Rabu, 15 Januari 2014

Jodoh Rajawali Jilid 5.

Jodoh Rajawali Jilid 5.
Jodoh Rajawali Jilid - 5 Bu Kek Sian Su (10) Jodoh Rajawali Jilid - 5 Syanti Dewi menggeleng-geleng ke¬palanya. Selama hidupnya baru sekarang dia bertemu dengan seorang gadis seperti Siang In, juga dalam kitab-kitab lama belum pernah dia bertemu dengan cerita tentang seorang gadis seperti Siang In! “Jadi jauh-jauh engkau bersusah-payah mencari Kian Bu koko, hanya untuk ber¬tanya tentang itu?” “Benar, akan tetapi sudahlah, Enci. Hatiku menjadi tidak enak dan kecewa karena kenyataannya perjalananku sia¬-sia belaka, tidak dapat bertemu dia. Baiknya aku bertemu denganmu dan da¬pat membantumu lolos dari sangkar emas di istana Bhutan itu. Sekarang kauajar¬kan lagu yang kaunyanyikan kemarin itu.” “In-moi, lagu itu adalah lagu lama dari Bhutan, dan sebetulnya untuk me¬nyanyikannya harus diiringi musik dan dinyanyikan sannbil menari.” “Bagus sekali! Aku pun senang me¬nari, bahkan aku pernah belajar menari, Enci. Biar kauajarkan sekalian tariannya.” “Musiknya?”' “Asal kauajarkan pada aku iramanya, dapat digantikan dengan irama ketukan batu.” Syanti Dewi tertawa. Memang, inti dari musik adalah iramanya, dan andai¬kata tidak ada alat musik, asal iramanya dibunyikan dengan tepuk tangan, ketukan batu apa pun jadilah! Dia lalu mengajar¬kan iramanya yang sederhana saja seperti semua irama dari segala macam musik di dunia ini. “Lagu ini bernama HARAPAN JUMPA KEKASIH. Nah, kau iringilah dengan ira¬ma yang baik dan teratur, dan dengarkan nyanyiannya, lihat gerak tariannya kalau kau ingin mempelajarinya.” Terdengarlah ketukan-ketukan batu berirama di dalam hutan itu, kemudian terdengarlah suara halus merdu dari Syanti Dewi yang bernyanyi sambil me¬nari. Kata-kata dalam Lagu itu memang tepat sekali dengan keadaan dan suara hati Sang Puteri sendiri. “Kekasih telah lama pergi tak tahu bila akan jumpa kembali namun hati pantang membeku tak mengenal putus harapan selama hayat dikandung badan cintaku tak pernah padam jika tiada kesempatan jumpa di dunia di akhirat kita akan saling bersua harapan jumpa kekasih kubawa sampai mati.” “Hebat, Enci! Hebat sekali, baik nya¬nyiannya maupun tariannya. Cepat, kau yang mengiringi dengan irama, selagi aku masih ingat.” Gembira bukan main hati kedua orang dara itu dan ketika Siang In belajar me¬nyanyi dan menarikan lagu Harapan Jum¬pa Kekasih itu, Syanti Dewi yang be¬ngong dan kagum! Kiranya di samping kepandaian silat dan sihirnya yang hebat, dara ini pun memiliki suara yang nyaring merdu seperti burung kenari, dan tubuh¬nya yang padat ramping itu memang telah jelas memiliki gerakan yang lemas dan lemah gemulai sehingga ketika dia menari, benar-benar amat indah dan mengandung daya pikat yang mempesona¬kan. Gerak-gerik tarian Syanti Dewi mengandung kehalusan dan masih ter¬selubung oleh tradisi sopan santun yang telah mendarah daging dalam diri puteri itu, akan tetapi tidak demikian dengan Siang In. Gadis ini bebas dari segala ikat¬an tradisi, gerakannya wajar dan tidak terkekang maka setiap anggauta tubuh¬nya seolah-olah “hidup” dan menari-nari sehingga menimbulkan daya tarik yang menggairahkan! Demikianlah, dengan asyiknya dua orang dara itu menari dan bernyanyi di dalam hutan. Siang In belajar penuh se¬mangat, kadang-kadang Syanti Dewi tu¬run tangan mengajarnya bagaimana harus menggerakkan tangan dan jari-jari tangan yang benar, bagaimana harus menggerakkan kaki melangkah. Puteri itu memberi petunjuk dengan penuh ketelitian dan Siang In makin gembira mempelajarinya sampai akhirnya dia dapat menangkap inti dari nyanyian dan tarian itu. Sejak kecil, Siang In mempelajari ilmu silat dan sesungguhnya orang yang berbakat pula mempelajari ilmu tari, karena di dalam gerakan ilmu silat memang ter¬kandung inti gerakan ilmu tari pula. Oleh karena itu, dengan mudah saja dara yang memang bertubuh ramping dan lemas ini menguasai tarian Harapan Jumpa Kekasih itu. Tiba-tiba Siang In menangkap tangan Syanti Dewi dan ditariknya puteri itu menyelinap ke balik semak-semak belukar yang tinggi. Tentu saja puteri itu terkejut bukan main, akan tetapi melihat Siang In memberi isyarat dengan jari tangan ke depan mulut, dia pun tidak berani bertanya dan maklum bahwa tentu ada sesuatu yang tidak beres. Melihat pandang mata Siang In ditujukan ke barat, dia pun menoleh dan kini setelah dia memusatkan perhatiannya, dia pun mendengar lapat-lapat derap kaki kuda datang dari jurusan itu. Tidak lama mereka menanti. Derap kaki kuda makin keras dan segera ke¬lihatan belasan orang penunggang kuda membalapkan kuda lewat di hutan itu dan dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Syanti Dewi ketika melihat bahwa rombongan berkuda itu dipimpin oleh Panglima Mohinta! Seketika wajahya menjadi pucat dan tangannya yang me¬megang tangan Siang In menggigil. Disangkanya bahwa dia telah terlepas dari bahaya karena telah meninggalkan Bhutan selama satu bulan. Siapa kira, ternyata dia dikejar dan kini para pengejarnya telah tiba di situ! Setelah derap kaki kuda itu meng¬hilang ke jurusan timur, barulah Syanti Dewi bernapas lega dan Siang In ber¬kata, “Aihhh, tak kusangka monyet¬-monyet itu akan dapat menyusul secepat itu. Dan tunanganmu sendiri yang me¬ngepalai pasukan pengejar.” “Dia bukan tunanganku! Jangan me¬nyebut-nyebut lagi dia sebagai tunangan¬ku, In-moi. Engkau tahu bahwa tunanganku adalah Ang Tek Hoat!” “Maaf, Enci Syanti. Sekarang kita tidak boleh lalai. Mereka telah mengejar, tentu mereka telah mendengar tentang kita dari dusun terakhir yang kemarin dulu kita lewati untuk membeli roti ke¬ring. Kalau mereka nanti tiba di dusun depan dan tidak mendengar tentang kita, tentu mereka akan kembali lagi dan mencari kita di sepanjang jalan.” “Tapi mereka hanya belasan orang banyaknya. Dengan kepandaianmu....“ “Hemmm, apakah engkau tidak me¬lihat pendeta lama jubah kuning yang tadi menunggu kuda di samping tunang.... eh, Panglima Mohinta itu?” “Ya, aku melihatnya dan aku belum pernah melihat dia sebelumnya. Siapa dia dan mengapa, In-moi?” “Ketika lewat tadi, aku melihat sinar matanya dan tentu dia itu seorang jago¬an undangan. Agaknya dari Tibet dan melihat sinar matanya, aku dapat men¬duga bahwa dia tentu seorang yang lihai dan tidak mudah dipengaruhi oleh ke¬kuatan sihir. Tentu saja aku tidak takut kepada mereka, akan tetapi aku harus melindungimu, Enci. Dan agaknya akan sukarlah kalau aku harus melawan me¬reka sambil melindungimu. Aku tidak ingin melihat usaha kita gagal setelah kita berhasil pergi sejauh ini dari Bhu¬tan. Mari kita mengambil jalan lain saja, bukan jalan umum.” “Terserah kepadamu, In-moi.” Siang In lalu mengubah rencana per¬jalanannya, tidak melanjutkan melalui jalan umum ke timur melainkan membelok ke utara melalui jalan liar, naik turun gunung dan jurang yang amat liar akan tetapi yang menjamin mereka bahwa pasukan berkuda itu tidak akan mung¬kin dapat mencari jejak mereka. Siasat Siang In berhasil baik. Memang tepat perhitungannya. Ketika Mohinta dan anak buahnya tiba di dusun depan dan mereka tidak mendengar adanya dua orang gadis itu lewat di dusun ini, Mohinta dan ka¬wan-kawannya segera kembali dan mencari-cari di dalam hutan di mana dua orang tadi bernyanyi dan menari. Akan tetapi Mohinta kehilangan jejak mereka dan terpaksa dia membawa rombongan¬nya terus mengejar dan mencari ke ti¬mur. Mohinta dapat menduga bahwa ten¬tu Syanti Dewi akan berusaha mencari bekas kekasihnya, Ang Tek Hoat, maka dengan mencari pemuda itu, dia percaya akhirnya akan dapat pula menemukan Syanti Dewi. Setelah melakukan perjalanan yang amat jauh, sukar dan melelahkan, namun mereka berdua selalu berada dalam ke¬adaan gembira, terutama sekali karena watak jenaka dan periang dari Siang In telah menular kepada Syanti Dewi, akhir¬nya pada suatu senja mereka tiba di kaki sebuah diantara pegunungan yang mem¬punyai banyak puncak. Itulah Pegunungan Lu-liang-san yang menjadi tapal batas Propinsi Shen-si di barat, Ho-nan di selatan, dan Shan-si di utara. Lebih dari sepekan mereka berdua melakukan perjalanan melalui air Sungai Wei-ho, dan di kota Sian, yaitu ibukota Propinsi Shen-si, mereka mendarat dan melakukan perjalanan darat. Tujuan me¬reka adalah Kota Raja Peking di utara. Setelah berjalan beberapa hari lamanya, pada senja hari itu mereka tiba di kaki puncak dan mereka memandang ke atas puncak di mana nampak sebuah kota yang dikelilingi tembok, mereka merasa lelah sekali karena anehnya, setelah me¬lakukan perjalanan sehari lamanya me¬reka tidak juga bertemu dengan kbta atau dusun! Baru sekarang mereka me¬lihat kota di puncak bukit itu, dan di depan agak jauh nampak mengalir Sungai Kuning yang amat lebar. “Hari sudah gelap dan sudah dua hari kita tidak makan nasi,” kata Siang In, “Kalau melanjutkan ke depan, kita ter¬halang Sungai Kuning yang lebar. Bagaimana kalau kita naik ke puncak itu? Kelihatannya di atas itu adalah sebuah kota kuno yang besar dan kita bisa men¬cari penginapan di sana dan makan se¬puasnya di rumah makan.” Syanti Dewi yang merasa sudah lelah sekali itu mengangguk. “Terserah kepada¬mu, In-moi. Aku setuju saja. Hanya lain kali lebih baik kita melanjutkan perjalan¬an dengan berjalan kaki saja. Perjalanan melalui air yang telah kita tempuh, de¬mikian enak dan membikin malas sehingga begitu diganti dengan perjalanan da¬rat, kaki ini menjadi seperti mau patah¬patah rasanya. Padahal, sebelum itu, di¬pakai berjalan sampai sebulan lebih tidak apa-apa.” Siang In tersenyum dan menggandeng puteri itu. “Kasihan engkau, Enci Syanti, dan kasihan kedua kakimu yang mungil itu. Biasanya pergi dekat saja engkau tentu menggunakan joli atau kereta, dan biasanya kalau terasa capai, tentu ada pelayan-pelayan yang memijatinya. Sayang, kalau ada Tek Hoat, tentu“ “Hushhh, genit kau....!” Syanti Dewi mencubit lengan Siang In dan dara ini menjerit-jerit minta ampun. Dengan ke¬lakar itu Siang In berhasil membuat puteri itu melupakan kelelahannya dan mereka bersendau-gurau sambil mendaki jalan naik ke puncak itu. Sungguh kasihan kedua orang dara cantik jelita itu. Mereka tertawa-tawa bersendau-gurau, membayangkan bahwa mereka akan tiba di sebuah kota atau dusun besar di mana mereka akan dapat melepaskan lelah di rumah penginapan, mandi air hangat dan makan masakan yang lezat-lezat. Mereka sama sekali tidak pernah menyangka bahwa mereka itu seolah-olah dua ekor anak domba yang berdaging empuk dan yang sedang menuju ke gua yang penuh dengan hari¬mau dan naga! Tempat apakah yang dikurung tembok di atas puncak itu? Bagi wilayah itu, bahkan hampir semua orang kang-ouw di Propinsi-propinsi Shan-si, Ho-nan dan Shen-si, tempat itu sudah amat terkenal, disegani dan tidak sembarangan orang kang-ouw berani mendatangai tempat itu, apalagi sejak beberapa tahun akhir-akhir ini. Puncak bukit itu merupakan daerah berbahaya dan gawat, bahkan di sekitar itu, orang-orang tidak lagi berani tinggal sehingga dusun-dusun ditinggalkan orang. Inilah sebabnya mengapa selama sehari perjalanan Siang In dan Syanti Dewi tidak pernah melihat kota atau dusun. Puncak itu dinamakan puncak Hwee¬-liong (Naga Api) dan yang kelihatan se¬perti dusun itu sesungguhnya adalah se¬kelompok bangunan yang dikurung dinding tembok yang kuat seperti benteng saja. Tempat itu menjadi markas sebuah per¬kumpulan yang amat terkenal, yaitu Per¬kumpulan Liong-sim-pang (Perkumpulan Hati Naga). Yang menjadi ketuanya, atau lebih tepat menjadi pemiliknya karena sesungguhnya perkumpulan itu didirikan oleh seorang yang amat kaya raya, ada¬lah seorang lakl-laki yang terkenal de¬ngan julukan Hwa-i-kongcu (Pemuda Baju Kembang), bernama Tang Hun dan memang dia merupakan keturunan terakhir dari keluarga Tang yang kaya raya dan seolah-olah sejak turun-temurun menjadi raja kecil yang menguasai semua tanah di daerah itu. Mengapa pemuda bernama Tang Hun ini sampai mendirikan Perkumpulan Liong¬-sim-pang? Karena selain kaya raya dia pun sejak kecil suka sekali akan ilmu silat, bahkan kini ia terkenal sebagai seorang yang amat tangguh dan lihai, apalagi setelah sejak beberapa tahun ini dia berguru kepada seorang nenek hitam yang kini tinggal di puncak itu sebagai seorang yang dipuja-puja. Semenjak ber¬guru kepada nenek hitam ini kabarnya kepandaian Hwa-i-kongcu menjadi hebat bukan main karena selain silat nenek itu amat tinggi, juga terutama sekali nenek itu seorang ahli sihir yang menurunkan sebagian dari kepandaian ini kepada muridnya itu! Dan selain dia sendiri amat lihai, juga Hwa-i-kongcu mempunyai pembantu-pembantu yang sakti dan setia. Sebagai seorang majikan atau ketua dari sebuah perkumpulan, apalagi karena amat kaya raya, tentu saja Hwa-i-kongcu membentuk pasukan sebagai anak buah Liong-sim-pang. Anak buahnya berjumlah lima puluh orang, dan cata-rata memiliki kepandaian lumayan, karena mereka yang masuk menjadl anggauta harus lulus me¬lalui ujian tertentu. Bahkan setelah men¬jadi anak buah Liong-sim-pang mereka ini mendapat pendidikan khusus dari para pembantu Hwa-i-kongcu. Melihat namanya, perkumpulan ini didirikan oleh Tang Hun dengan maksud mengangkat diri sendiri sebagai majikan atau ketua perkumpulan orang-orang gagah yang berhati naga! Akan tetapi, sudah menjadi kelajiman di dunia bagian mana pun juga, baik dalam bentuk pang¬kat, kedudukan, dan kepintaran, harta benda, maupun kekuatan, selalu men¬datangkan kekuasaan dan kekuasaan ini¬lah yang menimbulkan kesombongan, kesewenang-wenangan dan penindasan. Maka tidak lama kemudian, nama Liong¬-simpang menjadi tersohor dan ditakuti orang karena para anak buahnya meng¬andalkan kekuasaan itu untuk menang sendiri terhadap fihak lain. Hwa-i-kongcu Tang Hun sendiri tentu saja merasa dirinya terlalu tinggi untuk melakuan hal-hal yang remeh. Dia sudah kaya raya, maka tidak pernah dia melakukan pemerasan atau merampas harta. Akan tetapi, dia memiliki kesenangan lain, yaitu wanita cantik! Dengan meng¬gunakan berbagai jalan, baik mengguna¬kan kekayaannya, atau ketampanannya, atau kalau perlu kepandaiannya, dia me¬ngumpulkan banyak wanita cantik di dalam gedungnya dan celakanya, pemuda mata keranjang dan hidung belang ini adalah seorang pembosan sehingga kum¬pulan wanita di gedungnya selalu ber¬ganti. Yang sudah membosankan, dan biasanya hal ini takkan pernah terjadi lebih dari beberapa bulan saja, lalu dipulangkan begitu saja dan dia mulai ber¬keliaran mencari penggantinya. Kamar¬-kamarnya selalu penuh dengan wanita cantik yang jumlahnya paling sedlkit ada sepuluh orang! Hwa-i-kongcu sendiri biarpun usianya sudah tiga puluh tahun namun dia ke¬lihatan amat muda, seperti seorang pe¬muda yang usianya baru dua puluh tahun, wajahnya tampan dan selalu putih karena dibedaki dengan bedak harum. Dia pe¬solek sekali, dengan pakaian seperti se¬orang sastrawan yang selalu berwarna-¬warni dan berbunga-bunga, pakaian dari sutera yang mahal dan mewah. Karena kelihatan masih amat muda, tampan dan ganteng, kaya raya, pandai ilmu sastra dan silat, maka tentu saja dengan mudah dia dapat memikat hati wanita-wanita cantik. Akan tetapi, begitu wanita-wanita itu berhasil diperolehnya dan dibawa ke dalam gedungnya, wanita-wanita itu menyesal bukan main dan barulah mereka sadar bahwa mereka telah memasuki neraka karena pria yang tampan itu me¬miliki watak yang amat aneh dan kejam, yang suka menyiksa wanita demi untuk memuaskan nafsu berahinya dan menganggap wanita hanya sebagai barang per¬mainan belaka, sebagai pemuas nafsu belaka! Sampai berusia tiga puluh tahun, Hwa¬-i-kongcu ini tidak pernah menikah. Hal ini adalah karena dia berwatak pembosan dan terutama sekali karena dia amat tinggi hati, merasa bahwa di dunia ini tidak ada wanita yang cukup berharga untuk menjadi isterinya yang sah! Semua wanita itu hanya mau menjadi barang permainanhya untuk sementara saja. Demikianlah, di luar kesadaran atau dugaan mereka, kini Siang In dan Syanti Dewi sedang mendaki bukit itu menuju ke tempat seperti itu! Tentu saja para penjaga di atas tembok yang seperti benteng itu sudah melihat akan adanya dua orang yang mendaki bukit, maka sepasukan anak buah Liong-sim-pang yang jumlahnya selosin orang segera bergegas turun dari puncak untuk menghadang dua orang yang berani lancang naik ke pun¬cak itu. Siang In dan Syanti Dewi sudah tidak bergurau lagi karena mendaki jalan naik itu cukup melelahkan, membuat mereka terutama Syanti Dewi menjadi kecapaian, keringatnya membasahi seluruh tubuh dan nafasnya agak memburu. “Ihhhhh....“ Puteri itu mengeluh. “Ke¬lihatan dekat, kalau dijalani kenapa tidak juga sampai-sampai!” Siang In tertawa. “Enci, kita sudah melewati gunung-gunung yang jauh lebih tinggi dan sukar daripada bukit kecil ini, akan tetapi kau tidak pernah, mengeluh. Hal itu adalah karena kau tergesa-gesa ingin lekas-lekas tiba di puncak itu maka menjadi lama dan kelihatan jauh....“ Tiba-tiba Siang In menghentikan kata-katanya, memegang tangan puteri itu dan menghentikan langkahnya. Syanti Dewi terkejut dan memandang ke depan. Tam¬pak olehnya serombongan orang berjalan cepat turun dari atas. Bukan rombongan orang, melainkan sepasukan orang karena mereka itu berjalan dengan berbaris rapi seperti pasukan saja! Dan pakaian mere¬ka juga seragam. Setelah mereka da¬tang agak dekat, nampaklah bahwa pa¬kaian mereka itu seragam dengan baju kuning dan celana hitam, dan di dada mereka terdapat lukisan seekor naga. Syanti Dewi menjadi gelisah dan me¬megang tangan Siang In, akan tetapi gadis ini hanya tersenyum dan berkata lirih. “Tenanglah, Enci, biar aku meng¬hadapi badut-badut itu.” Pasukan itu berhenti di depan mereka dan Si Tinggi Kurus yang agaknya men¬jadi komandan pasukan menyerukan aba-¬aba dan mereka lalu berpencar mengha¬dang ke depan dua orang dara itu, ber¬diri berjajar memenuhi jalan. Mereka memandang dengan mata terbelalak, ter¬heran-heran ketika melihat bahwa dua orang yang naik dan mereka curigai itu ternyata adalah dua orang dara yang memiliki bentuk badan dan wajah yang aduhai! Sampai bengong mereka meman¬dang, karena sesungguhnya, selama mere¬ka hidup, belum pernah mereka bertemu dengan dua orang dara yang begini can¬tik jelitanya! Seolah-olah dua orang bi¬dadari yang baru turun dari kahyangan!. Melihat dua orang wanita cantik, komandan pasukan segera pasang aksi. Dia mengebut-ngebutkan pakaian seragamnya, membusungkan dadanya yang tipis sehingga tubuhnya menjadi meleng¬kung seperti huruf S atau seperti seekor ular sendok bergaya kemudian melangkah maju dengan langkah seorang jenderal dan dia berdehem dua kali sebelum bi¬cara. Suaranya lantang dibesar-besarkan akan tetapi tetap saja sumbang karena memang si jangkung ini suaranya kecil parau. “Heiiiii! Kalian dua orang Nona Muda siapakah, dari mana dan hendak ke ma¬na?” Si jangkung ini bertanya dengan suara mengandung nada-nada seperti orang bernyanyi, nyanyian sumbang! Melihat lagak orang ini, mau tidak mau Syanti Dewi merasa geli hatinya dan dia menutupi mulutnya untuk menyembunyikan senyumnya. Akan tetapi Siang In tersenyum lebar, bahkan tidak menahan suaranya terkekeh kecil. Inilah perbedaan antara dua orang dara cantik itu. Syanti Dewi sejak kecil sudah di¬kurung oleh semacam kebiasaan, tradisi, dan sopan santun sehingga setiap gerak-¬geriknya terbentuk oleh suasana di dalam istana. Di lain fihak, Siang In sudah biasa hidup bebas, maka dia tidak me¬rasa kurang sopan untuk tersenyum atau tertawa sesuka hatinya. “Kami adalah dua orang pelancong, dari belakang hendak ke depan, hik-hik!” Siang In menjawab sambil terkekeh. “Ha-ha-ha, Nona ini lucu!” “Lucu dan manis, heh-heh.” “Kedua-duanya cantik jelita!” “Hussshhh, diam kalian!” Si jangkung membentak ke belakangnya dan para anak buahnya berhenti bicara. Sungguh¬pun mereka masih menyeringai gembira dan pandangan mata mereka kadang¬kadang melayang mengagumi wajah dua orang dara itu, kemudian pandang mata mereka meraba-raba ke seluruh anggauta tubuh yang menggairahkan Itu. Hal ini terasa sekali oleh Syanti Dewi yang ce¬pat menundukkan muka dengan alis ber¬kerut. “Nona, jangan kau main-main! Kali¬an berdua berhadapan dengan Jiu Koan, seorang tokoh Liong-sim-pang! Hayo le¬kas mengaku baik-baik, jangan sampai aku terhadap kalian dua orang dara-dara muda bertindak kasar.” “Nanti dulu, mengaku ya mengaku, akan tetapi kalian ini mau apakah? Kami tidak melakukan apa-apa yang merugikan kalian, mengapa kalian menghadang perjalanan kami? Kami hendak pergi ke kota di puncak itu “Ha-ha-ha-ha-ha!” Semua anggota pasukan tertawa dan Siang In mengerut¬kan alisnya, lalu memandang ke arah kota berdinding tebok itu. “Mengapa kalian tertawa!?” tanyanya. “Di atas itu bukan kota Nona, me¬lainkan markas dari perkumpulan kami, Liong-sim-pang. Dan kalian berdua telah melanggar wilayah kami, tentu saja kami menghadang kalian” kata pula si jang¬kung bernama Jiu Koan dan mengaku tokoh Liong-sim-pang itu. Padahal tentu saja dia hanya seorang petugas rendahan yang paling tinggi berpangkat kopral. Siang In dan Syanti Dewi saling pan¬dang dan merasa terkejut dan kecewa. Kiranya mereka telah salah duga! Akan tetapi mendengar bahwa mereka itu ada¬lah anak buah perkumpulan yang bernama Hati Naga, dia merasa dadanya lapang. Hati Naga berarti keberanian, dan hanya orang-orang gagah saja yang mau meng¬gunakan nama seperti itu. Dan orang gagah tentu bukan orang-orang jahat. Maka cepat dia menjura dan berkata, “Aih, kalau begitu harap Cu-wi (Anda Sekalian) suka memaafkan kami yang salah terka dan salah jalan. Kami kira yang di atas itu sebuah kota atau dusun. Setelah kami mengetahui akan kesalahan kami, biarlah kami kembali dan harap maafkan kaii.” “Eh-eh, nanti dulu, Nona!” Jiu Koan membentak ketika melihat Siang In dan Syanti Dewi hendak pergi dan membalik¬kan tubuh mereka. Dia memberi isyarat dan dua belas orang pasukannya itu ber¬pencar lalu membentuk lingkaran mengu¬rung dua orang dara itu. “Hemmm.... kalian mau apa?” Siang In tersenyum menyembunyikan kemarahan¬nya dibalik senyum manis. “Kalian sudah melanggar wilayah ka¬mi, tidak boleh begitu saja sebelum ikut dengan kami untuk menghadap Kongcu.” “Hemmm, siapa itu Kongcu?” tanya Siang In. “Kongcu adalah majikan dan ketua kami.” “Kongcu pasti akan senang sekali melihat kalian, heh-heh!” “Tentu saja, dan kita akan mendapat¬kan hadiah!” Mereka tertawa-tawa dan lenyaplah keyakinan di hati Siang In bahwa dia berhadapan dengan anggauta-anggauta perkumpulan orang gagah. Lagak mereka ini tiada bedanya dengan penjahat-pen¬jahat kecil atau sebangsa perampok liar saja. “Kalau kami tidak mau?” tanyanya. “Ha-ha, mau tidak mau kalian harus ikut bersama kami, jawab Jiu Koan. Siang In melangkah maju dan me¬nudingkan telunjuknya ke arah hidung Jiu Koan dan bertanya, “Eh, siapa namamu tadi? Jiu Koan?” “Benar.” “Jadi engkau ini seorang jagoan Liong-¬sim-pang? Nah, sekarang begini saja orang she Jiu. Kalau kau memang jago¬an, aku tantang kau untuk bertanding. Kalau aku kalah, biar kami akan me¬nyerah dan ikut bersama kalian ke atas sana. Akan tetapi kalau aku menang kalian harus membiarkan aku pergi. Ba¬gaimana?” Jiu Koan memandang dengan mata terbelalak. Gadis ini menantangnya? Akan tetapi dia seorang yang cerdik pula. Kalau gadis ini berani menantang¬nya, agaknya gadis yang membawa pa¬yung ini memiliki kepandaian dan kalau dia mempertaruhkan kebebasan mereka, amatlah berbahaya. Akan tetapi gadis ke dua itu, yang kelihatan lemah lembut, tentu tidak bisa silat. “Baik, akan tetapi karena kalian ber¬dua, maka haruslah kalian berdua pula yang maju, masing-masing melawan se¬orang pembantuku dan aku. Kalau kalian berdua menang, blarlah kalian boleh per¬gi. Akan tetapi, seorang saja yang kalah, dia harus ikut kami ke atas untuk meng¬hadap Kongcu.” “Baiklah, jawab Siang In sambil ber¬kedip kepada Syanti Dewi yang ingin membantu. “Kauajukan jagomu biar dilawan temanku ini.” Dan dia mengguna¬kan ilmunya, sehingga hanya Syanti Dewi saja yang mendengar bisikannya, “Enci, kaulawanlah saja, aku akan membantumu dan tidak mungkin kau kalah.” Syanti Dewi mengangguk. Memang dia telah mempelajari ilmu, bahkan ilmu silatnya pernah memperoleh kemajuan hebat ketika dia memperoleh petunjuk¬-petunjuk dari pendekar sakti Gak Bun Beng beberapa tahun yang lalu (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali). Akan tetapi selama bertahun-tahun ini, dia tidak pernah berlatih karena semangatnya seperti telah hilang terbawa pergi oleh Tek Hoat. Maka, untuk bertanding tentu saja gerakannya kaku dan memang puteri ini bukan seorang yang suka berkelahi! Jiu Koan lalu memberl isyarat dan majulah seorang laki-laki tinggi besar bermata lebar, usianya tentu belum ada empat puluh tahun dan kedua lengannya nampak penuh dengan lingkaran otot¬-otot besar karena dengan bajunya digulung sebatas siku. Dia ini tersenyum menyeringai, agaknya girang sekali mem¬peroleh kesempatan untuk bertanding melawan dara cantik seperti bidadari itu. Sudah terbayang dalam benaknya betapa dia akan memperoleh kesempatan untuk memeluk dara itu. Syanti Dewi merasa agak ngeri ber¬hadapan dengan raksasa ini, akan tetapi dia pun bersiap sedia dan memasang kuda-kuda. Ketika Si Tinggi Besar meliihat betapa dara cantik ini dapat me¬masang kuda-kuda ilmu silat, dia ber¬sikap hati-hati dan berkata, “Nona manis, lebih baik kau menyerah dan mengaku kalah.” “Tidak perlu banyak cakap, majulah!” Syanti Dewi berkata. “Ha-ha, hendak kulihat apakah kau akan mampu bergerak dalam dekapanku!” Raksasa itu tertawa dan menubruk cepat sekali ke arah Syanti Dewi. Puteri ini terkejut, tak disangkanya orang tinggi besar itu dapat bergerak demikian cepat¬nya. Namun dia dapat mengelak dengan meloncat ke kanan sambil mengirim ten¬dangan ke arah lambung lawan. Dalam perjalanan yang jauh ini, puteri Bhutan itu sengaja memakai sepatu kulit yang dipasangi besi di ujungya, maka tendang¬annya itu bukanlah tidak berbahaya. “Ehhh!” Lawannya berseru kaget juga karena hampir saja lambungnya tercium sepatu. Dia mengelak sambil berusaha menangkap kaki itu, akan tetapi Syanti Dewi sudah menarik kembali kakinya. Raksasa itu kini menyerang dengan ma¬rah, tidak lagi hanya berusaha menang¬kap Sang Puteri, melainkan juga meng¬gunakan pukulan dan tendangan bertubi¬-tubi. Karena kaki dan tengannya memang besar dan panjang, repot jugalah Syanti Dewi mengelak ke sana ke mari. “Kau hendak lari ke mana sekarang?” Raksasa itu berseru keras, tangan kanan¬nya diulur untuk mencengkeram ke arah rambut kepala Syanti Dewi. Puteri ini cepat merendahkan tubuh mengelak, dan selagi dia membalas dengan pukulan ke arah muka raksasa itu, lawannya sama sekali tidak menangkis atau mengelak, agaknya akan menerima pukulan itu be¬gitu saja, akan tetapi kedua tangannya kini mencengkeram ke arah kedua buah dada Sang Puteri! “Aihhhg....!” Syanti Dewi menjerit dan cepat melempar tubuh ke belakang. Dia berjungkir-balik dan terbebas dari serangan yang kasar itu, akan tetapi karena kurang latihan, ketika berjungkir¬-balik itu tubuhnya terhuyung-huyung hampir jatuh. Kesempatan itu diperguna¬kan oleh Si raksasa untuk menyerbu ke depan. Pada saat itu, Siang In meng¬gerak-gerakkan tangannya ke arah Si raksasa dan berseru, “Laki-laki tidak sopan jangan main curang dan kurang ajar!” Suaranya melengking nyaring dan mengandung daya tarik luar biasa se¬hingga Si raksasa itu memandang ke¬padanya. Inilah kesalahannya karena be¬gitu dia bertemu pandang dengan dara itu, otomatis dia telah terjatuh ke dalam pengaruh sihir Siang In. “Eh.... eh.... mana....?” Raksasa itu bingung karena secara tiba-tiba saja dia tidak melihat lagi dara cantik yang men¬jadi lawannya. “Plak! Plak!” Dua kali pipinya di¬tampar orang, ditampar oleh tangan yang tidak kelihatan sampai menjadi merah te¬rasa panas dan dia terhuyung ke belakang. Syanti Dewi sendiri merasa telapak tangannya panas ketika menampar muka orang itu. Dia melihat lawannya berdiri bingung dan tahulah puteri ini bahwa Siang In mulai membantunya, maka dia lalu melangkah maju, dan memukul ke arah dada orang dengan tinju tangannya yang kecil. “Buk-buk-bukkk!” Tiga kali dia me¬mukul dan raksasa itu berteriak kaget dan terhuyung-huyung lagi ke belakang. Semua temannya menjadi bengong. Apa yang terjadi dengan raksasa itu? Tadi jelas tampak oleh mereka bahwa nona cantik itu yang terdesak hebat, kenapa kini kawan mereka itu seperti orang bi¬ngung dan dengan mudah saja ditampar dan ditonjok? Si raksasa itu memang bingung dan ngeri. Jelas bahwa dia ditampar dan di¬tonjok, akan tetapi dia sama sekali tidak dapat melihat lawan yang menampar dan menonjoknya itu. Dia masih berusaha untuk menggunakan kedua lengannya yang panjang untuk memukul sana-sini, mencengkeram sana-sini, namun hanya menngenai angin saja karena Syanti Dewi sudah menjauhkan diri. Teman-teman orang itu menjadi makin kaget dan heran melihat raksasa itu memukul dan men¬cengkeram tempat kosong di depannya, padahal lawannya berada di sebelah kiri¬nya! “Takkk! Aughhhhh.... aduhhhhh....!” Raksasa itu mengangkat kaki kirinya, memegangi tulang kakinya dengan tangan dan berloncatan dengan kaki kanan. Ha¬nya orang yang pernah digajul (ditendang dengan ujung sepatu) tulang keringnya saja akan mengerti bagaimana perasaan si raksasa di saat itu. Tulang kering kakinya dicium oleh u ung besi sepatu Syanti Dewi, tentu saja nyeri bukan ma¬in, kiut-miut rasanya, bernyut-nyutan sampai terasa di dalam sumsum. “Dukkk....! Aduhhh....!” Dan si rak¬sasa roboh terpelanting ketika tulang kering kaki kanannya yang berloncatan itu ditendang lagi oleh Syanti Dewi. Dia mengelus-elus dua kakinya yang sudah menjadi biru dan bengkak itu. Siang In menggerakkan tangannya dan kini si raksasa telah dapat melihat lagi Syanti Dewi yang berdiri di depannya, bertolak pinggang dengan bangga karena kemenangannya yang amat mudah itu. Siang In meloncat ke depan sambil tersenyum. “Nah, jelas bahwa temanku memperoleh kemenangan! Hayo, orang she Jiu. Sekarang kau majulah!” Jiu Koan masih terheran-heran oleh kekalahan temannya. Dia memandang ke arah Syanti Dewi dengan pandang mata penuh selidik. Apakah yang terjadi, pikirnya. Temannya itu bukan seorang lemah atau tolol, akan tetapi dalam pertanding¬an tadi, temannya telah bersikap lebih daripada tolol! Setelah dia memberi isya¬rat dan si raksasa itu oleh teman-teman¬nya diangkat minggir, Jiu Koan lalu ber¬kata, “Kemenangan temanmu mencuriga¬kan!” “Eh-eh-eh, sudah jelas kawanmu ka¬lah, engkau masih mencari alasan!” Siang In mengejek. “Benar, akan tetapi sungguh tidak wajar! Tendangan-tendangan yang dilaku¬kan temanmu tadi sebetulnya bukan apa¬-apa, sungguh tidak mungkin bisa menga¬lahkan kawanku itu kalau dia dalam ke¬adaan wajar. Mungkin dia sedang sakit atau ada sesuatu, yang mengganggunya“ ”Ah, omong kosong! Sudah kalah masih mencari-cari alasan kosong. Orang she Jiu, ketahuilah bahwa kami berdua adalah ahli-ahli menggunakan kaki untuk mengalahkan lawan! Temanku tadi menggunakan keahliannya itu dan telah merobohkan kawanmu, maka jangan ba¬nyak alasan. Kalah ya kalah saja, habis perkara!” Muka Jiu Koan menjadi merah sekali. “Bagus!” bentaknya marah. “Kalau begitu coba kaukalahkan aku dengan keahlian kakimu itu!” Diam-diam Siang In harus mengakui kecerdikan orang ini, akan tetapi dia tersenyum dan menjawab, “Baik, engkau lihat saja, aku tidak akan menggunakan kedua tanganku untuk mengalahkanmu, cukup dengan kedua kakiku saja!” Ucapan dara ini dianggap terlalu sombong oleh Jiu Koan, maka kemarahannya meluap dan dia membentak, “Bocah som¬bong, kau boleh lihat betapa aku akan menangkap kedua kakimu dan merobek celanamu agar kau tidak bersikap som¬bong lagi!” Baru saja orang ini berkata demikian, tiba-tiba kaki kiri Siang In yang menjadi marah mendengar kata-kata itu sudah melayang dengan kecepatan yang tidak terduga-duga. “Plakkk!” Kaki itu sudah menendang dagu Jiu Koan sehingga orang ini ter¬huyung ke belakang sambil memegangi dagunya, matanya terbelalak kaget dan juga marah. Dia lalu menggereng seperti seekor harimau terluka, kemudian dia menyerbu ke depan dengan kedua tangan¬nya menyerang dari kanan kiri, meng¬hujamkan pukulan dan cengkeraman ber¬tubi-tubi. Namun, kini Siang In sudah mengetahui bahwa lawannya itu lebih besar lagak daripada kepandaiannya, ma¬ka dengan mudah saja dia menggunakan ginkangnya yang istimewa untuk mengelak ke kanan kiri. Menghadapi seorang lawan seperti ini saja, memang baginya tidak perlu menggunakan kedua tangan, apalagi menggunakan sihirnya. Dia meng¬elak sambil membalas dengan tendangan kakinya dan setiap kali kakinya bergerak, kalau tidak ada bagian tubuh yang ter¬tendang, tentu lawannya itu terhuyung ketika menangkis, karena tendangan kaki dara itu mengandung kekuatan yang amat hebat. Baru saja berjalan belasan jurus per¬tandingan itu, Jiu Koan sudah terdesak terus dan tidak mampu menyerang lagi karena kedua kaki lawannya bergerak seperti kilat cepatnya, bergantian kanan kiri menyambar dan menghajarnya. Me¬mang Siang In tadi tidak berkata berlebihan bahwa dia adalah seorang ahli menggunakan sepasang kakinya. Oleh gurunya dia telah diberi ilmu silat yang mendasarkan atas permainan kaki yang dinamakan ilmu tendangan Soan-hong¬-twi (Tendangan Angin Puyuh) dan kedua kakinya dapat melakukan tendangan berantai yang bertubi-tubi. Terdengar bunyi bertubi-tubi ketika tubuh Jiu Koan dihajar oleh tendangan-¬tendangan kaki yang kecil mungil itu. Tentu saja kini keadaannya berbeda de¬ngan ketika Syanti Dewi melawan rak¬sasa tadi. Syanti Dewi yang pernah be¬lajar ilmu silat tentu saja mengerti pula bagaimana untuk menggunakan kaki me¬nendang, namun dia sama sekali bukanlah ahli seperti Siang In. Tadi dia dengan mudah menendangi tulang kering kaki lawannya karena lawannya itu tidak da¬pat melihatnya oleh kekuatan sihir Siang In. Kini, biarpun Jiu Koan berusaha meng¬elak dan menangkis, namun datangnya tendangan-tendangan yang bertubi dan amat cepat itu sukar dihindarkan dan akhirnya, sebuah tendangan kilat ber¬sarang di perutnya. “Bukkk!” Dan kini tubuh Jiu Koan terjengkang, terbanting ke atas tanah di mana dia meringis dan mengaduh-aduh, memegangi perutnya yang menjadi mulas dan nyeri bukan main. “Tangkap mereka! Bunuh....!” Jiu Koan berteriak-teriak sambil bangkit memegangi perutnya, kemudian tangan kanannya mencabut golok yang tergan¬tung di pinggangnya. Juga semua anak buahnya mencabut senjata masing-masing. Melihat ini, Syanti Dewi menjadi cemas juga dan cepat dia mendekati Siang In. Akan tetapi Siang In malah melang¬kah maju. “Kalian ini anggauta-anggauta Perkumpulan Hati Naga, apakah tidak mengenal seekor naga aseli? Lihat baik-¬baik siapa aku!” Syanti Dewi memandang penuh per¬hatian kepada tiga belas orang itu dan terjadilah keanehan. Tiga belas orang itu terbelalak memandang kepada Siang In, muka mereka menjadi pucat sekali, ke¬mudian didahului oleh Jiu Koan mereka membuang senjata mereka dan lari tunggang langgang! Syanti Dewi cepat menoleh dan dia melihat betapa dara itu masih biasa saja tubuhnya, akan tetapi kepalanya yang cantik jelita itu kini telah berubah menjadi kepala seekor naga yang menyeramkan! Tentu saja Syanti Dewi juga ketakutan dan menjauhkan dirinya. Karena dia tidak langsung dikuasai sihir, maka dia hanya melihat kepala Siang In saja yang berubah men¬jadi naga, tidak seperti tiga belas orang itu yang melihat seekor naga yang leng¬kap, yang mengancam untuk menerkam mereka. “Enci, kesinilah, aku tidak apa-apa,” kata Siang In tersenyum lucu dan ketika Syanti Dewi menoleh, ternyata Siang In sudah biasa kembali. “Aihhh, kau menakutkan aku....“ katanya. Pada saat itu terdengar suara me¬lengking panjang dan suara ini disusul bentakan, “Kembalilah kalian penakut-¬penakut menjemukan!” Mendengar suara ini, Jiu Koan dan dua belas orang anak buahnya berhenti dan mereka cepat menjura kepada se¬orang pemuda yang baru muncul. “Am¬pun, Kongcu.... ada.... ada siluman....” Jiu Koan berkata akan tetapi dia menoleh dan memandang ke arah dua orang gadis itu, ternyata mereka adalah dua orang gadis cantik yang tadi dan tidak ¬nampak ada naga di situ. Pemuda tampan itu tidak mempeduli¬kan Jiu Koan dan dia segera bertindak menghampiri Siang In dan Syanti Dewi. Dua orang dara itu pun memandang pe¬nuh perhatian dan mereka dapat men¬duga bahwa tentulah orang ini yang di¬sebut kongcu dan menjadi majikan atau ketua dari Perkumpulan Liong-sim-pang yang markasnya seperti benteng di pun¬cak bukit itu. Ketika pemuda itu yang bukan lain adalah Hwa-i-kongcu Tang Hun, melihat bahwa yang ribut-ribut di situ adalah dua orang dara yang demikian cantik jelita¬nya, diam-diam dia merasa terkejut, terheran dan juga girang sekali. Jantung¬nya sudah bergoncang hebat karena harus dia akui bahwa selama hidupnya belum pernah dia melihat wanita sedemikian hebat dan cantiknya seperti dua orang dara ini! Sejenak dia bengong dan pan¬dangan matanya seperti terasa oleh dua orang gadis itu, menggerayangi wajah dan tubuh mereka. Siang In memandang sambil tersenyum, penuh perhatian. Pemuda itu memang tampan, bahkan terlalu tampan dan wa¬jah yang dibedaki putih, alis yang dipertebal dengan cat alis, bibir yang di beri sedikit pemerah bibir, dan pipi yang agak kemerahan itu mendekati kecantik¬an wajah seorang wanita. Pemuda itu pesolek sekali, pakaiannya serba indah dan terbuat dari sutera mahal, bajunya berkembang-kembang dan biarpun pemuda itu berdiri dalam jarak empat metet darinya, dia dapat mencium bau wangi semerbak datang dari tubuh pemuda itu! Diam-diam Siang In bergidik. Pemuda ini betul-betul mengerikan! Usianya tentu tidak lebih dari dua puluh tahun, pikir¬nya. Dia tidak tahu bahwa Tang Hun sesungguhnya sudah berusia tiga puluh tahun. “Enci, mari kita pergi,” kata Siang In, menggandeng tangan Syanti Dewi dan mengajak untuk turun kembali dari le¬reng bukit itu karena dia merasa tidak enak menyaksikan pandang mata pemuda pesolek yang mengerikan itu. “Eh-eh, harap perlahan dulu, Ji-wi Siocia (Nona Berdua)....!” Terdengar suara halus dan ada angin menyambar dari samping mereka. Kembali Siang In terkejut karena ternyata pemuda pesolek itu kini telah berdiri di depan mereka, tanda bahwa pemuda itu memiliki gin¬kang yang hebat juga! Kini mereka berhadapan dekat dan bau harum semerbak makin menyengat hidung kedua orang dara itu. Siang In pura-pura tidak mengenal orang itu dan dia bertanya, “Siapa eng¬kau dan perlu apa engkau menghadang perjalanan kami?” Hwa-i-kongcu Tang Hun menjura de¬ngan sikap hormat dan dengan tersenyum ramah dia berkata, “Harap Ji-wi Siocia suka memaafkan anak buah kami kalau mereka itu lancang dan membikin Ji¬wi tidak senang hati.” “Hemmm, anak buahmukah mereka itu?” “Benar, Nona. Saya adalah Tang Hun, majikan atau ketua dari Liong-Sim-pang dan di atas itu adalah tempat tinggal kami”. “Ah, kiranya begitu? Memang anak buahmu tadi kurang ajar terhadap kami, akan tetapi telah kami beri hajaran ke¬pada mereka. Kalau kau hendak mem¬bela mereka....“ “Aih, tidak sama sekali, Nona! Bah¬kan kalau mereka itu berani kurang ajar terhadap tamu-tamu kami yang terhor¬mat, mereka patut dihukum. Jiu Koan, ke sini engkau!” pemuda itu membentak dan Jiu Koan, komandan pasukan itu cepat datang menghampiri ketuanya de¬ngan sikap takut dan hormat. “Siap, Kongcu,” katanya dengan ber¬diri tegak seperti perajurit. “Aku melihat tadi engkau dan se¬orang lagi bertanding melawan Nona ini. Siapa yang seorang lagi? Panggil sini!” Jiu Koan berteriak memanggil teman¬nya, si raksasa tadi digajul kedua tulang kering kakinya oleh Syanti Dewi. Raksasa ini pun datang menghadap dengan sikap hormat dan takut. “Mereka inikah yang telah meng¬ganggu. Ji-wi?” Tang Hun bertanya sam¬bil kini memandang kepada Syanti Dewi. Puteri ini yang dipandang oleh sepasang mata yang mempunyai sinar tajam dan aneh itu bergidik lalu mengangguk. Sinar mata pemuda ini amat tajam dan aneh, hampir setajam mata Siang In, akan tetapi kalau mata Siang In tajam lembut dan jujur, mata orang ini tajam akan tetapi mengandung gairah nafsu-nafsu yang mengerikan. “Baik, kalian lihatlah, Ji-wi Siocia. Aku menghukum mereka karena keku¬rangajaran mereka. Kupenggal kepala mereka!” Syanti Dewi terkejut bukan main melihat pemuda itu mencabut pedang dan dengan satu kali gerakan kilat, pedang¬nya itu berkelebat membacok ke arah leher dua orang itu. “Wuuuttttt.... crak-crakkk!” Dan leher dua orang itu terbabat putus, kepala mereka terpental dan darah muncrat¬-muncrat! “Ihhh....!” Syanti Dewi menjerit dan meloncat ke belakang dengan hati penuh kengerian. Akan tetapi Siang In meme¬gang lengannya dan berbisik, suaranya berwibawa sekali. “Tidak apa-apa, Enci. Lihat lagi baik¬-baik, badut itu hanya membohongi kita.” Syanti Dewi terheran, mengangkat mukanya dan benar saja. Dia melihat dua orang tadi masih berdiri dan tidak ter¬jadi sesuatu dengan leher mereka! Pemuda itu tersenyum. “Tang-pangcu, kami bukan anak kecil. Tidak perlu kau menipu, kami dengan sulapan yang hanya pantas kaupertunjuk¬kan di pasar itu. Dan kami pun tidak ingin melihat dua ekor babi ini disembe¬lih!” Berkata demikian, Siang In meng¬gerakkan tangan ke arah dua orang anak buah Liong-sim-pang itu dan kini pe¬smuda itu terbelalak dan meloncat ke belakang karena tiba-tiba dia melihat dua orang pembantunya itu berubah men¬jadi dua ekor babi! “Aihhhhh...., bukan main....!” Dia lalu menggerak-gerakkan kedua tangan¬nya, kelihatan mengerahkan sinkang dan seluruh tenaga batinnya, barulah dia melihat dua orang pembantunya itu kem¬bali menjadi manusia seperti biasa. “Hebat....!” Dia berseru lagi dan kini dia saling pandang dengan Siang In. Dia lalu menjura. “Engkau hebat, Nona. Mari¬lah kita naik ke puncak, kita bicara di sana. Ji-wi adalah tamu-tamu agung kami.” Akan tetapi Siang In menggeleng kepala. “Terima kasih. Kami akan pergi saja” “Mana bisa begitu, Nona? Bukankah kalian sudah naik sampai ke sini? Kemana lagi kalau bukan hendak mengunjungi Liong-sim-pang?” Pemuda pesolek itu bertanya heran. Siang In menggeleng kepala dan ber¬kata, “Maaf, sesungguhnya bukan niat kami untuk mengunjungi Liong-sim-pang atau siapapun juga. Dari bawah bukit tadi kami mengira bahwa yang di atas itu adalah sebuah dusun atau kota, maka kami hendak mengunjunginya. Kemudian kami bertemu dengan orang-orangmu dan terjadi salah paham. Sekarang biarkan kami pergi dan kami akan menganggap Liong-sim-pang perkumpulan orang-orang gagah yang tidak suka mengganggu wanita.” Pemuda itu menjura dengan hormat. “Maaf, Ji-wi Siocia. Mungkin orang-orang¬ku telah berlaku lancang, akan tetapi sekali lagi aku mengundang kalian men¬jadi tamu kehormatan kami. Hari sudah hampir malam dan Ji-wi akan kemalaman di jalan. Maka sebaiknya bermalam ditempat kami ini.” Akan tetapi, bujukan ini tidak dapat menundukkan hati dua orang gadis itu. Dari pandang mata pemuda itu saja mereka sudah dapat menduga bahwa pemuda seperti ini tidak boleh dipercaya. “In-moi, mari kita pergi saja,” Syanti Dewi berkata. “Pangcu, kami berterima kasih atas undangannmu, akan tetapi kami akan pergi saja. Selamat berpisah.” Pada saat itu, terdengar suara ketawa yang melengking panjang dan terkejutlah Siang In karena dia mengenal suara ini. Syanti Dewi juga terkejut karena ada suara ketawa akan tetapi tidak ada orangnya. Dia menoleh ke arah Siang In dan mengikuti arah pandangan mata temannya itu. Tampak olehnya ada asap hitam yang bergumpal-gumpal dan bergulung-gulung datang dari atas, ke¬mudian setelah tiba di situ, asap itu membuyar dan tampaklah seorang nenek tua India yang berpakaian serba hitam, sudah tua sekali, berdiri di situ. Syanti Dewi terkejut karena dia pun mengenal nenek ini yang dulu merupakan pembantu dan guru mendiang Tambolon, raja liar yang sakti itu. “Subo....!” Siang In juga cepat mem¬beri hormat dengan menjura ke arah nenek itu. Di dalam cerita Kisah Sepa¬sang Rajawali telah diceritakan dengan jelas siapa adanya nenek ini. Seorang nenek India ahli sihir yang berilmu tinggi, isteri dari See-thian Hoatsu, yaitu guru Siang In. Oleh karena itu, Siang In me¬nyebut subo (ibu guru) kepada nenek itu. “Eh, eh, Subo, siapakah Nona ini dan mengapa menyebutmu Subo?” Hwa-i-¬kongcu bertanya dengan heran, kaget dan juga girang. “Ho-ho, dia itu adalah murid See-¬thian Hoatsu,” kata Si Nenek sambil ter¬tawa sehingga mulutnya yang tidak ada giginya sama sekali itu terbuka seperti gua gelap. “Aih, kiranya masih Sumoiku sendiri!” Tang Hun berseru girang. “Heh, bocah, siapa namamu? Aku sudah lupa lagi!” Nenek itu dengan kata-¬katanya yang logatnya kaku bertanya. “Teecu (Murid) Teng Siang In....“ “Oya, Siang In! Mana tua bangka gurumu itu? Biar kuketuk kepalanya, ho¬ho!” Durganini celingukan ke kanan kiri. “Suhu sedang bertapa di Gua Tengko¬rak di Po-hai, Subo....“ “Hi-hik, dia, tentu akan mampus dan menambah jumlah tengkorak di sana.” Tiba-tiba dia memandang ke arah Syanti Dewi yang sejak tadi menunduk dengan jantung berdebar. “Hei! Ini.... bukankah ini Puteri Bhutan itu?” Siang In terkejut, tidak menyangka bahwa nenek itu mengenal Syanti Dewi. Memang Durganini seorang yang aneh, kadang-kadang pikun sekali, akan tetapi kadang-kadang ingatannya tajam. “Benar, Subo....“ “Wah, kebetulan. Tang Hun, Inilah Puteri Syanti Dewi dari Bhutan! Dialah yang paling tepat menjadi permaisurimu. Hayo bawa dia!” Tang Han juga terkejut dan girang. Memang sudah lama dia mencari wanita yang kiranya cocok untuk menjadi isteri¬nya yang syah, yang dapat dibanggakannya. Ketika tadi dia bertemu dengan dua orang dara ini, seketika dia telah jatuh cinta kepada keduanya dan wanita-wanita seperti mereka inilah yang kiranya pan¬tas menjadi isterinya. Siapa tahu, yang satu masih sumoinya sendiri dan yang lain adalah Puteri Bhutan yang terkenal itu karena pernah nama puteri itu di¬sebut-sebut oleh seluruh dunia kang-ouw sebagai puteri asing yang pernah meng¬gegerkan negara. Kiranya orangnya demikian cantik seperti bidadari dan kini gurunya sendiri menganjurkan agar dia memperisteri puteri itu! Tentu saja tan¬pa disuruh untuk kedua kalinya, Tang Hun sudah maju dan mengulur tangan hendak menangkap lengan Puteri Syanti Dewi. “Tahan....!” Siang In berseru marah. “Ho-ho, Siang In, kau mau apa? Sudah sepantasnya kau datang membawakan calon isteri untuk Suhengmu! Bawa dia Tang Hun,” kata Durganini. Tang Hun menyambar lengan Syanti Dewi. Puteri ini tentu saja tidak sudi menyerah begitu saja. Dia mengelak dan tangannya menampar ke arah muka Tang Hun. Akan tetapi pemuda ini tertawa, membiarkan pipinya ditampar dan pada saat itu juga, dia telah menotok Syanti Dewi yang menjadi lemas dan memon¬dong tubuh yang padat menggairahkan itu. “Keparat....!” Siang In menerjang maju akan tetapi tiba-tiba dia berhenti karena ada asap hitam menghadangnya seperti tirai. Dia tidak dapat maju, hanya melihat Syanti Dewi dipondong dan dibawa lari oleh pemuda itu naik ke puncak bukit. Sedangkan kini dari atas datang banyak sekali anak buah Liong-¬sim-pang menuju ke tempat itu. “Hi-hik, bocah tolol. Apakah engkau mau melawan aku?” Durganini tertawa mengejek. Hati Siang In mendongkol sekali. Se¬sungguhnya dia tidak takut menghadapi nenek ini karena dia maklum bahwa biarpun nenek ini memiliki sihir yang amat hebat, melebihi kepandaian gurunya sen¬diri, namun dalam hal ilmu silat dia dapat mengatasinya dan dia sudah mendapat petunjuk dari See-thian Hoat-su bagaimana untuk melindungi dirinya sen¬diri dari serangan ilmu sihir lawan yang lebih handal. Akan tetapi, anak buah Liong-sim-pang begitu banyak. Mana mungkin dia seorang diri akan dapat menang? Bahkan dia tentu akan tertawan sehingga celakalah mereka berdua kalau dia juga sampai tertawan. Tidak, dia harus tetap bebas agar dapat mencari akal untuk menolong Syanti Dewi. “Subo, kau terlalu!” teriaknya. “Kau hanya berani mengganggu aku. Suhu ber¬kata bahwa kalau Suhu bertemu Subo, kalau Subo berani datang ke Gua Teng¬korak di pantai Po-hai Suhu akan me¬ngunduli kepalamu!” Nenek itu menjerit, suaranya meleng¬king saperti suara iblis dari neraka la¬yaknya. Akan tetapi Siang In yang sudah menduga bahwa nenek itu akan marah, telah membalikkan tubuhnya dan menge¬rahkan ginkangnya untuk lari secepatnya menuruni bukit. Nenek itu mengejar, akan tetapi, seperti telah diduga oleh Siang In, nenek yang sudah amat tua itu tidak mampu menyusulnya dan dari bela¬kang juga tidak mampu menggunakan sihirnya. Dia sudah tahu dari gurunya bahwa nenek Durganini mempunyai pan¬tangan besar, yaitu tidak mau diganggu rambutnya yang dibanggakannya, rambut yang panjang dan sampai dia tua renta pun rambutnya tetap hitam. Maka se¬ngaja Siang In tadi mengatakan bahwa gurunya hendak menggunduli kepalanya, maka tentu saja nenek itu menjadi ma¬rah karena merasa dihina dan dengan gemas dia mengejar Siang In. Karena dia tidak mampu menyusul dara yang lari¬nya cepat sekali itu, sehingga napasnya sampai hampir putus tetap saja tidak mampu menyusul, nenek yang marah sekali ini melanjutkan perjalanannya menuju ke pantai Po-hai untuk mencari bekas suaminya, See-thian Hoat-su yang katanya hendak menggunduli kepalanya. Dia hendak membalas penghinaan itu kepada si kakek yang katanya bertapa di Gua Tengkorak. Dan memang inilah mak¬sud Siang In membohongi nenek itu agar si nenek sakti itu meninggalkan benteng Liong-sim-pang! Malam itu, Siang In duduk dengan bi¬ngung dan termenung di bawah bukit, dalam sebuah hutan. Hatinya gelisah sekali dan kadang-kadang dia mengepal tinjunya. Dia bersumpah bahwa kalau sampai pemuda pesolek murid Durganini itu mengganggu Syanti Dewi, memper¬kosa puteri itu, dia akan menyiksa dan membunuhnya! Akan tetapi, hatinya agak lapang, ketika dia menyelidiki pada keesokan harinya menangkap seorang penjaga di dekat tembok benteng dan memaksanya mengaku, dia mendengar bahwa Hwa-¬i-kongcu tidak mengganggu Saang Puteri, hanya mengumumkan bahwa dua minggu lagi Hwa-i-kongcu, akan merayakan per¬nikahannya dengan Syanti Dewi dan meng¬undang semua kenalan dan tokoh-tokoh kang-ouw sambil menanti kembalinya Nenek Durganini yang semalam telah pergi entah ke mana. Mendengar ini, Siang In lalu mencari akal untuk dapat menolong puteri itu dari cengkeraman pemuda pesolek itu. Dia tidak berani sembrono memasuki benteng untuk menolong sendiri, karena selain pemuda pesolek itu juga pandai ilmu sihir sehingga mungkin sihirnya tidak banyak menolong, juga dia men¬dengar bahwa di dalam benteng itu Hwa¬i-kongcu mempunyai pembantu-pembantu banyak orang pandai dan anak buah Liong-sim-pang juga tidak kurang dai lima puluh orang banyaknya. Dia harus mencari akal dan agaknya, menurut perhitungannya, sebelum hari pernikahan tiba, Syanti Dewi akan aman. Pemuda pesolek itu tentu tidak akan mau me¬rusak keadaan dan suasana pengantin baru, tentu tidak akan memperkosa gadis yang dicalonkannya menjadi isterinya yang syah! Sekarang kita tinggalkan dulu Teng Sian In yang sedang mencari akal untuk dapat menyelamatkan Syanti Dewi dan marilah kita kembali mengikuti penga¬laman Suma Kian Lee yang telah kita tinggalkan, karena dua peristiwa itu se¬jalan dan agar jangan sampai salah satu di antaranya tertinggal jauh. Seperti telah diceritakan di bagian depan, terjadi keributan di taman istana Gubernur Ho-nan, di mana Gubernur Kui Cu Kam, yaitu Gubernur Ho-nan, me¬nyambut datangnya utusan kaisar yang bukan lain adalah putera kaisar sendiri, yaitu Pangeran Yung Hwa yang masih muda belia itu. Terjadilah keributan di dalam taman ketika terjadi penghinaan dari mereka yang bersikap anti kaisar kepada utusan sehingga mengakibatkan pertempuran antara para pengawal utusan dan fihak yang anti kaisar. Pertempuran yang hebat terjadi antara jagoan-jagoan Ho-nan yang diam-diam menentang kaisar dan para pengawal utusan. Jagoan-jagoan Ho-nan dibantu oleh seorang tokoh kaum sesat yang berjuluk Mauw Siauw Mo¬ li yang cantik genit, sedangkan para pengawal istana itu dibantu oleh jagoan-¬jagoan Gubernur Ho-pei yang bertugas sebagai pengiring utusan kaisar ke Ho¬nan. Seperti telah kita ketahui, diam-diam Suma Kian Lee hadir di dalam pesta itu dan menyaksikan pertempuran-pertempur¬an tanpa campur tangan. Akan tetapi ketika dia melihat Pangeran Yung Hwa, utusan kaisar itu melarikan diri dikejar oleh Perwira Su Kiat yang pernah ben¬trok dengan dia di celah-celah tebing, ketika dia hendak ditangkap tempo hari. Tentu saja Suma Kian Lee tidak dapat tinggal diam 1agi. Betapapun juga, ayah¬nya adalah mantu kaisar dan dia ter¬hitung adalah cucu kaisar. Biarpun sudah amat jauh karena yang berdarah keluarga kaisar adalah ibu tirinya, ibu Kian Bu, akan tetapi Pangeran Yung Hwa itu ma¬sih sedarah dengan Nirahai, ibu tirinya, dengan demikian masih ada hubungan darah pula dengan Suma Kian Bu, adik tirinya! Oleh karena itu harus ditolong¬nya, apalagi pada saat itu Pangeran Yung Hwa merupakan seorang utusan kaisar yang sebetulnya tidak boleh diganggu oleh siapapun karena mengganggu utusan sama dengan mengganggu yang mengutus¬nya. Pada saat itu, Pangeran Yung Hwa hampir terpegang oleh perwira tinggi besar bernama Su Kiat itu yang telah mengulur tangan kanannya yang panjang untuk menangkap pundak Sang Pangeran sambil berseru, “Pangeran, perlahan du¬lu....!” “Plakkk!” Kian Lee menampar dari belakang menampar perlahan pundak Su Kiat, akan tetapi cukup hebat akibatnya karena tubuh yang tinggi besar itu terpelanting dan pingsan seketika! “Keparat, kiranya engkau pun mata¬-mata dari Ho-pei!” terdengar bentakan keras dan tiba-tiba ada angin menyambar dahsyat dari belakangnya. Kian Lee ce¬pat mengelak dan ternyata yang me¬nyerangnya itu adalah kakek berambut merah tadi, yang menyerangnya dengan guci araknya. Hebatnya, bukan hanya guci arak itu yang menyambar ke arah kepalanya, akan tetapi juga dari mulut guci itu muncrat arak wangi yang se¬olah-olah hidup, yang menyambar ke arah matanya! Akan tetapi, serangan dari kakek bernama Wan Lok It dan berjuluk Ho-nan Ciu-lo-mo ini dengan cepat da¬pat dihindarkan oleh Kian Lee. “Singgg....!” Sinar hijau menyambar dari arah kirinya. Sekali ini Kian Lee terkejut karena pedang yang bersinar hijau itu benar-benar amat berbahaya sangat cepat dan mendatangkan angin dingin. Dia membuang diri dan meng¬gerakkan kaki untuk menendang agar si pemegang pedang tidak dapat melanjut¬kan serangan. Pemegang pedang itu de¬ngan gesitryya dapat pula mengelak dan ketika Kian Lee memandang, ternyata penyerangnya itu adalah wanita cantik yang agaknya menjadi pembesar para panglima di Ho-nan, yaitu Mauw Siauw Mo-li. Kian Lee masih diserang oleh bebera¬pa orang lain yang memiliki kepandai¬an cukup tinggi, namun dia masih dapat mengelak dan balas memukul tanpa meng¬gunakan pukulan maut karena memang dia tidak ingin bermusuhan dengan para jagoan ini dan kalau tadi dia turun ta¬ngan hanyalah karena dia melihat Pange¬ran Yung Hwa melarikan diri dan dikejar oleh Perwira Su Kiat. Sambil menghadapi pengeroyoknya yang lihai dan jumlahnya ada enam orang itu, Kian Lee memper¬hatikan keadaan di situ dan melihat bah¬wa Pangeran Yung Hwa telah digandeng oleh Gubernur Kui Cu Kam dari Ho-nan, dan gubernur ini bersikap seolah-olah hendak menghentikan pertempuran dan hendak melerai, kemudian menarik Pa¬ngeran Yung Hwa untuk menyelamatkan diri. Juga dia melihat Gubernur Hok Thian Ki, yaitu Gubernur Ho-pei yang sudah tua itu berlari-lari dan dikejar oleh beberapa orang jagoan Ho-nan pula. Kian Lee menjadi bingung akan tetapi karena dia sendiri pun dikepung dan di¬keroyok, maka dia harus menyelamatkan diri sendiri lebih dulu. Pemuda perkasa itu memang tadi salah menduga. Dia melihat Pangeran Yung Hwa melarikan diri karena pangeran ini hendak menyingkir dari keributan dan pertempuran itu. Dan Perwira Su Kiat mengejarnya bukan untuk mencelakai pangeran itu. Gubernur Ho-nan belumlah begitu nekat untuk mencelakakan utusan kaisar, bahkan gubernur itu hendak me¬lindungi Pangeran Yung Hwa agar jangan sampai ikut celaka dalam penyergapan yang ditujukan untuk menawan Gubernur Ho-pei itu. Dia ingin menawan Gubernur Hok Thian Ki dan mempergunakannya sebagai sandera untuk dapat menguasai sebagian daerah Ho-nan di perbatasan antara Ho-nan dan Ho-pei. Gubernur Hok Thian Ki yang melihat bahaya cepat berusaha menyelamatkan diri, lari dan dilindungi oleh Tok-gan Sin¬ciang Liong Bouw, yaitu si mata satu tinggi besar yang merupakan pengawal pribadinya, juga dibantu dua orang pe¬ngawal lain. Belasan orang pengawal Ho-¬nan mengejarnya dan ditahan oleh Tok¬-gan Sin-ciang, bersama dua orang kawan¬nya, sedangkan Gubernur Hok yang tua itu terus melarikan diri, menyelinap di sebuah lorong gelap dan melihat betapa para pengawalnya terus mundur sambil menahan serbuan para pengeroyoknya. Gubernur Hok cepat menyelinap me¬masuki sebuah kamar dan cepat-cepat menutupkan pintu kamar itu. “Taijin, cepat ke sini....“ Suara halus ini mengejutkannya. Gubernur itu tadi tidak memperhatikan dan mengira kamar itu kosong. Akan tetapi ternyata kamar itu kamar tamu yang tinggali oleh Kian Lee, dan wanita muda yang menegurnya itu bukan lain adalah Phang Ciu Lan, yaitu pelayan cantik yang melayani Kian Lee! Gubernur Hok membalikkan tubuh dan siap untuk melawan, akan tetapi ketika melihat bahwa yang menegurnya hanya seorang pelayan muda yang cantik, hatinya menjadi lega. “Sssttttt.... harap kau diam dan me¬nolongku.... aku hanya bersembunyi.... mereka mengejar untuk membunuhku,” katanya, terengah-engah karena tadi dia berlari-lari dengan hati tegang. Di luar kamar terdengar suara beradunya sen¬jata dan teriakan-teriakan orang bertempur, akan tetapi masih agak jauh. “Saya mengerti, Taijin. Biarpun saya hanya pelayan di sini, akan tetapi saya memperhatikan semua dan mengenal Taijin. Bukankah Taijin adalah Hok-taijin, gubernur dari Ho-pei?” “Benar, anak baik. Biarkan aku ber¬sembunyi di sini sampai aman“ “Justeru kalau bersembunyi di sini tidak akan aman, Taijin. Sebaiknya Taijin cepat dapat pergi dari tempat ini, pergi dari Ho-nan dan kembali ke utara.” “Tapi.... tapi bagaimana?” “Saya akan membantu Taijin. Taijin hrus menyamar, marilah, Taijin“ Dengan tabah sekali wanita muda itu lalu membantu Gubernur Ho-pei itu me¬lakukan penyamaran. Dicukurnya kumis gubernur tua itu dan jenggotnya yang panjang dipotong pendek, rambut kepala diawut-awut dan topi kebesarannya dlilepas, lalu rambutnya digelung biasa secara sederhana dan diikat dengan kain kepala yang kotor. Kemudian Cui Lai, menyerahkan seperangkat pakaian tukang kebun dan menyuruh gubernur itu berganti pakaian sebagai tukang kebun. “Bagaimana dengan Pangeran....?” Gubernur yang setia itu mengeluh dan merasa khawatir sekali. “Jangan khawatir, Taijin. Saya yakin Pangeran yang menjadi utusan Kaisar tidak apa-apa“ “Eh, engkau seorang pelayan, bagai¬mana tahu ?” “Saya memperhatikan, Taijin, dan saya mendengarkan percakapan mereka, antara gubernur dan Ouw-teetok dan para pe¬ngawal. Pangeran tidak akan diganggu, akan tetapi memang Paduka yang akan ditawan “ “Celaka....!” “Jangan khawatir, kini tidak akan ada yang mengenal Paduka. Mari, saya antar ke luar“ Cui Lan menggandeng tangan pembesar tua itu. “Nanti dulu....!” Pembesar itu ber¬henti, lalu membalik kepada Cui Lan dan dirangkulnya dara itu penuh keharuan. “Nona.... kau seorang pelayan akan.... tetapi.... ah, berhasil atau tidak usaha¬mu ini percayalah bahwa aku Hok Thian Ki tidak akan melupakan pertolonganmu ini!” Cui Lan menjadi terharu. “Sudahlah, Taijin, saya berani melakukan ini karena saya memperoleh suatu keyakinan dari seorang yang saya puja bahwa hidup haruslah diisi dengan perbuatan yang berguna, yaitu antaranya menolong orang yang berada di fihak benar. Marilah!” Dia menggandeng tangan pembesar itu, ditariknya keluar, kemudian mereka me¬nyelinap di antara rumah-rumah, pohon-¬pohon dan di antara orang-orang yang masih ribut bertempur tanpa ada yang mempedulikan mereka. Siapa yang akan mempedulikan seorang pelayan dan se¬orang tukang kebun di saat geger seperti itu? “Kita harus melalui taman....” “Tempat pertempuran itu?” Gubernur Hok terkejut. “Benar, akan tetapi hanya di sana terdapat pintu belakang untuk lolos. Pu¬la, sebagai tukang kebun berada di ta¬man, Paduka tidak akan menarik perhati¬an dan kecurigaan. Mariliah, Taijin....” Mereka berjalan terus memasuki ta¬man di mana benar saja masih terjadi pertempuran hebat antara para pengawal utusan kaisar, para jagoan Ho-pei dan para perajurit pengawal Ho-nan yang amat banyak. Juga nampak Kian Lee masih dikurung oleh Mauw Siauw Mo-li, Bun Hok Ti pengawal Ouw-teetok yang mata keranjang itu, Ho-nan Ciu¬lo-mo jagoan dari Ho-nan dan banyak lagi tokoh-tokoh pengawal yang berke¬pandaian tinggi karena mereka melihat betapa lihainya pemuda tampan yang tadinya menjadi tamu mereka akan te¬tapi ternyata kini membantu fihak Ho-¬pei itu. Kian Lee memang sengaja mengamuk untuk menarik tenaga-tenaga yang ter¬kuat dari Ho-nan agar. mengeroyoknya sehingga dengan demikian, fihak Ho-pei akan dapat meloloskan diri. Kalau dia mau, tentu saja dengan ilmunya yang tinggi, dia bisa mengirim pukulan-pukulan maut dan menewaskan banyak orang namun pemuda ini tidak bermaksud membunuh, hanya merobohkan saja beberapa orang tanpa membunuhnya. Akan tetapi menghadapi orang-orang seperti Mauw Siauw Mo-li dan Ho-nan Ciu-lo-mo, tentu saja tidak akan mudah merobohkan mereka tanpa membunuhnya. Sambil menghadapi pengeroyokan itu, menggunakan kaki tangan untuk menang¬kisi senjata-jsenjata yang menyambar, juga mengelak ke sana-sini, pandang mata Kian Lee masih terus mencari-¬cari. Bagaimana dengan Pangeran Yung Hwa? Bagaimana dengan Gubernur Ho¬p-ei? Demikian pikirnya dengan hati kha¬watir juga. Tiba-tiba dia mengenal wajah Cui Lan. Terkejut dia. Apa yang dilakukan oleh gadis pelayan cantik itu di dalam taman, tempat yang telah menjadi medan pertempuran itu? Dan siapa yang jalan tergesa-gesa bersama pelayan itu?. Pada saat itu, Cui Lan juga menengok dan memandang ke arah pemuda yang dilayaninya tadi, pemuda yang amat baile dan sopan. “Aiiiiihhh....!” Cui Lan menjerit ketika melihat Si Rambut Merah, yaitu Ho¬nan Ciu-lo-mo, dengan dahsyat menggerakkan guci araknya menghantam dan mengenai dada Kian Lee yang agak ter¬pecah perhatiannya memandang Cui Lan. “Desssss....!” Kian Lee terkejut, tu¬buhnya sudah terlindung sinkang yang otomatis, dan ia tidak mengalami luka parah, namun tetap saja dia terlempar ke belakang dan karena dia berdiri membelakangi kolam besar di taman itu, otomatis dia jatuh ke dalam kolam. “Byuuuuurrr....!” “Aiiiiihhhhh....!” Kembali Cui Lan menjerit dan banyak orang menoleh ke arah suara jeritan itu, akan tetapi ka¬rena yang menjerit itu hanya seorang pelayan yang berdiri bersama seorang tukang kebun, mnaka mereka tidak memperhatikan lagi, juga pada waktu itu si tukang kebun sudah memegang tangan Cui Lan dan diajaknya pergi dari situ dengan cepat, menyelinap ke dalam geiap. Tok-gan Sin-ciang dan dua orang te¬mannya juga sudah mengamuk di dalam taman. Mereka tadi dapat memancing para pengeroyoknya untuk menjauhi tem¬pat di mana Gubernur Ho-pei bersembunyi dan kini, Tok-gan Sin-ciang biarpun hanya bermata sebelah, namun dia me¬ngenal “tukang kebun” yang tadi berdiri di sana bersama pelayan itu. Dia ber¬teriak girang dan terus, mengamuk, agar fihak mnusuh tidak memperoleh kesempat¬an memperhatikan tukang kebun itu! Sedangkan komandan pasukan penga¬wal yang gagah perkasa, yaitu komandan Pasukan Garuda yang melihat betapa pemuda perkasa yang membantu fihaknya itu terjengkang ke dalam air kolam, dia cepat meloncat dan terjun ke dalam air. Komandan ini adalah seorang yang pandai renang, maka dia khawatir akan keadaan pemuda yang membantu fihaknya itu, maka dia ingin menolong. Akan tetapi, sebetulnya Kian Lee tidak apa-apa dan bagi pemuda yang lahir dan dibesarkan di Pulau Es ini ten¬tu saja bergerak di air bukan merupakan hal yang asing baginya. Melihat koman¬dan yang perkasa itu berenang meng¬hampirinya, Kian Lee berkata, “Tidak apa-apa, Ciangkun!” “Awas....!” Komandan itu berseru ketika melihat anak panah yang banyak sekali menyambar ke arah Kian Lee. Akan tetapi dengan tenang Kian Lee menggerakkan kedua tangannya dan anak¬-anak panah itu runtuh semua, membuat Sang Komandan menjadi kagum bukan main. Akan tetapi sekarang, anak-anak pa¬nah itu bukan hanya menyerang Kian Lee, melainkan juga menyerangnya! Ter¬paksa dia menyelam dan ternyata bahwa di tepi kolam telah berdiri pasukan panah yang siap untuk menyerang mereka berdua dengan anak panah mereka! Sibuk jugalah Kian Lee dan komandan itu. Biarpun Kian Lee amat lihai, namun berada di air tentu saja gerakannya tidak leluasa. Dia dapat menangkis atau menyelam, juga komandan yang cukup tang¬guh itu dapat pula menyelam untuk meng¬hindarkan diri dari sambaran anak-anak panah, akan tetapi mereka berdua pun tidak bisa naik ke darat! “Kita harus mencari jalan ke luar!” Kian Lee berseru dan komandan itu mengangguk lalu menyelam lagi karena dia sudah dijadikan sasaran anak panah. Mereka mulai berenang menjauh ke te¬ngah. Kolam itu cukup luas dan dalam dan ternyata di pinggir timur terdapat pintu air untuk membuang atau mengu¬ras air itu agaknya. Kalau airnya tidak sedalam ini, tidak setinggi tubuhnya, tentu dia akan dapat menggunakan dasar kolam untuk berpijak dan meloncat ke dalam, pikir Kian Lee. Tiba-tiba Kian Lee terktjut bukan main melihat munculnya Mauw Siauw Mo-li di antara para pernanah itu. Tadi Kian Lee sudah merobohkan beberapa orang anggauta pasukan itu dengan me¬nangkapi anak panah dan menyambitkan¬nya ke arah mereka. “Hentikan anak-anak panah itu kalian orang-orang tolol. Lihat, aku akan mem¬bunuh mereka dengan ini! Dan wanita cantik itu melontarkan sebuah benda ke arah Kian Lee! “Celaka....!” Kian Lee berseru. Dia mengenal benda itu karena dia tahu bah¬wa Mauw Siauvv Mo-li, sumoi dari Hek¬tiauw Lo-mo ketua Pulau Neraka ini selain amat lihai ilmunya, juga mern¬punyai senjata rahasia yang amat me¬ngerikan, yaitu senjata peledak! Kalau sampai senjata itu meledak di kolam, dia dan komandan pasukan pengawal Kuku Garuda itu tentu akan celaka dan tewas! Pemuda ini memang memiliki dasar watak tenang sekali. Biarpun menghadapi ancaman bahaya yang amat besar ini, bahaya maut baginya, namun dia masih dapat bersikap tenang dan ketenangannya inilah yang menyelamatkannya, karena di dalam ketenangan itu terkandung ke¬waspadaan dan kecerdasan yang luar biasa, yang bergerak lebif cepat dari apa pun juga di dunia ini. Dalam waktu be¬berapa detik itu saja, ketika benda itu melayang ke arahnya, Kian Lee telah dapat mempergunakan kecerdasannya dan membuat perhitungan yang amat tepat. Dia lalu mengulur tangan, maklum bahwa benda itu akan meledak setiap bertemu dengan benda keras, maka dia mengerah¬kan sinkang membuat telapak tangannya selunak kapas, kemudian begitu benda itu menempel di tangannya, dia cepat me¬lontarkan benda itu ke arah pintu air di timur! “Blaaarrrrr....!” Sinar kilat menyilau¬kan mata memecahkan kegelapan dan api muncrat ketika benda peledak itu meng¬hancurkan pintu air. Karena pintu air yang pecah dengan mendadak ini, air kolam membanjir ke arah pintu air itu, dan arus yang terjadi karena sedotan air yang mengalir turun itu sedemikian kuat¬nya sehingga seorang yang perkasa seper¬ti Suma Kian Lee sendiri pun sampai tersedot dan hanyut oleh arus yang amat kuat itu. Apalagi si komandan yang biar¬pun gagah namun masih jauh di bawah Kian Lee tingkatnya. Keduanya tak kuasa menahan diri, hanyut oleh arus air yang amat kuat, melewati pintu air dan terus disedot masuk ke saluran air di bawah tanah yang memang menjadi pembuangan air kolam itu dan semua air yang datang dari seluruh bagian istana. Suma Kian Lee menangkap tangan komandan yang mengeluh karena ter¬bentur-bentur batu, lalu mereka berdua membiarkan diri mereka hanyut sambil meraba ke depan untuk melindungi diri dari benturan tiba-tiba. Sementara itu melihat betapa dua orang itu selamat, Mauw Siauw Mo-li dan Wan Lok It Si Setan Arak menjadi penasaran sekali. “Kita hadang mereka di sungai, di mana saluran itu memuntahkan airnya dan kita bunuh mereka di sana kalau mereka belum mampus!” teriak Wan Lok It dan bersama beberapa orang pengawal dia lalu cepat berlari menuju ke tempat itu, yaitu ke sungai yang mengalir di pinggir dan luar kota. Kian Lee dan komandan pasukan Kuku Garuda itu terus hanyut dan setelah agak jauh ternyata arus air tidak lagi begitu kencang, dan karena saluran itu mtlebar, maka air pun menjadi dangkal. Hanya setinggi pinggang. Maka mereka lalu ber¬jalan kaki dengan hati-hati di tempat gelap itu, mengikuti aliran air. Gelap pekat di terowongan saluran air ini, sam¬pai tangan sendiri pun tidak dapat me¬reka lihat. “Eh, apakah di depan itu?” Tiba¬-tiba komandan pasukan Kuku Garuda itu berseru. Kian Lee juga sudah melihat benda¬-benda yang berkelap-kelip mengeluarkan sinar kehijauan itu. Begitu kecil dan banyak, bergerak-gerak, dan agaknya benda-benda itu tentulah kunang-kunang. Akan tetapi bagaimana terdapat kunang¬-kunang, di dalam terowongan, di atas air? Biasanya binatang-binatang kecil ini ha¬nya terdapat di kebun-kebun dan ladang¬-ladang di mana terdapat padi atau gan¬dum. Mereka merasa heran sekali, dan mereka lalu berjalan mendekati makin lama makin dekat dan betapapun mereka membelalakkan mata, tetap saja mereka tidak dapat melihat benda atau binatang apakah yang berkerlapan seperti kunang¬-kunang itu. “Eh, baunya....!” Tiba-tiba Kian Lee tprkejut sekali. Teringatlah dia akan ular-ular merah di Pulau Es, yang juga mengeluarkan bau seperti ini, wangi-wangi amis, tanda ular beracun atau sejenis binatang lain yang beracun. “Awas....!” Akan tetapi terlambat karena koman¬dan itu yang ingin tahu binatang apa yang mengeluarkan sinar berkeredepan itu telah mengulur tangan untuk menang¬kap seekor, akan tetapi “kunang-kunang” itu bergerak dan tahu-tahu tangannya telah digigit oleh seekor ular! “Aduhhhhh....!” Dia menangkap de¬ngan tangan ke dua, dari rabaannya ta¬hulah dia bahwa yang menggitnya ada¬lah seekor ular, mnaka diremasnya ular itu sampai hancur. “Celaka, aku digigit ular....!” Dan memang yang mereka sangka kunang-kunang itu ternyata adalah mata ular-ular yang banyak sekali terdapat di dekat mulut terowongan saluran air itu! Kini ular-ular itu bergerak cepat dan mengeroyok mereka! “Kerahkan singkang melindungi tubuh!” Kian Lee berseru dan mulailah dia meng¬gunakan kedua tangannya untuk me¬mukul-mukul ke depan sehingga ular¬-ular yang berdekatan dengan mereka mati semua dan bangkai mereka hanyu oleh air. Kian Lee lalu memasukkan kedua tangannya ke air untuk memungut batu-batu kecil dari dasar terowongan itu, dan dengan batu-batu ini dia menyambiti ular-ular itu yang mudah saja dia ketahui dari mata mereka yang ber¬sinar-sinar. Bagaikan lampu-lampu kecil, setiap terkena sambitan batu, lampu itu padam, tanda bahwa sambitan itu tepat mengenai kepala ular dan membuatnya tewas seketika. Akan tetapi komandan itu tidak dapat membantunya karena lengan kirinya sudah terasa lumpuh dan kaku, tanda bahwa dia telah terkena racun gigitan ular tadi yang mulai memperlihatkan pengaruhnya. “Celaka....!” seruannya! “Lenganku lumpuh....“ Kian Lee meraba lengan itu kemudian dia menotok pundak dan ketiak sang komandan untuk menghentikan jalan da¬rah agar racun ular tidak terus menjalar ke jantung. Kemudian dia minta pinjam pedang komandan itu, sambil meraba¬-raba dia merobek kulit daging tangan yang tergigit dan menyuruh komandan itu menyedot dan meludahkan sendiri darah dari luka itu. “Biarpun bukan merupakan pengobatan yang manjur, namun cukup untuk me¬nyelamatkan nyawamu, Ciangkun,” kata¬nya. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara hiruk pikuk di sebelah depan. Di samping suara orang-orang, juga terdengar suara batu-batu besar di lempar dan menimpa air. Telinga Kian Lee yang tajam dapat menangkap suara Si Setan Arak rambut merah, Ho-nan Ciu-Io-mo yang tertawa dan berkata nyaring, “Tutup mulut salur¬an itu, ha-ha-ha, biar mereka mati se¬perti tikus-tikus dalam selokan!” Kian Lee meklum apa yang terjadi. “Cepat kita harus mencapai mulut terowongan sebelum ditutupi!” Dia ber¬kata sambil menarik tangan komandan itu. Akan tetapi, komandan itu mengeluh dan tidak dapat berjalan cepat di dalam air itu dan ternyata setelah mereka tiba di mulut terowongan, dengan rabaan tangan tahulah mereka bahwa mereka telah terlambat. Terowongan itu telah tertutup oleh batu-batu besar, tidak mungkin lagi dapat mereka lewati dan hanya sedikit air saja yang dapat lolos keluar, karena terbendung air ini, air mulai naik perlahan-lahan! Selain air mulai naik, juga hawa dari ular-ular beracun menimbulkan bau yang menyesakkan dada. Kita tinggalkan dulu Kian Lee dan komandan pasukan pengawal istana itu yang terkurung di dalam terowongan yang gelap pekat dan terancam maut dan mari kita mengikuti perjalanan Gu¬bernur Hok Thian Ki dari Ho-pei yang menyamar sebagai tukang kebun dan me¬larikan diri bersama Phang Cui Lan. Mereka dapat berlari cepat melalui tem¬pat-tempat gelap sehingga dapat lolos dari perhatian para penjaga dan pengawal yang sedang kacau dan sibuk bertempur itu sehingga mereka dapat keluar dari tembok kota. Karena mereka itu hanya seorang tukang kebun dan seorang pe¬layan yang diaku anak oleh tukang kebun dalam keadaan ribut-ribut itu semua nafsu kebengalan mereka agaknya padam dan hal ini memudahkan Gubernur Ho-pei dan Cui Lan untuk meloloskan diri dari tem¬bok kota. Pagi-pagi sekali mereka telah keluar dari pintu gerbang kota dan lang¬sung menuju ke utara, ke perbatasan. Kini Gubernur Hok yang memimpin per¬jalanan dan gubernur ini berkata bahwa kalau mereka sudah melintasi batas pro¬pinsi berarti dia akan selamat dan akan dapat menyuruh pejabat setempat untuk mempersiapkan pengawal dan kereta untuk melanjutkan perjalanan. Akan tetapi, belum jauh mereka ber¬jalan tiba-tiba Gubernur Hok meme¬gang lengan Cui Lan dan menarik gadis itu menyelinap di balik semak-semak belukar karena dia mendengar derap kaki kuda. Benar saja, tak lama kemudian muncul belasan orang pengawal Gubernur Ho-nan yang lewat dengan cepatnya di jalan itu. Setelah mereka pergi jauh, Gubernur Hok menghela napas panjang. “Berbahaya sekali....“ Dia mencegah Cui Lan yang hendak berdiri. “Kita ber¬sembunyi dulu di sini, siapa tahu mereka segera kembali....“ Cui Lan duduk di atas rumput di balik semak-semak itu. “Habis, bagai¬mana baiknya, Toijin?” “Kalau mereka itu sudah kembali, kita boleh melanjutkan perjalanan, akan tetapi kalau belum terpaksa kita harus mencari tempat persembunyian di dekat jalan ini untuk melihat sampai mereka kembali.” Akan tetapi mereka tidak perlu me¬nanti terlalu lama karena hanya sejam kemudian nampak belasan orang itu su¬dah kembali menjalankan kuda mereka perlahan-lahan dan mata mereka me¬nengok ke kanan kiri mencari-cari! Ke¬tika lewat di dekat mereka, Gubernur Hok dan Cui Lan mendengar komandan pasukan itu berkata, “Tidak mungkin mereka sudah pergi jauh dari sini! Tidak mungkin! Seorang tua dan seorang gadis lemah tentu mereka bersembunyi dan kita harus terus mengawasi jalan ini. Sewaktu-waktu mereka pasti akan mun¬cul. Si tua itu kita serahkan kepada gubernur dan kita menerima hadiah, se¬dangkan si pelayan yang kabarnya cantik itu hemmm.... dia harus dihukum karena melarikan Gubernur Ho-pei, dihukum mesra!” “Eh, Twako. Mana ada hukuman me¬sra?” NEXT--->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar