan muka pucat dan baju robek.
“Engkau juga mengkhianatiku. Mestinya engkau kubunuh! Akan tetapi, aku tidak membunuhmu, dan mulai sekarang, engkau menggantikan perempuan laknat itu dan melayaniku sebagai isteriku!” Sekali tangannya bergerak dia telah menyambar tubuh Sui Lan dan memondongnya keluar dari kamar itu.
“Tidak, Suhu....! Jangan, Suhu....! Tidaaaaakkk....!” Gadis itu menjerit-jerit, akan tetapi Siangkoan Kok tidak peduli dan melangkah lebar menuju ke kamarnya sendiri, menutupkan daun pintu dengan keras dan tangis Sui Lan makin sayup.
“Ibu.... ahhh, Ibu.... aku harus menolong sumoi....” Eng Eng mencoba untuk bangkit berdiri, akan tetapi ia terhuyung dan jatuh ke dalam rangkulan ibunya.
“Hemmm, apa yang dapat kaulakukan, Eng Eng? Mari, kurawat lukamu, kita masuk kamarmu. Aku tidak sudi lagi memasuki kamar yang tadinya menjadi kamar kami itu. Aku pindah ke kamarmu.”
“Tapi, Ibu....! Kasihan Sui Lan Ibu, tolonglah sumoi. Setidaknya, ayah.... ah, suami Ibu masih memandang muka Ibu. Tolonglah, cegahlah agar sumoi tidak menjadi korban.”
Ibunya menggoyang kedua pundak, sikapnya acuh saja. Ia adalah seorang bekas tokoh besar Beng-kauw, perkumpulan sesat. Ia adalah seorang tokoh sesat sehingga peristiwa seperti itu tidak ada artinya baginya. Ia tidak peduli seujung rambut pun.
---lanjut ke jilid 13---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar