Kamis, 30 Januari 2014

Kisah Si Bangau Merah Jilid 35

Kisah Si Bangau Merah Jilid 35

35

Sian Lun menatap wajah sumoinya, lulu mengangguk-angguk.
"Mungkin sekali dugaanmu itu benar, Sumoi, akan tetapi tidak ada artinya karena kita pun belum tahu siapa orang bercaping itu."
Sian Li menghela napas panjang.
"Suheng, kalau sampai aku tidak dapat mengetahui siapa adanya orang itu, tentu akan selalu ada penyesalan dan ganjalan dalam hatiku."
Setelah kuda mereka makan kenyang dan nampak segar kembali, mereka melanjutkan perjalanan karena menurut petunjuk dalam peta yang dibuat oleh ahli di Bhutan, tidak jauh di sebelah depan terdapat sebuah dusun besar, tepat di belokan Sungai Yalu-cangpo yang menikung ke selatan. Dari situ, mereka akan menyeberang dan meninggalkan lembah sungai itu, melanjutkan perjalanan ke timur.
***
Dua orang kakak beradik seperguruan itu memasuki dusun Cam-kong di tepi Sungai Yalu-cangpo yang berbelok ke selatan. Sebuah dusun yang ramai karena dari sinilah para pedagang yang hendak membawa barang dagangan ke selatan berkumpul dan mengirim barang mereka dengan perahu. Sedangkan para pedagang yang membawa dagangan ke timur, dan datang dari barat, membongkar barang yang mereka bawa dengan perahu di dusun ini untuk kemudian melanjutkan perjalanan rombongan mereka ke timur melalui daratan. Karena menjadi pusat persaingan para pedagang, maka dusun itu menjadi makmur dan ramai. Dengan mudah Sian Li dan Sian Lun mendapatkan dua buah kamar di rumah penginapan yang juga membuka rumah makan di samping rumah penginapan.
Hiruk pikuk suara orang yang tiada hentinya memuat dan membongkar barang di dusun pelabuhan itu.
Ketika mereka memasuki rumah penginapan, mengikuti seorang pelayan yang menunjukkan dua buah kamar untuk mereka, kakak beradik itu melewati sebuah ruangan duduk di mana berkumpul tujuh orang yang melihat pakaiannya tentulah pedagang-pedagang berbangsa Han. Mereka bercakap-cakap dengan santai dan mendengar logat bicara mereka, Sian Lun dan Sian Li segera tertarik sekali karena logat Shantung, seperti logat orang-orang di tempat tinggal Kakek Suma Ceng Liong yang sudah biasa mereka dengar. Kiranya mereka adalah pedagang-pedagang dari bagian timur sekali, dan mereka merasa seperti bertemu dengan saudara-saudara dari kampung halaman sendiri! Memang demikianlah perasaan hati hampir setiap orang yang berada di rantau. Kalau kita berada di rantau orang, jauh dari kampung halaman, apalagi kalau sedang merindukan kampung halaman, mendengar logat bicara orang sekampung rasanya seperti bertemu dengan saudara sendiri dan segera timbul keakraban dalam hati. Dahulu kalau berada di kampung halaman sendiri, logat itu sama sekali tidak mendatangkan kesan apu pun.
Kebetulan mereka mendapatkan dua buah kamar yang tidak berjauhan dari ruangan duduk itu, maka setelah memasuki kamar masing-masing, mereka dengan pendengaran mereka yang tajam terlatih, masih dapat menangkap percakapan tujuh orang Shantung itu. Mereka segera menaruh perhatian karena mereka membicarakan soal keamanan daerah itu dan perjalanan dari tempat itu ke timur, perjalanan yang akan mereka tempuh.
Mereka menceritakan pengalaman masing-masing dan menyebut-nyebut tentang adanya seorang pendekar yang mereka namakan Sin-ciang Tai-hiap (Pendekar Besar Tangan Sakti).
"Kalau tidak ada pendekar itu, mungkin hari ini aku tidak dapat bertemu dengan kalian di sini," terdengar seorang di antara mereka bercerita. “Terjadinya kurang lebih sebulan yang lalu. Perampok-perampok itu sungguh tidak mengenal peraturan umum. Rombongan kami sudah bersedia untuk memberi sumbangan yang cukup memadai. Akan tetapi mereka menginginkan yang bukan-bukan, bahkan hendak menculik puteri pedagang dari selatan itu. Tentu saja kami keberatan, apalagi ketika mereka hendak mengambil semua, gulungan sutera paling halus dan paling mahal. Bisa bangkrut kami kalau menuruti kehendak mereka. Dan mereka menjadi marah, lalu mengatakan mereka akan merampas semua barang, menculik gadis itu, dan membunuh kami semua!"
"Hemm, memang sekarang mulai tidak aman. Banyak gerombolan pengacau dari berbagai aliran, ada perampok, ada bajak sungai, bahkan ada pula gerombolan pemberontak dan ada katanya pasukan keamanan sendiri malah merampok dan mengganggu kami," kata orang ke dua.
"Acun, lanjutkan ceritamu tadi. Setelah rombongan diancam, lalu bagaimana?" kata yang lain.
Orang pertama yang bernama Acun melanjutkan.
"Tentu saja kami tidak menyerah begitu saja. Tidak percuma aku pernah belajar ilmu silat di kampung, dan di antara para anggauta rombongan kami terdapat beberapa orang yang cukup jagoan. Akan tetapi, ternyata kepala perampok itu lihai sekali. Aku sendiri belum terluka, akan tetapi kawan-
kawanku sudah roboh. Pada saat kepala perampok merobohkan aku dengan tendangan dan goloknya menyambar ke arah leherku muncullah Pendekar Besar Tangan Sakti itu! Hem, dia bagaikan seorang malaikat yang turun dari langit!"
"Acun, ceritakan, bagaimana sepak terjangnya?" Yang lain-lain juga mendesak Acun untuk melanjutkan ceritanya. Bahkan Sian Li dan Sian Lun di kamar masing-masing ikut mendengaran penuh perhatian.
"Kemunculannya mentakjubkan. Sudah lama aku mendengar tentang sepak terjangnya, akan tetapi baru sekali itu aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Bagaikan halilintar menyambar, dia nampak sebagai bayangan yang menyambar turun dan golok di tangan kepala perampok yang lihai itu terlempar dan tubuh kepala perampok itu terlempar sampai terguling-guling. Kemudian, bagaikan kilat, bayangan itu meluncur ke sana-sini dan semua senjata para perampok yang jumlahnya belasan orang itu terlempar dan mereka pun satu demi satu terjengkang dan terbanting roboh."
"Mampus perampok-perampok itu!" seru seorang pendengar.
"Mampus apa? Tidaklah engkau pernah mendengar bahwa Sin-ciang Tai-hiap itu tidak pernah melukai orang, apalagi membunuh? Perampok itu tidak ada yang terluka, hanya terkejut dan ketakutan saja. Memang sayang, kalau aku yang menjadi pendekar memiliki kesaktian seperti itu, sudah kusikat habis para penjahat itu, kubasmi dan kutumpas mereka!" kata Acun.
"Kenapa sih memotong-motong cerita itu, Acun, lanjutkan. Apa yang dilakukan pendekar sakti yang aneh itu?" tanya seorang.
"Dan bagaimana macamnya? Sudah tua ataukah masih muda?" tanya orang ke dua.
"Seperti biasa yang kita pernah dengar, dia menghilang begitu saja dan hanya suaranya terdengar dari dalam pohon yang lebat. Dia memberi peringatan dan nasehat kepada para perampok, menyadarkan mereka dengan kata-kata lembut. Dan tidak seorang pun di antara kami dapat melihat wajahnya. Gerakannya demikian cepat dan wajahnya terlindung caping lebar itu."
Mendengar ini, Sian Li dan Sian Lun tidak dapat menahan diri lagi. Mereka tertarik karena maklum bahwa yang dimaksudkan Acun itu tentulah pendekar yang menjadi penolong mereka. Keduanya keluar dari dalam kamar, saling pandang lalu menghampiri tujuh orang pedagang itu.
Para pedagang itu tentu saja memandang mereka dengan heran, juga kagum melihat pemuda tampan dan gadis cantik yang menghampiri mereka itu. Sian Li cepat mengangkat kedua tangan depan dada memberi hormat dan berkata,
"Harap Cuwi (Anda Sekalian) suka memaafkan kami. Kami mendengar cerita Cuwi dan kami tertarik sekali karena kami pun mendapat pertolongan dari seorang pendekar bercaping yang tidak memperkenalkan dirinya kepada kami."
Mendengar logat bicara Sian Li, tujuh orang itu cepat bangkit berdiri dan membalas penghormatan Sian Li dan Sian Lun.
"Aih, agaknya Kongcu dan Siocia datang dari daerah Shantung seperti kami?"
Karena datang dari satu propinsi, walaupun tempat tinggal mereka terpisah jauh, mereka segera menjadi akrab.
"Paman tadi bercerita bahwa pendekar itu bercaping?" tanya Sian Li.
Acun yang merasa girang mendapat pendengar seorang dara demikian cantiknya, dengan bersemangat menjawab.
"Ketika menolong kami, kami hanya melihat bayangannya berkelebatan dan dia mengenakan sebuah caping lebar yang menyembunyikan mukanya."
"Bagaimana bentuk badannya, Paman Acun?" tanya pula Sian Li dan orang itu semakin gembira disebut paman Acun secara demikian akrabnya.
"Tubuhnya sedang dan tegap, gerakannya halus namun cepat bukan main, dan dia tidak bersenjata, akan tetapi belasan batang golok itu runtuh dengan sendirinya. Dia seperti bukan manusia!" kata Acun.
"Pengalamanku dengan pendekar itu pun tidak kalah hebatnya!" terdengar seorang yang gendut berkata.
"Aku pun mempunyai pengalaman dengan pendekar Sin-ciang Tai-hiap itu!" kata pula orang ke tiga.
Wanita memang sejak jaman dahulu sampai sekarang, mempunyai wibawa yang luar biasa terhadap para pria. Sekumpulan pria, baik mereka itu sudah tua maupun masih remaja, selalu akan berubah sikap mereka apa bila kedatangan seorang wanita, apalagi yang muda dan cantik jelita seperti Sian Li. Amat menarik kalau memperhatikan sekelompok pria yang tadinya bercakap-cakap, lalu muncul wanita di antara mereka.
Mereka itu berubah sama sekali. Gerak geriknya, wajahnya, lirikan matanya, senyumnya, bahkan suaranya! Mungkin yang bersangkutan sendiri tidak merasakan hal ini, akan tetapi kalau kita memperhatikan, kita akan dapat melihat perubahan itu dengan jelas sekali. Mengingatkan kita kepada ayam-ayam jantan kalau bertemu ayam betina. Ada saja ulahnya untuk menarik perhatian dan berlagak! Lucu, menarik dan mengharukan mengenal diri kita sebagai pria ini, betapa pria menjadi lemah kalau sudah berhadapan dengan wanita. Perbedaan dalam tingkah laku mungkin hanya tergantung dari watak masing-masing saja, ada yang nampak sekali, ada yang muncul lagak yang kurang ajar, ada yang pendiam. Namun perubahan itu pasti ada, bahkan yang nampak acuh pun dibuat-buat dan tidak wajar.
Bermacam-macam pengalaman mereka akan tetapi pada dasarnya, mengenai Sin-ciang Tai-hiap, mereka mempunyai pengalaman yang sama. Pendekar itu sama sekali tidak pernah dapat dikenal wajahnya, kalau turun tangan menolong orang dan menghadapi penjahat, dia bertindak cepat sekali tanpa memperlihatkan wajah, apalagi memperkenalkan nama. Wajahnya kadang ditutup caping lebar, kadang juga tidak. Dan yang aneh sekali, tidak pernah dia membunuh penjahat, bahkan melukai parah pun tidak pernah. Semua penjahat diampuninya, diberi nasihat.
"Bagaimana mungkin dia akan berhasil," kata Sian Lun. "Penjahat harus dihadapi dengan kekerasan! Kalau hanya diampuni dan diberi nasihat, bagaimana mereka akan dapat sadar dan menjadi baik?"
"Belum tentu, Kongcu!" kata seorang di antara mereka, seorang pria tinggi kurus yang berusia enam puluh tahun. "Biar dihadapi dengan kekerasan sekalipun, dihukum berat, belum tentu juga penjahat akan menjadi baik! Dan buktinya, menurut kabar dan ada pula kusaksikan sendiri, banyak penjahat menjadi baik dan sembuh dari penyakitnya yang membuat dia jahat setelah dia bertemu dengan Sin-ciang Tai-hiap dan mendapat nasihat dari pendekar aneh itu."
"Paman Liok, ceritakan pengalamanmu itu!" seorang di antara mereka berseru.
"Benar, Paman. Ceritakanlah, aku ingin sekali mendengarnya," kata pula Sian Li. Tanpa diminta oleh gadis itu pun, dengan penuh gairah Kakek Liok memang ingin sekali bercerita agar dia menjadi pusat perhatian.
"Di perbatasan Secuan ada seorang penjahat besar yang biasa melakukan kejahatan apa pun tanpa mengenal takut. Dia mempunyai belasan orang anak buah. Aku sudah mendengar tentang kejahatan penjahat berjuluk Pek-mau-kwi (Iblis Rambut Putih) itu, yang usianya baru empat puluh tahun akan tetapi rambutnya sudah putih semua, maka ketika aku melakukan perjalanan lewat daerah itu, aku memperkuat rombonganku dengan sepasukan piauw-su (pengawal) bangsa Miao yang terkenal gagah, berjumlah dua puluh orang. Akan tetapi, tetap saja di tengah jalan kami dihadang oleh gerombolan perampok yang dipimpin Pek-mau-kwi itu! Seperti biasa kalau bertemu dengan gerombolan perampok, kami juga sudah menawarkan sumbangan atau yang biasa disebut pajak jalan.
Akan tetapi, berapa pun yang kami tawarkan, Pek-mau-kwi tidak mau menerimanya dan menghendaki kami menyerahkan setengah dari semua barang bawaan kami. Terjadilah pertempuran dan biarpun jumlah kami lebih banyak, tetap saja kami kewalahan. Agaknya kami tentu akan menjadi korban dan terbunuh semua kalau tidak muncul Sin-ciang Tai-hiap!"
"Dia juga bercaping, Paman?" tanya Sian Li, membayangkan orang bercaping yang pernah menolong ia dan suhengnya.
"Pendekar itu tidak bercaping, akan tetapi karena gerakannya cepat sekali dan rambutnya panjang riap-riapan menutupi mukanya, kami pun tidak mungkin dapat mengenali mukanya. Dia berkelebatan merobohkan semua perampok, bahkan ketika dia meloncat pergi, dia mengempit tubuh Pek-mau-kwi dan membawanya lenyap! Semua anak buah perampok lari ketakutan dan kami pun selamat."
"Lalu bagaimana dengan Pek-mau-kwi itu dan bagaimana Paman tahu bahwa nasihat dari pendekar itu berhasil?" tanya Sian Lun, tertarik sekali.
"Tidak ada yang tahu bagaimana nasib Pek-mau-kwi. Akan tetapi ketika beberapa bulan kemudian aku lewat di daerah itu, aku mendengar bahwa Pek-mau-kwi sudah cuci tangan, tidak lagi menjadi perampok, melainkan sekarang membuka perguruan silat dan hidup dari hasil pembayaran para muridnya. Aku mendengar bahwa dia menjadi orang baik dan tidak pernah lagi melakukan kejahatan. Bukankah itu hasil nasihat dari pendekar sakti itu?"
"Dan bagaimana pengalamannya dengan pendekar itu?" tanya Sian Li.
"Kabarnya, dia tidak pernah mau menceritakan kepada siapapun juga. Entah apa yang terjadi ketika dia ditangkap dan dilarikan Sin-ciang Tai-hiap."
Sian Li dan Sian Lun merasa semakin tertarik, apalagi karena mereka sendiri berhutang budi, bahkan nyawa kepada pendekar itu.
"Apakah di antara Cuwi (Anda Sekalian) ada yang mengetahui siapakah nama Sin-ciang Tai-hiap itu?"
Semua orang yang berada di situ menggeleng kepala. Tidak pernah ada yang mendengar siapa nama pendekar aneh itu. Jangankan namanya, wajahnya pun belum pernah dikenal orang karena sepak terjangnya cepat dan penuh rahasia. Menurut cerita para pedagang yang sudah bertahun-tahun menjelajahi daerah itu untuk berdagang, nama Sin-ciang Tai-hiap baru muncul sekitar tiga empat tahun yang lalu. Sebelum itu, tidak pernah ada orang mengenal nama julukan ini yang timbulnya juga di daerah itu, nama julukan yang diberikan oleh para pedagang yang pernah mendapatkan pertolongannya. Sebelum empat tahun yang lalu, baik di daerah barat ini maupun di timur, orang tidak pernah mendengar namanya.
Setelah mendengarkan semua cerita yang kadang seperti dongeng saja dari para pedagang itu tentang Sin-ciang Tai-hiap, yang ia tahu tentu dibumbui dan dilebih-lebihkan. Sian Li ingin mendengar dari mereka tentang orang-orang yang selama ini pernah ditentangnya.
"Apakah Cuwi (Anda Sekalian) dapat menceritakan tentang perkumpulan Hek I Lama?"
Tujuh orang pedagang itu serentak berdiam diri seperti jangkerik terpijak. Mereka bukan hanya berdiam diri tak mengeluarkan suara, akan tetapi juga wajah mereka berubah dan mereka menengok ke kanan kiri, seolah ketakutan.
"Kenapa, Paman?" Terbawa oleh sikap mereka, Sian Li mengajukan pertanyaan ini dengan berbisik pula. Yang ditanya menggeleng kepala, lalu mengeluarkan kertas dan alat tulis, dan menulis dengan cepat di atas kertas itu, kemudian menyodorkannya kepada Sian Li. Gadis itu dan suhengnya segera membaca tulisan itu.
"Jangan bicara tentang itu, mata-matanya tersebar di mana-mana. Berbahaya sekali," demikian bunyi tulisan dan Sian Li saling pandang dengan suhengnya.
Sian Li mendekati laki-laki yang menulis itu sambil menyerahkan kembali kertas tadi yang segera dirobek-robek oleh penulisnya. Gadis itu berbisik,
"Kenapa, Paman? Apakah mereka jahat dan suka mengganggu?"
Orang itu menggeleng kepala, lalu menjawab dengan suara bisik-bisik pula.
"Mereka tidak pernah mengganggu kita, sebaliknya kita pun tidak boleh mencampuri urusan mereka. Penjahat Yang paling besar pun di daerah ini tidak ada yang berani mencampuri urusan mereka, berbahaya sekali. Di mana-mana mereka mempunyai kaki tangan. Sebaiknya kita bicara tentang hal lain saja."
Agaknya tujuh orang pedagang itu sudah merasa ketakutan, maka mereka pun bubaran memasuki kamar masing-masing. Sian Li dan Sian Lun terpaksa juga kembali ke kamar masing-masing dan tidur. Malam itu Sian Li bermimpi bertemu dengan pendekar bercaping karena sebelum pulas tiada hentinya ia mengenang pendekar yang amat mengagumkn hatinya itu. Kini ia membenarkan akan cerita orang tuanya, juga Kakek Suma Ceng Liong bahwa di empat penjuru dunia penuh dengan orang-orang pandai, oleh karena itu, mereka berpesan agar ia tidak mengagungkan dan menyombongkan diri dan kepandaian sendiri. Kini ternyatalah bahwa di daerah barat yang dianggapnya masih liar bahkan belum beradab itu terdapat pula orang sakti yang aneh, yang membuatnya kagum bukan main.
***
Pada keesokan harinya, setelah mandi dan sarapan pagi, ketika Sian Li dan Sian Lun sudah bersiap-siap meninggalkan rumah penginapan dan melanjutkan perjalanan, seorang laki-laki menghampiri mereka dan dengan sikap hormat dia menyerahkan sesampul surat kepada mereka. Setelah sampul surat itu diterima Sian Li, pembawa surat itu memberi hormat dan pergi.
Sian Li cepat membuka sampul dan bersama Sian Lun mereka membaca surat yang ditulis dengan huruf-huruf yang gagah dan indah itu.
"Harap Liem Tahiap dan Tan Lihiap suka memaafkan sikap anak buah kami. Karena belum saling mengenal dengan baik maka terjadi kesalah-pahaman. Kalau Jiwi ingin mengetahui lebih baik siapa kami, kami mengundang Jiwi untuk menghadiri pesta pertemuan antara pejuang yang kami adakan sore nanti. Kami akan menjemput Jiwi dengan kereta. Kami bukan golongan jahat, melainkan pejuang-pejuang. Keselamatan Jiwi kami jamin."
Pimpinan Hek I Lama
"Hemm, jangan pedulikan surat dari mereka, Sumoi. Jelas bahwa mereka itu orang-orang jahat dan berbahaya. Kita pun baru saja kemarin lolos dari tawanan mereka dan hari ini mereka mengundang kita sebagai tamu? Hemm, ini pasti jebakan belaka. Lebih baik kita berangkat pergi saja meninggalkan tempat ini, Sumoi."
"Suheng, lupakah Suheng akan nasihat dan pesan guru-guru kita? Kita memang harus berhati-hati dan waspada, akan tetapi yang terlebih penting adalah bahwa kita tidak boleh bersikap penakut! Kita harus berani menghadapi kenyataan, betapa besar pun bahayanya, bukan saja menghadapi, akan tetapi juga menanggulangi dan mengatasi. Mereka mengirim surat undangan resmi, tidak mungkin merupakan jebakan. Mereka adalah perkumpulan yang besar, kiranya tidak akan menggunakan cara serendah itu. Kita memang tidak perlu bersekutu dengan mereka, akan tetapi juga tidak perlu mencampuri urusan mereka dan memusuhi, kecuali kalau mereka mengganggu kita."
"Jadi bagaimana sikapmu menghadapi undangan ini?"
"Aku akan menerimanya dan menghadiri undangan itu."
"Sumoi! Ingat, hal itu berbahaya sekali. Engkau seperti mengundang datangnya bahaya!"
"Aku tidak takut, Suheng. Mereka itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Sebagai datuk ilmu silat yang lihai, sudah pasti para pimpinan Hek I Lama tidak akan begitu merendahkan diri dan mencemarkan nama besar sendiri sengan perbuatan yang hina seperti menjebak orang-orang muda seperti kita. Pula, bukankah kita ini pergi meninggalkan rumah untuk meluaskan pengalaman dan menambah pengetahuan? Juga, kini kita mendapat kesempatan untuk mengetahui lebih banyak tentang Hek I Lama, kesempatan yang baik sekali karena kita diundang sebagai tamu! Kalau engkau merasa jerih, biarlah aku sendiri saja yang datang ke sana, Suheng." Sian Li tidak mau mengeluarkan isi hati yang paling dalam, yaitu bahwa kalau terjadi apa-apa dengan dirinya di tempat Hek I Lama, ia mengharapkan munculnya lagi Sin-ciang Tai-hiap untuk menolongnya. Ia harus bertemu lagi dengan pendekar itu, harus membuka rahasianya yang aneh, herus mengenal wajahnya dan namanya. Kalau tidak, selama hidupnya ia akan tenggelam dalam penasaran.
Wajah Sian Lun menjadi merah ketika sumoinya mengatakan dia jerih.
"Sumoi, aku tidak mengkhawatirkan diri sendiri, melainkan mengkhawatirkan keselamatanmu sendiri. Kalau engkau berkeras hendak pergi, tentu saja aku akan menemanimu."
Sian Li tersenyum menatap wajah suhengnya.
"Terima kasih, Suheng. Dan maafkanlah, bukan maksudku mengatakan engkau takut. Akan tetapi aku ingin sekali menghadiri undangan itu dan melihat siapa saja sebetulnya orang-orang itu dan apa maksud undangan mereka kepada kita."
Demikianlah, akhirnya Sian Lun terpaksa harus memenuhi kehendak Sian Li dan mereka menanti datangnya kereta yang akan menjemput mereka dengan hati berdebar penuh ketegangan. Sian Li memang berjiwa petualang dan suasana yang mendebarkan hatinya itu melupakan suatu kenikmatan tertentu bagi seorang petualang. Apalagi kalau ia membayangkan kemunginan munculnya Sin-ciang Tai-hiap! Bahkan diam-diam ia mengharapkan terjadi sesuatu dengan dirinya agar pendekar aneh itu akan muncul kembali!
Di luar dugaan mereka, kereta itu muncul setelah lewat tengah hari, belum sore. Sebagai seorang wanita, tentu saja Sian Li tidak mau pergi dalam keadaan belum mandi dan pakaian belum diganti, maka ia minta kepada kusir kereta yang datang menjemput agar menanti sebentar karena ia ingin mandi dan berganti pakaian lebih dahulu. Sebaliknya, Sian Lun yang merasa tegang dan selalu diliputi kegelisahan, tidak sempat bertukar pakaian dan mandi. Orang pergi menentang bahaya, untuk apa harus mandi dan berganti pakaian segala, pikirnya. Dia malah menanti sumoinya di dekat kereta dan mencoba untuk memancing keterangan kepada kusir kereta. Akan tetapi, kusir itu hanya menjawab "tidak tahu" atas segala pertanyaannya, dan hanya mengatakan bahwa dia bertugas menjemput mereka. Akan tetapi, dari gerak gerik dan sinar matanya yang tajam membayangkan kecerdikan. Sian Lun dapat menduga bahwa kusir ini hanya berpura-pura tolol dan lemah saja. Tentu dia seorang anggauta yang sudah dipercaya, dan yang memiliki ilmu kepandaian tangguh.
Akhirnya muncullah Sian Li dengan wajah dan tubuh segar, dengan pakaian bersih dan rambutnya tersanggul rapi. Ia nampak segar dan cantik sekali, membuat hati Sian Lun menjadi semakin gelisah. Kenapa sumoinya demikian mempercantik diri? Mereka akan menjadi tamu orang-orang jahat! Baru Cu Ki Bok, murid Lulung Ma itu saja jelas amat lihai dan pemuda itu mempunyai niat tidak senonoh terhadap diri Sian Li. Juga dari percakapan yang didengarnya ketika mereka ditawan, dia mendengar betapa Sian Li akan dihadiahkan kepada orang yang disebut sebagai Pangeran Gulam Sing! Dengan kecantikan seperti itu, sumoinya akan membuat orang-orang jahat itu menjadi semakin hijau! Akan tetapi tentu saja dia tidak dapat berkata apa-apa dan mereka pun naik ke dalam kereta yang segera dijalankan oleh kusirnya dengan cepat meninggalkan kota itu.
Kereta itu meluncur keluar kota melalui pintu gerbang sebelah timur, kemudian mendaki sebuah bukit. Berkali-kali Sian Lun bertanya kepada kusirnya, ke mana mereka akan dibawa pergi. Akan tetapi kusir itu tidak pernah mau menjawab! Ketika kereta memasuki sebuah hutan di lereng bukit itu, Sian Lun kehabisan sabarnya.
"Kusir keparat! Kalau tidak kau jawab, aku akan menghajarmu! Hayo katakan ke mana engkau akan membawa kami!" bentaknya dan dia sudah bergerak untuk menyerang kusir yang duduk di depan.
Akan tetapi lengannya ditangkap Sian Li.
"Suheng, kenapa tidak sabar?" katanya sambil mengerutkan alisnya. "Dia hanya petugas yang melaksanakan perintah. Tentu saja dia membawa kita kepada yang mengutusnya, yaitu Hek I Lama yang mengundang kita."
"Nona berkata benar dan kita sudah hampir tiba di tempat yang dituju," kata kusir itu dan Sian Lun terpaksa menelan kemarahannya. Dia merasa terlalu tegang sehingga mudah tersinggung dan marah.
Ternyata di tengah rimba itu terdapat tempat terbuka di mana berdiri sebuah rumah besar.
Dan suasananya di sana memang dalam keedaan pesta. Banyak orang sedang membereskan ruangan depan rumah itu yang disambung dengan panggung di depan rumah, merupakan ruangan yang luas dan setengah terbuka. Kursi-kursi yang diatur di situ rapi dan semua menghadap ke dalam, ke arah rumah di mana terdapat meja besar dan kursi-kursi yang mudah diduga menjadi tempat tuan rumah. Dan pada saat itu, telah banyak orang berkumpul, bahkan di pihak tuan rumah telah duduk banyak pendeta yang berjubah hitam dan berkepala gundul. Anak buah dari perkumpulan yang dipimpln para pendeta Lama berjubah hitam ini kesemuanya juga berpakaian serba hitam, dengan kain kepala warna hitam pula sehingga mereka nampak menyeramkan. Sian Li dan Sian Lun menduga bahwa mereka yang hadir di sana dan tidak berpakaian hitam tentulah tamu-tamu seperti juga mereka. Mereka melihat pula banyak orang Nepal yang bertubuh tinggi besar, bermuka brewok dan menutup kepala dengan sorban putih atau kuning. Mereka melihat pula banyak orang mengenakan pakaian Han seperti mereka. Ada pula yang memakai pakaian suku Miao, Hui, Kasak, dan Mongol.
Ketika kakak beradik seperguruan itu tiba di situ, mereka disambut dengan hormat dan hal ini dapat diketahui karena yang menyambut mereka adalah Lulung Lama sendiri bersama muridnya, Cu Ki Bok! Dan setelah mereka dipersilakan duduk di rombongan orang-orang Han yang kemudian ternyata adalah orang-orang yang dianggap sebagai tokoh kang-ouw dan para pendekar, barulah Sian Li dan Sian Lun tahu bahwa Lulung Ma bukanlah pemimpin nomor satu dari perkumpulan Lama Jubah Hitam! Selain dia, masih ada pula seorang suhengnya yang duduk di kursi terbesar. Pendeta Lama ini juga berpakaian serba hitam dan dia sudah tua sekali, sedikitnya tujuh puluh lima tahun usianya dan kelihatan seperti seorang pemalas, hanya duduk saja bersandar dikursinya.
Agaknya yang aktip dalam pertemuan itu adalah Lulung Lama dan muridnya, yaitu Cu Ki Bok, peranakan Han Tibet itu.
Biarpun hatinya merasa panas dan marah melihat Cu Ki Bok yang menyambutnya bersama Lulung Lama, namun Sian Lun menahan diri dan tidak memperlihatkan kemarahannya. Adapun Sian Li bersikap tenang bahkan tersenyum-senyum sehingga diam-diam Cu Ki Bok merasa kagum bukan main. Gadis itu selain cantik dan lincah, ternyata memiliki ketabahan yang mengagumkan hatinya. Sian Li merasa semakin yakin bahwa pihak tuan rumah tidak akan mungkin berani melakukan kekerasan terhadap ia dan suhengnya, melihat bahwa pertemuan itu dihadiri demikian banyaknya orang dari berbagai golongan. Tentu orang macam Lulung Lama tidak akan merendahkan diri yang hanya akan mencemarkan nama besarnya sendiri selagi di situ berkumpul banyak orang, dengan perbuatan yang curang dan pengecut. Hal ini terbukti pula dengan sikap Cu Ki Bok yang sopan dan hormat, padahal baru kemarin pemuda murid tokoh Hek I Lama itu bersikap kasar dan tidak sopan.
Akan tetapi, Sian Li dan Sian Lun menjadi pusat perhatian para tamu ketika Lulung Ma dengan suara lantang memperkenalkan tamu baru ini kepada semua orang sebagai dua orang pendekar dari timur yang masih mempunyai hubungan erat dengan Puteri Gangga Dewi dari Kerajaan Bhutan.
Agaknya kini semua tamu sudah berkumpul dan senja mulai datang, lampu-lampu penerangan dinyalakan dan pesta pun dimulai. Setelah Lulung Lama sebagai wakil pimpinan Hek I Lama menyuguhkan anggur sampai tiga keliling kepada para tamu dan mempersilakan para tamu makan kueh manis yang dihidangkan sebagai pembuka pesta.
selanjutnya--->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar