Kamis, 30 Januari 2014

Kisah Si Bangau Merah Jilid 20

Kisah Si Bangau Merah Jilid 20

20

"Dan bagaimana pula dengan kedua tanganmu itu, Yo Han? Kalau kedua tanganmu itu kaupergunakan untuk mencekik leher orang lain, untuk memukul dan menyiksa, apakah kedua tangan itu masih kaukatakan baik dan tidak jahat?"
"Wah, wah, itu tidak mungkin, Suhu!" kata Yo Han kaget.
"Nah, itulah! Yang mengatakan tidak mungkin itulah yang menentukan, Yo Han. Kalau engkau mengatakan tidak mungkin, maka kejahatan itu pun takkan terjadi. Kalau engkau mengatakan mungkin saja, maka kejahatan itu akan terjadi. Jadi yang menentukan bukanlah benda-benda itu, melainkan batin orangnya! Seseorang dapat menggunakan api untuk memasak dan membuat lampu penerangan, akan tetapi dapat pula orang menggunakan api untuk membakar rumah orang lain! Jadi, Si Api itu sendiri tidak baik dan tidak jahat, baru dinamakan jahat atau baik kalau sudah dipergunakan. Yang jahat dan baik itu adalah apa yang tersembunyi di balik perbuatan itu, Yo Han, yaitu pamrih yang mendorong dilakukannya perbuatan itu. Seperti juga tanganmu. Dapat dipergunakan untuk menolong orang dan itu dikatakan baik, dapat dipergunakan untuk membunuh orang, dan itu dinamakan jahat. Tidak benarkah ini?"
Yo Han mengangguk, tak dapat berbuat lain. Memang demikianlah kenyataannya.
"Aku mengerti, Suhu. Jadi yang mendatangkan kejahatan atau kebaikan adalah apa yang berada dalam diri manusia, dalam batin manusia itu yang menentukan. Adapun ini hanyalah alat, bukankah demikian, Suhu?"
"Benar sekali! Karena itu, yang perlu dibersihkan adalah batinnya! Kalau batinnya bersih dan baik, maka alat apa pun yang dipergunakan, tentu demi kebenaran dan kebajikan. Sebaliknya kalau batinnya kotor dan jahat, alat apa pun yang dipergunakan dalam perbuatan, condong ke arah kejahatan."
"Teecu (murid) mengerti! Dan memang apa yang Suhu katakan itu benar sekali!"
"Nah, sekarang kita kembali kepada ilmu silat. Baik atau jahatkah ilmu silat? Sama seperti semua benda itu tadi, Yo Han. Tidak baik dan tidak jahat. Kalau ilmu silat tidak dipergunakan, maka tidak ada jahat atau baik yang ditimbulkan oleh ilmu itu. Akan tetapi setelah dipergunakan, barulah timbul baik atau jahat, sesuai dengan cara orang itu mempergunakannya. Kalau ilmu silat dipergunakan untuk melakukan kejahatan, merampok, membunuh, memaksakan kehendak sendiri untuk menang, jelas ilmu itu menjadi alat berbuat kejahatan. Akan tetapi kalau Si Orang mempergunakannya seperti yang dilakukan para pendekar, untuk menentang mereka yang jahat, untuk melindungi mereka yang lemah tertindas, untuk membela diri terhadap ancaman bahaya dari luar, apakah kita dapat menamakan ilmu itu jahat? Ingat, muridku. Kautahu harimau? Mengapa Tuhan menciptakan harimau dengan diberi kuku dan taring? Dan mengapa lembu bertanduk? Ular berbisa? Ulat berbulu gatal? Semua itu merupakan alat bagi mereka untuk bertahan hidup, untuk melindungi diri sendiri. Manusia merupakan makhluk paling lemah, tanpa kuku, tanpa taring, tanpa tanduk untuk menjaga diri. Akan tetapi manusia memiliki kelebihan, yaitu akal budi. Dengan akal budi inilah manusia mengadakan segala macam alat untuk bertahan hidup, untuk melindungi dirinya dari bahaya. Dan ilmu silat termasuk hasil garapan akal budi manusia untuk melindungi diri terhadap ancaman dari luar tubuh, selain untuk menjaga kesehatan dan melepaskan naluri kesenian melalui gerakan silat. Silat merupakan gerakan manusia yang mengandung unsur kesenian kesehatan, dan bela diri, juga untuk membel mereka yang lemah tertindas. Nah, betapa luhur dan indahnya ilmu silat, kalau dikuasai oleh orang yang memiliki batin bersih!”
Mendengar semua itu, Yo Han termenung sampai lama sekali. Teringat ia akan nasihat ayah ibunya yang melarangnya belajar silat. Terbayang kembali semua peristiwa dan pengalamannya dimana ilmu silat dipergunakan orang jahat untuk melakukan kejahatan.
Akan tetapi juga ilmu silat dipegunakan oleh para pendekar seperti suhu dan subonya yang pertama kali, yaitu pendekar Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li. Dan teringat pula dia akan Tan Siang Li, puteri suhu dan subonya itu. Suhu dan subonya berkeras hendak mengajarkan ilmu silat kepada Sian Li, dan takut kalau Sian Li sampai terbawa olehnya, membenci ilmu silat. Dian membayangkan Sian Li sebagai seorang gadis lemah yang tentu akan menghadapi banyak ancaman gangguan, lalu membayangkan Sian Li sebagai seorang gadis yang pandai ilmu silat, gagah perkasa, bukan hanya pandai dan kuat membela diri sendiri, akan tetapi juga dapat membela orang lain yang tertindas dan menjadi korban kejahatan, menentang para penjahat dan menjadi seorang pendekar wanita.
Tiba-tiba Yo Han menyadari itu semua dan dia pun menjatuhkan diri berlutut di depan kakek buntung itu.
“Suhu benar, teecu sekarang mengerti bahwa baik buruknya bukan terletak pada ilmu silat, melainkan dalam batin orang yang menguasainya.”
"Bagus sekali, Yo Han. Jadi, mulai sekarang engkau mau belajar ilmu silat dariku, bukan ? Terutama sekali Bu-kek-hoat-keng?"
Yo Han mengangguk. "Mudah-mudahan teecu kelak akan mendapatkan bimbingan Tuhan sehingga semua ilmu itu hanya akan teecu pergunakan untuk membela kebenaran dan bukan untuk mencari permusuhan dan membunuh orang."
"Aku yakin akan hal itu, Yo Han. Engkau bukan seorang calon penjahat. Engkau telah dikaruniai bakat yang amat luar biasa. Tuhan amat mengasihimu, Yo Han."
Demikianlah, mulai saat itu, Yo Han menerima pelajaran ilmu-ilmu yang tinggi dari kakek Ciu Lam Hok. Tentu saja kakek itu tidak dapat memberi contoh gerakan. Dia hanya menerangkan dan minta Yo Han melakukan gerakannya, dan kalau keliru, dia menjelaskan. Untuk melatihnya, dia mengajak Yo Han untuk bertanding dan biarpun dia hanya menggunakan pundak, rambut dan tabrakan tubuhnya, sukar sekali bagi Yo Han untuk dapat bertahan. Namun dia belajar terus dengan penuh semangat di dalam sumur itu sehingga dia memperoleh kemajuan pesat. Apalagi sebelumnya dia telah menguasai ilmu-ilmu "tari" dan "senam" yang sebetulnya mengandung dasar-dasar ilmu silat tinggi dari Thian-te Tok-ong. Juga sebelum itu, dia telah hafal akan dasar-dasar ilmu silat dari suhu dan subonya, Tan Sin Hong dan Kao Hong Li, walaupun pengetahuannya hanya sampai batas teori dan hafalan saja.
***
Kita tinggalkan dulu Yo Han yang dengan tekun berlatih ilmu digembleng kakek Ciu Lam Hok dalam sumur dan kita tengok keadaan di luar sumur.
Biarpun lenyapnya Yo Han yang mereka sangka tentu sudah mati bersama kakek Ciu Lam Hok di dalam sumur membuat para tokoh Thian-li-pang merasa agak kecewa karena mereka tadinya mengharapkan anak luar biasa itu kelak akan memperkuat Thian-li-pang, namun mereka mempunyai urusan yang lebih penting dan segera melupakan anak dan kakek itu yang mereka anggap sudah mati.
Pada saat Yo Han memasuki sumur pertama, para pimpinan Thian-li-pang mengadakan pertemuan penting, bahkan Thian-te Tok-ong dan Ban-tok Mo-ko juga hadir dalam pertemuan puncak itu. Terdapat pula wakil dari Pek-lian-kauw, bukan saja Ang I Moli dan dua orang tosu Pek-lian-kauw yang selama ini memang sudah bekerja sama dengannya, yaitu Kwan Thian-cu dan Kui Thian-cu, bahkan ada seorang tosu tingkat tinggi dari Pek-lian-kauw datang pula, yaitu Pek Hong Siansu, seorang tokoh kelas dua dari Pek-lian-kauw yang mewakili pimpinan perkumpulan itu.
Mereka membicarakan tentang surat yang mereka terima dari kaki tangan Thian-li-pang yang mereka sebar sebagai mata-mata untuk melihat perkembangan permusuhan antara partai-partai persilatan besar yang sudah mereka adu domba. Bahkan pembunuhan atas diri Thian Kwan Hwesio di kuil Poteng adalah perbuatan para tokoh Thian-li-pang untuk memperuncing permusuhan akibat adu domba itu. Dan surat yang mereka terima adalah surat laporan dari mata-mata mereka. Isinya amat mengecewakan hati para pimpinan Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw. Laporan itu menyatakan bahwa kini permusuhan antara partai-partai persilatan itu mereda, dan tidak pernah terjadi bentrokan lagi. Semua itu akibat usaha bekas panglima Kao Cin Liong dan keluarga keturunan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan keturunan Pendekar Super Sakti Pulau Es. Kao Cin Liong mengadakan perayaan ulang tahun yang ke enam puluh empat, dan keluarga para pendekar itu mengundang tamu-tamu dari dunia persilatan, termasuk empat partai besar, yaitu Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai dan Go-bi-pai. Dalam pertemuan itu, di mana suasananya ramah karena semua tamu menghormati tuan rumah, Kao Cin Liong dan keluarganya, mengajak empat partai besar yang mengirim wakil-wakitnya untuk bicara secara terbuka dan dari hati ke hati. Kao Cin Liong menceritakan tentang pembunuhan yang dilakukan terhadap Thian Kwan Hwesio, bahkan dia sendiri dan isterinya sempat terluka ketika membela hwesio itu. Biarpun sebelum meninggal Thian Kwan Hwesio mengatakan bahwa yang menyerangnya adalah orang-orang Bu-tong-pai, namun dia merasa curiga dan tidak percaya. Apalagi ketika para pimpinan Bu-tong-pai menyangkal.
Kao Cin Liong menceritakan tentang luka beracun akibat racun ular hitam yang biasanya hanya dipergunakan tokoh-tokoh sesat. Keterangan Kao Cin Liong yang dihormati semua utusan partai persilatan besar itu mendatangkan kesan, apalagi ketika Suma Ceng Liong yang namanya sudah amat terkenal dan amat disegani semua orang menyatakan pendapatnya, semua orang mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Cu-wi adalah orang-orang yang selalu menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan bersikap gagah dan bijaksana. Oleh karena itu, mengingat bahwa empat partai persilatan Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai, Bu-tong-pai dan Go-bi-pai adalah partai-partai besar yang namanya selalu harum, memiliki murid-murid pendekar, maka tidak semestinya kalau para pimpinan empat partai itu hanya menuruti dendam dan kemarahan belaka. Saya sudah mendengar tentang peristiwa aneh di Gunung Naga. Tentu Cuwi (Anda Sekalian) sudah sependapat dengan saya bahwa peristiwa itu patut dicurigai. Mudah sekali dimengerti bahwa tentu ada pihak ke tiga yang agaknya sengaja hendak mengadu domba! Saya condong berpendapat bahwa pelaku-pelaku kejahatan itu, baik para pembunuh yang beraksi di Gunung Naga, maupun pembunuh Losuhu Thian Kwan Hwesio, sudah pasti pihak ke tiga yang hendak mengadu domba antara Siauw-lim-pai dan Bu-tong-pai! Oleh karena itu, apabila Cuwi tidak menghentikan permusuhan antara saudara sendiri, berarti Cuwi dengan mudah dapat dipermainkan dan pihak ke tiga yang mengadu domba."
Semua orang mengangguk dan menyatakan setuju dengan pendapat dari pendekar yang amat mereka hormati itu, dan diam-diam mereka pun menduga-duga siapa kiranya yang berani melakukan pembunuhan-pembunuhan untuk mengadu domba antara partai-partai persilatan.
Ada di antara mereka yang menduga bahwa pihak ketiga itu mungkin saja perintah Kerajaan Mancu yang tentu saja ingin melihat partai-partai persilatan itu saling bermusuhan dan menjadi hancur atau lemah sendiri agar tidak membahayakan pemerintah lagi. Akan tetapi Kao Cin Liong menggeleng kepala.
"Bukan karena saya pernah menjadi panglima Kerajaan Mancu maka saya terpaksa tidak menyetujui dugaan itu. Kita semua tahu bahwa Kaisar Kian Liong, biarpun dia seorang Mancu dan sebagai manusia biasa tentu saja mempunyai kelemahan-kelemahannya, sejak muda dia sudah bergaul akrab dengan para pendekar. Dia seorang yang selalu bersikap bijaksana dan ingin bersahabat dengan partai-partai persilatan besar. Dia pun amat cerdik, maka saya tidak percaya bahwa dia akan melakukan suatu kebodohan dengan memusuhi para partai persilatan besar dan menjadikan mereka sebagai musuh. Hal itu hanya akan membuat kedudukannya lemah. Tidak, saya yakin bahwa bukan pemerintah yang menjadi pihak ke tiga itu. Perbuatan itu bukan menolong pemerintah, melainkan membahayakannya."
Semua orang setuju dengan pendapat bekas panglima itu. Akan tetapi mereka menjadi semakin bingung. Lalu siapa lagi yang patut dicurigai dan dituduh menjadi pihak ke tiga yang mengadu dombakan mereka? Akhirnya Kao Cin Liong yang memberi usul.
"Yang terpenting lebih dulu adalah persatuan di antara kita semua. Setelah kita yakin bahwa ada pihak ke tiga yang mengadu domba, maka para pimpinan masing-masing harus menjaga sekuatnya agar tidak ada anak buah atau murid yang saling bermusuhan lagi. Semua murid harus diberi tahu bahwa permusuhan itu timbul karena adu domba, dan semua bentrokan yang pernah ada agar dianggap selesai saja. Tidak ada dendam, tidak ada permusuhan sehingga dengan sikap demikian kita mendapatkan dua keuntungan. Pertama, kita menggagalkan niat busuk pihak ke tiga itu. Ke dua suasana menjadi tenteram dan dalam keadaan tenteram itu, kita semua bekerja sama untuk melakukan penyelidikan agar pihak ke tiga itu dapat kita ketahui siapa dan kelak kita bersama mengambil tindakan terhadap mereka."
Kembali semua orang setuju dan pertemuan itu benar-benar menjadi sebuah pesta yang menggembirakan di mana para wakil empat partai persilatan itu dapat berbincang-bincang dengan hati lega karena semua perasaan dendam telah dihapus dengan penuh pengertian bahwa mereka semua menjadi korban fitnah dan adu domba.
Demikianlah, para mata-mata Thian-li-pang melaporkan semua peristiwa itu kepada pimpinan Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw. Tentu saja para pimpinan itu menjadi kecewa bukan main.
"Ini kesalahan Si Keparat Thian Kwan Hwesio itu!" kata Ouw Ban, Ketua Thian-li-pang sambil mengepal tinju. "Dia dapat melarikan diri ke atas rumah keluarga Kao Cin Liong sehingga melibatkan keluarga itu. Dan sekarang, keluarga itu pula yang menggagalkan siasat yang telah kita atur sebaiknya."
"Memang. itu suatu kesialan," kata gurunya, yaitu Ban-tok Mo-ko. "Kita atur semua itu dengan tujuan agar empat partai persilatan saling bermusuhan. Akan tetapi kini mereka tidak saling bermusuhan lagi bahkan menyadari bahwa ada pihak ke tiga yang mengadu domba. Semua ini adalah akibat ikut campurnya keluarga Kao Cin Liong"
"Kita sikat saja mereka! Kita basmi Kao Cin Liong dan keluarganya!" kata pula Lauw Kang Hui, wakil ketua Thian-li-pang dengan muka merah.
"Hemm, usul yang bodoh sekali itu!" tiba-tiba Thian-te Tok-ong yang sejak tadi diam saja, kini berkata dan semua orang memandang kakek itu. Semua orang di situ takut dan menghormati kakek yang hampir tidak pernah keluar dari dalam guha tempat pertapaannya itu. Hanya untuk urusan yang amat penting saja dia mau bertemu dengan pimpinan Thian-li-pang seperti sekarang ini. "Apakah kalian tidak tahu siapa Kao Cin Liong itu? Dia keturunan Naga Sakti Gurun Pasir, dan isterinya adalah keturunan Pendekar Super Sakti Pulau Es. Kalau kita memusuhi mereka, kedua keluarga itu dapat mendatangkan kegagalan kepada kita, bahkan mungkin Kehancuran. Kita akan membentur batu karang kalau memusuhi mereka. Dan pula, apa untungnya memusuhi mereka? Tujuan kita hanya satu, menghancurkan pemerintah Kerajaan Mancu!"
Semua orang saling pandang dan berdiam diri. Apa yang dikatakan datuk dari Thian-li-pang itu memang tepat.
"Siancai....!" Pek Hong Siansu, tokoh Pek-lian-kauw itu tiba-tiba berseru, "Agaknya jalan satu-satunya haruslah menyalakan api pertentangan antara empat partai itu dengan kerajaan! Sekarang kita harus berusaha membujuk Kaisar Mancu untuk memusuhi mereka."
Semua orang mengangguk-angguk menyatakan persetujuan mereka.
"Sayang sekali hubungan baik yang sudah kita rintis dengan Siang Hong-houw kini telah putus," kata Ouw Ban Ketua Thian-li-pang. "Bahkan kita kehilangan murid kita terbaik, Ciang Sun yang gagal membunuh Kaisar Kian Liong dan dia tewas."
"Muridmu itu tergesa-gesa," kata pula Thian-te Tok-ong. "Membunuh Kaisar dan para pangeran yang dapat menggantikannya harus dilakukan dengan cara halus. Kita dapat menggunakan racun. Akan tetapi harus mencari kesempatan yang baik dan untuk itu kita harus bersabar dan menggunakan waktu. Juga hubungan dengan Pangeran Kian Ban Kok harus dipererat agar kalau sudah tiba masanya, dia tidak akan menolak. Sebaiknya kita dekati lagi Siang Hong-houw dan kita menyelundupkan orang ke istana. Walau harus menunggu bertahun-tahun, akan tetapi kita harus bersabar dan sekali bergerak harus berhasil."
"Bagus sekali! Apa yang dikatakan oleh Locianpwe Thiata-te Tok-ong memang tepat. Kami dari Pek-lian-kauw amat menyetujuinya. Kami juga akan menyusun kekuatan dan siap bergerak apabila sudah mendapat kesempatan baik. Untuk sementara ini, sebaiknya kita dari Pek-lian-kauw maupun Thian-li-pang menahan kesabaran agar jangan melakukan gerakan yang kasar dulu, agar tidak mengejutkan pihak lawan sehingga mereka dapat siap siaga," kata Pek Hok Siansu dari Pek-lian-kauw.
Demikianlah, para pemberontak ini akhirnya bersepakat untuk sementara tidak melakukan gerakan keluar, tidak menggunakan kekerasan, melainkan menggunakan siasat halus untuk menyusup ke dalam istana, menghubungi kembali Siang Hong-houw dan Pangeran Kian Ban Kok, dan menyusun kekuatan.
***
Anak perempuan berusia dua belas tahun itu mungil dan cantik manis sekali. Ia bersilat dengan gaya yang indah namun gagah. Rambutnya yang hitam panjang dikuncir menjadi dua dan bergantungan di kanan kiri, diikat dengan pita kuning. Ketika ia bersilat, sepasang kuncir itu bergerak-gerak seperti dua ekor ular hitam, kadang di depan dada, kadang di belakang punggung. Kalau kepala itu digerakkan dengan cepat, dua helai kuncir itu pun ikut bergerak meluncur seperti sepasang senjata. Kalau tubuh itu tiba-tiba merendah, sepasang kuncir itu seperti terbang ke atas kepala.
Gerakan kaki tangannya mantap dan indah, seperti gerakan seekor burung bangau merah.
Ia adalah Tan Sian Li yang sedang berlatih di kebun belakang rumah, diamati ayahnya, Tan Sin Hong yang berdiri menonton sambil bertolak pinggang. Sian Li kini telah menjadi seorang anak berusia dua belas tahun yang cantik jelita, manis, dan lincah sekali.
Wajahnya yang berkulit putih itu berbentuk bulat telur dengan sepasang mata yang lebar dan jeli, hidung mancung dan mulutnya yang manis itu selalu mengandung senyum mengejek sehingga sepasang lesung di pipinya selalu nampak. Ia sedang memainkan ilmu silat Pek-ho Sin-kun (Silat Sakti Burung Bangau Putih), ilmu silat ayahnya yang amat lihai. Akan tetapi, karena usianya baru dua belas tahun, maka Tan Sin Hong hanya mengajarkan gerakannya saja, belum "mengisi" tubuh anaknya dengan tenaga sakti ilmu itu. Anaknya masih terlalu muda sehingga akan membahayakan kalau tubuhnya menerima kekuatan yang dahsyat itu. Kini, anaknya hanya mempelajari dan menguasai gerakannya saja, kelak kalau sudah dewasa, baru akan diisi dengan tenaga sakti sehingga ilmunya itu akan menjadi lengkap. Selain ilmu silat yang merupakan ilmu simpanan itu, juga Sin Hong mengajarkan semua gerakan dasar ilmu tinggi yang menjadi dasar ilmu silat Sin-liong-ciang-hoat, ilmu dari Naga Sakti Gurun Pasir yang menjadi seorang di antara guru-gurunya. Juga dia mengajarkan dasar-dasar dari ilmu yang pernah dipelajarinya dari dua orang gurunya yang lain, yaitu mendiang nenek Wan Ceng dan kakek Tiong Khi Hwesio atau Wan Tek Hoat, Si Jari Maut.
Biarpun usianya baru dua belas tahun, namun Sian Li telah menjadi seorang anak yang luar biasa. Ilmu silatnya sudah hebat. Jarang ada orang dewasa yang akan mampu menandinginya.
Ketika ia menyelesaikan gerakan terakhir dari Pek-ho Sin-kun, tiba-tiba muncul ibunya, Kao Hong Li.
"Ada tamu datang, kalian hentikan dulu latihan itu, dan mari keluar menyambut tamu!"
Sian Li menghentikan latihannya dan Sin Hong menghampiri isterinya.
"Siapakah yang datang berkunjung?"
"Seorang utusan dari Paman Suma Ceng Liong."
Mereka segera memasuki rumah dan menuju ke ruangan depan di mana tamu itu dipersilakan duduk. Ketika mereka tiba di ruangan depan, Tan Sin Hong melihat seorang laki-laki yang usianya empat puluh tahun dan berjenggot panjang bangkit berdiri dari kursinya. Dia tidak mengenal orang itu, akan tetapi melihat sikapnya dapat diketahui bahwa orang itu memiliki kegagahan. Orang itu sudah mengangkat kedua tangan depan dada untuk menghormati tuan dan nyonya rumah. Sin Hong dan Kao Hong Li cepat membalas penghormatan itu dan mempersilakan tamunya duduk.
"Sian Li, engkau masuklah dulu, mandi dan tukar pakaian. Jangan lupa, suruh pelayan mengeluarkan minuman untuk tamu kita."
Tamu itu cepat menggerakkan tangannya.
"Saya kira Siocia tidak perlu masuk, karena urusan ini justeru menyangkut diri Siocia (Nona)."
Sin Hong memandang tamu itu dan dia pun mengerti. Kalau tamu ini utusan pamannya, Suma Ceng Liong, dan mengatakan urusan itu menyangkut diri Sian Li, maka tidak salah lagi. Tentu pamannya itu menyuruh utusan ini untuk menjemput puterinya karena dulu mereka pernah berjanji bahwa kalau sudah tiba waktunya, Sian Li akan digembleng ilmu oleh paman dan bibinya itu. Walaupun dia sendiri dan isterinya sudah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, namun tentu saja paman dan bibinya itu mempunyai ilmu-ilmu yang khas dan amat menguntungkan kalau Sian Li mendapat bimbingan mereka.
Melihat tuan rumah memandang kepadanya, tamu itu lalu mengeluarkan sesampul surat dan menyerahkan surat itu kepada Sin Hong yang segera menerima dan mengambil suratnya lalu dibaca bersama isterinya yang berdiri di belakangnya. Mereka membaca surat dari Suma Ceng Liong dan tepat seperti yang diduga oleh Sin Hong, di dalam surat itu pamannya minta agar Sian Li diperkenankan ikut utusan itu ke Hong-cun. Dia dan isterinya ingin memenuhi janji mereka dan mulai mengajarkan ilmu mereka kepada Sian Li.
Membaca surat itu, Hong Li mengerutkan alisnya dan menyentuh pundak suaminya.
"Ah, bagaimana kita dapat melepaskan anak kita begini tiba-tiba?"
Sin Hong lalu memandang kepada tamu itu dan berkata,
"Terima kasih atas jerih payah Toa-ko yang sudah mengantarkan surat Paman Suma Ceng Liong kepada kami," katanya dengan ramah. "Harap sampaikan saja kepada Paman Suma Ceng Liong dan Bibi, bahwa anak kami Tan Sian Li akan kami antarkan sendiri ke Hong-cun. Akan tetapi sebelum ke sana, kami akan mengunjungi dulu kota raja."
Tamu itu dijamu oleh Sin Hong sekeluarga, kemudian tamu itu meninggalkan mereka untuk kembali ke Hong-cun dan menyampaikan pesan mereka. Hong Li merasa puas, karena kalau Sian Li dibawa begitu saja oleh utusan yang tidak mereka kenal, tentu saja ia tidak akan merasa tenteram hatinya.
Sian Li sendiri tadinya hampir menolak ketika diberitahu bahwa ia akan diberi pelajaran silat oleh paman dan bibi orang tuanya. Akan tetapi setelah diberi penjelasan oleh ayah ibunya, apalagi ketika mendengar bahwa ia akan diantar sendiri oleh mereka dan sebelum ke Hong-cun akan diajak pesiar ke kota raja ia pun merasa terhibur dan tidak membantah lagi.
Tiga hari kemudian, ayah ibu dan anak ini berangkat meninggalkan rumah mereka di kota Ta-tung menuju ke kota raja Peking yang berada di sebelah timur. Untuk pergi ke dusun Hong-cun akan makan waktu yang lama sekali karena dusun itu terletak di dekat kota Cin-an di Propinsi Shantung, di lembah Sungai Huang-ho. Peking merupakan kota yang memang akan mereka lewati kalau mereka pergi ke Shantung, jadi perjalanan itu tidak memutar.
Pada suatu senja, tibalah mereka di sebuah kota yang letaknya dekat dengan Peking, di sebelah barat selatan kota raja itu. Kota ini disebut kota Heng-tai dan merupakan kota yang cukup ramai karena banyak pengunjung kota raja yang kemalaman tentu bermalam di kota ini. Karena banyaknya tamu dari luar daerah yang hendak berkunjung ke kota raja berhenti dan bermalam di kota Heng-tai, maka kota ini tentu saja berkembang menjadi ramai dan di situ banyak orang mendirikan rumah penginapan, rumah makan dan toko-toko. Tanpa adanya tiga perusahaan ini, sebuah kota tidak akan menjadi ramai karena ketiganya memenuhi kebutuhan pokok manusia, yaitu tempat tinggal, makan, dan pakaian berikut segala keperluan hidup sehari-hari.
Ketika pada senja hari itu Tan Sin Hong, Kao Hong Li dan Tan Sian Li memasuki Heng-tai, kota itu sedang ramai-ramainya dan semua rumah penginapan telah penuh tamu! Sin Hong dan anak isterinya mencari kamar dari satu ke lain penginapan tanpa hasil.
"Ah, kita sudah penat sekali. Apa kita harus bermalam di kuil kosong?" Sian Li mengomel setelah belasan kali keluar masuk rumah penginapan tanpa hasil. Semua pengurus rumah penginapan terpaksa menolak mereka karena semua kamar telah penuh.
"Tidak perlu kita harus bermalam di kuil kosong kalau semua rumah penginapan telah penuh," kata Kao Hong Li. "Kalau perlu kita dapat menumpang di rumah seorang penduduk dengan membayar sewa kamar."
"Mari kita coba hotel yang di sana itu. Nampaknya besar dan paling mewah, mungkin masih ada kamar di sana," kata Sin Hong. Mereka lalu menuju ke hotel yang nampak besar dan mewah itu dan membaca papan nama hotel yang tergantung di depan. Nama hotel itu Thai Li-koan (Hotel Besar). Nampak kesibukan di hotel itu, seolah ada suatu peristiwa penting terjadi di sana. Ketika mereka hendak menaiki anak tangga di depan hotel, seorang pelayan menghampiri mereka dan sebelum mereka bicara, pelayan itu sudah mendahului mereka.
"Maaf, semua kamar sudah penuh. Malam ini, semua kamar diborong oleh Ouw-ciangkun dari kota raja."
"Bukankah hotel ini besar sekali dan kamarnya tentu amat banyak? Untuk apa panglima Ouw itu memborong semua kamar? Begitu banyakkah rombongannya?" tanya Hong Li, penasaran.
Pelayan itu mengangguk.
"Rombongannya tidak banyak sekali, akan tetapi dia hendak menerima tamu, dan dia tidak mau diganggu, maka semua kamar di bagian dalam, kamar-kamar besar telah diborongnya bahkan tidak ada orang diperbolehkan masuk ruangan dalam kalau tidak diberi ijin. Semua pintu depan dan belakang dijaga perajurit pengawal."
"Tapi, yang disewakan hanya kamar besar dan kamar-kamar bagian dalam?" Tiba-tiba Sian Li berkata. "Kan masih banyak kamar-kamar yang lebih kecil di kanan kiri dan belakang?"
Pelayan itu memandang kepada Sian Li dan wajahnya tersenyum. Anak perempuan yang berpakaian serba merah ini memang manis sekali.
"Memang ada, Nona, tapi.... ah, banyak yang sudah pesan lebih dulu...."
Hong Li yang cerdik dapat melihat sikap pelayan itu, maka ia pun segera berkata,
"Berilah kami sebuah kamar samping atau belakang, dan kami akan memberi imbalan secukupnya!" Ia mengeluarkan sepotong perak yang cukup besar. Melihat mengkilapnya perak itu sikap Si Pelayan berubah amat ramah. Dia melirik ke kanan kiri, kemudian menyambar perak itu dari tangan Hong Li dan membungkuk-bungkuk, menyembunyikan perak itu ke dalam saku bajunya.
"Marilah, Sam-wi masih beruntung tidak terlambat. Biarpun sudah banyak pemesan, akan tetapi melihat Nona kecil ini, aku merasa kasihan dan biarlah kuberikan kepada kalian."
Mereka memasuki rumah penginapan besar itu melalui pintu samping, dan Si Pelayan mengantar mereka ke sebuah kamar di belakang yang cukup besar untuk mereka bertiga.
Dia menerima uang sewanya untuk semalam dan memesan agar mereka itu jangan sekali-kali keluar masuk melalui pintu depan, jangan memasuki ruangan dalam dan selalu menggunakan pintu samping saja, untuk keluar masuk. Ketika mereka masuk, mereka melihat banyaknya perajurit pengawal yang berjaga-jaga di sekitar hotel itu, dan bahkan ada perajurit yang menahan Si Pelayan dan baru membolehkan mereka lewat setelah pelayan mengatakan bahwa tiga orang itu adalah tamu-tamu yang sudah mendapatkan kamar di belakang.
"Ingat, selama di sini malam ini, kalian tidak boleh menerima tamu, tidak boleh memasukkan orang asing ke sini," kata Si Perajurit pengawal kepada mereka.
Setelah memperoleh kamar, Sin Hong, Hong Li dan Sian Li lalu membersihkan diri dengan air hangat yang disediakan pelayan untuk mereka. Hotel itu memang hotel besar, sewa kamarnya mahal, akan tetapi pelayannya juga baik, tidak seperti di rumah-rumah penginapan biasa. Setelah berganti pakaian, Hong Li yang sudah selesai lebih dahulu, keluar dari kamar bersama Sian Li. Mereka hendak berjalan-jalan di taman sebelah belakang hotel itu sambil menanti selesainya Sin Hong yang mandi paling akhir.
Biarpun malam telah tiba, namun taman bunga itu masih tetap indah dan dapat dinikmati karena di sana-sini dipasangi lampu beraneka warna dan saat itu, kembang-kembang di taman sedang mekar semerbak. Sian Li gembira sekali melihat keindahan taman bunga itu, dan ia pun berlari-lari di dalam taman.
"Sian Li, jangan berlari-lari....!" kata ibunya sambil mengejar.
Tiba-tiba Hong Li mendengar teriakan puterinya.
"Ibu, tolong....!"
Hong Li terkejut sekali, dan dengan beberapa lompatan ia sudah tiba di balik pohon itu.
Ia melihat puterinya didekap seorang laki-laki tinggi besar yang bermuka hitam.
Puterinya meronta-ronta, akan tetapi agaknya laki-laki itu amat kuat sehingga Sian Li tidak mampu melepaskan diri. Hong Li maklum bahwa laki-laki itu tentu memiliki kepandaian yang tinggi, kalau tidak, bagaimana puterinya yang sudah memiliki kelihcahan dan ilmu yang lumayan itu demikian mudah ditangkap?
selanjutnya ---->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar