Kamis, 30 Januari 2014

Kisah Si Bangau Merah Jilid 9

Kisah Si Bangau Merah Jilid 9

9

Sebagai seorang wanita yang pandai menunggang kuda dan mempergunakan anak panah, Siang Hong-houw seringkali diajak oleh Kaisar Kian Liong kalau Kaisar ini pergi berburu ke Yehol, yaitu suatu daerah di Mongolia Dalam. Demikianlah, sejak saat itu, boleh dibilang Kaisar Kian Liong menghentikan semua kesukaannya mengumpulkan wanita-wanita cantik yang baru. Di dalam diri Siang Hong-houw dia menemukan segala-galanya yang dibutuhkan untuk memuaskan nafsu berahinya.
Ketika dia berusia enam puluh tiga tahun, Siang Hong-houw tidak muda lagi, sudah sekitar empat puluh tahun usianya. Akan tetapi wanita ini masih cantik menarik penuh pesona, dan keringatnya masih juga berbau harum. Dan ternyata, keharuman keringat siang Hong-houw memang dari dalam, walaupun bukan tanpa usaha. Sejak kecil, wanita ini minum ramuan akar wangi dan sari bunga-bunga harum seperti mawar, bahkan kalau mandi selalu menggunakan air yang diharumkan dengan cendana dan bermacam sari kembang yang harum. Bahkan makannya juga tersendiri, tidak mau makan makanan yang dapat mendatangkan bau tidak enak, melainkan sayur-sayuran dan buah-buahan yang mendatangkan bau sedap!
Daya tahan tubuh manusia itu amat terbatas dan mempunyai ukuran tertentu. Kaisar Kian Liong sejak mudanya menghamburkan tenaganya untuk memuaskan nafsu berahinya, bahkan kadung-kadang dia mempergunakan ramuan obat-obatan untuk memperkuat tubuhnya. Hal ini baru terasa akibat buruknya setelah dia berusia enam puluh tahun lebih.
Kini dia merasa betapa tubuhnya lemah, bahkan hampir kehilangan gairahnya. Makin jarang saja dia menyuruh Siang Hong-houw menemaninya, bahkan lebih sering dia menjauhkan diri dari wanita, menyendiri di dalam kamarnya, lebih suka membaca kitab daripada bermesraan dengan permaisuri yang dicintanya itu.
Kerenggangan yang menjadi akibat dari kemunduran keadaan kesehatan Kaisar itu memberi banyak waktu luang kepada Permaisuri Harum dan menumbuhkan kembali kerinduannya kepada suku bangsanya sendiri. Biarpun Sribaginda Kaisar tidak melarang ia menunaikan ibadahnya sebagai seorang beragama Islam, namun permaisuri ini merasa kesepian dan ia merindukan lingkungan yang lain, lingkungan yang terasa lebih akrab karena persamaan kepercayaan.
Karena kerenggangannya dari Kaisar yang kini lebih banyak mengurus negara dan membaca kitab, Siang Hong-houw makin akrab dengan seorang thai-kam vang bernama Mo Si Lim. Laki-laki yang dikebiri ini sebetulnya masih terhitung sanak dengan sang permaisuri. Dia seorang peranakan Uighur yang beragama Islam pula. Bahkan namanya merupakan perubahan dari nama kecilnya, yaitu Muslim yang diberikan ayahnva, untuk menandakan bahwa dia seorang muslim, seorang yang beragama Islam. Bahkan Siang Hong-houw pula yang mengusulkan kepada Kaisar agar mempunyai seorang pelayan berbangsa Uighur, maka belasan tahun yang lalu, pemuda Mo Si Lim dijadikan thai-kam.
Dengan adanya Mo Si Lim, maka Siang Hong-houw dapat terhibur akan kerinduannya kepada bangsanya. Mo Si Lim melayaninya dan mereka dapat bercakap dalam bahasa mereka, membicarakan tentang keadaan di Sin-kiang. Akan tetapi, beberapa tahun akhir-akhir ini, secara diam-diam Mo Si Lim mengadakan hubungan dengan orang-orang dari perkumpulan rahasia yang mempunyai cita-cita mengusir penjajah Mancu dari Cina.
Tentu saja mudah bagi orang Uighur ini untuk tertarik dengan cita-cita perjuangan itu, mengingat betapa bangsanya juga tertekan oleh penjajah Mancu, dan banyak kawannya telah tewas ketika daerah barat diserbu oleh pasukan Mancu. Mo Si Lim adalah anak buah mendiang suami Puteri Harum. Kesetiaannya jugalah yang membuat dia rela dijadikan thai-kam, agar dia dapat mendekati dan melayani Puteri Harum.
Sore hari itu Siang Hong-houw duduk seorang diri di ruangan duduk dengan santai. Baru saja ia melakukan sholat atau sembahyang maghrib di dalam ruangan sembahyang yang khas dibuat untuknya. Ketika dayang kepercayaannya memasuki ruangan itu, ia memerintahkan dayangnya untuk memanggil Mo Si Lim.
"Suruh dia masuk menghadapku, kemudian engkau berjaga di luar pintu dan melarang siapa saja masuk ruangan ini tanpa kupanggil."
Dayang itu, seorang peranakan Uighur pula, menyembah lalu keluar dari ruangan itu, memanggil Mo Si Lim, thai-kam (laki-laki kebiri) yang bertugas jaga di bagian depan istana puteri itu. Setelah dayang itu pergi, Siang Hong-houw duduk di atas kursi panjang yang nyaman. Ia masih amat cantik walaupun usianya sudah empat puluh tahun lebih.
Wajah yang putih kemerahan itu masih halus tanpa dibayangi keriput. Hanya beberapa garis lembut di tepi mata dan antara alisnya sajalah yang menjadi bukti bahwa ia bukan gadis muda lagi, melainkan seorang wanita yang sudah matang. Tubuhnya masih padat dengan lekuk lengkung yang sempurna, tidak dirusak oleh kelahiran anak. Dan dari jarak dua meter orang akan dapat mencium keharuman semerbak yang keluar dari tubuhnya. Ia seorang wanita yang tidak menghambakan diri kepada nafsu berahi. Ketika ia dipisahkan dengan paksa dari suaminya, maka bersama kematian suaminya, mati pula gairah berahinya. Kalau ia melayani Kaisar Kian Liong, hal itu hanya dilakukan karena rasa kasihan kepada Kaisar besar yang amat menyayangnya. Sekarang setelah suaminya itu, Kaisar Kian Liong, jarang menggaulinya, Siang Hong-houw merasa lebih enak dan senang.
Ketukan pada pintu ruangan duduk yang luas itu membuyarkan lamunannya. Ketukan tiga kali, pelan keras pelan. Itu adalah ketukan Mo Si Lim.
"Masuklah, Muslim!" kata puteri itu dalam bahasa Uighur. Thaikam itu membuka daun pintu lalu masuk, menutupkan kembali daun pintu lalu menjatuhkan diri berlutut menghadap sang permaisuri.
"Bangkit dan duduklah. Aku ingin mendengar laporanmu tentang keadaan di luar istana, terutama mengenai Thianli-pang. Bukankah engkau sudah menyelidiki Thian-li-pang seperti yang kuperintahkan?"
Mo Si Lim menyembah, bangkit lalu duduk di atas sebuah bangku pendek, sedangkan Siang Hong-houw kini duduk di atas kursi gading yang ukirannya amat indah. Mereka berhadapan dalam jarak dua meter, terhalang meja kecil dan orang kebiri itu dapat menikmati keharuman semerbak dari depannya.
"Kebetulan sekali, hamba memang sedang menanti perintah dan panggilan Paduka, Puteri.Untuk langsung menghadap, tidak berani khawatir menimbulkan kecurigaan. Hamba membawa sepucuk surat permohonan dari Ketua Thianli-pang sendiri untuk dihaturkan kepada Paduka."
"Surat Ketua Thian-li-pang? Cepat berikan kepadaku, Muslim!" kata Siang Hong-houw dan sikapnya berubah, cekatan sekali dan penuh gairah kegembiraan.
Mo Si Lim mengeluarkan sesampul surat dari saku dalam bajunya dan setelah menyembah, dia menyerahkan sampul surat itu kepada sang puteri. Siang Hong-houw cepat merobek sempulnya dan mengeluarkan sehelai kertas yang memuat huruf-huruf yang indah coretannya. Lalu ia membacanya. Beberapa kali sepasang alis itu berkerut ketika ia membacanya.
"Muslim, apakah engkau sudah mengetahui akan isi surat ini?" tanya Sang Puteri setelah dua kali membaca isi surat.
Muslim atau Mo Si Lim menyembah.
"Hamba tidak tahu, Puteri. Hanya utusan ketua itu mengatakan bahwa Thian-lipang mengajukan permohonan kepada Paduka melalui surat yang harus hamba sampaikan ini."
"Muslim, permintaan mereka yang pertama wajar, akan tetapi yang ke dua sungguh berat untuk dapat kusetujui. Cepat kaunyalakan api di tungku perapian itu, surat ini harus dibakar dulu baru kita bicara." Mo Si Lim melaksanakan perintah itu tanpa bicara dan setelah api bernyala, Siang Hong-houw sendiri yang melemparkan surat dan sampulnya ke dalam api yang segera membakarnya habis menjadi abu dan tidak ada bekasnya lagi.
Mereka lalu duduk lagi berhadapan seperti tadi.

"Ketahuilah, Muslim. Pertama Ketua Thian-li-pang memohon kepadaku agar aku suka memberi sumbangan untuk membantu pembiayaan Thian-li-pang. Ke dua, dan ini yang tidak dapat kusetujui, mereka mohon perkenan dan persetujuanku agar aku suka membantu mereka dalam usaha mereka membunuh Sribaginda Kaisar."
Tidak nampak perubahan apapun pada wajah thai-kam itu. Dia merupakan seorang mata-mata yang pandai bersandiwara. Bahkan suaranya datar saja tanpa dipengaruhi perasaan ketika dia bertanya, "Yang mulia, mengapa mereka hendak melakukan pembunuhan? Apakah mereka menjelaskan alasannya?"
"Mereka bukan saja berniat untuk membunuh Sribaginda, akan tetapi juga Pangeran Cia Cing dan Pangeran Tao Kuang. Alasan mereka, kalau tidak dibunuh sekarang, tentu beberapa tahun lagi Sribaginda mengundurkan diri dan akan menyerahkan tahta kerajaan kepada seorang di antara kedua pangeran itu. Dan seperti kau ketahui, kedua pangeran itu adalah orang-orang Mancu aseli karena ibu mereka pun wanita Mancu. Kalau mereka bertiga itu tidak ada lagi, tentu tahta kerajaan akan terjatuh ke tangan Pangeran Kian Ban Kok yang ibunya orang Kin. Dengan demikian, maka ada darah Han yang menjadi Kaisar, dan mereka akan mendukung pangeran itu."
Mo Si Lim mengangguk-angguk.
"Sekarang, jawaban apa yang akan Paduka berikan dan yang harus saya sampaikan kepada mereka?"
Puteri Harum bangkit dari tempat duduknya, menghampiri sebuah almari dan mengeluarkan sebuah kotak hitam, lalu duduk kembali. Ia menaruh kotak kecil hitam itu di atas meja di depannya lalu membukanya. Isinya perhiasan dan gemerlapan.
"Ini perhiasan berharga yang tak pernah kupakai, bawaanku sendiri dahulu dari Sin-kiang. Berikan kepada Thian-li-pang sebagai sumbangan dariku yang mendukung perjuangan mereka menentang pemerintah penjajah. Mengenai permintaan mereka yang ke dua, sekarang aku belum dapat menyetujuinya. Bagaimanapun juga, aku adalah isteri Sribaginda dan merupakan dosa besar bagiku kalau aku bersekutu dengan siapa pun untuk membunuh suami sendiri. Allah akan mengutukku. Kalau mereka berkeras hendak melakukannya juga, aku tidak ikut campur. Nah, sampaikan semua itu kepada mereka, dan kalau tidak teramat penting, aku tidak mau lagi diganggu mereka walaupun aku mendukung perjuangan mereka."
Mo Si Lim menyembah, lalu mengambil peti hitam kecil itu, memasukkannya ke dalam saku jubahnya bagian dalam, menyembah lagi dan mengundurkan diri, keluar dari kamar atau ruangan duduk itu. Siang Hong-Houw yang ditinggalkan seorang diri bertepuk tangan memanggil dayangnya dan ia pun memasuki kamarnya untuk membuat persiapan karena tadi sudah ada isyarat dari Sribaginda Kaisar bahwa malam ini Sribaginda akan tidur di kamar permaisurinya tersayang.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Mo Si Lim sudah meninggalkan istana tanpa ada yang menaruh curiga. Padahal, di balik jubahnya, thai-kam ini membawa sebuah peti kecil yang isinya amat berharga. Dia berjalan dengan hati-hati dan berkeliling kota.
Setelah merasa yakin bahwa dirinya tidak dibayangi orang lain, dia lalu menyelinap masuk ke dalam pekarangan sebuah rumah besar dan kuno yang berdiri di sudut kota raja. Rumah ini dahulu, sebelum bangsa Mancu datang menjajah, adalah sebuah istana milik seorang pangeran. Kini rumah itu terjatuh ke tangan penduduk biasa yang cukup kaya dan dijadikan sebagai tempat peristirahatan. Namun, karena rumah itu besar dan kuno juga tidak begitu terawat maka kelihatan menyeramkan. Apalagi keluarga yang memiliki rumah besar itu jarang menempatinya, maka rumah itu nampak angker dan didesas-desuskan sebagai rumah yang ada hantunya.
Agaknya Mo Si Lim tidak asing dengan rumah ini. Dia tidak menuju ke pintu depan, melainkan mengambil jalan samping dan memasuki pintu samping yang kecil dan menembus kebun di samping rumah. Dia lenyap bagaikan ditelan raksasa ketika memasuki rumah itu melalui pintu samping. Rumah itu nampak kosong, akan tetapi ketika Mo Si Lim tiba di ruangan belakang, tiba-tiba muncul sesosok bayangan dan seorang laki-laki tinggi besar berdiri di depannya. Mo Si Lim berhenti melangkah dan memandang kepada laki-laki yang usianya kurang lebih empat puluh tahun itu. Dia tidak mengenal orang itu, maka dengan hati-hati dia berkata kepada orang itu,
"Selamat pagi, Sobat.... saya ingin bertemu dengan Saudara Ciang Sun. Apakah dia berada di sini?"
Akan tetapi tidak terdengar jawaban, bahkan tujuh orang laki-laki lain bermunculan dan delapan orang itu mengepung Mo Si Lim. Mereka itu berusia antara dua puluh sampai empat puluh tahun, rata-rata nampak gagah dan kuat.
"Siapa engkau?" Si Tinggi Besar membentak.
Mo Si Lim adalah seorang yang cerdik. Dia belum tahu siapa adanya delapan orang ini.
Pembawa surat Ketua Thian-li-pang adalah Ciang Sun, dan Ciang Sun menjanjikan akan menantinya di rumah gedung itu seperti biasanya. Akan tetapi pagi hari ini, saat yang amat penting karena dia membawa sumbangan dan pesan Siang Hong-houw, Ciang Sun tidak muncul, dan sebaliknya muncul delapan orang yang tak dikenalnya ini dengan sikap mengancam. Dia pun segera bersikap angkuh dan hendak mengandalkan kedudukannya untuk menggertak mereka dan meayelamatkan diri.
"Aku adalah kepala thaikam di istana Permaisuri, namaku Mo Si Lim dan harap kalian cepat memanggil Ciang Sun agar menghadap di sini."
"Hemm, engkau tentu seorang mata-mata yang hendak berhubungan dengan Thian-li-pang! Hayo mengaku saja!" bentak Si Tinggi Besar. Namun, Mo Si Lim tidak kalah gertak.
"Siapakah kalian? Jangan menuduh sembarangan. Aku seorang petugas di istana dan aku tidak mengenal apa itu Thian-li-pang. Aku hendak bertemu Ciang Sun untuk urusan jual beli perhiasan. Kalau kalian tidak tahu di mana Ciang Sun berada, harap mundur dan jangan menghalangi aku. Ataukah aku harus mengerahkan pasukan keamanan untuk menangkap kalian?"
Pada saat itu, muncul seorang laki-laki yang tinggi kurus dan orang itu berseru,
"Saudara Mo Si Lim, selamat datang! Maafkan kawan-kawanku. Mereka hendak mengujimu, apakah engkau dapat menyimpan rahasia kami!"
Mo Si Lim mengerutkan alisnya dan memandang Si Tinggi Kurus.
"Ah, Saudara Ciang Sun, apakah sampai sekarang engkau masih belum percaya kepadaku? Kalau tidak ada saling kepercayaan, lebih baik tidak ada hubungan saja! Bukankah aku hanya akan membantu Thian-li-pang?”
"Sekali lagi maafkan, Sobat. Nah, duduklah dan bagaimana hasil dan jawaban surat dari pang-cu (ketua) kami?" tanya Ciang Sun, Si Tinggi Kurus yang menjadi orang kepercayaan Thian-li-pang untuk melakukan operasi penting itu, yaitu mencari dana untuk perkumpulan orang-orang gagah yang hendak menentang pemerintah penjajah itu, dan mengatur rencana untuk mencoba melakukan pembunuhan terhadap Kaisar Kian Liong. Dia memperoleh kepercayaan ini karena Ciang Sun merupakan seorang di antara pembantu-pembantu utama yang memiliki kepandaian silat tinggi di samping kecerdikan dan keberanian.
Mo Si Lim duduk di atas kursi, berhadapan dengan Ciang Sun, sedangkan delapan orang anggauta Thian-li-pang berdiri di sudut-sudut ruangan itu, berjaga-jaga dengan sikap gagah. Dengan hati masih merasa mendongkol atas penyambutan tadi, Mo Si Lim lalu mengambil sikap angkuh.
"Saudara Ciang Sun, surat dari ketua kalian telah berkenan diterima oleh Yang Mulia Puteri Siang Hong-houw kemarin sore."
"Kenapa baru kemarin sore? Bukankah surat itu telah kami serahkan kepadamu lima hari yang lalu?" Ciang Sun bertanya tiada suaranya menegur.
"Hemm, kalian ini ingin mudah dan enaknya saja. Menghadap Siang Hong-houw dengan membawa surat rahasia seperti itu, tentu saja membutuhkan ketelitian dan kewaspadaan. Kalau sampai diketahui orang lain, berarti hukuman mati bagiku, sedangkan kalian enak-enak saja berada di luar dan tidak terancam bahaya."
"Baiklah, kami mengerti, Saudara Mo Si Lim. Lalu bagaimana jawaban dari Siang Hong-houw?"
Mo Si Lim memandang kepada Ciang Sun, lalu kepada para anggauta Thian-li-pang yang berdiri seperti patung dan dengan suara mengandung kebanggaan dia pun berkata,
"Yang Mulia Siang Hong-houw selalu mendukung perjuangan yang hendak membebaskan rakyat dari cengkeraman penjajah. Yang Mulia selalu merasa gembira mendengar bahwa Thian-li-pang berjuang demi kemerdekaan, dan untuk menyatakan dukungannya, maka permohonan Thian-li-pang untuk diberi sumbangan, telah menggerakkan hati Yang Mulia dan beliau mengirimkan ini sebagai sumbangan untuk Thian-li-pang." Dia mengeluarkan kotak hitam kecil dari dalam jubahnya dan meletakkan kotak itu di atas meja, lalu membuka tutupnya. Semua mata memandang ke arah peti den orang-orang Thian-li-pang itu marasa gembira dan kagum. Sekali pandang saja tahulah Cia Sun bahwa isi peti itu merupakan harta yang cukup berharga besar dan akan banyak membantu kebutuhan Thian-li-pang.
Akan tetapi, bagi Ciang Sun, sumbangan ini bukan merupakan tugas utama yang terpenting.
"Dan bagaimana dengan rencana besar kami? Apakah Yang Mulia menyetujui dan sudi membantu kami agar tugas kami itu dapat terlaksana dengan lancar?"
Mo Si Lim menarik napas panjang. Orang-orang ini memang mau enaknya saja.
Disangkanya membunuh seorang Kaisar, putera Kaisar yaitu Pangeran Cia Cing, dan cucu Kaisar Pangeran Tao Kuang, merupakan pekerjaan yang mudah! Pangeran Cia Cing merupakan seorang pangeran mahkota yang kedudukannya kuat dan memiliki banyak pendukung, sedangkan Pangeran Tao Kuang, tentu saja dengan sendirinya merupakan calon kalau-kalau ayahnya gagal terpilih. Pangeran Cia Cing berusia empat puluh tahun, sedangkan puteranya, Pangeran Tao Kuang berusia dua puluh tahun. Sedangkan Pangeran Kian Ban Kok yang diusulkan oleh Thian-li-pang untuk menjadi calon Kaisar itu adalah seorang pemuda berusia dua puluh tahun yang terkenal royal, mata keranjang dan hanya mengejar kesenangan belaka, sama sekali tidak mempunyai kemampuan dan tidak pantas untuk dijadikan calon Kaisar! Agaknya Thian-li-pang justeru memilih pangeran itu yang selain berdarah Han dari ibunya, juga merupakan seorang yang kelak tentu akan mudah dipengaruhi dan dijadikan Kaisar boneka.
"Sayang sekali untuk permohonan Thian-li-pang yang ke dua itu, Yang Mulia Siang Hong-houw belum berkenan menyetujui."
"Ahhh! Justeru itulah yang terpenting bagi kami! Kalau usaha itu berhasil, berarti perjuangan kami pun berhasil. Bagaimana mungkin Sang Permaisuri tidak menyetujui kalau beliau mendukung perjuangan kami?"
"Hemm, hendaknya kalian suka mengingat bahwa Yang Mulia Permaisuri adalah isteri dari Sribaginda Kaisar.... Isteri mana yang merelakan suaminya dibunuh begitu saja? Bagi kami, orang-orang yang beribadat, yang takut akan kemurkaan Allah, tidak akan berani melakukannya. Yang Mulia telah bersikap tepat dan benar dalam hal ini dan kalian tidak dapat memaksa beliau!"
"Tapi.... beliau hanya kami minta persetujuannya dan beliau tidak perlu ikut campur, hanya memberi kesempatan kepada kami untuk dapat menyelundup ke dalam istana tanpa dicurigai dan tanpa dilarang, begitu saja!"
"Apa pun yang kalian katakan, tetap Yang Mulia Permaisuri tidak menyetujui niat pembunuhan itu!" Mo Si Lim berkeras.
"Kalau begitu, kita menggunakan siasat ke dua!" teriak Ciang Sun kepada kawan-kawannya sebagai isarat. "Apa boleh buat, Sobat Mo Si Lim, demi perjuangan dan demi berhasilnya rencana kami, terpaksa engkau kami korbankan! Salahnya Siang Hong-houw yang tidak menyetujui rencana kami!" Dan tiba-tiba saja Ciang Sun mencabut pedang dan menyerang Mo Si Lim!
"Ahh!" Mo Si Lim melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik. Kursi yang didudukinya menjadi korban bacokan pedang di tangan Ciang Sun dan terbelah menjadi dua. Sambil bergulingan Mo Si Lim yang juga memiliki ilmu silat yang lumayan, telah mencabut pedangnya pula. Akan tetapi pada saat itu, delapan orang anggauta Thian-li-pang sudah mengeroyok dan menghujankan serangan kepada thaikam itu. juga Ciang Sun yang lihai sekali sudah menyerang lagi dengan pedangnya.
Mo Si Lim memutar pedangnya membela diri. Namun, melawan Ciang Sun seorang saja dia takkan menang, apalagi dikeroyok sembilan orang. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, dia pun roboh mandi darah dengan tubuh penuh luka dan tewas seketika!
Dan pada siang hari itu, gegerlah di istana ketika ada seorang gagah melapor kepada pasukan pengawal istana bahwa dia telah menangkap dan membunuh seorang pencuri yang membawa perhiasan dari dalam istana. Orang gagah itu bukan lain adalah Ciang Sun yang membawa kepala Mo Si Lim dalam buntalan, bersama peti hitam kecil berisi perhiasan yang amat berharga. Kiranya setelah membunuh Mo Si Lim, Ciang Sun lalu memberitahu kepada anak buahnya bahwa kini terbukalah kesempatan baginya untuk menyelundup ke dalam istana, dengan bertindak sebagai pembunuh pencuri perhiasan itu dan mengembalikan perhiasan itu kepada istana.
"Perhiasan ini memang mahal harganya dan merupakan sumbangan yang besar bagi kita, akan tetapi kematian Kaisar Mancu itu jauh lebih penting. Aku sendiri yang akan mengembalikan perhiasan ini. Kalian boleh pergi ke pusat dan melaporkan kepada Pangcu kita!"
Demikianlah, dengan hati penuh semangat kepatriotan, Ciang Sun membawa kepala dan peti hitam kecil itu ke istana. Tentu saja laporannya menggegerkan panglima pasukan pengawal yang langsung menghadap Kaisar dan melaporkan bahwa ada orang datang mengaku telah membunuh pencuri perhiasan milik Siang Hong-houw! Tentu saja Kaisar Kian Liong terkejut mendengar ini. Dia segera memerintahkan agar pembunuh pencuri itu dibawa menghadap kepadanya, juga dia memerintahkan agar Siang Hong-houw datang pula ketika mendengar bahwa yang dicuri adalah perhiasan milik permaisurinya itu.
Biarpun dia dilucuti dan pedangnya ditahan sebelum menghadap Kaisar, Ciang Sun tetap berjalan dengan gagah dan sedikit pun tidak merasa gentar. Ciang Sun adalah seorang pendekar yang sudah digembleng menjadi seorang patriot yang gagah berani, yang rela mengorbankan apa saja demi cita-citanya, yaitu mengusir penjajah dari tanah air.
Semangat ini pun bukan tanpa dorongan sebab yang membuat dia menyimpan dendam dalam hatinya, yang membuat dia membenci pemerintah Mancu. Ayah dan ibunya tewas dalam bentrokan antara ayahnya dan seorang pembesar tinggi bangsa Mancu. Dendam ini membuat ia membenci semua orang Mancu. Apalagi melihat betapa bangsanya diperlakukan dengan tidak adil oleh para penguasa bangsa Mancu, kebenciannya bertambah. Dia sejak muda membantu gerakan pemberontakan di mana-mana. Namun semua usaha pemberontakan itu selalu gagal karena pasukan Mancu terlampau kuat, bahkan di antara pasukan itu terdapat jago-jago silat yang amat lihai, baik orang Mancu sendiri maupun orang-orang Han yang telah diperalat oleh pemerintah Mancu. Saking bencinya, Ciang Sun bahkan bersumpah tidak akan menikah sebelum penjajah Mancu dapat dihancurkan!
Kaisar telah duduk di singasana, didampingi Siang Hong-houw ketika Ciang Sun dikawal pasukan pengawal dalam, berlutut menghadap Sribaginda. Kaisar Kian Liong memandang pria yang tinggi kurus itu, lalu memandang ke arah buntalan kain kuning dan buntalan kain merah yang dibawa Ciang Sun. Setelah mengucapkan penghormatannya dengan ucapan "ban-ban-swe" (panjang usia), Ciang Sun tetap berlutut dan menanti perintah.
"Kami telah mendengar laporan tentang dirimu. Namamu Ciang Sun dan engkau tetah membunuh seorang pencuri yang membawa sekotak perhiasan milik Hong-houw?"
"Benar sekali laporan itu, Sribaginda."
"Bagaimana engkau tahu bahwa dia pencuri dan yang dicurinya adalah perhiasan milik Siang Hong-houw?" tanya pula Kaisar Kian Liong.
"Pencuri itu sendiri yang menawarkan barang perhiasannya kepada hamba, dan dia pula yang mengaku bahwa perhiasan itu milik Yang Mulia Siang Hong-houw. Karena hamba ingin berbakti kepada Paduka, maka hamba lalu menyerangnya, membunuhnya, membawa kepalanya sebagai bukti dan hendak mengembalikan kotak terisi perhiasan ini kepada Yang Mulia Siang Hong-houw!" kata Ciang Sun dengan penuh semangat.
Kaisar Kian Liong mengangguk-angguk dan menoleh kepada permaisurinya. Wanita cantik itu mengerutkan alisnya, sejak tadi matanya tidak pernah meninggalkan buntalan kuning yang bulat itu.
Kaisar memberi isarat kepada pengawal pribadinya.
"Bawa peti itu mendekat sini dan buka agar kami dapat melihat isinya. Siang Hong-houw tentu akan mengenal apakah benar peti berisi perhiasan itu miliknya."
Pengawal memberi hormat, lalu mengambil buntalan kain menah yang ditaruh di atas lantai depan Ciang Sun, membawanya mendekat dan membuka buntalan itu. Siang Hong-houw tentu saja segera mengenal peti hitam kecil miliknya dan tahulah ia apa yang terjadi. Tentu pembantunya yang setia itu telah terbunuh dan ia bergidik melirik ke arah buntalan kain kuning. Dan ia pun segera dapat menggunakan kacerdikannya untuk menduga apa yang terjadi. Penolakannya untuk menyetujui rencana pembunuhan atas diri Kaisar itulah yang menjadi sebabnya. Tentu Mo Si Lim dibunuh untuk di jadikan korban, agar seorang pembunuh dapat menyelundup masuk! Ia melirik ke arah Ciang Sun yang kebetulan juga melirik kepadanya, kemudian ia menangkap sinar mata berkilat dari orang kurus itu ke arah Kaisar. Ia pun dapat menduga. Orang ini pembunuh kejam! Kaisar terancam.
"Buka peti itu," kata Kaisar dan pengawal membukanya. Nampaklah isi peti itu. Perhiasan yang berkilauan dan gemerlapan.
"Hong-houw, milikmukah perhiasan itu?" tanya Kaisar Kian Liong. Siang Hong-houw mengangguk. Kaisar Kian Liong mengerutken alisnya dan marah kepada pencuri yang berani mengambil barang perhiasan permaisurinya yang tercinta.
"Buka buntalan itu. Kami ingin melihat siapa yang berani mencurinya!"
Pengawal lalu menghampiri buntalan kuning dan membukanya. Nampaklah kepala Mo Si Lim dengan mata melotot. Siang Hong-houw mengeluarkan seruan tertahan.
"Dia.... Muslim, thai-kam yang setia!" teriaknya. "Sribaginda, orang ini tentu pembunuh yang berbahaya! Memang hamba menyuruh Muslim untuk menjual perhiasan itu, perhiasan yang dulu hamba bawa dari Sin-kiang, untuk diberikan kepada fakir miskin di Sin-kiang karana hamba mendengar mereka hidup sangsara. Sama sekali bukan perhiasan yang hamba dapatkan dari Paduka, melainkan milik hamba pribadi. Akan tetapi, Muslim dibunuh.... orang ini tentu penjahat. Mungkin dia mempunyai niat jahat terhadap Paduka!" Tiba-tiba Siang Hong-houw meloncat ke dekat Sribaginda. Ia seorang wanita yang pernah belajar ilmu silat dan cepat ia sudah mencabut pedang yang tergantung di dekat kursi singasana Kaisar.
Ciang Sun marah sekali ketika mendengar betapa Siang Hong-houw yang tadinya diharapkan akan membantunya, dan yang bahkan telah menyatakan dukungannya terhadap Thian-li-pang, kini tiba-tiba membuka rahasianya dan menggagalkan kesempatan yang diperolehnya untuk menyelundup ke dalam istana Kaisar agar dapat membunuh Kaisar. Dia maklum bahwa saatnya hanya sekarang. Kalau dia tidak bertindak sekarang, akan terlambat karena dia tentu akan ditangkap dan dihukum.
"Hidup Thian-li-pang! Mampuslah Kaisar penjajah Mancu!" teriakan ini melengking nyaring mengejutkan semua orang sehingga para pengawal tertegun dan tidak bergerak ketika Ciang Sun melompat ke arah Sribaginda Kaisar. Biarpun dia bertangan kosong, namun dengan nekat dia meloncat dan menyerang, ke arah Kaisar.
Akan tetapi, Siang Hong-houw sudah memutar pedangnya, merupakan perisai di depan Kaisar sehingga serangan Ciang Sun itu tentu saja tidak berhasil, bahkan terpaksa dia meloncat ke samping. Selagi dia hendak menyerang Hong-houw untuk merampas pedang, kini para pengawal sudah menyerbu dan mengeroyoknya.
"Bunuh penjahat itu!" Siang Hong-houw berseru dan ia lalu menggandeng Kaisar, cepat-cepat dilarikan masuk ke dalam.
Ciang Sun mengamuk. Akan tetapi, yang mengeroyoknya adalah para pengawal dalam yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi, bahkan di antara mereka terdapat pula panglima-panglima yang menjadi jagoan istana, maka dalam waktu singkat saja dia telah roboh dan tewas! Cepat para pengawal menyingkirkan mayatnya, juga menyingkirkan kepala Mo Si Lim, dan ada yang menyimpan peti hitam kecil untuk kelak disampaikan kepada Siang Hong-houw.
Tentu saja peristiwa itu menggagalkan rencana orang-orang Thian-li-pang untuk membunuh Kaisar, bahkan menggagalkan pula usaha mereka mendapatkan sumbangan dari Siang Hong-houw. Dan di lain pihak, Puteri Harum berjasa besar dan Kaisar semakin percaya kepadanya. Namun, peristiwa itu pun diam-diam membuat Siang Hong-houw menjadi bersedih sekali. Bukan saja bersedih karena kehilangan pembantunya yang setia, Muslim, akan tetapi juga bersedih karena ia terpaksa harus melakukan dua hal yang bertentangan dan meresahkan batinnya sendiri. Di satu pihak, ia mendukung Thian-li-pang yang ia tahu merupakan perkumpulan para patriot yang hendak mengusir penjajah Mancu, bangsa yang juga telah membasmi suku bangsanya sendiri, bahkan yang telah membunuh ayahnya dan suaminya. Akan tetapi di lain pihak, ia setia kepada Kaisar Kian Liong yang telah menjadi suaminya dan yang secara pribadi bersikap amat baik dan penuh kasih sayang kepadanya. Peristiwa ini demikian mengguncang hati Sang Puteri sehingga semenjak terjadinya peristiwa itu, ia tidak pernah sehat lagi, sakit-sakitan. Ia hidup dengan batin merana sampai kurang lebih delapan tahun dan dalam tahun 1788 meninggal dunia karena penyakit akibat penderitaan batin ini, dalam usia yang belum tua benar.
Demikianlah keadaan kota raja dan istana Kaisar Kian Liong pada waktu itu. Dalam usia tuanya, Kian Liong mengalami kemunduran dalam pemerintahannya dan pemberontakan-pemberontakan timbul di daerah-daerah perbatasan. Biarpun demikian, dia merupakan satu di antara kaisar-kaisar di Cina yang paling lama memegang tampuk kerajaan, yaitu selama enam puluh tahun (1736-1796).
***
”Alangkah indahnya pemandangan alam di pegunungan ini, Yo Han! seru Gangga Dewi.
Yo Han yang berhenti melangkah pula, memandang kepada wanita itu. Seorang wanita yang nampak gagah berdiri dengan perkasa, cantik dan agung, wajah berseri dan kedua pipi kemerahan tanda sehat. Angin pegunungan bersilir mempermainkan rambut halus yang terlepas dari ikatan dan bermain di depan dahi. Mulut wanita itu tersenyum cerah dan pandang matanya membelai tamasya alam yang terbentang luas di depan mereka, di bawah sana.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Yo Han diselamatkan dari tangan Ang I Moli oleh Gangga Dewi, dan kini Yo Han melakukan perjalanan bersama Gangga Dewi, membantu wanita Bhutan ini untuk mencari Suma Ciang Bun karena Yo Han merasa yakin bahwa Suma Ciang Bun akan dapat memberitahu kepada Gangga Dewi di mana ayah wanita itu berada.
Yo Han ikut melayangkan pandang matanya ke bawah sana. Bagaikan sebuah lukisan mujijat, tamasya alam itu terbentang luas di depan kakinya. Seperti dilukis dengan indahnya lereng bukit itu. Memang indah sekali, akan tetapi Yo Han merasa heran mengapa Gangga Dewi begitu kagum melihat keindahan alam itu. Bagi dia, dimana-mana terdapat keindahan alam itu, biarpun berbeda-beda keadaannya, namun dia selalu menemukan keindahan dimana pun, seperti melihat seribu macam bunga, bentuk dan warnanya berbeda-beda, namun setiap tangkai bunga mengandung keindahan agung!
“Aku sudah mendengar bahwa Pegunungan Tapa-san memiliki tamasya alam yang amat indah. Baru sekarang aku menyaksikan kebenaran berita itu. Betapa bahagianya Suma Ciang Bun itu hidup di tempat yang memiliki lingkungan seindah ini.
Keindahan yang ditemukan oleh nafsu yang bersembunyi di dalam pandang mata tiada lain hanyalah kesenangan. Dan segala macam bentuk kesenangan merupakan permainan nafsu dan selalu membosankan. Nafsu tak pernah mengenal batas tak pernah mengenal kepuasan yang mutlak, selalu meraih dan menjangkau yang belum dicengkramnya. Oleh karena itu, kita cenderung untuk mengagumi dan menikmati sesuatu yang baru kita dapatkan. Namun kalau sesuatu yang baru itu menjadi sesuatu yang lama, akan pudarlah keindahannya sehingga kita tidak mampu menikmatinya lagi. Itulah sebabnya mengapa orang kota dapat menikmati keindahan di alam pegunungan, sebaliknya orang dusun di pegunungan dapat menikmati keindahan kota! Orang kota akan bosan dengan keadaan di kota, sebaliknya orang dusun juga bosan akan keadaan di dusun. Baik orang kota maupun orang dusun selalu mengejar yang tidak mereka miliki. Pengejaran ini memang menjadi sifat nafsu daya rendah. Dan pengejaran inilah sumber penyebab kesengsaraan. Kalau tidak tercapai apa yang kita kejar, kecewa dan duka menindih batin kita. Kalau tercapai apa yang kita kejar, hanya sebentar saja kita menikmatinya, kemudian kita merasa bosan atau juga kecewa karena yang kita capai itu tidaklah seindah yang kita bayangkan semula ketika kita mengejarnya.
Karena itu, orang bijaksana tidak akan mengejar sesuatu yang tidak dimilikinya, tidak menginginkan sesuatu yang bukan miliknya. Kalau sudah begitu, dia akan menikmati segala yang dimilikinya sebagai yang terindah dan terbaik. Segala keindahan terletak di dalam keadaan batin kita sendiri, bukan terletak di luar badan. Sepiring masakan termahal, akan terasa hambar di mulut kalau batin sedang keruh, sebaliknya sebungkus nasi dengan kecap termurah akan terasa nikmat di mulut kalau batin sedang jernih. Hal-hal yang paling sederhana pun akan terasa nikmat dan indah bagi pancaindra kita kalau batin kita dalam keadaan jernih. Dan batin yang jernih adalah suatu keadaan, bukan hasil buatan pikiran. Keadaan batin yang jernih timbul oleh kekuasaan Tuhan, dan kita hanya dapat menyerah dan pasrah dengan penuh keikhlasan dan ketawakalan kepada Tuhan Yang Maha Kasih. Kalau sudah begitu, apa pun yang terjadi kepada diri kita, kita terima dengan penuh rasa syukur dan dengan penuh keyakinan bahwa semua itu sudah dikehendaki Tuhan dan Tuhan tahu apa yang baik bagi kita! Tidak mabok oleh keadaan yang kita anggap menyenangkan, tidak mengeluh oleh keadaan yang kita anggap tidak menyenangkan. Penyerahan total kepada Tuhan menimbulkan kewaspadaan dan kebijaksanaan sehingga kita dapat melihat bahwa di dalam segala peristiwa terkandung kekuasaan Tuhan sehingga sebaliknya dari mabok kesenangan dan mengeluh kesusahan, kita meneliti untuk menemukan hikmahnya dalam setiap peristiwa.
Setelah sesaat berdiri seperti patung menikmati keindahan alam di sekelilingnya, Gangga Dewi menarik napas panjang, sepanjang mungkin sehingga tubuhnya dapat menampung hawa udara yang bersih dan segar sejuk. Beberapa lamanya ia berlatih pernapasan untuk membuang semua hawa kotor dari dalam tubuh, menggantikannya dengan hawa udara yang jernih dan mengandung kekuatan mujijat itu.
Tiba-tiba Gangga Dewi menangkap pundak Yo Han dan menariknya sambil meloncat ke belakang.
"Singgg....!" Sebuah benda mengkilat menyambar lewat.
"Ada apakah, Bibi?" tanya Yo Han, Gangga Dewi melepaskan Yo Han di belakangnya dan ia pun melangah ke depan, menjauhi tebing. Yo Han mengikuti dari belakang dan kini dia tidak bertanya lagi karena dia sudah melihat pula munculnya tiga orang itu.
selanjutnya ---->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar