Kamis, 30 Januari 2014

Kisah Si Bangau Merah Jilid 30

Kisah Si Bangau Merah Jilid 30

30

Sian Li menjadi semakin gembira dan balas merangkul sambil memandang kagum. Tentu saja ia pernah mendengar cerita ayahnya tentang pendekar Wan Tek Hoat yang berjuluk Si Jari Maut itu, yang telah menikah dengan seorang puteri Kerajaan Bhutan.
“Aih, Nenek yang baik. Pantas saja engkau masih kelihatan begini cantik dan anggun. Kiranya engkau adalah seorang puteri Kerajaan Bhutan!”
Karena Sian Li memang lincah jenaka dan gembira, maka sebentar saja ia sudah akrab dengan kakek dan nenek itu, dan mereka lalu memasuki rumah untuk bertemu dengan Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng. Pertemuan itu tentu saja amat menggembirakan.
Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi pernah satu kali berkunjung ke situ sebelum Sian Li tinggal bersama Suma Ceng Liong dan isterinya, bahkan sebelum Sian Lun menjadi murid mereka.
Setelah makan bersama, dua orang tamu itu lalu menceritakan pengalaman mereka yang didengarkan dengan penuh perhatian oleh Suma Ceng Liong, Kam Bi Eng, Liem Sian Lun dan terutama sekali Tan Sian Li. Ketika Suma Ciang Bun mengatakan bahwa dia bersama Gangga Dewi akan pergi ke Bhutan, Sian Li segera berkata penuh gairah.
“Ku-kong aku ikut!”
Semua orang terkejut. Suma Ceng Liong memandang cucu keponakan itu.
“Aih, Sian Li, kaukira Bhutan itu dekat? Perjalanan ke sana berbulan-bulan!”
“Aku tidak takut perjalanan jauh, Ku-kong! Aku sudah sering mendengar dari Ayah dan Ibu tentang Bhutan yang indah, dan dari Kong-kong Kao Cin Liong aku sering mendengar ceritanya tentang dunia bagian barat. Aku ingin meluaskan pengetahuan dan pengalaman, Ku-kong. Kebetulan sekali ada Ku-kong Suma Ciang Bun dan Nenek Gangga Dewi yang akan menjadi penunjuk jalan. Aku ingin sekali, Ku-kong!”
Suma Ceng Liong diam-diam tersenyum dalam hatinya. Dia tidak merasa heran akan sikap cucu keponakan ini. Memang keluarga mereka semua berdarah pendekar, berdarah petualang. Dia sendiri pun dahulu merupakan seorang petualang, demikian pula isterinya. Ayah dan ibu Si Bangau Merah ini pun petualang-petualang besar.
“Akan tetapi, bagaimana kalau ayah ibumu datang, Sian Li? Kami tentu akan merasa tidak enak kalau mereka datang dan engkau tidak berada di sini,” kata Kam Bi Eng.
“Akan tetapi Ayah dan Ibu masih enam bulan lagi baru akan datang ke sini, seperti biasa setiap tahun baru mereka datang. Dan aku akan berusaha agar sebelum tahun baru dapat pulang ke sini. Aku ingin sekali pergi, kebetulan ada Ku-kong dan isterinya yang akan menemaniku. Tentu saja kalau mereka ini tidak keberatan aku ikut....” Ia memandang kepada Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi yang saling pandang dan tersenyum.
Gangga Dewi mendekat dan merangkulnya.
“Tentu saja aku akan senang sekali kalau engkau ikut ke Bhutan, Sian Li. Akan tetapi, tanpa perkenan Adik Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng, kami tidak akan berani.”
Suma Ciang Bun berkata,
“Kami telah membeli sebuah kereta. Kalau kami mempergunakan perjalanan dengan kereta atau berkuda, tentu akan lebih cepat dan kiranya sebelum tahun baru Sian Li akan dapat pulang ke sini.”
Suma Ceng Liong memandang kepada kakaknya. Kalau dia membolehkan Sian Li pergi, andaikata dara itu belum pulang ketika ayah ibunya datang, dia merasa tidak enak kepada mereka. Akan tetapi, kalau dia melarangnya, dia akan merasa tidak enak kepada Sian Li, juga kepada Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi. Seolah-olah dia tidak percaya kepada mereka.
“Ku-kong Suma Ceng Liong, kalau aku tidak diberi ijin, aku akan pergi sendiri, tidak bersama Ku-kong Suma Ciang Bun juga tidak apa-apa. Aku ingin merantau ke barat.” Sian Li berkata dan Suma Ceng Liong tertawa.
“Hemm, engkau memang memiliki hati membaja dan kepala membatu. Orang seperti engkau ini mana mungkin bisa dilarang? Sian Lun, engkau temani sumoimu pergi ke barat.”
“Baik, Suhu!” kata Sian Lun dengan tidak menyembunyikan suaranya yang mengandung kegembiraan besar.
“Sian Li kami membolehkan engkau pergi akan tetapi harus ditemani suhengmu agar kalau engkau pulang, ada yang menemani. Selain itu, kalau orang tuamu datang sebelum engkau pulang, kami dapat menggunakan alasan bahwa Sian Lun juga pergi menemanimu.”
Sian Li girang sekali. Ikut sertanya Sian Lun bahkan makin menggembirakan hatinya karena suhengnya itu dianggap sebagai kawan seperjalanan yang akan amat menyenangkan dan juga amat membantu. Ia bersorak, lalu menghampiri Kam Bi Eng dan merangkul nenek itu.
“Terima kasih! Aku tahu bahwa kalian tentu akan memperkenankan, karena kalian adalah orang-orang tua yang terbaik di dunia ini!”
Suma Ceng Liong dan isterinya hanya tersenyum. Suma Ciang Bun menggeleng-geleng kepalanya melihat sikap Sian Li. Mereka lalu berkemas dan tiga hari ke mudian berangkatlah mereka berempat meninggalkan dusun Hong-cun. Suma Ciang Bun menjual keretanya dan sebagai gantinya, dia membeli empat ekor kuda yang baik dan mereka berempat melakukan perjalanan menunggang kuda. Suma Ceng Liong dan isterinya yang mengantar mereka sampai ke luar dusun, diam-diam ikut girang dan terharu melihat betapa Sian Li, seperti anak kecil, kelihatan gembira bukan main, melambai-lambaikan tangan kepada mereka. Dara itu memang berbakat sekali menjadi seorang pendekar. Baru dua hari ia diajar menunggang kuda oleh Gangga Dewi dan sekarang sudah pandai dan berani membalapkan kudanya! Bahkan Sian Lun juga kalah sigap. Mereka yakin bahwa Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li, tidak akan marah andaikata mereka datang dan Sian Li belum kembali. Mereka pun merupakan pendekar-pendekar yang biasa bertualang. Apalagi kepergian Sian Li ini bersama kakeknya Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi, dan bahkan ditemani pula oleh Liem Sian Lun.
Gangga Dewi menjadi penunjuk jalan dan memimpin rombongan itu. Mereka melakukan perjalanan cepat dan hanya berhenti di tempat yang cukup indah untuk mereka nikmati.
Karena mereka berempat adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi dan bertubuh kuat, maka perjalanan itu dapat dilakukan dengan cepat. Kalau kuda mereka sudah terlalu lelah, Suma Ciang Bun menukarkan kuda mereka dengan kuda yang masih segar dengan menambah uang. Dengan cara demikian, mereka dapat melakukan perjalanan lebih cepat lagi.
***
Pada waktu itu, Kerajaan Mancu atau Dinasti Ceng yang dipimpin Kaisar Kian Liong telah berhasil mengamankan seluruh negara.. Di mana-mana terdapat pasukan keamanan yang menjaga tapal batas, dan di semua kota besar terdapat pula benteng pasukan. Pemberontakan-pemberontakan telah dapat dipadamkan, dan biarpun masih terdapat banyak golongan yang anti pemerintah Mancu, namun gerakan mereka hanya di lakukan secara sembunyi, tidak ada yang berani berterang karena pada waktu itu kekuatan pasukan Mancu amat besar. Apalagi karena Kaisar Kian Liong pandai mengambil hati dan banyak menerima orang-orang Han yang pandai, diberi kedudukan tinggi dan bahkan pasukannya diperkuat oleh orang-orang Han yang menganggap bahwa Kaisar Kian Liong, biarpun seorang Mancu, namun mementingkan rakyat jelata.
Kaisar Kian Liong sudah semakin tua, usianya sudah tujuh puluh tahun lebih, dan dia telah menjadi Kaisar selama lima puluh tahun lebih! Belum pernah ada Kaisar yang memegang tampuk kerajaan selama itu dengan berhasil baik. Hal ini adalah karena Kaisar Kian Liong bukan seorang Kaisar yang mabok kedudukan sehingga hanya menjadi pengejar kesenangan sendiri saja. Sejak muda, Kaisar ini memang terkenal sebagai seorang yang pandai bergaul, bahkan akrab dengan para pendekar, dengan rakyat jelata seringkali melakukan perjalanan secara menyamar dan menyusup di kalangan rakyat jelata sehingga namanya dikenal sebagai seorang yang bijaksana dan ramah tamah.
Bukan hanya karena kekuatan angkatan perangnya saja Kaisar Kian Liong dapat mempertahankan kedudukannya, akan tetapi terutama sekali karena nama baiknya itulah.
Pribadi seorang pemimpin memang menentukan kelancaran pemerintahannya, karena kalau pribadi itu tidak disukai rakyat, sudah pasti menimbulkan pemberontakan di mana-mana. Kaisar Kian Liong pandai mengambil hati rakyat, bahkan menundukkan hati orang-orang pribumi Han dengan sikapnya yang menerima kebudayaan, bahkan bahasa Han menjadi bahasa orang-orang Mancu yang memegang kendali pemerintahan.
Dengan para negara tetangga, biar yang kecil seperti Bhutan, Nepal dan di bagian selatan, Kaisar Kian Liong mengadakan hubungan yang baik dan menghargai kedaulatan masing-masing. Ini pun mengurangi gerakan gangguan di tapal batas dan perdagangan dengan negara lain berjalan lancar. Kalau pun terdapat pemberontakan, maka hanya terjadi kecil-kecilan dan tersembunyi, seperti yang dilakukan oleh perkumpulan Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang. Akan tetapi kini kedua perkumpulan itu bahkan bermusuhan, karena Thian-li-pang merupakan perkumpulan pejuang yang gagah dan sungguh membela rakyat, sedangkan Pek-lian-kauw adalah perkumpulan yang tidak segan melakukan kejahatan berkedok agama, bahkan dari Agama Buddha yang sudah menyeleweng daripada agama aselinya, bercampur dengan segala macam tahyul dan ilmu sihir ke arah sesat.
Karena kebesaran kerajaan atau Dinasti Ceng di bawah pimpinan Kaisar Kian Liong, bahkan negara-negara seperti Birma, Annam, Nepal, Bhutan, dan Korea merendahkan diri mengirim upeti setiap tahun kepada Kaisar Kian Liong sebagai tanda persahabatan, sebutan yang diperhalus dari keadaan sebenarnya, yaitu taluk tanpa diserang lagi. Hanya Kerajaan Nepal sajalah yang pernah menentang, akan tetapi negara itu diserbu pasukan besar dan ditundukkan, akan tetapi tidak dijajah dan hanya diharuskan mengirim upeti setiap tahun.
Karena keadaan yang aman itulah, maka perjalanan Suma Ciang Bun, Gangga Dewi, Tan Sian Li dan Liem Sian Lun berlangsung lancar tanpa ada gangguan di tengah perjalanan.
Sian Li merasa gembira bukan main dapat melihat daerah-daerah yang belum pernah dilihat sebelumnya, melihat perkampungan suku-suku bangsa yang dianggapnya aneh dan amat menarik. Perkampungan-perkampungan yang dilaluinya itu berbeda sama sekali dengan daerah timur berbeda segalanya, dari rumahnya, pakaiannya, bentuk wajah dan bahasa, bahkan makanan pun berbeda! Akan tetapi setelah Gangga Dewi memperkenalkan ia dengan orang-orang asing itu, menterjemahkan percakapannya, mengenal mereka lebih dekat, Sian Li mendapat kenyataan yang amat menyenangkan hatinya. Yaitu bahwa semua perbedaan itu hanya kulitnya saja, hanya lahiriah, hanya kebiasaan hidupnya. Pada hakekatnya, jauh di lubuk hati mereka, mereka itu tidak ada bedanya dengan ia atau seluruh bangsa di timur. Mereka suka bersahabat, suka tertawa membutuhkan kebahagiaan dan menjauhi hal-hal yang tidak enak. Biarpun masakan mereka itu aneh, namun yang berbeda pun hanya cara dan campurannya saja. Pada hakekatnya mereka pun sama dengannya, yaitu tidak menyukai pahit dan getir. Yang disuka seperti juga di timur, manis asin sedikit asam dan pedas. Mereka pun sama saja, tidak suka disakiti lahir batin, ingin disenangkan, sama seperti dirinya juga. Karena merasa bahwa pada hakekatnya sama, Sian Li cepat dapat akrab dengan mereka walaupun kadang-kadang kedua pihak tertegun heran melihat kebiasaan yang amat berbeda diantara mereka.
Dengan adanya Gangga Dewi sebagai orang yang berpengalaman, dan juga sebagai penunjuk jalan, pemberi keterangan dan bahkan penerjemah, perjalanan itu terasa amat menyenangkan bagi tiga orang yang lain, terutama sekali bagi Sian Li dan Sian Lun yang baru sekali itu selama hidup mereka lewat di tempat-tempat seperti itu.
Biarpun Sian Li amat tertarik dan senang sekali, akan tetapi Gangga Dewi tidak pernah lupa bahwa sebelum tahun baru tiba, Sian Li sudah harus kembali ke rumah Suma Ceng Liong. Oleh karena itu, ia mengajak mereka melakukan perjalanan cepat menuju ke Bhutan.
Pada suatu siang, tibalah mereka di perbatasan Bhutan seelah menyeberangi sungai besar yang amat terkenal di Tibet yaitu sungai Yarlung Sangbo atau terkenal pula dengan nama Brahmaputra. Mereka melintasi pegunungan yang paling besar, tinggi dan panjang di seluruh dunia, yaitu Pegunungan Himalaya yang menjadi tapal batas antara Bhutan dan Tibet. Di pegunungan yang amat terkenal ini. Sian Li merasa kagum bukan main. Walaupun perjalanan amat sukar, melalui gunung es yang teramat dingin, namun dara itu selalu nampak gembira dan kagum.
Siang itu, mereka menuruni lereng bukit terakhir dari Himalaya dan mulai nampak dusun-dusun yang termasuk wilayah Bhutan. Menjelang senja, mereka bertemu dengan pasukan kecil terdiri dari belasan orang. Ketika pasukan itu melihat Gangga Dewi, mereka cepat turun dari atas kuda mereka dan memberi hormat dengan setengah berlutut. Kiranya mereka adalah pasukan keamanan yang menyamar dengan pakaian biasa, melakukan perondaan di daerah perbatasan itu.
Setelah menerima penghormatan mereka Gangga Dewi bertanya.
“Apakah yang terjadi? Kenapa kalian melakukan perondaan sampai di sini dan tidak berpakaian seragam pula?”
Pemimpin pasukan melaporkan kepada Puteri Gangga Dewi bahwa akhir-akhir ini daerah perbatasan itu tidak aman karena diketahui bahwa ada penyelundup dari Nepal memasuki daerah itu. Mereka adalah mata-mata Kekuasaan Nepal, dari pihak keluarga raja yang tidak mau tunduk kepada Kerajaan Ceng di Cina. Mereka ini menghasut rakyat di perbatasan Bhutan dan Tibet, untuk bersama-sama menentang dan melakukan perlawanan terhadap orang-orang di perbatasan Propinsi Secuan untuk merongrong Kerajaan Ceng.
“Ah, kalau begitu kalian harus melaksanakan tugas dengan baik. Kita tidak ingin terseret oleh pemberontakan orang-orang Nepal itu, apalagi mereka juga menjadi musuh Kerajaan Nepal yang sah. Mereka bahkan pemberontak pula di Nepal, petualang-petualang yang ingin mendapatkan keuntungan pribadi dari pergolakan dan kekacauan,” pesan Gangga Dewi. Dua orang di antara pasukan itu lalu mendahului untuk mengirim berita ke kota raja Thimphu di Bhutan, sedangkan pasukan lainnya melanjutkan tugas mereka melakukan penyelidikan. Gangga Dewi mengajak rombongannya melanjutkan perjalanan karena hari telah sore. Mereka akan terpaksa bermalam di sebuah dusun di luar kota Tong-sa-jang karena tentu malam segera tiba, dan mereka pun sudah cukup lelah.
Memang hari telah remang-remang, petang telah menjelang ketika mereka memasuki dusun itu. Sian Li dan Sian Lun tertegun kagum ketika melihat betapa mereka disambut oleh penghuni dusun yang berduyun menunggu di luar dusun dan bahkan ada tari-tarian yang menyambut kedatangan Sang Puteri! Kiranya dua orang perajurit tadi telah memberi kabar ke dusun itu, dan kepala dusun segera mengerahkan orang-orangnya untuk menyambut.
Demi menyenangkan rakyatnya, Gangga Dewi segera turun dari atas kuda, diikuti oleh Suma Ciang Bun, Tan Sian Li dan Liem Sian Lun. Rakyat bersorak gembira ketika Gangga Dewi merangkul dan mencium anak perempuan yang bertugas menyerahkan seikat bunga kepada Sang Puteri. Sian Li memandang dengan wajah berseri dan Sian Lun mengagumi belasan orang penari yang terdiri dari gadis-gadis Bhutan yang manis, dengan tarian yang lemah gemulai, tubuh mereka meliak-liuk dengan amat lemas dan lenturnya, diiringi musik yang sederhana, suling dan siter dan tambur, namun terdengar demikian asyik dan membuat orang ingin berlenggang-lenggok karena bunyi tambur yang berirama riang itu.
Ketika mereka memasuki dusun, mereka disambut oleh kepala dusun dan semua sesepuh dan pemuka dusun itu dengan segala kehormatan. Disediakan air panas untuk para tamu agung itu mencuci badan, kamar-kamar terbaik di rumah kepala dusun dipersiapkan untuk mereka. Apalagi ketika Puteri Gangga memperkenalkan Suma Ciang Bun sebagai suaminya, para penduduk semakin gembira. Bagi mereka, puteri mereka yang sudah lama menjanda itu menikah dengan seorang pria Han, bukan merupakan halangan, bahkan merupakan kebanggaan. Bahkan dahulu, Ibu dari Gangga Dewi yang bernama Syanti Dewi, yang mereka puja-puja dan kasihi, juga menikah dengan seorang pria Han yang kemudian bahkan menjadi panglima yang amat gagah perkasa di Bhutan, yaitu Wan Tek Hoat, ayah Gangga Dewi.
Malam itu, seluruh dusun bergembira dan sebuah pesta besar diadakan di pendapa rumah kepala dusun yang cukup luas. Para sesepuh dan orang terkemuka di dusun itu hadir sebagai tamu di panggung, sedangkan di bawah panggung, di sekeliling pendapa, hampir seluruh penghuni dusun itu berjejal memenuhi tempat itu untuk nonton keramaian, pertunjukan dan untuk melihat puteri mereka, Gangga Dewi yang mereka kagumi sebagai seorang puteri yang kabarnya memiliki ilmu kepandaian seperti seorang dewi!
Serombongan penari yang cantik manis, gadis-gadis remaja, belasan orang banyaknya, menari-nari diiringi musik yang sederhana namun menggairahkan seperti musik di daerah itu, yang mempunyai pukulan gendang dan tambur seolah-olah menghidupkan semua syaraf di tubuh untuk bergerak dan menari.
Puteri Gangga Dewi, Suma Ciang Bun Tan Sian Li dan Liem Sian Lun duduk sebagai tamu kehormatan dan para penari menghadap tamu-tamu agung ini. Para gadis penari itu merasa bangga mendapat kesempatan menari di depan Sang Puteri. Biasanya, hanya penari istana saja yang menari di depan puteri! Mereka hanya penari dusun yang tentu saja tidak pandai menari sehalus dan seindah penari istana, namun gerakan mereka wajar dan polos sehingga bagaikan bunga-bunga hutan yang segar. Beberapa orang di antara mereka mengerling ke arah Sian Lun dengan kerling tajam dan senyum memikat karena memang pemuda itu nampak gagah perkasa dan tampan, apalagi dia adalah anggauta rombongan Sang Puteri! Sebaliknya, para penabuh musik, para penonton, mengagumi Sian Li yang berpakaian serba merah sehingga secara bisik-bisik para pemuda menyebut Sian Li
“Dewi Merah”!
Sian Li sendiri dengan wajah berseri memperhatikan gerak-gerik para penari. Hidangan yang disuguhkan juga aneh-aneh akan tetapi agaknya Gangga Dewi telah memesan kepada kepada dusun agar membuat lauk pauk yang sesuai dengan selera orang Han. Hal ini mudah dilakukan oleh para koki bangsa Bhutan karena memang hubungan antara Bhutan dengan Cina sudah terjalin sejak ratusan tahun yang lalu. Banyak pula keturunan orang Cina atau yang disebut Han-Bhutan seperti Gangga Dewi kini berada di Bhutan seperti juga banyak di situ keturunan Nepal, Tibet, dan India. Sebagai negara kecil yang terkepung negara-negara besar Bhutan mempunyai banyak orang-orang berdarah campuran atau peranakan. Banyak pula orang Han berdatangan ke Bhutan sebagai pedagang, sehingga para koki bangsa Bhutan selain pandai membuat masakan khas Bhutan, pandai pula membuat masakan model Nepal, India, Tibet atau Han. Minuman anggur yang disuguhkan juga manis dan lembut, tidak terlalu menyengat seperti arak, dan membuat orang mabok secara perlahan dan tidak dirasakan.
Sian Li juga mengagumi para penabuh musik. Mereka itu semua pria, dan masih muda-muda. Pakaian mereka yang khas juga amat menarik, membuat mereka nampak gagah.
Mereka lebih pantas menjadi penari atau ahli silat karena mereka semua membawa golok khas Bhutan di pinggang mereka, dan mereka menabuh musik dengan lagak penari-penari yang lincah. Apalagi penabuh tamburnya. Dia seorang pemuda yang tinggi tegap.
Dia menggulung lengan baju ke atas dan nampaklah sepasang lengan yang kokoh dan berotot. Cara dia menabuh tambur sungguh menarik dan gagah, seperti orang bermain silat saja. Kadang-kadang dia melontarkan dua buah kayu pemukul tambur ke atas dan melanjutkan memukul tambur dengan jari tangannya, lalu menyambut lagi dua batang pemukul yang meluncur turun. Semua ini dilakukan secara berirama.
Sian Li kagum. Hebat memang pemuda yang usianya kurang lebih dua puluh tahun itu.
Cara dia melempar pemukul ke atas, lalu menyambutnya kembali tanpa melihat karena matanya terus menatap tamburnya, seolah kedua tangannya bermata, sungguh mengagumkan. Dan pukulan tambur itu pun menggetar penuh kekuatan. Rasanya tidak mungkin dia itu tidak memiliki kepandaian silat dan tenaga sin-kang, pikir Sian Li.
Akan tetapi kini perhatian Sian Li terhadap Si Penabuh tambur itu teralih. Tarian gadis-gadis cantik itu sudah selesai dan kini muncullah seorang kakek berusia enam puluhan tahun. Kakek ini tinggi besar seperti raksasa dan bermuka hitam, kepalanya gundul atau botak licin dan pakaiannya serba longgar dengan jubah berwarna hitam pula!
Menyeramkan sekali kakek ini, terutama sepasang matanya yang bulat besar dengan alis yang terlalu tebal sehingga tidak wajar lagi! Kepala dusun memperkenalkan kakek ini sebagai Lulung Ma, seorang peranakan Tibet yang memiliki keahlian sulap dan bermain ular!
Biarpun tubuhnya tinggi besar seperti raksasa, namun ketika kakek bernama Lulung Ma itu memberi hormat dengan sembah kepada Gangga Dewi, dia dapat bergerak demikian lentur seperti seekor ular besar! Gangga Dewi mengangguk dan tersenyum, lalu berkata,
“Mulailah dengan pertunjukanmu dan lakukan sebaik mungkin.”
Para penari dan bahkan para penabuh musik semua mengundurkan diri kecuali pemuda pemukul tambur tadi! Kiranya hanya pemuda itu seorang yang akan membantu Lulung Ma menunjukkan keahliannya. Pemuda itu tetap menahadapi sebuah tambur dan sebuah gendang, dan dengan kedua tangannya, dia mengangkat dua alat musik itu dan mendekati Lulung Ma, lalu duduk bersila di tengah ruangan pertunjukan.
Lulung Ma sudah siap. Ketika dia bangkit berdiri, tubuhnya nampak tinggi besar menyeramkan, bahkan pemuda yang tinggi tegap itu pun hanya setinggi dagunya!
Padahal, pemuda tampan itu sudah termasuk tinggi untuk ukuran biasa. Kini, pemuda itu memperlihatkan kemahirannya memainkan tambur. Suara tambur berdentam-dentam dan berirama, kemudian diimbangi suara suling yang bentuknya aneh, ada kepalanya yang sebesar kepalan tangan. Suling seperti itu disebut suling ular yang biasa dipergunakan oleh ahli-ahli ular di India untuk menjinakkan ular yang liar dan berbisa.
Akan tetapi, kakek muka hitam itu tidak bermain ular seperti diduga orang, dia hanya mengimbangi pukulan tambur itu dengan suara sulingnya yang melengking-lengking, memainkan sebuah lagu rakyat Bhutan yang membuat Gangga Dewi dan orang-orang Bhutan di situ mengangguk-angguk mengikuti iramanya. Bagi Sian Li, lagu itu lembut akan tetapi terasa aneh bagi pendengarannya.
Suara suling berhenti dan kini pemuda itu memainkan gendangnya, tidak dipukul keras-keras, melainkan lirih dan sebagai pengantar saja agaknya, walaupun dari suara gendang dapat diketahui bahwa pemuda itu memang ahli menabuh gendang. Suara gendang itu bisa terdengar seperti halilintar, bisa seperti riak air atau rintik hujan. Kini, kakek muka hitam itu mulai bermain sulap. Dia bicara dalam bahasa Bhutan yang tidak dimengerti oleh Sian Lun dan Sian Li. Akan tetapi Suma Ciang Bun yang sejak menjadi suami Gangga Dewi telah mempelajari bahasa daerah isterinya itu, menterjemahkan kepada mereka.
“Dia berkata bahwa dia akan membagi-bagi bunga kepada para tamu dari kedua tangannya yang kosong.”
Sian Li memandang dengan wajah berseri. Selama hidupnya, baru dua kali ia menonton tukang sulap, yaitu ketika ia masih kecil. Melihat tukang sulap mampu mengambil benda-benda dari udara, ia dahulu merasa amat kagum. Akan tetapi ayah bundanya mengatakan bahwa tukang sulap itu mempergunakan alat yang sudah dipersiapkan terlebih dahulu, dibantu pula oleh kecepatan kedua tangannya yang sudah terlatih baik. Sebenarnya tidak ada yang aneh dalam sulapan.
“Jangan-jangan dia hanya menipu kita dengan alat-alat yang sudah dia persiapkan lebih dulu!” katanya, suaranya cukup kersa karena dianggapnya bahwa yang mengerti bahasanya tentu hanya mereka berempat. Akan tetapi wajahnya berubah kemerahan ketika tukang sulap itu menengok kepadanya dan berkata dengan suaranya yang bersih dan dalam, khas suara raksasa!
“Jangan khawatir, Dewi Merah, aku tidak mempergunakan alat apa pun kecuali kedua tanganku yang kosong ini! Maafkan, Nona cantik seperti dewi, dan suka berpakaian merah, maka aku menyebut Nona Dewi Merah!” Kiranya raksasa muka hitam itu pandai bahasa Han, dengan lancar pula! Dan lebih membuat Sian Li terheran lagi, banyak di antara para tamu dan mereka yang menonton di sekeliling ruangan itu, pendapa yang terbuka menyambut ucapan rakasasa muka hitam itu dengan tawa riuh seolah mereka itu mengerti apa yang diucapkan dalam bahasa Han. Sian Li tidak tahu bahwa demikian baiknya hubungan orang-orang di situ dengan bangsa Han sehingga bahasa Han bukan merupakan bahasa yang asing bagi kebanyakan dari mereka. Apalagi di antara mereka banyak pula terdapat keturunan Han. Segera terdengar seruan-seruan dari para pemuda yang tadi kagum kepada Sian Li.
“Dewi Merah....! Dewi Merah....!”
Gangga Dewi ikut pula bergembira dan ia mengangkat kedua tangan ke atas untuk menghentikan keributan itu. Setelah reda, ia pun memperkenalkan cucu keponakan suaminya itu,
“Ini adalah cucu keponakan kami, julukannya bukan Dewi Merah, melainkan Si Bangau Merah”
Banyak orang bersorak dan bertepuk tangan, dan di sana sini terdengar seruan
“Dewi Bangau Merah! Dewi Bangau Merah!”
Suma Ciang Bun terseret dalam kegembiraan itu dan dia pun mengumumkan
“Sebutan itu memang tepat sekali. Namanya memang Dewi (Sian-li)!” Kembali orang bersorak.
Ketika Gangga Dewi melirik dan melihat betapa Sian Lun tidak ikut bertepuk tangan, bahkan wajah pemuda itu nampak muram, ia pun menahan senyumnya. Ia segera mengenal pemuda ini sebagai pemuda yang jatuh cinta kepada sumoinya, akan tetapi juga amat pencemburu sehingga kalau ada orang lain, terutama pria, yang memuji Sian Li, dia akan merasa tidak senang dan cemburu!
Gangga Dewi kembali memberi tanda dengan mengangkat kedua tangan ke atas dan suara bising itu pun terhenti.
“Lulung Ma, harap kau suka memulai dengan janjimu akan memberi hadiah bunga-bunga kepada kami semua!”
Lulung Ma, Si Raksasa Muka Hitam itu, menjura dan dia membuat gerakan-gerakan seperti biasa diperlihatkan tukang sulap, lalu kedua tangan seperti memetik sesuatu dari udara dan.... tiba-tiba saja di kedua tangannya telah memegang masing-masing setangkai bunga yang segar berikut beberapa batang daunnya, seolah-olah baru saja dia memetiknya dari udara! Akan tetapi, ketika semua penonton bersorak memuji, Sian Li, Sian Lun, Suma Ciang Bun dan juga Gangga Dewi, hanya tersenyum. Mereka berempat adalah ahli-ahli silat yang memiliki penglihatan tajam, berbeda dengan orang biasa, dan mereka tadi melihat gerak cepat dari tukang sulap itu yang mengeluarkan dua tangkai bunga itu dari dalam lengan baju hitamnya yang longgar. Memang benar, Lulung Ma tidak mempergunakan alat yang sudah dipersiapkan seperti ucapannya tadi, melainkan menggunakan kedua tangannya yang dapat bergerak cepat bukan main sehingga tidak nampak oleh mata biasa. Jari-jari tangan yang panjang itu ditekuk ke dalam dan menjepit dua tangkai bunga dari dalam lubang lengan bajunya.
Sambil menjura ke kanan kiri menyambut tepuk tangan itu, Lulung Ma melangkah ke panggung kehormatan dan menyerahkan dua tangkai bunga itu kepada Gangga Dewi dan Sian Li sambil berkata lantang.
“Bunga-bunga yang paling indah dan paling segar untuk Yang Mulia Puteri Gangga Dewi dan Dewi Bangau Merah!” Dua orang wanita itu tersenyum dan menerima bunga itu disambut tepuk tangan para penonton.
Sian Lun yang duduk dekat Sian Li, menjadi merah mukanya melihat betapa raksasa hitam itu menyerahkan bunga kepada Sian Li sambil matanya yang lebar memandang tajam dan menyapu seluruh tubuh dara itu. Teringat dia betapa tadi Si Hitam ini juga memuji Sian Li cantik seperti dewi. Maka dengan hati panas dia menggunakan kesempatan itu untuk berkata sambil memandang kepada raksasa hitam itu.
“Engkau hanya mengambil bunga-bunga itu dari dalam lengan baju. Apa anehnya itu?”
Sepasang mata yang bulat dan besar itu kini memandang kepada Sian Lun dengan sinar mata tajam mencorong, membuat Sian Lun agak terkejut akan tetapi tidak melenyapkan rasa tak senangnya.
Lulung Ma lalu bangkit berdiri, memandang kepada seluruh penonton baik yang di atas panggung maupun yang di bawah.
“Saudara sekalian, pemuda ini menuduh aku mengambil bunga-bunga itu dari lengan baju. Apakah kalian melihat aku mengambil sesuatu dari lengan baju?
Serentak terdengar jawaban,
“Tidak....! Tidak....!”
Lulung Ma lalu tersenyum dan memandang lagi kepada Sian Lun.
”Kongcu (Tuan Muda), apakah engkau mampu menyulap bunga seperti yang kulakukan tadi?”
Sian Lun diam saja. Andaikata di lengan bajunya ditaruhkan bunga lebih dahulu sekalipun, dia tentu tidak akan mampu mengambil secara cepat sehingga tidak terlihat orang. Untuk pekerjaan itu dibutuhkan latihan yang lama sampai menjadi ahli benar. Dia menggeleng kepala.
“Suheng, jangan mencari keributan!” Sian Li tak senang mendengar celaan Sian Lun itu.
Gangga Dewi yang maklum apa yang terjadi di hati pemuda itu, tersenyum dan berkata,
“Memang dia tukang sulap, Sian Lun! Sudahlah, Lulung Ma, harap lanjutkan pertunjukanmu yang menarik ini!”
Lulung Ma menjura ke arah Gangga Dewi, lalu mundur kembali ke tengah ruangan mendekati tukang gendang yang masih asyik memukul gendangnya dengan irama lambat dan lirih. Akan tetapi Sian Li tadi sempat melihat betapa pemuda jangkung yang tampan itu memandang ke arah Sian Lun dengan sinar mata mencorong seperti orang marah.
Lulung Ma kini menggerak-gerakkan kedua tangannya, memetik dari udara, menjambak rambut sendiri, mengambil dari lubang telinga dan lain gerakan, akan tetapi setiap kali tangannya bergerak, nampak setangkai bunga di tangan itu. Akan tetapi sekali ini bukan dua batang bunga segar seperti tadi melainkan berpuluh-puluh bunga kertas yang dia bagi-bagikan dan lampar-lemparkan kepada para tamu dan penonton yang menyambut permainan sulapnya ini dengan tepuk tangan meriah dan seruan-seruan keheranan.
Sian Li melihat betapa raksasa hitam itu sesungguhnya mempergunakan kecepatan kedua tangannya untuk mengambil bunga-bunga kertas yang disembunyikan di dalam lengan baju dan saku jubah hitamnya. Namun gerakannya memang amat cepat sehingga tidak nampak oleh mata orang biasa yang tidak terlatih.
Setelah membagikan semua bunga kertas yang disulapnya secara amat mengesankan itu, Lulung Ma lalu memberi hormat ke arah Gangga Dewi dan dia berkata,
“Sekarang hamba hendak mencoba untuk mengubah kepala hamba menjadi kepala naga, harap Paduka memaafkan hamba.” Mendengar ini, Gangga Dewi mengangguk. Diam-diam puteri ini kagum juga kepada raksasa hitam yang ternyata pandai itu, dan mendengar orang itu hendak mengubah kepalanya menjadi kepala naga, ia pun dapat menduga bahwa Lulung Ma tentu seorang ahli ilmu sihir. Dan melihat sikap Lulung Ma yang sebelumnya minta maaf kepadanya, hal itu menunjukkan bahwa raksasa hitam itu tentu sudah tahu akan kepandaiannya maka sebelumnya minta maaf. Kini Lulung Ma menghadapi para tamu dan penonton.
“Saudara sekalian harap suka tenang, sekarang aku ingin mengubah kepalaku menjadi kepala naga!”
Lalu dalam bahasa Han dia berkata sambil memandang ke arah Sian Li dan Sian Lun,
“Dewi Bangau Merah, saya akan mengubah kepala saya ini menjadi kepala naga!” Dan dia memberi isyarat kepada pemuda penabuh gendang yang segera mengganti gendangnya dengan tambur dan terdengarlah derap bunyi tambur yang meledak-ledak dan bergemuruh seperti ada badai dan halilintar mengamuk!
Lulung Ma menggerakkan kaki tangannya mengikuti suara tambur, dan makin lama tubuhnya bergetar makin kuat, lalu dia mengeluarkan suara teriakan melengking,
“Saudara lihat baik-baik, kepalaku adalah kepala naga, hitam!” Kembali dia mengeluarkan suara melengking nyaring tinggi yang semakin merendah menjadi gerengan yang menggetarkan seluruh ruangan itu, diikuti suara tambur yang menggelegar.
Semua orang terbelalak, ada yang mengeluarkan teriakan, bahkan banyak wanita menjerit dan Sian Li merasa betapa lengannya dipegang Sian Lun dengan kuat. Ia menoleh dan melihat betapa Sian Lun terbelalak memandang ke arah Lulung Ma. Sian Li tersenyum dan mengerti. Suhengnya itu memang telah memiliki ilmu silat tinggi dan sin-kang yang kuat, akan tetapi tidak pernah mempelajari ilmu yang dapat menolak pengaruh sihir seperti Ia. Ia sejak kecil telah dilatih untuk membangkitkan tenaga sakti dari ilmu silat Pek-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Putih) dan perlahan-lahan sekali, kekuatan itu tumbuh dalam dirinya dan ia pun seperti memiliki kekebalan terhadap sihir. Tadi ia sudah menduga bahwa kakek raksasa hitam itu tentu mempergunakan hoat-sut (sihir), maka ia pun sudah mengerahkan tenaga sakti Pek-ho Sin-kun sehingga ia pun tidak terpengaruh dan melihat bahwa kepala Lulung Ma itu tetap kepala yang tadi, tidak berubah menjadi kepala naga. Dan memang Sian Lun menjadi terkejut dan tegang ketika seperti para penonton lain dia melihat bahwa kepala raksasa hitam itu benar-benar berubah menjadi kepala naga hitam yang amat menyeramkan. Tentu saja bentuk kepala naga itu tidak sama di antara para penonton, tergantung dari khayal mereka masing-masing. Ketika Sian Li mengerling ke arah Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi, ia melihat dua orang tua ini memandang ke arah Lulung Ma sambil tersenyum tenang, tanda bahwa mereka pun tidak terpengaruh. Hal ini tidaklah mengherankan. Suma Ciang Bun adalah keturunan langsung dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es yang merupakan seorang sakti dan ahli sihir pula, maka Suma Ciang Bun yang sudah menguasai tenaga sakti Im dan Yang dari keluarga sakti itu, tidak terpengaruh. Demikian pula Gangga Dewi. Ia mewarisi ilmu dari mendiang ayahnya, yaitu Si Jari Maut Wan Tek Hoat, maka begitu melihat kepala itu berubah menjadi kepala naga, dengan cepat wanita ini mengerahkan sin-kangnya dan buyarlah pengaruh sihir itu dari pikirannya.
“Suheng,” bisik Sian Li kepada suhengnya yang masih memegang lengannya dalam keadaan tegang itu. “Tenanglah dan kerahkan sin-kangmu untuk memecahkan pengaruh yang mencengkeram pendengaran dan penglihatanmu. Semua itu hanya ilmu sihir.”
Mendengar bisikan ini, Sian Lun melepaskan pegangannya dan dia nampak memejamkan kedua mata, menahan napas lalu mengatur pernapasan dan setelah dia membuka matanya lagi, dia melihat bahwa kepala Lulung Ma kembali seperti biasa.
“Hemm, kiranya ilmu setan untuk menakut-nakuti anak kecil!” Sian Lun berkata untuk melampiaskan kedongkolan hatinya bahwa tadi dia pun sampai terpengaruh dan sempat terkejut dan gentar.
Lulung Ma memiliki pendengaran yang amat tajam dan dia dapat menangkap ucapan Sian Lun itu. Dia mengeluarkan suara meraung dan bersamaan dengan bunyi tambur yang semakin menurun, orang-orang melihat asap mengepul menutupi kepala naga itu dan ketika asap lenyap, kepala itu sudah kembali menjadi kepala Lulung Ma. Para penonton bertepuk tangan dan bersorak menyambut sulapan itu penuh kekaguman.
Kembali Sian Li melihat betapa pemuda penabuh tambur itu mengirim pandang mata penuh kemarahan kepada Sian Lun sehingga hatinya merasa tidak enak.
“Suheng, kuminta engkau jangan mengeluarkan ucapan yang bukan-bukan. Ingat, kita ini tamu, dan mereka itu hanya menyuguhkan pertunjukan untuk menghibur. Sekali lagi engkau bersikap seperti itu, aku akan marah padamu,” bisiknya. Sian Lun memandang kepadanya dan mengangguk. Dia pun merasa betapa kepanasan hatinya tidak beralasan sama sekali dan dia merasa malu sendiri.
selanjutnya--->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar